1. FALSAFAH KESATUAN ILMU
Karya Tulis Ilmiah
OLEH:
MAHATHIR ALI MUHAMMAD
NIM: 2205056054
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2022
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat dalam Bahasa inggris yaitu philosophy, pengertian filsafat yaitu pengetahuan
dan penyelidikan dengan akal manusia mengenai segala yang ada, sebab asal dan hukumnya.
Awalnya filsafat memiliki arti segala ilmu yang dimiliki manuisa.
Secara umum filsafat memiliki arti segala upaya manusia untuk memahami secara
sistematis dan kristis. Dari sini dapat didefinisikan filsafat merupakan sebuah proses, maka
proses yang dilakukan adalah berpikir kritis, yaitu secara aktif, sistematis, dan mengikuti
prinsip-prinsi logika untuk memahmi dan mengevaluasi informasi yang bertujuan apakah
informasi itu dapat diterima atau malah ditolak, dengan ini filsafat akan terus berubah hingga
sampai disatu titik tertentu.
Jika membahas mengenai filsafat, filsafa tidak akan lepas dari ilmu (sains), filsafat
miliki peran yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan karena dalam filsafat kita akan
menemukan pandangan-pandangan yang kompleks, dan memdiskusikan gagasan-gagasan
yang bertanggung jawab secara ilmiah dan intelektual. Dari gagasan-gagasan atas ilmu sanins
munculah filsafat ilmu sebagai bagian dari pengetahuan. Secara sederhana ilmu pengetahuan
adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara
ilimah.
3. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah ini tentang petunjuk Islam
mengenai ilmu pengetahuan yang dibentuk menjadi sub masalah berikut:
1. Konsep ilmu pengetahuan dalam Islam
2. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam
3. Kikat ilmu pengetahuan dalam Islam
4. BABA II
PEMBAHASAN
A. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Islam mendukung kebebasan intelektual, dan juga mendukung adanya ilmu
pengetahuan dengan menghormati ilmuan tanpa memandang agama mereka. Dalam
perbkembangannya, ilmu pengetahuan mencapai zaman keemasan pada 750 M dan 1100 M,
dalam Islam juga memberikan sumbangsih ilmu yang besar dan berpengaruh seperti
madzhab-madzhab Islam.
Banyak filsuf dan ilmuan Islam yang turut berkontribusi dalam perkembangan ilmu
sanis, salah satunya adalah al-Farabi. Beliau sangat berjasa dalam mengembangkan dan
memperkenalkan cara berpikis logis kepada dunia Islam. Al-Farabi membicarakan sytem
logika dan berbikir deduktif maupun induktif. Selain al-Farabi banyak juga filsuf muslim
yang memberikan keterlibatannya dalam ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, al-Kindi, al-
khawarijmi, dan masih bnayak lagi.
1. Landasan Ilmu Pengetahuan
Ilmu berasal dari Bahasa Arab ‘ilm yang memiliki arti pengetahuan, kemudian
berkembang jadi pengetahuan tentang hakikat yang dipahami secara mendalam.
Al-Qur’an dan Hadist merupakan wahyu Allah yang memilikim fungsi sebagai
petunjuk bagi seluruh umat manusia, termasuk petunjuk tentang ilmu dan aktivitas
ilmiah, karena dalam salah satu ayat di al-Qur’an berbunyi “Bacalah,
dengan(menyebut) nama Tuhanmu Yang telah menciptakan.” Bacalah memilikim arti
yang cukup luas, selain kata bacalah, ada kata didalam al-Qur’an seperti ‘aql (akal),
dan fikr (pikiran). Dari beberapa kutipan al-Qur’an diatas dapat diasumsikan bahwa
al-Qur’an juga memerintah kan kita untuk memahami berbagai ilmu yang ada di
dunia ini, dari ilmu agama maupun ilmu pengetahuan (sains).
Ajaran dalam Islam berbeda dengan agama lain, terutama dengan agama
Kristen di Barat, dalam sejarahnya terlihat hubungan yang kelam antara ilmu sains
dan agama. Hubungan yang saling bertentangan tersebut ditunjukan dengan adanya
hukuman yang sangat berat bagi para ilmuan yang temuannya berseberangan dengan
orang Gereja. Misal, Nicolaus Copernicus harus mati di penjara pada 1543 M,
Michael Servet mati dibakar tahun 1553 M, Giordano Bruno dibunuh pada tahun
1600, dan Galileo Galilei mati di penjara pada tahun 1642 M. Karena hubungan yang
tidak harmonis, para ilmuan melakukan aktivitas ilmiah nya jauh dengan agama,
akibatnya ilmu barat berkembang dengan paradigma antroposentris. Dampak
seriusnya adalah banyak ilmuan barat yang merasa tidak perlu lagi menyinggung
Tuhan dalam argumentasi mereka, akhirnya banya dari mereka yang memilih menjadi
agnostic maupun yang lebih parah menjadi atheis.
2. Sumber, Sarana, dan Metode Ilmu pengetahuan
5. Berbicara mengenai sumber, sarana, dan metode ilmu pengetahuan, didalam
filsafat ilmu dikenal dengan epistemology atau teori ilmu pengetahuan.
Epistimologi dalam Islam memiliki arti bahwa pengetahuan ilmiah adalah
segala seuatu yang bersumber dari alam fisik dan non-fisik. Dengan ini sudah jelas
bahwa sumber pengetahuan dalam islam adalah fisik yang bisa diindra dana lam
metafisik yang tidak bisa diindra seperti Tuhan, Malaikat, dan akhirat.
Pada epistimologi yang kedua, ada perbedaan antara Islam dan Barat. Dalam
epistimologi Islam, pengetahuan bisa dicapai melalui tiga elemen; indra,akal, dan
hati. Ketiga elemen ini dalam praktinya diterapkan dengan metode yang berbeda;
indra dengan metode observasi, akal dengan metode logis atau demonstrative, dan
hati dengan metode intuitif.
Jika ilmu pengetahuan dalam Islam dapat diraih dengan tiga hal tersebut , maka
dalam epistimologi barat, ilmu pengetahuan hanya melalui indra dan akal.
Penggunaan kedua metode ini sebagai sumber ilmu pengetahuan didahului dengan
konflik tajam ilmuan barat hampir 2 abad. Konflik tersebut terbagi dalam dua aliran
filsafat, yakni Rasionalisme dan empirisme. Rasinalisme dipelopori oleh Rene
Descarter, dengan pendangan bahwa sumber pengetahuan yang dianggap memenuhi
syarat ilmiah adalah akal. Akal merupakan satu-satunyasumber yang benar, dan ilmu
yang berasal dari akal tidak mungkin salah. Sementara empiris berpendapat bahwa
satu-satunya sumber pengetahuan manusia adalah pengalaman indrawi, yakni
pengalaman yang terjadi dan dapat dirasakan oleh panca indra. Bagi pandangan kaun
empiris, panca indra memiliki peran yang sangat penting disbanding akal karena,
semua proposi yang diucapkan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman,
kedua, manusia tidak memiliki konsep apapun kecuali yang didapat dari pengalaman,
ketiga, akal hanya berfungsi apabila memiliki acuan realistis atau pengalaman.
3. Klasifikasi Ilmu
Dalam Islam ilmu dileompokan dalam tiga kelompok yakni; metafisika,
matematika, dan ilmu-ilmu fisik. Dari ektiga kelompok tersebut lahirlah berbagai ilmu
pengetahuan, misalnya; dalam ilmu metafisika (ontology, teologi, kosmologi, dan
eskatologi), dalam matematika (geometri, aljabar, aritmatika, music, dan
trigonometri), dalam ilmu fisik (fisika, kimia, geologi, astronomi, dan optika).
Seiring berkembangnya zaman , ilmu pengetahuan mimiliki tujuan praktis,
beberapa ulama melakukan klasifikasi ilmu seperti;
- Al-Ghazali membagi ilmu dalam dua kelompok; ilmu syariah dan ilmu ghairu
syariah. Ilmun syariah masih terbagi jadi empat kelompok yaitu; pokok (ushul),
cabang (furu’), pemgantar (muqoddimat), dan pelengkap (mutamminat).
- Ibnu khaldun membagi ilmu menjadi dua kelompok, yaiutu; ilmu naqliyah dan
ilmu ‘aqiliyah. Yang termasuk ilmu naqliyah adalah ilmu tafsir, qira’ah, hadist,
ushul fiqih, fiqh, ilmu kalam, dan Bahasa Arab. Sedangkan ilmu ‘aqiliyah adalah;
ilmu mantiq, ilmu alam, metafisika, dan ilmu instruktur.
Dari klasifikasi ilmu keislaman yang dilakukan ilmuan muslim diatas, dapat
disimpulkan ilmu dalam Islam itu sangant luas, meliputi urusan duniawi dan
ukhrawi. Dan yang menjadi batasan ilmu dalam Islam adalah; pengembangan ilmu
harus didasari rasa tauhid kepada Allah SWT. Dan untuk kemaslahatan umat
manusia. Dengan demikian, ilmu bukan sekedar ilmu, tapi untuk diamalkan.
6. B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Perkembangan ilmu pengetahuan Islam tidak begitu saja terjadi, dalam sejarah,
perkembangan ilmu-ilmu keislaman mengalami pasang surut. Suatu ketika mencapai puncak
kejayaan, dan disaat yang lain mengalami kemunduran.
1. Masa Keemasan
Sejarah politik dalam Islam dipetakan dalam tiga periode, yaitu; periode klasik
(650-1250 M0, periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800-
sekarang). Dari ketiga periode tersebut, yang dikenal periode keemasan islam adalah
masa periode klasik, yang ditandai dengan perkembangan ilmu yang sangat pesat.
Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam sangat tampak setelah
masuknya gelombang Hellenisme melalui gerakan penerjemahan ilmu pengetahuan
yunani kedalam Bahasa arab, yang dipelopori khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M)
dan mencapai masa keemasannya pada masa khalifah al-Makmun (813-833 M).
Beliau mengutus seseorang ke kerajaan Romawi di Eroa untuk membeli manuscripts
yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa Arab. Sejak saat itu lah para ilmuan muslim
mulai mempelajari dan menalaah secara mendalam pemikiran-pemikiran ilmuan
Yunani seperti Pythagoras (530-495 SM), Plato (425-347 SM), Aristoteles (388-322
SM), Klaudios Ptolemaios (87-168 M), dan lain-lain.
Setelah mempelajari ilmu dari Yunani kemudian muncullah para fiosof dan
ilmuan muslim yang ahli dalam berbagain ilmu pengetahuan, seperti; dalam bidang
kedokteran; al-Razi (866-909 M), Ibnu Sina (926 M), Ibnu Zuhr (1091-1162 M), dan
al-Zahrawi (1013 M). dalam bidang filsafat; al-Kindi (801-862 M), al-Farabi (870-
950 M), al-Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1198 M). Dalam ilmu pasti dan
ilmu pengetahuan alam; al-Khawarizmi (780-850 M), al-Farghani (abad ke-9), an-
Nairazi (922 M), Abu Kamil (abad ke10), dan Ibrahim Sinan (1045-1123 M).
Dan perkembangan dalam hukum Islam ditandai dengan lahirnya empat
madzhab; Abu Hanifah (wafat 767 M), Anas Ibn Malik (wafat 795 M), Muhammad
Ibn Idris al-Syafi’I (wafat 819 M), dan Ahmad Ibn Hambal (wafat 855). Dalam
bidang hadist muncul beberapa ulama hadist terkemuka seperti; Bukhari (wafat 870
M), Muslim (wafat 875 M), Ibnu Majah (wafat 886 M), Abu Dawud (wafat 886 M),
al-Tirmidzi (wafat 892 M), dan al-Nasa’i (wafat 916 M).
Penerjemahan ilmu pengetahuan dan filsafat yang berasal dari Yunani yang
dilakukan umat Islam masih bersifat selektif dan kreatif. Yang diterjemahkan adalah
filsafat dan ilmu-ilmu yang memberikan manfaat bagi umat sperti; kedokteran,
pertanian, astronomi, ilmu bumi, ilmu ukur, dan ilmu bangunan. Sedangkan untuk
satra Yunani ditinggalkan karena banyak berbau takhayul dan syirik. Sedangakn ilmu
yang diterjemahkan tidak diterima begitu saja (taken for granted), melainkan
dikembangkan dan di-islamkan mengingat ilmu-ilmuYunani kuno bersifat sekuler.
7. Maka dari itu, perkembangan ilmu didalam Islam sangat berbeda dengan yang
berkembang di Yunani. Bahkan Max I. Dimont yang seorang ahli sejarah peradaban
Yahudi dan Arab perpendapat, bahwa peradaban ilmu didalam islam sangat jauh
berbeda dengan yang berkembang di Yunani. Dimont pernah memberikan ilustrasi
seperti; “Dalam hal ilmu pengetahuan, bangsa Arab (muslim) jauh meninggalkan
bangsa Yunani. Peradaban Yunaniitu, dalamesensinya, adalah ibarat kebun subur
yang penuh dengan bunga-bunga indah namun tidak banyak berubah. Peradaban
Yunani itu adalah suatu peradaban yang kaya dalam filsafat dan sastra, tetapi miskin
dalam teknik dan teknologi. Karena itu, merupakan suatu usaha bersejarah dari
bangsa Arab dan Yunani Islamik (yang terpengaruh oleh peradaban Islam) bahwa
mereka mendobrak jalan buntu ilmu pengetahuan Yunani, dengan merintis jalan ilmu
pengetahuan baru dengan menemukan konsep nol, tanda minus, bilangan-bilangan
rasional, dan meletakan dasar-dasar ilmu kimia baru, yaitu ide-ide yang meratakan
jalan ke dunia
Ilmu pengetahuan modern melalui pemikiran kaum intelektual Eropa pasca
Renaisans.
Penyebab pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di era klasik, setidaknya
ada beberapa faktor, yakni; pertama, etos keilmuan umat islam sangat tinggi. Kedua,
Isalm merupakan agama rasional yang memberikan porsi besar terhadap akal. Ketiga,
berkembangnya ilmu pengetahuan klasik adalah sebagai dampak kewajiban umat
Islam dalam memahami alam raya ciptaan Allah. Keempat, disamping alasan diatas,
perkembangan ilmu di era klasik juga ditopang kebijakan politik para khalifah yang
menyediakan fasilitas dan sarana memadai bagi ilmuan yang melakukan penelitian
dan pengembangan ilmu.
2. Masa Kemunduran
Momen ketiks kemundursn umat Islam pada bidang pemikiran dan
pengembangan ilmu adalah kritik dari al-Ghazali (1058-1111 M) melalui Tahafut al-
Falasifahnya terhadap para filosof dinilainya telah menyimpang jauh dari ajaran
agama Islam. Setelah itu, masih muncul para pemikir muslim seperti; Ibnu Rusyd,
Ibnu Khaldun, Ahmad Shirhindi, dan Syah Waliyula. Pada umumnya para ahli
berpendapat bahwa dunia pemikiran Islam setelah al-Ghazali tidak lagi semarak
seperti sebelumnya.
Al-Ghazali sebenarnya tidak anti filsafat, bahkan beliau termasuk seorang filsof
terkenal. Beliau menulis Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsof) sebernarnya
bertujuan menghidupkan kembali kajian tentang agama, yang menurutnya, telah
terjadi banyak penyimpangan akibat ulah sebagian filsof khususnya al-Farabi dan
Ibnu Sina yang berdampak semakin besarnya semangat pemikiran bebas yang
membuat orang lalai dalam beribadah. Oleh karena itu, dalam karya yang lain al-
Ghazali menulis karya momentumental yang berjudul Ihya’ ‘Ulum al-Din
(Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Menurut Nurcholis Madjid, penyebab mundurnya umat Islam adalah; pertama,
penyelesaian oleh al-Ghazali mengenani problema diatas, meskipun ternyata tidak
sempurna, namun komprehensif dang sangat memuaskan. Kedua, ilmu kalam Asy’ari
dengan konsep al-kasb (acquisition), yang cenderung lebih dekat pada oaham
jabariyah yang dianut dan didukung al-Ghazalijuga sangat memuaskan. Ketiga,
8. runtuhnya Baghdad oleh bangsa Mongol sangat traumatis dan membuat umat muslim
sulit bangkit. Kempat, berpindahnya sentra-sentra kegiatan ilmiah dari dunia Islam ke
Eropa. Kelima, ada juga teori yang mengatakan bahwa umat Islam setelah
mendominasi selama kurang lebih 8 abad mengalami rasa puas diri dan jadi tidak
kreatif.
Sedangkangkan menurut pemikiran Harun Nasution, penyebab mundurnya
ilmu pengetahuan dalam Islam adalah; pertama, mendominasinya tasawuf dalam
kehidupan umat muslim yang lebih cenderung kedaya rasa yang berpusat di kalbudan
meremehkan daya nalar yang terdapat dalam akal. Kedua, teologi Asy’ariyah yang
banyak dianut umat Islam terutama Suni. Teologi Asy’ariyah membuat lemah pada
akal, sehingga umat Islam kurang kreatif.
Surutnya gerakan dalam pengembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam
Islam dapat dilihat dalam kondisi berikut; pertama, etos keilmuan yang mulai redup,
jalan ijtihad mulai tertutup dan gerakan taqlid mulai menjamur. Akibatnya
perkembangan ilmu pengetahuan menjadi stagnan. Karya ulama klasik dipandang
sebagai sesuatu yang final dan tidak boleh diubah. Kedua, ilmu agama dalam Islam
dimaknai secara sempit dan terbatas. Mulai dari munculnya pemilihan ilmu agama
dan ilmu umum, sesuatu hal yang tidak pernah ada di era klasik. Ilmu agama dibatasi
pada ilmu ukhrawi seperti; ilmu kalam, fiqih, tafsir, hadist, dan tasawuf. Sedangkan
ilmu duniawi, sepertikedokteran, pertanian, kimia, fisika disebut ilmu umum. Padahal
dalam menjalani hidup di dunia perlu penguasaan ilmu umum. Menurut sejarawan,
dikotomi ilmu telah ada sejak abab ke 13 m. ketika Madrasah Nidzam al-Mulk hanya
memprioritaskan ilmu-ilmu ukhrawi. Dan fenomena ini kemudian didukung oleh
modernnisasi barat yang mulai masuk ke negara-negara muslim sejak masa
kolonialisme sampai sekarang.
C. Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam
Secara sederhana pada latar belakang, ilmu adalah dasr yang menjiwai dinamika
kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah, dengan ini berarti terdapat pengetahuan
ilmiah dan tidak ilmiah. Dan yang tergolong il iah disebut ilmu pengetahuan, yaitu akumulasi
pengetahuan yang telah disistematis dan diorganisir, sehingga sesuai asas pengaturan secara
prosedur, metologis, teknis dan normative akademis. Dengan demikian dapat teruji kebenaran
ilmiyahnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pengetahuan tidak ilmiah adalah yang tergolong pra-ilmiah, berupa pengetahuan hasil
serapan indrawi yang secara sadar diperoleh, selain itu termasuk yang diperoleh secara pasif
atau diluar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Berikut table
berdasarkan pengetahuan manusia:
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan Objek Paradigma Metode Kriteria
Sains Empiris Sains Metode Ilmiah Rasional
Empiris
Filsafat Abstrak
Rasional
Rasional Metode
Rasional
Rasional
9. Mistis Abstark
Suprarasional
Mistis Latihan
Percaya
Rasa, Iman,
Logis, Kadang
Empiris
Sumber: Tafsir, Ahmad, 2006 Filsafat Ilmu.
Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah didapat secara sadar, aktif, sistematis, metodis,
dan teknis, kemudian dapat diverifikasi kebenarannya. Sedangkan pengetahuan pra-ilmiah,
walau diperoleh secara sadar dan aktif, namun masih bersifat acak, atau tanpa metode,
apalagi intuisi, sehingga tidak dimasukan dalam kategori ilmu. Dengan ini pengetahuan pra-
ilmiah karena tidak sistematis metodologis, ada yang menyebut sebagai pengetahuan
naluriah.
Hakikat ilmu dapat diperoleh dengan du acara pokok, pertama mendasarkan diri
dengan rasio, kedua mendasarkan diri pada pengalaman, namun masih ad acara yang lain
yaknim intuisi atau wahyu. Tapi masalah yang muncul dalam mencari hakikat ilmu adalah
dikotomi atau jarak antara ilmu umum dan ilmu agama. Dalam pandangan Islam sumber
ataun hakikat ilmu yang paling utama yaitu al-Qur’an dan hadist, sedangkan ilmu umum yang
valid adalah pengalaman empiris yang didukung oleh inderawi secara metode deduksi.
Pada dasrnya, manusia diyakini memilikim keterbatasan kemampuan untuk
mengetahui hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataannya, paradigm yang dibangun manusia
terus mengalami dilemma besar yang semakin sulit dipecahkan, untuk itulah manusia perlu
petunjuk sebagai premis dari kebenaran ilmu pengetahuan.
Dan premis kebenaran itu pastilah bersumber dari yang Maha Tahu dan Maha Benar,
yaiutu Allah. Allah telah mewahyukan kebenarannya memlalui al-Qur’an, dan kebenaran dari
wahyu bersifat observable, dan manusia diberi kebebasan untuk mengujinya. Hal ini yang
digunakan ilmuan muslim dalam berusaha menjelaskan kesatuan alam semesta, kesatuan
kebenaran, kesatuan hidup, kesatuan pengetahuan, serta dijadikan sebagai hakikat dari
landasan ilmu pengetahuan dan ilmu filsafat.
Pengetahuan ilmu dalam Islam berusaha menunjukan kepastian dari kebenaran, yang
berawal dari kepercayaan serta memantapkan melalui perenungan, penalaran, pemikiran, dan
pengamatan yang bersandar pada wahyu Allah, dan diyakini kebenaran wahyu tersebut
merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat (bukti), isyarat, hudan (petunjuk/pedoman
hidup), dan rahmat. Dari hakikat inilah yag dipakai para ilmuan muslim sebagai alternative
pemecah masalah antara dua aliran Ilmu pengetahuan yaitu rasional dan empiris dengan cara
menggabungkan keduanya sehingga tercipta metode baru yaitu metode eksperimen. Selain
metode eksperimen dalam menentukan hakikat ilmu pengetahuan, islam juga mengakui
intuisi sebagai kebenaran tertinggi dibawah otoritas wahyu Allah.
10. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu dalam Islam merupakan pengetahuan yang mendalam dari hasil sunguh-sunguh
para ilmuan muslim atas persoalan duniawi dan ukhrawi dengan landasan wahyu Allah.
Pengetahuan melalui indra, akal, dan hati ataun intuitif yang bersumber dari alam fisik dana
lam metafisik. Hal ini berbeda dengan epistimologi ilmu di Barat yang hanya bertumpu pada
indra dan akal serta alam fisik.
Konsep ilmu pengetahuan dalam Islam menggunakan wahyu sebagai dasar dan sentral
dalam inspirasi, mengarahkan, serta menentukan kearah mana kajian sains ditujukan sebagai
sebuah sitem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudut pandang rasionalisme
dan empirisme. Konsep ini berakibat terhadap metodologi sains dalam islam, sehingga wahyu
diletakan pada posisi tertinggi sebagai sumber dan petunjuk ilmu pengetahuan islam.
Sejarahnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam mengalami pasang surut.
Suatu ketika mencapai puncak kejayaan, dan di saat yang lain mengalami kemunduran. Era
klasik (650-1250 M) merupakan masa keemasan Islam yang ditandai dengan tingginya etos
keilmuan serta pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang kehidupan.
Setelah itu, perkembangan ilmu di kalangan umat Islam menjadi redup dan ganti Barat yang
berada dalam garda depan dalam pengembangan ilmu. Kemajuan ilmu di Barat memunculkan
banyak akses negatif seperti sekularisme, materialisme, hedonisme, individualisme,
konsumerisme.
Hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam diperoleh dengan beberapa cara,
yaitu berdasarkan rasio, berdasarkan pengalaman, dan berdasarkan pada intuisi yang disebut
juga sebagai pengetahuan naluriah. Dan untuk mengetahui hakikat ilmu, para ilmuwan
(manusia) membutuhkan premis kebenaran dan hal inilah yang bersumber dari Tuhan.
Hakikat kebenaran mutlak dari Tuhan inilah yang digunakan oleh para ilmuwan muslim
sebagai alternative pemecahan antara rasionalisme dan empiris lalu melahirkan metode
eksperimen, yaitu metode berdasarkan hasil pengamatan, pemikiran, dan pengalaman yang
11. digabungkan. Selain itu metode intuisi juga digunakan dalam mencari hakikat ilmu
pengetahuan.
Daftar Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihya‟ Ulum al-Din, Juz I. Beirut; Badawi
Thaba‘ah, t.th
Ali, Ashraf. 1996. Horison Baru Pendidikan Islam, terjemahan oleh Sori Siregar
Jakarta: Pusataka Firdaus, 1996.
al-Maliki, Sayid ‗Alawi ibn ‗Abbas. Fath al-Qarib al-Mujib „ala Tahdib al-Targhib
wa al-Tarhb. Mekah; t.p, t.t.
Al-Munjid fī al-Lughah wa al-A‟lam. 1986. Beirut: Dar al-Masyriq.
al-Nawawi, Abi Zakaria Yahya ibn Syarf. 2001. Riyad al- Shalihin. Kairo; alMaktabah al-
Salafiyah.
Azizy, A. Qadri. 2003. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman. Jakarta: Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju
Millenium Baru. Jakarta: Logos.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju
Millenium Baru. Jakarta: Logos.
Fadjar, A. Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia.
Gholib, Achmad. 2009. Filsafat Islam, cetakan I. Jakarta: Faza Media.
Ginting, Paham, Syafrizal Helmi Situmorang. 2008. Filsafat Ilmu dan Metode
Riset.Medan: USU Press.
12. Kementrian Agama RI. 2009. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Depok: Penerbit Sabiq.
Keraf, A. Sony dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan
Filosofis. Yogyakarta; Kanisius.
Kertanegara, Mulyadhi. 2002. Menembus Batas Panorama Filsafat Islam. Bandung:
Mizan.
Madjid, Nurcholis. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:
Paramadina.