1. 39
Artikel 11
“INDONESIA DALAM BENTANGAN DEMOKRASI YANG BERLEBIHAN”
Siti Saleha
SMA Lab School Unsyiah Banda Aceh
Ketika gelombang reformasi berlangsung, mulai dari 1999 banyak Negara yang
meramalkan bahwa Indonesia akan menemui kehancurannya. Semua indikator dari
sisi social, politik dan ekonomi menunjukkan bahwa Indonesia tidak akan bisa
menjadi Negara yang Demokrasi. Namun siapa sangka, bangsa ini justru dapat
merayakan demokrasi secara utuh dengan tolak ukur utama yakni telah berhasil
menyelenggarakan pemilu secara langsung dalam tiga periode berturu-turut. Kini,
Indonesia juga malah disebut-sebut sebagai “Negara demokratis ketiga didunia
setelah India dan Amerika” (Tempo, 02 Desember 2011).
Namun sangat disayangkan, dewasa ini demokrasi dan ruang kebebasan yang
seyogyanya bisa menjadi kebanggaan bangsa, malah dinodai oleh rentetan aksi-aksi
kekerasan dan anarkis. Bisa dikatakan saat ini, Indonesia sedang melakoni demokrasi
yang berlebihan atau Jonathan Tepperman (2008) menyebutnya dengan terminologi
“To much Democracy”. Kesalahan itu terlihat jelas dimana saat negara-negara Barat
yang melahirkan demokrasi mulai mengurangi “kebebasan tak terbatas”, sementara
Indonesia layaknya membiarkan keberadaan “kebebasan tak terbatas” itu.
Sama halnya dalam praktik demokrasi yang ada di negara ini, justru lebih
diwarnai dengan “aksi demonstrasi” yang berlebihan. Aksi-aksi itu seringkali terkesan
(harus) berakhir menjadi aksi yang anarkis berupa pelemparan, kejar-mengejar
dengan petugas kepolisian, pembakaran, perampokan, penjarahan, bahkan yang lebih
parah memakan korban jiwa.
Tentunya masih terbayangkan diingatan kita bagaimana peristiwa yang
mewarnai 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode ke-2,
sekitar “7 sampai 10 ribu massa dari berbagai kalangan memenuhi halaman depan
Istana Merdeka”, mereka datang dengan membawa berbagai tuntutan (IndosiarTV).
Akibatnya, timbul aksi saling serang antara pendemo dengan aparat keamanan.
Peristiwa Demonstrasi memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono pun tak
hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga hampir di seluruh wilayah Indonesia, rakyat
menyuarakan kekecewaan terhadap pemerintahan SBY-Boediono yang dinilai tidak
berpihak kepada mereka.
Dalam kasus lain yang sungguh menggemparkan terjadi pada awal Mei 2014
saat masa pencalonan dan kampanye Capres, yaitu mengenai persoalan Tabloid Obor
Rakyat. Kata-kata seperti “PDIP Partai Salib”, “Capres Boneka” dan “1001 Topeng
Pencitraan” yang dilontarkan kepada Calon Presiden Jokowi Dodo seolah menjadi
bukti tindakan Negative Campaign yang mengatasnamakan Demokrasi. Kalimat pedas
dan tudingan tajam yang semakin memojokkan Jokowi seolah semakin memperjelas
keadaan Demokrasi Negeri ini.
2. 40
Disisi lain, Kebebasan pers yang juga menjadi salah satu simbol transisi
Indonesia dari rezim otoritan, yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa,
sekarang ini berjalan mulus tanpa dibayang-bayangi ketakutan sebagaimana yang
terjadi di masa silam.
Seperti contoh, pada tambung pemerintahan Jokowi-JK sekarang ini, belum
genap satu bulan menduduki jabatan sebagai Presiden RI, Jokowi telah mengeluarkan
kebijakan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Dalam kasus
tersebut, berbagai argumentasi, analisis, maupun data-data yang dipaparkan
pemerintah mengenai urgensi menaikkan harga BBM, mendapatkan porsi yang lebih
sedikit dibandingkan dengan pemberitaan mengenai penolakannya. Pers justru lebih
tertarik untuk mengangkat gelombang-gelombang penolakan yang diwarnai
kekerasan, ketimbang substansi mengenai kenaikan harga BBM. Media massa juga
ikut dihiasi dengan kata-kata seperti “Kenaikan BBM membunuh rakyat” yang seakan
semakin memperkeruh suasana. Meskipun hal kenaikan harga bahan bakar
bersubsidi sudah berlangsung selama 4 periode pergantian kusi kepemimpinan, tetapi
masyarakat masih saja bertahan untuk melakukan aksi-aksi anarkis, seperti blockade
jalan, demonstrasi besar-besar, dan baru-baru ini adanya aksi gantung pocong.
Sungguh ironis memang polemik yang dihadapi Negeri ini. Kebebasan demokrasi yang
dijalankan Negara ini bukan lagi dijadikan titik balik agar masyarakat bisa
mengaspirasikan keinginnya tetapi tampaknya dijadikan ajang memamerkan
pendapat dan aksi-aksi brutal yang mengerikan.
Berlatarkan fakta-fakta diatas, dapat kita lihat bahwa selama ini masyarakat
mengartikan demokrasi sebagai suatu tindakan yang “seenaknya”, karena kekuasaan
tertinggi berada ditangan rakyat. Bahkan pers juga melakukan hal yang sama karena
kebebasan pers sudah terbuka dan terlindungi. Padahal demokrasi bukan hanya itu, ia
memiliki hak-hak dan batas-batas tertentu, dimana rakyat tidak dapat berbuat
seenaknya terhadap pemerintahan yang berlaku. Sebenarnya, akar munculnya
kesalahpaham rakyat mengenai makna sesungguhnya demokrasi adalah kurangnya
pendidikan yang dikecam oleh rakyat Indonesia ini sendiri.
Tak dapat dipungkiri banyak rakyat Indonesia yang putus sekolah, tidak
bersekolah atau bahkan buta aksara. Sebagai contoh ,dapat dilihat dari rendahnya
tingkat pendidikan, dimana lebih dari 30% penduduk Indonesia hanya lulusan
Sekolah Dasar (Pusat Statistic, 2011). Akibatnya mereka hanya mengartikan
demokrasi sebagai suatu “kebebasan yang tak terbatas” dimana rakyat bebas
melakukan apapun jika menganggap pemerintah telah melakukan suatu kesalahan.
Jika dianalisa lebih dalam, sebenarnya pemerintah juga turut andil dalam hal
kesalahan rakyat mengartikan demokrasi dan agar kedepannya rakyat tidak salah
mengartikannya lagi. Hal utama yang harus dilakukan pemerintah adalah
memperdulikan dan membenahi sistem pendidikan, memberikan pengetahuan-
pengetahuan mengenai demokrasi,point yang terpenting dalam demokrasi, serta
batas-batas dalam demokrasi kepada masyarakat, agar mereka tau bagaimana harus
bersikap di dalam suatu Negara yang demokrasi. Hal yang kedua yang harus
dilakukan pemerintah adalah membenahi sistem pemerintahan, memberikan
pengetahuan demokrasi kepada anggota pemerintahan yang tak jarang walaupun
3. 41
sudah ber title Dr. atau Prof. berpura-pura tidak tau dan masih belum melakukan
demokrasi. Pemerintah juga harus menyapu bersih seluruh anggota pemerintahan
yang tidak menjalankan demokrasi yang sesungguhnya, seperti melakukan pencucian
uang rakyat (KKN).
Proses pengenalan atau pemberian pengetahuan-pengetahuan demokrasi di
lingkungan masyarakat dapat dilakukan dengan mengadakan berbagai seminar-
seminar demokrasi dengan menampilkan suatu hal yang baru atau mungkin
menghadirkan bintang-bintang demokrasi agar masyarakat tertarik untuk
menghadirinya. Disamping penjelasan-penjelasan, para petinggi-petinggi Negara,
golongan yang berpendidikan, para orang tua, hingga golongan yang dihormati dan
disegani harus mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi sehingga dapat megubah pola
pikir masyarakat mengenai hal yang selama ini terkesan “seenaknya” menjadi
“semestinya” .