Dokumen tersebut membahas tentang masalah yang ditimbulkan oleh perusahaan penambangan asing di Indonesia, termasuk kerusakan lingkungan, pengusiran masyarakat lokal tanpa kompensasi, serta keuntungan besar yang diperoleh perusahaan tetapi kontribusi kepada negara yang sangat kecil. Dokumen ini menyerukan agar pemerintah mengkaji kembali kehadiran perusahaan penambangan asing di Indonesia.
1. J A R I N G A N K E R J A P E M E T A A N P A R T I S I P A T I F
KABAR
•oto: Dokumen Latin
Edisi Nopember 1999
DIterbltkan Oleh:
Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP)
Penanggung Jawab:
Restu Achmaliadi (Ganden)
Tim Redaksi
Restu Actimaliadi (Ganden)
Sentot Setyasiswanto
Agung Yudhawiranata
Utami Nurul Hayati
IVIoh.Djauhari (Kacong)
Grafis
ti. Djauhari (Kacong)
I Redaksi
Dunia Tambang, Buka Mata •
Buka Telinga
I Topik Utama
Dosa-Dosa Penambang Asing
Sisipan (tial 8-9): Prinsip dan
Kode Etik Pennetaan Partisipatif
I Teori
Penginderaan Jarak Jauti
I Kasus
PT INCO Membawa Masalah
di Bahomatefe
iKronik
Rapat Kerja Dewan AMAN
di Tana Toraja
Pelatifian Pemetaan Laut
di Togean
Lokakarya Desentralisasi
Kalimantan Barat
y N T U K K A L A N G A N T E R I A T A S
Redaksi memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk
menyumbangkan artikel yang berupa kritikan, tanggapan maupun
teori-teori yang berkenaan dengan isu-isu ruang
OSA-DOSA
2. R E D A K S I
Kalau saja mau mencermati lebih jauh
tentang kekayaan alam Negara Republik Indonesia,
tentu saja sumberdaya tambang akan menjadi
bahasan kedua setelah sumberdaya hutan. Apalagi
dalam kondisi yang sekarang ini, saat dimana sektor
lainnya ambruk, sektor kehutanan dan pertambangan
akan menjadi prioritas bagi perbaikan ekonomi In-
donesia atau paling tidak bisa mengurangi pinjaman
luar negeri Indonesia untuk saat-saat mendatang.
Tambang seperti halnya hutan termasukyang
dikuasai oleh negara yang hasil pemanfaatannya
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti
apa yang tercantum dalam pasal 33 ayat 3 tJUD 1945. Namun
kenyataannya setelah berpuluh-puluh tahun dari era Soekarno
sampai saat kini, pada tingkatan praktek pasal tersebut hanya
sekedar menjadi tameng pemerintah untuk melegalkan
tindakannya dalam mengeluarkan perundang-undangan yang
berhubungan dengan sumberdaya alam di bawahnya (Undang-
tJndang , Kepres, Kepmen, dsb) yang tidak pernah
mempertimbangkan kejadian, kondisi dan keinginan sebenarnya
di masyarakat. Bahkan cenderung melanggengkan usaha
monopolistik dan kolutif (baca kkn) pejabat pemerintah dan
pengusaha baik pusat maupun daerah untuk tetap mengambil
keuntungan demi kebutuhan pribadi mereka.
Manajemen pengelolaan pun sentralistrik. Daerah tidak
banyak kebagian hasilnya. Yang ada hanya dampak kerusakannya
(coba lihat dan teliti beberapa kasus besar pertambangan seperti
kasus tambang emas Freeport Irian Jaya, kasus pertambangan
emas Busang, kasus pertambangan emas Pongkor Bogor, kasus
Pertamina dan lain sebagainya yang beberapa waktu yang lalu
menjadi pembicaraan hangatdi bumi Indonesia ini). Pendapatan
hasil tambang mengalirderas ke luar Indonesia -tercatat hampir
seluruhnya perusahaan pertambangan besar yang beroperasi di
Indonesia adalah perusahaan-perusahaan modal asing negara-
negara maju seperti Amerika, Kanada dan Australia- negara hanya
kebagian 10%-nya, itu pun kalau semuanya masuk ke kantong
negara. Belum lagi tersingkirnya pertambangan rakyat yang oleh
pemerintah sendiri dianggap perusak Iingkungan dan tidak
menguntungkan bagi peningkatan ekonomi negara.
Konflik antara pemerintah, masyarakat dan perusahaan
tambang menjadikan suatu hal yang sulit dipecahkan. Pemerintah
dan perusahaan selalu menjadi pihak yang dimenangkan atas
rakyat dan negara. Isunya pun sulit mengemuka, terberangus
DUNIA
TAMBANG
Buk a M ata Buk a Telinga
isu politik yang kian hari kian
menarik.
Kritik dan masukan dari
berbagai kalangan khususnya
pemerhati Iingkungan (LSM
Iingkungan) mulai diterbarkan ke berbagai pintu-pintu
pemerintahan baik ke kabinet maupun ke parlemen. Dan tak urung
pula mencuat permintaan untuk mengamandemenkan pasal 33
ayat 3 UtJD 1945. Perlukah pasal ini diamandemenkan? Yang
jelas itu merupakan tugas kita semua baik yang duduk di
parlemen, kabinet maupun kalangan pemerhati permasalahan
sumberdaya alam.
Yang menjadi harapan ke depan, yang juga merupakan-
tugas pemerintahan baru pasca Habibie ~Gus Dur dan Mega-
adalah bagaimana caranya mengkaji ulang dan memperbaiki
perundang-undangan yang berkenaan dengan pertambangan
supaya rakyat dan negara serta Iingkungan tidak dirugikan. Dan
yang terpenting lagi adalah bagaimana caranya menyadarkan
pejabat pemerintah agar memiiiki moral yang baik dan visi
kerakyatan yang kuat.
Oleh karena itu di edisi yang keenam ini, Kabar JKPP
mencoba memaparkan sedikit tentang permasalahan
pertambangan di Indonesia yang berkenaan dengan beberapa
kebijakan pemerintah mengenai pertambangan dikaitkan dengan
beberapa sengketa pertambangan yang terjadi dilapangan, di
beberapa wilayah yang rawan konflik atas sumberdaya tambang.
Selain itu juga mencoba untuk membuka penglihatan pemerintah,
masyarakat maupun pengusaha bahwa masalah sumberdaya
tambang merupakan masalah yang sangat panting untuk diketahui
dan dipikirkan oleh semua pihak. m. Kacong
2
3. T o p i k U t a m a
DOSMXJSA
PENAMBANG
ASING
Sejak tahun 1967,
penambang asing antri
berdatangan untuk berinvestasi
di sektor pertambangan
Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh berubahnya kebijakan di
sektor pertambangan yang
diikuti perubahan kebijakan di
sektor modal asing semasa
Soeharto berkuasa. Selama tiga
dekade terakhir, tak kurang dari
10 perusahaan besar penambang raksasa manca negara telah
menanamkan uangnya milyaran dollar di bumi Indonesia.
Berbagai bahan galian seperti emas, batubara, minyak
bumi, gas, dan bahan-bahan endapan lainnya dikeruk oleh
perusahaan penambang asing tersebut. Pengerukannya pun tidak
tanggung-tanggung, bisa mencapai jutaan ton pertahunnya.
Sehingga keuntungan yang didapat oleh perusahan tersebut juga
sangatlah besar. '
Tidaklah aneh jika keuntungan yang diraih oleh perusahan
penambang asing selama ini begitu banyak, mengingat wilayah
yang dikuasainya melalui Kontrak Karya (KK), begitu luas.
Wahana Iingkungan Hidup (WALHI) dalam hasil surveinya tahun
1996 mengungkap, bahwa total keseluruhan wilayah kontrak karya
(WKK) yang diberikan pemerintah kepada perusahan
penambangan asing tersebut mencapai 36.016.737,16 ha. Kalau
saja WKK tersebut dikumpulkan menjadi satu luasnya melebihi
has Pulau Jawa.
Ambil saja contoh, Freeport di Irian Jaya. Perusahaan
peranbxigan emas asing pertama ini, mulai masuk tahun 1971
dengan total WKK, seluas 100 ribu hektar. Kemudian ditambah
WKKtahun 1991 menjadi 2,6juta hektardisepanjang pegunungan
Irian Jaya. Sementara emas yang dikeruk dari perut bumi Irian
mencapai 1,72 juta ton, plus kandungan tembaga yang mencapai
20 juta ton. Dengan nilai investasi hingga tahun 1996 tJS$
3.481.728.000, Keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan
tersebut, mencapai US$ 416 juta setiap tahunnya. Bahkan pada
tahun 1994, perusahaan asal Amerika ini pernah meraup
keuntungan mencapai US$ 1,1 milyar. Dari penghasilan tersebut
hanya 12,5 % yang diserahkan kepada negara dalam bentuk pajak,
deviden dan royaiti, sehingga keuntungan yang diperoleh
Freeport masih tetap besar.
I Diperkirakan PT Freport Indonesia saat ini sudah bisa
menutup modal awalnya, melihat keuntungan yang diraup
belakangan ini cukup besar. Goerge Adijtondro, seorang peneiiti
yang tinggal di Australia memperkirakan bahwa dari hasil tembaga
saja PT Freport Indonesia sudah bisa menutup seluruh biaya
produksi. Sementara deposit emas yang diperoleh jadi
keuntungan bersih. - . -• •
Sampai tahun 1996 saja tercatat 11 perusahaan besar
yang mendapat persetujuan KK dari pemerintah. Kesebelas KK
tersebut meliputi Irian Jaya, dua di Sumatra Selatan, dua di
Kalimantan Tengah, Pulau Karimun, Maluku, Kalimantan Timur,
dan Sulawesi Utara, dengan jumlah total investasi hingga tahun
1996, mencapai,tJS$ 51,233 milyar minus PT Newmount
Minahasa. Umumnya lokasi KK tersebut berada di luar Jawa
dengan tujuan paling banyak mengeruk emas, tembaga dan
batubara.
Dosa Penambang Asing
Ibarat air susu dibalas air tuba. Mungkin ungkapan itulah
ungkapan yang cocok diberikan kepada perusahan penambangan
asing yang beroperasi di Indonesia. Bagaimana tidak selama ini
mereka sudah mengeruk keuntungan yang berlimpah dari perut
bumi Indonesia, namun tidak banyak kontribusi yang mereka
berikan kepada rakyat dan negara ini. Hanya kumpulan kepedihan
dan konflik yang mereka tumpuk di bumi kita Indonesia.
Pemasukan yang mereka berikan kepada negara juga
tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka peroleh selama
ini. Pemasukan negara dari sektor pertambangan cenderung
sangat kecil. Pada tahun 1996 saja pemasukan negara dari pajak
dan non pajak sekitar Rp. 636 milyar. Dibandingkan dengan
keuntungan perusahaan penambangan asing, jumlah tersebut
4. c
!S
E
c T
a «
1 1
3
i t
ta
I g
z
1992 211.939 85.147 297.086
Tabel 1 1993 219.625 86.995 306.620
Penerimaan Negara 1994 199.494 74.881 274.375
dari Kontrak Karya 1995 206.932 62.622 269.544
I'eriode 1992-1996 1996 514.258 122.028 636.286
Sumber: Diolah dari data yang terkumpul di Jaringan Tambang Indonesia
mungkin hanya tiga persennya saja sehingga jumlah tersebut
sangat tidak relevan.
Dalam bukunya Merana di Tengah Kelimpahan, Dianto
Bachriadi menjelaskan tidak sebandingnya antara keuntungan
yang diperoleh perusahaan penambangan asing dengan
pendapatan royaiti yang diterima pemerintah. Jika dalam
perusahaan asing memiiiki kapasitas produksi 8,5 ton setiap
tahun emas dan perak sebesar 10,6 ton setiap tahun, maka
kewajiban pemilik kontrak karya tersebut untuk memberikan
royaiti sebanyak US$ 15.044.032. Sementara keuntungan yang
diperoleh dari perusahaan tersebut adalah tJS$ 885.600.000.
sehingga kalau dikalkulasikan, penerimaan pemerintah hanya
sekitar 1,7 % dari keuntungan yang diperoleh perusahaan
penambangan tersebut.
Selain itu kebutuhan perusahaan penambangan asing akan
WKK yang cukup luas, acap kali mengambil tanah-tanah milik
rakyat dan tanah adat. Seperti kasus yang terjadi Irian,
Kalimantan, dan berbagai wilayah lainnya, di mana tanah-tanah
milik rakyat dan adat dirampas begitu saja tanpa mendapatkan
kompensasi yang memadai. Bahkan yang kerap terjadi malah
rakyat diusir begitu saja dari tempat tinggalnya, yang disertai
kekerasan baik fisik maupun non fisik oleh aparat keamanan.
Bahkan untuk kasus di Irian, pengusiran penduduk asli yang
dilakukan PT Freeport, selalu disertai penembakan dan ledakan
bom.
Begitupula dengan yang terjadi di Kalimantan Timur,
dimana suku Dayak Kelian yang sudah turun temurun mencari
nafkah di sungai Kelian, harus terusir dari lokasi tempat tinggal
mereka akibat kedatangan PT Kelian Equatorial Mining (KEM).
Perusahaan yang berasal dari Australia ini, menggusur tanah-
tanah adat milik Suku Dayak Kelian, serta mengusir masyarakat
asli dari sekitar Sungai Kelian. Tidak hanya itu,
PT KEM juga menutup areal sungai Kelian untuk
menghentikan penambangan yang dilakukan oleh
penambang tradisional. Akibatnya lebih dari 2000
orang penambang tradisional kehilangan
matapencaharian.
Belum lagi kerusakan-kerusakan
Iingkungan akibat aktivitas perusahaan tersebut,
seperti kerusakan hutan, tanah, air dan polusi
udara, Celakanya, perlakuan yang seenak perut
ini dibiarkan saja oleh pemerintah. Terbukti
beberapa kasus pencemaran dan pengrusakan
Iingkungan akibat ulah penambang besar, tidak pernah sampai
pada pengadilan. Kalaupun sampai, biasanya perkara
dimenangkan oleh pihak tergugat. Seperti yang dilakukan PT
Newmount Minahasa Raya, terhadap Iingkungan masyarakat
Buyat.
Jika sudah demikian, kenapa kehadiran perusahaan
penambang asing masih saja dipertahankan. Sementara dampak
yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan besar tersebut
banyak merugikan masyarakat dan negara. Oleh karena itu
hendaknya pemerintah harus mengkaji ulang tentang kehadiran
perusahaan-perusahaan raksasa pertambangan dunia di bum!
Indonesia. Sudah saatnya rakyat Indonesia mengelola
tambangnya sendiri. Sentot
PETAKA NEWMOUNT
Matinya ribuan ikan di Teluk Buyat Sulawesi Utara, diduga
akibat bocornya pembuangan limbah tambang emas milik PT
Newmount Minahasa Raya (NMR). Perusahaan penambangan
emas yang menguasai wilayah pertambangan seluas 26.240
hektar di Minahasa Sulawesi Utara, seakan tidak pernah surut
dari prates masyarakat. Masuk sekitar tahun 1996, perusahaan
asal Amerika ini memulai kiprahnya dengan menggandeng PT
Tanjung Serapung milik Yusuf Merukh sebagai mitra lokal. Tapi
dasar perusahaan asing, saham yang dimiliki Yusuf merukh
cuma 20 persen saja sedangkan sisanya dikuasai oleh PT NMR
ini.
Bermula tahun 1997, saat itu pipa pembuangan limbah
pecah di kedalam 10 meter, yang mengakibatkan ribuan ikan mati,
tak jauh dari mulut pipa pembuangan PT NMR. Melihat kondisi
4
5. I
DaftarDosa PT New Mount di Indonesia
' New Mount di Sulawesi Utara
ak habitat dan ekosistim Teluk
; Z Menghilangkan matapencaharian
nelayan Buyat
Menyebabkan penyakit koreng pada
masyarakat lokal
4. Merusak keindahan laut Buyat
Mengadu domba masyarakat dengan
menciptakan konflik antar warga
setempat
lount Nusa Tenggara Barat
'Merusak hutan lindung seluas 1.500
hekatare
I Merusak ekosistim dan habitat Fauna
(dan Flora di NTB
Menyebabkan turunnya nilai-nilai adat
dcaerah NTB
iMemunculkan tempat Prostitusi baru
UNTB
Mmmdu domba masyarakat dengan
| H^Bakan konflik antar warga
seperti itu masyarakat prates dengan kelakuaan perusahaan
raksasa no 2 di dunia ini. Namun usaha masyarakat, belum
memperoleh hasil. Hingga kemudian salah satu lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang Iingkungan, Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI), melakukan advokasi tentang dugaan
pencemaran oleh PT NMR. Dan hasilnya menunjukkan bahwa
akibat pembuangan limbah tambang emas ini tailing , seperti
serpihan batu, telah mengendap di dasar laut, dan mengakibatkan
rusaknya ekosistim di sekitarnya. Walhi juga mensinyalir bahwa
rusaknya terumbu karang adalah akibat dari pembuangan limbah
PT NMR tersebut.
Parahnya lagi, akibat dari
pembuangan limbah PT NMR ini ke laut,
menyebabkan air laut di sekitar teluk Buyat
menjadi keruh dan benNarna coklat dengan
menimbulkan bau yang tidak sedap. Maka
tak heran jika banyak ikan yang
mengelepar-gelepar dan mati.
Kecurigaan masyarakat kepada PT
NMR semakin kuat, pasalnya perusahaan
tersebut tidak pernah mau membeli ikan
hasil tangkapan dari Teluk Buyat. Seperti
yang diungkapkan Mansyur, nelayan
setempat, mereka tidak pernah mau
membeli ikan hasil tangkapan nelayan
sini, mungkin karena mereka tahu ikan
disini telah tercemar limbah beracun.
Walhi juga menemukan beberapa
penyakit kulit yang diderita masyarakat
setempat yang diduga akibat pencemaran
limbah dari PT NMR. Bahkan untuk
membuktikan tuduhannya, Walhi
bermaksud membawa salah satu korban
ke Jakarta untuk pembuktian secara medis.
Adik Kakak Sama Saja
Lain lagi dengan adik barunya, PT Newmount Nusa
Tenggara (NNT). Perusahaan yang baru akan beraperasi akhir
tahun ini, juga mengalami hal yang sama seperti kakaknya di
Sulawesi Utara yakni mendapatkan prates keras dari masyarakat
NTB. Pasalnya hampir mirip dengan yang terjadi di Sulawesi
Utara, yakni pencemaran lingkungan. PT NNT yang akan
mengeruk emas di daerah Batu Hijau Lombok ini, mulai
menunjukkan aktivitas yang akan merusak lingkungan dan
manusianya.
Seperti yang diungkap Walhi NTB, bahwa akibat aktivitas
PT NNT di NTB, telah menyebabkan meningkatnya kandungan
debu pada musim kemarau lalu. Selain itu kadar Emisi S02 di
wilayah Batu Hijau juga meningkaL Akibat dari itu semua, akan
menimbulkan sakit mata, dan gangguan pernafasan pada makhluk
hidup di sekitar lokasi pertambangan terbesar di Asia Tenggara
tersebut.
Di samping itu, PT NNT juga melakukan perusakan
cadangan air bersih, akibat terlalu banyaknya pembukaan lahan
hutan seluas 1.500 hektar yang dilakukan sepanjang tahun. Bukan
hanya itu saja, diperkirakan 360 spesies fauna dan 87 spesies
satwa liar, 39 spesies burung dan satu spesies binatang melata
akan terancam habitatnya yang pada akhirnya menjadi punah.
Akibat dari aktivitas PT NNT tersebut, ternyata juga
berimbas pada kehidupan Sosial Ekonomi dan budaya masyarakat
di NTB. Dr. Mahsun seorang dosen Universitas Mataram,
mencatat bahwa sejak kedatangan PT NNT perilaku masyarakat
lokal jadi menyimpang. Sehingga penghargaan mereka dengan
sejarah serta orang tua-tua di sana menjadi hilang. Selain itu,
nilai agama, moral dan etika masyarakat setempat menjadi
longgar.
Mengadu Domba
Melihat sikap tidak bertanggung jawab yang ditunjukkan
PT NMR dan NNT selama ini, akhirnya masyarakat setempat
bermaksud menghadap ke kantor Gubemur, untuk mengajukan
prates. Tapi dihalangi aparat.
Menyikapi kondisi tersebut akhirnya, WALHI bermaksud
menjembatani kelompok masyarakat yang menjadi korban PT
NRM dan NNT untuk berdialog dengan pimpinan PT Newmount
di Jakarta. Akan tetapi usaha tersebut mengalami jalan buntu.
Kebuntuan ini disebabkan oleh karena PT Newmount membawa
sejumlah masyarakat tandingan untuk menyelesaikan persoalan
tersebut. Hingga akhirnya WALHI mengancam jika perusahan
tersebut tidak mau melakukan pertemuan dengan masyarakat
korban, maka akan melaporkannya ke Mentamben. Dan akhirnya
ancaman tersebut terwujud. Bahkan Mentamben sendiri akan
membentuk tim guna penyelesaian masalah tersebut. Namun
hingga kini tim tersebut belum memberikan laporan atas
penyelidikannya. Bagaimana pemerintah ? Sentot
6. TERSINGKIRNYA
PERTAMBANGAN
SKALAKECIL
Sejak Januari 1986 para penambang rakyat sebenarnya
bisa bernapas lega. Ketika Mentamben mengeluarkan dua
ketentuan yang mempermudafi ijin mengelola pertambangan
rakyat. Ketentuan pertama berupa sural edaran bernomor 223.E/
201/M-MJP/1986 tentang pertambangan rakyat dan bahan galian
strategis dan vital. Ketentuan ini diperkuat dengan Peraturan
Mentamben nomor 01P/201/M-MJP/1986 tentang pedoman
pengelolaan pertambangan rakyat, bahan galian strategis dan
vital.
Kedua peraturan yang tampaknya berpihak kepada
rakyat kecil ini ternyata malah dibengkokkan untuk kepentingan
para pengusaha besar dan penguasa. Data tentang pertambangan
rakyat itu justru digunakan sebagai jalan pintas investor tambang
besar untuk melakukan tahapan eksplorasi. Dengan mengikuti
jejak tambang rakyat yang telah beroperasi puluhan tahun, resiko
kegagalan penemuan tambang dapat ditekan. Sementara itu,
perusahaan tambang rakyat berskala kecil yang telah diinventarisir
dan dipetakan belum juga memperoleh ijin, bahkan malah
digusur. Biasanya alasan yang digunakan oleh pemerintah adalah
tidak adanya jaminan keamanan penambang, perusakan
lingkungan, atau hak atas tanah.
Tambang Tembaga dan E m a s Freeport Indonesia. (Foto: Dokumen Latin)
Memang, ada jenis-jenis pertambangan skala kecil yang
berbahaya dan sangat merusak lingkungan. Biasanya para
penambang tidak mempunyai ketrampilan yang baik, dan
seringkali terjadi kecelakaan dan kematian akibat tanah longsor,
dan longsornya terowongan-terowongan tambang. Kegiatan
semacam ini bisa berdampak sangat buruk pada lingkungan,
terutama jika menggunakan pengeruk (dredges) dan selang air
tekanan tinggi. Jarang sekali terdapat pengelolaan yang baik atas
bahan-bahan buangan, dan reklamasi tanah hampir tidak pernah
dilakukan. Penggunaan merkuri secara luas untuk ekstraksi emas
dan bijih logam bisa berakibat fatal. Sejak 1988, merkuri telah
digunakan oleh para penambang skala kecil dalam jumlah yang
begitu besar sehingga banyak negara mengalami pencemaran dan
keracunan merkuri, yang menjadi masalah sosial dan lingkungan
yang parah.
Tetapi, ada jenis-jenis pertambangan skala kecil yang
aman dan tidak merusak lingkungan, seperti misalnya, mendulang
(panning). Cara ini mempunyai beberapa keuntungan bag:
kelompok-kelompok masyarakat yang miskin. Pendapatan yang
diperoleh langsung dinikmati oleh mereka yang menambang,
tidak oleh perusahaan-perusahaan tambang maupun pemerintah
yang belum tentu mengembalikannya kepada rakyat dalam bentuk
jasa. Cara ini juga sangat efektif untuk menciptakan bidang keqa
lebih banyak dibandingkan dengan pertambangan skala-besar.
•'• Larangan atau tekanan untuk tidak mengikut sertakan
penambang-penambang berdampak lingkungan kecil semacarri
ini di wilayah perusahaan-perusahaan tambang besar sebenarnya
tidak perlu dilakukan. Dengan sedikit perencanaan awal yang
matang dan representatif, mereka bisa tetap melakukan
kegiatannya di daerah-daerah yang tidak sedang digunakan olefi
perusahaan. Tetapi, perlu ada peraturan yang jelas bagi mereka.
Ini berarti dalam bentuk semacam lisensi dan otoritas yang efektf
dan tidak korup, yang mungkin sulit untuk dicapai di banyak
negara, termasuk Indonesia, tetapi bukannya tidak mungkin.
Sistem yang digunakan harus mengutamakan penduduk asli yar^c
telah tinggal di tempat itu sejak sebelum perusahaan tambang
datang, bukan kepada para pendatang baru.
Artikel 30 dalam Rancangan Deklarasi Hak Masyarakat
Adat PBB menyatakan: Masyarakat asli mempunyai hak untuk
menentukan dan mengembangkan prioritas serta strategi bag
pengembangan maupun penggunaan tanah, wilayah dan
sumberdaya lain mereka, termasuk hak untuk mengharuskan
Negara memperoleh persetujuan mereka atas proyek apapun yang
7. Kompleks Perumahan Freeport Indonesia di Irian Jaya, (Foto: Dokumen Latin)
berdampak pada tanah, wilayah, dan sumberdaya lainnya,
terutama dalam kaitannya dengan pengembangan, pemanfaatan,
atau eksploitasi mineral, air atau sumberdaya lain, Setelah
persetujuan masyarakat asli diperoleh, kompensasi yang adil akan
diberikan untuk kegiatan apapun yang harus dilakukan untuk
mengurangi dampak negatif pada situasi lingkungan, ekonomi,
sosial, budaya, maupun spiritual masyarakat setempat. Dalam
konteks pertambangan skala kecil, seharusnya pihak pemerintah
dan perusahaan besar yang akan melakukan eksplorasi dan
eksploitasi meminta ijin terlebih dahulu kepada para penambang
lokal yang telah menempati tempat itu jauh sebelumnya, dan
memberikan kompensasi kepada mereka jika ijin telah diberikan.
Mengingat pentingnya nilai tanah bagi masyarakat lokal,
kegiatan tambang seharusnya tidak berarti mereka akan
kehilangan tanah mereka. Yang harus dinegosiasikan adalah
pemberian hak eksplorasi dan eksploitasi, dengan kondisi-kondisi
tertentu, dan sebagai imbalannya masyarakat mendapatkan royaiti,
pembayaran lump sum atau equity dalam tambang tersebut. Salah
satu keuntungan dari royaiti adalah sifatnya yang kontinyu
ketimbang sekali bayar saja, yang menunjukkan pengakuan yang
juga on-going atas hak ulayat rakyat atas tanah dan kegiatan
yang dilakukan di tanah itu.
Dari sudut pemerintah, industri pertambangan skala
kecil yang diatur dengan baik dapat memberikan beberapa
keuntungan. Pertama, dapat mengurangi penyelundupan emas,
misalnya. Emas yang dihasilkan oleh penambang 'ilegal' biasanya
dijual lewat jalur-jalur tidak resmi dan diselundupkan ke luar
negeri, yang berarti hilangnya pendapatan negara. Pada tahun
1989 di Indonesia diperkirakan lebih banyak emas hasil
pertambangan berskala kecil yang diselundupkan ke luar negeri
dibandingkan dengan emas yang diproduksi oleh pertambangan
skala besar. ini merupakan contoh konsekuensi yang harus
dibayar akibat tidak adanya lagalisasi pertambangan skala kecil.
Regulasi pertambangan berskala kecil dapat mengikutsertakan
stipulasi bahwa para penambang skala kecil harus menjual emas
mereka kepada suatu badan pemerintah tertentu, tetapi perlu
dicegah jangan sampai kasus BPPC terulang di sektor
pertambangan. Dana yang dihasilkan dapat digunakan untuk
memperkuat kantor-kantor perwakilan Departemen Pertambangan
atau lingkungan dan kemampuan mereka untuk mengawasi dan
mengaturnya. Agung (sebagian besar tulisan ini disadur dari
"Menggugal El(spansi industri Pertambangan di Indonesia", Pustaka Latin, 1999,
tiai, 71-72)
8. Menjunjung Tinggi Niiai-Niiai
Universal Hak Azasi iVIanusia
Keputusan untuk melakukan pemetaan
partisipatif berada di tangan masyarakat.
Proses dan aktivitas pemetaan partisipatif
liarus menghargai adat istiadat setempat.
Proses dan aktivitas pemetaan partisipatif
liarus mengliargai kesetaraan etnis,
perspektif gender dan kelompok usia.
Mengutamakan Kepentingan,
Inisiatif dan Keterlibatan
iVIasyarakat
Partisipan JKPP tidak melakukan
kerjasama pemetaan partisipatif dengan
pihak-pihak yang dapat merusak
hubungan dan tatanan sosial masyarakat.
Fasilitator pemetaan partisipatif harus
bebas dari konflik-konflik kepentingan.
Proses dan aktivitas pemetaan partisipatif
harus dilakukan sendiri oleh masyarakat
dan pihak luar hanya berfungsi sebagai
fasilitator.
Proses dan aktivitas pemetaan partisipatif
harus melibatkan seluruh lapisan
masyarakat.
Validasi peta harus dilakukan masyarakat.
Hak cipta dan hak milik peta hasil
pemetaan partisipatif berada di tangan
masyarakat.
Tampilan informasi peta harus disepakati
oleh masyarakat.
Penggunaan dan publikasi peta harus
disepakati masyarakat.
Jaringan
Kerja
Pemetaan
Partisipatif
1 0 0 0
9. Menjunjung Tinggi Kehidupan
Bersama yang Bericeadilan
Sosial
Proses dan aktivitas pemetaan parttsTpatr
tidak dibenarkan menggunakan dana
hutang luar negeri.
Partisipan JKPP menolak segala bentuk
feodalisme dalam pemetaan partisipatif.
Berpihdk pada Pengelolaan Lingkungan
yang Mempertimbangkan Manusia
Sebagai Kesatuan Ekosistem
Pengaturan pengelolaan ruang dan tata
tas harus berbasis pada pola
penguasaan dan pemanfaatan yang
dimiliki masyarakat.
Menempatkan Pemetaan
Partisipatif Sebagai Ruang /
Arena Belajar Bersama
Pada proses dan aktivitas pemetaan
partisipatif harus terjadi transfer
pengetahuan dua arah.
Proses sosialisasi pemetaan partisipatif
harus memberikan informasi yang terbuka
tentang keuntungan dan kerugian
pemetaan partisipatif.
Partisipan JKPP harus menghargai dan
mengutamakan pengetahuan masyarakat
lokal. .
BOGOR, J U N I 1 9 9 9
J A R I N G A N K E R J A P E M E T A A N P A R T I S I P A T I F ( J K P P )
10. T e o r i
PENGINDERAAN
JARAKJAUH
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak
langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji.
Jika anda sedang membaca tulisan ini maka anda sedang
menerapkan penginderaan jauh. Mata anda sebagai sensor
menangkap energi elektromagnetik dengan panjang
gelombang tertentu yang dipantulkan oleh newsletter ini, lalu
anda membacanya sebagai suatu susunan kalimat dan
kemudian anda menerjemahkan arti kalimat-kalimat tersebut
sesuai dengan interpretasi masing-masing. Proses
penginderaan jauh meliputi dua tahapan yaitu (a)
pengumpulan data, dan (b) analisa data.
Pengumpulan data:
(a) Sumber energi yang digunakan dan panjang gelombang
yang dihasilkan.
(b) Perjalanan energi melalui atmosfir
(c) Interaksi antara energi dengan kenampakan di muka
bumi(pantulan dan penyerapan)
(d) Sensor yang digunakan
(e) Data yang terbentuk (piktorial atau numerik)
Analisa data:
(a) pengujian data dengan interpretasi dan manual
(piktorial) atau komputer untuk numerik.
(b) penyajian infornasi bisa dalam bentuk peta, tabel atau
bahasan deskriptif.
(c) Pemanfaatan informasi untuk pengambilan keputusan.
Pemahaman mengenai proses pengumpulan data sangat
penting dalam melakukan interpretasi terhadap hasil dari
penginderaan jauh (citra/gambaran). Data atau informasi yang
terdapat pada citra merupakan rekaman terhadap radiasi atau
pantulan energi dari benda/permukaan bumi, Matahari adalah
sumber energi/radiasi elektromagnetik yang sangat penting.
Energi ini melewati media atmosfir sampai ke bumi. Di bumi
energi ini mengalami pemantulan dan penyerapan kemudian
sensor menangkap/merekam energi ini sehingga
menghasilkan perbedaan tampilan antara suatu benda dengan
benda yang lain pada citra.
Penginderaan jauh memberikan kemampuan pada kita untuk
melihat sesuatu yang tidak tampak mata juga untuk
memperoleh gambaran utuh menyeluruh (global) dari bumi
kita. Penginderaan jauh dapat menembus batas-batas kultural
dan disiplin ilmu. Penerapan yang sangat luas menyebabkan
tidak seorangpun yang "memiiiki" bidang ini.
Jenis-jenis penginderaan jauh, menurut energi yang
digunakan:
(a) Penginderaan jauh aktif, dimana sensor menyajikan/
menggunakan sumber tenaga atau penyinaran sendiri.
Contoh: radar
(b) Penginderaan jauh pasif, dimana sensor menggunakan
sumber tenaga atau penyinaran dari sumber lain.
Contoh: kamera udara dan penyiam (scanner)
Jenis-jenis penginderaan jauh, menurut wahana yang
digunakan dan sudut kemiringan yang dihasilkan:
(a) Penginderaan jauh daratan (terestrial), foto diambil dari
suatu ketinggian tertentu pada permukaan bumi (bukit)
dengan menggunakan kamera, menghasilkan foto yang
condong.
(b) PenginderSdn jauh udara, menggunakan wahana
pesawat terbang relatit lebih vertikal,
(c) Penginderaan jauh antariksa, menggunakan wahana
satelit, sudut kemiringan dapat diabaikan karena jarak
yang sangat jauh dari obyek ke satelit.
Macam-macam penginderaan jauh menurut energi, sensor
dan wahana yang digunakan:
(a) Foto udara, menggunakan energi matahari yang
dipantulkan dan diserap oleh bumi, sensor yang
digunakan adalah pelat film dalam kamera, yang peka
pada panjang gelombang tampak mata dan wahana yang
digunakan dapat berupa baton udara atau pesawat
(b) Multi Spectral Scanner (MSS) dapat menangkap energi
yang dipancarkan (radiasi) dan yang dipantulkan secara
bersama-sama, dengan detektor energi elektronik, MSS
dapat mendeteksi panjang gelombang dalam spektrum
infra merah thermal, gelombang ultraviolet sampai infra
merah pantulan. Wahana yang digunakan adalah satelit.
(c) Side Looking Airborne Radar (SLAR), memancarkan
gelombang radio dan menangkap gelombang tersebut
setelah dipantulkan oleh obyek, sensor yang digunakan
adalah antena dan wahana pesawat terbang,
Foto Udara
Foto udara sangat strategis digunakan untuk berbagai macam
aplikasi. Foto udara banyak digunakan untuk kepentingan
survei di bidang kehutanan, perikanan, pertambangan,
peperangan, tata kola, pertanian dll. Dalam bidang kehutanan,
foto udara biasanya digunakan untuk melihat sebaran vegetasi
hutan/tipe penutupan lahan, melakukan perencanaan hutan,
perencanaan pembukaan lahan, merencanakan pembuatan
jalan dengan mempertimbangkan kemiringan lahan,
penentuan tata guna hutan, sebaran hewan liar, pemasaran
kayu, inventarisasi hutan dll. Dalam bidang perikanan untuk
deteksi pencemaran air, sensus jumlah ikan tertentu, migrasi
ikan dll. Dalam bidang tata kota untuk perencanaan tata
kota, lokasi lintas jalan raya, Dalam peperangan digunakan
sebagai alat untuk mendeteksi tempat peluncuran roket,
pencarian jejak peluru kendali dll. Dalam bidang
pertambangan untuk eksplorasi mineral, Selain itu juga
digunakan untuk penggalian arkeologi, pengukuran
kedalaman air, ramalan hasil panen, studi drainase,
pengendalian banjir, erosi, studi glasial, perencanaan
pengairan, perencanaan rekreasi, pengelolaan tempat
peternakan, analisis perkotaan, perlindungan pantai.
10
11. pembuatan peta topografi, pencegahan kebal<aran hutan,
penghitungan luas dan tinggi suatu obyek dll.
Apa yang tampak pada foto udara adalah gambaran permukaan
bumi seperti apa yang kita lihat bila kita naik pesawat terbang
dan melihat ke bawah, ini dikarenakan film yang dipakai
menggunakan panjang gelombang 0,4 - 0,9 |am, di mana
sinar tampak mata manusia berada diantaranya yaitu 0,4 -
0.7 )jm. Biasanya foto udara disajikan dalam degradasi warna
hitam putih, dapat juga benwarna tetapi untuk penggunaan
dalam skala besar menjadi tidak ekonomis dan tidak efisien,
karena lebih mahal dan sulit dalam kontrol penyinaran. Skala
foto udara berkisar antara 1:10.000 sampai 1:50.000. Skala
yang ideal adalah 1:20.000. Lebih kecil dari itu akan
mengurangi ketelitian sedangkan bila lebih besar tidak
ekonomis karena untuk luasan tertentu dibutuhkan lebih
banyak foto.
Penggunaan jenis film mempengaruhi hasil foto. Film yang
biasa digunakan pada survei bidang kehutanan menggunakan
film pankromatik dengan filter kuning. Film pankromatik
menggunakan warna baku yang lebih alamiati pada mata
manusia selain itu lebih banyak detail terlihat dan resolusi
lebih baik. LJntuk tujuan penafsiran jalur/genangan air atau
untuk membedakan antara lapangan berawa dan kering, juga
pembedaan antara hutan konifer dan kayu keras digunakan
film infra merah.
Informasi yang terdapat pada tepi foto udara adalah:
- Jam terbang, untuk mengetahui sudut kemiringan sinar
matahari
- Panjang fokus lensa
- Nivo (tanda tilt), untuk mengetahui kemiringan kamera
- Nomor film dan nomor rol film, untuk mengurutkan foto
dll
- Tanda fiducial (Fiducial mark) untuk menentukan titik
principal (Principal Point)
- Jalur terbang
- Tinggi terbang dari permukaan laut, untuk penentuan
skala foto.
Kelebihan:
1. Apa yang tampak pada foto adalah sama dengan apa
yang dilihat oleh mata manusia.
2. Mengandung semua detail
3. Teliti dalam batas-batas alam.
4. Dari dua buah foto udara yang bertampalan (overiaping)
sebesar sekurang-kurangnya 50% - 60% dapat dilihat
secara tiga dimensi.
5. Kita dapat memperoleh gambaran utuh menyeluruh.
Kelemahan:
1. Terdapat perbedaan kedudukan obyek (proyeksi sentral)
karena adanya sumber-sumber distorsi misalnya distorsi
optik lensa, kerut-kerut pada film, pembiasan cahaya
atmosfir dan pergeseran gambar dikarenakan
lengkungan bumi, kemiringan sumbu kamera dan relief
bumi.
2. Karena proyeksi sentral tersebut maka skala dalam satu
potret udara tidak sama.
3. Karena ketinggian terbang pesawat sulit dijaga
kestabilannya, maka skala dari satu potret ke potret lain
relatif berbeda.
4. Apabila cuaca tidak cerah beberapa lokasi tertutup awan
sehingga tidak tersedia informasi dari foto tersebut.
5. Tidak terdapat informasi mengenai nama sungai maupun
nama-nama lokasi atau bangunan, maka diperlukan
interpretasi terhadap foto tersebut.
6. Dalam jangka waktu tertentu sebuah foto dapat
dikategorikan kadaluwarsa karena kecepatan perubahan
bpe penutupan lahan atau bentang alam terutama daerah
perkotaan
Beberapa Istilah
- Fotografi: Ilmu mengenai pembuatan potret termasuk
cara dan teknik memotret dengan film hitam putih atau
berwarna sampai teknik pencetakan dan reproduksinya
(diperbesar atau diperkecil).
- Fotogrametri: Ilmu untuk memperoleh pengukuran-
pengukuran yang terpercaya dari benda-benda di atas
citra fotografik termasuk pembuatan peta topografi dari
foto udara tersebut.
- Fotogrametri metrik: Pengukuran cermat berdasarkan
foto dan sumber informasi lain yang pada umumnya
digunakan untuk menentukan lokasi relatif titik-titik,
misal: jarak, sudut, luas, volume, elevasi, ukuran dan
bentuk objek.
- Fotogrametri interpretatif: Pengenalan dan identifikasi
obyek serta menilai arti pentingnya obyek tersebut
melalui suatu analisis sistematik dan cermat.
- Interpretasi: Kegiatan membaca, mendeskripsikan serta
menghubungkan suatu gejala yang satu dengan yang
lain yang tampak pada foto udara. Misal: sungai
berkelok-kelok dan berwarna gelap, sedangkan jalan
relabf lebih lurus dan lebih lerang.
- Pertampalan (Overiaping): bagian dari foto udara
dimana lokasi yang diambil gambarnya terdapat pada
dua foto yang bersebelahan.
- Titik Nadir: Titik perpotongan tegak lurus antara
permukaan bumi dan garis yang tegak lurus permukaan
bumi. Benda yang terietak pada tibk ini tidak dapat
teriihat bagian bawahnya, misal pohon, tidak terlihat
pangkalnya.
- Titik principal (Principal point): Titik yang berada tepat
di tengah-tengah foto. Apa bila kamera tegak lurus
permukaan bumi (vertikal) maka titik ini berhimpitan
dengan titik nadir.
- Fiducial mark: Tanda yang terdapat ditengah-tengah
keempat sisi atau di setiap pojok pada tiap foto udara.
m u t a m i
12. K A S U S
Tahun 1968, Inco ltd. memperoleh kontrak
karya generasi kedua selama 30 tahun dari Pemerintah
Indonesia di Sulawesi. Untuk itu dibentuk badan
hukum PT Inco Indonesia untuk mengeksplorasi lahan
seluas 6,6 juta ha, yang secara bertahap berkurang
menjadi 218.000 ha. Areal kontrak karya Inco terdapat
di tiga wilayah propinsi, yakni Sulawesi Selatan 54,17
%, Sulawesi Tengah 16,76 %, dan Sulawesi Tenggara
29,06 %. Pusat kegiatan pertambangannya terietak di
Soroako, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Pada
tanggal 14 November 1994, ketika Perdana Menteri
Kanada Jean Chretien bertemu dengan Presiden
Soeharto, untuk membahas kerja sama ekonomi dan
bisnis, maka PT Inco telah memperoleh perpanjangan
kontrak karya, yang semula akan berakhir pada tahun
2008, menjadi sampai tahun 2025.
Saham terbesar PT Inco dimiliki oleh Inco ltd.
dari Kanada (58,19 %), menyusul Sumitomo Metal
Company dari Jepang (20 %). Lainnya dimiliki oleh
empat perusahaan Jepang, dan sebagian saham telah
dijual ke publik melalui Bursa Efek Jakara (BEJ).
Pembangunan di lokasi pertambangan mulai
dilakukan pada tahun 1973. Pada tanggal 31 Maret
1977, pertambangan PT Inco diresmikan oleh Presiden
Soeharto. Produksi komersialnya dimulai pada bulan
April 1978. PT Inco memproduksi nikel setengah jadi
(nickel matte) 80 % dan selanjutnya diekspor ke
Jepang. Beroperasi pada areal 218.000 ha, PT Inco merupakan
penyumbang 90 % dari total produksi nikel Indonesia. Pada tahun
2000 nanti, PT Inco menargetkan akan menghasilkan nikel
sebanyak 68.000 ton.
Masalah Mulai Timbui
Laporan-laporan independen dan karya-karya akademik
menunjukan bahwa kehadiran PT Inco membawa berbagai
masalah pertanahan yang tidak sedikiL Misalnya, terjadi praktik
alienasi penduduk-penduduk asli dari tanah-tanah mereka (land
alienation), baik karena pembangunan jalan, maupun karena
masalah ganti rugi tanah. Khusus untuk ganti rugi tanah, terjadi
praktik negosiasi hanya antara pemerintah dengan PT Inco, tanpa
menyertakan para pemilik tanah dan masyarakat adat setempat.
Ketika PT Inco akan membangun kota kecil Soroako, 200 orang
PTINCO
MEMBAWA
MASALAH
di Bahomatefe
petani dibujuk oleh pemerintah agar mereka mau menyerahkan
tanah mereka dengan dihargai sangat rendah sekali, yakni dua
penny atau setara dengan Rp. 120,- untuk setiap meter
perseginya. Sampai saat ini, masalah pertanahan belum selesai.
Bulan Pebruari 1999, penduduk asli Soroako melakukan
demonstrasi. Selain mempersoalkan ganti rugi tanah yang belum
selesai, mereka juga mempersoalkan berbagai janji yang belum
ditepati hingga saat ini. Dituturkan oleh masyarakat setempat,
bahwa pada tahun 1969, salah seorang pimpinan PT Inco, Hitler
Singawinata, menjanjikan kepada masyarakat untuk memperoleh
berbagai pelayanan, seperti pendidikan, kesehatan, listrik dan
air bersih. Tetapi, sampai kini janji tinggal janji.
Kehadiran PT Inco juga telah mendorong kehadiran para
pendatang, Para pendatang itu telah membeli tanah-tanah adat
penduduk asli, sehingga pada gilirannya menyempitkan akses
penduduk asli untuk memiiiki tanah dalam jumlah yang besar.
13. Pembangunan PLTA Larona berkapasitas 130 MW, untuk
menyupiai listrik ke PT Inco, yang airnya telali menggenangi
mesjid, rumah, sawah, dan kebun-kebun penduduk milik
keluarga-keluarga Bugis, juga perlu dilihat sebagai bagian dari
masalah pertanahan, menyusul kehadiran PT Inco. Masalah lain
yang dihadapi oleh penduduk asli Soroako setelah kehadiran PT
Inco adalah hancurnya sumber daya hutan, seperti damar dan
rotan. Sementara di kaki-kaki bukit, yang biasanya diolah
penduduk sebagai kebun dan umbi-umbian, telah menjadi bagian
dari konsesi pertambangan, sehingga tidak bisa lagi digarap.
Sejak kehadiran PT Inco di Sulawesi, juga mulai terjadi
konflik yang berkaitan dengan masalah tanah dengan penduduk
setempat. Dari masyarakat diperoleh informasi bahwa, sejak tahun
1964, PT Inco sudah melakukan pemboran untuk sampel bahan
kandungan nikel. Tahun 1969, pemboran juga dilakukan di
beberapa tempat di sekitar Desa Bahomatefe. Pemboran terus
dilanjutkan pada tahun 1974 hingga 1976. Di Bahomatefe dan
sekitarnya kemudian muncul beberapa masalah serius. Pertama,
tumpang tindih antara areal konsesi PT Inco dengan wilayah-
wilayah tradisional yang secara turun-temurun dimiliki dan
dikuasai oleh penduduk asli setempat. Kedua, tumpang tindih
antara areal konsesi PT Inco dengan pemukiman transmigrasi di
desa One Pute Jaya (Bahomatefe), Bahomakmur (Bahudopi), dan
resetlemen Departemen Sosial di Bahomoahi. Dalam kasus
tumpang tindih dengan tanah-tanah penduduk asli dan
pemukiman transmigrasi, maka pilihan yang ditempuh pemerintah
adalah relokasi penduduk. Penduduk asli dan transmigran akan
dipindahkan ke tempat lain.
Konflik To Bungku dan PT Inco
di Bahomatefe
Bahomatefe, adalah sebuah desa yang terietak di
kecamatan Bungku Tengah Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi
Tengah. Jarak Bahomatefe dari Kotamadya Palu, ibu kota propinsi,
sekitar 567 Km, dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor.
Di Bahomatefe bermukim dan hidup masyarakat asli setempat
yakni orang Bungku (To Bungku). Terdapat juga penduduk
pendatang dari Mori, Tolaki (Sulawesi Tenggara), Bugis dan
Toraja (Sulawesi Selatan). Desa ini dihuni oleh 117 KK atau 661
jiwa. Mereka bermukim di sepanjang pantai Teluk Tolo. Mata
pencaharian utama adalah bertani (sawah, kebun cokelat, kelapa.
jambu mente). Juga menjadi nelayan dan mengolah hasil hutan.
Selain di Bahomatefe, To Bungku juga tersebar di beberapa desa.
Mereka memiiiki sistem asli dalam pemilikan dan penguasaan
tanah. Mereka menyebutkan keu daa untuk hutan perawan. Keu
daa dianggap sebagai kekayaan bersama To Bungku. Keu daa
dapat dikonversi menjadi uma (kebun), dan status
kepemilikannya menjadi milik individu. To Bungku juga
menyebutkan kura ate untuk bekas kebun yang sudah ditumbuhi
pepohonan. Pemiliknya adalah si pembuka kebun itu.
Sejak awal kehadirannya, PT Inco telah menanam benih
konflik dengan To Bungku. Misalnya, pembuatan lapangan
terbang di dalam wilayah kura ate To Bungku tanpa perundingan
dengan mereka. Beberapa lokasi pemboran juga dekat dengan
uma, dan patok-patok survey melintasi kura ale penduduk.
Kegiatan eksplorasi semakin meluas sejak tahun 1994. Kini, PT
Inco memiiiki base camp di kilometer 9 (sembilan). Masalah
dengan To Bungku mulai muncul secara terbuka. Keu daa, kura
ate dan uma dibongkar, baik untuk pengambilan sampel, maupun
pembuatan jalan kendaraan beraL Di sana sini ditemukan banyak
lubang berukuran 50 m x 50 m dengan kedalaman sekitar 20 m.
Sebagian diantara lubang-lubang itu berada di kebun jambu
mente warga.
Pembuatan jalan dan pengeboran dalam areal perkebunan
warga dilakukan PT Inco tanpa melalui pembicaraan dengan
para pemilik. Secara sepihak, mereka menggusur dan
menyampaikan kepada warga, bahwa lokasi yang tergusur
merupakan milik PT Inco, bukan milik warga setempat Papan
nama dan patok-patok pengukuran PT Inco ditancapkan di
wilayah pertanian dan pemukiman penduduk. Belakangan, setelah
muncul protes warga melalui kepala desa, maka diadakan
musyawarah yang menyertakan kepala desa, aparat kecamatan,
serta aparat keamanan. Dari sana disepakati adanya ganti rugi
kepada warga yang kehilangan kebunnya. Untuk jambu mente,
disepakati Rp.35.000,-/pohon, namun realisasinya hanya
dihargai Rp.7.500,-/pohon. Bahkan, ada warga yang hanya
dibayar Rp.4000,-/pohon. Dalam praktik ganti rugi juga muncul
keanehan lain. Warga dipaksa menandatangani kwitansi
pembayaran pembebasan lahan, bukan ganti rugi. Aparat
keamanan terlihat dalam proses pembebasan lahan ini. Beberapa
warga yang menolak menerima praktik tersebut, malahan
kemudian didatangi oleh petugas dari kantor kecamatan dan
aparat keamanan setempat. mereka dituding sebagai
pembangkang. Selain Bahomatefe, beberapa desa lain yang dihuni
14. oleh To Bungku juga terkenai dampak kehadiran PT Inco. Desa-
desa itu antara lain, Desa Leie, Dampala, Siumbatu, Lalampu,
dan Bahudopi • ~,
Relokasi Transmigran
Di Bahomatefe telah ditempatkan transmigran sejak tahun
1991 dan di Bahudopi sejak tahun 1992. Mereka berasal dari
Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Bali. Jumlah transmigran di kedua UPT itu lebih dari 4000 jiwa.
Kini, rencananya mereka akan dipindahkan ke Saembawalati-
Tomata, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Poso. Rencana
pemindahan ini telah muncul sejak tahun 1995. Alasannya, karena
tumpang tindih lahan transmigran dengan areal konsesi PT Inco.
Seperti diberitakan berbagai media massa, biaya pemindahan
yang nilainya berkisar antara 7-10 milyar rupiah itu akan dibiayai
oleh PT Inco.
Masalah yang dihadapi oleh para transmigran adalah
rencana pemindahan mereka dilakukan tanpa ganti rugi.
Pemindahan ke tempat baru, dengan demikian memaksakan
mereka mengawali kehidupan kembali dari nol, seperti yang
dialami beberapa tahun sebelumnya. Karenanya, mereka menolak
dipindahkan. Beberapa warga transmigran telah melihat dari dekat
keadaan lahan di Saembawali. Menurut mereka, lahannya tidak
memungkinkan untuk usaha pertanian, karena merupakan rawa-
rawa. Menurut rencana, daerah seluas 9.500 ha itu akan
direklamasi sebelum dihuni para transmigran. Hal ini jadi soal,
ketika ternyata kegiatan reklamasi tidak membuahkan hasil. Di
musim hujan lahan yang disiapkan untuk persawahan tetap
tergenang. Beberapa pekerja di sana yang sudah bekerja selama
satu tahun terakhir menyatakan sukar mengeringkan air, karena
areal itu letaknya sejajar dengan permukaan air Danau Temui.
Ketika hujan deras air dari danau akan menggenangi.
Saat ini telah tersedia 250 unit rumah yang disiapkan
untuk transmigran dari Bahomatefe. Jumlah unit rumah itu tidak
bisa ditambah menjadi seperti rencana semula 700 unit. Ini diakui
Gubernur Sulteng dan kepala Kantor Wilayah Departemen
Transmigrasi Sulteng, ketika berdialog dengan utusan warga
transmigran di Palu 17 Mei 1999. Sebagai jalan keluarnya,
Kakanwil Transmigrasi Sulteng telah melakukan pendekatan
dengan PTP XIV dan PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) untuk
menampung eks transmigran Bahomatefe sebagai petani plasma
sawit. Tetapi, persoalan dengan KLS adalah areal yang disiapkan
ternyata merupakan bagian dari Cagar Alam Morowali. Dengan
PTP XIV, masalahnya adalah lahan yang telah dicadangkan
ternyata diklaim oleh penduduk asli setempat sebagai wilayah
penggembalaan.
Menghadapi berbagai skenario pemindahan yang
disodorkan pemerintah, eks transmigran Bahomatefe menentang
keras. Dalam pertemuan 17 Mei 1999 dengan pemerintah, mereka
menegaskan bersedia dipindahkan, hanya jika setiap kepala
keluarga memperoleh ganti rugi 40 juta rupiah, dan lahan
pertanian (sawah) siap olah. Tanpa itu, mereka sama sekali
menolak dipindahkan. Yang jadi soal, Gubernur sudah
menegaskan tidak tersedia dana ganti rugi. Dana sebesar 7 milyar
rupiah dari PT Inco, yang merupakan pinjaman yang akan
dipotong dengan royaiti setelah operasi tahun 2003, tidak dipakai
untuk ganti rugi melainkan untuk persiapan lokasi di
Saembawalati. Sudah lebih dari 3 milyar rupiah dihabiskan, dan
saat ini Pemda Sulteng ragu-ragu untuk meminta sisanya yang
4 milyar lagi, karena khawatir tidak dapat merampungkannya,
baik karena hambatan-hambatan teknis, maupun sosial.
Pelajaran Tata Ruang
dari Bahomatefe
Kasus Bahomatefe juga cukup aneh dilihat dari segi tata
ruang. Jika merujuk kepada RUTRP Sulawesi Tengah, sangat jelas
bahwa kehadiran PT Inco di Bahomatefe tidak sesuai dengan
kebutuhan penggunaan ruang di kawasan itu. Sebab, indikasi
pengembangan program pembangunan di daerah itu dan peta
ketersediaan lahan budidaya dan peta arahan pengembangan
kawasan budidaya sama sekali tidak mengalokasikan lahan untuk
usaha pertambangan. Padahal, kehadiran PT Inco di kawasan itu
sudah berlangsung sejak lama. Kawasan itu sesuai RUTRP
Sulawesi Tengah hanya untuk pertanian lahan basah dan lahan
kering. Pada kasus transmigrasi, RUTRP Sulawesi Tengah
memang menunjuk kawasan itu sebagai lokasi penempatan
transmigran. Sebaliknya, Perda No. 15 tahun 1994 tentang RUTRD
Kabupaten Poso secara eksplisit mencantumkan pertambangan
nikel di Bungku Tengah sebagai bagian dari pengembangan
kawasan budidaya, selain pertanian lahan basah dan lahan kering.
Pelajaran yang dapat ditarik adalah bahwa; pertama,
informasi ruang mengenai kawasan itu dikelola secara sektoral.
Sehingga, mengakibatkan tumpang tindih dalam penggunaan
15. K R 0 N I K
ruang, misalnya antara pertambangan dan
transmigrasi, dan pertambangan dengan usatia
pertanian penduduk asli.
Kedua.ada kesesuaian penggunaan ruang
untuk budidaya, baik dari segi usaha budidaya
yang sudah lama diusahakan penduduk setempat,
dengan arahan pemanfaatan ruang yang
dipromosikan baik RUTRP Sulawesi Tengah
maupun RUTRD Kabupaten Poso. Kesesuaian ini
terutama tercermin pada usaha-usaha pertanian
penduduk setempat (sawah dan jambu mente)
dengan "diskursus" RUTRP dan RUTRD tentang
pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering.
Meskipun RUTRP dan RUTRD dianggap secara
sektoral sesuai dengan pemanfaatan ruang yang
telah dikembangkan masyarakat jauh sebelumnya,
tetapi diskursus yang dikembangkannya masih
harus dilihat dengan hati-hati. Karena, tidak ada
jaminan diskursus itu diorientasikan untuk usaha-
usaha ekonomi skala kecil yang dikembangkan
rakyat. Bagaimanapun, pertanian lahan basah dan
pertanian lahan kering juga terbuka bagi usaha-
usaha ekonomi skala besar yang dikembangkan
oleh pemodal besar, misalnya di bidang
perkebunan besar.
Ketiga, baik RUTRP Sulawesi Tengah dan
RUTRD Kabupaten Poso, maupun perspektif
pemanfaatan ruang yang dikembangkan oleh
instansi sektoral (pertambangan & kehutanan) tidak
melihat perspektif ruang masyarakat sebagai hal
yang penting. Padahal, perspektif ruang masyarakat
itu selain mengandung manajemen penggunaan
ruang, juga yang paling pokok adalah adanya
sistem hukum setempat yang mengatur mengenai
ruang.
Secara umum, sejak kehadirannya di In-
donesia PT Inco selalu menjadi pembuat masalah.
Masalah-masalah itu selaljU khas konflik agraria.
Oiturengi dengan watak dan kebijakan pemerintah
yang selalu memihak sang pemilik modal, maka
oasyarak^selalu menjadi korban. ~ Anto(Akiivis
YqnTMhMerdeka. Palu)
Foto bersama beberapa anggota Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. (Foto: JKPP)
RAPAT KERJA
DEWAN AMAN
DI TANA TORAJA
Antara tanggal 24 dan 30 Agustus 1999 berlangsung
Rapat Kerja Dewan Aliansi IVlasyarakat Adat Nusantara (D-
AMAN) di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Raker ini adalah
tindak lanjutdari Kongres IVIasyarakatAdat Nusantara (KMAN)
pada fi/laret 1999 di Jakarta. Dua orang anggota Dewan
AMAN dari tiap propinsi, kecuali Timor Timur, diundang.
Yang berhalangan hadir adalah dari Riau dan Maluku. Dalam
menyelenggarakan Raker D-AMAN, Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) bekerjasama dengan Wahana Lestari
Persada (WALDA), Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat
Adat (JAPHAMA), JKPP dan BSP-Kemala.
Raker didahului dengan Pelatihan Parlementaria
(tanggal 24-25 Agustus 1999). Dewan AMAN sebagai wakil-
wakil dan jurubicara masyarakat adat tentunya perlu
memahami fungsinya sebagai Anggota Dewan AMAN, perlu
tambahan wawasan tentang kehidupan bernegara, perlu
pemahaman tentang keorganisasian AlvlAN, dsb. Raker Dewan
AMAN dibuka oleh Wakil Gubernur Sulawesi Selatan pada
tanggal 26 Agustus 1999, bersamaan dengan Festival Ulang
Tahun Tana Toraja. Pertanggungjawaban dan perkembangan
sosialisasi AMAN dari masing-masing daerah,
pertanggungjawaban Koordinator Dewan AMAN, pembahasan
Anggaran Dasar, pembahasan program kerja, Restrukturisasi
AMAN, dan pernyataan sikap terhadap berbagai permasalahan
kenegaraan adalah beberapa agenda yang dibahas dalam
Raker. 10 SK Dewan AMAN dihasilkan selama Raker
berlangsung. Disepakatinya Anggaran Dasar dan Program
Kerja AMAN, terpilihnya Abdon Nababan sebagai Sekretaris
Pelaksana AMAN yang baru, Pernyataan Sikap AMAN adalah
beberapa hasil Raker.
AMAN adalah organisasi yang masih muda. Jalan
masih panjang menuju tegaknya kedaulatan masyarakat adat.
Selamat bekerja untuk Dewan AMAN. Ganden
15
16. Pemetaan di laut. Togean. (Foto: Tololta)
PELATIHAN
PEMETAAN LAUT
DI TOGEAN
Kepulauan Togean adalah kumpulan mutiara indah
di Teluk Tomini, yang ternyata menyimpan berbagai macam
konflik keruangan, khususnya ruang laut, yang kalau tidak
hati-hati proses penyelesaiannya hanya akan menyebabkan
kehancuran sumberdaya alam yang ada di sana. IVIasyarakat
Togean sangat perlu memiiiki informasi keruangan, baik yang
berdasarkan pengetahuan asli maupun berbagai informasi
ruang tentang Togean yang lain, sehingga bisa mengantisipasi
konflik-konflik keruangan pada masa yang akan datang.
Pemetaan partisipatif laut adalah salah satu cara agar
masyarakat bisa memiiiki informasi keruangannya sendiri.
Yayasan Toloka, bekerjasa sama dengan JKPP, BSP-
Kemala dan Peoples Forests & Reefs (Pefor),
menyelenggarakan Pelatihan Pemetaan Laut antara tanggal
15 dan 29 Juli 1999; bertempat di Desa Katupat dan Desa
Statu, Kec. Wakai, Kab. Poso, Sulawesi Tengah. Berbagai
NGO dan beberapa masyarakat desa di Kepulauan Togean
ikut serta di dalam pelatihan ini. Beberapa partisipan NGO
Itu adalah Mitra Bentala (Lampung), LPMA (Banjarmasin),
Suluh (Kendari), PPSDAK (Kalimantan Barat), Sahabat
Morowali (Kolonodale, Sulteng), Remappala (Palu), Evergreen
(Palu), Dopalak (Toli-Toli, Sulteng), Tanah Merdeka (Palu),
Toloka (Ampana, Sulteng), Sekber Togean (Palu), Jubata
(Palu), l<elola (Manado), FPK (Manado), dan Hualopu (Am-
bon). Sementara masyarakat Togean yang terlihat berasal dari
Desa Katupat, Kulingkinari, Bomba, Siatu, Lembanato,
Benteng, Malenge, dan Bangkagi.
Pelatihan Pemetaan Laut di Togean secara umum
bertujuan untuk menghasilkan fasilitator-fasilitator pemetaan
laut yang pada saatini sangat terbatasjumlahnya. Pengenalan
tentang pemetaan, kegunaan pemetaan laut, pengenalan
kartografi, penggunaan peralatan pemetaan, perencanaan
bersama, praktek pemetaan laut, finishing peta adalah
beberapa materi selama pelatihan berlangsung. Para peserta
pelatihan juga melakukan eksplorasi tentang berbagai
permasalahan keruangan yang dialami oleh masyarakat
Togean, baik keruangan laut maupun keruangan darat; dan
berbagai macam perencanaan langkah-langkah untuk
mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Perlunya wadah
silaturahmi masyarakat Togean dan perlunya dibentuk tim
khusus untuk menuntaskan berbagai permasalah di Togean
adalah salah satu output Pelatihan Pemetaan Laut Togean.
Para peserta juga merasakan perlunya jaringan informasi di
antara fasilitator pemetaan laut.
Selamat berjuang untuk masyarakat Togean. Selamat
menggeluti dunia keruangan untuk para fasilitator pemetaan
laut. Ganden
LOKAKARYA
DESENTRALISASI
KALIMANTAN BARAT
Yayasan Pancur Kasih dan DFID pada tanggal 7-10
Agustus 1999 menyelenggarakan Lokakarya Desentralisasi
di Pontianak, Kalimantan Barat. Lokakarya ini dimaksudkan
sebagai langkah awal yang hasilnya diharapkan dapat menjadi
referensi untuk serangkaian kegiatan lainnya yaitu studi
kesiapan masyarakat Kalbar menyelenggarakan model
pemerintahan yang desentralisasi, dan dialog-dialog kebijakan
yang intensif dengan kalangan pemerintah dan parlemen (baik
di pusat maupun di daerah). Lokakarya dibuka dengan agenda
acara brainstorming untuk membuka wawasan lebih luas
tentang desentralisasi. Proses desentralisasi sebaiknya tidak
hanya diberikan (by grace) oleh pemerintah pusat tetapi juga
kalau perlu harus diperjuangkan (by leverage) oleh daerah,
terutama masalah kewenangan masyarakat adat atas ruang,
kelembagaan, dan pola pengelolaan.
Proses desentralisasi ini diperkirakan akan berjalan
lambat karena paling tidak dibutuhkan waktu paling tidak
setahun untuk membuat peraturan pendukung dan dua tahun
untuk mempersiapkan perangkat yang ada agar sistem ini
dapat berjalan. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
Konsorsium Pancur Kasih membentuk Tim Kajian Otonomi
Daerah Tingkat II Kalimantan Barat untuk merangkum saran-
saran yang akan diajukan ke tingkat I dan II untuk kemudian
diteruskan ke pusat. Tim yang beranggotakan 11 orang yaitu
H.Nazarius, Kristianus Atok, S.Masiun, John Bamba, Ita
Natalia, M.Miden, Albert Rufinus, Silvia Sayu, Stefanus
Djuweng, P.FIorus dan Maran Marcelius ini bertugas
membuat konsep desentralisasi versi kalimantan barat dan
mengakomodasi keinginan masyarakat adat. Adapun tujuan
tim ini adalah mengusahakan pengembalian kedaulatan
masyarakat adat atas sumber daya alamnya melalui
penghormatan dan pemulihan hak-hak masyarakat adat dalam
menguasai, mengelola, dan memanfaatkan SDA secara lestari
dan secara langsung mencakup penghormatan atas hak-hak
budaya, politik dan sosial. Secara keseluruhan dapat ditarik
beberapa hal penting, seperti reposisi konsorsium menjadi
mediator untuk mempertemukan semua kelembagaan
termasuk ormas; otonomi yang harus memperhatikan ke-
khas-an daerah; adanya rencana pembentukan aliansi
masyarakat adat di tingkat kabupaten; perlunya pembentukan
community mapper dan community organizer di tingkat
kabupaten; pilihan untuk menggunakan kata otonomi daripada
desentralisasi; dan pemetaan hanyalah salah satu cara, bukan
tujuan akhir dari pengakuan kedaulatan masyarakat adat.
Utami/Agung
16
;an Kerja Pemetaan ParitisipatifOKPP):JI.Citarum I6I52 Telp/Fax: 62-251-327230, E-mail:jkpp@indonet.id