SlideShare a Scribd company logo
1 of 16
Pragmatik Lintas Budaya

1. Budaya Antropologi dan Sistem Wacana

Penelitian pragmatik lintas budaya terkenal tidak jelas dan banyak klaim yang masih
hipotetik dan spekulatif. Akan tetapi banyak kajian-kajian penting yang lebih memberikan
pencerahan dalam teori sematik dan pragmatik. Dalam bab ini akan dipaparkan sebagian
saja, mulai dari usaha-usaha mendefinisikan hal-hal yang menyangkut budaya                      dan
menggolongkan perbedaan-perbedaan antar-budaya.
           Pada bab 14 telah dikaji bahwa perbedaan makna dan bentuk tindak
tutur/pertuturan dalam budaya-budaya yang berbeda harus diakui dalam berbagai
pendekatan yang berhasil terhadap komunikasi. Apa yang dimaksud dengan                     ilokusi 1
dalam sutu budaya mungkin merupakan perlokusi2 dalam budaya lain, dan tindak
tutur/pertuturan khusus mungkin memerlukan jenis-jenis tindakan yang berbeda sebagai
respon budaya yang berbeda. Perbedaan lintas budaya yang nyata dalam komunikasi dapat
dikaitkan guna menghadapi hubungan. Masyarakat dengan preferensi solidaritas simetris
menggunakan bentuk sapaan yang berbeda, nilai-nilai kekuasaan yang berbeda, Jarak dan
tingkat gangguan yang berbeda, bagi formula Brown dan Levinson (1987), daripada
masyarakat dengan preferensi untuk perbedaan simetris. Bahasa Inggris Amerika
merupakan contoh solidaritas simetrik, seperti yang ditentang orang Cina yang kebih
menyukai perbedaan. Komunikasi lintas budaya, komunikasi antara perwakilan-
perwakilan dari sistim wacana yang berbeda, sering terpecah-pecah karena kurangnya
pengenalan terhadap perbedaan tersebut. Tetapi, meskipun jika kita menggambarkan
perbedaan-perbedaan tersebut, akan muncul kesulitan lain yang terlahir dalam benak,
yaitu:


Sejauh mana individu Cina atau Amerika, Korea atau Inggris, Australia atau Singapura secara pribadi
menunjukkan keyakinan budayanya, dan apakah kepercayaan tersebut menimbulkan perbedaan berarti dalam
kemampuannya berkomunikasi…? Scollen dan Scolon (1995:126)




  1
      Ilokusi: tindakan menghimbau, menasehati, dan memrintah si alamat.
  2
      Perlokusi: tindakan membujuk.

                                                     1
Dengan kata lain, dalam melakukan studi pragmatik lintas budaya, penting untuk
menghindari stereotip yang tidak beralasan. Masalah ini akan dibahas lebih detail pada
pembahasan bagian 5 dan pandangan Sperber terhadap keyakinan budaya.
        Dalam kata sifat ‘lintas-budaya’, pengacuan dibuat bukan untuk budaya sebagai
prestasi intelektual dan artistik tetapi lebih kepada organisasi sosial dan kebiasaan
sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, ‘budaya’ mengacu kepada budaya
anthropologi. Ada beberapa aspek budaya antropologi yang menggunakan pengaruh
tertentu pada wacana yang berperan dalam system wacana. Menurut Scollon dan Scollon
(1995: 127-128), pengaruh tersebut mencakup idiologi, sistim martabat, bentuk wacana
dan sosialisasi, dan disusun sebagai berikut;
 1. Idiologi, yang terdiri dari sejarah dan pandangan dunia, mencakup keyakinan, nilai-
       nilai dan religi. Jarak dan sikap terhadap tradisi budaya penting disini, seperti susila
       dan sistim beragama.


 2. Sistim martabat, seperti:
 2.1      Kekeluargaan (yang dikatakan lebih penting bagi orang Asia Timur dari pada
          bagi orang Amerika Utara atau Eropa Barat.
 2.2        Konsep Diri yang dipertimbangkan dalam hal perbedaan biner dalam
          individualisme yang bertentangan dengan kolektivisme, memandang diri sendiri
          sebagai bagian sebuah grup, biasanya keluarga terdekat. Sebagai hasil variabel
          budaya ini, ‘martabat’ berarti baik martabat individu atau martabat kelompok.
 2.3      Hubungan kelompok dalam-kelompok luar yang bagi beberapa budaya sudah
          pasti dan dinegosiasikan dalam percakapan untuk orang lain. Hal tersebut
          dicontohkan dengan baik dalam register dan dalam bentuk sapaan.
 2.4      Gemeinschaft (komunitas, solidaritas sosial; sistim wacana satu adalah ‘terlahir
          dalam’) dan Gesellschaft (masyarakat perusahaan, hubungan kontrak yang
          melindungi minat semua orang; sistim wacana yang dipelajari di tempat kerja).


 3. Bentuk-bentuk wacana termasuk:
 3.1      Fungsi-fungsi bahasa, seperti informasi dan hubungan (menugaskan kepentingan
          relatif yang berbeda dalam budaya yang berbeda); negosiasi hubungan dan

                                                2
ratifikasi atau afirmasi hubungan yang dibentuk dalam masyarakat; keselarasan
          kelompok dan kesejahteraan individu (yang memiliki nilai relative berbeda yang
          melekat pada mereka).
 3.2      Komunikasi non-verbal, mencakup kinesika (gerakan bahasa tubuh, termasuk
          bahasa isyarat. Sebagai contoh, senyuman mungkin memiliki makna wacana
          yang berbeda dalam sistim yang berbeda. Dalam budaya kolektifisme, sebuah
          senyum dapat berarti, perbaikan gangguan atau ketidakselarasan, sementara yang
          individualis cenderung berarti kepuasan pribadi seseorang, perasaan suka atau
          sukses (cf. Scollon dan Scollon 1995: 143); prosemika/proxemics (pemakaian
          tempat, seperti menjaga jarak secara fisik antara interlokutor yang merupakan
          budaya-tertentu); dan konsep waktu (merasakan urgensi waktu yang berlawanan
          menjadi lebih lambat dan menghargai apa yang telah lampau dalam budaya
          dengan sejarah yang panjang dan gemilang. Kedua konsep waktu, menunjukkan
          maju dan mundur, bisa menimbulkan sebuah konflik dalam wacana antar-
          budaya.


 4. Sosialisasi, proses pembelajaran budaya meliputi;
 4.1      Pendidikan (pengajaran dan pembelajaran formal); enculturation (pengajaran dan
       pembelajaran tidak formal pada masa kanak-kanak seseorang); dan acculturation

       (pembelajaran sebuah budaya asing dan mengabaikan miliknya sendiri).
 4.2      Sosialisasi utama dan tambahan (awal, pembelajaran informal dan pembelajaran
          tidak formal selama formal, pendidikan sekolah secara berturut-turut).
 4.3      Teori tentang orang dan pembelajaran- ini merupakan variable budaya yang
          bertanggung jawab bagi fakta bahwa anggapan-anggapan budaya berbeda apakah
          manusia sangat baik atau jahat, apakah kelompok atau individu merupakan unit
          dasar, seperti dalam tingkatan kehidupan yang dibagi dan apa kepentingan yang
          diberikan pada tingkat tersebut.


Perbedaan lintas-budaya tidak harus dipelajari terpisah dari perbedaan intra-budaya yang
diakibatkan oleh variable-variabel sosial budaya yang beragam, seperti umur dan jenis
kelamin. Sebagai contoh, selama ketidaklangsungan dikaitkan, pria Yunani dikatakan

                                              3
seperti wanita Amerika (Tannen 1994). Perbedaan gender penting, jika tidak kita dalam
bahaya stereotip budaya. Lebih lanjut lagi, pebicara biasanya milik lebih dari satu sistim
wacana, kepemilikan kelompok yang berbeda, jaringan hubungan. Semua dalam semua,
budaya mungkin bukanlah satu-satunya hal yang sangat berguna bagi pragmatik lintas-
budaya, meskipun mendefinisikan budaya adalah penting:
     Sebagai contoh, jika dua peserta dalam sebuah wacana yang masing-masing saling berbeda
     dalam pilihannya strategi deduktif atau induktif mereka untuk pendahuluan topik wacana,
     apakah mereka dari budaya yang berbeda atau tidak, mereka akan mengalami kebingungan
     bagaimana menginterpretasikan apa yang sedang dikatakan oleh orang lain. Apa yang
     penting bukanlah perbedaan budaya; tetapi perbedaan dalam strategi budaya retoris khusus.
 Scollon and Scollon (1995: 162)


Kita dapat menyimpulkan bahwa kita memerlukan sebuah unit perbandingan yang lebih
lembut dari pada budaya. Sistim wacana dan ciri-ciri sistim wacana adalah relevan untuk
pragmatik antar-budaya daripada budaya secara keseluruhan.


2. Metabahasa Universil

         Metalangauge adalah semacam bahasa untuk mendeskripsikan bahasa lain3
 Masalah lain dengan studi lintas-budaya adalah bahasa yang kita gambarkan dalam
 perbedaan budaya. Bahasa yang kita gambarkan tidak diperboleh dari bahasa yang
 menjadi obyek diskripsi. Kita memerlukan sasaran (sejauh mungkin) dan alat yang
 universal untuk berbicara mengenai arti dalam berbagai bahasa. Dengan kata lain, kita
 memerlukan sebuah metabahasa yang universil. Jika kita katakan bahwa orang Jepang
 tidak langsung dan orang Amerika langsung, istilah ‘kelangsungan’ tidak berarti sama
 ketika diterapkan dalam kedua budaya tersebut; tidak ada yang mengatakan bahwa pria
 Yunani tidak langsung dan wanita yunani langsung; tidak juga bahwa wanita Amerika
 kurang langsung daripada pria Amerika. ‘Kelangsungan’ harus didefinisikan berbeda
 untuk masing-masing diskripsi harus direlatifkan untuk budaya, tergantung dari fungsi
 yang dijalankan. Masalah metodologi telah dihadirkan dalam karya Anna Wierzbicka

         3
             http://en.wikipedia.org/wiki/Meta.


                                                  4
(1991,1992,1996,1997) dalam prakmatik lintas-budaya. Bagi Wierzbicka, prakmatik,
 studi tentang interaksi linguistik, hanya dapat dilakukan dengan pendekatan latihan
 dalam semantik. Dengan kata lain, untuk membandingkan makna, seseorang harus dapat
 mendefinisikannya lebih dulu:
     Untuk menyatakan makna sebuah kata, sebuah ekspresi atau konstruksi, seseorang
     memerlukan metabahasa semantik… berdasarkan sebuah sistim hipotetik tentang Primitif
     semantik4 semesta… Wierzbicka (1991: 6-7)
Metabahasa ini diekspresikan seperti dikurangi, bahasa Inggris dasar, yang disusun dari
konsepsi dasar dan universal semantik. Hal tersebut merupakan kata-kata yang memiliki
kesepadanannya dalam semua bahasa dan yang tidak dapat pecah-pecah lebih lanjut
menjadi komponen-komponen. Seperti Universil Atomik disebut dengan primitif semantik
/ semantic primitives atau semantik utama/semantic primes. Pencarian untuk prime/ yang
utama adalah empirik. Telah dianggap bahwa primitif konsepsi/ conceptual primitives
dapat ditemukan melalui analisa berbagai bahasa dan bahwa serangkaian primitif
ditegaskan untuk bahasa secara khusus akan menjadi realisasi seseorang, serangkaian
konsep-konsep manusia dasar (lihat Wierzbicka 1996: 13). Dengan kata lain, sistim
semantic bahasa dikatakan ditemukan seperti pada serangkaian primitif konsep-konsep
yang tidak dapat diuraikan. Sebagai contoh, kita mempertimbangkan konsep seperti
‘want’ atau ‘something’ yang tidak dapat diuraikan dalam bahasa Inggris, dan ingin tahu
apakah mereka universil        dan, lebih lanjut lagi, apakah mereka atomik (primitif).
Selanjutnya, kita cek jika bahasa lain memiliki kata atau morfem terikat untuk konsep
tersebut dan jika mereka tidak dapat diuraikan. Serangkaian hipotetik primitif secara
ekstensif diuji untuk banyak bahasa yang berasal dari kelurga bahasa yang berbeda dan
hipotesisnya didukung dengan kuat. Pembagian serangkaian primitif memberikan
penjelasan kemungkinan tentang fakta bahwa komunikasi antar-budaya adalah mungkin.
       Pandangan bahwa adanya semacam serangkaian komponen semantik semesta,
yang dileksikalkan dalam semua bahasa, yang disebut universalisme Semantik/ Semantic
Universalism. Meskipun sistim semantik adalah budaya-spesifik, mereka semua dibangun
dari serangkaian blok bangunan yang sama. Ini berarti, dalam pengertian, mengadopsi baik
universalisme/ universalism dan relatifisme/ relativism.
 4
  Semantik semesta: unsure dan system makna yang tidak terikat pada satu bahasa apapun;
 mis.komponen makna.

                                                 5
Untuk menjumlahkan, ide tentang semantik metabahasa yang alami (henceforth:
NSM) didasarkan pada serangkaian asumsi mengenai konsep dan realisasi linguistic yang
terbaik dipaparkan pada serangkaian kutipan berikut:


     Jika bahasa merupakan alat mengekspresikan makna, kemudian makna, setidaknya secara
     luas, harus kebebasan dari bahasa dan dapat ditransfer dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
     Wierzbicka (1992: 3)


     Makna yang komplek disusun dalam kata-kata yang terpisah mungkin berbeda bahasa ke
     bahasa karena setiap bahasa mungkin memilih kata yang terpisah untuk kombinasi yang
     berbeda-beda dari ide-ide sederhana. Tetapi ‘ide sederhana’, ujaran manusia dan pikiran
     manusia didasarkan, diduga sama untuk semua orang di bumi. (ibid.:9)


     Pencarian untuk ‘abjad pikiran manusia’ seharusnya dihubungkan … dengan pencarian
     universil leksikal, yaitu, untuk konsep-konsep yang telah dileksikalkan (sebagai kata terpisah
     atau morfem) dalam semua bahasa dunia. (ibid.:10)


     Pola budaya dapat dipelajari dalam cara yang dapat dibuktikan dan tidak spekulatif
     berdasarkan semantik linguistik, berakar dalam linguistik yang ditetapkan dan universil
     konsepsi. secara empirik. Wierzbicka (1997:30)


Dan mungkin yang paling kontroversial dari semuanya adalah:
Konsep manusia fundamental merupakan sifat bawaan. Wierzbicka (1996:14)


Cara terbaik untuk menemukan ‘alfabet’ tersebut adalah dengan menemukan versi hipotetis
dari ‘alfabet’ itu dan mengujinya pada sampel besar dari bahasa yang berbeda. Daftar primitif
semantik ikut meningkat seturut berkembangnya penelitian, saat ini kira-kira ada enam puluh.
Menurut Wierzbicka(1996:vii-viii), primitif semantik yang diuji dan disetujui sebagai berikut:
     I, YOU, SOMEONE, SOMETHING, PEOPLE, THIS, THE SAME, OTHER, ONE, TWO,
     MANY(MUCH), ALL, THINK, KNOW, WANT, FEEL, SAY, DO, HAPPEN, GOOD, BAD, BIG,
     SMALL, WHEN, BEFORE, AFTER, WHERE, UNDER, ABOVE, PART(OF), KIND(OF), NOT, CAN,
     VERY, IF, BECAUSE, LIKE,




                                                 6
Dan yang baru-baru ini diajukan adalah:
       SOME, MORE, SEE, HEAR, MOVE, THERE IS, LIVE, FAR, NEAR, SIDE, INSIDE, HERE, A LONG
       TIME, A SHORT TIME, NOW, IF … WOULD, CAN, MAYBE, WORD.


Leksikon tentang pemikiran manusia dalam laporan Wierzbicka dilengkapi dengan gramatika
pemikiran manusia untuk membuat NSM yang penuh. Bahasa ini juga digunakan untuk
menggambarkan konsep yang kompleks, baik konsep universal dan konsep yang berbudaya
spesifik. Sebagai contoh, pernyataan secara tidak langsung(indirectness) dalam bahasa Yunani
dan Jepang dapat diperbandingkan dan dikontraskan dengan definisi dalam versi NSM:
       Pernyataan tidak langsung(indirectness) dalam bahasa Yunani
       I want something.
       I don’t have to say this.
       I think this person will know what I want.
       I think she will do it because of this. Wierzbicka(1991:99)


       Pernyataan tidak langsung(indirectness) dalam bahasa Jepang
       I want something.
       I don’t have to say this.
       I will say something else because of this.
       I think this person will know what I want. (ibid:94)


 Pentingnya     menggambarkan        terminologi     seperti   ketidaklangsungan,      pernyataan   diri,
 solidaritas, ketulusan, keselarasan sosial atau keakraban bagi budaya tertentu jelas-jelas tidak
 ada dalam teori tindak tutur dan kesopanan yang telah dibahas pada Bab 14 dan 15. Diduga,
 kategori universal seperti pertuturan tak langsung, ilokusi atau kekuatan dan jarak pada model
 kesopanan Brown dan Levinson membutuhkan modifikasi budaya spesifik.
         Seperti yang dilihat dalam pembahasan ini, Wierzbicka mendukung pandangan
 berdasar pada semantik yang memasukkan pragmatik, yang disebut semantikisme.
 Semantikisme bukanlah hal baru dalam linguistik. Bentuk dari semantikisme juga didukung
 oleh ahli semantik generatif, yang menurut pendapat mereka kekuatan performatif5 dan ilokusi
 suatu tuturan merupakan bagian dari struktur dalam. Pandangan ini disebut hipotesis

   5
    Performatif: Ujaran yg memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan
   bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan saat itu juga.

                                                    7
performatif dan terkenal pada tahun 1970an. Hipotesis ini tidak dapat dipertahankan dan gugur
tapi tidak berarti semantikisme juga gugur. Wierzbicka menghidupkan kembali semantikisme
versi baru dengan membuat postulat seperangkat komponen semantik yang tetap dan pasti.
Bentuk semantikisme juga dihidupkan kembali dalam Teori Representasi Wacana yang telah
dibahas pada Bab 13, dimana interpretasi standar yang diduga seperti implikatur percakapan6
yang digeneralisasi ditempatkan pada semantik bukan pragmatik.
          Secara keseluruhan, meski masih sangat hipotetis pendekatan Wierzbicka memiliki
kelebihan. Kelebihan utamanya adalah pengenalan akan kebutuhan metabahasa universal untuk
membicarakan perbedaan lintas budaya dalam komunikasi. Pada kajian kontrastif teoritis, kita
memilih sebuah unit perbandingan independen, sebuah kategori universal yang independen,
dan memeriksanya bagaimana keduanya terjadi pada dua sistem dalam kedua bahasa. Kategori
unit perbandingan ini disebut tertium comparationis dan berbeda dengan level analisis
linguistik. Sebagai contoh, fonologi kontrastif akan mempunyai unit perbandingan yang
berbeda dengan semantik kontrastif. Seperangkat prime semantik tersebut adalah tertium
comparationis. Kelemahan utama pendapat ini adalah jatuh pada jebakan etnosentrisme,
meskipun menghindarinya secara pragmatik. Sebagai contoh, Wierzbicka menekankan
keutamaan mengenai kehangatan, kasih sayang, keramahan dalam budaya Mediterania dan
Slavia terekspresikan, misalnya dalam penggunaan diminutif yang luas, dan peranan
kesopanan dan keberanian dalam budaya Polandia. Bias perilaku ini merupakan bukti seperti
dalam kutipan berikut:
        Menurut pendapatku, suatu budaya dimana terdapat terminologi dasar panggilan(address) ‘you’
        digunakan dengan tidak membeda-bedakan setiap orang, tidak dapat dianggap sebagai sesuatu
        yang mementingkan nilai keakraban.                                          Wierzbicka(1991:106)


        Kebiasaan sehari-hari interaksi manusia tercermin dalam bahasa Inggris mendorong perkataan
        bahwa seseorang merasa senang saat dia sebenarnya tidak senang. Hal ini ditunjukkan dengan
        cara yang spektakuler, tidak hanya berupa kebiasaan ‘How are you?’ tapi juga dalam konvensi
        penulisan surat…(ibid:117-118)


Bagian pertama membuktikan suatu asumsi, satu konsep unik tentang keakraban secara salah.
Kutipan yang lain tampaknya berisi suatu kontradiksi: jika perilaku yang digambarkan adalah
 6
     Implikatur percakapan: Makna yg dipahami tapi tidak atau kurang terungkap dalam apa yg diucapkan.

                                                     8
konvensional maka merupakan langkah yang agak tidak berdasar untuk menarik implikatur
tentang ketidaktulusan. Sayangnya, klaim spekulatif dan etnosentris tersebut banyak terdapat
dalam pragmatik lintas budaya.
       Untuk menyimpulkan, sistem budaya tersusun secara berbeda dan dapat menggunakan
strategi percakapan berbeda untuk mencapai akhir yang sama. Budaya yang berbeda memiliki
hirarki nilai yang berbeda yang tercermin pada bahasa. Tapi nilai-nilai budaya hanya dapat
menjelaskan mengapa ketidaklangsungan lebih disukai atau tidak disukai, bukan mengapa
bentuk tidak langsung tertentu lebih disukai daripada yang lain. Oleh karena itu, dalam
pendekatan yang lebih baik, kita mungkin terpaksa harus menghubungkan strategi dengan
konvensi dengan cara yang diajukan oleh Searle. Terlebih lagi, menyusun hirarki nilai
bukanlah hal yang mudah: suatu permintaan yang samar-samar akan keramahan, kesopanan,
otonomi, antidogmatisme suatu budaya tidak akan mencukupi. Prime semantik mungkin juga
tertia comparationis dan metabahasa dimana hal-hal tersebut mengalami kenaikan merupakan
langkah-langkah yang tepat menuju persyaratan deskripsi impartial yang independen pada
sistem wacana. Meskipun NSM Wierzbicka cukup kontroversial dalam detail konstruksinya,
hal itu merupakan suatu usaha menciptakan alat universal untuk membahas bahasa. Scollon
dan daftar Scollon mengenai aspek-aspek budaya antropologis juga memberikan cara
sistematis untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam wacana, walaupun dari
perspektif sosiopragmatik bukan semantik.


3. Pragmatik Bahasa antara(Interlanguage Pragmatics)
Ada pula kajian-kajian tentang strategi-strategi pembelajaran pada bahasa kedua yang disebut
pragmatik bahasa antara. Pragmatik bahasa antara membandingkan realisasi tindak tutur
secara lintas budaya. Sebagai contoh, keluhan ditunjukkan dengan prinsip-prinsip yang sama
dalam bahasa Inggris, Inggris Amerika dan Ibrani. Beberapa strategi linguistik, seperti isyarat,
ditemukan secara universal yang berbeda hanya pada situasi isyarat tersebut dilakukan.
Pragmatik bahasa antara mengungkap tingkat-tingkat dan proses-proses pemerolehan strategi
percakapan oleh pembelajar asing. Jelas pragmatik bahasa antara dapat diterapkan secara
praktis pada pengajaran bahasa.




                                              9
4. Truisme
Lapisan budaya spesifik dari interpretasi ujaran dicontohkan dengan baik dalam tautologi.
Tautologi7, yaitu kalimat yang harus benar, seperti ‘War is war’, ‘He will come or he won’t
come’, ‘Boys are boys’, haruslah tidak informatif, sebagai bukti dari bentuk logisnya:
p = p, p ν ¬p.
Tautologi menyampaikan makna lewat implikatur percakapan dimana mereka mengalami
kenaikan. Banyak tautologi terkonvensional dalam bahasa tertentu. Dalam bahasa Inggris,
seseorang mengatakan (1) bukan (2).
 1) War is war.
 2) Life is life.


Dalam bahasa Rusia keduanya dimungkinkan. Alih-alih kalimat (2), bahasa Inggris
menggunakan yang konvensional (3).
 3) That’s life.


Dengan cara yang sama, bahasa Perancis menggunakan pola (3) (C’est la vie’) tapi juga (4)
(‘C’est la guerre’) bukan (1) (‘La guerre est la guerre’).
 4) That’s war.


Dengan tautologi tersebut, pembicara dapat mengacu baik pada keunikan suatu fenomena atau
pada keunggulan, seperti contoh (5) dalam bahasa Polandia, mengikuti pola ‘What is X is X’.
 5) Co Paryż to Paryż.
            What (is) Paris this (is) Paris.


Dalam bahasa Korea, konstruksi ‘X’ adalah ‘X’ dapat digunakan untuk mengungkapkan
kekaguman atau ketidaksetujuan. Seperti Wierzbicka(1991:396) laporkan, dalam bahasa
Jepang, ‘Saat konstruksi A φs, A φs’ dapat digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang
dianggap tidak mungkin terjadi. Jadi ada pola-pola budaya khusus regular terhadap interpretasi
tautologi dan banyak tautologi dapat digolongkan dalam skema bahasa khusus yang
konvensional. Tampaknya sangat mungkin pendengar tidak memperhitungkan makna tautologi

 7
     Tautologi: penggunaan kelimpahan bahasa. Mis: terlalu amat sangat

                                                    10
dengan menggunakan peribahasa tapi menyimpannya dalam ingatan, serupa dengan
menyimpan makna idiom dan pepatah.
        Harus diperhatikan bahwa truisme yang bukan tautologi seperti (6), mengalami
konvensionalisasi yang serupa, untuk membandingkan (6) dengan tautologi pada (7).
  6) Boys will be boys.
  7) Boys are boys.


Ketergantungan serupa terhadap makna dalam bentuk truisme dapat diamati pada bahasa-
bahasa lain. Untuk meringkasnya:
Tautologi…seperti bejana yang cocok untuk semua tujuan, ke dalamnya dapat dituangkan ‘kebenaran
dasar’ tapi ‘kebenaran dasar’ berbeda pada budaya yang berbeda. Wierzbicka(1991:446)


Pola-polanya produktif. Contohnya, dalam bahasa Inggris, ‘Ni be Ni ’ adalah produktif. Pada
(8) bahkan (9) bukanlah idiom melainkan hasil dari pola produktif.
  8) Business is business.
  9) Enough is enough.




Wierzbicka membedakan properti semantik dari sub-pola seperti berikut:
10a) Nabstr is Nabstr          e.g. War is war.
10b) a N is a N                e.g. A party is a party.
10c) Npl will be Npl           e.g. Boys will be boys.
10d) Nhum.pl are Nhum.pl       e.g. Kids are kids.
10e) The N is the N            e.g. The Law is the law.


Sebagai contoh, pola (10d) mengungkapkan perilaku toleran dan realistis terhadap karakter
manusia. Secara umum, bentuk jamak mengungkapkan toleransi dari suatu stereotipe,
sedangkan bentuk tunggal mengungkapkan kebutuhan penerimaan suatu aturan meskipun
tampilannya kontras. ‘A promise is a promise’ menunjukkan suatu kewajiban, sedangkan
‘Promises are promises’ mengungkapkan toleransi terhadap fakta bahwa janji-janji tidaklah
selalu ditepati. Terlebih, ‘War is war’ mengungkapkan kebutuhan penerimaan suatu stereotipe



                                                  11
sedangkan ‘A war is a war’ mengungkapkan keharusan untuk bertindak dengan perilaku
tertentu.
        Kesimpulan utama yang dapat kita tarik dari kajian ini adalah adanya fitur-fitur wacana
yang berada pada level tengah antara semantik dan pragmatik dan yang membutuhkan
perlakuan terpisah. Hal ini mengingatkan kita pada gagasan Levinson(1995) tentang tiga level
makna yang telah dibahas pada bab 11, bagian 1.4, level tengah yang menjadi interpretasi
gagal, memasukkan juga implikatur yang digeneralisasi dan pra-anggapan yang tidak dapat
direduksi baik menjadi semantik atau pragmatik linguistik. Interpretasi yang gagal ini dapat
berupa budaya khusus. Pada sisi lain, fitur budaya khusus pada wacana dapat dipelajari sebagai
cara budaya khusus untuk meletakkan konsep dasar bersama untuk membentuk ungkapan-
ungkapan, termasuk bentuk panggilan(address), truisme, istilah-istilah untuk emosi. Cara-cara
budaya khusus dengan menggunakan ketidaklangsungan(indirectness) dapat dijelaskan begitu
kita memiliki metabahasa yang memadai. Dalam hal ini, cara-cara tersebut disemantikkan.


5. Epidemiologi Representasi
      Penulis akan menyimpulkan penjelasan dari pemahaman kajian lintas budaya dari
pandangan Dan Sperber terhadap kebudayaan antropologi. Umumnya, berikut ini adalah
bagaimana Sperber menjelaskan kebudayaan:
Gagasan dapat ditransfer, yang ditransfer dari satu orang ke orang lain, mereka bahkan
menyebarluaskan. Beberapa gagasan – kepercayaan agama, resep masakan atau hipotesa ilmiah,
contohnya menyebarluaskan dengan efektif sehingga dalam versi yang berbeda mereka akhirnya
menyerang seluruh populasi dalam waktu yang lama. Kebudayaan terbentuk, pertama dan terpenting
dari gagasan yang menular. Untuk menjelaskan kebudayaan, kemudian untuk menjelaskan kenapa dan
bagaimana beberapa gagasan itu begitu menular. Hal ini membutuhkan perkembangan representasi
epidemiologi yang benar. Spreber (1996:1)


Dengan kata lain, untuk menjelaskan bagaimana budaya itu terbentuk kita harus mempelajari
penyebaran kepercayaan dan gagasan-gagasan yang populer. Memori dan komunikasi yang
berlangsung mempengaruhi informasi asli dan merubahnya. Sehingga budaya yang dijelaskan
meringkaskan penjelasan distribusi gagasan dalam populasi, menjelaskan bagaimana individu
memproses pengambilan gagasan hingga penyebaran terakhir. Ini adalah gagasan yang paling
terkenal dalam antropologi dan sosiopragmatik. Hal ini intinya adalah pendekatan Darwinian

                                             12
dihubungkan dengan pendekatan Cavalli-Sforza dan Dawkins, saat gagasan Darwin mengenai
seleksi diterapkan di kebudayaan. Sperber menyebutnya pendekatan naturalistik, karena
masalah-masalah sosial didekati melalui kajian kognisi, kerja pikiran, melalui proses psikologi
individu yang bergabung membentuk masyarakat. Karena memori dan komunikasi
menyalurkan gagasan asli, gagasan disimpan sebgai representasi dan dalam membahas budaya
kita membicarakan psikologi kognitif. Inilah bagaimana masalah-masalah sosial di
naturalisasikan. Dengan kata lain:
Fenomena sosial-budaya, dalam pendekatan ini, adalah pola-pola ekologi dari fenomena psikologi.
Fakta-fakta sosiologi, didefinisikan dalam istilah fakta psikologi, tetapi tidak menguranginya. Sperber
(1996:31)


      Orang memiliki representasi situasi. Representasi yang sering diulang, dikomunikasikan
menjadi representasi budaya dari kelompok masyarakat. Representasi merupakan kepercayaan,
norma, mitos, teknik, klasifikasi bersama dan sebagainya. Representasi disampaikan dengan
memproduksi representasi lainnya yang berupa deskripsi atau interpretasi dari representasi
yang asli (lihat diagram Sperber dan Wilson 1986:232). Interpretasi muncul saat, contohnya
kita perlu memperluas isi dari beberapa kepercayaan suku sehingga dapat dipahami. Kita
sering melakukan interpretasi yang spekulatif dan tidak lengkap untuk memahami representasi
lainnya, khususnya ketika mereka adalah representasi budaya yang berbeda.
      Sperber juga menjelaskan bentuk dari konsep dengan bantuan epidemiologi. Ia
menyarankan adanya konsep dasar yang berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip yang
bawaan:
Saya mengasumsikan bahwa kita memiliki disposisi bawaan(innate disposition) untuk mengembangkan
konsep berdasar skema tertentu. Kami memiliki skema yang berbeda untuk medan makna(domain)
yang berbeda: jenis konsep hidup kami cenderung menjadi taksonomis; konsep artefak kami cenderung
menjadi ciri dalam istilah fungsi; konsep warna kami cenderung menjadi pusat dalam focal hues; dll.
Konsep yang memenuhi skema ini dengan mudah diinternalisasi dan diingat. Kita sebut dengan konsep
dasar. Bagian besar dari konsep dasar ditemukan di setiap bahasa. Tentunya konsep dasar itu berbeda
dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi tidak terlalu berbeda. Konsep dasar bahasa lainnya cenderung
mudah untuk dipahami, dipelajari dan diterjemahkan secara komparatif. Sperber (1996:69).




                                                13
Pandangan Sperber berbeda dengan konsep Wierzbicka, menurut Sperber prime
semantiknya universal dan bawaan. Sperber menghilangkan dekomposisi leksikal(lihat bab I)
sebagai metode mencari prime semantik dengan menunjukkan bahwa seperangkat konsep
bawaan akan menjadi sangat besar dan terlebih lagi tidaklah beralasan untuk mengharapkan
anak kecil menciptakan konsep. Sebagai contoh kata MOTHER(ibu), ada diluar dari konsep
PARENT(orangtua) dan FEMALE(perempuan). Lebih mungkin bahwa PARENT(orangtua)
merupakan konsep yang lebih rumit, hasil dari kombinasi dari konsep MOTHER(Ibu) dan
FATHER(Ayah) (lihat Sperber 1996:68). Terlebih lagi, beberapa konsep rumit, sebagai contoh
konsep agama dan ilmiah, memerlukan representasi yang rumit di dunia.
     Mengulang penjelasan diatas, sebagai tambahan terhadap memiliki representasi langsung
dari kenyataan, manusia juga dapat menggambarkan representasi orang lain, representasi
mereka sendiri dan keadaan mental. Inilah yang disebut dengan metarepresenting dan sebagai
contoh sikap ketidakpercayaan atau keragu-raguan terhadap representasi. Metarepresenting
juga membolehkan kita untuk menyimpan representasi yang tidak sepenuhnya dipahami.
Beberapa gagasan yang setengah dipahami selangkah menuju ke pemahaman penuh, lainnya
menciptakan misteri yang menyebar di masyarakat. Representasi yang sesuai dengan
representasi budaya lainnya dan yang tidak sepenuhnya diinterpretasikan adalah yang paling
berhasil dan mengarahkan apa yang kita lihat sebagai kepercayaan budaya irasional. Tetapi,
ketika kita melihatnya sebagai gagasan yang setengah dimengerti, hal itu tampaknya tidak
rasional (cf. Sperber 1996:73). Sperber (1985:35) memberikan beberapa contoh. Anggota suku
di Ethiopia Selatan mendatangi dan memintanya untuk membunuh naga yang hatinya terbuat
dari emas, yang memiliki tanduk di lehernya dan tinggal di suatu tempat di dekat sini. Sperber
percaya bahwa anggota suku itu orang yang rasional, terhormat, tapi bagaimana bisa orang
yang rasional percaya bahwa seekor naga hidup di dekatnya? Hal ini adalah contoh dari adanya
kepercayaan irasional. Banyak antropolog mengatakan bahwa orang yang berbudaya berbeda
hidup di dunia yang berbeda, kepercayaan terhadap naga dapat menjadi rasional di beberapa
kebudayaan. Antropolog lainnya mengacu pada simbolisme. Malahan Sperber mengusulkan
rasionalisme. Ia mengatakan bahwa orang dapat memiliki berbagai jenis dan tingkat komitmen
terhadap kepercayaan. Tidak semua kepercayaan diselenggarakan dengan cara yang sama,
sehingga kriteria rasionalnya dapat berbeda. (Seolah-olah mengkonfirmasikan klaim, Sperber
segera bereaksi terhadap permintaan anggota suku bahwa ia tidak memiliki senjata!)

                                            14
Kepercayaan biasanya telah dianggap, paling tidak sejak Russel, sebagai jenis yang sikap
propositional, sebuah sikap untuk sebuah entitas yang bisa benar atau salah. Sperber mengikis
tradisi ini:
Objek dari ’sikap proposisional’, gagasan yang kita pegang atau perhitungkan, tidak selalu
proposisional dalam karakter. Akan keliru untuk mendefinisikan ’berbicara’ sebagai ’kalimat ujaran’,
itu sebuah kekeliruan, saya sarankan, untuk menentukan berpikir dalam istilah dari sikap ke proposisi:
banyak ujaran kita yang tidak sama dengan kalimat tetapi untaian semi-grammatikal; serupa dengan itu,
banyak pemikiran kita yang disebut dengan semi-proposisional, mereka memperkirakan tetapi tidak
dapat mencapai proposisionalitas...Jika benar bahwa objek kepercayaan itu proposisi, maka kita hanya
dapat percaya gagasan yang kita pahami seluruhnya. Saya berpendapat kita juga dapat berpegang pada
kepercayaan sebagai gagasan yang tidak sepenuhnya dipahami. Sperber (1985:51).


Kepercayaan orang suku terhadap naga emas tersebut disebut kepercayaan yang setengah
dipahami. Jadi ada representasi proposisional yang sesuai dengan gagasan yang sepenuhnya
dipahami dan representasi semi-proposisional yang sesuai dengan gagasan yang tidak
sepenuhnya dipahami. Ada representasi konseptual yang tidak mengenal proposisi unik,
beberapa konsep menghilang. Representasi tersebut bukanlah kepercayaan faktual tapi
kepercayaan representasional. Oleh karenanya, ada empat kelas kepercayaan potensial: (i)
kepercayaan faktual dengan isi proporsisional yang rasional dan berdasarkan pengamatan; (ii)
kepercayaan faktual dengan isi semi-proporsisional(yang biasanya tidak terjadi); (iii)
kepercayaan representasional dengan isi proposisional, seperti asumsi ilmiah yang tidak
sepenuhnya dipercaya; (iv) kepercayaan representasional dengan isi semi-proposisional, seperti
kepercayaan beragama dan misteri(Sperber 1985:58). Kepercayaan kultural merupakan
kepercayaan representasional. Kepercayaan faktual disebut juga intuitif, sedangkan
kepercayaan representasional disebut reflektif. Kepercayaan intuitif berdasar pada mekanisme
bawaan dan universal dan yang berdasar pada persepsi dan inferens dan oleh karenanya serupa
di berbagai budaya. Kepercayaan reflektif tidaklah faktual dan bukan dasar tapi dipercaya
karena tertempel pada kepercayaan intuitif. Kepercayaan itu mungkin hanya setengahnya
dipahami dan mengarahkan ke pengetahuan ilmiah atau misteri bahkan religius. Kepercayaan
misterius merupakan kepercayaan yang berbeda lintas budaya dan dapat muncul irasional dari
sudut pandang budaya lain(Sperber 2996:91-92,1997). Dengan kata lain:



                                                15
Menjelaskan kepercayaan kultural, baik intuitif atau reflektif, dan jika reflektif, baik setengah dipahami
atau dipahami seluruhnya, melibatkan dua hal: bagaimana kepercayaan diketahui oleh individu-individu
dan bagaimana kepercayaan dikomunikasikan di dalam suatu kelompok; atau mengatakannya dalam
sloga: Budaya merupakan kognisi dan komunikasi yang lebih cepat di dalam suatu populasi manusia.
Sperber(1996:97)


Penelitian pragmatik tidak terlepas dari keterlibatan masalah perbedaan kepercayaan dan
komunikasi lintas budaya.


6. Kesimpulan
Perspektif yang ada dalam bab ini jelas menunjukkan perlunya untuk mengamati perilaku
manusia, termasuk perilaku verbal, dalam konteks budaya antropologis. Baik Wierzbicka dan
Sperber menekankan bahwa ada beberapa jenis kepercayaan yang ketika diungkapkan tidak
mudah diinterpretasi oleh anggota masyarakat yang lain, baik karena konsep budaya khusus
atau karena metapresentasi. Meski tampaknya tidak benar bahwa orang yang berbeda budaya
hidup di dunia yang berbeda, kita harus tahu sesuatu tentang budaya yang dapat
menggolongkan dan menggambarkan kepercayaan. Usulan baik tentang primitif semantik dan
epidemiologi representasi menegaskan hal itu.
        Akhirnya, dibahas pula mengenai apa peranan pragmatik dalam kajian pragmatik lintas
budaya. Apakah teori pragmatik, teori inferens seperti teori implikatur Gricean, atau
pendekatan tidak teoritis terhadap penggunaan bahasa? Tampaknya saat ini tetaplah peranan
yang terakhir, tapi begitu perbedaan lintas budaya dikenali dan ditempatkan pada level tengah
dari makna jenis ujaran yang konvensional, kita mungkin dapat memiliki pragmatik yang
memadai dalam makna yang lebih sempit dan teoritis.




                                                  16

More Related Content

What's hot

Pertemuan 6 kohesi dan koherensi
Pertemuan 6 kohesi dan koherensiPertemuan 6 kohesi dan koherensi
Pertemuan 6 kohesi dan koherensiAinul Fikri
 
KEDWIBAHASAAN (BILINGUALISME)
KEDWIBAHASAAN (BILINGUALISME)KEDWIBAHASAAN (BILINGUALISME)
KEDWIBAHASAAN (BILINGUALISME)Lita Tania
 
Rpp Bahasa Inggris SMK kelas X teks Narative
Rpp Bahasa Inggris SMK kelas X teks NarativeRpp Bahasa Inggris SMK kelas X teks Narative
Rpp Bahasa Inggris SMK kelas X teks NarativeSiti Purwaningsih
 
Makalah alih kode dan campur kode
Makalah alih kode dan campur kodeMakalah alih kode dan campur kode
Makalah alih kode dan campur kodeYuliana Aminulloh
 
RPP KD.3.10 & 4.10 TEKS NEGOSIASI
RPP KD.3.10 & 4.10 TEKS NEGOSIASI RPP KD.3.10 & 4.10 TEKS NEGOSIASI
RPP KD.3.10 & 4.10 TEKS NEGOSIASI Endang Pristiawaty
 
Contoh proposal skripsi bahasa inggris
Contoh proposal skripsi bahasa inggrisContoh proposal skripsi bahasa inggris
Contoh proposal skripsi bahasa inggrisDikha Wijanarko
 
Norm Reference Test and Criterion Referenced Test
Norm Reference Test and Criterion Referenced TestNorm Reference Test and Criterion Referenced Test
Norm Reference Test and Criterion Referenced TestDina Azmi Imada
 
Rpp b. inggris kls 7 model pj bl
Rpp b. inggris kls 7 model pj blRpp b. inggris kls 7 model pj bl
Rpp b. inggris kls 7 model pj blMomon Nurohman
 
ATP kurikulum merdeka smk ridwan prihatmanto.docx
ATP kurikulum merdeka smk ridwan prihatmanto.docxATP kurikulum merdeka smk ridwan prihatmanto.docx
ATP kurikulum merdeka smk ridwan prihatmanto.docxione40
 
Teknik Penerjemahan
Teknik PenerjemahanTeknik Penerjemahan
Teknik PenerjemahanHikmat G.
 
LANDASAN PENULISAN BUKU TEKS
LANDASAN PENULISAN BUKU TEKSLANDASAN PENULISAN BUKU TEKS
LANDASAN PENULISAN BUKU TEKSNurulbanjar1996
 
RPP bahasa Inggris SMP (introducing-speaking skill )
RPP bahasa Inggris SMP (introducing-speaking skill )RPP bahasa Inggris SMP (introducing-speaking skill )
RPP bahasa Inggris SMP (introducing-speaking skill )santi damayanti
 
TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTUR
TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTURTINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTUR
TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTURNurulbanjar1996
 
Genre based approach
Genre based approachGenre based approach
Genre based approachPapa Kayla
 

What's hot (20)

Pertemuan 6 kohesi dan koherensi
Pertemuan 6 kohesi dan koherensiPertemuan 6 kohesi dan koherensi
Pertemuan 6 kohesi dan koherensi
 
KEDWIBAHASAAN (BILINGUALISME)
KEDWIBAHASAAN (BILINGUALISME)KEDWIBAHASAAN (BILINGUALISME)
KEDWIBAHASAAN (BILINGUALISME)
 
Rpp Bahasa Inggris SMK kelas X teks Narative
Rpp Bahasa Inggris SMK kelas X teks NarativeRpp Bahasa Inggris SMK kelas X teks Narative
Rpp Bahasa Inggris SMK kelas X teks Narative
 
Konsep dan bagian pragmatik
Konsep dan bagian pragmatikKonsep dan bagian pragmatik
Konsep dan bagian pragmatik
 
Makalah alih kode dan campur kode
Makalah alih kode dan campur kodeMakalah alih kode dan campur kode
Makalah alih kode dan campur kode
 
RPP KD.3.10 & 4.10 TEKS NEGOSIASI
RPP KD.3.10 & 4.10 TEKS NEGOSIASI RPP KD.3.10 & 4.10 TEKS NEGOSIASI
RPP KD.3.10 & 4.10 TEKS NEGOSIASI
 
Tahapan apresiasi Drama
Tahapan apresiasi Drama Tahapan apresiasi Drama
Tahapan apresiasi Drama
 
Contoh proposal skripsi bahasa inggris
Contoh proposal skripsi bahasa inggrisContoh proposal skripsi bahasa inggris
Contoh proposal skripsi bahasa inggris
 
Norm Reference Test and Criterion Referenced Test
Norm Reference Test and Criterion Referenced TestNorm Reference Test and Criterion Referenced Test
Norm Reference Test and Criterion Referenced Test
 
Rpp b. inggris kls 7 model pj bl
Rpp b. inggris kls 7 model pj blRpp b. inggris kls 7 model pj bl
Rpp b. inggris kls 7 model pj bl
 
ATP kurikulum merdeka smk ridwan prihatmanto.docx
ATP kurikulum merdeka smk ridwan prihatmanto.docxATP kurikulum merdeka smk ridwan prihatmanto.docx
ATP kurikulum merdeka smk ridwan prihatmanto.docx
 
Teknik Penerjemahan
Teknik PenerjemahanTeknik Penerjemahan
Teknik Penerjemahan
 
LANDASAN PENULISAN BUKU TEKS
LANDASAN PENULISAN BUKU TEKSLANDASAN PENULISAN BUKU TEKS
LANDASAN PENULISAN BUKU TEKS
 
RPP bahasa Inggris SMP (introducing-speaking skill )
RPP bahasa Inggris SMP (introducing-speaking skill )RPP bahasa Inggris SMP (introducing-speaking skill )
RPP bahasa Inggris SMP (introducing-speaking skill )
 
TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTUR
TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTURTINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTUR
TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTUR
 
Genre based approach
Genre based approachGenre based approach
Genre based approach
 
Menyunting (KD : 4.3)
Menyunting (KD : 4.3)Menyunting (KD : 4.3)
Menyunting (KD : 4.3)
 
Ki kd bhs inggris kls 11 wajib
Ki kd bhs inggris kls 11 wajibKi kd bhs inggris kls 11 wajib
Ki kd bhs inggris kls 11 wajib
 
Pragmatik
PragmatikPragmatik
Pragmatik
 
Semantik
SemantikSemantik
Semantik
 

Similar to Pragmatik Lintas Budaya

Kepdas epi.13
 Kepdas epi.13 Kepdas epi.13
Kepdas epi.13fadzan
 
Konseling lintas sosial
Konseling lintas sosialKonseling lintas sosial
Konseling lintas sosialSarahBela25
 
Vol 1 no_1_desember_2014_6_rukman_pala-80e7f-2142_509
Vol 1 no_1_desember_2014_6_rukman_pala-80e7f-2142_509Vol 1 no_1_desember_2014_6_rukman_pala-80e7f-2142_509
Vol 1 no_1_desember_2014_6_rukman_pala-80e7f-2142_509STISIPWIDURI
 
muhammad syafroni ppt (12140310971).pptx
muhammad syafroni  ppt (12140310971).pptxmuhammad syafroni  ppt (12140310971).pptx
muhammad syafroni ppt (12140310971).pptxTEDIRAMADANI
 
PERBEDAAN KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
PERBEDAAN  KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHANPERBEDAAN  KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
PERBEDAAN KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHANardeliatriyaniPutri
 
Intercultural communication
Intercultural communication Intercultural communication
Intercultural communication Ratih Aini
 
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budayaPengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budayaNur Arifaizal Basri
 
10 learn theoryhistory
10 learn theoryhistory10 learn theoryhistory
10 learn theoryhistoryIda Putri
 
Kajh 4 abdullah (59 81)a[1]
Kajh 4 abdullah (59 81)a[1]Kajh 4 abdullah (59 81)a[1]
Kajh 4 abdullah (59 81)a[1]Sarina Salim
 
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARAKONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARAAkifah5
 
Komunikasi antar budaya 1
Komunikasi antar budaya 1Komunikasi antar budaya 1
Komunikasi antar budaya 1maneicon22
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanImmawan Awaluddin
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanImmawan Awaluddin
 
Pluralisme dan gender
Pluralisme dan genderPluralisme dan gender
Pluralisme dan genderIrwan Fauzi
 
Komunikasi antarbudaya dan komunikasi organisasi
Komunikasi antarbudaya dan komunikasi organisasiKomunikasi antarbudaya dan komunikasi organisasi
Komunikasi antarbudaya dan komunikasi organisasiputiandinis
 

Similar to Pragmatik Lintas Budaya (20)

Kepdas epi.13
 Kepdas epi.13 Kepdas epi.13
Kepdas epi.13
 
Konseling lintas sosial
Konseling lintas sosialKonseling lintas sosial
Konseling lintas sosial
 
Budaya konteks multikultural
Budaya konteks multikulturalBudaya konteks multikultural
Budaya konteks multikultural
 
Vol 1 no_1_desember_2014_6_rukman_pala-80e7f-2142_509
Vol 1 no_1_desember_2014_6_rukman_pala-80e7f-2142_509Vol 1 no_1_desember_2014_6_rukman_pala-80e7f-2142_509
Vol 1 no_1_desember_2014_6_rukman_pala-80e7f-2142_509
 
PLURALISME AGAMA.pptx
 PLURALISME AGAMA.pptx PLURALISME AGAMA.pptx
PLURALISME AGAMA.pptx
 
Ari permana
Ari permanaAri permana
Ari permana
 
muhammad syafroni ppt (12140310971).pptx
muhammad syafroni  ppt (12140310971).pptxmuhammad syafroni  ppt (12140310971).pptx
muhammad syafroni ppt (12140310971).pptx
 
PERBEDAAN KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
PERBEDAAN  KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHANPERBEDAAN  KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
PERBEDAAN KARAKTER DALAM BERINTERAKSI SOSIAL YANG MENYEBABKAN PERPECAHAN
 
Intercultural communication
Intercultural communication Intercultural communication
Intercultural communication
 
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budayaPengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
Pengertian masyarakat dan kaitannya dengan konseling lintas budaya
 
10 learn theoryhistory
10 learn theoryhistory10 learn theoryhistory
10 learn theoryhistory
 
Kajh 4 abdullah (59 81)a[1]
Kajh 4 abdullah (59 81)a[1]Kajh 4 abdullah (59 81)a[1]
Kajh 4 abdullah (59 81)a[1]
 
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARAKONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
KONFLIK YANG DITIMBULKAN PERBEDAAN BAHASA DAN GAYA BICARA
 
Komunikasi antar budaya 1
Komunikasi antar budaya 1Komunikasi antar budaya 1
Komunikasi antar budaya 1
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatan
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatan
 
Sosio project
Sosio projectSosio project
Sosio project
 
Sosio project
Sosio projectSosio project
Sosio project
 
Pluralisme dan gender
Pluralisme dan genderPluralisme dan gender
Pluralisme dan gender
 
Komunikasi antarbudaya dan komunikasi organisasi
Komunikasi antarbudaya dan komunikasi organisasiKomunikasi antarbudaya dan komunikasi organisasi
Komunikasi antarbudaya dan komunikasi organisasi
 

More from Churifiani Eva

Student development (perkembangan siswa)
Student development (perkembangan siswa)Student development (perkembangan siswa)
Student development (perkembangan siswa)Churifiani Eva
 
Student development (perkembangan siswa)
Student development (perkembangan siswa)Student development (perkembangan siswa)
Student development (perkembangan siswa)Churifiani Eva
 
Analisis Novel Perempuan Kembang Jepun
Analisis Novel Perempuan Kembang JepunAnalisis Novel Perempuan Kembang Jepun
Analisis Novel Perempuan Kembang JepunChurifiani Eva
 

More from Churifiani Eva (6)

Student development (perkembangan siswa)
Student development (perkembangan siswa)Student development (perkembangan siswa)
Student development (perkembangan siswa)
 
Student development (perkembangan siswa)
Student development (perkembangan siswa)Student development (perkembangan siswa)
Student development (perkembangan siswa)
 
Analisis Novel Perempuan Kembang Jepun
Analisis Novel Perempuan Kembang JepunAnalisis Novel Perempuan Kembang Jepun
Analisis Novel Perempuan Kembang Jepun
 
Statistik ii
Statistik iiStatistik ii
Statistik ii
 
Statistik ii
Statistik iiStatistik ii
Statistik ii
 
Statistik Peluang
Statistik PeluangStatistik Peluang
Statistik Peluang
 

Pragmatik Lintas Budaya

  • 1. Pragmatik Lintas Budaya 1. Budaya Antropologi dan Sistem Wacana Penelitian pragmatik lintas budaya terkenal tidak jelas dan banyak klaim yang masih hipotetik dan spekulatif. Akan tetapi banyak kajian-kajian penting yang lebih memberikan pencerahan dalam teori sematik dan pragmatik. Dalam bab ini akan dipaparkan sebagian saja, mulai dari usaha-usaha mendefinisikan hal-hal yang menyangkut budaya dan menggolongkan perbedaan-perbedaan antar-budaya. Pada bab 14 telah dikaji bahwa perbedaan makna dan bentuk tindak tutur/pertuturan dalam budaya-budaya yang berbeda harus diakui dalam berbagai pendekatan yang berhasil terhadap komunikasi. Apa yang dimaksud dengan ilokusi 1 dalam sutu budaya mungkin merupakan perlokusi2 dalam budaya lain, dan tindak tutur/pertuturan khusus mungkin memerlukan jenis-jenis tindakan yang berbeda sebagai respon budaya yang berbeda. Perbedaan lintas budaya yang nyata dalam komunikasi dapat dikaitkan guna menghadapi hubungan. Masyarakat dengan preferensi solidaritas simetris menggunakan bentuk sapaan yang berbeda, nilai-nilai kekuasaan yang berbeda, Jarak dan tingkat gangguan yang berbeda, bagi formula Brown dan Levinson (1987), daripada masyarakat dengan preferensi untuk perbedaan simetris. Bahasa Inggris Amerika merupakan contoh solidaritas simetrik, seperti yang ditentang orang Cina yang kebih menyukai perbedaan. Komunikasi lintas budaya, komunikasi antara perwakilan- perwakilan dari sistim wacana yang berbeda, sering terpecah-pecah karena kurangnya pengenalan terhadap perbedaan tersebut. Tetapi, meskipun jika kita menggambarkan perbedaan-perbedaan tersebut, akan muncul kesulitan lain yang terlahir dalam benak, yaitu: Sejauh mana individu Cina atau Amerika, Korea atau Inggris, Australia atau Singapura secara pribadi menunjukkan keyakinan budayanya, dan apakah kepercayaan tersebut menimbulkan perbedaan berarti dalam kemampuannya berkomunikasi…? Scollen dan Scolon (1995:126) 1 Ilokusi: tindakan menghimbau, menasehati, dan memrintah si alamat. 2 Perlokusi: tindakan membujuk. 1
  • 2. Dengan kata lain, dalam melakukan studi pragmatik lintas budaya, penting untuk menghindari stereotip yang tidak beralasan. Masalah ini akan dibahas lebih detail pada pembahasan bagian 5 dan pandangan Sperber terhadap keyakinan budaya. Dalam kata sifat ‘lintas-budaya’, pengacuan dibuat bukan untuk budaya sebagai prestasi intelektual dan artistik tetapi lebih kepada organisasi sosial dan kebiasaan sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, ‘budaya’ mengacu kepada budaya anthropologi. Ada beberapa aspek budaya antropologi yang menggunakan pengaruh tertentu pada wacana yang berperan dalam system wacana. Menurut Scollon dan Scollon (1995: 127-128), pengaruh tersebut mencakup idiologi, sistim martabat, bentuk wacana dan sosialisasi, dan disusun sebagai berikut; 1. Idiologi, yang terdiri dari sejarah dan pandangan dunia, mencakup keyakinan, nilai- nilai dan religi. Jarak dan sikap terhadap tradisi budaya penting disini, seperti susila dan sistim beragama. 2. Sistim martabat, seperti: 2.1 Kekeluargaan (yang dikatakan lebih penting bagi orang Asia Timur dari pada bagi orang Amerika Utara atau Eropa Barat. 2.2 Konsep Diri yang dipertimbangkan dalam hal perbedaan biner dalam individualisme yang bertentangan dengan kolektivisme, memandang diri sendiri sebagai bagian sebuah grup, biasanya keluarga terdekat. Sebagai hasil variabel budaya ini, ‘martabat’ berarti baik martabat individu atau martabat kelompok. 2.3 Hubungan kelompok dalam-kelompok luar yang bagi beberapa budaya sudah pasti dan dinegosiasikan dalam percakapan untuk orang lain. Hal tersebut dicontohkan dengan baik dalam register dan dalam bentuk sapaan. 2.4 Gemeinschaft (komunitas, solidaritas sosial; sistim wacana satu adalah ‘terlahir dalam’) dan Gesellschaft (masyarakat perusahaan, hubungan kontrak yang melindungi minat semua orang; sistim wacana yang dipelajari di tempat kerja). 3. Bentuk-bentuk wacana termasuk: 3.1 Fungsi-fungsi bahasa, seperti informasi dan hubungan (menugaskan kepentingan relatif yang berbeda dalam budaya yang berbeda); negosiasi hubungan dan 2
  • 3. ratifikasi atau afirmasi hubungan yang dibentuk dalam masyarakat; keselarasan kelompok dan kesejahteraan individu (yang memiliki nilai relative berbeda yang melekat pada mereka). 3.2 Komunikasi non-verbal, mencakup kinesika (gerakan bahasa tubuh, termasuk bahasa isyarat. Sebagai contoh, senyuman mungkin memiliki makna wacana yang berbeda dalam sistim yang berbeda. Dalam budaya kolektifisme, sebuah senyum dapat berarti, perbaikan gangguan atau ketidakselarasan, sementara yang individualis cenderung berarti kepuasan pribadi seseorang, perasaan suka atau sukses (cf. Scollon dan Scollon 1995: 143); prosemika/proxemics (pemakaian tempat, seperti menjaga jarak secara fisik antara interlokutor yang merupakan budaya-tertentu); dan konsep waktu (merasakan urgensi waktu yang berlawanan menjadi lebih lambat dan menghargai apa yang telah lampau dalam budaya dengan sejarah yang panjang dan gemilang. Kedua konsep waktu, menunjukkan maju dan mundur, bisa menimbulkan sebuah konflik dalam wacana antar- budaya. 4. Sosialisasi, proses pembelajaran budaya meliputi; 4.1 Pendidikan (pengajaran dan pembelajaran formal); enculturation (pengajaran dan pembelajaran tidak formal pada masa kanak-kanak seseorang); dan acculturation (pembelajaran sebuah budaya asing dan mengabaikan miliknya sendiri). 4.2 Sosialisasi utama dan tambahan (awal, pembelajaran informal dan pembelajaran tidak formal selama formal, pendidikan sekolah secara berturut-turut). 4.3 Teori tentang orang dan pembelajaran- ini merupakan variable budaya yang bertanggung jawab bagi fakta bahwa anggapan-anggapan budaya berbeda apakah manusia sangat baik atau jahat, apakah kelompok atau individu merupakan unit dasar, seperti dalam tingkatan kehidupan yang dibagi dan apa kepentingan yang diberikan pada tingkat tersebut. Perbedaan lintas-budaya tidak harus dipelajari terpisah dari perbedaan intra-budaya yang diakibatkan oleh variable-variabel sosial budaya yang beragam, seperti umur dan jenis kelamin. Sebagai contoh, selama ketidaklangsungan dikaitkan, pria Yunani dikatakan 3
  • 4. seperti wanita Amerika (Tannen 1994). Perbedaan gender penting, jika tidak kita dalam bahaya stereotip budaya. Lebih lanjut lagi, pebicara biasanya milik lebih dari satu sistim wacana, kepemilikan kelompok yang berbeda, jaringan hubungan. Semua dalam semua, budaya mungkin bukanlah satu-satunya hal yang sangat berguna bagi pragmatik lintas- budaya, meskipun mendefinisikan budaya adalah penting: Sebagai contoh, jika dua peserta dalam sebuah wacana yang masing-masing saling berbeda dalam pilihannya strategi deduktif atau induktif mereka untuk pendahuluan topik wacana, apakah mereka dari budaya yang berbeda atau tidak, mereka akan mengalami kebingungan bagaimana menginterpretasikan apa yang sedang dikatakan oleh orang lain. Apa yang penting bukanlah perbedaan budaya; tetapi perbedaan dalam strategi budaya retoris khusus. Scollon and Scollon (1995: 162) Kita dapat menyimpulkan bahwa kita memerlukan sebuah unit perbandingan yang lebih lembut dari pada budaya. Sistim wacana dan ciri-ciri sistim wacana adalah relevan untuk pragmatik antar-budaya daripada budaya secara keseluruhan. 2. Metabahasa Universil Metalangauge adalah semacam bahasa untuk mendeskripsikan bahasa lain3 Masalah lain dengan studi lintas-budaya adalah bahasa yang kita gambarkan dalam perbedaan budaya. Bahasa yang kita gambarkan tidak diperboleh dari bahasa yang menjadi obyek diskripsi. Kita memerlukan sasaran (sejauh mungkin) dan alat yang universal untuk berbicara mengenai arti dalam berbagai bahasa. Dengan kata lain, kita memerlukan sebuah metabahasa yang universil. Jika kita katakan bahwa orang Jepang tidak langsung dan orang Amerika langsung, istilah ‘kelangsungan’ tidak berarti sama ketika diterapkan dalam kedua budaya tersebut; tidak ada yang mengatakan bahwa pria Yunani tidak langsung dan wanita yunani langsung; tidak juga bahwa wanita Amerika kurang langsung daripada pria Amerika. ‘Kelangsungan’ harus didefinisikan berbeda untuk masing-masing diskripsi harus direlatifkan untuk budaya, tergantung dari fungsi yang dijalankan. Masalah metodologi telah dihadirkan dalam karya Anna Wierzbicka 3 http://en.wikipedia.org/wiki/Meta. 4
  • 5. (1991,1992,1996,1997) dalam prakmatik lintas-budaya. Bagi Wierzbicka, prakmatik, studi tentang interaksi linguistik, hanya dapat dilakukan dengan pendekatan latihan dalam semantik. Dengan kata lain, untuk membandingkan makna, seseorang harus dapat mendefinisikannya lebih dulu: Untuk menyatakan makna sebuah kata, sebuah ekspresi atau konstruksi, seseorang memerlukan metabahasa semantik… berdasarkan sebuah sistim hipotetik tentang Primitif semantik4 semesta… Wierzbicka (1991: 6-7) Metabahasa ini diekspresikan seperti dikurangi, bahasa Inggris dasar, yang disusun dari konsepsi dasar dan universal semantik. Hal tersebut merupakan kata-kata yang memiliki kesepadanannya dalam semua bahasa dan yang tidak dapat pecah-pecah lebih lanjut menjadi komponen-komponen. Seperti Universil Atomik disebut dengan primitif semantik / semantic primitives atau semantik utama/semantic primes. Pencarian untuk prime/ yang utama adalah empirik. Telah dianggap bahwa primitif konsepsi/ conceptual primitives dapat ditemukan melalui analisa berbagai bahasa dan bahwa serangkaian primitif ditegaskan untuk bahasa secara khusus akan menjadi realisasi seseorang, serangkaian konsep-konsep manusia dasar (lihat Wierzbicka 1996: 13). Dengan kata lain, sistim semantic bahasa dikatakan ditemukan seperti pada serangkaian primitif konsep-konsep yang tidak dapat diuraikan. Sebagai contoh, kita mempertimbangkan konsep seperti ‘want’ atau ‘something’ yang tidak dapat diuraikan dalam bahasa Inggris, dan ingin tahu apakah mereka universil dan, lebih lanjut lagi, apakah mereka atomik (primitif). Selanjutnya, kita cek jika bahasa lain memiliki kata atau morfem terikat untuk konsep tersebut dan jika mereka tidak dapat diuraikan. Serangkaian hipotetik primitif secara ekstensif diuji untuk banyak bahasa yang berasal dari kelurga bahasa yang berbeda dan hipotesisnya didukung dengan kuat. Pembagian serangkaian primitif memberikan penjelasan kemungkinan tentang fakta bahwa komunikasi antar-budaya adalah mungkin. Pandangan bahwa adanya semacam serangkaian komponen semantik semesta, yang dileksikalkan dalam semua bahasa, yang disebut universalisme Semantik/ Semantic Universalism. Meskipun sistim semantik adalah budaya-spesifik, mereka semua dibangun dari serangkaian blok bangunan yang sama. Ini berarti, dalam pengertian, mengadopsi baik universalisme/ universalism dan relatifisme/ relativism. 4 Semantik semesta: unsure dan system makna yang tidak terikat pada satu bahasa apapun; mis.komponen makna. 5
  • 6. Untuk menjumlahkan, ide tentang semantik metabahasa yang alami (henceforth: NSM) didasarkan pada serangkaian asumsi mengenai konsep dan realisasi linguistic yang terbaik dipaparkan pada serangkaian kutipan berikut: Jika bahasa merupakan alat mengekspresikan makna, kemudian makna, setidaknya secara luas, harus kebebasan dari bahasa dan dapat ditransfer dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Wierzbicka (1992: 3) Makna yang komplek disusun dalam kata-kata yang terpisah mungkin berbeda bahasa ke bahasa karena setiap bahasa mungkin memilih kata yang terpisah untuk kombinasi yang berbeda-beda dari ide-ide sederhana. Tetapi ‘ide sederhana’, ujaran manusia dan pikiran manusia didasarkan, diduga sama untuk semua orang di bumi. (ibid.:9) Pencarian untuk ‘abjad pikiran manusia’ seharusnya dihubungkan … dengan pencarian universil leksikal, yaitu, untuk konsep-konsep yang telah dileksikalkan (sebagai kata terpisah atau morfem) dalam semua bahasa dunia. (ibid.:10) Pola budaya dapat dipelajari dalam cara yang dapat dibuktikan dan tidak spekulatif berdasarkan semantik linguistik, berakar dalam linguistik yang ditetapkan dan universil konsepsi. secara empirik. Wierzbicka (1997:30) Dan mungkin yang paling kontroversial dari semuanya adalah: Konsep manusia fundamental merupakan sifat bawaan. Wierzbicka (1996:14) Cara terbaik untuk menemukan ‘alfabet’ tersebut adalah dengan menemukan versi hipotetis dari ‘alfabet’ itu dan mengujinya pada sampel besar dari bahasa yang berbeda. Daftar primitif semantik ikut meningkat seturut berkembangnya penelitian, saat ini kira-kira ada enam puluh. Menurut Wierzbicka(1996:vii-viii), primitif semantik yang diuji dan disetujui sebagai berikut: I, YOU, SOMEONE, SOMETHING, PEOPLE, THIS, THE SAME, OTHER, ONE, TWO, MANY(MUCH), ALL, THINK, KNOW, WANT, FEEL, SAY, DO, HAPPEN, GOOD, BAD, BIG, SMALL, WHEN, BEFORE, AFTER, WHERE, UNDER, ABOVE, PART(OF), KIND(OF), NOT, CAN, VERY, IF, BECAUSE, LIKE, 6
  • 7. Dan yang baru-baru ini diajukan adalah: SOME, MORE, SEE, HEAR, MOVE, THERE IS, LIVE, FAR, NEAR, SIDE, INSIDE, HERE, A LONG TIME, A SHORT TIME, NOW, IF … WOULD, CAN, MAYBE, WORD. Leksikon tentang pemikiran manusia dalam laporan Wierzbicka dilengkapi dengan gramatika pemikiran manusia untuk membuat NSM yang penuh. Bahasa ini juga digunakan untuk menggambarkan konsep yang kompleks, baik konsep universal dan konsep yang berbudaya spesifik. Sebagai contoh, pernyataan secara tidak langsung(indirectness) dalam bahasa Yunani dan Jepang dapat diperbandingkan dan dikontraskan dengan definisi dalam versi NSM: Pernyataan tidak langsung(indirectness) dalam bahasa Yunani I want something. I don’t have to say this. I think this person will know what I want. I think she will do it because of this. Wierzbicka(1991:99) Pernyataan tidak langsung(indirectness) dalam bahasa Jepang I want something. I don’t have to say this. I will say something else because of this. I think this person will know what I want. (ibid:94) Pentingnya menggambarkan terminologi seperti ketidaklangsungan, pernyataan diri, solidaritas, ketulusan, keselarasan sosial atau keakraban bagi budaya tertentu jelas-jelas tidak ada dalam teori tindak tutur dan kesopanan yang telah dibahas pada Bab 14 dan 15. Diduga, kategori universal seperti pertuturan tak langsung, ilokusi atau kekuatan dan jarak pada model kesopanan Brown dan Levinson membutuhkan modifikasi budaya spesifik. Seperti yang dilihat dalam pembahasan ini, Wierzbicka mendukung pandangan berdasar pada semantik yang memasukkan pragmatik, yang disebut semantikisme. Semantikisme bukanlah hal baru dalam linguistik. Bentuk dari semantikisme juga didukung oleh ahli semantik generatif, yang menurut pendapat mereka kekuatan performatif5 dan ilokusi suatu tuturan merupakan bagian dari struktur dalam. Pandangan ini disebut hipotesis 5 Performatif: Ujaran yg memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan saat itu juga. 7
  • 8. performatif dan terkenal pada tahun 1970an. Hipotesis ini tidak dapat dipertahankan dan gugur tapi tidak berarti semantikisme juga gugur. Wierzbicka menghidupkan kembali semantikisme versi baru dengan membuat postulat seperangkat komponen semantik yang tetap dan pasti. Bentuk semantikisme juga dihidupkan kembali dalam Teori Representasi Wacana yang telah dibahas pada Bab 13, dimana interpretasi standar yang diduga seperti implikatur percakapan6 yang digeneralisasi ditempatkan pada semantik bukan pragmatik. Secara keseluruhan, meski masih sangat hipotetis pendekatan Wierzbicka memiliki kelebihan. Kelebihan utamanya adalah pengenalan akan kebutuhan metabahasa universal untuk membicarakan perbedaan lintas budaya dalam komunikasi. Pada kajian kontrastif teoritis, kita memilih sebuah unit perbandingan independen, sebuah kategori universal yang independen, dan memeriksanya bagaimana keduanya terjadi pada dua sistem dalam kedua bahasa. Kategori unit perbandingan ini disebut tertium comparationis dan berbeda dengan level analisis linguistik. Sebagai contoh, fonologi kontrastif akan mempunyai unit perbandingan yang berbeda dengan semantik kontrastif. Seperangkat prime semantik tersebut adalah tertium comparationis. Kelemahan utama pendapat ini adalah jatuh pada jebakan etnosentrisme, meskipun menghindarinya secara pragmatik. Sebagai contoh, Wierzbicka menekankan keutamaan mengenai kehangatan, kasih sayang, keramahan dalam budaya Mediterania dan Slavia terekspresikan, misalnya dalam penggunaan diminutif yang luas, dan peranan kesopanan dan keberanian dalam budaya Polandia. Bias perilaku ini merupakan bukti seperti dalam kutipan berikut: Menurut pendapatku, suatu budaya dimana terdapat terminologi dasar panggilan(address) ‘you’ digunakan dengan tidak membeda-bedakan setiap orang, tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang mementingkan nilai keakraban. Wierzbicka(1991:106) Kebiasaan sehari-hari interaksi manusia tercermin dalam bahasa Inggris mendorong perkataan bahwa seseorang merasa senang saat dia sebenarnya tidak senang. Hal ini ditunjukkan dengan cara yang spektakuler, tidak hanya berupa kebiasaan ‘How are you?’ tapi juga dalam konvensi penulisan surat…(ibid:117-118) Bagian pertama membuktikan suatu asumsi, satu konsep unik tentang keakraban secara salah. Kutipan yang lain tampaknya berisi suatu kontradiksi: jika perilaku yang digambarkan adalah 6 Implikatur percakapan: Makna yg dipahami tapi tidak atau kurang terungkap dalam apa yg diucapkan. 8
  • 9. konvensional maka merupakan langkah yang agak tidak berdasar untuk menarik implikatur tentang ketidaktulusan. Sayangnya, klaim spekulatif dan etnosentris tersebut banyak terdapat dalam pragmatik lintas budaya. Untuk menyimpulkan, sistem budaya tersusun secara berbeda dan dapat menggunakan strategi percakapan berbeda untuk mencapai akhir yang sama. Budaya yang berbeda memiliki hirarki nilai yang berbeda yang tercermin pada bahasa. Tapi nilai-nilai budaya hanya dapat menjelaskan mengapa ketidaklangsungan lebih disukai atau tidak disukai, bukan mengapa bentuk tidak langsung tertentu lebih disukai daripada yang lain. Oleh karena itu, dalam pendekatan yang lebih baik, kita mungkin terpaksa harus menghubungkan strategi dengan konvensi dengan cara yang diajukan oleh Searle. Terlebih lagi, menyusun hirarki nilai bukanlah hal yang mudah: suatu permintaan yang samar-samar akan keramahan, kesopanan, otonomi, antidogmatisme suatu budaya tidak akan mencukupi. Prime semantik mungkin juga tertia comparationis dan metabahasa dimana hal-hal tersebut mengalami kenaikan merupakan langkah-langkah yang tepat menuju persyaratan deskripsi impartial yang independen pada sistem wacana. Meskipun NSM Wierzbicka cukup kontroversial dalam detail konstruksinya, hal itu merupakan suatu usaha menciptakan alat universal untuk membahas bahasa. Scollon dan daftar Scollon mengenai aspek-aspek budaya antropologis juga memberikan cara sistematis untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam wacana, walaupun dari perspektif sosiopragmatik bukan semantik. 3. Pragmatik Bahasa antara(Interlanguage Pragmatics) Ada pula kajian-kajian tentang strategi-strategi pembelajaran pada bahasa kedua yang disebut pragmatik bahasa antara. Pragmatik bahasa antara membandingkan realisasi tindak tutur secara lintas budaya. Sebagai contoh, keluhan ditunjukkan dengan prinsip-prinsip yang sama dalam bahasa Inggris, Inggris Amerika dan Ibrani. Beberapa strategi linguistik, seperti isyarat, ditemukan secara universal yang berbeda hanya pada situasi isyarat tersebut dilakukan. Pragmatik bahasa antara mengungkap tingkat-tingkat dan proses-proses pemerolehan strategi percakapan oleh pembelajar asing. Jelas pragmatik bahasa antara dapat diterapkan secara praktis pada pengajaran bahasa. 9
  • 10. 4. Truisme Lapisan budaya spesifik dari interpretasi ujaran dicontohkan dengan baik dalam tautologi. Tautologi7, yaitu kalimat yang harus benar, seperti ‘War is war’, ‘He will come or he won’t come’, ‘Boys are boys’, haruslah tidak informatif, sebagai bukti dari bentuk logisnya: p = p, p ν ¬p. Tautologi menyampaikan makna lewat implikatur percakapan dimana mereka mengalami kenaikan. Banyak tautologi terkonvensional dalam bahasa tertentu. Dalam bahasa Inggris, seseorang mengatakan (1) bukan (2). 1) War is war. 2) Life is life. Dalam bahasa Rusia keduanya dimungkinkan. Alih-alih kalimat (2), bahasa Inggris menggunakan yang konvensional (3). 3) That’s life. Dengan cara yang sama, bahasa Perancis menggunakan pola (3) (C’est la vie’) tapi juga (4) (‘C’est la guerre’) bukan (1) (‘La guerre est la guerre’). 4) That’s war. Dengan tautologi tersebut, pembicara dapat mengacu baik pada keunikan suatu fenomena atau pada keunggulan, seperti contoh (5) dalam bahasa Polandia, mengikuti pola ‘What is X is X’. 5) Co Paryż to Paryż. What (is) Paris this (is) Paris. Dalam bahasa Korea, konstruksi ‘X’ adalah ‘X’ dapat digunakan untuk mengungkapkan kekaguman atau ketidaksetujuan. Seperti Wierzbicka(1991:396) laporkan, dalam bahasa Jepang, ‘Saat konstruksi A φs, A φs’ dapat digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang dianggap tidak mungkin terjadi. Jadi ada pola-pola budaya khusus regular terhadap interpretasi tautologi dan banyak tautologi dapat digolongkan dalam skema bahasa khusus yang konvensional. Tampaknya sangat mungkin pendengar tidak memperhitungkan makna tautologi 7 Tautologi: penggunaan kelimpahan bahasa. Mis: terlalu amat sangat 10
  • 11. dengan menggunakan peribahasa tapi menyimpannya dalam ingatan, serupa dengan menyimpan makna idiom dan pepatah. Harus diperhatikan bahwa truisme yang bukan tautologi seperti (6), mengalami konvensionalisasi yang serupa, untuk membandingkan (6) dengan tautologi pada (7). 6) Boys will be boys. 7) Boys are boys. Ketergantungan serupa terhadap makna dalam bentuk truisme dapat diamati pada bahasa- bahasa lain. Untuk meringkasnya: Tautologi…seperti bejana yang cocok untuk semua tujuan, ke dalamnya dapat dituangkan ‘kebenaran dasar’ tapi ‘kebenaran dasar’ berbeda pada budaya yang berbeda. Wierzbicka(1991:446) Pola-polanya produktif. Contohnya, dalam bahasa Inggris, ‘Ni be Ni ’ adalah produktif. Pada (8) bahkan (9) bukanlah idiom melainkan hasil dari pola produktif. 8) Business is business. 9) Enough is enough. Wierzbicka membedakan properti semantik dari sub-pola seperti berikut: 10a) Nabstr is Nabstr e.g. War is war. 10b) a N is a N e.g. A party is a party. 10c) Npl will be Npl e.g. Boys will be boys. 10d) Nhum.pl are Nhum.pl e.g. Kids are kids. 10e) The N is the N e.g. The Law is the law. Sebagai contoh, pola (10d) mengungkapkan perilaku toleran dan realistis terhadap karakter manusia. Secara umum, bentuk jamak mengungkapkan toleransi dari suatu stereotipe, sedangkan bentuk tunggal mengungkapkan kebutuhan penerimaan suatu aturan meskipun tampilannya kontras. ‘A promise is a promise’ menunjukkan suatu kewajiban, sedangkan ‘Promises are promises’ mengungkapkan toleransi terhadap fakta bahwa janji-janji tidaklah selalu ditepati. Terlebih, ‘War is war’ mengungkapkan kebutuhan penerimaan suatu stereotipe 11
  • 12. sedangkan ‘A war is a war’ mengungkapkan keharusan untuk bertindak dengan perilaku tertentu. Kesimpulan utama yang dapat kita tarik dari kajian ini adalah adanya fitur-fitur wacana yang berada pada level tengah antara semantik dan pragmatik dan yang membutuhkan perlakuan terpisah. Hal ini mengingatkan kita pada gagasan Levinson(1995) tentang tiga level makna yang telah dibahas pada bab 11, bagian 1.4, level tengah yang menjadi interpretasi gagal, memasukkan juga implikatur yang digeneralisasi dan pra-anggapan yang tidak dapat direduksi baik menjadi semantik atau pragmatik linguistik. Interpretasi yang gagal ini dapat berupa budaya khusus. Pada sisi lain, fitur budaya khusus pada wacana dapat dipelajari sebagai cara budaya khusus untuk meletakkan konsep dasar bersama untuk membentuk ungkapan- ungkapan, termasuk bentuk panggilan(address), truisme, istilah-istilah untuk emosi. Cara-cara budaya khusus dengan menggunakan ketidaklangsungan(indirectness) dapat dijelaskan begitu kita memiliki metabahasa yang memadai. Dalam hal ini, cara-cara tersebut disemantikkan. 5. Epidemiologi Representasi Penulis akan menyimpulkan penjelasan dari pemahaman kajian lintas budaya dari pandangan Dan Sperber terhadap kebudayaan antropologi. Umumnya, berikut ini adalah bagaimana Sperber menjelaskan kebudayaan: Gagasan dapat ditransfer, yang ditransfer dari satu orang ke orang lain, mereka bahkan menyebarluaskan. Beberapa gagasan – kepercayaan agama, resep masakan atau hipotesa ilmiah, contohnya menyebarluaskan dengan efektif sehingga dalam versi yang berbeda mereka akhirnya menyerang seluruh populasi dalam waktu yang lama. Kebudayaan terbentuk, pertama dan terpenting dari gagasan yang menular. Untuk menjelaskan kebudayaan, kemudian untuk menjelaskan kenapa dan bagaimana beberapa gagasan itu begitu menular. Hal ini membutuhkan perkembangan representasi epidemiologi yang benar. Spreber (1996:1) Dengan kata lain, untuk menjelaskan bagaimana budaya itu terbentuk kita harus mempelajari penyebaran kepercayaan dan gagasan-gagasan yang populer. Memori dan komunikasi yang berlangsung mempengaruhi informasi asli dan merubahnya. Sehingga budaya yang dijelaskan meringkaskan penjelasan distribusi gagasan dalam populasi, menjelaskan bagaimana individu memproses pengambilan gagasan hingga penyebaran terakhir. Ini adalah gagasan yang paling terkenal dalam antropologi dan sosiopragmatik. Hal ini intinya adalah pendekatan Darwinian 12
  • 13. dihubungkan dengan pendekatan Cavalli-Sforza dan Dawkins, saat gagasan Darwin mengenai seleksi diterapkan di kebudayaan. Sperber menyebutnya pendekatan naturalistik, karena masalah-masalah sosial didekati melalui kajian kognisi, kerja pikiran, melalui proses psikologi individu yang bergabung membentuk masyarakat. Karena memori dan komunikasi menyalurkan gagasan asli, gagasan disimpan sebgai representasi dan dalam membahas budaya kita membicarakan psikologi kognitif. Inilah bagaimana masalah-masalah sosial di naturalisasikan. Dengan kata lain: Fenomena sosial-budaya, dalam pendekatan ini, adalah pola-pola ekologi dari fenomena psikologi. Fakta-fakta sosiologi, didefinisikan dalam istilah fakta psikologi, tetapi tidak menguranginya. Sperber (1996:31) Orang memiliki representasi situasi. Representasi yang sering diulang, dikomunikasikan menjadi representasi budaya dari kelompok masyarakat. Representasi merupakan kepercayaan, norma, mitos, teknik, klasifikasi bersama dan sebagainya. Representasi disampaikan dengan memproduksi representasi lainnya yang berupa deskripsi atau interpretasi dari representasi yang asli (lihat diagram Sperber dan Wilson 1986:232). Interpretasi muncul saat, contohnya kita perlu memperluas isi dari beberapa kepercayaan suku sehingga dapat dipahami. Kita sering melakukan interpretasi yang spekulatif dan tidak lengkap untuk memahami representasi lainnya, khususnya ketika mereka adalah representasi budaya yang berbeda. Sperber juga menjelaskan bentuk dari konsep dengan bantuan epidemiologi. Ia menyarankan adanya konsep dasar yang berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip yang bawaan: Saya mengasumsikan bahwa kita memiliki disposisi bawaan(innate disposition) untuk mengembangkan konsep berdasar skema tertentu. Kami memiliki skema yang berbeda untuk medan makna(domain) yang berbeda: jenis konsep hidup kami cenderung menjadi taksonomis; konsep artefak kami cenderung menjadi ciri dalam istilah fungsi; konsep warna kami cenderung menjadi pusat dalam focal hues; dll. Konsep yang memenuhi skema ini dengan mudah diinternalisasi dan diingat. Kita sebut dengan konsep dasar. Bagian besar dari konsep dasar ditemukan di setiap bahasa. Tentunya konsep dasar itu berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi tidak terlalu berbeda. Konsep dasar bahasa lainnya cenderung mudah untuk dipahami, dipelajari dan diterjemahkan secara komparatif. Sperber (1996:69). 13
  • 14. Pandangan Sperber berbeda dengan konsep Wierzbicka, menurut Sperber prime semantiknya universal dan bawaan. Sperber menghilangkan dekomposisi leksikal(lihat bab I) sebagai metode mencari prime semantik dengan menunjukkan bahwa seperangkat konsep bawaan akan menjadi sangat besar dan terlebih lagi tidaklah beralasan untuk mengharapkan anak kecil menciptakan konsep. Sebagai contoh kata MOTHER(ibu), ada diluar dari konsep PARENT(orangtua) dan FEMALE(perempuan). Lebih mungkin bahwa PARENT(orangtua) merupakan konsep yang lebih rumit, hasil dari kombinasi dari konsep MOTHER(Ibu) dan FATHER(Ayah) (lihat Sperber 1996:68). Terlebih lagi, beberapa konsep rumit, sebagai contoh konsep agama dan ilmiah, memerlukan representasi yang rumit di dunia. Mengulang penjelasan diatas, sebagai tambahan terhadap memiliki representasi langsung dari kenyataan, manusia juga dapat menggambarkan representasi orang lain, representasi mereka sendiri dan keadaan mental. Inilah yang disebut dengan metarepresenting dan sebagai contoh sikap ketidakpercayaan atau keragu-raguan terhadap representasi. Metarepresenting juga membolehkan kita untuk menyimpan representasi yang tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa gagasan yang setengah dipahami selangkah menuju ke pemahaman penuh, lainnya menciptakan misteri yang menyebar di masyarakat. Representasi yang sesuai dengan representasi budaya lainnya dan yang tidak sepenuhnya diinterpretasikan adalah yang paling berhasil dan mengarahkan apa yang kita lihat sebagai kepercayaan budaya irasional. Tetapi, ketika kita melihatnya sebagai gagasan yang setengah dimengerti, hal itu tampaknya tidak rasional (cf. Sperber 1996:73). Sperber (1985:35) memberikan beberapa contoh. Anggota suku di Ethiopia Selatan mendatangi dan memintanya untuk membunuh naga yang hatinya terbuat dari emas, yang memiliki tanduk di lehernya dan tinggal di suatu tempat di dekat sini. Sperber percaya bahwa anggota suku itu orang yang rasional, terhormat, tapi bagaimana bisa orang yang rasional percaya bahwa seekor naga hidup di dekatnya? Hal ini adalah contoh dari adanya kepercayaan irasional. Banyak antropolog mengatakan bahwa orang yang berbudaya berbeda hidup di dunia yang berbeda, kepercayaan terhadap naga dapat menjadi rasional di beberapa kebudayaan. Antropolog lainnya mengacu pada simbolisme. Malahan Sperber mengusulkan rasionalisme. Ia mengatakan bahwa orang dapat memiliki berbagai jenis dan tingkat komitmen terhadap kepercayaan. Tidak semua kepercayaan diselenggarakan dengan cara yang sama, sehingga kriteria rasionalnya dapat berbeda. (Seolah-olah mengkonfirmasikan klaim, Sperber segera bereaksi terhadap permintaan anggota suku bahwa ia tidak memiliki senjata!) 14
  • 15. Kepercayaan biasanya telah dianggap, paling tidak sejak Russel, sebagai jenis yang sikap propositional, sebuah sikap untuk sebuah entitas yang bisa benar atau salah. Sperber mengikis tradisi ini: Objek dari ’sikap proposisional’, gagasan yang kita pegang atau perhitungkan, tidak selalu proposisional dalam karakter. Akan keliru untuk mendefinisikan ’berbicara’ sebagai ’kalimat ujaran’, itu sebuah kekeliruan, saya sarankan, untuk menentukan berpikir dalam istilah dari sikap ke proposisi: banyak ujaran kita yang tidak sama dengan kalimat tetapi untaian semi-grammatikal; serupa dengan itu, banyak pemikiran kita yang disebut dengan semi-proposisional, mereka memperkirakan tetapi tidak dapat mencapai proposisionalitas...Jika benar bahwa objek kepercayaan itu proposisi, maka kita hanya dapat percaya gagasan yang kita pahami seluruhnya. Saya berpendapat kita juga dapat berpegang pada kepercayaan sebagai gagasan yang tidak sepenuhnya dipahami. Sperber (1985:51). Kepercayaan orang suku terhadap naga emas tersebut disebut kepercayaan yang setengah dipahami. Jadi ada representasi proposisional yang sesuai dengan gagasan yang sepenuhnya dipahami dan representasi semi-proposisional yang sesuai dengan gagasan yang tidak sepenuhnya dipahami. Ada representasi konseptual yang tidak mengenal proposisi unik, beberapa konsep menghilang. Representasi tersebut bukanlah kepercayaan faktual tapi kepercayaan representasional. Oleh karenanya, ada empat kelas kepercayaan potensial: (i) kepercayaan faktual dengan isi proporsisional yang rasional dan berdasarkan pengamatan; (ii) kepercayaan faktual dengan isi semi-proporsisional(yang biasanya tidak terjadi); (iii) kepercayaan representasional dengan isi proposisional, seperti asumsi ilmiah yang tidak sepenuhnya dipercaya; (iv) kepercayaan representasional dengan isi semi-proposisional, seperti kepercayaan beragama dan misteri(Sperber 1985:58). Kepercayaan kultural merupakan kepercayaan representasional. Kepercayaan faktual disebut juga intuitif, sedangkan kepercayaan representasional disebut reflektif. Kepercayaan intuitif berdasar pada mekanisme bawaan dan universal dan yang berdasar pada persepsi dan inferens dan oleh karenanya serupa di berbagai budaya. Kepercayaan reflektif tidaklah faktual dan bukan dasar tapi dipercaya karena tertempel pada kepercayaan intuitif. Kepercayaan itu mungkin hanya setengahnya dipahami dan mengarahkan ke pengetahuan ilmiah atau misteri bahkan religius. Kepercayaan misterius merupakan kepercayaan yang berbeda lintas budaya dan dapat muncul irasional dari sudut pandang budaya lain(Sperber 2996:91-92,1997). Dengan kata lain: 15
  • 16. Menjelaskan kepercayaan kultural, baik intuitif atau reflektif, dan jika reflektif, baik setengah dipahami atau dipahami seluruhnya, melibatkan dua hal: bagaimana kepercayaan diketahui oleh individu-individu dan bagaimana kepercayaan dikomunikasikan di dalam suatu kelompok; atau mengatakannya dalam sloga: Budaya merupakan kognisi dan komunikasi yang lebih cepat di dalam suatu populasi manusia. Sperber(1996:97) Penelitian pragmatik tidak terlepas dari keterlibatan masalah perbedaan kepercayaan dan komunikasi lintas budaya. 6. Kesimpulan Perspektif yang ada dalam bab ini jelas menunjukkan perlunya untuk mengamati perilaku manusia, termasuk perilaku verbal, dalam konteks budaya antropologis. Baik Wierzbicka dan Sperber menekankan bahwa ada beberapa jenis kepercayaan yang ketika diungkapkan tidak mudah diinterpretasi oleh anggota masyarakat yang lain, baik karena konsep budaya khusus atau karena metapresentasi. Meski tampaknya tidak benar bahwa orang yang berbeda budaya hidup di dunia yang berbeda, kita harus tahu sesuatu tentang budaya yang dapat menggolongkan dan menggambarkan kepercayaan. Usulan baik tentang primitif semantik dan epidemiologi representasi menegaskan hal itu. Akhirnya, dibahas pula mengenai apa peranan pragmatik dalam kajian pragmatik lintas budaya. Apakah teori pragmatik, teori inferens seperti teori implikatur Gricean, atau pendekatan tidak teoritis terhadap penggunaan bahasa? Tampaknya saat ini tetaplah peranan yang terakhir, tapi begitu perbedaan lintas budaya dikenali dan ditempatkan pada level tengah dari makna jenis ujaran yang konvensional, kita mungkin dapat memiliki pragmatik yang memadai dalam makna yang lebih sempit dan teoritis. 16