Dokumen tersebut membahas dua tradisi budaya di Ngawi, Jawa Timur yaitu Ganti Langse di Srigati dan Keduk Beji di Desa Tawun. Kedua tradisi tersebut dilakukan sesuai aturan dan dipercaya dapat membawa berkah, seperti kesehatan dan kesuburan. Dokumen juga menyarankan untuk membudidayakan ternak ayam kampung di Ngawi untuk melestarikan budaya setempat.
Peluang pasar yang didasarkan atas norma sosial budaya di jawa timur
1. PELUANG PASAR YANG
DIDASARKAN ATAS NORMA
SOSIAL BUDAYA / ADAT
ISTIADAT / KEBIASAAN SUATU
MASYARAKAT
Oleh:
Dewi Inne Kumalasari (06.2.4.178.14)
STPP MAGELANG JURLUHNAK
2017/2018
2. PELUANG PASAR YANG DIDASARKAN ATAS NORMA SOSIAL BUDAYA DI
DAERAH NGAWI,JAWA TIMUR
Di jaman yang sudah modern ini banyak daerah yang masih mempunyai kepercayaan
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan roh para leluhur. Contohnya di daerah saya sendiri,
daerah Jawa Timur memiliki kegiatan kebudayaan seperti ganti langse di daerah Srigati,
nyadran, keduk beji di daerah Tawun,Ngawi. Semua acara itu harus dilakukan sesuai aturan
yang harus dipenuhi karena sebagian masyarakat percaya jika ada syarat yang tidak terpenuhi
maka akan ada sesuatu yang tidak diinginkan.
Pertama, yaitu ganti langse di daerah Srigati di kecamatan Paron kabupaten Ngawi.
Ganti Langse atau ganti selambu berupa mori putih yang difungsikan sebagai penutup
Palenggahan Agung Srigati di Alas Ketonggo, Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten
Ngawi, Jawa Timur, sebagai tradisi tahunan setiap bulan Muharam/Suro tepat pada bulan
purnama dalam hal ini jelas tanggal 15 hitungan bulan Hijriyah tanpa melihat hari maupun
weton pasaran dalam hitungan penanggalan Jawa. Satu ritual tradisi yang sarat magis tersebut
digelar secara khidmat penuh penghayatan diawali dengan penyerahan kain selambu mori
warna putih bersih sepanjang 15 meter. Selambu mori itu diserahkan oleh Mbah Marji juru
kunci Alas Ketonggo kepada tokoh masyarakat. Prosesi penyerahan selambu mori sendiri
diiringi sebuah Tari Srigati yang dilakukan 8 penari yang masih gadis/perawan agar tercipta
tari yang indah, luwes dan anggun pada saat prosesi tradisi dilakukan. Kemudian
Langse/mori yang sudah diganti diserahkan kembali kepada Mbah Marji untuk dibagikan
kepada warga masyarakat yang membutuhkan. Ritual selanjutnya berupa bancaan atau biasa
dikenal dengan kalimat ‘Slametan’ merupakan persembahan doa kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang dipimpin pemangku adat setempat. Dalam slametan ini dihidangkan berbagai
makanan dan jajanan pasar. Untuk makananya dimulai tumpeng, urap-urap, bubur sengkolo,
bubur merah putih, serta aneka ragam polo pendem. Dan yang tidak boleh terlupakan yaitu
ayam jawa yang dipanggangyang dibutuhkan sangat banyak. Sedangkan jajanan pasar ada
tujuh jenis yang mewakili fiosofi sebuah harapan pitulungan atau pertolongan yang berasal
dari Tuhan Yang Maha Esa. Urap-urap memiliki simbol membahur atau bersatu padu serta
menjadi manusia yang bermanfaat antara satu dengan yang lain. Uniknya lagi bicara soal
Langse/mori putih yang diambil dari Palenggahan Agung Srigati yang sudah tidak terpakai
itupun boleh dikatakan menjadi barang kramat atau mempunyai tuah tersendiri. Terbukti,
kurang dari 30 menit Langse/mori sepanjang 15 meter itu sudah habis dibagikan kepada
warga dari berbagai daerah dengan cara dipotong-potong oleh para pemangku Palenggahan
3. Agung Srigati. Tradisi Ganti Langse kata Mbah Marji, mulai dilaksanakan pada tahun 1988
oleh Mbah Somodarmojo Kepala Desa Babadan saat itu. Asal mula dari keberadaan
Palenggahan Agung Srigati. Menurutnya sejarah mencatat keberadaan Srigati di Alas
Ketonggo erat kaitanya dengan masa runtuhnya Kerajaan Majapahit kala itu dibawah Prabu
Brawijaya V. Mbah Marji mengutip pernyataan Gusti Pangeran Dorodjatun dari Kasunanan
Surakarta tahun 1974 ketika itu mendatangi Alas Ketonggo sesuai mata bathinya atau hasil
penerawanganya mengatakan didekat lokasi Tempuran Pesing ada Punden Krepyak Syeh
Dombo. Di punden itu mendasar keterangan Pangeran Dorodjatun saat itu dapat dikaitkan
dengan riwayat perjalanan atau lengsernya Prabu Brawijaya sebelum muksa di puncak
Gunung Lawu. Di Punden Krepyak Syeh Dombo yang sekarang dikenal Punden Srigati itu
ditengarai Prabu Brawijaya melepaskan baju kebesaranya dengan dilanjutkan siram jamas di
Kali Tempur yang berada kurang lebih 200 meter dari Punden Srigati. Setelah siram jamas
sebagai bentuk penyucian diri lalu Prabu Brawijaya bersemedi/berdoa dan mendapatkan satu
petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa untuk pergi ke puncak Gunung Lawu secara Islam
dengan gelar Sunan Lawu. Histori itu kata Mbah Marji masih mengutip pernyataan dari
Pangeran Dorodjatun, bahwa Alas Ketonggo pada dasarnya mempunyai riwayat keterpaduan
dengan Kerajaan Majapahit. Hal itu sesuai survey Pangeran Dorodjatun yang diawali dari
wilayah Trowulan Mojokerto sampai Alas Ketonggo berlanjut ke puncak Gunung Lawu.
Pada intinya Ganti Langse merupakan bentuk perwujudan atas sebuah harapan kepada Tuhan
yang Maha Esa sebagai harapan baru akan perjalanan hidup menuju ketentraman dan
kesejahteraan.
Yang kedua, prosesi ritual keduk beji di desa Tawun, Ngawi, Jawa Timur. Tradisi
turun-temurun yang digelar setiap Selasa Kliwon usai masa panen raya ini sebagai sarana
penghormatan kepada Eyang Ludro Joyo atas sumber air yang melimpah dan keramat.
Sebelum ritual berlangsung, ratusan peserta berkumpul di sumber berukuran 20 x 30 meter.
ritual dimulai dengan melakukan pengerukan atau pembersihan kotoran dengan mengambil
sampah dan daun-daun yang mengotori sumber mata air beji yang berada di desa tawun.
terlihat seluruh peserta yang terdiri atas kalangan anak-anak, remaja, dewasa hingga orang
tua tumplek blek turun menceburkan diri. pada saat prosesi ini berlangsung, seluruh peserta
basah kuyup olea air sumber yang telah menjadi keruh, bahkan disertai dengan mandi
lumpur. Tak ayal, teriakan peserta yang ikut mandi lumpur dan masing-masing memegang
tongkat kayu menarikan tari ‘Kecetan’ sembari bersahut-sahutan dengan suara dua sinden
yang melantunkan tembang-tembang Jawa disertai iringan gamelan. Para pemain gamelan
dan dua sinden ini juga tampak gembira seperti peserta ritual lain yang berada di dalam areal
4. ritual. Ritual kemudian dilanjutkan dengan penyikepan kendi ke dalam pusat sumber. Lalu,
melakukan penyiraman air legen ke dalam sumber Beji dan penyeberangan sesaji dari arah
timur ke barat sumber. Sesaji tersebut berisi makanan khas Jawa. Seperti jadah, jenang,
rengginang, lempeng, tempe, yang ditambah buah pisang, kelapa, bunga, dan telur ayam
kampung. Selama penyeberangan sesaji, para pemuda yang berada di sekitar sumber Beji
berjoged dan melakukan ritual saling gepuk (pukul) dengan diiringi dengan gending Jawa.
Ritual ditutup dengan makan bersama Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon yang telah
disediakan bagi warga untuk ‘ngalub’ atau meraih berkah. Warga saling berebut makanan
yang dipercaya bisa mendatangkan berkah bagi kehidupannya kelak. Setelah ritual selesai,
warga desa beramai-ramai mengambil air sumber yang mengalir jernih. Ada yang
ditempatkan di botol, ada yang ditempatkan diember, bahkan ada pula yang langsung mandi
di pinggiran sumber tersebut. Inti dari ritual ini, terletak pada penyilepan atau penyimpanan
kendi di pusat sumber air Beji. Pusat sumber tersebut terdapat di dalam gua yang terdapat di
dalam sumber. Setiap tahunnya, kendi di dalam sumber diganti melalui upacara ini. Hal ini
dimaksudkan agar sumber air Beji tetap bersih. Dan, tidak kalah sakralnya, mandi lumpur ini
dipercaya warga desa setempat untuk membersihkan badan. Selain itu, mandi lumpur
dipercaya dapat awet muda dan sehat.
Kesimpulannya, di daerah Ngawi,Jawa Timur masih banyak membutuhkan hewan
ternak ayam kampung. Dan yang sering dimanfaatkan yaitu dagingnya yang dibuat menjadi
ayam panggang untuk selamatan dan sesaji serta telurnya untuk sesaji. Sedangkan untuk
pembudidayaan ternak ayam kampung tersebut masih belum banyak yang
membudidakannya. Hanya orang-orang kampung yang memeliharanya untuk keperluan
sendiri dan itu hanya dalam skala kecil. Untuk pemeliharaannya sendiri tidak susah seperti
ternak ayam jenis lainnya yang membutuhkan pemeliharaan khusus. Serta untuk
penjualannya juga masih sedikit yang menjual terutama di pasar tradisional. Jadi, kita sebagai
mahasiswa serta taruna muda marilah kita budayakan ternak ayam kampung tersebut
terutama di daerah seperti di Kabupaten Ngawi tersebut untuk membantu melestarikan
budaya yang ada.
Sumber
https://jawatimuran.net/2012/07/03/keduk-beji-di-desa-tawun-ngawi-jawa-timur/
http://www.siagaindonesia.com/107210/tradisi-ganti-langse-palenggahan-agung-srigati-
ritual-budaya-alas-ketonggo.html