Anúncio
Anúncio

Mais conteúdo relacionado

Anúncio

Esai KKN Salim.pptx

  1. Melihat Realitas : Membangun Masyarakat ditengah Keterbatasan Melihat progresivitas suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). SDM berperan bagaimana bangsa dapat mengelola seluruh potensi yang dimilikinya, utamanya Indonesia yang sangat diberkahi akan kekayaan hayati maupun kultural. Pembukaan UUD 1945 alinea 4 telah mencantumkan bahwa negara Indonesia eksis memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu upaya yang dilakukan negara adalah mengupayakan pemerataan pembangunan manusia terutama melalui pendidikan. Jenjang pendidikan yang secara ontologis berdimensi universal dan nasional adalah Perguruan Tinggi sesuai amanat UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi bahwa Perguruan Tinggi adalah sarana melakukan riset demi usaha kemajuan ilmu pengetahuan dan mengembangkan kehidupan masyarakat. Prinsip ini tertuang pada Tridharma Perguruan Tinggi. Wujud nyata implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pelaksanaan program KKN tiap kampus di tanah air Indonesia. UIN Antasari Banjarmasin, sebagai salah satu Perguruan Tinggi terkemuka di Kalimantan Selatan juga turut partisipatif mengirimkan mahasiswa- mahasiswa untuk terjun ke masyarakat demi mengimplementasi keilmuan yang didapatkan di bangku perkuliahan sekaligus menjadi problem solver bagi masyarakat terutama masyarakat marjinal di area 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Program KKN ini diharapkan mampu membentuk mahasiswa aplikatif, cakap, komunikatif, dan solutif dalam pembangunan masyarakat. Saya sendiri Salim A Vad’aq, Mahasiswa HTN angkatan 18 juga turut berpartisipasi dalam program KKN tematik reguler tahap 3 ini. Adapun saya mendapat destinasi di desa Patikalain, kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Bekerja ditengah rekan kelompok mayoritas angkatan dibawah saya yaitu angkatan 19 dan berumur lebih muda dari saya, menuntut saya untuk berusaha membangun pola komunikasi tanpa kecanggungan antar angkatan serta lebih bijaksana.
  2. Sebelum saya berangkat ke desa kerja saya, tentu riset kecil-kecilan saya lakukan terlebih dahulu untuk mendapat gambaran sekilas mengenai Desa Patikalain. Riset yang saya lakukan mulai dari sharing discussion kepada rekan yang pernah KKN disana maupun kepada orang yang pernah terlibat pada proyek sosial di desa Patikalain, bahkan hingga mencari sumber-sumber yang tersedia di internet. Hasil dari penelusuran adalah desa ini memiliki tantangan tersendiri bagi saya mengingat desa Patikalain masuk pada kategori 3T, mayoritas non muslim yaitu agama kepercayaan Kaharingan, sulitnya akses internet, hingga medan jalan yang cukup menantang. Saya sempat berpikir bahwa desa Patikalain akan memiliki tantangan tersendiri bagi saya. Sabtu, 15 Oktober 2022 seluruh mahasiswa peserta KKN Tahap 3 diberangkatkan pada pukul 04.00 WITA dinihari. Sayangnya saya tidak bisa berangkat tepat waktu karena kondisi kesehatan yang tiba-tiba drop. Mungkin karena kelelahan karena bertepatan bulan Maulid dimana saya memiliki banyak sekali undangan untuk mengisi ceramah. Dokter menyarankan agar saya beristirahat total 3 hari, namun karena saya merasa lebih baik di hari kedua saya istirahat sehingga tanggal 17 Oktober saya berangkat menuju destinasi desa kerja saya dengan menggunakan Travel ke kota Barabai dengan menuju kediaman Haji Fahri, pengurus Lazismu Barabai. Beliau membantu saya dengan mengantarkan saya ke desa Patikalain dari kediaman beliau yang berjarak kurang lebih 1,5 jam dengan kendaraan motor. Pada hari Jumat, 21 Oktober 2022 ada kunjungan dari Baznas Kaltim beserta Bupati dan jajarannya untuk menyerahkan secara simbolik Perpustakan mini Masjid Baiturrahim. Hibah Perpustakaan ini adalah hasil kerja teman-teman KKN Tahap 2 sebagai upaya peningkatan tingkat literasi desa Patikalain. Adapun muatan buku hibah bermacam-macam, mulai dari buku agama hingga buku bacaan anak- anak dan novel. Saya sangat berharap ini menjadi awal yang baik bagi kemajuan desa Patikalain. Acara Baznas ini sekaligus pertemuan perdana saya dengan para dai Meratus seperti Ustaz Fathurrahim, Ustaz Zainuddin yaitu tokoh pembina muallaf di dusun cabai dari Muhammadiyyah.
  3. Di pekan-pekan awal saya bersama rekan kerja KKN yang berjumlah 14 mahasiswa yang terdiri dari 2 posko kerja yaitu posko Papagaran dan Cabai berada di desa Patikalain, seketika kami padat undangan untuk menghadiri undangan Maulid Nabi Muhammad Saw. Hari Ahad, 23 Oktober 2022, Ustaz Fathurrahim beserta beberapa dai Meratus lain mengajak kami untuk turut partisipasi mengisi Maulid Nabi di beberapa wilayah terutama wilayah muallaf. Dusun Papagaran sebagai desa posko kerja kami adalah dusun pertama sebagai destinasi Maulid sekaligus prioritas kami dalam melaksanakan program kerja (proker) kami. Karena keterbatasan transportasi, tentu saya memprioritaskan untuk membawa teman-teman dari posko Papagaran untuk turut menyukseskan program kerja perdana kami. Pada acara ini, kami berbagai tugas seperti menyiapkan konsumsi, dokumentasi, membaca rawi, hingga ceramah. Saya diminta untuk menjadi penceramah karena Ustaz Fathurrahim berharap dengan adanya seorang habib muda yang ber-KKN mampu memberi semangat baru bagi para muallaf. Pada minggu awal KKN, dapat dikata sebagai tour de Maulid bagi saya yang diundang secara eksklusif oleh Ustaz Fathurrahim beserta dai Meratus lainnya. Destinasi maulid antara lain desa Kindingan, Haruyan Dayak, Ilung, hingga Miulan. Seumur hidup saya merayakan ataupun mengisi acara maulid, baru ini saya merasakan benar-benar spirit maulid hadir dalam jiwa saya. Tanpa terasa hingga meneteskan air mata. Hal yang membuat saya trenyuh adalah saya membayangkan bagaimana para pendakwah dan Rasul sendiri menempuh medan yang berat untuk menyebarkan pesan dakwah Islam kepada umat yang belum mengenal Islam. Masya Allah. Minggu kedua, saya dan rekan kerja akhirnya memfokuskan kembali ke desa kerja kami yaitu Patikalaian. Karena saya seharusnya berada di posko Papagaran dan atas pertimbangan DPL karena medan yang sulit kesana hingga digabungkan di posko Cabai, sehingga 1-2 kali dalam seminggu saya perlu mengunjungi Papagaran untuk membina dan melaksanakan program kerja disana.
  4. Saya sendiri disamping menjadi ketua posko, saya membidangi divisi pariwisata dan sosial. Semenjak awal saya tiba di desa Patikalain, saya melihat memang desa Patikalain memiliki potensi yang besar baik dari sektor sumber daya alam maupun pariwisata. Hal ini terbukti ketika hari kedua saya tiba di desa Patikalain, ada 2 Turis asing dari Belgia bernama Mr. Coenan dan Mrs. Lynn berwisata ke Desa Patikalain. Saya sempat mengobrol dengan 2 Turis ini dan bertukar instagram dengan beliau semua. Mereka berdua bercerita bahwa mereka mendapat informasi mengenai Desa Patikalain dari internet dan arahan dari Travel agency. Demi menyukseskan program kerja kami dibidang pariwisata dan sosial ekonomi, tentu perlu analisis dan menentukan skala prioritas sebagai acuan eksekusi program kerja. Salah satunya adalah melakukan survei ke beberapa tempat wisata potensial. Kami melihat ada beberapa destinasi di desa Patikalain yang sangat potensial sebagai destinasi wisata. Beberapa diantaranya yang telah kami survei adalah Puncak Gunung Harungan, Puncak Titian Musang, Balai Adat, dan sentra kerajinan souvenir tradisional khas Dayak seperti simpai dan bakul. Harapan saya beserta rekan kerja adalah mampu mengoptimalisasi dengan membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Beberapa destinasi yang saya sebutkan diatas memang sangat potensial, namun kami menemui kendala pada SDM yang mampu mengelola. Misal pada Puncak Titian Musang, pada dasarnya telah dibentuk Pokdarwis bahkan telah disahkan Bupati Hulu Sungai Tengah serta telah berjalan selama beberapa bulan. Hanya saja terdapat problem ditengah kepengurusan Pokdarwis Puncak Titian Musang sehingga tidak terjadinya kesepahaman dan kekompakan diantara pengurus hingga akhirnya Puncak Titian Musang tidak terkelola dengan baik. Problematika ini juga dikonfirmasi oleh beberapa penduduk yang memiliki kepedulian pada wisata Desa Patikalaian, salah satunya adalah pak Bambang. Pak Bambang merupakan salah seorang penduduk desa Patikalain asli Banyuwangi Jawa Timur dan memiliki track record menghidupkan wisata di dusun Ramang, Patikalain. Beliau pernah membangun sebuah rumah bambu yang didedikasikan sebagai sentra edukasi anak-anak Patikalain sekaligus destinasi wisata. Rumah Bambu pak Bambang sering didatangi para mahasiswa dan turis bahkan pernah diliput oleh salah satu televisi lokal Kalimantan Selatan. Namun sayang, karena masyarakat setempat kurang support sehingga Rumah Bambu yang beliau bina berubah menjadi sarang walet.
  5. Beliau menjelaskan mengapa wisata tidak berkembang di Desa Patikalain adalah karena mindset penduduk Patikalain yang terlalu simplex. Pada dasarnya wisata adalah proyek jangka panjang, sedangkan masyarakat memiliki mindset “hari ini bekerja hari itu juga dapat duit”. Disamping itu, egosentris individu juga menjadi masalah dalam membangun kesepahaman program desa berbasis paguyuban. Pada intinya, beliau menerangkan bahwa hal paling esensial untuk membangun desa Patikalain adalah membangun mindset masyarakat terlebih dahulu. Hasil observasi yang saya temui juga adalah hasil alam desa Patikalain sangatlah melimpah. Mulai dari hasil kebun, tani, hingga alam liar. Beberapa komoditas lazim di desa Patikalain adalah beras gunung, rempah, pisang, jengkol, getah karet, aneka buah-buahan, dan aneka sayur mayur. Sayangnya, masyarakat tidak dapat mengolah hasil bumi mereka dengan baik. Mereka hanya menerapkan rantai dagang secara simplex yaitu panen lalu jual tanpa memiliki keahlian dalam mengelola dan menambah nilai jual hasil bumi mereka. Karena saya memiliki keahlian dalam meracik jamu, maka program kerja yang dilakukan oleh saya beserta rekan kerja saya adalah membentuk pelatihan pembuatan jamu seperti kunyit asem dan bajigur. Dua olahan jamu tersebut sangat tersedia melimpah di Patikalain yaitu kunyit dan jahe. Dengan demikian, diharap solusi yang kami hadirkan atas permasalahan yang kami temui di masyarakat Patikalain mampu meningkatkan taraf hidup dan ekonomi mereka secara kreatif. Saya juga sempat berdiskusi dengan petugas LH yang melakukan kunjungan ke Patikalain dan singgah di warung bapak Masran. Mereka menceritakan bahwa ada masalah pada kultur tanam mereka yaitu kultur “ladang berpindah”. Patikalain diberkati tanah yang sangat subur, sehingga bisa dibilang masyarakat setempat sangat “dimanja” alam. Akhirnya pola tanam mereka tidak pernah menggemburkan tanah dengan alat seperti cangkul. Mereka hanya mengandalkan manugal, dimana menancapkan tongkat ke tanah lalu menanam benih tanaman yang akan ditanam. Setelah kurang lebih 5 tahun, mereka akan membuka lahan baru dan menebang pohon. Inilah sebenarnya salah satu penyebab tragedi longsor dan banjir besar yang terjadi sekitar tahun 2020 lalu. Petugas LH juga mengatakan bahwa tanah yang ditinggalkan sebenarnya masih kaya akan zat hara di bagian lapisan atas, sehingga dengan menggemburkannya dengan cangkul dan diberi pupuk organik akan menanggulangi ladang berpindah.
  6. Permasalahan yang kami temui pula dalam metode dakwah di sana adalah adanya gesekan antar pendakwah dengan embel- embel bendera ormas. Saya maksud bendera disini adalah pendakwah berlatar belakang NU dan Muhammadiyah. Gesekan yang saya maksud disini adalah ungkapan yang berpotensi menimbulkan friksi, apalagi ditengah masyarakat muallaf yang masih polos. Beberapa ungkapan yang saya temui misal dari pendakwah NU adalah “Muhammadiyah adalah Islam KTP”. Begitu juga masyarakat muallaf di Cabai memandang sinis kepada para pendakwah NU. Fenomena keber-agamaan yang terjadi juga adalah adanya anggapan “najis” bagi muallaf mengurusi jenazah non muslim, hingga mereka enggan mengurus jenazah non muslim bahkan kepada orang tuanya sendiri. Ini sempat menjadi gesekan di masyarakat karena pemahaman yang salah ini. Tentu ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi saya sehingga ketika saya mengisi ceramah pengajian rutin di Desa Patikalain, saya selipkan pemahaman moderasi beragama ditengah masyarakat dan meluruskan kembali pemahaman keliru ditengah muallaf dengan bahasa yang mudah dipahami. KKN ditengah masyarakat mayoritas non muslim dan muallaf adalah sebuah tantangan tersendiri bagi saya. Apalagi ditambah fakta bahwa desa ini termasuk desa 3T dengan SDM yang masih rendah serta sulitnya jaringan Internet. Justru inilah sebuah bentuk pengabdian yang sesungguhnya untuk turut membangun masyarakat serta membantu negara pemerataan pendidikan. KKN ini membuka paradigma baru saya terutama makna penting pengabdian kepada masyarakat serta memaknai kembali moderasi dalam beragama. Saya berharap esai singkat saya ini selain sebagai syarat memenuhi tugas laporan KKN, dapat menjadi referensi bagi pihak yang akan melakukan pengabdian atau dakwah khususnya di desa Patikalain. Salim A Vad’aq
Anúncio