1. LAPORAN PRAKTIKUM ILMU HAMA TANAMAN
Pengenalan Agen Pengendali Hayati
Oleh :
Nama : Inayatul Fitria Dewi
NIM : 1510401057
Kelompok : B2
Asisten : Rian Widiyanto
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIDAR
2017
2. I. ACARA I PENGENALAN AGEN PENGENDALI HAYATI
II. TUJUAN
1. Mengenal beberapa jenis serangga yang berperan sebagai musuh alami
2. Mengenal beberapa jenis mikroorganisme yang berperan sebagia entomopatogen
III. TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara
biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (agen pengendali
biologi), seperti predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati adalah suatu
teknik pengelolaan hama dengan sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan
musuh alami untuk kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan
dilakukan perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium. Sedangkan
Pengendalian alami merupakan Proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa
campur tangan manusia, tidak ada proses perbanyakanmusuh alami (Anonim, 2002).
Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang
antropoda lainnya. Parasitoid bersifat parasit pada fase pradewasa, sedangkan
dewasanya hidup bebas dan tidak terikat pada inangnya. Parasitoid
hidup menumpang di luar atau didalam tubuh inangnya dengan cara menghisap
cairan tubuh inangnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya . Umumnya parasitoid
menyebabkan kematian pada inangnya secara perlahan-lahan dan parasitoid dapat
menyerang setiap fase hidup serangga, meskipun serangga dewasa jarang terparasit
(Nurhayati, 2011)
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan,
membunuh atau memangsa serangga lain, ada beberapa ciri-ciri predator
yaitu Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsanya (telur,
larva, nimfa, pupa dan imago ), Predator membunuh dengan cara memakan atau
menghisap mangsanya dengan cepat, Seekor predator memerlukan dan memakan
banyak mangsa selama hidupnya, Predator membunuh mangsanya untuk dirinya
sendiri, Kebanyakan predator bersifat karnifor, Predator memiliki ukuran tubuh
lebih besar dari pada mangsanya, Dari segi perilaku makannya, ada yang
mengunyak semua bagian tubuh mangsanya, ada menusuk mangsanya dengan
3. mulutnya yang berbentuk seperti jarum dan menghisap cairanya tubuh mangsanya
(Nurhayati, 2011).
Parasitoid adalah kelompok serangga yang hidup bebas pada fase dewasa,
tetapi memarasit serangga lain selama fase pradewasa. Secara taksonomis, 80% dari
parasitoid merupakan anggota ordo Hymenoptera, yaitu salah satu dari empat ordo
terbesar dalam kelas serangga yang diperkirakan memiliki lebih dari 300.000
spesies. Parasitoid ordo Hymenoptera memiliki kekayaan spesies lebih dari 20%
dari seluruh serangga di dunia. Dua famili dari ordo ini yang memiliki potensi
sebagai agens biokontrol atau parasitoid serangga adalah Ichneumonidae dan
Braconidae, terutama sebagai parasitoid telur dan larva serangga Lepidoptera,
Hemiptera, dan Diptera (Goulet dan Hubner 1993)
IV. METODE PRAKTIKUM
Praktikum pengenalan agen pengendali hayati dilakukan di Laboratorium
Fakultas Pertanian Universitas Tidar dilantai 2 ruang P2.02. praktikum ini
dilaksanakan pada hari Selasa 23 Mei 2016. Alat dan bahan yang digunakan pada
praktikum ini berupa, gambar specimen serangga yang berperan sebagai predator
berupa capung dan belalang sembah, kultur Metarhizium anisopliae dan kultur
Beauveria bassiana beserta gambar pemparasitannya terhadap hama Kumbang dan
wereng cokelat serta walang sangit dan virus NPV yang menyerang Spodoptera
litura. Alat yang dipakai berupa mikroskop dan alat tulis.
Praktikum ini dilakukan dengan mengamati tiap-tiap gambar specimen. Pada
serangga yang berperan sebagai predator tipe alat mulut, bagian-bagian tubuhnya
dan identifikasinya, sedangkan pada hama yang terserang oleh parasit maupun virus
dilakukan dengan mengamati gejala serangannya dan pada kultur jamur kultur
Metarhizium anisopliae dan kultur Beauveria bassiana dilakukan dengan
mengamati secara mikroskopis dan makroskopis
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Berikut merupakan hasil pengamatan pengenalan pengendalian hayati
berupa predator, parasitoid dan juga pathogen:
1. Predator
4. Agen hayati yang berupa predator disini terdiri dari 2 jenis yaitu capung dan
belalang sembah
a. Capung (Orthetrum Sabina)
Gambar web Gambar foto
Sumber: D.W. Pamungkas
(2015)
1) Bagian-bagian dari capung :
1. Kepala
2. Thorak
3. Abdomen
4. Antenna
5. Mata majemuk
6. Sayap depan
7. Sayap belakang
8. Anal
9. Femur
10. Tarsus
11. Tibia
2) Mangsa sasaran
Capung (Ordo:Odonata) merupakan salah satu musuh alami yang
penting untuk dunia pertanian, selain sebagai bioindikator lingkungan bersih
dan memiliki sifat polifag. Nimfa capung menjadi predator bagi protozoa,
larva nyamuk, ikan kecil, crustacea yang berukuran kecil (Daphnia sp.,
5. Cyclops sp.) dan hewan-hewan yang kecil lainnya. Sedangkan imago capung
berperan sebagai predator bagi serangga, seperti nyamuk, lalat, kupu-kupu,
wereng, dan capung dari spesies yang sama maupun berbeda (Dalia dan
Leksono, 2014)
3) Klasifikasi capung
Kingdom :Animalia
Phylum :Arthropoda
Classis :Insecta
Ordo :Odonata
Familia :Libellulidae
Genus :Orthetrum
Spesies :Orthetrum sabina
b. Belalang sembah (Mantis religiosa)
Gambar web Gambar foto
Sumber: Bugguide.net
1) Bagian-bagian dari capung :
1. Kepala/caput
2. Thorax
3. Abdomen
4. Labium
5. Mata majemuk
6. Antenna
7. Mulut
8. Tibia
9. Tarsus
6. 10. Femur
2) Mangsa sasaran
Belalang sembah merupakan predator yang bersifat polifag. Karena
sifatnya makannya yang bersifat polifag membuat makanan dari belalang
sembah menjadi lebih beragam. Jenis hama yang dapat dimakan oleh belalang
sembah (Mantis religiosa) diantaranya, wereng cokelat, wereng hijau,
penggerek batang, walang sangit, hama ganjur, ulat grayak, hama putih dan
hama putih palsu (Ledheng dkk., 2016)
3) Klasifikasi belalang sembah
Kingdom :Animalia
Phylum :Arthropoda
Classis :Insecta
Ordo :Hemiptera
Familia :Mantidae
Genus :Mantis
Spesies :Mantis religiosa
2. Parasitoid
a. Cotesia vplutellae
Gambar web
1) Klasifikasi parasitoid Costesia plutellae menurut Kalshoven (1981):
Kingdom :Animalia
Phillum :Arthopoda
Kelas :Insekta
Ordo :Hymenoptera
7. Family :Braconidae
Genus :Costesia
Spesies :Costesia plutellae
2) Cara parasitoid Cotesia plutellae menyerang hama
Cotesia plutellae adalah endoparasitoid larva soliter. Betina C.
plutellaemeletakkan telur di dalam tubuh instar dua P. xylostella. Setelah
mencapai larva C. plutellae memasuki instar akhir (ketiga), larva C. plutellae
keluar dari tubuh larva P. xylostella melalui ruas abdomen ketiga dari sebelah
samping atau bawah dan langsung memintal kokon untuk fase pupanya.
Kokon C. plutellae berwarna putih bersih, keras, dan panjangnya antara 3-4
mm. Imago C. plutellae yang muncul dari kokon berwarna hitam mengkilat
dengan panjang tubuh berkisar + 3 mm. Larva P. xylostella yang terparasit
berwarna hijau kekuningan, sedangkan larva sehat berwarna hijau. Abdomen
posterior larva yang sakit ini lebih besar dibandingkan dengan larva sehat
(Herlinda, 2005)
3) Mangsa parasitoid Cotesia plutellae
Cotesia plutella merupakan hama yang menyerang ulat daun pada tanaman
kubis. Ulat-ulat yang memakan pada daun kubis ini dapat dikendalikan
dengan adanya APH C. plutellae. Secara umum nantinya C. plutella akan
menginjeksikan telur-telurnya ke ulat kubis. Selama hidupya maka telur
akan berkembang dengan memakan nutrisi pada ulat kubis tersebut.
b. Tetrastichus sp.
Gambar web
1) Klasifikasi parasitoid Tetrastichus sp. menurut Kalshoven (1981):
Kingdom : Animalia
8. Filum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Famili : Eulophidae
Genus : Tetrastichus
Spesies : Tetrastichus sp
2) Cara parasitoid Tetrastichus sp menyerang hama
Telur diletakkan oleh imago betina di dalam telur inang, dan bertipe
hymenopteriform. Telur Tetrastichus pada penggerek batang padi kuning ini
berwarna bening, berbentuk memanjang dan meruncing pada kutub kaudal.
Stadium telur Tetrastichus schoenobii pada PBPK berkisar antara satu sampai dua
hari. Larva hidup di dalam dan di luar telur inang. Larva yang hidup di dalam telur
inang berperan sebagai larva endoparasit (larva internal), dan larva yang hidup di
luar telur inang berperan sebagai ektoparasit. Larva yang baru menetas bertipe
hymenopteriform. Pupa tidak berkokon dan terdapat dalam kelompok telur inang
yang diparasit. Pupa T. schoenobii mula-mula berwarna putih kemudian menjadi
coklat.
3) Mangsa sasaran
Yang menjadi mangsa oleh Tetrastichus sp. merupakan hama pada
tanaman padi. Hama yang dijadikan sasaran ini adalah penggerek batang kuning.
Parasitoid ini akan memangsa telur inang hama penggerek batang padi kuning.
3. Pathogen
Pada hama pengendalian hayati pathogen dalam hal ini dikenal dengan
adanya jamur Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana:
a. Metarhizium anosopliae
Gambar makros Gambar mikros
9. Gambar web Gambar asli
1) Cara meyerang jamur Metarhizium anisopliae
Mekanisme infeksi Metarhizium anisopliae terhadap serangga dapat
digolongkan menjadi empat tahapan, yaitu inokulasi, penempelan dan
perkecambahan propagule jamur pada integument serangga, penetrasi dan
invasi, serta destruksi pad titik penetrasi dan terbentuknya blastospora.
Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagule (konidia)
jamur dengan tubuh serangga (Prayoga, 2005)
Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul
jamur integument serangga. Jamur dapat memanfaatkan senyawa-senyawa
yang terdapat pada integument seranga. Pada fase ini, kelembaban udara
yang tinggi dan bahkan air ang diperukan untuk berkecambah propagule
jamur (Prayoga, 2005). Awalnya, propagule akan menempel pada kutikula.
Penempelan ini merupakan mekanisasi pasif dengan bantuan angina dan iar,
sehingga terjadi kontak antara propagule jamur dengan permukaan
integument serangga. Pada beberapa kasus, penempelan propagule
10. berkorelasi dengan tingkat keagresifan atau spesifitas inang dari spesies
jamur. (Tanada dan Kaya, 1993). Setelah terjadi penempelan dalam waktu
yang cukup lama, propagule akan berkecambah. Untuk dapat berkecambah,
propagule membutuhkan sumber karbon seperti glukosa, glucosamine, kitin,
dan pati (starch) (Simamora dkk., 2012)
Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Prayogo dkk. (2005)
menyatakan bahwa jamur melakukan penetrasi untuk mnembus integument
inang. Dalam proses ini, jamur akan membentuk tabung kecambah
(appresorium) yang berperan sebagai hifa penetrasi dan akan menyerang
inang (Rustama dkk., 2008) penembusan dilakukan secara mekanis dan
kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Secara mekanis yanitu
menembus kulit tubuh serangga dengan kekuatan hifa dan secara kimiawi
dengan mengeluarkan enzim. Enzim ini berfungsi membantu dalam
penghancuran kutikula serangga (Simamora dkk., 2012)
Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya
blastispora (yeaslike hyphal bodies). Pada umumnya, serangga sudah mati
sebelum terbentuknya blastospora ini. Blastospora terbentuk saat jamur telah
masuk ke dalam hemocoel kemudian akan beredar ke dalam hemolimfa dan
membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan ainnya. Jaringan yang
diserang antara lain jaringan lemak, system syaraf, trakea, dan saluran
pencernaan (Prayoga dkk., 2005; Simamora dkk., 2012). Setelah serangga
mati, jamur akan terus melanjutkan siklus dalam fase saprofitik, yaitu
membentuk koloni di sekitar tubuh inang. Setelah tubuh inang dipenuhi oleh
koloni jamur, maka spora infeksi akan diproduksi (Marheni dkk,. 2010)
2) Hama yang diserang
Metarhizium anisopliae adalah jamur entomopatogen yang
dikelompokkan ke dalam divisi Deuteromycotina: Hyphomyctes. Jamur ini
tersebar luas di seluruh dunia. Metarhizium anisopliae merupakan jamur
tanah yang bersifat saprofit, tetapi dapat bersifar pathogen pada beberapa
ordo serangga seperti Lepidotera, Coleoptera, Hymenoptera, Othoptera,
Hemiptera dan Isoptera (Prayoga dkk., 2005)
11. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa terdapat 4 macam gambar M.
anosoplie. Dimana secara mikroskopis dapat dilihat bahwa M. anosopliae ini
memilki hidup yang berkoloni, sehingga akan lebih tampak berkumpul antar
selnya. Demikian pula pada gambar literasi, bahwa pertumbuhan jamur pada
M. anosopliae ini berkoloni, antar sel saling bertautan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada jamur M. anosopliae ini memilki kecenderungan
hidup berkelompok disukung dengan adanya literature yang ada.
b. Beauveria bassiana
Gambar makros Gambar mikros
Gambar web Gambar asli
1) Cara meyerang jamur Beauveria bassiana
Mekanisme infeksi dimulai infeksi langsung hifa atau spora B.
bassiana ke dalam kutikula melalui kulit luar serangga. Pertumbuhan hifa
12. akan mengeluarkan enzim seperti protease, lipolitik, amilase, dan kitinase.
Enzim-enzim tersebut mampu menghidrolisis kompleks protein di dalam
integument (Brady 1979), yang menyerang dan menghancurkan kutikula,
sehingga hifa tersebut mampu menembus dan masuk serta berkembang di
dalam tubuh serangga. Mekanisme infeksi secara mekanik adalah infeksi
melalui tekanan yang disebabkan oleh konidium B. bassiana yang tumbuh.
Secara mekanik infeksi jamur B. bassiana berawal dari penetrasi miselium
pada kutikula lalu berkecambah dan membentuk apresorium, kemudian
menyerang epidermis dan hipodermis. Hifa kemudian menyerang jaringan
dan hifa berkembang biak di dalam haemolymph (Clarkson dan Charnley,
1996)
Pada perkembangannya di dalam tubuh serangga B. bassiana akan
mengeluarkan racun yang disebut beauvericin yang menyebabkan terjadinya
paralisis pada anggota tubuh serangga. Paralisis menyebabkan kehilangan
koordinasi sistem gerak, sehingga gerakan serangga tidak teratur dan
lamakelamaan melemah, kemudian berhenti sama sekali. Setelah lebih-
kurang lima hari terjadi kelumpuhan total dan kematian. Toksin juga
menyebabkan kerusakan jaringan, terutama pada saluran pencernaan, otot,
sistem syaraf, dan system pernafasan (Wahyudi, 2008).
Serangga kemudian mati dan jamur B. bassiana akan terus
melanjutkan pertumbuhan siklusnya dalam fase saprofitik. Setelah serangga
inang mati, B. bassiana akan mengeluarkan antibiotik, yaitu Oosporein yang
menekan populasi bakteri dalam perut serangga inang. Dengan demikian,
pada akhirnya seluruh tubuh serangga inang akan penuh oleh propagul B.
bassiana. Pada bagian lunak dari tubuh serangga inang, jamur ini akan
menembus keluar dan menampakkan pertumbuhan hifa di bagian luar tubuh
serangga inang yang biasa disebut “white bloom”. Pertumbuhan hifa
eksternal akan menghasilkan konidia yang bila telah masak akan disebarkan
ke lingkungan dan menginfeksi serangga sasaran baru (Wahyudi, 2008).
2) Hama yang diserang
Jamur B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine
karena miselium dan konidium (spora) yang dihasilkan berwarna putih,
13. bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Soetopo dan
Indrayani, 2007). Serangga yang menjadi inang dari Beauveria bassiana
adalah ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Homoptera (Ahmad et al,
2008:499).
Dari gambar di atas apat dilihat bahwa secara makroskopis, B.
bassiana dapat dilihat pertumbuhan koloninya sama ketika dilahat dengan
secara mikroskopis. Pertumbuhan B. bassiana ini terlihat dengan koloninya
yang agak menyebar (soliter) sehingga akan tampak nyata selnya ketika
diamati secara mikroskopis. Hal ini juga sangat sesuai ketika dilihat dengan
gambar asli bahwasanya kehidupan dari B. bassiana ini koloninya menyebar
dan terdapat lingkaran-lingkaran kecl pada ujung selnya. Sehingga dapat
dismpulkan bahwa secara teori dak kenyataannya terjadi keserasian pada B.
bassiana.
c. Virus NPV
Penamaan NPV disesuaikan dengan nama inang dimana pertama kali
diisolasi dan diidentifikasi (CABI 2000). NPV yang menyerang larva
Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) disebut Helicoverpa
armigera NPV (HearNPV).
1) Cara penyerangan virus NPV
Proses infeksi NPV dimulai dari tertelannya polihedra (cairan yang
dikeluarkan oleh ulat grayak yang terinfeksi oleh virus NPV) oleh ulat lain
bersama pakan. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkalis (pH
9,0 - 10,5), selubung polihedra larut, sehingga membebaskan virion. Virion
menembus dinding saluran pencernaan untuk masuk ke rongga tubuh,
kemudian menginfeksi sel-sel yang rentan. Replikasi virion terjadi di daiam
inti sel. Dalam waktu 1-2 hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang
semula jernih berubah menjadi keruh. Ulat tampak berminyak, disertai
dengan membran integumen yang membengkak dan perubahan warna tubuh
menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut. Kemampuan
makannya menurun, sehingga pertumbuhannya lambat. Ulat cenderung
merayap ke pucuk tanaman kemudian mati menggantung dengan posisi
terbalik dengan tungkai semu bagian akhir pada tanaman. Integumen ulat
14. yang mati mengalami lisis dan disintegrasi, sehingga sangat rapuh. Apabila
integumen robek, dari dalam tubuh ulat keluar cairan hemolimfa berwarna
putih-kecoklatan yang mengandung polihedra. Ulat muda (instar l-lll) mati
dalam 2 hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) dalam 4-9 hari setelah
polihedra tertelan (lgnoffo and Couch 1981; Tanada and Kaya 1993 dalam
Ilyas dan Fattah, 2016).
Gambar 1. Contoh mekanisme infeksi NPV pada ulat grayak pada produk
Vitura.
2) Hama yang diserang
NPV paling banyak pada ordo Lepidoptera (86%) dan sedikit pada
ordo Hymenoptera (7%) serta ordo Diptera (3%). Selain itu, NPV juga telah
diketahui menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera, dan Neuroptera.
Nuclear-polyhedrosis virus (NPV) dapat menginfeksi antara lain ulat grayak
dan ulat pemakan polong kedelai. NPV untuk ulat grayak disebut SlNPV
(Borrelinavirus litura) dan untuk pemakan polong disebut HaNPV (B.
heliothis). (Arifin, 2006 dalam Ilyas dan Fattah, 2016).
VI. KESIMPULAN
Pengendalian dengan menggunakan agen hayati dapat digunakan dengan
berbagai macam predator, parasitoid dan pathogen. Predator yang dapat digunakan
diantaranya capung (Orthetrum sabina) dan belalang sembah (Mantis religiosa),
sedangkan parasitoidnya berupa Tetrastichus sp yang menyerang pada penggerek
batang padi kuning dan Cotesia plutellae yang menyerang pada larva Plutella
15. xylostell dan pathogen yang terdiri dari jamur Metarhizium anosopliae dan
Beauveria bassiana serta virus NPV. Secara umum pengendalian agen hayati
dilakukan dengan memanfaatkan organisme maupun organisme yang bekerja untuk
menyerang hama dengan identifikasi yang spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R. Z., 2008. Pemanfaatan Cendawan Untuk Meningkatkan Produktivitas dan
Kesehatan Ternak. Jurnal Litbang Pertanian, 27(3): 84-92.
Anonim, 2002. Model Budidaya tanaman Sehat (Budidaya Tanaman Sayuran Secara
Sehat Melalui Penerapan PHT), Dirjen Perlindungan Tanaman. Jakarta
Brady, B.L.K. 1979. Pathogenic Fungi and Bacteria. Common Wealth Agricultural
Bureaux, England
Clarkson, J. M., and A. K. Charnley.1996. New Insights Into The Mechanisms of Fungal
Pathogenesis in Insects. Trends Microbiol. 4: hlm.197-203
Dalia dan Leksono. 2014. Interaksi Capung dengan Arthropoda dan Vertebrata
Predator di Kepanjen, Kabupaten Malang. Jurnal Biotropika Volume 2,
Nomor 1, 2014.
Goulet, H. and J.T. Hubner. 1993. Hymenoptera of the world: An identification guide to
families. Research Branch Agriculture Canada Publication. 658 pp.
Herlinda. 2006. Parasitoid dan Parasitisasi Plutella xylostella (L.) (Lepidotera:
Yponomeutidae) di Sumatera Selatan. Jurnal Hayati. Vol 12, No. 4
Ilyas, Asrianti dan Abdul Fattah. 2016. Penggunaan NPV (Nuclear Polyhydrosis Virus)
yang Bersumber dari Ulat Grayak yang Terinfeksi di Lapangan dalam
Pengendalian Spodoptera litura pada Kedelai di Sulawesi Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Kalshoven, L. G. E., 1981.The Pest of Crops in Indonesia. Revised and Tranlated By
P.A. Van der laan. P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta
Ledheng, Eno dan Atini. 2016. Inventarisasi Serangga Predator Hama Padi Areal
Pertanian Desa Letmafo Kecamaan Insana Tengah. Jurnal Pendidikan
Biologi. Vol. 1, No 2 (24-26) 2016.
Marheni, Hasanuddin, Pinde, dan Wirda Suziani. 2013. Uji Patogenesis
Jamur Metarhizium anisopliae dan Jamur Cordyceps militaris Terhadap
Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Eryctes rhinoceros) (Coleoptera:
Scarabaeidae) di Laboratorium. Program Studi Agroteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Sumatra Utara, Medan
16. Nurhayati. 2011. Penggunaan Jamur Dan Bakteri Dalam Pengendalian
Penyakittanaman Secara Hayati Yang Ramah Lingkungan. Prosiding
Semirata, 1(1): 316-321.
Pamungkas dan Ridwan. 2015. Keragaman jenis capung dan capung jarum (Odonata) di
beberapa sumber air di Magetan, Jawa Timur. Jurnal PROS SEM NAS
MASY BIODIV INDON. Volume 1, Nomor 6, September 2015
Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Marwoto, 2005. Prospek Cendawan
Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat
Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1): 19-
26
Rustama Mia M, Melanie, dan Budi Irawan. 2008. Patogenisitas Jamur entomopatogen
Metarhizium Anisopliae terhadap Crocidolomia pavonana Fab. dalam
kegiatan studi pengendalian hama terpadu tanamankubis dengan
menggunakan agensia hayati. Laporan akhir penelitian muda (LITMUD)
UNPAD. Bandung.
Simamora, John K., Tris Haris Ramadhan, dan Indri Hendarti, 2012. Persistensi
Cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Pada Tanah Gambut Serta
Tingkat Patogenisitasnya Terhadap Larva Tenebrio molitor (Linn.) di
Laboratorium. Jurnal Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak.
Soetopo dan Indrayani, 2007.Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana untuk
Pengujian Serangga Hama Tanaman Perkebunan yang Ramah
Lingkungan. Perspektif, 6(1): 29-46
Tanada Y. & H. K. Kaya, 1993. Insect Pathology. Academic Press Inc, London.
Wahyudi. 2008. Jamur Patogen Serangga Sebagai Bahan Baku Insektisida.
Pemanfaatan Mikroba dan Parasitoid dalam Agroindustri Tanaman Rempah
dan Obat. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat (XII):
21−28pp