BUKLET Kewajiban Syariah Islam
“Kita harus berjuang untuk Syariah agar umat Islam bisa bangkit”. (Prof. Dr. Istiqlal Amin, Peneliti di Kementerian Pertanian)
"Syariah Islam membawa kehidupan bernegara lebih baik. Dengan sistem demokrasi korupsi tumbuh subur, budaya liberalisasi juga tumbuh subur, bahkan budaya liberal di kalangan remaja semakin menyedihkan." (Prof. Haryono Sigit, Mantan Rektor ITS)
“Masalah bangsa ini seperti kemiskinan, pengangguran, dan krisis sosial adalah masalah sistemik yang disebabkan oleh sistem yang rusak dan merusak, demokrasi” (Tri Wahyu Agustina SP, M.Pd, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
"Sistem kehidupan saat ini sudah sangat bertentangan dengan Islam dan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu Khilafah Islamiyah adalah solusi atas kerusakan sistem saat ini yang menjadi hegemoni penjajah." (Prof. Dr. Muhammad Najib, Wakil Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
"Saya harap semua umat bisa mendukung untuk tegaknya hukum-hukum Allah di muka bumi." (Dr. Saharuddin Daming, Mantan Komisioner Komnas HAM)
"Saya mengajak seluruh kaum intelektual untuk bergabung bersama Hizb dan menjadi ujung tombak untuk menegakkan Khilafah." (Prof. Dr. Ir. Hj. Sutinah Made M.Si. Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan UNHAS)
"Saya sudah ikut bersama Hizbut Tahrir dan saya sangat senang dakwah bersama Hizbut Tahrir. Kita berharap para intelektual seluruh Indonesia ikut berjuang bersama Hizbut Tahrir." (Prof. Lukman Atmaja)
"Saya ingin berjuang bersama menegakkan syariah dan Khilafah." (Otong Surasman Kandidat Doktor Institut Perguruan Tinggi al-Quran)
"Sudah saatnya para intelektual mengambil kembali mutiara yang dulu hilang, mengembalikan kejayaan Islam, menerapkan seluruh hukum Islam dalam bingkai Khilafah." (Dr. Ni’matuzzahrah Dosen Universitas Airlangga)
"Para intelektual muslim, marilah kita menjalankan kewajiban kita kepada Allah, berperan serta dalam menegakkan syariah seutuhnya dalam bingkai Khilafah." (Dr. H. Tjipto Subadi, M.Si. Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta)
unduh buklet (plus gambar sampul) di:
http://www.mediafire.com/download/c9pjhhm73259hh7/BUKLET+Kewajiban+Syariah+Islam+plus+cover.doc
atau di:
http://www.4shared.com/office/dMAHH1baba/BUKLET_Kewajiban_Syariah_Islam.html
2. Kewajiban Syariah Islam
الرحيم الرحمن هللا بسم
Imam Syaukani di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan:
الشرعةيعةرالشويفاألصل:يقةرالطالظاهرةاليتيتوصلهباإىلاملاء،مث
استعملتفيماشرعههللالعبادهمنالدين.املنهاجو:يقةرالطاضحةوال
البينة.وقالأبوالعباسحممدبنيدزياملربديعةرالش:ابتداءيقرالط،
املنهاجويقرالطاملستمر.ومعىناآلية:أنهجعلاةرالتوألهلها،اإلجنيلو
ألهله،القرآنوألهله،وهذاقبلنسخائعرالشالسابقةبالقرآن،أماوبعده
فالشرعةوالمنهاجإالماجاءبهحممدصلىهللاعليه.وسلم
“Pada asalnya, kata al-syir’ah dan al-syarii’ah bermakna jalan terang yang bisa
mencapai air. Selanjutnya kata ini digunakan dengan makna, agama (diin) yang
disyariatkan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Sedangkan kata al-minhaaj: jalan
terang dan jelas. Abu al-’Abbas Mohammad bin Yazid al-Mubarrad: ”Kata al-
syarii’ah bermakna ibtidaa’ al-thariiq (permulaan jalan), sedangkan al-
minhaaj bermakna jalan yang berulang-ulang (al-thariiq al-
mustamirah). Makna ayat ini [QS. al-Maidah: 48] adalah: Sesungguhnya Allah
Swt. menjadikan Taurat untuk pemeluknya, Injil untuk pemiliknya, dan al-
Quran untuk pemeluknya. Ini terjadi sebelum penghapusan syariat-syariat
terdahulu oleh al-Quran. Adapun setelah turunnya al-Qur’an, maka tidak ada
syir’ah dan minhaaj, kecuali yang dibawa oleh Nabi Mohammad Saw.” (Imam
Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 319)
Kata ”syarii’ah” selalu berkonotasi hukum Allah yang ditetapkan untuk
mengatur seluruh interaksi manusia di kehidupan dunia. Makna semacam ini
secara eksplisit disebutkan di dalam al-Quran. Allah Swt. berfirman:
1
3. اًاجَهْنِمَو ًةَعْرِش ْمُكنِم اَنْلَعَج ٍّلُكِل
”… Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang…” (QS. Al Maidah (5): 48)
Di dalam hadits shahih juga dituturkan bahwasanya Rasulullah Saw.
menggunakan kata syarii’ah dengan makna hukum. Rasulullah Saw. bersabda:
ْمُهْنِم ُمْلِعْلا ْضَبْقُي ََْل اَم ٌث َالَث اَيهِف ْرَهْظَي ََْل اَم ِةَيعِرَّالش ىَلَع ُةَُّمْاأل ُالَزَت َال
ْوَأ َنوَُّارقَّالص اَمَو َالَق َنوَُّارقَّالص ْمِهيِف ْرَهْظَيَو ِثْنِْْلا ُدَلَو ْمِهيِف ْرُثْكَيَو
الْمُهَنْيَب ْمُهُتَّيََِت ِانَمَّالز ِرِآخ ِيف ُنوُكَي ٌرَشَب َالَق َِّاَّلل َولُسَر اَي َنوُو َالْقَّص
ُنُع َالَّالت
”Umat akan selalu berada di atas syarii’ah, selama di tengah-tengah mereka
belum tampak tiga perkara. Selama ilmu belum dicabut dari mereka, dan
selama di tengah-tengah mereka belum banyak anak banci, serta belum tampak
di tengah-tengah mereka al-shaqqaaruun.” Para shahabat bertanya, ”Ya
Rasulullah, apa al-shaqqaaruun atau al-shaqqlaawuun itu?” Rasulullah Saw.
menjawab, “Manusia yang ada di akhir zaman, yang mana, ucapan selamat di
antara mereka adalah saling melaknat.” (HR. Imam Ahmad)
Prof. Mahmud Syaltut, di dalam Kitab al-Islaam: ’Aqiidah wa Syarii’ah
menyatakan:
يعةرالشهىالنظمالىتشرعهاهللاأوعشرهلاوأصليأخذاإلنسانهبانفسه
ىفعالقته,بهربوعالقتهبأخيهاملسلم,وعالقتهبأخيه,اإلنسانو
عالقتهبالكون,وعالقتهباْلياة
“Syarii’ah adalah aturan-aturan (sistem) yang Allah telah mensyariatkannya,
atau mensyariatkan pokok dari aturan-aturan tersebut, agar manusia
mengadopsi aturan-aturan tersebut untuk mengatur hubungan dirinya dengan
Tuhannya, dan hubungan dirinya dengan saudaranya yang Muslim dan saudara
2
4. kemanusiaannya (non Muslim), dan hubungan dirinya dengan alam semesta
dan kehidupan.” [Syaikh Mahmud Syaltut, al-Islaam, ’Aqiidah wa Syarii’ah,
hal. 12]
﴾َنوُمِالَّظال ُمُه َكِئَلوُأَف َُّاَّلل َلَزْنَأ اَِِب ْمُكََْي ََْل ْنَمَ﴿و
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka
mereka itu adalah orang-orang zalim.” (QS. al-Maidah [5]: 45)
َُّاَّلل َلَزْنَأ اَِِب ْمُكََْي ََْل ْنَمَ﴿و﴾َنوُقِاسَفْلا ُمُه َكِئَلوُأَف
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka
mereka itu adalah orang-orang fasik.” (QS. al-Maidah [5]: 47)
﴾ َنوُرِافَكْلا ُمُه َكِئَلوُأَف َُّاَّلل َلَزْنَأ اَِِب ْمُكََْي ََْل ْنَمَ﴿و
“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka
mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. al-Maidah [5]: 44)
Ketiga ayat tersebut bersifat umum, meliputi semua orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah Swt. Ketiga ayat tersebut turun berkenaan
dengan kaum Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak bisa dibatasi hanya untuk
mereka. Sebab ungkapannya bersifat umum. Kata man yang berkedudukan
sebagai syarat memberi makna umum, sehingga tidak dikhususkan kepada
kelompok tertentu. (al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12, 6; al-
Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 53; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3, 428)
Dalam kaidah yang rajih disebutkan:
ِبَبَّالس ِوصُصُِِب َال ِظْفَّالل ِومُمُعِب ُةَرْبِعْلا
“Berlakunya hukum dilihat dari umumnya lafadz, bukan khususnya sebab.”
Tidak semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah
secara langsung dapat digolongkan sebagai kafir. Diperlukan pengkajian secara
cermat dan mendalam agar tidak jatuh dalam tindakan takfir (pengkafiran)
yang tidak pada tempatnya. Perbuatan ‘memutuskan perkara dengan hukum
Allah’ termasuk dalam wilayah Syariah. Secara Syar’i, perbuatan tersebut
termasuk dalam hukum wajib.
3
5. Sebagai persoalan yang termasuk dalam wilayah Syariah, meninggalkan
kewajiban ini dikatagorikan sebagai perbuatan dosa. Namun pelanggaran
tersebut tidak sampai mengeluarkan seseorang dari status keimanannya atau
keIslamannya.
Status kafir atau murtad baru dapat diberikan apabila seseorang mengingkari
hukum-hukum-Nya. Apabila seseorang mengingkari wajibnya berhukum
dengan Syariah, maka pengingkaran itu dapat menyebabkannya keluar dari
Islam alias kafir. Status kafir atau murtad itu bukan disebabkan karena
tindakannya yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah namun
karena pengingkarannya terhadap suatu perkara yang telah dipastikan oleh al-
Qur’an dan al-Sunnah. Dalam hal pengingkaran, masalahnya bukan sekadar
pelanggaran terhadap ketetapan hukum Syara’, namun sudah masuk dalam
wilayah Aqidah. Sementara Aqidah inilah yang menjadi pembeda antara orang
mukmin dengan orang kafir.
Allah SWT telah berfirman:
َالَو ِاءَمَّالس ُابَوْبَأ ْمَُهل ُحَّتَفُت َال اَهْنَع اوُرَبْكَتْاسَو اَنِاتَآيِب اوُبَّذَكَينِذَّلا َّنِإ
ِاطَيِْاْل ٍّ
ِمَس ِيف ُلَمَْْلا َجِلَي َّٰىتَح َةَّنَْْلا َنوُلُخْدَي
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya sekali-kali tidak akan dibukakan bagi
mereka pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk surga hingga unta
masuk ke lubang jarum.” (QS. al-A’raf [7]: 40)
Ibnu Abbas mengatakan:
َّرَقَأ ْنَمَو .َرَفَك ْدَقَف ُهللا َلَزْنَأ اَم َدَحَج ْنَمََْي ََْلَو َهَبٌق ِاسَفٌ
ِاَلَل َوُهَف ،ْمُك
“Barangsiapa yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, sungguh dia telah
kafir. Dan barangsiapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya, maka
dia adalah dzalim-fasik.” (al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10; al-Wahidi, al-
Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2, 191; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al’Azhîm, vol. 2 , 80; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 56; al-
Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 439)
4
6. Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum dalam Nidzâm al-
Hukm fî al-Islâm menuturkan:
من وجعل ,رسوله على هللا أنزل ِبا َيكم أن اْلاكمو السلطان هللا أمر وقد
أنزل ما صالحية بعدم اعتقد أو ,به اعتقد إن اركافهللا أنزل ما بغري ِبا َيكم
يعتقده َلو به حكم إن ولاملا وفاسقاعاصيا وجعل ,رسوله على هللا
“Dan sungguh Allah telah memerintahkan sulthon dan penguasa untuk
berhukum dengan apa yang Allah Swt. turunkan kepada Rasul-Nya; dan
menjadikan orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
sebagai orang kafir jika dia meyakininya, atau meyakini tidak layaknya apa
yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang maksiat, fasik,
dan dzalim, jika berhukum dengan (selain apa yang Allah turunkan) dan tidak
meyakininya.” (Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim al-Zallum, Nidzâm
al-Hukm fî al-Islâm (Beirut: Dar al-Ummah, 2002), 20)
Pandangan demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili merupakan pandangan
jumhur Ahlussunnah. (al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 5, 206)
Penguasa yang meyakini Islam tetapi tidak memerintah dengan Islam adalah
penguasa yang zalim dan FASIK.
Berkaitan dengan sosok yang sah memangku kepemimpinan negara maka
harus memenuhi tujuh syarat: Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan
budak), adil (BUKAN FASIK) serta mampu memikul tugas-tugas dan
tanggung jawab kepala negara. Jika seseorang tidak memiliki salah satu syarat
ini, dalam pandangan hukum Syariah, ia tak boleh menjadi kepala negara.
Adapun tidak berhukum dengan hukum Islam karena MENGINGKARI Islam
dan menganggap Islam itu TIDAK LAYAK untuk memutuskan perkara, maka
itu merupakan kekufuran. Kita berlindung hanya kepada Allah dari hal itu.
َيِلِاصَفحلا ُرحيَخ َوُهَو اقَحْلا ُّصُقَي ِاِّلِل اَّلِإ ُمحكُحْلا ِنِإ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. al-An’am [6]:
57)
5
7. َرَمَأ ِاِّلِل اَّلِإ ُمحكُحْلا ِنِإَرَثحكَأ انَِكلَو ُمِيَقحلا ُينِالد َكِلَذ ُهاايِإ اَّلِإ واُدُبحعَت اَّلَأ
َنوُمَلحعَي ََّل ِااسنال
“Keputusan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam tafsir al Baghawi dijelaskan al hukmu itu berupa peradilan, syariat ,
hukum (al qodhou), perintah (al amru) dan larangan (an nahyu).
َأ ْعِبَّتَت َالَو َُّاَّلل َلَزْنَأ اَِِب ْمُهَنْيَب ْمُكْاح ِنَأَ﴿وْنَع َوكُنِتْفَي ْنَأ ْمُهْرَذْاحَو ْمُهَاءَوْه
﴾ َكْيَلِإ َُّاَّلل َلَزْنَأ اَم ِضْعَب
“Hendaklah kamu menghukumi mereka menurut wahyu yang telah Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah
kamu terhadap mereka yang hendak memalingkan kamu dari sebagian wahyu
yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah [5]: 49)
اًذِإَوُهَرحيَغ اَنحيَلَع َيََِتحفَتِل َكحَيلِإ اَنحيَححوَأ يِذالا ِنَع َكَنوُنِتحفََيل واُداَكحنِإ}و
ًليِلَخ َوكُذَاَّت ََّل&َنحتابَث حنَأ ََّلحَولَو{ًليِلَق اًئحيَش حمِهحَيلِإ ُنَكحرَت َتحدِك حدَقَل َاك
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong
terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi
sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu
hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (QS. al-Isra’ [17]: 73-74)
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas;
dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.” (QS.
al-Baqarah [2]: 99)
6
8. Mengenai hukum apa yang wajib diterapkan oleh negara? Pendapat Ahlus
Sunnah jelas, yaitu hukum Syariah. Alasannya, karena Ahlus Sunnah
berpendapat bahwa baik dan buruk harus dikembalikan pada Syariah, bukan
akal. Qadhi al-Baqillani (w. 403) mengatakan:
ُعْرَّالش ُهَحَّبَق اَم ُحْيِبَقْلاَو ُعْرَّالش ُهَنَّسَح اَم ُنَسَْْلَا
“Baik adalah apa yang dinyatakan baik oleh Syariah, sedangkan buruk adalah
apa yang dinyatakan buruk oleh Syariah.” (Al-Baqillani, Al-Anshaf fima Yajibu
I’tiqaduhu wa la Yajuzu al-Jahlu bihi, hlm. 50)
Alasannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Adhuddin al-Iji (w. 757 H)
jelas, bahwa dalam perkara yang terkait dengan pujian dan celaan, serta pahala
dan dosa, hanya Syariah yang bisa menentukan, bukan akal. (Al-Iji, Al-
Mawaqif fi ‘Ilm al-Kalam, hlm. 323-324). Ini berbeda dengan Muktazilah,
yang menyatakan bahwa akal bisa saja memutuskan baik dan buruk.
Karena itu ketika negara menghasilkan dan menerapkan hukum dengan
bersumber pada akal, maka praktik seperti ini bukan merupakan praktik Ahlus
Sunnah meski mereka yang melakukan itu mengklaim sebagai pengikut Ahlus
Sunnah.
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya [313]
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul-pun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. (4) An Nisaa': 64)
[313] Dipahami dari ayat-ayat sebelumnya bahwa ‘menganiaya dirinya’ ialah:
berhakim kepada selain Nabi Muhammad Saw.
Allah SWT menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah taat Syariah:
7
9. َال َُّمث ْمُهَنْيَب َرَجَش اَيمِف َوكُمٍِّكََُي َّىتَح َنوُنِمْؤُي َال َكِ
ٍّبَرَو َالَف(ِيف اوُدََِي
)اًيمِلْسَت اوُمٍِّلَسُيَو َتْيَضَق َّاِِم اًجَرَح ْمِهِسُفْنَأ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap
perkara yang mereka perselisihkan. (sehingga) kemudian tidak ada rasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 65)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah, pada saat menafsirkan QS. An Nisaa': 65,
menyatakan, Allah SWT bersumpah dengan mengatasnamakan diri-Nya
sendiri Yang Maha Mulia dan Maha Suci, sesungguhnya seseorang belumlah
beriman secara sempurna hingga ia berhakim kepada Rasulullah SAW. dalam
seluruh urusan.
Semua yang Rasulullah putuskan merupakan kebenaran yang wajib diikuti baik
lahir maupun batin. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: tsumma laa
yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadlaita wa yusallimuu tasliimaa:
yakni, jika mereka telah berhakim kepadamu (Muhammad SAW), mereka
wajib mentaatimu (mentaati keputusan yang diambil Nabi SAW) di dalam
batin-batin mereka; dan mereka tidak mendapati perasaan ragu di dalam diri
mereka atas apa yang telah kamu putuskan; dan lalu mengikutinya (keputusan
Nabi SAW tersebut) baik dzahir maupun bathin. Kemudian, mereka berserah
diri kepada itu (keputusan Nabi SAW), dengan penyerahan diri yang bersifat
utuh, tanpa ada ganjalan sedikitpun, tanpa ada penolakan sedikitpun, dan tanpa
ada penyelisihan sedikitpun; sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,
Nabi SAW bersabda “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sesungguhnya seseorang di antara kalian belumlah beriman hingga hawa
nafsunya tunduk dengan apa yang aku bawa.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Al-
Quran Al-‘Adziim, Juz 2/349)
ِهللا َإىل ُهُمْكُحَف ءْيَش ْنِم ِهْيِف ْمُتْفَلَتْاخ اَم َو
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada
Allah." (QS. [42] Asy-Syuura: 10)
8
10. Ibnu Katsir: “Yaitu, Dia-lah Hakim yang memutuskannya, melalui Kitab-Nya
dan Sunnah Nabi-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir, juz 25, hal. 235)
اَهُّيَأاَيَينِذَّلااوُنَامَءاوُيعِطَأَهللااوُيعِطَأَوَولُسَّالرِولُأَوِرَْمألْاْمُكْنِمْنِإَفْمُتْعَازَنَت
ِيفءْيَشُوهُّدُرَفَىلِإِهللاَّالرَوِولُسْنِإْمُتْنُكَنوُنِمْؤُتِاللِبِمْوَيْلاَوِرِآلخْاَكِلَذٌرْيَخ
ُنَسْحَأَوًاليِوْأَت
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul(Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan Hari Kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS.
An-nisa [4]: 59)
Menurut Ibnu Katsir ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak
berhukum merujuk kepada Al Quran dan as-Sunnah dan merujuk pada selain
keduanya dalam perkara yang diperselisihkan maka ia tidak beriman kepada
Allah dan Hari Akhir. (Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2 hal, 346)
Dinyatakan oleh al-Khazin bahwa ayat ini menjadi dalil orang-orang yang
tidak meyakini wajibnya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti sunnah
dan hukum yang berasal dari Nabi Saw. bukanlah orang yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir. (Tafsir al-Khazin vol.2 hal.120)
Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk
mentaati penguasa mukmin (khalifah) yang selalu berpegang teguh kepada
Syariat Allah Swt. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk
bermaksiyat kepada Allah Swt. (Ali Ash-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz
I/285)
Kaum Muslim diwajibkan untuk menaati Ulil Amri dalam perkara yang sesuai
dengan Syariah, dalam perkara yang tidak menyimpang dari Syariah. Jika
menyimpang dari Syariah maka tidak boleh ditaati. Rasulullah Saw. bersabda:
9
11. َالَةَاعَطوقُلْخَمِلِيفِةَيِصْعَمِهللاَّزَعَّلَجَو
”Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah
‘Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad dari Ali ra.)
Rasul Saw. membatasi ketaatan itu hanya dalam kemakrufan. Rasul Saw.
bersabda:
ََّّنِإاُةَاعَّطالْ
ِيفِفْوُرْعَمْلا
“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang makruf.” (HR. Ahmad,
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, ”Abu Ja’far menyatakan, ”…
melakukan amar ma’ruf nahi ’anil mungkar; yakni memerintahkan manusia
untuk mengikuti Nabi Muhammad Saw., dan agamanya yang berasal dari sisi
Allah Swt.; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar
kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Muhammad Saw. dan
ajaran yang dibawanya dari sisi Allah….” (Imam al-Thabariy, Tafsir al-
Thabariy, surat Ali Imron (3): 104)
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berpidato di hadapan kaum Muslim yang
datang untuk berbai’at:
ْمُكْيَلَع ِل ةَاعَط الَف هَلوُسَرَو هللا ُتْيَصَع اَذِإَف هَلوُسَرَو هللا ُتْعَطَأ اَم ِوِنُيعِطَأَف
“Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat kepadaku.” (Ath-
Thabari, Târîkh ath-Thabari, II/238)
Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah Swt., surat An Nisa’ ayat 59
menjelaskan:
“أولواألمرهم:األئمة،السالطنيو،القضاةو،كلومنكانتلهوالية
شرعيةالواليةطاغوتية”
10
12. “Ulil amriy adalah para imam, sulthan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki
kekuasaan Syar’iyyah bukan kekuasaan thaghutiyyah.” (Imam al-
Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 166)
Diriwayatkan dari jalur Ummu al-Hushain al-Ahmasiyah, Rasul Saw. bersabda
saat berkhutbah di Haji Wada’:
ِوَلَوَف َِّاَّلل ِابَتِكِب ْمُكُدوُقَي ٌدْبَع ْمُكْيَلَع َلِمْعُتْاساوُيعِطَأَوُهَل اوُعَْْا
“Seandainya diangkat sebagai pemimpin atas kalian seorang (yang asalnya)
hamba sahaya yang memimpin kalian dengan Kitabullah maka dengar dan
taatilah dia.” (HR. Muslim [Kitab: al-Imarah, Bab: Wujub tha’atil umara, no:
1838], Ibn Majah, an-Nasai, Ahmad)
Dalam lafal lain, kata “wa law ustu’mila ‘alaykum…” diganti dengan “wa in
ummira ‘alaykum ‘abdun habasyiyun (Jika diangkat amir atas kalian seorang
(yang asalnya) hamba sahaya Habasyi)…”
Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafal yang sedikit berbeda. Rasul Saw.
bersabda:
َح ٌدْبَع ْمُكْيَلَع َرِ
ٍّمُأ ْنِإَو ،َهللا اْوُقَّتِا َُّاسالن اَهُّيَأ اَيِطَأو اْوُعَْْاَف ،ٌَّعدَُُم ٌّي ِشَباْوُعْي
ِهللا َابَتِكْمُكْيِف َامَقَأ اَم
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah. Jika diangkat amir atas kalian
seorang (yang asalnya) hamba sahaya Habasyi yang hitam legam maka dengar
dan taatilah dia selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah.” (HR. at-
Tirmidzi)
Handzalah bin ar-Rabi’ ra.—sahabat sekaligus jurutulis Rasulullah Saw.—
menyebutkan bahwa tanpa Khilafah umat Islam bisa hina dan sesat
sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. (Ath-Thabari, Târîkh at-Thabari, hal.
776)
يطول أن خشيت لقد : عمر قال قال عنهما هللا رضي عباس ابن عن
يضةرف برتك اوفيضل هللا كتابيف الرجم جند ال قائل يقول حىت زمان بالناس
11
13. كانأو البينة قامت إذا أحصن وقد زىن من على حق الرجم وإن أال هللا هلازأن
رسو رجم وقد أال : حفظت كذاسفيان قال . افرتاالع أو اْلبلهللا ل
. بعده ورمجنا وسلم عليه هللا صلى
Dari Ibnu Abbas ra. berkata, Umar bin Khoththob ra. pernah
berkata: “Sungguh aku sangat khawatir akan berlangsung masa yang begitu
lama di tengah-tengah umat Islam, hingga (suatu saat nanti) akan ada yang
berkata: “Kami tidak menemukan had rajam dalam Kitabullah (Al-Qur’an).”
Maka (dengan demikian) mereka menjadi sesat karena telah meninggalkan
kewajiban yang telah Alloh turunkan. Ketahuilah bahwa hukum rajam itu
adalah benar adanya bagi siapa-siapa yang berzina sedang ia telah muhshon
(telah menikah dan telah menggauli pasangannya), jika telah ada bayyinah (alat
bukti berupa 4 orang saksi laki-laki atau yang setara dengannya), atau
kehamilan (di pihak wanita), atau pengakuan (si pelaku).” (Shahîh al-Bukhâri,
hadits no. 6829)
Berkata Sufyan (perowi): “Begini yang aku hafal (dari perkataan Umar bin
Khaththab): “Ketahuilah bahwa Rosululloh Saw. benar-benar menerapkan
hukum rajam, dan kami juga menerapkannya sepeninggal Beliau.” (HR. Al-
Bukhori)
Bai’at umat kepada Khalifah mengharuskan umat mendengar dan taat kepada
Khalifah yang mereka baiat. Tentu, ini berlaku selama Khalifah itu masih
takwa kepada Allah SWT, menjalankan hukum-hukum-Nya atas rakyatnya,
serta menjalankan semua tanggung jawab dan kewajibannya sesuai Syariah.
Umat wajib menaati dan menolong Khalifah selama kondisinya belum
berubah, meski ia menjadi penguasa (Khalifah) sepanjang hidupnya.
(Samarah, An-Nizhâm as-Siyâsiy fi al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah,
hlm. 67)
in kuntum tu’minûna bi Allâh wa al-yawmi al-âkhir (jika kamu benar-benar
mengimani Allah dan Hari Akhirat) mengomentari kalimat ini, as-Sa’di
berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa orang yang tidak mengembalikan
masalah yang diperselisihkan kepada keduanya (al-Quran dan as-Sunnah) pada
hakikatnya bukanlah seorang Mukmin, namun beriman kepada thâghût,
12
14. sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya.” (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm
ar-Rahmân, vol. 1, 214)
َلِإ َلِزْنُأ اَِِب اوُنَامَء ْمَُّهنَأ َنوُمُعْزَي َينِذَّلا َىلِإ َرَت ََْلَأَلِزْنُأ اَمَو َكْيَكِلْبَق ْنِم
ْكَي ْنَأ اوُرِمُأ ْدَقَو ِوتُغاَّطال َىلِإ اوُمَكاَحَتَي ْنَأ َنوُديِرُيَطْيَّالش ُديِرُيَو ِهِب اوُرُفْنَأ ُنا
اًديِعَب ًال َالَض ْمُهَّلِضُي
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut (undang-
undang dan pembuat hukum kufur), padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisaa': 60)
Dijelaskan oleh Ibnu Katsir dan az-Zuhaili, ini merupakan pengingkaran dari
Allah Swt. terhadap orang-orang yang mengaku mengimani apa yang telah
diturunkan kepada Rasul-Nya dan kepada para nabi terdahulu, namun mereka
justru berhukum pada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul. (Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997; az-Zuhaili, At-
Tafsîr al-Munîr, 5/132)
Secara bahasa, kata thâghût berasal dari thaghâ (melampaui batas). Makna ini
terdapat dalam QS. al-Haqqah [69]: 11. Menurut al-Asfahani, kata tersebut
digunakan untuk menunjukkan tajâwaz al-hadd fî al-‘ishyân (tindakan
melampaui batas dalam kedurhakaan). (Al-Ashfahani. Mu’jam Mufradât
Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 314, Dar al-Fikr, Beirut. t.t.)
Makna ini terdapat dalam banyak ayat al-Quran, seperti dalam firman Allah
Swt.:
ىَغَطَُّهنِإ َنْوَعْرِف َىلِإ ْبَهْذا
“Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya dia telah melampaui batas” (QS.
Thaha [20]: 24)
Kata tersebut terdapat juga dalam QS Thaha [20]: 43, al-Naziat [79]: 17, al-
‘Alaq [96]: 6, dan al-Kahfi [18]: 80. Kata thaghâ yang digunakan dalam semua
13
15. ayat itu mengandung pengertian tindakan melampaui batas dalam
kedurhakaan.
Kata thâghût juga diartikan sebagai al-katsîr al-thughyân (yang banyak
melampaui batas dalam kedurhakaan). (Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/130)
Al-Asfahani memaknai al-thâghût sebagai kullu mu’tad[in] wa kullu
ma’bûd[in] min dûni Allâh (setiap yang melampaui batas dan setiap yang
disembah selain Allah Swt.). (Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-
Qur’ân, hlm. 314)
Firman Allah Swt.:
َوتُغاَّطال اوُبِنَتْاجَو ََّاَّلل اوُدُبْعُا ِنَأ ًوالُسَر ةَّمُأ ٍِّلُك ِيف اَنْثَعَب ْدَقَلَو
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu.” (QS. al-Nahl
[16]: 36)
Secara bahasa, kata al-‘ibâdah berarti al-thâ’ah (ketaatan). Demikian diartikan
oleh Abu Bakar al-Razi dalam Mukhtâr al-Shihhah. Sehingga, sebagaimana
diterangkan oleh Dr. Ahmad Mukhar dalam Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah
al-Mu’âshirah bahwa kalimat ‘abadal-âh berarti wahhadahu wa athâ’ahu
(mengesakan dan menaati-Nya), tunduk dan merendahkan diri kepada-Nya,
terikat dengan Syariah-Nya, dan menunaikan fardhu-fardhu-Nya. Al-
Samarqandi memaknai ayat ini: Esakanlah Allah dan taatlah kepada-Nya.
Dalam ayat ini, perintah mengesakan dan menaati Allah Swt. dilawankan
dengan perintah menjauhi thâghût. Thâghût berarti segala yang ditaati yang
menyelisihi wahyu Allah Swt.
Dalam ayat ini (QS. An-Nisaa': 60), kata thaghût sering dikaitkan dengan
Ka’ab bin al-Asyraf. Banyak mufassir menyatakan, dialah yang dimaksud
dengan thaghût itu. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514, Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Beirut. 1995; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-
Ta’wîl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 2001; al-Baghawi, Ma’âlim at-
Tanzîl, 1/355, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1993; al-Khazin, Lubâb at-
Ta’wîl, 1/393, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1995; al-Baidhawi, Anwâr at-
Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 1/221, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1998;
Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, 2/436; al-Wahidi an-
Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, 2/73; as-Samarqandi, Bahr
14
16. al-‘Ulûm,1/364; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, 1/499, Nahr al-Khair, Madinah.
1993)
Az-Zamakshyari dan al-Nasafi menuturkan, hal itu disebabkan karena
kezaliman dan permusuhannya terhadap Rasulullah Saw. yang melampaui
batas; bisa juga karena dia menyerupai setan; atau karena dia dipilih untuk
dijadikan sebagai hakim selain Rasulullah Saw. dan berhakim kepada setan.
(Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514 dan an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa
Haqâiq at-Ta’wîl)
Jika dihubungkan dengan sabab nuzul ayat ini, penafsiran itu memang relevan.
Sebab, pemuka Yahudi itulah yang dijadikan sebagai hakim untuk memutuskan
perselisihan. Pengertian thâghût ini tidak terbatas untuk Ka’ab bin al-Asyraf.
Semua orang yang menduduki posisi dan peran yang sama dengannya tercakup
dalam lingkup makna thâghût.
Ibnu Katsir dan al-Zuhaili menegaskan, makna thâghût lebih umum dari Ka’ab
bin al-Asraf yaitu orang-orang yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah
serta berhukum kepada selain keduanya berupa kebatilan adalah thâghût yang
dimaksud ayat ini. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634; az-
Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/132)
Abdurrahman al-Sa’di juga memaknai thâghût dalam ayat ini adalah setiap
orang yang berhukum dengan selain syariah Allah (kullu man hakama bi
ghayri syar’illâh). (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 1/215, Jamiyyah
Ihya’ al-Turats al-Islami, tt. 2000)
Thâghût dalam ayat ini adalah semua hakim yang memutuskan perkara dengan
hukum selain al-Quran dan as-Sunnah. Keinginan mereka berhakim
kepada thâghût itu menunjukkan adanya kontradiksi pada sikap mereka.
Mereka mengaku mengimani al-Qur’an dan as-Sunnah yang diturunkan oleh
Allah, tetapi dalam praktiknya justru berhukum kepada yang lain.
Abdurrahman al-Sa’di menyatakan, siapa saja yang mengaku sebagai Mukmin
dan memilih untuk berhakim kepada thâghût, dia adalah pendusta dalam
perkara ini. (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 1/215)
15
17. “Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang
yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa
Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah
kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (TQS al-An’am [6]: 114)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-nisa [4]: 80)
ٌّدَر َوُهَف اَنُرْمَأ َسْيَل ًالَمَع َلِمَع ْنَم
"Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah kami
atasnya, maka perbuatan itu tertolak" (HR. Bukhari no. 2550; Muslim no.
1718)
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
itu ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW. Apa yang
sejalan dengan itu (Sunnah Rasul Saw.) diterima, sedangkan apa yang
menyelisihinya maka tertolaklah atas orang yang berkata dan yang berbuat,
apapun itu. Sebagaimana ditetapkan dalam Shahihain dan yang lain, dari
Rasulullah SAW. bahwasanya beliau bersabda, “Siapa saja yang mengerjakan
suatu perbuatan, yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu
tertolak”.Yakni; hendaklah berhati-hati dan takut siapa saja yang menyalahi
Syariat Rasulullah SAW. bathin maupun dzahir [an tushiibahum fitnah]: yakni
16
18. (dia akan tertimpa) fitnah di hati mereka; mulai terkena kekufuran,
kemunafikan, atau bid’ah. [Au yushiibahum ‘adzaabun ‘alim]: yakni terkena
hukuman di dunia; mulai dari terkena had, penjara, atau dibunuh.” (Imam Ibnu
Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adziim, QS. An Nuur (24):63)
ٌّدَر َوُهَف ُهْنِم َسْيَل اَم اَذَه اَنِرْمَأ ْ
ِيف َثَدْحَأ ْنَم
“Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama)
kami ini, yang bukan bagian darinya, maka tertolak.” (HR. Ahmad, Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah)
Menurut Imam asy-Syafii, al-muhdatsah (perkara baru yang diada-adakan)
yang menyalahi al-Kitab atau as-Sunnah atau ijmak merupakan bid’ah
dhalalah. (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtâj 4/436)
Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafal:
ًالَمَع َلِمَع ْنَمٌّدَر َوُهَف ،اَنُرْمَأ ِهْيَلَع َسْيَل
“Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan kami maka tertolak.” (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Ibn Majah, dll.)
Imam an-Nawawi memasukkannya di dalam Hadits Arba’in, hadits ke-5.
Hadits ini mengandung kaidah induk dalam Islam. Ibn Rajab al-Hanbali di
dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menyatakan, “Hadits ini adalah salah satu
pokok agung dari Islam. Ia merupakan neraca amal pada lahiriahnya;
sebagaimana hadits “perbuatan itu bergantung pada niat” adalah neraca amal
pada batinnya. Setiap amal yang tidak ditujukan meraih ridha Allah maka
pelakunya tidak mendapat pahala sedikitpun. Demikian juga setiap amal yang
tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak.
ِاِّلِل ُهالُك َرحمَحاْل انِإ حلُق ٍءحيَش حنِم ِرحمَحاْل َنِم اَنَل حلَه َنُولوُقَي
“Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan)
dalam urusan ini?” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di
tangan Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 154)
17
19. Akidah Islam tidak membenarkan umatnya menghalalkan dan mengharamkan
sesuatu menurut manusia.
َمْلاَو ِهللا ِونُد ْنِم اًابَبْرَأ ْمُهَانَبْهُرَو ْمُهَارَبْحَأ اوُذََّاَّتَّالِإ اوُرِمُأ اَمَو َََْرَم َنْاب َيحِس
ِاحَو اًَهلِإ اوُدُبْعَيِلْشُي اَّمَع ُهَناَحْبُس َوُه َّالِإ َهَلِإ َال اًدَنوُكِر
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-
tuhan selain Allah serta mempertuhankan al-Masih putra Maryam. Padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. [9] at-Taubah: 31)
Dikemukakan oleh Hudzaifah bin al-Yamani, Ibnu Abbas, dan lain-lain bahwa
kaum Yahudi dan Nasrani itu mengikuti pendeta dan rahib mereka dalam
perkara yang mereka halalkan dan mereka haramkan. (al-Suyuthi, al-Durr al-
Mantsûr, vol. 3, 354-355; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2
(Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 432)
Asy-Syaukani menyatakan,“Sesungguhnya mereka menaati pendeta-pendeta
mereka, dalam perintah dan larangannya. Pendeta-pendeta itu menempati
kedudukan sebagai tuhan-tuhan karena mereka ditaati sebagaimana layaknya
tuhan-tuhan.” (al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 452)
Pengertian itu didasarkan pada penjelasan Rasulullah Saw. terhadap ayat ini.
Diriwayatkan dari Adi bin Hatim:
Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di
leherku. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari
lehermu.” Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau
membaca ayat ini: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh,
hingga selesai [QS. (9) at-Taubah: 31]. Saya berkata, “Sesungguhnya kami
tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah para pendeta dan
rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian
mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian
menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda,
“Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib
mereka.” (HR. ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim; Bisa juga dilihat dalam al-
18
20. Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’aân, vol. 6, 354; al-Suyuthi, al-Durr
al-Mantsûr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 354; al-Wahidi al-
Naisaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1999), 489. Hadits serupa dengan sedikit perbedaan redaksional
bahasa dapat dijumpat dalam banyak kitab tafsir, seperti: al-Qurthubi, al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 77; al-
Zamakhsyari, al-Kasysyâf,vol. 2, 256; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Azhîm, vol. 2, 432; al-Qasimi,Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), 394)
Subhânahu ‘ammâ yusyrikûna (Mahasuci Allah dari apa yang mereka
persekutukan) oleh al-Khazin frasa ini dijelaskan, “Mahasuci Allah Swt. dari
sekutu bagi-Nya dalam ibadah, dan hukum, dan sekutu dalam ketuhanan yang
berhak dan diagungkan.” (al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîll, vol. 2, 353)
Orang-orang musyrik Arab, kendati mengakui bahwa Allah Swt. sebagai
Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam raya, mereka tidak dapat dikategorikan
sebagai Mukmin. Pasalnya, mereka tidak mengakui Allah Swt. sebagai satu-
satunya ilâh yang patut ditaati (Taufik Mustofa, “Lâ Ilâha IllâLlâh: Lâ
Ma’bûda IllâLlâh”, al-Wa’y, 96 (Dzu al-Hijjah, 1415), 4. Kesimpulan tersebut
didasarkan pada QS. al-Mukminun [23]: 84-90; al-Ankabut [29]: 61-63). Ini
pula yang ditegaskan dalam ayat di atas. Kaum Yahudi dan Nasrani
mendudukkan pendeta dan rahib mereka sebagai memiliki otoritas/kewenangan
membuat hukum.
Sekalipun Allah Swt. jelas-jelas mewajibkan penerapan Syariah dalam
kehidupan, perintah itu tidak boleh dijalankan sebelum mendapat persetujuan
dari lembaga legislatif terlebih dahulu. Jika lembaga itu menyetujuinya, baru
boleh diterapkan. Sebaliknya, jika lembaga itu menolaknya maka Syariah tidak
boleh dijalankan. Jika demikian, apa bedanya para pembuat hukum itu dengan
para pendeta dan rahib yang dalam ayat ini disebut sebagai tuhan-tuhan selain
Allah Swt.? Mereka disebut demikian lantaran didudukkan sebagai pembuat
hukum yang wajib ditaati. Dengan demikian, siapapun yang ditahbiskan
memiliki otoritas yang sama, merekapun layak disebut sebagai arbâb min dûni
Allâh, tuhan-tuhan selain Allah Swt.
19
21. Yunus bin Bukair ra. menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah menulis surat
kepada penduduk Najran, di antara isinya:
… َداَبِع حنِم ِاّلِل ِةَداَبِع َإَل حمُكوُعحدَأ ّنِإَف ُدحعَب امَأَإَل حمُكوُعحدَأَو ِادَبِحعلا ِة
ِادَبِحعلا ِةَيََّلِو حنِم ِاّلِل ِةَيََّلِو…
“Amma ba’du. Aku menyeru kalian ke penghambaan kepada Allah dari
penghambaan kepada hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian ke kekuasaan
(wilâyah) Allah dari kekuasaan hamba (manusia) …” (Ibn Katsir, Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut)
Misi mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga
terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum dengan Mughirah bin Syu’bah
yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash. Pernyataan misi itu diulang
lagi dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Rab’iy bin ‘Amir (utusan
Panglima Saad bin Abi Waqash) yang diutus setelah Mughirah bin Syu’bah
pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya
kepada Rab’iy bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’iy bin ‘Amir
menjawab:
ِع حنِم َاءَش حنَم َجِرحخُنِل اَنِب َاءَج ِهللاَواَنحثَعَتحبِا ُهللَاِةَداَبِع ََلِإ ِادَبِحعلا ِةَداَبِهللا
ََلِإ ِانَيحدَْلحا ِرحوَج حنِمَو اَهِتَعَس ََلِإ اَيحُّنالد ِقحيَض حنِمَوَِلحسِِحا ِ حدَع …
“Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar
kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada hamba
(manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah, dari kesempitan dunia
menuju kelapangannya dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju
keadilan Islam….” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Muluk,
ii/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut)
Orang-orang yang berpaling dari Syariat Allah dan hanya mengikuti akal dan
hawa nafsunya juga ditutup hati, pendengaran dan penglihatannya dari
petunjuk. Dengan demikian mereka hidup dalam kesesatan. Allah Swt.
berfirman:
20
22. َتْيَأَرَفَأِنَمَذََّاَّتُهََهلِإُاهَوَهُهَّلَضَأَوَُّاَّللىَلَعمْلِعَمَتَخَوىَلَعِهِعَِْْهِبْلَقَوَلَعَجَو
ىَلَعِهِرَصَبًةَاوَشِغْنَمَفِيهِدْهَيْنِمِدْعَبَِّاَّللَالَفَأَنوُرَّكَذَت
“Apakah engkau tidak melihat bagaimana orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhan dan Allah menyesatkan mereka atas dasar ilmu,
menutup pendengaran mereka dan menjadikan penutup pada penglihatan
mereka. Maka siapakah yang memberikan petunjuk kepada mereka selain
Allah?. Maka tidakkah engkau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah [45]:
23)
Mengikuti hawa nafsu dan mendahulukannya ketimbang mengikuti hukum
Allah Swt. juga akan membuat seseorang menjadi tersesat dan jauh dari jalan
kebenaran. Allah Swt. berfirman:
اَيُودُاوَدَّانِإَاكَنْلَعَجًةَفيِلَخِيفِضَْرْاألْمُكْاحَفَْنيَبَِّاسالنٍِّقَْْلاِبَالَوِعِبَّتَت
ىَوَْهلاَكَّلِضُيَفْنَعِيلِبَسَِّاَّللَّنِإَينِذَّلاَنوُّلِضَيْنَعِيلِبَسَِّاَّللْمَُهلٌابَذَع
ٌديِدَشاَِِباوُسَنَمْوَيِابَسِْْلا
“Wahai Daud sesungguhnya kami menjadikan engkau sebagai khalifah di bumi
maka hukumilah manusia dengan kebenaran dan janganlah engkau mengikuti
hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah maka bagi mereka adalah azab yang
pedih karena mereka telah melupakan Hari Perhitungan.” (QS. Shad [38]: 26)
Menurut Ibn Taimiyah, siapa saja yang tidak mengikuti perintah Allah SWT
dan Rasul-Nya pada
dasarnya dia telah mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapatkan petunjuk dari
Allah SWT.
Nafsu harus tunduk pada wahyu.
ِب ُتْئ ِج اَمِل اًعَبَت ُاهَوَه َنوُكَي َّىتَح ْمُكُدَحَأ ُنِمْؤُي الِه
21
23. “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai hawa nafsunya
mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. al-Hakim, al-Khathib, Ibn Abi ‘Ashim
dan al-Hasan bin Sufyan; disebutkan An-Nawawi dalam Al-Arba’un an-
Nawawiyah, Hadits ke-41)
Di dalam At-Ta’rifât, al-Jurjani menjelaskan bahwa al-hawâ adalah
kecenderungan jiwa (mayl an-nafsi) pada syahwat yang menyenangkannya
tanpa alasan Syariah. Muhammad Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah
al-Fuqaha’ juga menjelaskan, al-hawâ adalah kecenderungan jiwa pada apa
yang disukai tanpa memperhatikan hukum Syariah dalam hal itu.
Secara bahasa al-hawâ adalah kecenderungan, keinginan atau kecintaan secara
mutlak. Dalam penggunaannya, kata al-hawâ itu jika disebutkan secara mutlak
maka yang dimaksudkan adalah kecenderungan pada apa yang menyalahi
kebenaran.
Hawa nafsu adalah segala ucapan atau tindakan yang bertentangan dengan
wahyu. Hawa nafsu adalah lawan dari wahyu. Firman Allah SWT:
ىَوحُي ٌيْحَو الِإ َوُه ْنِإ * ىَوَْهلا ِنَع ُقِطْنَي اَمَو
“Tidaklah yang diucapkan Rasul itu berasal dari hawa nafsunya. Ucapan Rasul
itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepada dirinya.” (QS. an-
Najm [53]: 3-4).
Segala ucapan dan tindakan Rasulullah Saw. pasti bersumber dari wahyu,
bukan dari hawa nafsu. (Abu Bakar al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, III/526)
Segala perbuatan Rasul Saw. pasti tidak menyalahi wahyu.
Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam mengatakan:
“Jadi yang wajib bagi setiap Mukmin adalah mencintai apa yang dicintai Allah
SWT dengan kecintaan yang mengantarkan dirinya melakukan apa yang
diwajibkan. Jika kecintaan itu bertambah sehingga ia melakukan apa yang
disunnahkan maka itu adalah keutamaan. Setiap Muslim juga hendaknya tidak
menyukai apa yang tidak disukai oleh Allah SWT dengan ketidaksukaan yang
mengantarkan dirinya menahan diri dari apa yang Allah haramkan atas dirinya.
Jika ketidaksukaan itu bertambah sehingga mengantarkan dirinya menahan diri
dari apa yang dimakruhkan Allah, maka itu merupakan keutamaan.”
22
24. Hadits ini juga bermakna bahwa seseorang haruslah menjadikan keinginan
Nabi Saw. lebih dia kedepankan daripada keinginannya, dan Syariah yang
dibawa Nabi saw. lebih dia kedepankan daripada hawâ-nya; daripada
kecenderungan atau kecintaannya. Jika keinginannya bertabrakan dengan apa
yang Nabi Saw. bawa maka ia mengalahkan keinginannya dan memenangkan
apa yang Nabi Saw. bawa. Sebab, al-hawâ menjadi tâbi’ (yang mengikuti),
sementara apa yang Rasul Saw. bawa, yaitu Islam dan Syariahnya, adalah yang
diikuti (al-matbû’). Semua kemaksiatan itu muncul karena hawa nafsu lebih
didahulukan daripada kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul Saw.
Allah SWT menyifati orang-orang musyrik dalam banyak ayat, bahwa mereka
mengikuti hawa nafsu (Lihat, misalnya: QS. al-Qashshash [28]: 50). Karena itu
Allah SWT melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu (QS. an-Nisa’ [4]: 135).
Untuk itu, Islam dan Syariahnya harus kita jadikan standar dan pedoman.
Semua keinginan, kecenderungan dan kesukaan dan tidaknya harus kita
tundukkan pada ketentuan Islam dan Syariahnya. Untuk mewujudkan itu kita
mengerahkan daya upaya menundukkan hawa nafsu. Allah SWT menyediakan
pahala yang besar dan Surga bagi siapa saja yang bisa merealisasikan ini (QS.
an-Nazi’at [79]: 40-41).
Sungguh, pangkal keterpurukan bersumber pada satu hal yakni penyimpangan
terhadap Petunjuk dan Aturan dari Allah Swt. Ini karena kaum Muslim
berpaling dari Al-Quran. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah Swt. dalam
QS. (20) Thaha: 124:
( حعَأ حنَمَو * ىَقحشَي ََّلَو ُّلِضَي َلَف َايَدُه َعَباات ِنَمَفَُهل انِإَف يِرحكِذ نَع َضَر
ىَمحعَأ ِةَامَيِحقلا َحوَيُهُرُشحََنَو اًكنَض ًةَشيِعَ)م
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan
celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 123-124)
Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah:
menyalahi Perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku,
23
25. melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-
‘Azhim, V/323). “Maka baginya kehidupan yang sempit” yakni di dunia, tidak
ada ketentraman baginya dan tidak ada kelapangan untuk dadanya …” (Tafsir
al-Quran al-‘Azhim)
Menurut Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, yang
dimaksud dengan dzikrî, peringatan-Ku, di sini adalah dînî, wa tilâwatî Kitâbî,
wa al-‘amal bimâ fîhi. Yakni agama-Ku, membaca Kitab-Ku, dan
mengamalkan apa yang ada di dalamnya. Ayat ini menegaskan bahwa siapapun
yang berpaling dari agama-Nya, menolak menerapkan Syariah-Nya, dan justru
menerapkan sistem lainnya, maka akibatnya sudah dapat dipastikan. Mereka
akan sengsara dan menderita di dunia.
] َم َنآْرُقْلا اَذَه اْوُذََّاَّت يِمْوَق َّنِإ ٍِّبَر اَي ُلْوُسَّالر َالَقَواًرْوُجْه [
“Dan berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-
Quran ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” (QS. al-Furqan [25]: 30)
Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsîr al-Qurân al-
‘Azhîm, mencontohkan sikap hajr al-Qurân (meninggalkan atau mengabaikan
al-Quran). Di antaranya adalah menolak untuk mengimani dan membenarkan
al-Quran; tidak mau menyimak dan mendengarkannya, bahkan membuat
kegaduhan dan pembicaraan lain sehingga tidak mendengar al-Quran saat
dibacakan; tidak mentadaburi dan memahaminya; tidak mengamalkan dan
mematuhi perintah dan larangannya, dan berpaling darinya lalu berpaling
kepada selainnya, baik berupa syair, ucapan, nyanyian, permainan, ucapan,
atau thariqah yang diambil dari selain al-Quran.
Allah SWT mensifati kaum yang melakukan hal itu dengan sifat yang sangat
jelek. Hal itu seperti ketika Allah SWT mensifati kaum Yahudi di dalam
firman-Nya:
]اُث َةاَرحواالت واُلُِح َينِذالا ُلَثَمَ حئِب اًارَفحسَأ ُلِمحَْ ِراَمِحْلا ِلَثَمَكاَوهُلِمحَْ حَْ
ِااّلِل ِاتَآيِب واُباذَك َينِذالا ِ
حوَقحلا ُلَثَم[
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian
mereka tiada memikulnya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang
24
26. membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 5)
Allah mensifati kaum yang memikul wahyu tanpa melaksanakannya seperti
keledai yang membawa kitab-kitab tebal. Apa yang ada dalam perasaan kita
ketika kita tidak melaksanakan al-Quran, lalu Allah SWT mengumpamakan
kita seperti keledai? Orang yang beriman, bertakwa dan rindu akan ridla Allah
Swt. niscaya akan meneteskan air mata jika disebut seperti itu oleh Dzat yang
dia harapkan ampunan-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seseorang dikatakan menyia-nyiakan
al-Qur’an jika ia tidak mau membacanya. Seseorang yang sudah terbiasa
membacanya masih dikatakan menyia-nyiakannya jika ia tidak mau memahami
kandungannya. Dan seseorang yang sudah terbiasa membacanya dan telah
memahami kandungannya juga masih dikatakan menyia-nyiakannya jika ia
belum mengamalkannya.”
Sesungguhnya Allah SWT telah mengutus Muhammad Saw. dengan membawa
petunjuk dan agama yang haq sebagai rahmat untuk seluruh alam. Manusia
akan terus mengalami kesengsaraan, penderitaan hidup, kehinaan dan
kezaliman selama Islam ditinggalkan.
ُهَو ءْيَش ٍِّلُكِل اًانَيْبِت َابَتِكْلا َكْيَلَع اَنْلَّزَنَوٰىَرْشُبَو ًةَْْحَرَو ىًد
َنيِمِلْسُمْلِل
“Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan
atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum
Muslim.” (QS. an-Nahl [16]: 89)
Imam Abu Bakar al-Jazairi menjelaskan kedudukan al-Quran sebagai hud[an],
yakni petunjuk dari segala kesesatan; juga rahmat[an], yakni rahmat
khususnya bagi mereka yang mengamalkan dan menerapkan al-Quran bagi diri
sendiri dan di dalam kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di
antara mereka. (Jabir bin Musa Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafâsîr,
Madinah: Maktabah al-‘Ulûm, Cet. V, 1424 H, (III/138-139))
25
27. Imam al-Baghawi di dalam tafsir Ma’âlim at-Tanzîl menjelaskan, “Al-Quran
merupakan penjelasan atas segala sesuatu yang diperlukan berupa perintah dan
larangan, halal dan haram serta hudud dan hukum-hukum.”
Dengan mengutip Ibn Mas’ud ra., Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhim juga menjelaskan, “Sesungguhnya al-Quran meliputi segala
pengetahuan yang bermanfaat berupa berita tentang apa saja yang telah lalu;
pengetahuan tentang apa saja yang akan datang; juga hukum tentang semua
yang halal dan yang haram serta apa yang diperlukan oleh manusia dalam
perkara dunia, agama, kehidupan dan akhirat mereka.”
Diterangkan pula oleh al-Syaukani, penjelasan Al Qur’an yang menyeluruh
tentang hukum dilengkapi oleh al-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum
yang tersisa. Di dalamnya juga terdapat perintah untuk mengikuti dan menaati
Rasulullah SAW dalam hukum-hukum yang dibawa beliau sebagaimana
disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an. Rasulullah Saw. juga
bersabda: “Sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan bersamanya yang
semisalnya (al-Sunnah).” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
Dijelaskan oleh al-Samarqandi, kendati menjelaskan segala sesuatu, sebagian
isinya ada yang terperinci dan sebagian lainnya bersifat global sehingga
membutuhkan al-istikhrâj (dikeluarkan) dan al-istinbâth (penggalian).
Nash-nash Syara’ memang datang berupa khutûth ‘arîdhah (garis-garis besar).
Yang darinya bisa digali berbagai hukum, baik untuk perkara yang sudah,
sedang, dan akan terjadi. Tidak ada satu pun perkara yang tidak dijelaskan
hukum oleh Islam.
Menurut al-Baidhawi, hudâ[n]dan rahmah berlaku umum untuk seluruh
manusia. Sedangkan busyrâ bersifat khusus yaitu hanya berlaku bagi kaum
Muslimin.
Al-Quran tidak serta-merta secara riil berperan menjadi petunjuk kecuali jika
memang diperhatikan dan dijadikan sebagai panduan, pedoman dan petunjuk.
Itulah saat peringatan-peringatannya diindahkan, pelajaran-pelajarannya
diperhatikan, perintah-perintahnya dijalankan, larangan-larangannya dijauhi
dan ditinggalkan, ketentuan-ketentuannya diikuti, hukum-hukumnya serta halal
dan haramnya diterapkan dan dijadikan hukum untuk mengatur kehidupan.
26
28. «َنْيِرَآخ ِهِب ُعَضَيَو ًاامَوْقَأ ِابَتِكْلا اَذَ
ِهب ُعَفْرَي َهللا َّإن»
“Sesungguhnya Allah meninggikan dengan al-Quran ini banyak kaum dan
merendahkan banyak kaum lainnya.” (HR. Muslim)
Allah SWT berfirman:
َنيِمَلاَعْلِل ًةَْْحَر َّالِإ َاكَنْلَسْرَأ اَمَو
“Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat
bagi alam semesta.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 107)
Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) menyatakan:
ألجٍّالإ أي رْحةللعاملنيٍّالإ ،ائعربالش اْللق ياأشرف وماأرسلناكل
الدنياو الدين يف قاطبة رْحتناللعاملني
“Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan
membawa Syariah-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta, yakni agar
menjadi rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya; dalam agama dan dunia.”
(Muhammad bin ‘Umar Nawawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-
Majîd, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1417 H, (II/62))
Dalam tafsir Marah Labid Juz II/ 47: “Allah SWT mengutus Nabi Muhammad
Saw. untuk menjelaskan kepada manusia jalan menuju pahala, menampilkan
dan memenangkan hukum-hukum Syariat Islam, membedakan yang halal dari
yang haram. Setiap nabi sebelum Beliau, manakala didustakan oleh kaumnya,
Allah membinasakan mereka dengan berbagai siksa. Namun, jika kaum Nabi
Muhammad mendustakannya, Allah SWT mengakhirkan azab-Nya hingga
datangnya maut dan Dia mencabut ketetapan-Nya untuk membinasakan kaum
pendusta Rasul. Inilah umumnya tafsiran para mufasirin.”
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) menyatakan, rahmat tersebut mencakup
kehidupan agama dan dunia. Mencakup agama karena beliau turun menyeru
manusia ke jalan kebenaran dan pahala, mensyariatkan hukum-hukum dan
membedakan antara halal dan haram. Yang mengambil manfaat (hakiki) dari
rahmat ini adalah siapa saja yang kepentingannya mencari kebenaran semata,
27
29. tidak bergantung pada taqlid buta, angkuh dan takabur, berdasarkan indikasi
dalil:
َوُه ْلُقَنوُنِمْؤُي َال َينِذَّلاَو ٌاءَفِشَو ىًدُه اوُنَآم َينِذَّلِلْيَلَع َوُهَو ٌرْقَو ْمِِاِنَذآ ِيفْمِه
ىًمَع
“Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
beriman, sementara orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada
sumbatan.” (QS. Fushshilat [41]: 44).
Mencakup kehidupan dunia karena manusia terhindar dari banyak kehinaan
dan ditolong dengan keberkahan din-Nya ini. (Muhammad bin ‘Umar al-
Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Cet.III, 1420 H,
(XXII/193))
Menurut Imam asy-Syathibi dalam Al-Muwâfaqât, pada dasarnya Syariah
ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik
di dunia maupun di akhirat.
Penetapan sesuatu sebagai maslahat atau bukan, hanya diserahkan pada
syariah. Syariahlah yang mendatangkan maslahat. Syariah pula yang
menentukan mana yang maslahat bagi manusia.
Allah Swt. mengingatkan bahwa manusia memang tidak mengetahui hakikat
maslahat dan mafsadat itu; hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Allah
Swt. berfirman:
ىَسَعَوْنَأاوُهَرْكَتاًئْيَشَوُهَوٌرْيَخْمُكَلىَسَعَوْنَأاوُّبَُِتاًئْيَشَوُهَوٌّرَشْمُكَل
َُّاَّللَوُمَلْعَيْمُتْنَأَوَالَنوُمَلْعَت
“Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh
jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah
mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Karena itu, penentuan maslahat itu harus dikembalikan pada Syariah, bukan
pada akal.
28
30. Imam ath-Thabari menegaskan ketika menjelaskan makna ‘al-khayr’ dalam
QS. al-Baqarah [2]: 110, “al-khayr adalah perbuatan yang diridhai Allah.” (ath-
Thabari, Tafsîr ath-Thabari). Pada hakikatnya yang baik untuk manusia itu
adalah apa saja yang disukai Allah, atau diridhai Allah. Pada hakikatnya yang
buruk bagi manusia itu adalah apa saja yang tidak disukai atau dibenci oleh
Allah.
Abu Bakar al-Baqilani di dalam al-inshâf menyatakan, “Semua kaedah-kaedah
Syara’ menunjukkan bahwa al-hasan (yang terpuji) adalah apa yang dipuji oleh
Syara’ dan dibolehkannya; sedangkan al-qabîh (yang tercela) adalah apa yang
dicela oleh Syara’, diharamkan dan dilarangnya.”
Penilaian suatu perbuatan sebagai terpuji atau tercela juga harus mengikuti
Syara’.
Allah SWT tegaskan bahwa al-Quran dengan segala isinya adalah datang dari
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
“Diturunkan Kitab ini dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. az-Zumar [39]: 1; al-Jatsiyah [45]: 2; al-Ahqaf [46]: 2)
Al-Hakîm (Maha Bijaksana) yakni dalam firman-firman, perbuatan, qadar
dan syariah-Nya. (Tafsîr Ibn Katsîr)
Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-
Anâm halaman 13 menyatakan, “Adapun maslahat dan mafsadat dunia dan
akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan Syariah.”
Maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh Syariah; mafsadat
adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh Syariah. Dalam hal ini,
para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi’ bin Khadij
berkata, pamannya berkata—ketika Rasul Saw. melarang mereka
dari muzâra’ah/mukhâbarah, yaitu menyewakan lahan pertanian:
اَناَهَنُولُسَرِهللاْنَعرْمَأَناَكاَنَلاًعِافَنُةَيِاعَوَطَوِهللاِهِولُسَرَوُعَفْنَأاَنَل
29
31. “Rasulullah Saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi
kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi
kami. (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).
Rahmat[an] lil ‘alamin itu menjadi sifat dari Islam secara keseluruhan: akidah,
syariah/ hukum-hukumnya termasuk khilafah, jihad, hudud, dll. Rahmat[an] lil
‘alamin secara sempurna hanya akan terwujud ketika Islam secara keseluruhan
diterapkan secara nyata di tengah-tengah kehidupan.
Imam Ja’far ash-Shadiq, sebagaimana dikutip dalam kitab Fath ar-Rabbani wa
Faydh arh-Rahmani karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pernah berkata,
“Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah: ia
menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya,
tetapi milik tuannya; ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap
perintah tuannya; ia tidak membuat aturan apapun selain menerima aturan yang
dibuat tuannya untuk dirinya.” (Imam Ja’far ash-Shadiq)
Kaidah ushul fiqih:
[يِعحراشال ِمحكُحْلاِب ُدُّيَقاالت ِاَعحفَْلا ح ِِف ُلحصَْلَا]
“Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum Syara’ .” (Lihat An-
Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, juz 3 hlm. 20) di mana kelak dia
akan dihisab oleh Alloh Swt. berdasarkan hukum-hukum yang telah
ditetapkan-Nya.
:[اْلجر َنوُلَمْعَي اوُناَكاَّمَع * َنيِعَْمجَأ ْمَُّهنَلَأْسَنَل َكٍِّبَرَوَف29،29]
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua (92), tentang
apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (93) (QS. Al-Hijr: 92-93)
Hadits Nabi menjelaskan:
»َةانُسَو ِهللا َابَتِكاَمِِِب حمُتحكاسَََت اَم واُّلِضَت حَنل ِنحيَرحمَأ حمُكيِف ُتحكَرَت َاَق
ِهِيِبَن«
30
32. “Aku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan
sesat selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad)
Rasul Saw. memerintahkan agar hukum Islam ditegakkan terhadap siapa saja,
termasuk terhadap orang-orang dekat dan orang-orang yang kuat secara politik
ataupun ekonomi. Rasul Saw. bersabda:
« ْذُخْأَت َالَو ِيدِعَبْلاَو ِيبِرَقْلا ِىف َِّاَّلل َودُدُح اوُيمِقَأمِئَال ُةَمْوَل َِّاَّلل ِىف ْمُك »
“Tegakkanlah oleh kalian hudûd Allah atas orang dekat atau jauh dan
janganlah celaan para pencela menghalangi kalian.” (HR. Ibnu Majah, al-
Hakim, al-Baihaqi)
Hadits ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang lain oleh Abu Dawud di
dalam Al-Marâsîl dan dikutip oleh al-Baihaqi di dalam Ma’rifah as-Sunan wa
al-Atsar dari Makhul dari Ubadah bin ash-Shamit. Dinyatakan bahwa Nabi
Saw. pernah bersabda:
ْوُمْيِقُأِرَقْلا ىَلَع ،ِرَضَْْلاَو ِرَفَّالس ْ
ِيف َِّاَّلل َدْوُدُح اِيف اْوُلاَبُت َالَو ،ِدْيِعَبْلاَو ِبْيَِّاَّلل
مِئَال َةَمْوَل
“Tegakkanlah hudûd Allah baik di perjalanan atau sedang mukim, atas orang
yang dekat maupun jauh, dan jangan pedulikan di jalan Allah celaan orang
yang suka mencela.” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini jelas memerintahkan untuk menegakkan hudûd Allah tanpa
deskriminasi. Kata hudûd Allah ini bukan berarti bahwa yang diperintahkan
hanya sanksi jenis had (hudûd) saja, sementara sanksi
jenis jinâyah, ta’zîr dan mukhâlafât tidak diperintahkan. Perintah untuk
menegakkan hukum-hukum Syariah dalam semua jenisnya tetap wajib.
Frasa fî as-safari wa al-hadhari dalam riwayat Abu Dawud maknanya bukan
berarti terbatas pada kondisi safar dan hadhar. Namun, itu
merupakan uslub bahasa yang memberi makna dalam semua kondisi. Artinya,
hukum Syariah itu diperintahkan agar ditegakkan dalam semua kondisi di
wilayah kekuasaan Daulah.
31
33. Makna frasa fî al-qarîb wa al-ba’îd bisa berarti yang dekat dan jauh dari sisi
nasab dan kekerabatan, juga bisa yang kuat dan yang lemah atau
bangsawan/pejabat/tokoh dan rakyat biasa.
Hal itu ditegaskan dalam hadits dari Aisyah ra. bahwa kaum Quraisy pernah
terguncang dengan perkara seorang perempuan Bani Makhzum yang mencuri.
Seseorang berkata, “Siapa yang bisa berbicara kepada Rasulullah Saw.?”
Mereka berkata, “Tidak ada orang yang berani melakukan itu kecuali Usamah
bin Zaid, yang dikasihi Rasulullah Saw. Lalu Usamah berbicara kepada beliau.
Beliau lalu bersabda, “Apakah engkau memintakan pengampunan dalam salah
satu had di antara hudûd (hukuman-hukuman) Allah?” Kemudian beliau
berdiri dan berpidato:
«اَذِإَو ،ُوهُكَرَت ُيفِرَّالش ُمِهيِف َقَرَس اَذِإ اوُناَك ْمَُّهنَأ ْمُكَلْبَق َينِذَّلا َكَلْهَأ اََّّنِإ
دَّمَُحم َةَنْاب َةَمِاطَف َّنَأ ْوَل ،َِّاَّلل َُْاَو ،َّدَْْلا ِهْيَلَع اوُامَقَأ ُيفِعَّالض ُمِهيِف َقَرَس
اَهَدَي ُتْعَطَقَل ْتَقَرَس»
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum
kalian karena mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri, mereka
biarkan; jika orang lemah di antara mereka mencuri, mereka tegakkan had.
Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan
potong tangannya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-
Tirmidzi, Ibn Majah dan an-Nasa’i)
Pertimbangan rasa kasihan tidak boleh mempengaruhi penegakkan hukum
Islam.
ِيفٌةَفْأَر اَمِِهب ْمُكْذُخْأَت الَو ةَدْلَج َةَئاِم اَمُهْنِم دِاحَو َّلُكاوُدِلْاجَف ِاِنَّالزَوُةَيِانَّالز
َنِمٌةَفِائَط اَمُهَابَذَع ْدَهْشَيْلَو ِرِاآلخ ِمْوَيْلاَو َِّاَّللِب َنوُنِمْؤُت ْمُتْنُك ْنِإ َِّاَّلل ِنيِد
َنيِنِمْؤُمْلا
32
34. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing
dari keduanya seratus kali deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada
keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian
mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur [24]: 2)
Rasa tidak suka tidak boleh berpengaruh dalam penegakkan hukum Allah
SWT.
ِقْلاِب اءَدَهُش ِ
ٍّ
َِّلل َنيِامَّوَق ْاوُنوُكْاوُنَآم َينِذَّلا اَهُّيَأ اَيَق ُنآَنَش ْمُكَّنَمِرََْي َالَو ِِْسمْو
ْاوُقَّاتَو ىَوْقَّلتِل ُبَرْقَأ َوُه ْاوُلِدْاع ْاوُلِدْعَت َّالَأ ىَلَعَت اَِِب ٌريِبَخ ٍَّاَّلل َّنِإ ٍَّاَّللَنوُلَمْع
﴿٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah [5]: 8)
Ada berbagai riwayat pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin hukum Allah
ditegakkan atas para pelaku dosa, mereka dibawa ke hadapan khalifah atau
wakilnya untuk ditegakkan hukum Islam terhadapnya.
Abu Dawud ath-Thayalisi telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya dari
Hudhayn Abiy Sasan ar-Raqasyi, ia berkata:
ِلَحولاِب َ ِِتُأَو ُهحنَع ُااّلِل َيِضَر َناافَع َنحب َناَمحثُع ُتحرَضَحَبِرَش حدَق َةَبحقُع ِنحب ِيد
:ٍيِلَعِل ُناَمحثُع َاَقَف ُرَخآ ٌلُجَرَو َناَبَأ ُنحب ُناَرحُح ِهحيَلَع َدِهَشَو َرحمَحاْل«حمِقَأ
ادَحْلا ِهحيَلَع…»
“Aku mendatangi Utsman bin Affan dan kepadanya didatangkan al-Walid bin
‘Uqbah dia telah minum khamar dan disaksikan oleh Humran bin Aban dan
33
35. seorang laki-laki lain, maka Utsman berkata kepada Ali: “Tegakkan
terhadapnya hadd …”
Khalifah Abu Bakar membunuh orang-orang yang murtad karena mengingkari
suatu kewajiban Syariah yaitu kewajiban zakat. Ibn Hibban telah mengeluarkan
di dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Ketika Rasulullah Saw.
wafat dan Abu Bakar diangkat menggantikan beliau (sebagai Khalifah) dan
orang dari kalangan Arab menjadi kafir, Abu Bakar memerangi mereka. Abu
Bakar berkata:
وُعَنَم ْوَل َِّاَّللَو ِالَمْلا ُّقَح َةاَكَّالز َّنِإَف ِاةَكَّالزَو ِة َالَّالص َْنيَب َقَّرَف ْنَم َّنَلِاتَقَُأل َِّاَّللَوِِن
ِهِعْنَم ىَلَع ْمُهُتْلَاتَقَل وسلم عليه هللا صلى َِّاَّلل ِولُسَر َىلِإ ُهَنوُّدَؤُي اوُناَك ًاالَقِع
“Demi Allah aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat.
Zakat adalah hak harta. Demi Allah seandainya sekelompok orang
menghalangi dariku apa yang dahulu mereka tunaikan kepada Rasulullah Saw.
pasti aku perangi mereka atas keengganan mereka itu.”
Dari Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
« َو َنوُفِرْعَت َال اَِِب ْمُكَنوُرُمْأَي ُاءَرَمُأ ْمُكْيَلَع ُنوُكَيَسْيَلَف َنوُرِكْنُت اَم َنوُلَعْفَيَس
ٌةَاعَط ْمُكْيَلَع َكِئَلؤِ»ال
“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan
hukum yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa
yang kalian ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi
kalian untuk menaatinya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Syariah umat para rasul sebelum Rasulullah Saw. bukanlah syariah bagi kita.
Syariah sebelum kita telah dihapus dengan Islam. Allah SWT berfirman:
34
36. َي َْنيَب اَمِل اًقٍِّدَصُم ٍِّقَْْلاِب َابَتِكْلا َكْيَلِإ اَنْلَزْنَأَ﴿واًنِمْيَهُمَو ِابَتِكْلا َنِم ِهْيَدِهْيَلَع
ْمُهَاءَوْهَأ ْعِبَّتَت َالَو َُّاَّلل َلَزْنَأ اَِِب ْمُهَنْيَب ْمُكْاحَفَعَج ٍّلُكِل ٍِّقَْْلا َنِم َكَاءَج اَّمَعاَنْل
ًةَعْرِش ْمُكْنِم﴾اًاجَهْنِمَو
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-Maaidah: 48)
Makna “muhayminan ‘alayhi” adalah menghapus. Jadi, Islam telah menghapus
syariah kitab-kitab terdahulu. Karena itu syariah orang sebelum kita bukanlah
syariah bagi kita.
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka
dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan
pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang
selalu mereka perolok-olokkan itu.” (QS. [40] al-Mu’min: 83)
ال يِدْيَأ ْتَبَسَكاَِِب ِرْحَبْلاَو ٍّ
َِربْلا ِيف ُادَسَفْلا َرَهَلْمُهَقيِذُيِل َِّاسنيِذَّلا َضْعَب
َنوُع ِجْرَي ْمُهَّلَعَل اوُلِمَع
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan
tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. ar-Rum [30]: 41)
35
37. Dijelaskan oleh para mufassir bahwa ulah perbuatan yang dimaksud adalah
perbuatan dosa dan maksiat.
Al-Baghawi menafsirkannya sebagai: bi syu’ dzunûbihim (karena keburukan
dosa-dosa mereka). (Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 417)
Ibnu Katsir memaknainya: bi sabab al-ma’âshî (karena kemaksiatan-
kemaksiatan). (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-
Fikr, 2000), 1438)
Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan: bi sabab ma’âshîhim wa
dzunûbihim (karena perbuatan maksiat dan dosa mereka). (Az-Zamaksyari, Al-
Kasysyâf, vol. 3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol.
4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360)
Dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang sama juga dikemukakan
oleh Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi, al-Nasafi, al-Khazin,
dan al-Shabuni. (Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48; as-Samarqandi, Bahr al-
‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 14; an-Nasafi, Madârik
at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2, 31; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi
Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3, 393; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1996), 442)
Kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah Swt.:
اَمِبَف ةَيبِصُم ْنِم ْمُكَابَصَأ اَمَوْعَيَو ْمُكيِدْيَأ ْتَبَسَكريِثَكْنَع وُف
“Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian
sendiri.” (QS. asy-Syura [42]: 30)
Ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di
muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan manusia terhadap ketentuan
Syariah-Nya.
Ada beberapa kemaksiatan yang disebutkan secara spesifik dapat menyebabkan
kehancuran masyarakat. Rasulullah Saw. bersabda:
ْنَأِب اوُّلَحَأ ْدَقَف ، ةَيْرَق ِيف اَبٍِّالرَو اَنٍِّالز َرَهَل اَذِإْمِهِسُفِهللا َابَذَع
“Jika zina dan riba telah tampak menyebar di suatu kampung maka
sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah.” (HR.
ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim)
36
38. Pemaparan Abu al-Aliyah dikutip oleh Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini:
“Siapa saja yang bermaksiat di muka bumi, sungguh dia telah berbuat
kerusakan, sebab kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu
dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dinyatakan:
َأ ِضَْرْاأل ْ
ِيف ُامَقُي ٌّدََْلاًاحَبَص َْنيِعَبْرَأ اْوُرَطُُْي ْنَأ ْنِم اَهِلْهَأ َىلِإ َّبَح
“Sungguh satu hukuman had yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai
penduduknya daripada mereka diguyur hujan 40 hari.”
Hudud yang ditegakkan itu menghalangi manusia—atau kebanyakan mereka—
dari melakukan keharaman. Jika kemaksiatan dilakukan maka hal demikian
menjadi sebab terpupusnya berkah dari langit dan bumi.” (Ibn Katsir, Tafsîr al-
Qur’ân al-‘Azhîm).
Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab menjelaskan, hudûdulLah adalah sesuatu
yang Allah jelaskan pengharaman dan penghalalannya; Allah perintahkan
untuk tidak dilanggar sedikitpun dan dilampaui, selain dari apa yang telah
diperintahkan atau dilarang, yang Allah larang untuk dilanggar.
Ibn al-Atsir dalam An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsâr berkata,
“Penyebutan al-hadd dan al-hudûd di banyak tempat maknanya adalah
keharaman-keharaman Allah dan sanksi-sanksi-Nya yang dikaitkan dengan
dosa-dosa. Asal dari al-hadd adalah halangan dan pemisah di antara dua
perkara. Karena itu hudûd asy-syar’i memisahkan antara halal dan haram. Di
antaranya apa yang tidak boleh didekati seperti perbuatan-perbuatan keji yang
diharamkan (al-fawâhisy al-muharramah).”
Allah SWT berfirman:
اَوهُبَرْقَت َالَف َِّاَّلل ُودُدُح َكْلِت
“Itulah larangan Allah. Karena itu janganlah kalian mendekati larangan
itu.” (QS. al-Baqarah [2]: 187)
اَوهُدَتْعَت َالَف َِّاَّلل ُودُدُح َكْلِت
“Itulah hukum-hukum Allah. Karena itu janganlah kalian melanggar hukum-
hukum itu.” (QS. al-Baqarah [2]: 229)
37