Teks tersebut membahas perkembangan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) selama hampir 10 tahun sejak berdirinya pada tahun 1996, termasuk mengenai asal mula pemetaan partisipatif di Indonesia dan pembentukan JKPP."
2. Kabar Redaksi
Pembaca yang budiman,
Tahun 2006 ini adalah tahun ke 10 usia JKPP. Sebuah
organisasi (LSM) jaringan yang memfokuskan pada pemetaan
partisipatif. Saatnya bercermin, seperti lirik lagu di atas,
saatnya refleksi, saatnya para pelaku dan pendukung
pemetaan partisipatif melihat semua yang sudah dilalui. Kabar
JKPP Edisi 11 ini, menyajikan tutur sejarah dan refleksi para
bidan JKPP dan pelaku pemetaan partisipatif.
Restu “Ganden” menuturkan bahwa pemetaan partisipatif
lahir dari berkembangnya isu community base di Indonesia
pada tahun 90an. Sebuah refleksi disampaikan oleh trainer
pertama pemetaan partisipatif, Alix Flavelle dari Kanada.
Dalam satu kalimat penting beliau menyampaikan
refleksinya; “pusat perhatian hendaknya tidak hanya pada
perbaikan teknologi pemetaan dan tehnik pemetaan
partisipatif semata, tetapi juga dalam proses pengorganisasian
masyarakat, pendidikan dan peningkatan kapasitas”.
Longgena Ginting dalam sebuah wawancara menyampaikan
bahwa JKPP perlu meredefinisi gerakannya.
Pengalaman dari Jambi yang disampaikan Rahmat
mengantarkan kita bagaimana pemetaan partisipatif
membawa pada sebuah pengakuan oleh pemerintah
terhadap kawasan kelola rakyat. Akhirnya, kita juga bisa
menelaah hasil refleksi lokomotif gerakan pemetaan
partisipatif di Indonesia, yaitu Kalimantan Barat yang diadakan
oleh PPSDAK Pancur Kasih. Juga sebuah refleksi proses
pemetaan di kawasan Halimun - Jawa Barat.
Semoga hasil tutur dan refleksi ini dapat membuka
gagasan dan strategi yang lebih baik bagi para pelaku dan
pendukung gerakan pemetaan partisipatif di Indonesia.
“Kita mesti berjuang memerangi diri
Bercermin dan banyaklah bercermin”
(Ebiet G. Ade)
Kami membuka segala saran dan kritik serta tulisan para
pembaca untuk memperkaya media ini. Selamat membaca!
Terima kasih.
Salam Kedaulatan Rakyat atas Ruang !
Redaktur
No.11, Januari2006
Yang dapat kami KABARi !!
Mencermat Perkembangan JKPP dan
Pemetaan Partisipatif (Restu “Ganden”
Achmaliadi) ...... 3
Menata Ruang, Membangun Kesepahaman
(Rahmat Hidayat) ...... 8
Longgena Ginting; JKPP Harus Meredefinisi
Gerakannya (Wawancara) ..... 14
Mengapa Memperkenalkan Community
Mapping di Indonesia (Alix Flavelle) .....16
Reflekasi Gerakan Pemetaan Partisipatif di
Kalimantan Barat (A. Hadi Pramono) ….. 19
Evaluasi & Refleksi Pemetaan Partisipatif di
Kawasan Ekosistem Halimun (Andri Santosa
& Bagus Priatna) ...... 24
Informasi dari Seknas (Kasmita Widodo).. 28
DEWAN REDAKSI KABAR JKPP
Penanggung Jawab: Ita Natalia, Pemimpin
Redaksi: Devi Anggraini, Redaktur: Ita
Natalia, Kasmita Widodo, Devi Anggraini,
A.H. Pramono. Distribusi: Risma. Tata Letak:
Dodo. Alamat Redaksi : Jl. Arzimar III No.17
Bogor 16152, Indonesia, Telp. 0251-
379143, Fax.0251-379825, e-Mail:
jkpp@bogor.net, Website: www.jkpp.org.
(Foto Cover dari : http://www.vilart.com/gallery/1163.jpg)
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
berdiri pada bulan Mei 1996 di Bogor. Penggagas
berdirinya JKPP adalah berbagai NGO dan
masyarakat adat yang memanfaatkan dan
mengembangkan pemetaan berbasis masyarakat
sebagai salah satu alat pencapaian tujuannya.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan JKPP antara lain
menyelenggarakan pelatihan-pelatihan dan
magang pemetaan partisipatif, perluasan dan
penyebaran ide-ide pemetaan partisipatif, menye-
lenggarakan dialog-dialog keruangan, melakukan
kajian-kajian keruangan, penerbitan dan
melakukan aliansi dengan berbagai pihak yang
aktif dalam gerakan-gerakan sumberdaya alam
kerakyatan.
Penerbitan Kabar
JKPP ini atas
dukungan dana
dari:
3. MENCERMATI PERKEMBANGAN JKPP
DAN PEMETAAN PARTISIPATIF
Oleh : RESTU “GANDEN” ACHMALIADI
Ganden,SekretarisNasionalJKPPdari
sejak berdiri tahun 1996 sampai
2003; saat ini sebagai Sekretaris
Pelaksana Perkumpulan Kemala
Jawa (PKJ)
TIDAK terasa telah hampir 10 tahun perjalanan Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP). Lembaga yang didirikan pada Mei 1996 ini telah mencoba
mengembangkan community mapping – yang kemudian disebut pemetaan
partisipatif – dengan sekuat-kuatnya. Beberapa refleksi dan evaluasi telah
dilakukan, baik oleh JKPP sendiri maupun beberapa penelitian. Tulisan ini
akan mencoba mencermati perjalanan JKPP, dan menajamkan beberapa mo-
mentum penting selama perjalanan JKPP. Tentu saja “pengamatan jalanan” ini
berdasarkanversisaya,yangtentusajaakanberbedaapabilayangmenuliskannya
orang lain.
ISU-ISU COMMUNITY BASE
Pada awal tahun 90-an, isu-isu yang berkaitan dengan community base dalam
pengelolaan sumberdaya alam menjadi arus utama berbagai program-program
yang diinisiasi lembaga-lembaga donor, LSM, akademisi, dan lainnya baik di
tingkat nasional maupun internasional. Bahkan sampai saat ini pun isu-isu
community base dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam tetap
menjadi arus utama dalam kegiatan-kegiatan programatik LSM, penelitian,
maupun program-program yang dirancang pemerintah.
Community base natural resource management (CBNRM) dan community base
forestmanagement(CBFM)adalahduacontohprogram-programdengantekanan
kuat pada community base yang diusung oleh berbagai lembaga donor
internasional. Untuk konteks Indonesia, CBNRM diterjemahkan menjadi
pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat (PSDABM). Sistem Hutan
Kerakyatan (SHK) – ide awalnya digagas oleh beberapa LSM – adalah padanan
dari CBFM, meskipun dalam perkembangannya menjadi sangat khas Indone-
sia.
Pemetaan partisipatif (PP) atau pemetaan berbasis masyarakat tumbuh dan
berkembangluas,secaralangsungmaupuntidaklangsung,berkaitaneratdengan
maraknya isu-isu community base di Indonesia sejak awal 90-an. Pada awalnya
metode-metode pemetaan dengan melibatkan masyarakat dikembangkan oleh
lembaga-lembaga yang menggeluti isu-isu konservasi. Pada mulanya
penggunaan metode ini hanya untuk kelengkapan proses ekstraksi data spasial
yang lebih berperspektif persepsi masyarakat; yang mengambil manfaat utama
informasi spasial itu tentunya adalah lembaga-lembaga yang mengekstraksi
informasi spasial dari masyarakat tersebut. Pada mulanya metode ini juga
dimanfaatkan untuk mencitrakan bahwa program yang dilakukan oleh suatu
lembagatelahberlangsungsecarapartisipatorisdenganpengambilmanfaatutama
adalah lembaga yang mengembangkan program. Metode PP kemudian
berkembang, baik metodologi teknisnya maupun metodologi sosialnya. JKPP
JKPP mencoba
menempatkan
partisipasi
masyarakat
menjadi kunci
dalam kegiatan PP.
Dalam kegiatan PP
masyarakat lah
yang harus
menjadi
penyelenggara,
penentu manfaat
peta yang akan
dibuat, penentu
substansi
pemetaan,
pengontrol hasil,
dan pelaku utama
kegiatan
4. 4
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
memberikan tekanan yang kuat pada
proses “partisipatif” dalam
penggunaan metode ini. Masyarakat
harus menjadi pelaku utama dalam
penggunaan metode ini (perencana,
pelaku, pengambil manfaat). Adapun
pihak luar hanya pendukung proses
teknis penggunaan metode PP.
Penggunaan metode PP kemudian
berkembang luas, bahkan berbagai
organisasiyangterlibatdalamadvokasi
tanah pun turut mengembangkan
metode ini untuk memperkuat pro-
gram-program advokasi yang
dilakukan. Meskipun variasi
penggunaannya telah berkembang
luas, tetapi yang tetap mirip adalah
bahwa metode PP selalu dengan
penekanan kuat untuk isu-isucommu-
nity base.
Saat ini metode PP sangat cepat
perkembangan penggunaannya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan
JKPP, telah lebih dari 2 juta hektar luas
wilayah yang telah dipetakan dengan
metode PP. Seluas 7% wilayah
Kalimantan Barat – dengan metode PP
–telah dipetakan dalam kurun waktu
kurang dari 10 tahun. Meskipun yang
sangatdominanmenggunakanmetode
ini adalah LSM dan masyarakat,
pemerintah pun telah mulai
mengadopsi metode pemetaan
dengan melibatkan masyarakat dalam
mengimplementasikan program-
programnya. Program Hutan
Kemasyarakatan (HKM) Departemen
Kehutananmensyaratkanperencanaan
partisipatif (yang menyertakan juga
peta partisipatif) sebagai salah satu
kelengkapan yang harus disediakan
kelompok masyarakat yang ingin
mengelola hutan. Departemen
Kehutanan telah mencoba tata batas
partisipatif melalui metode PP di
Sumba(NusaTenggaraTimur). Pemda
Kutai Barat dan Pemda Jayapura –
bekerja sama dengan LSM dan
akademisi–mencobamenginventarisir
wilayahnya dengan menggunakan
metode PP.
Paling tidak ada tiga hal yang
menyebabkan metode pemetaan
dengan melibatkan masyarakat
berkembang pesat di Indonesia.
Pertama, sebagian besar masyarakat
yang tergantung langsung kepada
sumberdaya alam – masyarakat sekitar
hutan, komunitas-komunitas dengan
kampung yang terpencil, masyarakat
adat, komunitas-komunitas dataran
tinggi – adalah masyarakat yang
terpinggirkan, baik ekonomi, sosial,
budaya, maupun eksistensinya. PP
bisa menggambarkan dan
menumbuhkan kebanggaan akan
eksistensi penguasaan komunitas-
komunitas terhadap wilayah hidup di
sekitarnya, meskipun seringkali klaim
komunitas-komunitas marjinal ini
tidak diakui oleh negara. Dengan
petanya sendiri masyarakat bisa
memanfaatkan peta untuk
merencanakan pemanfaatan ruang
yang dikuasainya, menunjukkan
kepada pihak luar tentang klaimnya,
dan bisa menggunakannya untuk alat
advokasi kampungnya.
Kedua, informasi keruangan yang
dimiliki pemerintah, baik informasi
spasial fisik maupun informasi sosial
kelembagaan masyarakat di tingkat
terbawah, sangatlah buruk. Hanya
daerah-daerah yang telaah
diinventarisir secara detail oleh
Belanda yang memiliki data
memadai; data dan informasi itupun
tidak terlalu dimanfaatkan oleh
pemerintah. Angka-angka klaim
wilayah hutan versi pemerintah yang
selalu berubah-ubah menunjukkan
buruknya data dasar spasial kondisi
bentang alam Indonesia yang dimiliki
pemerintah. Kebijakan pemerintah
yang memberlakukan penyeragaman
pemerintahan desa untuk
kelembagaan terbawah tingkat
masyarakat adalah bukti lemahnya
informasi sosial kelembagaan
masyarakat yang dimiliki pemerintah
dan menunjukkan ketidakpedulian
pemerintah terhadap kekayaanragam
kelembagaan masyarakat/budaya/
etnisitas yang dimiliki Indonesia. PP
bisa menggambarkan kondisi bentang
alam versi masyarakat dan eksistensi
sosial kelembagaan, yang sebenarnya
akan sangat membantu pemerintah
dalam memperkaya data-data
pemerintah tentang keragaman
kelembagaan terbawah masyarakat
Indonesia.
Ketiga, kekayaan community base
Training pemetaan partisipatif di Aceh, sebelum melakukan pemetaan di kampung (dok. JKPP)
5. 5
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
pengelolaan sumberdaya alam
nusantarasangatlahluarbiasa;tatacara
pengelolaan, kearifan tradisional,
teknologi tradisional, obat-obatan
tradisional, kelembagaan ekonomi,
plasmanuftahyangdikembangkandan
sebagainya. Sayangnya kekayaan
community base tidak mendapat
perhatian yang cukup; bahkan
pemerintah terlalu terpukau dengan
“metodologi barat” dalam
memanfaatkan sumberdaya alam.
Padahal kekayaan community base
nusantarabisamenjadiinspirasiutama
dalam meluruskan pengelolaan
sumberdaya alam nusantara yang saat
ini carut marut menuju kehancuran.
PP bisa menggambarkan detail model-
model pengelolaan sumberdaya alam
berbasis masyarakat yang sangat
beraneka ragam; dan sekali lagi akan
sangat membantu pemerintah dalam
mengembangkan community base
lebihlanjutataumenjadikannyaacuan
dalam program pembangunan.
WORKSHOP
COMMUNITY MAPPING
DI FILIPINA DAN
PEMBENTUKAN JKPP
Sampai dengan tahun 1995-an para
pengembang pemetaan yang
melibatkan masyarakat praktis masih
berjalan sendiri-sendiri. Masing-
masing mencoba mengembangkan
metode yang disesuaikan dengan
kebutuhannya masing-masing. Taraf
pengembanganmetodenyapunmasih
dalam rangka uji coba dan terus
berubah.
Pada Oktober 1995, PAFID (sebuah
LSM yang berkedudukan di Filipina)
menyelenggarakan sebuah workshop
dengan tema perkembangan commu-
nity mapping di berbagai belahan
dunia. Peserta-peserta dari berbagai
negara yang diundang dalam work-
shop tersebut: Indonesia, Panama,
Kanada, US, Malaysia, dan Filipina
sebagai tuan rumah. Workshop ini
memberikan inspirasi yang kuat bagi
para peserta dari Indonesia untuk
mengembangkan community map-
ping lebih jauh. Di Amerika Latin dan
Canada, community mapping telah
berkembang cukup lama, dan proses-
proses community mapping telah
diakui negara sebagai bagian proses
menuju pengakuan tenurial wilayah
masyarakat adat. Filipina telah
memiliki perundangan yang jelas
bagaimana prosedur menggunakan
community mapping untuk
pengakuan wilayah masyarakat adat.
Sangatlah jelas bahwa community
mapping di Indonesia sangat
ketinggalandibandingkanpengalaman
negara lain.
Setelah workshop, para peserta dari
Indonesia sempat berkumpul bersama
dan secara singkat bertukar pikiran
tentang perkembangan community
mapping di Indonesia. Kemudian
disepakati bahwa pada bulan Mei
1996 akan diselenggarakan workshop
tentang community mapping dengan
mengundang berbagai lembaga yang
mulai mengembangkan community
mapping di Indonesia.
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
(JKPP) terbentuk pada workshop (Mei
1996) di Cigadog-Bogor. Selama
hampir 10 tahun perjalanannya telah
cukup panjang perkembangan com-
munity mapping di Indonesia baik
metodologi, paradigma, perluasan,
maupun organisasi.
PERJALANAN
PARADIGMA
Pada awalnya, kegiatan pemetaan
yang melibatkan masyarakat tarafnya
baru uji coba, sehingga terdapat
banyak ragam cara dan paradigma
yang menyertainya. Ada lembaga
yang menggunakan metode PP hanya
untuk melengkapi informasi spasial
dari suatu wilayah yang dikumpulkan
lembaganya – bisa merupakan bagian
dari suatu riset atau merupakan
kegiatan tersendiri – sehingga
informasi spasial yang diinginkan
mencitrakan pendapat masyarakat.
Karenapengumpulaninformasispasial
suatu topik tertentu menjadi tujuan
utamanya maka proses-proses
partisipasi menjadi lebih
dikesampingkan. Proses-proses
ekstraksi informasi spasial dari
masyarakat dilakukan sesuai dengan
topik informasi spasial yang
diinginkan, sesuai dengan rencana
kerja dan metode yang disiapkan
lembaga penyelenggara. Sangatlah
jelas bahwa lembaga
penyelenggaralah yang akan
mendapatkan manfaat dari informasi
spasial yang dikumpulkan dengan
menggunakan metode PP; adapun
masyarakat hanya obyek yang
dimintai keterangan atau justru
menjadi “porter” dalam proses di
lapangan.
Padapertengahan1990-an–ketikaisu
tentang pemetaan yang melibatkan
masyarakat mulai berkembang –
beberapa lembaga besar mencoba
mengadopsi metode PP dalam
“proyek-proyeknya”. Ciri-ciri proyek-
proyektersebut;biasanyabekerjapada
suatu wilayah yang luas, bertujuan
mengkombinasikan antara isu
konservasi dan partisipasi masyarakat,
serta cukup ambisius untuk mencapai
kondisipengelolaansumberdayaalam
yang ideal untuk suatu kawasan. Pada
prakteknya proyek-proyek model ini
tidak berhasil menjadikan masyarakat
sebagai subyek kegiatan atau gagal
“mengajak” masyarakat berpartisipasi
penuhdalamproyek-proyeknya. Pada
akhirnya – hampir sama dengan
metode di atas – masyarakat hanya
menjadi “porter” saja, atau setengah
hati terlibat dalam proyek-proyeknya.
Beberapa kemungkinan penyebab
kekurangberhasilan proyek-proyek
tersebut: perencanaan proyek
dilakukan tanpa melibatkan
6. 6
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
masyarakat, bukan kebutuhan yang
sebenarnya dari masyarakat, memiliki
jadwal yang terlalu ketat, memiliki
prosedur proyek yang “asing” bagi
masyarakat.
Mengajak masyarakat berpartisipasi
penuh dalam suatu kegiatan tidaklah
mudah. Suatu kampung – sekecil
apapun kampung itu – memiliki
pemangku-pemangku kepentingan
yang rumit. Partisipasi penuh akan
timbul kalau kegiatan tersebut benar-
benar merupakan kepentingan
kampung. Kalau disampaikan dengan
“benar” tentang kegunaan PP untuk
suatu kampung, maka sebenarnya
tidaklah terlalu sulit menjadikan PP
benar-benar menjadi agenda
kampung. Prosespenerimaanideatau
perkembangan wacana di kampung
tentang PP yang seringkali
memerlukan waktu lama. Apabila PP
telah menjadi agenda kampung atau
apabila masyarakat telah berpartisipasi
penuhdalamPP,makaproseskegiatan
pemetaan akan menjadi mudah dan
optimal hasilnya. Kesabaran
mengikuti alur proses seringkali gagal
dipenuhi oleh proyek yang telah
dirancang dengan pembagian waktu
yang ketat; seringkali pelaksana di
lapangan menjadi mengesampingkan
partisipasi.
JKPP mencoba menempatkan
partisipasi masyarakat menjadi kunci
dalam kegiatan PP. Dalam kegiatan
PP masyarakat lah yang harus menjadi
penyelenggara, penentu manfaat peta
yang akan dibuat, penentu substansi
pemetaan, pengontrol hasil, dan
pelaku utama kegiatan. Adapun pihak
luar (fasilitator, LSM) hanya akan
membantu teknis pemetaan. Kode
Etik JKPP dengan tegas menjelaskan
bahwa masyarakatlah yang menjadi
penentu/penyelenggara kegiatan PP di
kampungnya. Karena itu kampung
yang akan menyelenggarakan
pemetaan harus menyepakati proses
penyelenggaraan pemetaan,
pembiayaan,menentukanorang-orang
yang terlibat dan sebagainya.
Sangatlah jelas bahwa PP merupakan
kegiatan yang luar biasa dan
menyibukkan orang-orang di
kampung. JKPP dengan teguh
menggunakan definisi “pemetaan
partisipatif” untuk kegiatan pemetaan
yang melibatkan masyarakat; tentunya
dengan standar partisipasi seperti apa
yang tesurat dalam Kode Etik JKPP.
Akan tetapi dalam perjalanan JKPP,
tidak semua anggota JKPP berhasil
menjalankan sepenuhnya Kode Etik
JKPP dalam menyelenggarakan PP.
Harus diakui bahwa ada anggota JKPP
yang “kurang sabar” dalam
mendukungprosesPP;terjebakjadwal
proyek atau memang kurang intensitas
kerja di suatu tempat. Partisipasi
penuh masyarakat sangat penting
dalam PP, karena pada masa-masa
selanjutnya masyarakat sendiri lah
yang akan memanfaatkan peta yang
telah dihasilkan.
Kode Etik JKPP sangatlah penting
untuk selalu dikukuhi. Karena dengan
menggunakan PP secara sungguh-
sungguh berarti telah memberikan
sumbangan yang konkrit terhadap
demokratisasi,memberikandukungan
penuh pada komunitas-komunitas
marjinal, dan menghindarkan
komunitas-komunitas marjinal dari
sekedar obyek proyek-proyek yang
tidak jelas manfaatnya untuk
masyarakat.
PERLUASAN PELAKU
DAN WILAYAH KERJA
Pada awal 90-an, ketika metode
pemetaan dengan pelibatan
masyarakat mulai berkembang, hanya
beberapa lembaga di Indonesia yang
mulai mencoba metode ini. Itupun
didominasi oleh lembaga-lembaga
yang menekuni isu konservasi
sumberdaya alam. Karena tarafnya
baru uji coba, variasi metode dan
tujuan penggunaan pemetaan yang
melibatkan masyarakat juga sangat
luas; dari dominasi tujuan oleh
lembaga yang menginisiasinya sampai
pada lembaga-lembaga yang benar-
benar menyerahkannya kepada
masyarakattentangtujuandanmanfaat
PP.
Pada tahun 1996, setelah JKPP berdiri,
upaya-upayaperluasanide-idetentang
PP mulai dilakukan dengan serius.
Telah cukup banyak kegiatan-kegiatan
peningkatan kapasitas dalam PP telah
dilakukan; magang, regional training,
training of trainers (TOT), kunjungan
silang dan sebagainya. Pada awal
1990-an hanya beberapa lembaga saja
yang mengembangkan metode
pemetaan dengan melibatkan
masyarakat. Saat ini hampir di seluruh
provinsi di Indonesia terdapat
lembaga-lembaga yang
mengembangkan PP dan tersedia
fasilitator-fasilitator PP. kegiatan-
kegiatan PP diselenggarakan oleh
beragam masyarakat, baik yang
memiliki wilayah hidup berbasis
daratan maupun yang berwilayah
hidup dengan basis laut. Berbagai
permintaan PP dari komunitas-
komunitas belum keseluruhan bisa
terlayani.
Materi peningkatan kapasitas bukan
hanya teknik-teknik PP di lapangan,
tetapi juga meliputi sistem informasi
geografi (GIS), penggunaan peta untuk
perencanaan,pengkayaanpemahaman
aliran idiologi yang berpengaruh dan
sebagainya. Refleksi-refleksi
penggunaan metode yang telah
digunakan juga dilakukan.
Meskipun telah tersedia cukup banyak
fasilitator dan lembaga pengembang
PP, akan tetapi belumlah cukup untuk
melayani berbagai permintaan
masyarakat yang ingin wilayah
hidupnya dipetakan. Dukungan
pemerintah sangat dibutuhkan untuk
lebih memperluas kegiatan PP.
Seharusnya lah pemerintah
7. 7
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
mendukung gerakan PP, karena PP
akan memperkaya informasi yang
dimiliki pemerintah tentang detail
kondisi bentang alam dan sosial
daerah-daerahperdesaanmenurutversi
masyarakat; yang selama ini menjadi
kelemahan utama data-data
pemerintah.
PERJALANAN METODE
PP
Telah dikemukakan di atas bahwa
pada awalnya pemetaan dengan
melibatkan masyarakat dilakukan
dalam bentuk berbagai uji coba.
Metode awalnya pun juga bervariasi
sesuai dengan tujuan dan latar
belakang masing-masing. Ada
beberapa latar belakang yang
mendasari penggunaan metode ini :
a) ketidakpuasan penggunaan metode
peta sketsa dan metode transek dalam
participatory rural appraisal (PRA),
karena peta sketsa dan transek tidak
menggambarkan detail pemanfaatan
lahan di kampung, serta “terlalu
mudah” melakukannya; b)
ketidakpuasan penggunaan metode
penelitian dan survey konvensional
yang hanya memanfaatkan orang
kampung sebagai obyek; c)
ketidakpuasan penggunaan metode
pemetaan konvensional yang
seringkali tidak mencantumkan/
menghilangkan kekayaan pengeta-
huan keruangan masyarakat; d)
perlunya peta tertulis untuk
menunjukkan klaim masyarakat
terhadap suatu wilayah dalam proses-
proses advokasi sumberdaya alam.
Beberapa metode PP yang
dipergunakan antara lain : a) metode
peta sketsa; b) metode pemetaan
dengan berdasarkan hasil survey
(kompas, GPS); c) penggunaan GIS;
d)metodepemetaandenganalatbantu
penginderaan jarak jauh (citra satelit,
peta radar, citra IKONOS); e) metode
peta 3 dimensi. Teknik-teknik survey
dan pemetaan pada umumnya bisa
digunakan dalam PP. Penggunaan
metode biasanya tergantung pada luas
wilayah yang akan dipetakan, biaya
yang dipunyai, presisi yang
diinginkan, serta kemampuan teknis
lembaga masing-masing.
Yang paling penting adalah bahwa
proses PP tetap memelihara Kode Etik
JKPP, di mana masyarakat adalah
penentu dan penyelenggara PP. Para
fasilitator PP tentunya harus selalu
meningkatkan kemampuannya, baik
dalam hal tehnik pemetaan, proses
sosial, maupun kemampuan
memanfaatkan peta yang telah dibuat
untuk kepentingan kampung.
PEMETAAN
PARTISIPATIF:
TANTANGAN KE DEPAN
JKPP pada masa mendatang akan
menghadapi tantangan yang tidak
ringan. PP–sebagaialiranutamayang
dikukuhiolehJKPP–akanmenghadapi
banyak ujian, baik di dalam pasang
surutnyakonsistensiparaanggotaJKPP
terhadap PP maupun pengaruh-
pengaruh eksternal di luar JKPP.
Berikut ini beberapa tantangan yang
sangat mungkin dihadapi JKPP.
Pertama, PP sebagai metode yang
mendukung komunitas-komunitas
marjinal secara idiologis terpaksa
berhadap-hadapan dengan arus
dominan kapital yang hampir-hampir
tiada lawannya saat ini. Arus
kapitalisme – termasuk di Indonesia
– seakan-akan bagai gelombang
raksasa yang tidak terlawan.
Kapitalisme, yang dikontrol dari
pusat-pusat industri besar dunia,
berkemauanmenjadikanseluruhdunia
ini menjadi bumi industri yang
tentunya juga akan mengindustrikan
atau menggerus berbagai wilayah
hidup komunitas-komunitas marjinal.
Jelaslahindustrialisasidanaliranmodal
yang tidak terkontrol akan
menghancurkan daya dukung alam
menopang kehidupan dan merusak
berbagai kearifan komunitas yang
telah beradaptasi selama ratusan
tahun. Mampukah komunitas-
komunitas marjinal ini bertahan ?
Kedua, perubahan-perubahan
kebijakan yang lebih berpihak kepada
komunitas marjinal tidak kunjung
datang meskipun Reformasi telah
terjadi pada tahun 1998. Kita bisa
melihat di sekitar kita bahwa
Reformasi tidak banyak membuat
perubahan. KKN menjadi lebih
canggih dan rumit. Lapisan-lapisan
birokrasi bagaikan tembok tebal yang
tidak tertembus, meskipun berbagai
aksi dan berbagai bentuk desakan
sangat kuat mengharapkan perubahan
total birokrasi; bertele-telenya
birokrasi membuat berbagai pihak
kelelahan dalam mendukung
Reformasi. Kasus-kasusyangberkaitan
dengan sumberdaya alam (konflik
tanah, kebakaran hutan, pencemaran
lingkungan, ilegal logging, dan lain
lain) menjadi kabur tindak lanjutnya
karena KKN dan kerumitan birokrasi.
Beberapaperubahanperaturantentang
sumberdaya alam telah dibuat, tetapi
substansinya hampir sama dengan
sebelumnya atau seringkali lebih
buruk. Sulitnya perubahan kebijakan
ini menyebabkan kita semua
kelelahan dalam mengupayakan
perubahan kebijakan. Mampukah PP
tetap konsisten dengan perannya di
tengah kejenuhan mencari perbaikan
kebijakan?
Ketiga, sangat penting bagi para
pengembang PP untuk selalu
meningkatkan kemampuan membuat
peta menjadi lebih komunikatif dan
menggunakanPPdenganmetodeyang
bervariasi. Meskipun hampir semua
teknik pemetaan bisa dipergunakan,
tetapi para fasilitator PP, pada saat ini,
sebagian besar menggunakan metode
survey kompas dan GPS. Metode-
metode pemetaan lain sangat baik
apabila dipelajari dan dipraktekkan
sehingga penggunaan metode
8. 8
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
pemetaan menjadi bervariasi. Para
fasilitator sangat penting mening-
katkan kemampuan membuat peta
sehingga peta yang dibuat menjadi
lebih komunikatif dan mudah
dipahami oleh masyarakat luas.
Kemampuan memanfaatkan peta
partisipatif yang telah dibuat –
misalnyauntukperencanaankampung,
mengusulkan kegiatan pembangunan
kampung, menjadikan peta kampung
sebagai bahan advokasi – sangat
penting dipunyai oleh fasilitator
pemetaan dan juga masyarakat yang
telah membuat peta di kampungnya
sendiri.
Keempat,banyaknyafasilitatorPPyang
bergantibidangkegiatanatautidaklagi
menjadi fasilitator PP. Telah cukup
banyak fasilitator PP dihasilkan dari
berbagai kegiatan peningkatan
kapasitas yang diselenggarakan JKPP.
Akan tetapi kenyataannya cukup
banyak para fasilitator ini tidak lagi
menggeluti PP; berganti kegiatan
menjadi direktur LSM, beralih ke
divisi lain di lembaganya (riset,
administrasi, advokasi, kampanye.),
beralih jadi aktivis parpol, menjadi
pengusaha, menjadi pegawai negeri
dan seterusnya. Harus diakui bahwa
selalu berkegiatan di kampung,
mendengarkan keluhan orang
kampung, survey di hutan yang
melelahkan, menggambar peta yang
menjemukan, siap untuk tidak
populer, merupakan tantangan berat
para fasilitator PP. Seyogyanya
beralihnya isu utama yang digeluti
tidaklah perlu menyebabkan PP
ditinggalkan. Seharusnya seorang
fasilitator PP tetap siap sekali-sekali
membantu masyarakat menyeleng-
garakan PP. Kegiatan PP akan selalu
mengasahkemampuandansensitivitas
dalam memahami kondisi-kondisi
nyata di masyarakat; jarang metode
yang lain bisa mengasah pemahaman
kondisi masyarakat seefektif
PP.Menjadi fasilitator PP sebenarnya
tidak selalu menyita penuh waktu
seseorang. Para fasilitator harus
meyakini bahwa tools ini masih sangat
dibutuhkan di masa mendatang dan
perlu konsistensi mendalaminya.
Kelima, keberadaan JKPP sebagai
organisasiakanmenghadapitantangan
berat pada masa mendatang. Secara
alamiah, setiap organisasi akan
mengikuti siklus hidup organisasi;
lahir – tumbuh – berkembang -
mencapai puncak performace –
menurun - mungkin bisa bangkit
kembali atau mungkin juga bisa
bubar. Menurut pengamatan saya,
para anggota JKPP saat ini sangat
menurun intensitasnya dalam
menekuni PP. Menurunnya intensitas
ber-PP antara lain disebabkan semakin
sulitnya mencari dukungan funding,
sulitnya pencapaian tujuan organisasi
(dengan PP sebagai salah satu alatnya)
akibat mandegnya Reformasi,
pergantian kedudukan para fasilitator
PP, perlunya tindak lanjut yang “berat”
setelah PP diselenggarakan, lembaga
lebih senang melanjutkan kegiatan di
kampung yang telah “dikenal”
daripada bersusah payah mencari dan
bersosialisasi di tempat baru.
Kurangnya intensitas PP dari para
anggota JKPP ini berkolerasi terhadap
paraanggotaJKPPdalamberhubungan
/berjaringansatudenganyanglainnya.
Komunikasi praktis terhenti karena
tipisnya “benang pengikat”.
Akibatnya organisasi JKPP menjadi
“kurang darah”. Mampukah JKPP
tetap mempertahankan eksistensinya
di masa mendatang ? ***
Kegiatan berladang di Dusun Kanoreh - Sekadau, sebuah kawasan produksi masyarakat yang terancam ekspansi perkebunan kelapa sawit
9. 9
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
MENOLEH KEBELAKANG
Haribarusajahujan, kendati tidakterlalulebat. Jalantanahyangdilaluibagaikan
kain basah yang kusut dan licin. Harus ekstra hati-hati untuk mengemudikan
kendaraan roda dua, salah perhitungan sedikit pasti akan tersungkur dijalan
berlumpur. Telah berkali-kali roda kendaraan berhenti berputar, karena telah
penuh dengan tanah liat yang kuning kemerahan, sehingga harus dicungkil
untuk bisa jalan kembali. Hanya Elang Hitam (Ictinaetus malayenis) sesekali
berputar dan berteriak disela kerimbunan kawasan hutan.
Jatuh terguling, bukan sesuatu yang asing. Namun sudah merupakan makanan
rutin dalam perjalanan menuju kampung-kampung dihulu sungai, baik desa
Batu Kerbau, Batang Kibul ataupun Lubuk Bedorong. Letih dan ngilu pada lutut
dan siku seakan tidak berarti ketika puncak bubungan rumah dikampung sudah
terlihat dari atas bukit. Terhampar dihadapan mata pemandangan indah bagai
lukisan para maestro. Pucuk-pucuk enau dan beringin seolah berebut memanah
matahari, kemudian menariknya perlahan hingga rata dengan bebatuan.
Semburat merah kian pias, meluntur dalam rendaman lubuk yang berjajar
sepanjang jalan. Sementara itu anak-anak kecil dengan riang berloncatan dari
sulur beringin diiringi kecipratan air lubuk larangan, teriakan dan gelak tawa,
sedangkan ibu mereka asyik mebersihkan dulang yang dipakai mencari emas
sejak tengah hari tadi. Para pria dengan penuh konsentrasi memperhatikan
bandul pancing yang bergoyang dipermainkan ikan diluar lubuk larangan, dan
keceprak.... seekor ikan semah sebesar pangkal lengan menggelepar.
Masyarakat adat yang hidup dihulu-hulu sungai telah memanfaatkan berbagai
jenistumbuhandanhewanuntukkeperluanakanpemenuhankebutuhanpangan,
MENATA RUANG, MEMBANGUN KESEPAHAMAN
OLEH : RAKHMAT HIDAYAT (WARSI-JAMBI)
Hal yang sangat
penting dibangun
adalah
mempertahankan
kawasan hutan yang
tersisa sebagai
gantungan hidup
masyarakat, dengan
jalan mempengaruhi
kebijakan agar tidak
mengkonversi
kawasan dengan jalan
mempengaruhi
penyusunan
tataruang daerah
Peta penggunaan tanah masyarakat Desa Batu Kerbau setelah proses digitasi (Dok. WARSI)
10. 10
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
perumahan,obat-obatan,upacaraadat
dan keagamaan. Secara khsusus
mereka melihat potensi hutan bukan
hanyakayu,namunlebihdariitujustru
hasil hutan non kayu yang menjadi
aspek pemanfaatan utama. Bagi
masyarakat disekitar dan didalamnya
hutan merupakan bagian dari
kehidupan, bagaikan ibu yang
menghidupi mereka. Sehingga hutan
mempunyai fungsi yang sangat besar
seperti a) sebagai sumber kehidupan,
berburu,bahanmakanan,tanamanobat
dan sebagai simbol kepercayaan serta
inspirasi, b) sebagai sumber pelestari
air, penyumbang kayu dan bahan
bangunanuntukkepentingankeluarga,
c) sebagai faktor produksi untuk
mengembangkan ekonomi
kerakyatan, baik skala kecil maupun
menengah, dan d) sebagai cadangan
lahan untuk keturunan juga masa
depan keluarga masyarakat disekitar
dan didalam hutan, e) sebagai ruang
ekspresi teknologi dan kearifan lokal.
Kalau kita mau belajar dari masa lalu,
sejakzamanprasejarah,Kolonial,Orla,
Orba sampai orde bersama kita bisa
ini, persoalan ruang merupakan
masalah yang tak pernah usai. Sebab
ruang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari ekspresi budaya
masyarakat. Baik sebagai alat ekspresi
kepentingan politik, sosial, ekonomi,
budaya, religi dan media untuk
menciptakan serta menguji teknologi
lokal mereka. Dari proses itu hadir
berbagai karakter dan praktek
pengelolaan sumberdaya alam yang
berbasis pada ruang-ruang mikro.
Implementasinya terlihat dari berbagai
bentuk pengelolaan seperti konsep
rimbo pusako dan rimbo parabukalo
di Batang Kibul, hutan adat dan
lindung desa di Batu Kerbau, Guguk,
BaruPangkalanJambu,RantauKermas,
Keluru, Hiang, Lempur serta Renah
Alai. Konsep parak di Koto Malintang,
talang di Ladang Palembang,
hompongan di kawasan hutan yang
dikelola Orang Rimba dan lainnya.
Secarakhusus sumberdayaalamhutan
tetap menjadi sumberdaya terpenting
bagi mereka, karena mampu
menyediakanbahan-bahankebutuhan
dasar. Sehingga mereka juga
mengupayakan pengelolaan agar
dapat menjamin kesinambungan
pemanfaatannya, bagi mereka hutan
bukan sekedar komoditi melainkan
sebagai bagian dari sistim kehidupan.
Sehingga tidak didasari hanya pada
kegiatan eksploitatif, tetapi dilandasi
pada usaha-usaha untuk memelihara
keseimbangan dan keberlanjutannya.
Sayangnya, pengelolaan sumberdaya
hutan belum menyentuh sama sekali
kepentingan masyarakat dalam
menjamin kesejahteraan dan
perlindunganbagipemanfaatansecara
berkelanjutan. Pendekatan
pembangunan dan pengelolaan
sumber daya alam yang sentralistik,
tertutup, sektoral dan berorientasi tar-
get ekonomi sesaat yang menafikan
peransertamasyarakatsertarendahnya
komitmen politik pemerintah dan
tidak berjalannya penegakan hukum
menjadi titik kulminasi penyebab
terjadinya kerusakan moral dan
lingkungan.
Banyak peristiwa yang membuat
masyarakat adat/lokal bertanya-tanya,
katika selembar Surat Izin yang datang
entah dari mana memutus hubungan
harmonis tersebut. Puncaknya ketika
bertebaran izin diberikan terkait
dengan beroperasinya puluhan areal
konsesi HPH, konversi hutan menjadi
perkebunan besar swasta sawit, areal
transmigrasi, Hutan Tanaman Industri
dan areal konsesi pertambangan.
Persoalan ini muncul akibat
keberpihakan yang berlebihan
terhadap pengusaha yang
dimanifestasikan kedalam berbagai
hak istimewa untuk mengeksploitasi
sumberdaya hutan ternyata telah
menyebabkan terjadinya proses
degradasi sumberdaya hutan yang
sangat parah dan dehumanisasi pada
masyarakat adat dan lokal yang hidup
di dalam dan sekitar hutan. Kondisi ini
menimbulkan terjadinya kesenjangan
sosialekonomiantaramasyarakatyang
mempunyai hak terhadap hutan
dengan para investor sebagai subjek
pelaku pembangunan yang diberi hak
di dalam pengelolaan hutan.
Akumulasi kesenjangan kemudian
menjadi pemicu terjadinya konflik
sosial, kehilangan kepercayaan
terhadap pemerintah, meningkatnya
KKN dan tidak terlaksananya
penegakan hukum.
MENGANYAM
KEMITRAAN,
MENGGANYANG
KESEWENANGAN
Bagi masyarakat adat dan lokal, hutan
dengansegalakekayaanjenisyangada
tidak hanya dipandang dari nilai
ekonomisnya, namun bagian dari
hidupdankehidupan. Halyangsangat
penting dibangun adalah
mempertahankankawasanhutanyang
tersisa sebagai gantungan hidup
masyarakat, dengan jalan
mempengaruhi kebijakan agar tidak
mengkonversi kawasan dengan jalan
mempengaruhi penyusunan tataruang
daerah. Sebab dengan konsistennya
Pemerintah Daerah dengan rencana
tataruang, akan memberikan peluang
kepadamasyarakatuntukmemberikan
pembelajaran pengelolaan ruang
mikro melalui system pengelolaan
berbasiskan pada kekuatan lokal.
Seperti praktek repong damar di
Lampung, hutan adat di Jambi dan
Bengkulu, rimbo larangan dan parak
di Sumatera Barat, hutan kemenyan
di Sumatera Utara, gampong di Aceh
dan lainnya. Sehingga dengan
dukungan ruang yang baik akan
memberikan keleluasaan masyarakat
untuk membuktikan bentuk
pengelolaan hutanyang
11. 11
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
berkelanjutandan berkeadilan serta
memperoleh pengakuan,
perlindungan dan dukungan
kebijakan.
Untuk itu masyarakat yang telah turun
temurun hidup disekitar dan didalam
hutan harus diberi kesempatan untuk
membuktikan kemampuannya
didalam mengelola sumberdaya alam
agar berdampak nyata terhadap
kesejahteraan rakyat yang
berkelanjutan, khususnya untuk a)
mengembangkan sistim pengelolaan
hutan sesuai dengan pengetahuan
lokal, praktek-praktek, tradisi, institusi
dan teknologi yang dimiliknya, b)
melakukan pemantauan, pengawasan
dan perlindungan atas kegiatan-
kegiatan pengelolaan sumberdaya
hutan serta dampak yang
ditimbulkannya, c) meningkatkan
kemampuan dalam penyampaian
informasi yang diperlukan untuk
perlindungan dan pengamanan
sumberdayahutandand)membangun
sistim nilai, norma dan kelembagaan
yang mengarah pada prinsip
pengelolaan hutan yang adil dan
demokratis.
Sejak tahun 1995 WARSI secara
berkala menganyam kesepahaman
dan kemitraan bersama masyarakat
didalam memutus kesewenangan
penguasa dan pengusaha yang terus
mengeksploitasi sumberdaya alam
mereka. Ancaman dan intimidasi
menjadi hal yang biasa, bahkan
pengalaman Datuk Rasyid salah
seorang tokoh Adat di desa Batu
Kerbau bisa menjadi contoh. Kayu
jelutung yang baru disadap sore
kemarin, pagi harinya telah
“ditumbang” (istilah lokal untuki
ditebang) perusahaan, ketika diprotes
mereka mengancam akan menggusur
desa,sebabmasukdalampetakonsesi.
Diskusi awal dengan masyarakat
dilakukan untuk menemukenali
pemahaman bersama,
kesetiakawanan, kerelawanan dan
menguatkan militansi. Fase berikutnya
melakukan survei-survei sederhana
yang bertujuan untuk a)
mengembangkan sistim pengelolaan
hutan sesuai dengan pengetahuan
lokal, praktek-praktek, tradisi, institusi
dan teknologi yang dimiliknya, b)
melakukan pemantauan, pengawasan
dan perlindungan atas kegiatan-
kegiatan pengelolaan sumberdaya
hutan serta dampak yang
ditimbulkannya, c) meningkatkan
kemampuan dalam penyampaian
informasi yang diperlukan untuk
perlindungan dan pengamanan
sumberdayahutandand)membangun
sistim nilai, norma dan kelembagaan
yang mengarah pada prinsip
pengelolaan hutan yang adil dan
demokratis.
Upaya refleksi bersama ternyata
menghasilkan keteguhan sikap dan
pengentalan militansi bahwa mereka
bisa mengelola sumberdayanya
sendiri, tanpa harus menjadikan
kawasan itu HPH/HTI, sawit, Translok
ataupun IPK. Pertemuan dusun dan
desa diinisiasi untuk merancang
strategi bersama menghadapi tekanan,
hasilnya dikeluarkannya Surat Kepala
Desa untuk membentuk kelompok
pengelola sumberdaya alam Batu
Kerbau, pemetaan partisipatif, piagam
kesepakatan masyarakat dan
pembagian peran didalam proses
pengakuan.
Secara teknis kegiatan yang
dilaksanakan melalui periode
tingkatan pelaksanaan sebagai
berikut:a) pemetaan partisipatif
terhadapkawasanyangakandiaturdan
dikelola oleh masyarakat, b)
penggalian aspirasi masyarakat, yaitu
menghimpun ide-ide dari masyarakat
mengenai definisi hutan adat mereka,
kegunaanhutanadat,carapengelolaan
hutan adat dan sanksi-sanksi terhadap
pelanggaran. Selain itu juga dihimpun
aturan-aturan mengenai pengelolaan
kawasan hutan yang telah ada (aturan
adat), c) penghimpunan aspirasi
masyarakat, yaitu membuat kedalam
bentuk piagam tentang pengelolaan
hutan adat dari aspirasi-aspirasi dan
aturan adat yang telah disepakati
masyarakat dan d) advokasi kebijakan,
yaitu mengupayakan adanya suatu SK
Bupati yang mengukuhkan hutan adat
dan adanya Perda yang mengatur
pengelolaan hutan berbasiskan
masyarakat.
MENDORONG
TATARUANG
MIKROPERAN
UntukmerubahpandanganPemerintah
terhadap kemampuan masyarakat
didalam pengelolaan ruang mikro,
sudahwaktunyadibangunwacanadan
paradigmabaruyanglebihberorientasi
pada kesejahteraan masyarakat
disekitar dan didalam hutan juga
ekologi, dimana negara melibatkan
dan memasukan dimensi pemahaman
ruang mikro oleh masyarakat didalam
kebijakan pengelolaan sumberdaya
hutan. Masyarakat adat dan lokal
sebagai pemilik sumber daya alam
diwilayahnya, memiliki pengetahuan
dan informasi tentang potensi serta
batas-batas wilayah kekuasaan
mereka. Umumnya pengetahuan
tersebut diperoleh secara lisan melalui
cerita dari generasi sebelumnya.
Pengakuan secara lisan yang
berkembang ditengah mereka
akhirnya berkembang menjadi
kesepakatan yang dihargai oleh
masyarakat disekitar dan terus
berkembang. Masyarakat lain
disekitar juga akan melakukan hal
yang sama, sehingga masing–masing
kelompok memiliki wilayah dengan
batas-batas yang disepakati secara
lisan, dengan memakai tanda alam,
seperti sungai, bukit, ataupun bentuk
lain dan kemudian menjadi batas yang
dihormati.
Perkembangannya kemudian
12. 12
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
dirasakan oleh masyarakat bahwa
penetapan batas atupun pengetahuan
tentang letak potensi kekayaan
Sumber daya alam yang mereka miliki
tidak cukup dengan pernyataan lisan.
Banyak pihak yang menarik
keuntungan dengan kondisi ini.
Berbagai pelanggaran batas serta
pengerukan potensi sumber daya
dilakukan oleh pihak yang dapat
mengambil peluang akan lemahnya
sistem penguasaan ruang atau wilayah
oleh masyarakat secara lisan ini.
Untuk itu timbul kesadaran kritis
ditengah masyarakat untuk
mempertegas ruang atau wilayah
beserta potensi yang ada didalamnya
melalui sebuah peta. Dengan
demikian batas serta potensi yang
dimilikiolehmasyarakattersebutdapat
secara jelas dan tegas diketahui
melalui sebuah peta.
Merebut peluang keotonomian
sebuah komunitas menjadi suatu
keharusan, apabila mengharap
terimplementasikannya pengelolaan
sumberdaya secara otonom. Peluang
keotonomian bagi sebuah komunitas
(desa atau nama lain), yang notabene
terikat dengan kesamaan geneologis
dan atau teritorial, mempertegas
bahwa sebuah komunitas dapat
dikatakan sebagai kesatuan
masyarakat hukum apabila memenuhi
dua kategori. Pertama, berasal dari
garis keturunan yang sama dan tinggal
diwilayah yang sama pula. Kedua,
tidakberasaldariketurunanyangsama,
tetapi menetap diwilah yang sama.
Dari kedua kategori tadi nampaknya
kesamaan wilayah menjadi prasyarat
yang utama. Sebagai prasyarat yang
utama, maka komunitas harus
mempunyai kepastian atau kejelasan
batas wilayah, sehingga tidak
mencaplok wilayah komunitas lain.
Dari adanya kejelasan batas wilayah
tersebutakandiaturdandisepakati tata
peruntukan wilayah guna membuat
perencanaan mendasar (grand desain)
otonomi komunitas. Kebutuhan akan
wilayah yang jelas tersebut semakin
mendesak ketika batas-batas alam
menurut cerita lisan dari mulut
kemulut tidak dapat diterima lagi oleh
semua pihak karena memang praktek
penyelenggaraan negara dibawah
rezim Orde Baru telah menjadi awal
kehancuran batas-batas alam tersebut
dan menggantinya dengan batas-batas
administrasi yang manipulatif untuk
membentuk Desa menurut kehendak
UU No. 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa.
Sering kali pelanggaran wilayah atau
ruang kelola masyarakat desa oleh
pihak luar ataupun masyarakat itu
sendiri, karena ketidak jelasan batas
ruang kelola. Alasan ketidak jelasan
dan ketidak tahuan inilah menjadi alat
legitimasi terhadap pelanggaran
tersebut. Karena seringnya terjadi
pelanggaran seperti ini, maka sudah
saatnya didorong penataan dan
pengelolaan ruang mikro. Sehingga
wilayah kelola tersebut dapat
diketahui dengan pasti. Beberapa
peluang yang mungkin didorong
adalah membangun alas hukum lokal
seperti Peraturan Desa (Perdes),
peraturan nagari (Perna), kesepakatan
antar wilayah desa dan lainnya. Alas
hukum ini akan di usung untuk
menjadi substansi bagi perencanaan
ruang yang lebih makro,baik level
Kecamatan, kabupaten, Provinsi
bahkan bisa didorong ke region pulau.
Inisiasi ini bisa mengakomodasi
kepentingan masyarakat dilevel
bawah yang selama ini terabaikan.
PEMETAAN
PARTISIPATIF DAN
PENGELOLAAN
TATARUANG MIKRO
Belajar dari proses didalam
mendorongupayapengakuankawasan
kelola rakyat di desa Batu Kerbau
dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan(SK) BupatiBungoNomor.
1249Tahun2002tentangPengukuhan
Hutan adat Desa Batu Kerbau
Kecamatan Pelepat Kabupaten
Bungo yang mengukuhkan kawasan
Hutan Lindung Kampung Batu Kerbau
seluas 776 Ha, Belukar Panjang 361
Ha dan Hutan Adat Kampung Batu
Kerbauseluas386Ha,BelukarPanjang
472 Ha dan Lubuk Tebat 360 Ha.
Perjuangan serupa di Kabupaten
Merangin mampu mendorong
Pemerintah Daerah untuk mengakui
dan mengukuhkan Kawasan Bukit
Tapanggang seluas 690 Ha sebagai
Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat
desaGugukKecamatanSungaiManau
Kabupaten Merangin lewat SK Bupati
Nomor.287 Tahun 2003.
Hal yang tidak bisa dilupakan adalah
peran penting dari proses pemetaan
partisipatif didalam proses pengakuan.
Untuk mewujudkan pengakuan
diperlukan langkah-langkah kongkrit
yang dapat dibuktikan secara ilmiah
disertai argumentasi akademis.
Pemetaan partisipatif dengan
melibatkan para pihak, baik
masyarakat adat/lokal, para
pendukung (kalangan Ornop) dan
Pemerintah daerah (BPN, Bappeda,
Dinas Kehutanan, bagian Hukum dan
Tata Pemerintahan) selain akan
mampu membangun dukungan juga
akan melegitimasi hasil pemetaan.
Pemetaan partisipatif dilakukan
terhadap batas-batas wilayah kelola.
Hasilnya adalah peta partisipatif yang
akan menjadi alat negoisasi dengan
Pemerintah Daerah untuk
memperoleh pengakuan secara legal,
alat untuk mempercepat resolusi
tatabatasdenganwilayahtetangga,alat
pengelolan aset wilayah, alat diskusi
untuk perencanaan kawasan kedepan
serta membangun mekanisme
pengaturannya.
Keterlibatan para tokoh adat,
pemerintahan desa, pegawai syara,
pemuda dan perempuan serta badan
pengelola dalam setiap pengambilan
13. 13
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
upaya yang dilindungi oleh berbagai
payung hukum di republik ini.
Beberapa payung hukum terkait
dengan hal itu adalah UUD 1945,
Amandemen ke-2, pasal 28F, yang
berbunyi setiap orang berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi. Kemudian
UU No 28 Tahun1999 tentang
Penyelengaraan Negara Bebas KKN,
dimana masyarakat berhak untuk
mencari, memperoleh dan
memberikan informasi dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah, dan
berhak untuk menyampaikan
pendapat dan masukan terhadap
kebijakan penyelenggaraan
pemerintah, ditambah dengan
Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun
1996 tentang Peran Serta Masyarakat
didalam Penataan Ruang dan
Permendagri No. 5 Tahun1998
tentang Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
Sebenarnya tataruang bukanlah
sesuatu yang baru bagi masyarakat,
jauh sebelum negara ini berdiri
mereka sudah mempunyai konsep-
konsep pengelolaan ruang. Beberapa
warisan pemikiran yang bijak
senantiasa diturunkan oleh para tetua
adat, Ninik mamak dan lainnya lewat
petatah-petitih adat yang berbunyi
”Nanlereangditanamtabu,nangurun
buek ka parak, nan bancah jadikan
sawah, nan munggu ka pandam
pakuburan, nan gauang ka tabe ikan,
nanlambahkubangankabau,dannan
padek ka parumahan” (dalam bahasa
Indonesia berarti yang lereng ditanami
tebu, yang datar dibuat ladang, yang
berlumpur di buat sawah,yang kering
dibuat pekuburan, yang berair dibuat
kolam ikan, yang dilembag untuk
kubangankerbaudanyangkersauntuk
pemukiman). Gambaran tersebut
merupakan bukti kalau secara
tradisional masyarakat adat dan lokal
secara luar biasa telah mampu
membuat perencanaan ruang
(tataruang mikro) yang berbasis pada
potensi lokal. Ungkapan tersebut
menggambarkan adanya keterkaitan
antara pemanfaatan lahan dengan
peruntukannya baik secara estetika,
keputusan penting didalam proses
menuju pengakuan, baik terkait
denganaspirasipemanfaatanruangdan
lahan menjadi hal yang paling
mendasar dan tidak boleh tidak.
Pemerintah dalam hal ini Pemerintah
Kabupaten sebagai pihak pemegang
dan pembuat kebijakan ditingkat
makro harus merespon dan
mengakomodasi kepentingan
masyarakat. Selain itu peran peta yang
dihasilkan dari proses pemetaan
partisipatif dapat dipakai sebagai alat
untuk mediasi dan fasilitasi dalam
setiap penyelesaian batas dan
pemanfataan ruang. Lembaga adat
kecamatan dan kabupaten berperan
sebagai sumber informasi dan
memberikan masukan dan argumen
dalam pemanfaatan ruang dan
persoalan batas berdasarkan nilai-nilai
dan ketentuan yang berlaku secara
turun temurun.
Tataruang Mikro sebagai wujud dari
implementasi peran serta masyarakat
didalam pengelolaan sumberdaya
hutan bukanlah sesuatu yang
mengada-ada, namun merupakan
Proses klarifikasi peta partisipatif oleh masyarakat (Dok. WARSI)
14. 14
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
ekologi, ekonomi dan ungkapan-
ungkapan tersebut sampai saat ini
masih menjadi pedoman pengelolaan
sumberdaya hutan. Tetapi sangat
disayangkan bahwa kebijakan
pembangunan sampai saat ini masih
belum sepenuhnya mempertimbang-
kan keselarasan hubungan dan
keterkaitan kearifan, pengetahuan dan
teknologi lokal.
PadamasaRajaJambi,masyarakatadat
Guguk salah satu desa di Provinsi
Jambi telah mempunyai konsep ruang
seperti yang tertuang didalam Piagam
LantakSepadanMargaPembarapyang
diserahkan Sultan Anom Seri Mogoro
(Senin, bulan Syafar 1170 H) “…hutan
dan tanahnya itu hinggo Teluk
Serambi terus ke Tebat Gedang
Tanjung Selasah terus ke Bukit
Cempedak turun ke Setepung
merampung ke Ulu Masat terus ke
Serik Bedjadjo habis bateh dengan
Masumai terus ke Pematang Buluh
apo berbatas dengan Depati Ma.
Langkap terus ke Renah Utan Udang
berwatas dengan Serampas/Dusun
Tuo terjun ke Ulu Mangkanang
berbatas dengan Sengrahan dan Tiang
Pumpung seekor ikannya sebingkah
tanahnya dan setitik airnya adalah
milik Depati Pembarap”. Petatah
petitih tersebut ketika dilakukan
pemetaan partisipatif ternyata
membentuk sebuah ruang dengan
berbagai kekhasannya.
Masyarakat ketika memanfaatkan
ruang-ruang kelolanya masih
menjadikan pepatah adat sebagai
rujukan. Misalnya proses pemanfaatan
sumberdaya untuk membuat ladang
diatur secara adat, dimana peran tetua
adat baik Tuo Tengganai, Ninik
Mamak dan cerdik pandai cukup
dominan. Sistim pertanian diawali
dengan pemilihan lahan calon lokasi
ladang, penebasan, penebangan,
pembakaran, pembersihan ladang,
penanaman, pemeliharaan sampai
panen dilakukan secara tradisonal.
Pengerjaan kegiatan berladang
biasanya dilakukan secara kolektif dan
bergiliran antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya dalam satu
areal atau hamparan perladangan
dikenal dengan istilah banjar yang
dipimpin oleh Tuo Banjar. Lokasinya
dipilih dekat dengan aliran sungai
dengan anggapan tanahnya akan lebih
subur, mencegah kebakaran, selain
dekat dengan sumber air untuk mandi,
cuci, air minum dan tempat mencari
ikan serta sarana transportasi
mengangkut hasil pertanian.
Tapi pertanyaannya adalah kenapa
sangat sulit mendorong upaya
pengakuan tataruang mikro kedalam
TataruangKabupaten.Padahaldengan
diakuinya tataruang mikro paling tidak
akan sangat bermanfaat bagi
Pemerintah dimana akan mendorong
lahirnya kebijakandanperaturanyang
mendapat legitimasi dari masyarakat,
terimplementasikannyaprinsip-prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yang
baik dan demokratis (transparan,
pelibatan masyarakat dan berjalannya
akuntabilitas publik), adanya peluang
dan mekanisme yang jelas bagi
masyarakat untuk menyalurkan
aspirasinyadalampenyusunanrencana
pengelolaan ruang mikro sebagai
upayapengelolaansumberdayasecara
berkelanjutan, mencegah lahirnya
tataruang yang tidak dapat
diimplementasikan dilapangan serta
menimbulkan konflik, mencegah
lahirnya kebijakan yang hanya
menguntungkanpribadidankelompok
tertentu,mencegahmunculnyakonflik
horizontal/vertikal terkait dengan
penetapan kawasan lindung dan
konsesi yang menyangkut tanah adat,
atau penataan ruang yang menyalahi
kaidah-kaidah tertentu serta
mengembalikan kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah yang
akhir-akhir ini terus menipis. ***
LLLLLONGGENAONGGENAONGGENAONGGENAONGGENA GGGGGINTINGINTINGINTINGINTINGINTING:::::
JKPP HARUS
MEREDEFINISI
GERAKANNYA
Berikut ini wawancara A. Hadi Pramono
dengan Longgena Ginting, mantan
Direktur Walhi periode 2003-2005, yang
kini aktif FoE International.
Kapan anda mengenal pemetaan
partisipatif?
Saya memulainya ketika masih bekerja
di PLASMA, di Kalimantan Timur. Ketika
itu, dimulai pada tahun 1992 kami
bekerjasama dengan Alix Flavelle,
seorang Kanada dari Endangered Peoples
Program (EPP) yang memperkenalkan ide
ini. Alix mengundang saya dan beberapa
rekan lain seperti Kristianus Atok untuk
ikut lokakarya dan pelatihan PP di Thai-
land Utara dan selanjutnya PLASMA
mulai melakukan pemetaan tanah-tanah
adat bersama kelompok masyarakat
Dayak. Perlu diingat bahwa konteks
politik pada saat metode ini
diperkenalkan masih dalam suasana
represi Orde Baru dimana sedang kuat-
kuatnya dalam mengontrol rakyat dan
sumber daya alam, sehingga PP ketika
itu memang terbukti bisa menjadi salat
satu alat ampuh untuk mempertahankan
hak rakyat.
Apakah ada lembaga dana yang
mendorong Plasma untuk mengadopsi
PP?
Tidak, penularan ini terjadi di antara
Ornop dalam hal ini antara EPP dan
Plasma. Meskipun belakangan ada
banyak lembaga dana yang mendukung
15. 15
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
tahun 2000 dampak PP terasa berkurang.
Tampaknya hal ini sangat dipengaruhi
oleh perubahan politik saat itu dimana
prioritas-prioritas bisa saja berubah, atau
kita kurang cepat melihat peluang-
peluang baru. Dengan demikian JKPP
harus meredefinisi gerakannya dengan
mengembangkanpendekatan-pendekatan
baru untuk menanggapi keadaan sosial
politik yang berbeda. Bila dulu JKPP
bermain pada tingkat kampung, sudah
saatnya jaringan ini main pada skala yang
lebih besar, misalnya pada proses
pembuatan RTRW Provinsi dan nasional,
utamanya dimana kekuatan korporasi
multinasional saat ini telah semakin kuat
di era globalisasi ekonomi saat ini.
Teknologi yang ada sekarang sangat
memungkin intervensi demikian.
Apa penilaian Anda tentang JKPP sebagai
sebuah gerakan sosial?
Saya pikir selama ini JKPP berhasil
melakukankampanyetentangadanyaPP,
tetapi jaringan ini belum
mengembangkan dirinya sebagai sebuah
gerakan yang masif dan belum
menempatkan dirinya dalam gerakan
sosial yang lebih luas. JKPP perlu juga
lebih banyak bermain dalam advokasi
kebijakan dan membuka ruang-ruang
politikdimanaprosespemetaankampung
bisa menjadi lebih efektif untuk
mengklaimtanah,teritoridansumberdaya
rakyat. Dengan makin kuatnya kekuasaan
korporasi multinasional yang menjadi
pemain utama dalam globalisasi, JKPP
dituntut untuk lebih kreatif dalam
mengembangkan gerakan PP. Apalagi
sasaran perusahaan-perusahaan tersebut
adalah tanah-tanah rakyat. Dengan
demikian JKPP memiliki peran sentral
dalam upaya perlindungan tanah-tanah
tersebut.DalamupayatersebutJKPPperlu
mengembangkan kerjasama dengan
berbagai jaringan lain seperti KPSHK,
KPA, Jatam, WALHI, dll. ***
inisiatif ini, namun kerjasama atau
pengembangan PP lebih merupakan
inisiatif ornop ke ornop. Tidak ada
dorongan lembaga-lembaga dana,
meskipunsayapikirmerekacukuptertarik
dengan prakarsa ini. Harus diakui pula
pengembanganPPinibisaberjalankarena
dukungan mereka, tetapi secara politik
inisiatifinimerupakanmurnigagasanpara
ornop dan komunitas masyarakat adat.
Bagaimana pengaruh pemetaan di
Kayan Mentarang yang mulai pada
tahun 1992 terhadap program PP di
PLASMA?
Tidak ada pengaruh langsung. Kami
mendengar kegiatan pemetaan di Kayan
Mentarang dari staf WWF, terutama
MartuaSirait.Tapikamimengembangkan
sendiri metode pemetaan. Berbeda
dengan PPSDAK yang lebih menekankan
pada percepatan proses pemetaan tanah
adat, kami lebih menekankan pada
pemetaan sebagai bagian dari
pengorganisasian, mobilisasi dan
perencanaankampung. Dalampemetaan
kami mengajak penduduk kampung
untuk mendiskusikan visi mereka tentang
masa depan kampung mereka,
memprediksi ancaman-ancaman serta
mengantisipasinya.
Apa harapan Anda
dan PLASMA saat
JKPP berdiri?
Setelah beberapa
tahun melaksanakan
program PP, kami
menyadari bahwa
kegiatan pemetaan
oleh Ornop sudah
terjadi di banyak
tempat. Dampak
pemetaan yang
dilakukan mulai
terasa di tingkat
lokal, tetapi kami
m e m b u t u h k a n
lembaga yang bisa mempengaruhi
kebijakan penataan ruang di tingkat
nasional. Untuk itulah saat para peserta
lokakarya pemetaan partisipatif di Bogor
pada pertengahan tahun 1996 seluruh
peserta sepakat untuk mendirikan JKPP.
PLASMA menjadi salah satu anggota
pertama jaringan ini. Setelah JKPP berdiri
kami berharap bahwa jaringan ini bisa
mengembangkan metodologi PP dan
memperluasgerakanPPdiIndonesia.Saat
itu beberapa Ornop yang memiliki pro-
gram pemetaan yang sangat baik seperti
PPSDAK, tetapi banyak juga yang baru
mau belajar tentang pemetaan.
Disamping itu juga, kami merasakan
sebuah kebutuhan untuk
mengembangkan PP sebagai sebuah
proses politik. Kami berharap sebuah
koalisi seperti JKPP bisa memobilisasi
menjadi sebuah proses yang lebih politis.
Pemetaan sangat politik karena berbicara
mengenai tanah, teritori dan sumberdaya
alam.
Menurut Anda bagaimana
perkembangan JKPP selama selama ini?
Saya melihat bahwa pada tiga/empat
tahun pertama JKPP mampu mendorong
perkembangangerakanpemetaandengan
cepat, terutama dalam menyebarkan
metodologi pemetaan. Namun sejak
16. 16
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
AWAL MEMPERKENALKAN COMMUNITY MAPPING;
Pada tahun 1994, saya bekerja bersama Pancur Kasih di Kalimantan Barat untuk memfasilitasi
lokakarya pemetaan berbasis masyarakat (Pemetaan Partisipatif) yang pertama di Indonesia.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan metodologi pemetaan untuk dan oleh masyarakat
kampung/lokal. Upaya Pemetaan Partisipatif ketika itu sudah dilakukan oleh WWF di Wasur
dan Kayan Mentarang, yang menarik minat LSM lokal untuk meningkatkan kapasitas mereka
gunamembantumasyarakatmemetakankampung.LSMlokalmulaitertarikuntukmenyebarkan
Pemetaan Partisipatif dan kemudian mengadakan pelatihan pemetaan di Maluku, Sulawesi
Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Pada tahun 1996, konferensi JKPP I dihadiri
oleh 30 LSM lokal dari seluruh Indonesia, di samping LSM-LSM besar Konservasi dan
MENGAPAMEMPERKENALKAN COMMUNITY
MAPPING DI INDONESIA: REFLEKSI DARI JAUH
OLEH : ALIX FLAVELLE, KANADA
akademisi. Setelah itu inisiatif akar
rumput/ komunitas untuk
melaksanakan Pemetaan Partisipatif
muncul dengan sangat cepat dan
meluas di Indonesia, suatu hal yang
tidak saya jumpai di negara lain
tempat saya bekerja.
DALAM
PERKEMBANGANNYA;
Mengapa daya tarik Pemetaan
Partisipatif begitu meluas? Pada tahun
1990-an, khususnya di luar Jawa dan
Bali,masalahhak-hakmasyarakatadat
atas tanahnya berkembang menjadi
masalah yang sangat mengemuka.
Sengketa atas lahan meningkat di
antara masyarakat adat dan
kepentingan ekspansi industriyang
makin meningkat—pembalakan,
perkebunan (termasuk HTI di
dalamnya),pertambangan,bendungan
untuk pembangkit tenaga listrik, dan
transmigrasi. Masyarakat lokal telah
mengurusi wilayahnya berdasarkan
kebiasaan dan sistem pengelolaan
sumberdayamerekayangkhas.Sistem
demikian yang terbukti
berkeberlanjutan dari generasi ke
generasi dalam beberapa kasus mulai
meluntur dan berubah menjadi tidak
berkelanjutan, salah satu sebabnya
adalahmerambahnyakegiatanindustri
ke wilayah masyarakat lokal. Sistem
tersebut tidak pernah diakui apalagi
dipahami oleh pengambil kebijakan
dan perencana tata guna tanah.
Pemerintah, terutama di tingkat
propinsi dan nasional, bekerja
berdasarkan mitos bahwa masyarakat
lokalmengelolasumberdayaalamnya
menggunakan sistem “tebas dan
bakar”yang merusak lingkungan .
MENGAPA DIPILIH
BERBASIS
MASYARAKAT?
Mengapa Pemetaan partisipatif
berbasis masyarakat? Jika peta dipakai
untuk menyampaikan kepentingan
dan keprihatinan masyarakat kepada
para pembuat kebijakan, maka
jelaslah bahwa peta perlu dibuat oleh
dan untuk masyarakat. Dengan
demikian,pusatperhatianadalahpada
Pemetaan partisipatif yang berbasis
masyarakat, yaitu pemetaan
masyarakat yang dilakukan oleh
masyarakat lokal.Masyarakat lokal
dapat memilih sendiri apa yang
dipetakan, melakukan sendiri survei
lapangan dan menggambar sendiri
peta.
Beberapatahuntelahberlalusejaksaya
bekerja di Indonesia dalam masalah
pemetaan partisipatif. Terkadang
memandang dari kejauhan sungguh
sangat bermanfaat . Saya akan
membahas, dalam pandangan saya,
apa yang dulunya menjadi harapan
bagi pemetaan partisipatif, dan
beberaparefleksisejauhmanaharapan
tersebut telah terwujud diantaranya;
Pemetaan partisipatif berbasis
masyarakat diharapkan menjadi alat
masyarakat untuk menegakkan hak
atas wilayah adat, bukan hanya
menggambarkan batas batas wilayah
17. 17
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
di atas kertas untuk pertama kalinya,
tetapijugadenganmembuatgambaran
visual tentang bagaimana mereka
mengelola sumberdaya alamnya.
Karena bentuknya yang visual, - peta
memiliki potensi untuk menjadi
sebuah “bahasa pengantar” yang bisa
dimengerti baikoleh pejabat
pemerintah maupun para penduduk
desa.
Potensi peta sebagai “bahasa
pengantar” dapat terwujud hanya bila
adakemauankeduabelahpihakuntuk
menggunakan bahasa tersebut, untuk
berkomunikasi, untuk mendengarkan
dan untuk memahami bersama.
Kemauan untuk berdialog adalah
kuncinya. Untuk penduduk desa
kemauan untuk berkomunikasi
dengan pemerintah meningkat ketika
mereka terorganisir lebih baik dan
memilikikepercayaanpadajurubicara
mereka. Untuk para pejabat
pemerintah kemauan timbul melalui
pendidikan dan pemupukan
kesadaran, yang mengembangkan
wawasan yang lebih luas tentang
aspek-aspek sosial, lingkungan dan
ekonomi dari putusan kebijakan
pemerintahdanpenghargaanterhadap
keadaan dari masyarakat pedesaan.
Maka, agar dapat digunakan sebagai
alat yang efektif untuk meraih/
mendapatkanpengakuanterhadaphak
atas tanah dan penyelesaian sengketa
tanah, peta perlu digunakan dalam
konteks sebagai sebuah proses
pendidikan dan pengembangan
kepercayaan.
PENGALAMAN DARI
FIRST NATIONS,
CANADA
Mengapa penekanan pada pemetaan
berskala spasial? Ketika kami bekerja
untuk mengembangkan dan
mengajarkan metode-metode
Pemetaan Partisipatif yang sesuai
dengan konteks Indonesia, saya tentu
saja terpengaruh oleh metode
Pemetaan Partisipatif di negara asal
saya, Kanada. Masyarakat adat di
Kanada, yang dikenal sebagai First
Nations, mulai memetakan “daerah
jelajah dan daerah pemukiman” (land
useandoccupancy)merekapadatahun
1970. Mereka memiliki pendanaan
yang cukup untuk mengerjakan
pemetaan. Mereka sudah terorganisasi
cukup baik dalam arti bahwa mereka
lembaga-lembaga “demokratis” yang
berfungsi pada tingkat komunitas dan
suku. Artinya bahwa masyarakat dapat
memilih dan melatih sebuah tim
pemetaan, yang dipilih dari komunitas
tersebut, dan yakin bahwa tim tersebut
akan mewakili kepentingan dari
seluruh komunitas. Hal itu juga berarti
bahwa peta-peta yang dihasilkan akan
diajukan kepada pemerintah oleh juru
bicara , perunding, bahkan pengacara
hukum yang dipilih masyarakat.
Masyarakat adat Kanada tahu bahwa
lahan yang sangat luas dan sumber
daya yang sangat besar menjadi
taruhan dalam perundingan mereka,
dan perjuangan panjang akan hak atas
tanah akan melibatkan pengadilan.
Agar peta dapat dipakai dalam
pemeriksaan hukum dan perundingan
tingkat tinggi peta-peta tersebut harus
memiliki skala, memakai metode
standar, dan juga harus konsisten dan
memiliki akurasi yang memadai untuk
metode dan skala peta yang dipakai.
Anggota-anggota JKPP pertama
berharap bahwa peta-peta komunitas
yangdibuatberskalaakanmempunyai
kredibilitas dan kepastian dalam
pembahasandanperundingantentang
hak atas tanah dan sengketa
pemanfaatan lahan.
Peta berskala memang meningkatkan
kredibilitas, tetapi bukan tanpa
masalah. Akibat sifat birokrasi Indo-
nesia yang teknokratis, ada
kecenderungan untuk memusatkan
perhatian pada teknologi pemetaan
dan perdebatan tentang akurasi dan
keabsahan teknis peta. Inti penting
dari dikusi ini menjadi hilang, yaitu
apakah masyarakat lokal mempunyai
dasar untuk mengklaim penguasaan
tanah dan sumber daya yang mereka
kelola secara tradisional. Dialog
memang akan lebih jelas bila
memakai peta berskala dibandingkan
dengan peta sketsa. Namun untuk
menghindariketerpakuanpadaakurasi
teknologi peta, proses pendidikan
jangka panjang tentang sistem-sistem
pengelolaan sumber daya secara
tradisional menjadi hal yang juga
penting.
Dengan melakukan sendiri pemetaan
berskala para penduduk desa
mendapatkan kepercayaan diri dan
kredibilitas. Dalam banyak
kesempatan para pejabat pemerintah
Indonesia menunjukkan keterkejutan
mereka setelah mengetahui bahwa
masyarakat desa mampu melakukan
survei lapangan dan membuat peta
berskala. Pemetaan berskala berbasis
masyarakat meningkatkan keahlian
dan kemampuan anggota masyarakat
dan menunjukkan kepada pemerintah
bahwa masyarakat pun mampu
mengelola sumber daya mereka
sendiridanberhubungansecaraefektif
dengan instansi pengelolaan lahan
yang terkait. Dengan kata lain, hal ini
menunjukkanbahwamasyarakatlokal
bisa mengelola sumber daya alam
mereka secara tradisional dan
menggunakancara-caramoderndalam
perencanaan, pemantauan dan
dokumentasi. Tetapi sekali lagi, peta
berskala bisa mendorong kredibilitas
hanya bila ada masyarakat yang
kohesif dan teroganisasi baik yang
berdiri di belakang isi peta serta
mengajukan diri untuk memaparkan
peta-peta mereka.
Pemetaan berskala memang adalah
suatu kegiatan teknis, walaupun bisa
diajarkandengancarasederhana.Saya
telahmelihatsejumlahpendudukdesa
yang hanya memiliki sedikit
pendidikan formal merasa sangat puas
setelah belajar pemetaan berskala
18. 18
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
sementara ada orang-orang lain yang
merasa kecewa karena tidak mampu
memahamipengetahuanbarutersebut.
Belajar pemetaan bukan masalah latar
belakang pendidikan, tetapi persoalan
karakter dan kepentingan
perseorangan. Jadi pemetaan berskala
terbaik dilakukan oleh tim pemetaan
terlatih yang dipilih secara hati-hati.
Timtersebuthendaknyamampuuntuk
melaksanakan pemetaan secara
kompeten, berkomunikasi secara
terbuka dan cekatan dengan seluruh
komunitas, dan dapat dipercaya
masyarakat. Komunitas perlu
terorganisir cukup baik untuk dapat
mengarahkan pekerjaan tim tersebut
dan melibatkan pakar-pakar lokal –
baik yang terlihat maupun yang
tersembunyi.
Diharapkan bahwa jika Pemetaan
Partisipatif menyebar, menjadi sebuah
gerakan, suara masyarakat akan
didengar lebih baik, dan advokasi
untukperubahankebijakantanahakan
berhasil. Semakin banyak masyarakat
yang membuat peta dan mengajukan
peta tersebut kepada para pembuat
kebijakan dan bahkan pengadilan ,
makin banyak preseden yang dibuat
dan perubahan akan terjadi. Ada
harapan bahwa Ornop-Ornop lokal di
berbagai penjuru Indonesia
mengembangkan program pemetaan
berdasarkan prioritas mereka sendiri
dangayamasing-masingdalambekerja
dengan masyarakat. Ada upaya untuk
membuat standarisasi metode
sehingga lebih mudah untuk diajarkan
dan digunakan. Ada penekanan akan
pembelajaran satu sama lain.
Kelemahan dari pengembangan
gerakan sedemikian mungkin adalah
kurangnya kreativitas.
Bila gaya bekerja bersama masyarakat
sangat beragam, ada kecenderungan
untuk mengambil metode yang
berhasil di suatu wilayah dan
diterapkan di wilayah lainnya.
Memang baik untuk satu sama lain
belajar keberhasilan dan tantangan,
dan pemetaan yang dapat dipercaya
perlu menggunakan metode standar.
Namun penting pula untuk
menggunakan kreativitas dan inovasi
dalam merancang kegiatan pemetaan
komunitas untuk menangani konteks
dan kebutuhan spesifik berbagai
wilayah di Indonesia. Khususnya
masyarakat hendaknya mengajukan
topik-topik peta tematik yang berbeda
berdasarkan pemanfaatan tradisional
sumber daya alam mereka dan
sengketa atau masalah sumber daya
tertentu yang mereka ingin tangani.
Juga ada harapan bahwa Pemetaan
Partisipatif dapat menjadi alat
pengorganisasian masyarakat, yang
menyatukan masyarakat. Lagi-lagi
saya melihat para tetua dan golongan
muda membahas pengetahuan
tradisionalbersama,yangrupanyabaru
pertama kali terjadi. Pemetaan
tampaknya menjadi kegiatan nyata
dan bisa dicapai yang dapat dilakukan
masyarakatbersama-sama.Masyarakat
sangat antusias merekam sejarah
mereka bersama. Sebagai gambaran
visual peta terbukti menjadi alat yang
baik untuk merangsang diskusi di
dalam masyarakat tentang
pemanfaatan lahan. Tetapi walaupun
ada keuntungan dan indikator
“menyatukan masyarakat,” pemetaan
komunitas sering tidak memenuhi
harapan masyarakat. Kadang-kadang
petadiletakkandirakdanjarangdilihat
kembali. Hal ini mungkin masalah
pengorganisasian masyarakat. Bila
masyarakat terorganisasi dengan baik,
visi bersama masyarakat atas keluaran
pemetaan akan lebih jelas, dan proses
pemetaan menjadi lebih efisien dan
spesifik terhadap kebutuhan mereka.
Selanjutnya, masyarakat akan mampu
memutuskan sendiri tentang strategi
penggunaan peta, dan memiliki
lembaga lokal yang berfungsi baik
untuk melaksanakan strategi tersebut.
Refleksi saya dalam artikel ini
dimaksudkan bersifat umum dan
menyeluruh karena saya tidak terlibat
secara langsung dalam pemetaan
partisipatif di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir ini dan tidak
dapat berbicara dalam konteks dan
perkembangan terkini. Tetapi saya
memberanikan diri untuk
menyarankan bahwa pusat perhatian
hendaknya tidak hanya pada
perbaikan teknologi pemetaan dan
tehnik pemetaan partisipatif semata,
tetapi juga dalam proses
pengorganisasian masyarakat,
pendidikan dan peningkatan
kapasitas.
MENGAPA
MEMPERKENALKAN
PEMETAAN
PARTISIPATIF DI
INDONESIA?
Sebab banyak yang membutuhkannya
[Sebab ada kebutuhan nyata].
Pemetaan Partisipatif telah dan tetap
menjadi alat penting untuk
menegakkan hak-hak tenurial
masyarakat dan bagi pengelolaan
sumberdayaalamberbasismasyarakat.
Konteks politik dan keadaan
perdesaan di Indonesia telah berubah
secara signifikan dalam 10 tahun
terakhir. Tetapi kebutuhan akan
pemetaanpartisipatiftampaknyajustru
lebihbesardibandingkansebelumnya.
Tujuan khusus pemetaan partisipatif
telah berubah karena kerangka
persoalanhakatastanahjugaberubah,
tetapi masih menjadi persoalan yang
sangat berkaitan, dan pemetaan
partisipatif akan berperan penting
dalam merangkai jawabannya
19. 19
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
PEMETAAN partisipatif (PP) di Kalimantan Barat pertama kali dilakukan di Sidas
Daya pada tahun 1994 dan berkembang makin pesat setelah pembentukan
Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur Kasih
pada tahun 1995. Sampai dengan bulan Desember 2004 lembaga ini telah
memetakan 263 kampung yang tersebar di sembilan kabupaten dengan luas
cakupan 1.135.415,89 hektar atau 7,58% dari luas wilayah provinsi Kalimantan
Barat. Setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun PPSDAK merasakan bahwa
program pemetaan partisipatif yang dilakukan selama ini belum memberi
dampak politik yang signifikan terhadap pengurusan dan penguasaan sumber
dayaalamdandalambeberapakasusjustrumenimbulkandampak-dampakyang
tidak diinginkan di kampung-kampung yang telah dipetakan. Berangkat dari
kesadaran tersebut, PPSDAK memutuskan untuk melakukan refleksi mendalam
terhadap program yang dilakukan sampai saat ini.
Refleksi yang berlangsung dalam bentuk lokakarya ini dilaksanakan di Aula
Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Pancur Kasih ini bertujuan untuk mengulas
kegiatan pemetaan partisipatif di Kalimantan Barat, melihat kembali metodologi
PPdalamkonteksperubahanpolitikyangsedangberlangsung,menggalipeluang
dan harapan dalam mengembangkan PP sebagai upaya pemberdayaan rakyat
secara menyeluruh dan berkelanjutan, membangun mekanisme kerja antar
LSM dan lembaga lokal dalam pelaksanaan kegiatan PP, dan meningkatkan
kapasitas staf PPSDAK dalam mengelola konflik di lapangan. Para peserta
kebanyakan tetap bertahan selama tiga hari pertemuan dengan antusiasme tinggi
walaupun acara berlangsung di akhir minggu. Antusiasme yang tinggi ini
tampaknya muncul karena pertemuan ini adalah pertemuan pertama berbagai
Rangkuman Diskusi
REFLEKSI GERAKAN PEMETAAN
PARTISIPATIF DI KALIMANTAN BARAT
OLEH : A. HADI PRAMONO
komponen Pancur Kasih setelah
kegagalan seorang kadernya dalam
pemilihan kepala daerah (Pilkada) di
Sekadau. Akibatnya nuansa politis
terhadap kegiatan refleksi ini terasa
kental yang justru menguntungkan di
tengah lemahnya dampak politis dari
gerakan PP.
Lokakarya yang dipandu oleh Abdon
Nababan dan Ita Natalia dimulai
dengan sebuah diskusi panel untuk
memberi gambaran tentang
pengalaman-pengalaman beberapa
lembaga dalam pendampingan
masyarakat setelah pemetaan
kampung berlangsung. Tiga panelis
yang memaparkan pengalaman
pelaksanaan PP di lembaga masing-
masing.adalahJohnBambadariInstitut
Dayakologi (ID), Sem dari Yayasan
Pupuk Tagua, dan Leo Teddy dari
Yayasan Biodamar.
BERIKUT ADALAH
PEMAPARAN DARI
PARA PANELIS;
John Bamba, salah satu inisiator
gerakan PP di Kalbar, memulai
pemaparannya dengan melakukan
kilas balik atas gerakan PP di provinsi
ini.Kekuatanpeta“ditemukan”secara
tak sengaja oleh sejumlah penggiat
lingkungan dalam lingkaran WALHI.
Mereka mendapati bahwa pada tahun
1990 masyarakat kampung Tering
Lama di Kalimantan Timur berhasil
mempertahankan kampung mereka
dari caplokan sebuah perusahaan
emas, PT. Kelian Equator Mining
dengan menggunakan sebuah peta
yang dibuat pada jaman Hindia
Belanda.Padatahun1992kegiatanPP
Para aktivis Kalimantan Barat melakukan refleksi gerakan pemetaan partisipatif (Dok. JKPP)
20. 20
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
pertama dilakukan WWF di Long Uli,
sebuah kampung di pinggir Taman
Nasional Kayan Mentarang.
Mendengar kegiatan ini, Institute of
Dayakology Research and Develop-
ment (IDRD yang kemudian menjadi
ID) mengirim Kristianus Atok untuk
mempelajari metode baru ini. Namun
pelatihan pemetaan pertama di Kalbar
yang dilaksanakan IDRD dan Yayasan
Karya Sosial Pancur Kasih. baru
dilakukan tahun 1994 di Sidas Daya
dengan mengundang Alix Flavelle
(seoranggeograferdariKanada)sebagai
fasilitatorpelatihan.Setelahdipandang
perluuntukmengembangkanprogram
PP, IDRD semula berencana
menjadikan program tersebut sebagai
salah satu programnya. Tetapi karena
lembaga dana yang bersedia
mendukungtelahmembiayaiprogram
lain, kemudian digagaslah
pembentukanPPSDAKsebagaisebuah
unit baru dalam Yayasan Karya Sosial
Pancur Kasih pada tahun 1995.
John Bamba memberi catatan penting
terhadap kegiatan pemetaan yaitu
terjadinyatransformasidaritradisilisan
menjadi tradisi tulisan. Seperti kita
ketahui, pada dasarnya PP
mentransformasi “peta mental” yang
hidupdalamtradisilisanmenjadisuatu
peta modern yang berasal dari tradisi
tulisan.Dalammelakukantransformasi
ini perlu diingat bahwa tidak semua
budaya lisan yang dialihkan ke dalam
bentuktulisanmenguntungkankarena
bahan-bahan tertulis justru bisa
menjadi alat kontrol bagi pihak luar
terhadap masyarakat yang memiliki
pengetahuan tersebut. Tetapi dalam
banyak kasus pengalihan demikian
tidak bisa dihindari karena untuk
perlindungan dan penyelamatan
budaya tradisi lisan. Dalam hal ini ID
memilih pendekatan penyelamatan
dengan mendokumentasikan tradisi
lisan.
Menurut John Bamba gerakan PP di
Kalbar memiliki dua tujuan utama.
Secara internal PP bertujuan untuk
memperjelas batas-batas klaim
wilayah masyarakat lokal/adat,
mengaturpolapemanfaatanruangoleh
masyarakat, dan sebagai alat
pengorganisasian masyarakat untuk
mengurangi potensi konflik dan
perusakansumberdayaalam.Keluaran
PP menjadi dasar untuk advokasi
kebijakan untuk mendapatkan
legitimasi atas klaim tersebut
mendapatkan pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan.
Selama ini gerakan PP lebih
menonjolkan keberhasilan-
keberhasilan masyarakat dalam
mempertahankan tanah dan sumber
daya alamnya. Namun bila diamati
lebih jauh sejumlah dampak yang
terjadi justru bertentangan dengan
kedua tujuan tersebut, sehingga
gerakan PP perlu dikaji ulang untuk
bisamencapaitujuanyangdiharapkan.
Berdasarkanpengalaman lembaganya
di Kabupaten Ketapang, khususnya
dengan masyarakat Dayak Jalai, John
Bamba mengamati beberapa dampak
yang muncul antara lain tata batas
menjadi kaku dan berujung pada
menguaknya konflik di dalam
masyarakat yang menimbulkan kotak-
kotak sosial mengikuti tata batas peta,
memperkuat pembagian wilayah ad-
ministratif pemerintahan (melalui
pemetaan kampung/desa), dan
meningkatnya pengurasan sumber
dayaalamolehmasyarakatsendiri.Hal
terakhir ini juga diungkapkan oleh
Sam berdasarkan pengalaman
lembaganya dengan masyarakat
Dayak Krio Bihak.
Konflik dalam masyarakat muncul
akibat adanya kecenderungan
privatisasi tanah adat, karena
kemungkinan besar selama dan
sesudah pemetaan tendensi atas
kepemilikan pribadi meningkat.
Selain itu anggota kampung mulai
menerjemahkan peta sebagai bukti
kepemilikan. Persoalan pun
bertambah karena kesepakatan atas
pengurusan kampung pasca pemetaan
yang sudah dibuat sering menjadi
mandul. Tidak berjalannya komitmen
yang dicapai kemungkinan besar
karena kesepakatan tersebut dibuat di
luar mekanisme pembuatan kebijakan
kolektif komunitas secara adat.
Salah satu sumber masalahnya adalah
bahwa PP belum mampu
menerjemahkan indigenous knowl-
edge dan indigenus wisdom dalam
konteks sosial budaya komunitas
kampung yang dipetakan, terutama
dalam hal “kumpulan hak yang
melekat” (bundles of rights) termasuk
hak pemanfaatan SDA oleh kerabat
dari wilayah tetangga. Yang terjadi
justru PP membekukan fleksibilitas
dan dinamika ruang dan pengetahuan
‘asli.’ Perlu disadari bahwa ada dua
macam falsafah dan dua sistem nilai
yang berbeda yang tidak dapat
dipaksakan masuk ke dalam peta.
Sehubungandenganperbedaansistem
pengetahuan tersebut, Albertus Hadi
Pramono – seorang kandidat doktor
geografi dari Universitas Hawaii yang
sedang membantu Sekretariat
Nasional JKPP dalam mengevaluasi
gerakan PP di Indonesia – diminta
Abdon Nababan untuk mengulas
sedikit tentang tesis S2-nya. Dalam
pemaparan ini disampaikan bahwa
pemetaan yang berdasarkan kartografi
modern membawa sederet nilai yang
tidak bisa dilepaskan begitu saja. Nilai-
nilai penting yang mendasari
perkembangan kartografi adalah
individualisme yang berujung pada
penekanan atas hak milik pribadi dan
potensi uang yang diperoleh dari
milik pribadi. Di sinilah peran
kartografi modern yang menyediakan
teknologi untuk menentukan batas-
batas daerah yang diklaim berbagai
pihak dan memperkirakan potensi
uang yang bisa diperoleh dari daerah
yang dimiliki. Batas yang tegas dan
kaku dengan demikian sangatlah
penting untuk tujuan tersebut.
21. 21
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
Sementara itu masyarakat adat
memiliki sistem teritorialitas sendiri
yang lebih cair (fleksibel atau tidak
kaku) dan kompleks. Pada sebuah
bidang tanah, misalnya, seringkali
menggunakan batas batas alam bisa
jadiadabeberapapihakyangmemiliki
hak yang berbeda-beda atas tanah dan
atau tumbuhan di atasnya. Untuk
menyatakanteritorialitasdanklaimnya
berbagai kelompok masyarakat adat
memakai berbagai macam bentuk
komunikasi seperti lagu, syair, lukisan,
dansebagainya.Dengandemikianada
perbedaan dan benturan filsafat serta
nilai dalam memetakan suatu wilayah
adat. Tantangannya adalah bagaimana
mengubah teknologi pemetaan mod-
ern agar bisa merepresentasi
kompleksitas penguasaan ruang di
dalam masyarakat, atau bermain
dalam teknologi yang ada tapi
kompleksitas penguasaan tetap bisa
berlangsung. Dengan kata lain,
bagaimanakah para aktivis PP
mengarusutamakan pengetahuan asli
dalam PP?
John Bamba juga mengulas dampak-
dampak dari tujuan eksternal. Pilihan
untuk memetakan batas-batas
kampung atau desa sebagai unit sosial-
politik menimbulkan pertanyaan. Di
mana sebenarnya posisi PP terhadap
tata kuasa kawasan negara? Dengan
memetakan kampung/desa PP
terjebak dengan wilayah administrasi
pemerintahan, yang kemudian
berakibat pada delegitimasi
masyarakatadatdannegaraisasisistim-
sistim adat. Kemudian dalam peta ada
kolom tanda tangan pejabat
pemerintah, tetapi pertanyaannya
‘apakah perlu pemetaan memperoleh
pengakuandarinegara?.’Haliniterjadi
karena masyarakat sendiri sudah
terkooptasi, sehingga persepsi dan
keinginanbahwapetaharusmengikuti
satuan administrasi pemerintah juga
karena ada ketakutan atas sah atau
tidaknya peta-peta yang dihasilkan.
Namun tidak bisa dipungkiri hal
tersebut mungkin akibat persepsi yang
keliru dari Ornop pendamping.
Contoh kongkrit dari persoalan ini
muncul dalam pemaparan Sam.
Masyarakat Krio Bihak bingung dalam
menentukan status hutan yang berada
di luar cakupan batas-batas kampung
yang mereka petakan. Apakah daerah
itu masuk dalam kawasan masyarakat
adat, atau wilayah negara atau bahkan
wilayah tak bertuan? YPT pun, sebagai
pendamping, tidak bisa menjawab
persoalan ini yang tampaknya juga
terperangkap dalam wacana yang
dipakai negara.
Ada beberapa persoalan metodologi
yang muncul dalam lokakarya ini.
Pertama, selama ini metode PP
cenderung seragam tanpa
mempedulikanperbedaankondisidan
kebutuhan masyarakat yang
wilayahnya dipetakan. Padahal,
meminjam wacana manajemen, pal-
ing sedikit ada tiga tingkat kondisi
masyarakat yang perlu diperhatikan:
penyelamatan (damage control),
pemulihan (recovery) dan investasi.
Hal ini berarti metodologi tidak bisa
seragam di semua tempat, tetapi harus
memperhatikanberadapadatingkatan
yang mana suatu masyarakat saat
pemetaanakandimulai.Persoalanlain
adalah komitmen pendampingan oleh
Ornop yang membantu pemetaan.
Selama ini, jarang sekali Ornop yang
memiliki kelanjutan dalam
pengorganisasian masyarakat sesudah
pemetaan. Ada kesan bahwa Ornop
yang aktif dalam PP melakukan
“tabrak lari,” sehingga sepertinya
persoalan-persoalan yang muncul
kemudian bukan lagi urusan mereka.
Leo Teddy mengingatkan bahwa
kelanjutan pendampingan atas
masalah-masalah yang dihadapi perlu
dipertahankan meski tidak lagi bekerja
di wilayah yang telah dipetakan.
Selanjutnya dalam diskusi sebagian
peserta menilai bahwa sebagai sebuah
gerakansosialgaunggerakanPPmasih
belum terasa di tingkat nasional.
Kelemahan ini terjadi karena gerakan
PP selama ini cenderung menekankan
kepentinganekonomidanekologibila
dilihat dari jenis-jenis peta yang
dihasilkan, yaitu batas kampung dan
tata guna lahan. Dengan demikian
sampai saat ini gerakan PP masih
berupagerakankulturalyangbertujuan
untuk mendidik masyarakat, tetapi
belum mengembangkan komponen
kedua dari gerakan sosial yaitu sebagai
sebuah gerakan politik. Untuk sampai
ke sana gerakan PP perlu memiliki
perspektif ideologis dan politik yang
kuat sebagai sebuah gerakan sosial.
Namun bukan berarti kondisi saat ini
salah, karena pilihan sebagai gerakan
kultural tidak lepas dari sejarah
gerakan. Saat gerakan PP dimulai
persoalan penyelamatan wilayah
masyarakat adat dan menahan
kerusakan ekologis dari pencaplokan
oleh negara dan kepentingan bisnis
menjadi alasan utama pemetaan. Di
masa depan PP harus dijadikan suatu
gerakan politik masyarakat adat.
Namun tantangannya adalah
bagaimana membuka ruang hidup
masyarakat adat dan memposisikan
pekerjaan PP dalam ranah politik
seperti sekarang ini.
Berdasarkan pemaparan oleh para
panelis dan diskusi di antara para
peserta, Abdon Nababan selaku
fasilitator mengajak para peserta untuk
merefleksi pengalaman gerakan PP
selama 10 tahun di KALBAR melalui
tiga pertanyaan:
1. Apa yang seharusnya tidak kita
lakukan di masa lalu?
2. Apa yang yang seharusnya kita
lanjutkan dari masa lalu?
3. Apa upaya-upaya baru yang perlu
kita lakukan memperkuat PP di
masa depan?
Peserta kemudian berdiskusi dalam
dua kelompok dengan pertanyaan
yang sama. Hasil diskusi tersebut
adalah sebagai berikut:
22. 22
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
Hal-hal yang seharusnya tidak kita
lakukan di masa lalu adalah:
1. Petaataupemetaanmenjaditujuan
2. Orientasi PP sebagai proyek
3. Penyampaian masalah-masalah
teknis PP dan tata ruang semata
dalam persiapan PP
4. Penyeragaman pendekatan
terhadap semua kampung tanpa
didahului dengan suatu kajian
yang mendalam atas kampung
tersebut
5. PP yang dilakukan secara dadakan
tanpa persiapan atau hanya
mengejar jumlah kampung sesuai
sasaran proyek
6. Setelah PP ditinggal begitu saja
7. Rencana strategis kampung yang
tidak direalisasikan
8. Menyimpan peta di kampung
hanya pada satu orang
9. Format peta yang memuat tempat
bagi tanda tangan aparat
pemerintah
Hal-hal yang seharusnya dilanjutkan
dari masa lalu:
1. Diskusi mendalam atas
pemanfaatan peta sebelum PP
dilakukan
2. Melakukan proses pendokumenta-
sian yang lebih maksimal
3. Melakukan integrasi yang
terencana
4. Kerjasama dengan pemerintah
untukmerubahkebijakantataruang
5. Hasil PP ditindak-lanjuti
6. Membuat rencana strategis
(renstra) kampung
7. Penguatan kawasan masyarakat
adat
8. Renstra direalisasikan
9. Memperkuat jaringan lokal,
nasional & internasional
10.Monitoring dan evaluasi hasil PP
Upaya-upaya baru yang perlu
dilakukan untuk memperkuat PP di
masa depan adalah:
1. Sosialisasi ideologis
2. PP dilakukan di tempat-tempat
yang sudah diorganisir
3. Pengorganisasian yang lebih
intensif dengan mengirim CO
untuk tinggal di kampung dalam
waktu yang lama atau melalui
gerakan pulang kampung atau
bahkan ada CO yang permanen
sebelum PP dilakukan
4. Lokasi-lokasi PP dikembangkan
sebagai basis politik rakyat dengan
memasukkan perspektif politik
ruang dalam PP
5. Pengembangan bank data tata
ruang
6. Pengembangan aliansi dan
pendekatan strategis dan taktis
7. PP tidak tunggal tetapi menjadi
kesatuan dari berbagai macam
inisiatif
8. Metode PP disesuaikan dengan
kondisi lapangan.
9. PP dikembalikan sebagai alat
gerakan sosial dan politik.
10.Publikasi hasil PP ke masyarakat
dan pihak-pihak terkait
11.Pengintegrasian resolusi/
transformasi konflik dalam PP
12.Memperbaharui strategi PP
Sebelum mendiskusikan gerakan PP
di masa depan, fasilitator mengajak
peserta untuk mengurai
kecenderungan yang mempengaruhi
gerakan PP di Kalbar. Kecenderungan-
kecenderungan tersebut antara lain:
• Kelangkaan sumber daya alam
yang menyebabkan nilai ekonomi
SDA meningkat dan kemudian
menimbulkan konflik di antara
masyarakat untuk merebut kontrol
dan akses terhadap sumber daya
tersebut
• Individualisasi yang berkembang
dalam masyarakat berpengaruh
pada privatisasi tanah adat yang
mengubah kepemilikan [atau
pengambilan keputusan secara]
kolektif menjadi individual serta
mengubahtanah sebagaikekayaan
sosial menjadi modal yang
mengarah ke perkembangan pasar
tanah)
• Perubahan posisi gerakan politik
dalam gerakan sosial yang
digerakkan ORNOP yang semula
tidak memihak atau bergabung
dengan suatu partai (non-partisan)
sekarang sebagian partisan dan
sebagian lagi tetap non-partisan.
• Perubahan interaksi dan relasi di
antara penggiat Ornop dari
hubungan yang elitis dan fokus
pada figur-figur tertentu sekarang
sudah lebih cair, setara, dan
kolektif
• Basispendukungekonomigerakan
atau aktivis yang semula hanya
koperasi kredit (credit union/CU)
menjadi lebih beragam dengan
masuknya KPD dan usaha-usaha
ekonomi lain.
• Atmosfir politik berubah dari
represif menjadi dialogis dan
demokratis
• Orientasi Ornop yang semula
hanya berupa sederet kegiatan /
proyek saat ini berkembang
menjadi suatu gerakan
• Target pemberdayaan yang dulu
semata hanya masyarakat Dayak
sekarang pun mencakup kalangan
bukan Dayak
• Pelaku gerakan dulu praktis hanya
Ornop sekarang Organisasi Rakyat
(OR) mulai terlibat
• Posisi tawar masyarakat madani
meningkat yang sebelumnya tidak
digubris sekarang sudah
diperhitungkan
Para peserta kemudian membahas
tujuan gerakan PP di Kalbar dalam dua
kelompok. Kelompok pertama
membahas tujuan PP dalam
memperkuat gerakan kultural
23. 23
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
sedangkan kelompok kedua
mendiskusikan tujuan PP dalam
memperkuat gerakan politik baik di
kebijakan publik atau kekuasaan.
Sebagai sebuah gerakan kultural
tujuan PP di Kalbar adalah bahwa
masyarakat adat mampu merebut,
mempertahankan, memulihkan dan
mengurus kawasan adat terutama
tanahadatdanhutanadat.Sedangkan
strategi yang ditawarkan adalah:
1. Mempertahankan–PPsebagaialat
pengorganisasian untuk
melahirkan tindakan kolektif
dalammempertahankantanahdan
hutan adat.
2. Memulihkan – PP sebagai alat
perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring dan evaluasi untuk
memulihkan tanah adat dan hutan
adat yang rusak.
3. Mengurus – PP sebagai alat
perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring dalam mengurus tanah
adat dan hutan secara efektif sesuai
dengan pengetahuan lokal,
inovatif, adil dan lestari.
Sebagai sebuah gerakan politik tujuan
PP di Kalbar adalah penghormatan
dan perlindungan terhadap kawasan
adat/lokal dan dikuasainya ruang
politik oleh rakyat. Adapun strategi
untuk mencapai kedua tujuan tersebut
adalah:
• Strategi 1: PP sebagai alat untuk
membangun basis massa/
konstituen politik
• Strategi 2: PP sebagai media untuk
membentuk penggerak/penggiat
politik dari rakyat
Prinsip-prinsip Pemetaan Partisipatif:
• Musyawarah sebagai pengambil
keputusan tertinggi dalam
penggunaan peta.
• Inisiatif dan metode pemetaan
dilakukan berdasarkan kebutuhan
rakyat setempat.
• Pemetaandilakukanpadakawasan
adat yang sudah diorganisir.
• PP mendorong partisipasi yang
bermaknadariparaanggotasebuah
komunitas.
• Berdasarkan pengetahuan lokal.
• Ada tindak lanjut yang jelas setelah
pemetaan (misalnya dalam bentuk
keberlanjutan dan rencana tindak
lanjut).
• Pemetaan harus dilakukan secara
kontekstual.
• Informasi tentang batas luar klaim
masyarakat terbuka untuk
dipublikasikan ke pihak luar,
sedangakan informasi untuk batas
dalam harus melalui musyawarah
kampung.
Perubahanyangharusdilakukandalam
Metodologi adalah:
• Penelitian awal/studi kelayakan.
• Diskusi kritis dengan para anggota
masyarakat tentang PP sebelum
kegiatan pemetaan dilakukan.
• Perencanaan kawasan adat pasca-
pemetaan oleh pendamping
pemetaan partisipatif (PPP-
Pendamping Pemetaan
Partisipatif).
• PP(baikpetaatauprosesnya)adalah
alat untuk mencapai tujuan, bukan
petanya yang justru menjadi
tujuan.
• Tema peta disesuaikan dengan
tujuan PP di masing-masing
kampung.
Prinsip-prinsip kerja bersama :
• Kesamaan tujuan (platform) dan
metodologi dari para pihak/organ-
organ gerakan yang diikat dalam
satu entitas.
• Fleksibelitas strategi dalam
mencapai tujuan.
• Menciptakan relasi/konstituen/ba-
sis massa dan pekerja/aktivis
politik.
• Swadaya.
Bagi peran dan mekanisme kerjasama:
• Pembagian peran dengan
pendekatan teritorial
• Ada mekanisme monitoring,
evaluasi dan komunikasi bersama
• Pembagian peran dalam
pengelolaan isu dengan
memperhatikan segmentasi
• Pembagian peran dalam
pengelolaan logistik
• Pembagian peran dalam
komunikasi politik
• Penguasaan isu di ruang-ruang
publik
Sedangkan rencana kegiatan tindak
lanjut yang diusulkan kedua
kelompok adalah:
• Lokakarya perumusan metodologi
PP oleh PPSDAK
• Lokakarya pembuatan dan
penyusunan modul oleh PPSDAK.
• Refleksi bagi para Community
Mapper
• Peningkatan Kapasitas P3K
(Pendamping Pemetaan Partisipatif
Kampung) .
• Pembuatan modul PP sebagai
sarana pengorganisasian politik
konstituen massa kritis
• Penyusun Platform gerakan politik
penataanruang
• Training of Trainer (ToT) politik
24. 24
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
KAWASAN EKOSISTEM HALIMUN
Kawasan Ekosistem Halimun secara administratif masuk ke dalam 3 Kabupaten
(Bogor dan Sukabumi di Provinsi Jawa Barat, serta Lebak di Provinsi Banten)
merupakankawasanpenyanggadanyangmensuplaicadanganairbagipenduduk
yang tinggal di tiga kabupaten tersebut serta Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh LIPI-PHPA yang bekerja sama dengan JICA
(1980), bahwa Kawasan Ekosistem Halimun terdiri dari 3 bagian :
1. Lowland rain forest (500-1000 m dpl)
2. Sub-montane forest (1000-1500 m dpl)
3. Montane forest (1500-1929 m dpl)
Kawasan Ekosistem Halimun kaya akan sumber daya alam baik dari segi
keanekaragaman hayati maupun bahan-bahan mineral yang terkandung di
dalamnya (emas, bentonit, limostone). Kondisi ini mengundang perhatian semua
pihak untuk ikut mengelola dari berbagai aspek, baik itu konservasi yang
dikelola TNGHS, hutan produksi oleh PT Perum Perhutani, perkebunan di
kuasai oleh swasta dan BUMN/PTPN VIII, sedangkan bahan galian dan tambang
dikelola oleh PT Aneka Tambang.
Sementara warga yang tinggal di dalam dan sekitar Kawasan Ekosistem Halimun
(terdiri dari dua komunitas yaitu masyarakat adat dan lokal) yang secara turun
temurun telah mempunyai sistem pengelolaan tersendiri berdasarkan kearifan
EVALUASI & REFLEKSI PEMETAAN PARTISIPATIF
DI KAWASAN EKOSISTEM HALIMUN
OLEH : ANDRI SANTOSA & BAGUS PRIATNA (RMI-BOGOR)
lokal semakin terpinggirkan dan hanya
menjadi penonton. Masyarakat adat
yang tinggal di kawasan ini adalah
masyarakat adat kasepuhan dan urang
kenekes (baduy). Sedangkan
masyarakat lokal adalah masyarakat
pendatang yang telah lama tinggal di
kawasan ini akibat pembukaan
perkebunan dan perang kemerdekaan.
Dampak yang paling dirasakan oleh
warga adalah tumpang tindihnya
pengelolaan antara wilayah kelola
masyarakatdenganparapihakyangada
di Kawasan Ekosistem Halimun.
Kondisi ini terjadi karena para pihak
tersebut tidak menghormati wilayah
masyarakat yang sudah ada terlebih
dahulu, juga tidak menghormati
perubahan peruntukkan lahan akibat
berbagai peristiwa yang terjadi di
daerah tersebut.
Peta perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Dok. RMI)
25. 25
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
RMI & PEMETAAN
PARTISIPATIF
RMI The Indonesian Institute For For-
est and Environment, sebuah lembaga
non pemerintah yang mempunyai
perhatian pada issu lingkungan dan
kehutanan memulai pembelajaran
lapang tentang pengelolaan
sumberdayahutandikawasaninipada
akhir 1997. Kondisi di atas menjadi
perhatian tersendiri RMI dalam
mensikapi pengelolaan Kawasan
Ekosistem Halimun.
RMI memulai pembelajarannya dari
Desa Malasari – Bogor atau Kawasan
Ekosistem Halimun sebelah timur.
Dari daerah inilah RMI melihat ada
ketimpangan struktur penguasaan
lahan. Untuk memperjelas hal
tersebut maka dilakukan pemetaan
partisipatif pada tahun 1998 dimana
memperlihatkan tata guna lahan yang
tidak adil antara masyarakat dan pihak
luar. Metode pemetaan partisipatif ini
kemudian mengiringi hampir seluruh
lokasi dampingan RMI di Kawasan
Ekosistem Halimun, yaitu Desa
Malasari, Desa Kiarasai, Kampung
Nyungcung, Kampung Parigi
(Kabupaten Bogor), Desa Sirnaresmi
(Kabupaten Sukabumi), Desa
Mekarsari, Kasepuhan Citorek,
Kasepuhan Cibedug (Kabupaten
Lebak). Pemetaan partisipatif juga
merupakan alat pengorganisasian
masyarakat dalam memperjelas dan
memperjuangkan wilayah kelolanya,
selain alat negosiasi.
Tahapan yang dilalui RMI dalam
pemetaan partisipatif adalah sebagai
berikut :
1. Perkenalan (introduksi) gagasan
pemetaan partisipatif
Jauh sebelum melakukan pemetaan
partisipatif langkah awal adalah
adanya satu perkenalan (introduksi)
gagasan pemetaan melalui obrolan
kampung atau semacam diskusi infor-
mal. Obrolan-obrolan kampung ini
biasanyaakanbermuaramenjaditema
diskusi berikutnya dan cenderung
dilakukanpadariungankampungyang
lebih resmi serta dibuatnya catatan
penting yang menjadi kesepakatan
komunal (tingkat kampung/desa/
wewengkon adat), bahkan dibeberapa
tempat pada saat itu juga disusun
tahapan kegiatan yang berhubungan
dengan penelusuran ruang-ruang
kelola warga sekaligus pembicaraan
penggalangan dana melalui swadaya
masyarakat
2. Penggalian informasi dasar
Pencatatan informasi wilayah yang
menyangkut aspek biofisik dan sosial
ekonomi serta bentuk atau sistem
pengelolaan sumber daya alam yang
didasarkan pada kearifan lokal. Hal ini
biasanya dilakukan melaui obrolan
bahkandilakukanjugamelaluiriungan
kampung dan survei (transek) di
lapangansampaimenghasilkangambar
sederhana berdasarkan pemahaman
dan pengetahuan warga (sketsa). Di
lain pihak RMI yang memfasilitasi
proses pemetaan partisipatif
melakukanpencarianinformasiseperti
peta dasar (Peta Topografi dan Peta
lainnyadariBakosurtanal)jugaalatdan
bahanyangnantinyarelatifmudahdan
sederhana digunakan oleh warga serta
informasi-informasi lainnya yang
relatif sukar diperoleh oleh warga
termasuk kaitan kebijakan yang
menyangkut pemetaan partisipatif
3. Pelatihan alat pemetaan
Untuk mempermudah kegiatan
pemetaan dalam menelusuri batas-
batas dan ruang-ruang kelola warga
maka dilakukan juga tahap
pemahaman dan pelatihan alat. Pada
tahap ini ada satu transformasi
pengetahuan alat pemetaan, yang
dilakukan oleh RMI sebagai fasilitator
kepada warga yang berencana akan
melakukan pemetaan. Pelatihan yang
diberikan adalah pengenalan dan
penggunaan alat pemetaan (GPS dan
Kompas).
4. Pemetaan Partisipatif
Perencanaan pelaksanaan pemetaan
disusun bersama dengan membentuk
tim pemetaan. Tim ini terdiri dari
pemegang GPS, pemegang kompas,
pencatat data, perintis jalan, penanda
patok, dan logistik jika diperlukan
menginap. Biasanya tim terdiri dari
6-9 orang, tetapi bisa juga banyak jika
warga lain ingin berpartisipasi aktif
dalam pelaksanaannya. Tim ini
mengambil data di lapang sesuai
perencanaan dan kebutuhan
masyarakat akan peta yang akan
dibuat.
5. Penggambaran Peta
Penggambaran peta adalah proses
mengalihkan catatan-catatan hasil
penelusuran data di lapang menjadi
sebuah gambar peta yang relatif
proporsional/skalatis. Penggambaran
ini memperhatikan skala yang akan
dibuat dan menampilkan informasi
penting dari lapang. Penggambaran
dilakukan di tempat yang reprentatif
di lokasi, tetapi sebagian besar
dilakukandiRMIkarenapertimbangan
peralatan pendukung.
6. Sosialisasi dan Pengesahan Peta
Sosialisasi dan Pengesahan Peta
merupakan tahap untuk membuat
kesepakatan atas peta yang telah
dibuat. Sosialisasipetaadalahtahapan
untuk menyampaikan hasil
penggambaran yang telah dilakukan
dengan harapan mendapat masukan
dankoreksiataspetayangtelahdibuat.
Masukan dan koreksi dapat diberikan
untuk kemudian membuat revisi peta
jika diperlukan. Pengesahan
dilakukan jika masyarakat setuju atas
informasi yang tercantum dalam peta,
hal itu dapat dibuktikan dengan
mencantumkan tanda-tangan atau cap
jempol pada lembar pengesahan.
Pihak-pihak yang biasanya
membubuhkan tanda tangan atau cap
jempolnya adalah tokoh masyarakat/
adat/pemerintah desa, pelaku
pemetaan,masyarakatumumdan juga
26. 26
KABAR JKPP NO. 11, JANUARI 2006
oleh pihak tetangga yang wilayahnya
berbatasan.
PEMBELAJARAN
PEMETAAN
PARTISIPATIF DI
KAWASAN EKOSISTEM
HALIMUN
Tahapan-tahapan dalam konteks
pemetaan partisipatif yang dilakukan
oleh warga bersama RMI di beberapa
tempat di Kawasan Ekosistem
Halimun pada tataran implementasi
menyiratkan beberapa catatan yang
dapat dijadikan pembelajaran oleh
RMI.
Pemetaan partisipatif cenderung lebih
mudah diterima oleh warga yang ada
di Kawasan Ekosistem Halimun,
kondisi ini didukung oleh masih
kentalnyabudayakebersamaansesama
wargameskipunpadabeberapatempat
sudah mulai terancam pudar. Terlebih
lagi inisiasi atau gagasan pemetaan ini
muncul ketika terdapat masalah
tumpang tindih pengelolaan antara
warga dengan pihak luar yang oleh
warga hal ini dianggap menjadi
persoalan kolektif, maka warga akan
dengan cepat memutuskan untuk
melakukan pemetaan partisipatif.
Sehingga tujuan pemetaan lebih
didominasiolehkepentinganadvokasi
dan kampanye. Sedangkan wilayah-
wilayah atau tempat yang warganya
melakukan langkah pemetaan
partisipatif semuanya hampir
mempunyai permasalahan yang sama
yaitu keterbatasan atau tertutupnya
akses dan kontrol terhadap sumber
daya alam.
Pada sisi lain, muncul juga kesadaran
wargadisebagiantempatbahwauntuk
melakukan advokasi dan kampanye
tidak cukup hanya dengan
menggunakan peta, tetapi lebih dari
itu. Mereka mulai sadar pentingnya
komponen lain untuk menemani peta
seperti rencana tata ruang dan
pendokumentasian aturan mengenai
pengelolaan ruang/sumber daya alam
yang bisa menunjukan bukti kepada
pihak luar bahwa wargapun mampu
mengelola sumber daya alamnya3
.
Dua komponen yang disebutkan
terakhir ini bisa juga ditujukan untuk
mengatur ke dalam komunitas
bagaimana mekanisme pengaturan
diantara individu-individu terhadap
pemanfaatan sumber daya alamnya.
Pada kesempatan lain juga di temui
hambatan-hambatan yang
memerlukan tambahan porsi waktu
dan pemikiran serta strategi, terutama
dalam transformasi pengetahuan yang
dianggap perlu disampaikan oleh RMI
dan membumikan gagasan yang
berkaitan dengan pemetaan
partisipatif supaya mudah dipahami
oleh warga. Karena dari segi
komunikasi ada sebagian warga yang
cukup asing dengan penggunaan
bahasa Indonesia serta tidak terbiasa
denganbudayabacatulis,merekaakan
lebih cepat memahami ketika ada satu
contoh atau perumpaman dalam
bahasa sunda. Di sisi lain kendala
geografisjugamembutuhkankesiapan
dari tim RMI untuk turun dan bertahan
di tengah kondisi halimun yang
memang membutukan waktu cukup
lama untuk bisa memahami dinamika
yang terjadi, terutama ketika
perkembangan yang terjadi
dilapangan (warga) tidak
terinformasikan oleh warga sendiri
kepada RMI. Termasuk RMI juga
mengingatkan warga untuk saling
Proses pemetaan partisipatif di Desa Mekarsari,Kec. Cibeber Kab.Lebak-Banten (Dok. RMI)