Jenis Bencana dalam Peliputan Media
Bencana Alam
Erupsi gunung, banjir,
gempa, kebakaran
hutan
1
Disease
Pandemi COVID 19,
H1N1, H1N5, SARS,
DBD, dll
4
Kecelakaan
Kecelakaan pesawat,
kecelakaan lalin
2
Kriminal
Pembunuhan,
perampokan, begal, dll
5
Insiden
Kebakaran, gas
meledak, bom, teror,
perang, genosida
3
Lainnya
Sakit kronis, kematian
tidak wajar, kematian
wajar, dll
6
Ada beberapa jenis pengemasan berita bencana
Human interest
Cara paling mudah
untuk mendapatkan
simpati dan perhatian
audience
01
Kronologi -
perkembangan
Menjelaskan kronologi
kejadian dan perkembangan
yang terjadi
02
Penanganan
Hal yang harus
dilakukan saat gempa,
sistem keselamatan
04
Pemaparan Data
Jumlah korban, usia, jenis
kelamin, faktor penyebab, jumlah
kecelakaan selama 1 tahun
03
Human Interest dan Problematisnya Dalam peliputan peristiwa mendadak,
seperti kecelakaan, memang ada dua
cara. Pertama, berkaitan dengan
informasi-informasi dasar mengenai
kecelakaan itu sendiri. Dari hal-hal
berkaitan dengan penyebab kecelakaan
sampai tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh pengambil kebijakan dalam
merespon sebuah peristiwa.
Cara kedua, adalah liputan human interest seperti
artikel The Guardian di atas. Dalam berkisah, ia lebih
mengandalkan penggambaran orang secara
emosional daripada data-data keras.
Jurnalisme human interest ini seringkali dikritik
sebagai manipulatif dan sensasionalistik. Bob Franklin
(1997) pernah menyebut bahwa berita-berita
dengan human interest yang tinggi justru bisa
melemahkan peran media dalam demokrasi.
Pangkalnya, dengan fokus pada cerita-cerita yang
menarik dan ringan, ia lebih fokus pada apa yang kira-
kira akan menjadi perhatian publik alih-alih apa yang
menjadi kepentingan publik.
“Cara (peliputan) yang
mengeksploitasi tragedi
personal sebagai tontonan
publik sekarang semakin jamak
terjadi,” keluh Franklin.
Peliputan tentang kebijakan
pemerintahan yang lebih
serius dan faktual, di sisi lain,
menunjukkan penurunan.
Franklin menyalahkan
komersialisasi berlebihan
sebagai alasan dari regresi ini.
Kritik atas Pemberitaan Tidak Etis Media Indonesia terhadap Bencana
https://www.abc.net.au/news/2018-11-01/indonesia-media-warned-over-unethical-coverage-of-accidents/10447868
Dalam mengangkat aspek-
aspek manusia dalam
berbagai bencana, banyak
media nasional masih
menggunakan konsep human
interest yang kasar dan
sensasionalistik.
Tanpa sensitivitas trauma,
beberapa media mencoba
menggali cerita-cerita
personal dari korban maupun
keluarga korban, dan dalam
beberapa hal sumber yang
sama sekali tidak berkaitan
dengan korban.
Berita-berita hasil daur ulang dari
postingan-postingan pelaku atau
korban di media sosial, misalnya,
menjadi ceruk modal media untuk
membuat liputan. Bukannya
berfokus pada aspek pengalaman
manusiawi, representasi ini malah
mengobjektivikasi korban.
Entah apa yang dibayangkan oleh
wartawan ketika mereka mengulik-
ulik akun media sosial orang-orang
yang baru wafat. Namun dari sana
kita bisa menilai bahwa media lebih
memilih mengabaikan etika dan
tetap memilih berkiblat pada logika
“klik”. Ini adalah contoh pertunjukan
paling gamblang dari sebuah media
yang mengeksploitasi korban
kecelakaan untuk mendapatkan
panen klik dari pembaca
Konsep human interest yang banyak
dianut media lokal, adalah tentang
mengeksploitasi aspek-aspek
kemanusiaan hanya untuk hiburan
dan keterpaparan. Hasilnya, ia hanya
melayani insting-insting paling dasar
dari manusia: hasrat mengintip yang
berujung pada masalah etik
wartawan yang mengobrak-abrik
akun media sosial korban, narasi-
narasi firasat yang terus dipaksakan
untuk dramatisasi, serta narasi-narasi
“pramugari cantik” yang tentunya
dihadirkan untuk melayani keinginan
pembaca laki-laki.
Dalam human interest jenis ini, yang
dihadirkan bukanlah benar-benar
perspektif dan suara dari manusia-
manusia di seputar kecelakaan ini.
Yang dihadirkan adalah suara-suara
yang dianggap media ingin didengar
oleh pembacanya. Yang dirugikan
bukan hanya pembaca yang tidak
belajar apa-apa, tetapi juga korban
yang dihilangkan suaranya.
Hal lain yang mesti
diperhatikan adalah
bagaimana beberapa
media berusaha
menampilkan berita
atau informasi yang
sama sekali tidak
berhubungan dengan
kecelakaan namun
tetap dilekatkan
dengan peristiwa
tersebut agar nilai
beritanya—atau
tepatnya, nilai kliknya—
tetap ada. Satu sisi
buruk potensial
dari human interest,
adalah titik beratnya
pada “ketokohan”, yang
kerap mereduksi
peliputan menjadi
terfokus pada
selebritas dan figur-
figur “penting”.
Media dalam Bencana Pandemi/Endemi
Informasi Terbuka
Keterbukaan
informasi publik
Berbasis Data dan Riset
Menyediakan
Panggilan Darurat
Layanan COVID atau
bantuan serupa
Bersifat Instruktif,
bukan deliberatif
Melepaskan media dari
both-sideism
Keterbukaan Informasi
John M. Barry, sejarawan yang menulis buku tentang
Flu Spanyol, dalam wawancaranya di The Listening
Post mengatakan bahwa lebih baik “menyampaikan
kebenaran” ketimbang “mengatur kebenaran”—frase
yang dikatakan Juru Bicara Penanganan Covid-19
Achmad Yurianto.
“Manusia jauh lebih mampu berhadapan dengan
realitas ketimbang dengan imajinasi,” ujar Barry.
“Seperti ketika kita menonton film horor, momen
paling seram adalah sebelum monsternya muncul,
sebab imajinasilah yang mengendalikan. Namun
ketika monsternya muncul, kita tidak setakut seperti
yang kita imajinasikan.
“Jadi, sampaikanlah kebenaran, apapun itu. Biarkan
orang menyiapkan diri,” kata Barry.
Bantuan Media dalam Bencana
x
Meski tampak baik dan menampilkan
wajah media yang dermawan,
keterlibatanmedia dalam menarik
dan menyalurkanbantuan
kemanusiaan, seperti Indonesia
Menangis maupun Satu Untuk Negeri
berisiko menjinakkanprinsip
independensi media.
v
Media memastikanbantuan sampai
kepada sasarannya,media juga bisa
memberikan bantuan dalam bentuk
narahubung bantuan darurat atau
instruksipencegahan dan
penyelamatandiri
Donasi Industri Media
Umum saat ini bagi kita melihat
media membuka layanan
donasi saat bencana terjadi