1. PENGGUNAAN ZAT PEWARNA ALAM PADA KAIN SASIRANGAN
Dosen
Dr. Ersis Warmansyah Abbas, M.Pd
Drs. Yudha Isrhasyuana, M.Pd
Oleh
Mutiara Havina Putri (A2C515011)
PROGRAM STUDI MAGISTER KEGURUAN IPA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2015
2. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia dianugrahi kekayaan yang berupa kekayaan alam maupun
kekayaan sejarah dan budaya yang begitu membanggakan. Kekayaan tersebut
harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatkan secara optimal untuk
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan negara yang kaya akan
sumber alam hayati, terkenal dengan keanekaragaman tumbuh-tumbuhan yang
mengandung berbagai macam zat warna. Zat warna alam merupakan hasil
ekstraksi dari daun, batang, kulit, bunga, buah, akar tumbuhan dengan kadar dan
jenis colouring matter bervariasi sesuai dengan spesiesnya. Setiap daerah di
Indonesia memiliki potensi untuk penggunaan zat pewarna alami kerena
ketersedian bahan baku yang melimpah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi saat ini menyebabkan pemakaian warna alami terdesak oleh pewarna
buatan dan lambat laun pengetahuan tradisional tentang pewarna alami di
Indonesia akan hilang secara perlahan-lahan yang pada akhirnya generasi-generasi
muda tidak mengenal budaya dan tradisi nenek moyang mereka. Setiap daerah
memiliki pakaian khas yang memiliki corak dan warna tertentu. Corak dan warna
itu pada awalnya menggunakan pewarna alami. Kain sebagai bahan dasar pakain
merupakan segala sesuatu yang dipakai, bahan pakaian, barang tenunan (Tim
Pustaka Bahasa). Kain-kain tradisional Indonesia saat ini telah dikenal secara
meluas oleh tidak hanya masyarakat Indonesia tetapi juga dunia. Setiap daerah di
Indonesia mempunyai kain tradisional yang mencirikan keunikan budaya daerah
tersebut dengan teknik pembuatan kain yang berbeda pada setiap daerahnya. Kain
Sasirangan merupakan jenis kain khas daerah Banjar, Kalimantan Selatan. Kain
sasirangan adalah kain yang dibuat dengan cara menyirang atau menjeruju, yaitu
mengikat kain dengan motif yang diinginkan menggunakan benang, kemudian
kain tersebut dicelupkan ke dalam pewarna (Ahcmadi, 2009). Kain Sasirangan
merupakan produk tekstil utama dan merupakan identitas Kalimantan Selatan.
Menurut Subiyati dalam Wedyatmo dan Nugroho (2013: 2) menjelaskan
bahwa untuk mengetahui kualitas suatu produk tekstil harus ditinjau dari dua
aspek, yaitu aspek fisika maupun kimia. Aspek fisika ditinjau melalaui pengujian-
pengujian yang meliputi: pengujian kekuatan tarik kain, kekuatan sobek kain dan
mengkeret kain. Sedangkan dari aspek kimia ditinjau melalui pengujian misalnya
daya serap kain dan ketahanan luntur warna kain. Penggunaan pewarna alami
untuk kain sasirangan tentunya harus mempunyai ketahanan luntur yang baik
sebagai produk tekstil yang menggunakan zat warnaan. Maka dari itu perlu
dilakukan proses fiksasi zat warna. Fiksasi dapat berfungsi memperkuat warna
dan merubah zat warna alami sesuai dengan jenis logam yang mengikatnya serta
untuk mengunci zat warna yang telah masuk kedalam serat. Proses fiksasi pada
prinsipnya adalah mengkondisikan zat pewarna yang telah terserap dalam waktu
3. tertentu agar terjadi reaksi antara bahan yang diwarnai, dengan zat warna dan
bahan yang digunakan untuk fiksasi (Pujilestari, 2014: 2).
Pembelajaran mengenai kain sasirangan yang terdapat pada mata pelajaran
Mulok hanya mencakup penggunaan cara pewarnaan motif sasirangan dengan
menggunakan pewarna kimia. sebaiknya diajarkan juga penggunaan pewarna
alami yang materinya terdapat pada mata pelajaran IPA, karena didalamnya
terdapat proses fiksasi untuk menghasilkan warna yang lebih baik dan tahan lama
oleh sebab itu sebaiknya materi pewarna alami untuk pakaian dimasukkan
kedalam kurikulum IPA secara nasional.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis melihat bahwa
ada persoalan mengenai penguasaan konsep zat pawarna alam pada Sasirangan
Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Penggunaan Zat Pewarna Alam pada
Kain Sasirangan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan , maka rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah cara memanfaatkan tumbuhan sebagai pewarna alami pada
kain sasirangan?
2. Bagaimanakah proses pewarnaan kain sasirangan menggunakan zat
pewarna alami melalui fiksasi?
3. Bagaimanakah penerapan kurikulum IPA yang berkaitan dengan proses
fiksasi pada pewarnaan Kain Sasirangan?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Memahami cara memanfaatkan tumbuhan sebagai pewarna alami pada
kain sasirangan.
2. Memahami proses pewarnaan kain sasirangan menggunakan zat pewarna
alami melalui fiksasi.
3. Memahami penerapan kurikulum IPA yang berkaitan dengan proses
fiksasi pada pewarnaan Kain Sasirangan.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya konsep atau teori yang
menyokong perkembangan ilmu pengetahuan alam khususnya yang terkait dengan
zat pewarna alam dan fiksasi warna.
4. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ZAT PEWARNA ALAM
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alami. Salah
satu sumber daya alam yang dapat digunakan adalah zat pewarna alam (ZPA). Zat
warna adalah bahan pewarna yang mudah larut dalam air, atau dilarutkan dalam
air, serta mempunyai daya tarik terhadap serat. Konsep gerakan kembali ke alam
(back to nature) merekomendasikan bahwa zat warna alam sebagai pewarna yang
ramah baik bagi lingkungan maupun kesehatan karena kandungan komponen
alaminya mempunyai nilai beban pencemaran yang relatif rendah, mudah
terdegradasi secara biologis dan tidak beracun sehingga potensi untuk mencemari
lingkungan kecil. Bahan pewarna alam meliputi pigment yang telah terdapat
dalam bahan atau terbentuk pada proses pemanasan, penyimpanan atau
pemprosesan. Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita adalah
klorofil, karoteniod, tannin dan antosianin.Umumnya, pigmen-pigmen ini tidak
cukup stabil terhadap panas, cahaya dan pH tertentu.
Proses penggunaan warna-warna alam untuk pewarna pakaian ternyata
sudah dilakukan oleh nenek moyang kita secara turun temurun. Pada awalnya
pewarnaan pakaian seperti kain Sasirangan menggunakan pewarna alam yang
bersumber dari berbagai jenis tumbuhan yang memiliki ekstrak warna sesuai yang
dibutuhkan. Namun, dalam kenyataan sekarang ini penggunaan warna alam
sebagai pewarna Sasirangan sudah banyak ditinggalkan. Penggunaan warna alam
banyak ditinggalkan dengan berbagai alasan, antara lain:
a. Proses pembuatan warna alam memerlukan waktu yang panjang.
b. Warna alam tidak tahan lama disimpan sebelum proses pewarnaan.
c. Daya tahan warna alam cenderung mudah pudar.
d. Proses pencelupan/pewarnaan memerlukan waktu yang panjang dan
harus dilakukan berulang-ulang. Pengulangan yang dilakukan lebih
banyak akan menghasilkan warna yang lebih baik.
Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil
ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga.
Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai pewarna Kain Sasirangan beberapa diantaranya adalah daun
pohon nila (indofera), kunyit (Curcuma), teh (Tea), akar mengkudu (Morinda
citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana),
daun jambu biji (Psidium guajava).
Zat warna alam dapat diperoleh dengan berbagai cara sesuai sifat dari
masingmasing bahan pembawa warna. Bahan pembawa warna ada yang dapat
digunakan secara langsung, dan ada yang harus melalui ekstraksi maupun
fermentasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Cara ekstraksi untuk memperoleh
5. gugus pembawa warna sangat bervariasi dan akan berpengaruh terhadap warna
yang ditimbulkan. Zat warna alam yang diperoleh dari tumbuhan atau zat warna
mordan merupakan zat warna yang dapat bersenyawa dengan oksida-oksida
logam dengan membentuk senyawa berwarna yang tidak larut dalam air.
Proses ekstraksi pada semua bahan secara garis besar adalah sama yaitu
mengambil pigmen atau zat warna yang terkandung dalam bahan. Perlakuan
ekstraksi dengan cara pemanasan dengan merebus bahan pembawa zat warna
alam menggunakan air adalah cara yang paling banyak dilakukan. Air yang
ditambahkan untuk ekstraksi bahan pembawa warna jumlahnya tertentu dengan
tujuan efisiensi dan untuk memperoleh ketuaan warna. Perebusan dilakukan
hingga volume air menjadi setengahnya, apabila menghendaki larutan zat warna
lebih kental, perebusan dapat dilanjutkan sehingga volume sisa perebusan menjadi
sepertiga dari volume awal.
Untuk biji kesumba (bixa) pengambilan warna secara langsung yaitu biji
kesumba dipisahkan dari kelopaknya kemudian ditimbang dan diremas-remas
selanjutnya. Ekstraksi terhadap daun indigo dilakukan dengan cara fermentasi,
daun indigo ditimbang dan ditambahkan air sesuai perlakuan dan dibiarkan
selama 24 jam. Daun dipisahkan dengan cara penyaringan kemudian ditambahkan
larutan air kapur 40 g/l dan campuran dibiarkan selama 12 jam. Lapisan bagian
atas yang berwarna kuning dibuang dan lapisan bawah yang berwarna biru
diambil sebagai zat warna alam indigo.
Perlakuan ekstraksi menggunakan perbandingan jumlah air dan bahan
pewarna memberikan hasil ketahanan warna kain katun setelah pencelupan yang
berbeda beda tergantung bahan pewarna yang diekstrak.
1.3 2.2 PROSES PEMBUATAN KAIN SASIRANGAN
Cara membuat kain sasirangan di Kalimantan Selatan kebanyakan masih
memakai cara tradisional yang tidak perlu memakai mesin cetak. Secara garis
besarnya, proses pembuatan kain sasirangan dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:
Apabila yang menggunakan zat pewarna alam, kain yang sudah dipotong-
potong dan digambari motif, kemudian pola dijahit jelujur sesuai dengan pola
yang tergambar di kain. Benang untuk menjelujur lalu ditarik kuat-kuat sampai
kain menyatu. Jelujuran yang kuat ini nantinya menghalangi daerah-daerah
tertentu dari pengaruh hisapan larutan pewarna. Kain lalu siap memasuki tahap
pewarnaan. Cara mewarnai kain yaitu yang pertama adalah mencelupkan kain ke
dalam larutan pewarna, lalu dicelupkan kedalam larutan garamnya (fiksasi), maka
akan timbul warna di kain. Kain kemudian ditiriskan lantas dilepas jahitan
jelujurnya.
Damayanti (2007), fiksasi merupakan proses ikatan antara zat warna
dengan serat. Waktu fiksasi sangat mempengaruhi kekuatan ikatan dimana waktu
yang terlalu pendek akan menghasilkan ikatan yang lemah, sedang waktu fiksasi
yang terlalu lama akan menyebabkan hidrolisa zat warna reaktif sehingga
dibutuhkan waktu fiksasi yang optimal. Proses fiksasi warna akan mempengaruhi
penyerapan zat warna kedalam serat kain, ketahanan luntur warna hasil
pewarnaan yang berkaitan erat dengan proses pencelupan warna.
6. Pencelupan dapat memberikan hasil yang baik karena adanya gaya ikat
antara zat warna dengan serat lebih besar daripada gaya yang bekerja antara zat
warna dengan air. Rasyid Djufri (1976:92) menyebutkan ada 4 jenis ikatan antara
zat warna dengan serat kain, yaitu:
1. Ikatan Hidrogen Ikatan sekunder yang terbentuk karena atom hidrogen pada
zat warna mengadakan ikatan yang lemah dengan gugus anhidroksi (-OH)
yang terdapat pada serat selulosa atau amina (-NH) pada serat sutera.
2. Ikatan Elektrovalen Ikatan yang timbul karena gaya tarik-menarik antara
ion-ion atau muatan yang berlawanan. Serat bermuatan negatif ( kation ) ,
sedangkan zat warna mempunyai gugus anion yang bermuatan positif.
Kedua muatan yang berlawanan ini saling tarik menarik dengan gaya tarik
listrik yang kuat.
3. Gaya-gaya Van der Walls Gaya tarik menarik antara zat warna dengan serat
yang terjadi karena molekul-molekul zat warna memiliki gugus hidrokarbon
yang sesuai dengan serat, sehingga pada waktu pencelupan zat warna ingin
terlepas dari air dan bergabung dengan serat.
4. Ikatan Kovalen Zat warna berikatan dengan serat dengan ikatan kimia, atau
seolaholah bereaksi dengan serat. Ikatan kovalen adalah ikatan yang sangat
kuat, sehingga menghasilkan ketahanan luntur yang tinggi.
Pada proses pencelupan kain dalam pemberian warna pada kain
Sasirangan dengan zat warna alam membutuhkan proses fiksasi (fixer) yaitu
proses penguncian warna setelah kain dicelup dengan zat warna alam agar warna
memiliki ketahanan luntur yang baik atau sebagai bahan pengikat warna pada kain
(Fitrihana, 2012). Untuk mengikat warna pada kain Sasirangan diperlukan cairan
pengikat yang juga berasal dari alam seperti tawas [K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O],
kapur tohor (CaO), jeruk nipis, garam dapur, gula kelapa, gula jawa, asam jawa,
kapur, tunjung (FeSO4), air kelapa, cuka (Susanto, 1998 : 70). Penggunaan larutan
fiksasi dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna menjadi tidak mudah
pudar serta tahan terhadap gosokan.
Proses fiksasi pada prinsipnya adalah mengkondisikan zat pewarna yang
telah terserap dalam waktu tertentu agar terjadi reaksi antara bahan yang diwarnai,
dengan zat warna dan bahan yang digunakan untuk fiksasi (Pujilestari, 2014: 2).
Pembelajaran mengenai zat warna pakaian khususnya pada kain Sasirangan serta
penguatan warna atau fiksasi dimaksudkan agar siswa mengetahui secara benar
dan tepat bagaimana prosesnya agar menjadi tambahan pengetahuan mengenai
zat warna pakaian.
PENDIDIKAN IPA
Ilmu pengetahuan alam atau sains merupakan ilmu yang mempelajari
gejala-gejala alam yang meliputi mahluk hidup dan mahluk tak hidup.
Pengetahuan sains diperoleh dan dikembangkan dengan berlandaskan pada
serangkaian penelitian yang dilakukan dalam mencari jawaban pertanyaan “apa,
7. mengapa, dan bagaimana” dari gejala-gejala alam serta penerapannya dalam
teknologi dan kehidupan sehari-hari.
Di zaman globalisasi seperti sekarang, sangat diperlukan peningkatan
kualitas sumber daya manusia salah satu caranya adalah melalui pendidikan.
telah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan pendidikan, upaya tersebut
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dilakukan untuk memenuhi tujuan
pendidikan. Upaya tersebut dapat direalisasikan melalui tiga jalur pendidikan
yaitu pendidikan formal, non formal dan informal. Pendidikan formal
dilaksanakan melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan
berkesinambungan, dimulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai
pendidikan tinggi. Dalam dunia pendidikan, pendekatan melalui budaya sangat
cocok dipakai sebagai salah satu aspek pendukung pencapaian target pendidikan,
terutama pendidikan di Indonesia yang memiliki multi budaya. Sejarah mencatat
pendekatan kultural (cultural approach) telah terbukti efektif dalam membentuk
peradaban bangsa. Hal ini dibuktikan dengan kisah sembilan wali (wali songo)
yang berhasil menyebarkan agama Islam di Jawa (Mendikbud, 2014).
Salah satu tujuan Kurikulum 2013 yang sedang berlaku saat ini adalah
untuk mempersiapkan peserta didik Indonesia agar memiliki kemampuan hidup
sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia (PermenDIKBUD No.059/2014).
Lebih lanjut secara singkat diuraikan bahwa kurikulum 2013
dikembangkan menggunakan filosofi budaya sebagai berikut.
2. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan
bangsa masa kini dan masa mendatang. Pandangan ini menjadikan
Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang
beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan masa kini, dan untuk
membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan.
3. Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut
pandangan filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa
lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk
dipelajari peserta didik
Bruner (1991) menyatakan belajar akan berhasil lebih baik jika selalu
dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar (anak didik).
Didukung dengan pendidikan yang berakar dari budaya, maka apabila dikaitan
dengan penggunaan zat pewarna alam pada Kain Sasirangan dapat masuk menjadi
salah satu pelajaran IPA di sekolah. Khususnya pada daerah Kalimantan Selatan
yang akan sangat baik, karena selain memberikan wawasan mengenai zat pewarna
alam untuk pakaian, juga dapat sebagai upaya pelestarian budaya daerah diluar
pelajaran Muatan Lokal. Dalam pembuatan Kain Sasirangan dengan zat warna
alam, dapat dijadikan materi pelajaran pada bagian jenis zat pewarna alam yang
dapat digunakan serta mengenai konsep fiksasi warna dan ketahanan luntur dari
zat warna alam.
8. 2.4 FIKSASI WARNA
BAB III
PENUTUP
Simpulan dari pembahasan mengenai penggunaan zat pewarn alam pada
Kain Sasirangan adalah:
1. Pewarna alam yang dapat digunakan pada Kain Sasirangan diantaranya daun
pohon nila (indofera), kunyit (Curcuma), teh (Tea), akar mengkudu (Morinda
citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa
orelana), daun jambu biji (Psidium guajava), biji ramania (gandaria) atau
buah karamunting dan kulit buah rambutan. Untuk bahan fiksasi warna
adalah tawas [K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O], kapur tohor (CaO), jeruk nipis,
garam dapur, gula kelapa, gula jawa, asam jawa, kapur, tunjung (FeSO4), air
kelapa, dan cuka.
2. Proses pewarnaan Kain Sasirangan dengan zat pewarna alam dengan teknik
pencelupan langsung ke dalam larutan pewarna. Kemudian dicelupkan
kedalam larutan garamnya (fiksasi), maka akan timbul warna di kain, setelah
itu kain dijemur agar warna cepat meresap ke kain.
3. Konsep IPA yang terdapat dalam pewarnaan kain dan fiksasi warna Kian
Sasirangan diantaranya mengetahui jenis zat warna yang ramah lingkungan,
konsep ikatan kimia, gaya Van der Walls serta penggunaan cairan pengikat
untuk mengunci warna kain.
9. DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, dkk. 2012. Penyuluhan Dan Pelatihan Pengrajin Kain Sasirangan Di
Kelurahan Seberang Mesjid Kecamatan Banjarmasin Tengah Kota
Banjarmasin Dalam Rangka Peningkatan Mutu Dan Kualitas
Sasirangan. PKMK-2-9-2. Diakses, 28 Agustus 2015.
Moerdoko Wibowo, dkk. 1975. Evaluasi tekstil bagian kimia. Bandung: Institut
Teknologi Tekstil.
Rasyid Djufri. 1976. Teknologi pengelantangan, pencelupan dan pencapan.
Bandung: Institut Teknologi Tekstil.
Hartanto, Sugiarto & Shigeru Watanabe. 1993. Teknologi Tekstil. Jakarta: PT.
Pradnya Paramita.
Fitrihana, Noor. 2007. Teknik Eksplorasi Zat Pewarna Alam Dari Tanaman Di
Sekitar Kita Untuk Pencelupan Bahan Tekstil.
http;//batikyogya.wordpress.com/2007/08/02/Teknik-Eksplorasi-Zat-
Pewarna-Alam-Dari-TanamanDi-Sekitar-Kita-Untuk-Pencelupan-Bahan-
Tekstil. Diakses tgl 07 Oktober 2015.
Fitrihana, Noor. 2012. Teknik Eksplorasi Zat Pewarna Alam dari Tanaman di
Sekitar Kita Untuk Pencelupan Bahan Tekstil online at
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132297145/TEKNIK%20PEMBUA
TAN%20ZAT%20WARNA%20ALAM%20UNTUK%20BAHAN%20TEKST
IL%20%20DARI%20TANAMAN%20DISEKITAR%20%20KITA.pdf
[diakses tanggal 29 Maret 2015]
Sewan Susanto. (1973). Batik Indonesia. Yogyakarta : BBKB-Lembaga
Penelitian dan Pendidikan Industri, Dep. Perindustrian.
Lestari, P. 2014. Ekstraksi Tanin Dari Daun Alpukat (Persea Americana Mill.)
Sebagai Pewarna Alami (Kajian Proporsi Pelarut dan Waktu Ekstraksi).
Jurnal Teknologi Pertanian. PP : 1-6. Universitas Brawijaya. Malang
Titiek Pujilestari. 2014. Pengaruh Ekstraksi Zat Warna Alam Dan Fiksasi
Terhadap Ketahanan Luntur Warna Pada Kain Batik Katun (The Effect
Extraction Method And Fixation Of Natural Dyes To Color Fastness On
10. Cotton Fabric). Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl.Kusumanegara No.7
Yogyakarta, Indonesia.
Damayanti. 2007. Optimalisasi Waktu dan Temperatur Proses Fiksasi Pada
Pencelupan Zat Warna Reaktif, Jurnal Teknika ATW,Vol 1 No 4,hal 20.