Teks tersebut membahas pemikiran sosial politik Jamaluddin Al-Afghani, tokoh pemikir Islam pada abad ke-19 yang berusaha membangkitkan semangat nasionalisme dan melawan imperialisme Barat. Al-Afghani menganjurkan umat Islam untuk kembali ke ajaran dasar agama, melakukan ijtihad, menerapkan sistem demokrasi, dan bersatu dalam persatuan Pan-Islam untuk melawan penjajahan dan mencapai kemajuan.
1. ISLAMIC THINKING AND CIVILIZATION IN THE JAMALUDDIN
AL-AFGHANI LEADERSHIP
(PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA MASA
KEPEMIMPINAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI)
RISKI SHELLIA
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia
Jalan Kaliurang KM. 14,5 Selman, Yogyakarta
E-mail : riskishfathoni0707@gmail.com
1. PENDAHULUAN
Seperti yang telah kita ketahui, benturan-benturan yang terjadi antara Islam dengan
kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka tertinggal jauh dari Eropa.
Negara yang pertama kali merasakan persoalan tersebut adalah kerajaan Turki Utsmani.
Kesadaran itu membuat penguasa dan para pejuang Turki tergugah untuk belajar di Eropa.
Guna pemulihan kembali kekuatan Islam, maka tokoh-tokoh muslim di dunia seperti di benua
Afrika, Mesir, Turki, dan India, mengadakan suatu gerakan pembaharuan (tajdid) yang
dilatarbelakangi oleh tiga hal. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang di
sebabkan oleh faktor-faktor eksternal maupun internal. Kedua, munculnya pengaruh dari
dunia Barat yang semakin kuat terhadap aspek sosial budaya bahkan politik. Ketiga, karena
keunggulan dan kehebatan dunia barat di Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Gerakan pembaharuan sangat lekat dengan politik. Ide politik yang pertama kali muncul,
yaitu Pan Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang diprakarsai oleh gerakan Wahhabiyah
dan Sanusiyah. Setelah itu diteruskan dengan lebih gencar oleh tokoh pemikir Islam yang
bernama Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M).
Jamaluddin Al-Afghani adalah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan
dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk
memperingatkan dunia Islam akan hal itu dan melakukan usaha-usaha yang teliti untuk
mempertahankan kedamaian umat Islam. Beliau juga berusaha membangkitkan semangat
local dan nasionalisme negeri-negeri Islam. Itulah sebabnya Jamaluddin Al-Afghani dikenal
sebagai Bapak Nasionalisme.
2. 2. BIOGRAFI JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang pemimpinan gerakan Islam pada akhir abad ke-
19, yang berbeda dari dua pemimpin sebelumnya yaitu Muhammad Bin Abdul Wahhab
(abad-18) dan Muhammad Bin ‘Ali As-Sanusi (awal abad-19), (Muhammad, 1968).
Jamaluddin Al-Afghani lahir di Afganistan pada tahun 1839 M, dan wafat di Istambul
pada tahun 1897 M. Aktifitasnya berpindah-pindah dari negeri satu ke negeri yang lain. Pada
saat berusia 22 tahun, dia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afganistan.
Pada tahun 1864 M, dia menjadi penasihat Ser Ali Khan. Dia pernah diangkat menjadi
Perdana Menteri oleh A’zham Khan. Pada tahun 1869 M, dia pindah ke India(Rosidul, 2012).
Wataknya terkenal sebagai orang yang pemberani, setia pada cita-citanya dan tidak
pernah memperhatikan pertimbangkan material. Ia mempunyai daya tarik yang hebat
sehingga memiliki kemampuan untuk memasuki kalangan tertinggi pemerintah. Namun,
kemasyhuran Sayyid Jamaluddin Al-Afghani baru terjadi setelah ia wafat, banyak orang yang
mengenangnya sebagai perintis di dunia Islam yang selalu memperjuangkan modernisasi
Islam dan anti-imperialisme (Reshita, 2016).
Gagasan Jamaluddin Al-Afghani banyak mengilhami umat Islam di Turki, Iran Mesir,
dan India. Meskipun beliau sangat anti dengan imperialisme Eropa, tetapi dia mengagungkan
pencapaian ilmu pengetahuan bangsa Barat. Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah
universitas yang khususnya mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi
tantangan kuat dari kalangan ulama ( Aris, 2012)
Sayyid Sand adalah ayah Al-Afghani yang dikenal dengan gelar Shadar Al-Husaini. Ia
termasuk dalam golongan bangsawan terhormat dan mempunyai hubungan nasab dengan
Husein bin Ali r.a., dari pihak Ali At-Tirmizi, seorang perawi hadits. Oleh sebab itu, di
depan nama Jamaluddin al-Afghani diberi titel ‘Sayid’. Keluarga Afghani adalah madzab
Hanafi. Afghani mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, diantaranya adalah bahasa Arab
(sahwi, sharaf, ilmu bayan dan ma’ainanya : ilmu syari’ah yang meliputi tafsir, hadits, dan
musthalahnya, fiqih dan ushulnya : ilmu kalam, ilmu tasawuf, filsafat, logika, etika dan
politik : fisika dan ilmu pasti yang mencangkup matematika, geometri, al-jabar, ilmu
kedokteran dan anatomi (Musthalah, 1991).
Al-Afghani menutut ilmu di negara India selama satu tahun. Selama di India, dia
menekuni sejumlah ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode modern. Kemudian, ia
3. melanjutkan perjalanannya menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan ini
menghabiskan waktu selama satu tahun.
Dengan bekal penguasaan ilmu pengetahuan dan disiplin, Al-Afghani menerbitkan
majalah Al-Uruwatul-Wutsqa dengan tujuan untuk memerkuat rasa persaudaraan umat Islam
dan membawa Islam kepada kemajuan. Menurut Jalamuddin Al-Afghani, agama Islam sesuai
dengan segala bangsa dan perkembangan zaman. Jika terjadi kemunduran, bukan karena
ajaran Islam tetapi karena umat Islam itu sendiri yang jauh meninggalkan ajaran agamanya.
Untuk itu, umat Islam harus kembali pada ajaran Islam yang murni berdasarkan Al-Qur’an
dan Al-Hadits (Rosidul, 2012).
3. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN SOSIAL POLITIK JAMALUDDIN AL-
AFGHANI
Abad ke 19 hingga abad ke 20 merupakan suatu momentum dimana umat Islam
memasuki suatu gerbang baru, gerbang pembaharuan. Fase ini kerap disebut sebagai abad
modernisme, suatu abad dimana umat diperhadapkan dengan kenyataan bahwa Barat jauh
mengungguli mereka. Keadaan ini membuat berbagai respon bermunculan, berbagai
kalangan Islam merespon dengan cara yang berbeda berdasarkan pada corak keislaman
mereka. Ada yang merespon dengan sikap akomodatif dan mengakui bahwa memang umat
sedang terpuruk dan harus mengikuti bangsa Barat agar dapat bangkit dari keterpurukan itu.
Ada pula yang merespon dengan menolak apapun yang datang dari Barat sebab mereka
beranggapan bahwa itu diluar Islam. Kalangan ini menyakini Islamlah yang terbaik dan umat
harus kembali pada dasar-dasar wahyu, kalangan ini kerap disebut dengan kaum revivalis
(Akmal, 2017).
Munculnya sejumlah gerakan pembaharuan di dunia Islam pada abad ke-19, bukanlah
sesuatu yang tanpa sebab. Seperti yang telah disebutkan di atas, setidaknya dapat dibedakan
karena dua hal, yaitu kemunduran dan kerapuhan dunia Islam di satu pihak, dan kolonialisme
barat terhadap dunia Islam di pihak lain.
Berbicara abad pembaharuan dalam Islam, maka tak lepas dari seorang tokoh yang
merupakan sosok penting dalam pembaharuan Islam, Jamaluddin Al-Afghani, seorang
pembaharu yang memiliki keunikan, kekhasan, dan misterinya sendiri. Berangkat dari
pembagian corak keIslaman di atas, Afghani menempati posisi yang unik dalam menanggapi
4. dominasi Barat terhadap Islam. Di satu sisi, Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi
ide-ide yang datang dari Barat, ini dilakukannya demi memperbaiki kemerosotan umat.
Namun di lain sisi, Afghani tampil begitu keras ketika itu berkenaan dengan masalah
kebangsaan atau mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keIslaman. Alhasil, Afghani
memijakkan kedua kakinya di dua sisi berbeda, ia seorang modernis tapi juga fundamentalis
(Black, 2006).
Dengan segenap kesadaran dan semangat intelektual serta tanggung jawab sebagai
seorang muslim, ia hadir demi menegakkan nasionalisme, patriotisme serta yang paling
utama adalah izzul (kemuliaan) Islam. Ia berusaha menyadarkan masyarakat muslim yang
masih sakau dalam mengenang kejayaan Islam di masa lalu, padahal dihadapan mereka
berdiri kekuatan besar imperialisme Barat yang telah menghadang. Menurutnya, sudah
selayaknya Islam bangkit dan melakukan gerakan intelektual ke depan mengikuti gerak
pengetahuan modern.
Dalam perjalanan politiknya, Jamaluddin Al-Afghani ke Mekkah kembali merupakan
awal dari keterlibatannya dalam kegiatan politik Islam internasional. Jamaluddin mulai
mencurahkan perhatian dan pemikirannya pada pembebasan Dunia Islam dari penjajahan
Barat. Ia menyadarkan umat Islam untuk bangkit dan bersatu menciptakan satu kesatuan di
dalam Panji Pan Islamisme. Di setiap negeri muslim yang dikunjunginya tidak lupa Ia
ingatkan tentang bahaya imperialisme bangsa-bangsa Barat. Ia pun tidak hanya mengunjungi
negeri-negeri muslim saja, tetapi juga langsung ke jantung negeri Barat untuk melihat
langsung sistem nilai kehidupan mereka. Ia pernah ke Paris dan Amerika (Hj. Maryam,
2014).
Dari pengembaraannya tersebut, wawasannya pun semakin luas, sehingga Ia dapat
menawarkan berbagai alternative dari permasalahan umat Islam.
Kembali pada ajaran dasar Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Islam adalah agama
komphrehensif . Ia tidak hanya menyangkut ibadah dan hukum, tetapi juga
menyangkut pemerintah dan sosial. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur
dihidupkan kembali dan kesediaan berkorban untuk kepentingan umat. Dengan
berpegangan pada ajaran dasar umat Islam, akan dapat bergerak mencapai kemajuan
(John, 1988).
Dalam menghadapi perkembangan zaman, umat Islam harus tetap membuka lebar
pintu ijtihad. Ijtihad merupaka suatu unsur yang penting dalam ajaran Islam. Melalui
5. ijtihad, masalah-masalah yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat
dipecahkan. Dengan demikian, ijtihad merupakan kunci dinamika Islam (Haidar dan
Syafiq, 1988).
Corak pemerintahan otoritas harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi.
Kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat
yang mempunyai banyak pengalaman. Islam dalam pandangan Al-Afghani,
mengkehendaki pemerintah republic yang di dalamnya terdapat kebebasan
mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara harus tunduk kepada Undang-
undang Dasar. Oleh karena itu, Al-Afghani mengkehendaki umat Islam bebas dari
pemerintah kolonial (John, 1988).
Persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan
kerjasama yang eratlah, umat Islam akan dapat kembali memperoleh kemajuan.
Dalam pandangan Al-Afghani, kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam bergantung
kepada kekuatan solidaritas Islam. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang
penting dalam Islam (Ibid, anonim tahun).
Menurut Jamaluddin, dunia Islam menghadapi penyakit kronis yang menggerogoti
masyarakat, sehingga umat Islam tidak mampu menegakkan kepala mereka berhadapan
dengan bangsa-bangsa lain. Penyakit itu adalah absolutisme dan despotisme penguasa
muslim, sikap keras kepala dan keterbelakangan umat Islam dalam sains dan peradaban,
menyebarnya pemikiran-pemikiran yang korup dan merusak cara berfikir umat Islam seperti
Takhayyul, bid’ah dan khurafat, serta kolonialisme dan imperialism Barat (Iqbal, 2010).
Untuk mengobati penyakit ini Ia menggerakkan rakyat untuk mengadakan revolusi dan
perombakan terhadap pemerintahan yang absolut. Selain itu, ia juga berusaha memperbaiki
akidah umat yang telah terkontaminasi, dengan mengembalikan mereka kepada sistem
kepercayaan (akidah) Islam yang benar, penyimpangan dari akidah Islam ini membuat umat
Islam tidak mampu menjadi umat yang terhormat. Ia yakin bahwa Islam, bila dipahami dan
diamalkan dengan benar, dapat memimpin umatnya ke arah kemajuan dan membebaskan
mereka dari otoritanisme penguasa serta kolonialisme bangsa-bangsa asing.
Pada zamannya , Barat ternyata tidak hanya menguasai negeri muslim, tetapi juga ingin
menerapkan sistem sosial, politik, ekonomi, kebudayaan , dan hukum mereka terhadap dunia
Islam. Di kalangan sebagian umat Islam bahkan muncul anggapan bahwa kemajuan umat
Islam hanya bisa dicapai dengan mengadopsi semua sistem nilai Barat. Mereka memang silau
6. terhadap nilai-nilai Barat. Namun Jamaluddin menekankan perjuangan pada pentingnya
kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang benar dan membangkitkan kesadaran religi umat
Islam guna mengenyahkan pemerintahan otoriter dan kolonialisme yang berdiri di
belakangnya. Dalam lingkup yang lebih luas, Ia menganjurkan persatuan dan kesatuan umat
Islam se-dunia dalam Pan-Islamisme (Dewan Redaksi, 1994).
Pandangannya tentang Pan-Islamisme dan bahaya penjajahan Barat memperoleh
sambutan dan simpati dari rakyat dan pemerintah Usmani di Turki. Bahkan ia juga di angkat
menjadi anggota kehormatan Majelis Pendidikan Usmani, di samping diundang untuk
berceramah di mana-mana. Namun hal ini membuat tidak senang sebagian ulama istana yang
terlanjur dekat dengan kekuasaan. Salah seorang Syekh Al-Islam dan mufti kerajaan
memfitnahnya. Melihat gelagat yang tidak baik ini, akhirnya Al-Afghani hengkang dari Turki
menuju Hijaz. Setelah itu Ia kembali lagi ke Mesir pada tahun 1871.
Belajar dari pengalamannya, di Mesir ia mulai menjauhi aktivitas politik. Ia mulai
memusatkan perhatiannya pada aktivitas pendidikan. Ia lebih banyak mengajar dan rumahnya
dijadikan sebagai sekolah. Banyak muridnya yang berasal dari berbagai kalangan, seperti
dosen, mahasiswa, karyawan dan ahli hukum yang datang kepadanya. Disini, Ia
mengembangkan ilmu yang selama ini diperolehnya dan bertemu dengan Muhammad Abduh,
yang kemudian menjadi murid setianya dan bersama-sama mereka berjuang mewujudkan
cita-cita mereka. Abduh tertarik pada Jamaluddin karena metode pengajarannya yang lebih
mengutamakan nalar, analisis dan cara berfikir filosofis. Bahkan ketika ada di Paris pada
tahun 1884 mereka bersama-sama mendirikan Al-Urwah alwutsqa, sebuah majalah yang
banyak memuat tema-tema kebangkitan Islam dan penolakan terhadap pemerintahan
imperialism Barat di Negara-negara muslim namun majalah ini hanya bertahan sampai 18
edisi, karena penjajah Barat di beberapa wilayah Islam melarang penyebarannya. Majalah ini
dianggap berbahaya bagi kepentingan kolonialisme dan imperialism mereka. Majalah ini
terbit pertama kali pada Jumadil Ula 1301/Maret 1884 dan edisi terakhir pada 26 Dzulhijjah
1301/17 oktober 1884 (Nasution, 1975).
Ketika berada di Mesir, Ia melihat Inggris sudah terlalu jauh mencampuri urusan dalam
negeri Mesir. Karen itu, sebagai seorang yang memang pernah ditempa dalam lapangan
politik, Ia tidak bisa tinggal diam melihat keadaan demikian. Sebagai bentuk protes Ia
mendirikan Partai Nasional (Hisbul qwathan) dan mengembangkan slogan Al-Mishr li Al-
Misriyyin (mesir untuk orang mesir). Akhirnya dalam sebuah konspirasi, Inggris berhasil
7. menghasut penguasa Mesir untuk mengusir Al-Afghani. Akhirnya ia dibuang ke India dan
ditahan di sana pada tahun 1879. Dari India, Ia menjalani kehidupan yang mobile, seperti di
London, Paris, Teheran, dan Istambul. Pada 9 Maret 1897, Jamaluddin mengakhiri hidupnya
dalam usia 59 tahun kerena penyakit kanker (Amin, 1979).
4. IDE-IDE POLITIK JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Dengan luasnya wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Al-Afghani yang
didapatnya dari sejumlah gurunya dan banyaknya pengalaman yang ia dapakan dari hasil
perjalanannya ke berbagai wilayah di penjuru dunia, maka munculah ide dan kemauan yang
sangat kuat untuk mengadakan pembaruan di dunia islam (Noorthaibah, 2015).
Munculnya suatu gagasan pemikiran yang dianggap baru dan orisinil dari seorang
pemikir, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan lingkungan di
mana obyek pemikiran itu ditujukan. Sehingga suatu ide pemikiran biasa muncul dari adanya
anomali dari suatu pemikiran, kemudian berusaha untuk memberikan suatu paradigma baru
dari pemikiran dan kondisi tersebut.
Demikian halnya Jamaluddin Al-Afghani dalam melihat kondisi riil masyarakat dan
dunia Islam yang semula mencapai kejayaan, lalu kemudian terjadi suatu stagnasi pemikiran,
menyebabkan umat Islam berada dalam trauma kekalahan demi kekalahan. Dunia Islam
berada dalam himpitan dan kekuasaan para penjajah dari Barat, yang sebelumnya amat jauh
dari apa yang telah digapai oleh umat Islam, bahkan umat Islam menjadi tumpuan dan
harapan bagi dunia luar.
Dalam kondisi yang demikian Jamaluddin Al-Afghani berkesimpulan bahwa
kemunduran Islam bukanlah karena ajaran Islam sebagaimana yang banyak diduga dan
dilontarkan oleh orang-orang yang tidak senang kepada Islam, sehingga Islam dianggap tidak
sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi baru (Hj. Maryam, 2014).
Usaha yang dilakukan oleh Al-Afghani dalam mewujudkan pembaruan ialah
menyebarkan ide-ide pembaruan kepada segenap lapisan umat islam. Usaha tersebut
dilakuakan dengan berbagai cara, antara lain: pertama, melalui pengajian yang diadakan di
rumahnya di jalan Khan Halili yang dihadiri oleh para ulama terkemuka seperti Syekh
Muhammad Abdullah, Syekh Abdul Kairm Salman, Syekh Ibrahim al-laqani, Sa’ad Zaglul
dan lain-lain, dengan pembahasan kitabkitab politik, tasawuf, logika, dan filsafat. Cara kedua
melalui ceramah-ceramah dan diskusi yang sifatnya intelektual di frum persaudaraan, pada
8. umumnya dihadiri oleh kalangan sastrawan, seniman, budayawan, politikus dan agamawan,
dengan pembahasan di sekitar sastra dan perjuangan bangsa. Di sini ia berusaha
membelokkan arah orientasi sastra yang pada saat itu terarah kepada keagungan dan
gemetrlapan kalangan atas (aristoktar) ke arah kalangan bawah yaitu rakyat dengan segala
penderitaan, keterbelakangan, dan kemiskinan (Noorthaibah, 2015).
Karena itu untuk membangun pemerintahan yang bersih dan kuat dalam menghadapi
segenap problematika yang terjadi, yang pertama kali dibangun adalah masyarakatnya. Harus
ada perubahan orientasi pemikiran dalam masyarakat, dari keterpakuan serta sikap menerima
saja terhadap pemerintahan yang ada menuju upaya perubahan terhadap kondisi yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam tersebut. Menurut Jamaluddin, pada hakekatnya
kekuatan sebuah masyarakat akan bernilai bila timbul dari dalam diri mereka sendiri.
Lembaga perwakilan rakyat bersifat netral dan bisa menentukan bentuk pemerintahan,
apakah kerajaan, kesultanan atau pemerintahan yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan
asing. Lembaga perwakilan tersebut sangat tergantung pada orang-orang yang akan
mengisinya. Oleh sebab itu, pemikiran dan jiwa masyarakat harus terlebih dahulu dibangun
dan dibenahi, barulah bisa dibicarakan bagimana bentuk dan sistem pemerintahan (Amin,
1979).
Untuk usaha ini Jamaluddin menekankan revolusi yang didasarkan pada kekuatan rakyat,
sehingga tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai. Dalam pandangannya yang revolusioner ini,
Jamaluddin selalu memprovokasi umat Islam di negara di mana ia berkunjung agar
menentang kesewenang-wenangan penguasa mereka. Rakyat harus merebut kebebasan dan
kemerdekaannya melalui revolusi, yang berarti melalui pemberontakan, kalau perlu dengan
pertumpahan darah. Menurut Jamaluddin, kalau ada sejumlah hal yang harus direbut tanpa
ditunggu sebagai hadiah, maka kebebasan dan kemerdekaan adalah dua hal diantaranya
(Sjadzali, 1991). Bahkan tidak jarang ia terlibat langsung dalam gerakan politik bawah tanah.
Ketika berada di Mesir, Ia juga menganjurkan pembentukan pemerintah rakyat melalui
partisipasi rakyat dalam pemerintahan konstitusional sejati. Ia menggemakan tentang
keharusan pembentukan dewan perwakilan rakyat yang disusun sesuai dengan keinginan
rakyat. Anggotaanggotanya harus berasal dari pilihan rakyat, bukan pilihan penguasa atau
“pesanan” kekuatan asing. Dari pemikiran Jamaluddin ini, Harun menyimpulkan bahwa
Jamaluddin menghendaki bentuk pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat
kebebasan rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan kewajiban penguasa untuk tunduk pada
konstitusi (Nasution, 1975).
9. Dalam kehidupannya, Jamaluddin menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu penguasa-
penguasa muslim yang korup yang hanya menjadi boneka dari imperialisme Barat dan
penjajah Barat sendiri. Ketika itu, hampir tidak ada wilayah Islam yang tidak dikuasai Barat.
Inggris menguasai Mesir, demikian juga India setelah kehancuran Dinasti Mughal. Inggris
juga menjajah Afghanistan dan Afrika, Perancis menjajah Aljazair, dan wilayah-wilayah lain
serta Italia yang menguasai Libya. Sementara Asia Tenggara pun dikuasai oleh Inggris dan
Belanda. Penguasa-penguasa muslim, karena takut kehilangan kedudukan mereka, rela
bekerjasama dengan imperialis Barat. Sistem Khilafah yang mengikat seluruh umat Islam,
secara perlahan mengalami kemerosotan dan berganti dengan ideologi nasionalisme yang
diadopsi dari Barat.
Dalam dakwahnya, Jamaludin Al-Afghani selalu menyatakan bahwa Inggris itu adalah
perampas kehormatan, pelanggar hak-hak azasi manusia dengan memaksa manusia sebagai
budak. Ia juga menegaskan kepada umat Islam bahwa agama suci ini memerintahkan untuk
mengusir penjajah dari negeri mereka, dan untuk tidak mengakui kekuasaan asing yang
mengusai negara umat Islam, bahkan penjajah-penjajah itu harus dilawan dengan senjata
(Saefuddin, 2003).
Atas dasar tersebut di atas, maka Jamaluddin menekankan perlunya dunia Islam bersatu
padu melawan kekuatan asing dalam wadah Pan Islamisme. Jamaluddin menilai bahwa
sumber kelemahan dunia Islam adalah lemahnya solidaritas umat Islam. Barat tidak lebih
kuat dari umat Islam bila saja mereka mau bersatu menghadapinya. Persatuan dan kesatuan
umat Islam sudah lemah sekali. Di antara pemimpin Negara Islam saja kadang-kadang saling
menjatuhkan. Di antara Ulama juga sering tidak memiliki komunikasi. Karena itu, umat harus
bersatu dalam Pan Islamisme (Hj. Maryam, 2014).
Untuk mencapai cita-cita ini, Jamaluddin menawarkan langkah-langkah seperti kembali
kepada pemahaman keislaman yang benar dan menghilangkan taklid, bid’ah, khurafat,
menyucikan hati dengan mengembangkan akhlak al- karimah (budi pekerti yang luhur), dan
mengembangkan musyawarah dengan berbagai kelompok dalam masyarakat (Nasution,
1975).
Dari aktivitas dan gagasan politik Jamaluddin, sangat tepat kiranya kalau dikatakan
bahwa Jamaluddin adalah orang yang pertama dalam era Islam modern yang menyadari
bahaya penetrasi Barat dan perpecahan dunia Islam. Jamaluddin tidak hanya teoretis, tetapi
juga berusaha mencari solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam.
10. Gerakan dan gagasan-gagasannya memberi ilham bagi negara-negara Islam untuk bangkit
dari keterpurukan mereka karena pejajah Barat dan merebut kembali kemerdekaan mereka.
Dalam konteks kontemporer, gagasan-gagasan Jamaluddin sangat penting dikembangkan
dalam rangka menghadapi percaturan global. Umat Islam tidak akan bisa maju tanpa
persatuan dan kesatuan. Tanpa memiliki komitmen persatuan, mereka akan sulit berkompetisi
menghadapi kekuatan ekonomi dan kemajuan teknologi, bangsa-bangsa lain, terutama
bangsa-bangsa Barat. Kekayaan sumber daya alam yang mereka memiliki hanya akan
menjadi sasaran empuk para kapitalis modern untuk dikuras dan diekspoloitasi demi
kepentingan Negara-negara maju. Dengan dalih liberalisasi , globalisasi dan ekonomi pasar,
pasar bebas dan segala dalih lainnya, kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh Barat , akan
mudah menanamkan modalnya di Negara-negara muslim yang kaya sumber daya alamnya.
Akhirnya yang terjadi adalah penjajahan model baru bangsa-bangsa Barat terhadap dunia
Islam, Yaitu eksploitasi sumber daya alam bangsa-bangsa Muslim oleh Barat.
Oleh banyak kalangan Muslim, Jamaluddin Al-Afghani dipandang sebagai seorang
pahlawan besar yang mencurahkan hidupnya untuk membela Islam dari serangan Barat, tidak
hanya secara keagamaan, inteletual dan kultural melainkan juga politik (Amin, 2000). Al-
Afghani adalah salah seorang pelopor pemikiran politik Islam modern paling terkemuka yang
mengilhami munculnya berbagai gerakan sosial-politik di seluruh dunia Muslim. Terkenal
sebagai orator ulung dan politikus sejati, Al-Afghani selalu mendasarkan kegiatan agama dan
politiknya pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Ia adalah seorang yang anti
terhadap pemerintahan otoriter (Azra, 2002).
Adapun ide-ide pembaharuan Jamaludin Al-Afghani, dalam bidang politik adalah
sebagai berikut:
1. Pan-Islamisme : Salah satu ide Al-Afghani yang paling populer adalah Pan-
Islamisme. Ia bahkan dianggap orang yang paling bertanggung jawab dengan ide
tersebut. Dengan pemikiran ini, Al-Afghani umumnya dipandang sebagai
penganjur yang sebenarnya entitas politik Islam universal yang pada proyek
politiknya terpusat pada Pan-Islamisme atau persatuan dan kesatuan Negara
Muslim (Hossein, 1994).
2. Al-Hizb al-Wathani (Partai Nasional) dan Pemerintahan Republik : Menurut
Jamaluddin Al-Afghani, sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi umat
Muslim adalah pemerintahan konstisusional atau republik dan konsep
11. kewarganegaraan aktif. Bukannya tanpa sebab, pemerintahan otoriter tidaklah
jauh berbeda dengan tirani. Bentuk pemerintahan seperti ini menafikan keaktifan
warga negara selain juga rentan terhadap monopoli asing yang langsung tertuju
pada penguasa suatu negara. Hasilnya dapat dilihat, dengan mudahnya
imperialisme Barat menguasai serta mengintervensi bentuk pemerintahan absolut
yang banyak digunakan sebagai sistem pemerintahan di banyak negara Islam
(Akmal, 2017).
3. Tidak ada Pemisahan Antara Agama dan Politik : Politik merupakan sesuatu
yang penting, karena menyangkut perkara yang berkaitan dengan pemerintahan
suatu Negara. Keteraturan hidup manusia dalam sebuah Negara banyak
bergantung pada kestabilan politiknya. Politik juga sangat menentukan corak
sosial, ekonomi, budaya, hukum dan berbagai aspek kehidupan lainnya
(Supriyadi, 2008).
4. Ide Tentang Modernitas : Kalau dipahami secara seksama tentang penyebab
kemunduran umat Islam selama ini adalah munculnya sikap fatalisme di kalangan
umat, yang menyebabkan terjadinya pembatasan kreativitas, sehingga ide-ide
kreatif tidak lagi muncul dari umat Islam. Semua ini mendorong terjadinya
ketertinggalan, kemiskinan dan kebodohan umat Islam itu sendiri. Dimana
membuat mereka dapat dikuasai dan dipermainkan oleh negara-negara Barat
modern, yang sangat menghargai akal dan cara berfikir rasional serta prinsip
hukum kualitas. Selain itu pemahaman terhadap ajaran Islam yang kurang tepat,
juga merupakan faktor penyebab kemunduran umat Islam selama ini (Akmal,
2017).
5. KESIMPULAN
Dari apa yang telah diungkapkan dalam pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Jamaludin AlAfghani adalah salah seorang rokoh reformis Islam yang memiliki ide-
ide kreatif dalam mengembalikan semangat juang umat Islam, terutama dalam hal
menentang penjajahan negara Barat modern dan melenyapkan sikap taklid dikalangan
umat, dimana sikap ini telah membelenggu pada pola pikir rasional umat.
2. Pembaharuan pemikiran Islam Jamaluddin Al-Afghani, dilatar belakangi oleh kondisi
riil masyarakat dan dunia Islam yang dilanda keterpurukan dan keterbelakangan baik
12. dari aspek kehidupan sosial masyarakat maupun dari aspek kehidupan keberagamaan,
yang berada pada masa-masa kejumudan. Hal demikian ini terjadi, disamping karena
persoalan internal umat yang telah salah memahami ajaran agamanya, maupun karena
persoalan eksternal yang diakibatkan oleh penjajahan Dunia Barat, terutama Inggris
yang mampu menaklukkan Negara-negara Islam. Berdasarkan kondisi riil masyarakat
muslim dan Dunia Islam saat itu, maka Jamaluddin Al-Afghani mengadakan penataan
dengan pendekatan rasional dan pemikiran bebasnya, melihat ajaran yang diyakini
sebagai sumber kebenaran, dan bahkan telah mampu mengantarkan umat pada
kejayaan masa lalunya. Untuk menumbuhkan kembali kekuatan pertahanan umat dan
Dunia Islam, maka Jamaluddin Al-Afghani menggagas konsep solidaritas umat yang
dibangun atas dasar kesatuan dan persatuan umat dan Dunia Islam, kemudian
dikembangkan menjadi kesatuan ideologi politik, dalam kerangka kesatuan dan
keragaman, lalu diberi label dengan Pan Islamisme.
3. Ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani dengan Pan-Islamismenya sebagai ideologi
politik, mampu menginspirasi umat Islam dan Dunia Islam kedalam persatuan,
bahkan menumbuhkembangkan semangat nasionalisme di kalangan umat dan Negara-
negara Islam. Sebagai bukti konkrit, Dunia Islam mampu mewujudkan lembaga-
lembaga resmi yang beranggotakan Negara-negara yang berpenduduk muslim sebagai
wadah untuk membicarakan kepentingan Islam dan Dunia Islam seperti OKI, CIC dan
lembaga lain yang dianggap relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
umat dan Dunia Islam sampai hari lain.
4. Dalam perjuangan politiknya, Al-Afghani kerap berpindah-pindah dari satu negara ke
negara lain, ini dilakukannya sebab seringkali pada suatu negara ia mengalami
pengusiran oleh penguasa setempat. Jika kita amati kronologi perjalanan hidup Al-
Afghani, maka kita akan mendapati agenda beliau dipenuhi dengan aktivitas politik.
Talenta politik ini memang sudah tampak sejak dini. Pada usia 22 tahun, ia membantu
pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan, lalu pada usia kurang lebih 25 tahun
ia menjadi penasihat Sher Ali Khan, dan beberapa tahun setelah itu Al-Afghani
diangkat sebagai perdana menteri oleh A’zam Khan.
13. REFERENSI
.
Akmal Hawi., 2017. PEMIKIRAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI (1838 – 1897 M).
Vol.16, No.1,. Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
Amin Ahmad., 1979. Zuy’ama al-Ishlah fi al-Ashr al-Hadits. Buku. (Kairo : Al-Wahdah al-
Mishriyah), hal. 64.
Amin, Husayn Ahmad., 2000. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Aris Budi Santoso, S.Pd.I., 2012. Pendidikan Tarikh SMA/SMK/MA Muhammadiyah kelas
12. Buku. Yogyakarta. Hal. 69-70
Azra, Azyumardi., 2002. Historiografi Islam Kontemporer : Wacana Aktualitas dan Aktor
Sejarah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Black, Antony. Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Serambi. 2006.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam. Buku. V (Jakarta : PT. Ichtiar Baru
Van Houve, 1994), hal. 79
Haidar B dan Syafiq B(ed.).,1988. Ijtihad Dalam Sorotan. Mirzan. Buku. Jakarta. Hal. 113
Hj. Maryam, 2014. Jurnal Politik Profetik. Volume 4 Nomor 2.
Hossein Nasr, Seyyed., 1994. Menjelajah Dunia Modern : Bimbingan Untuk Kaum Muda
Muslim, Bandung : Mizan. Ibid, anonim tahun.
Iqbal Muhammad., 2010. Pemikiran Politik dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer. Buku. (Cet. I : Jakarta. Kencana), h. 60
John L.Espositto., 1988. IslamThe Straight Path. Oxford University Press. New York. Buku.
Hal. 130
Muhammad al-Bahiy, 1968. Pemikiran Islam Modern. Pustaka Panji Mas. Jakarta
Musthalah Maufur, 1991. Jamaluddin al-Afghani. PMP Gontor PSIA.
Nasution Harun. Pembaharu Dalam Islam. Buku. (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hal. 53
Noorthaibah, 2015. Pemikiran Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani: Studi Pemikiran Kalam
tentang Takdir. Volume 7, No 2. IAIN Samarinda, Indonesia.
Reshita Gusti Vianinggar., 2016. PENGARUH PEMIKIRAN SAYYID JAMALUDDIN
AL-AFGHANI DALAM PEMBAHARUAN ISLAM TERHADAP PERGERAKAN
POLITIK DI MESIR TAHUN 1876-1879. Skripsi. Universitas PGRI. Yogyakarta.
14. Rosidul Anwar, M.Pd.I,. 2012. Pendidikan Tarikh SMA/SMK/MA Muhammadiyah kelas 11.
Buku. Yogyakarta. Hal. 67
Saefuddin, Didin., 2003. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam : Biografi Intelektual 17
Tokoh, Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
Sjadzali, Munawir., I1991. Islam dan Tata Negara. Buku. (Jakarta : UI Press), hal. 129
Supriyadi, Dedi., 2008. Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia.