Tiga kalimat:
1. Pendapatan negara dan hibah Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4% antara 2005-2009 didorong oleh peningkatan penerimaan perpajakan dan PNBP.
2. Target pendapatan negara dan hibah 2010 sebesar Rp992,4 triliun atau 16,9% lebih tinggi dari realisasi 2009, didasarkan pada perkiraan pertumbuhan ekonomi 5,8%.
3. Penerimaan dalam negeri 2010 ditarget
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
Pendapatan Negara dan Hibah
1. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
BAB III
PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
3.1 Umum
Dalam periode 2005–2009, realisasi pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan
rata-rata 14,4 persen, didukung dengan peningkatan penerimaan dalam negeri dan hibah
yang masing-masing tumbuh rata-rata 14,4 persen dan 6,3 persen. Penerimaan dalam negeri
terutama berasal dari penerimaan perpajakan yang memberikan kontribusi rata-rata 68,9
persen dengan pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) memberikan kontribusi rata-rata 31,1 persen dengan pertumbuhan rata-rata
11,5 persen. Meningkatnya realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode
2005–2009 tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi baik global maupun
nasional, dan juga keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan
negara dan hibah.
Kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah diarahkan untuk mendukung
kebijakan fiskal yang berkesinambungan melalui upaya optimalisasi pendapatan negara
dan hibah, khususnya penerimaan dalam negeri. Hal ini sesuai dengan peran pendapatan
negara dan hibah sebagai sumber pendanaan program-program pembangunan. Sebagai
kontributor utama bagi penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan diupayakan
secara optimal melalui tiga kebijakan utama, yaitu: (1) reformasi di bidang administrasi;
(2) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan; dan (3) reformasi di bidang
pengawasan dan penggalian potensi. Ketiga kebijakan tersebut secara umum berlaku baik
di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Di bidang PNBP, kebijakan yang
telah diambil Pemerintah dalam rangka optimalisasi adalah (1) meningkatkan produksi
sumber daya alam (SDA); (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan di bidang PNBP;
(3) meningkatkan pengawasan PNBP; dan (4) meningkatkan kinerja BUMN.
Pada tahun 2010, perekonomian dunia mulai pulih dari krisis. Kondisi tersebut berimbas
pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8
persen, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada realisasi pendapatan negara dan hibah.
Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi pendapatan negara dan hibah ditargetkan sebesar
Rp992,4 triliun atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009.
Penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp990,5 triliun atau meningkat 16,9 persen,
dengan perincian penerimaan perpajakan Rp743,3 triliun atau meningkat 19,9 persen dan
PNBP Rp247,2 triliun atau meningkat 8,8 persen. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai
Rp1,9 triliun dengan peningkatan sebesar 13,8 persen.
Dalam tahun 2010, kebijakan pendapatan negara dan hibah tetap diarahkan untuk
optimalisasi penerimaan dalam negeri. Di bidang perpajakan, selain melakukan kebijakan
yang bersifat reguler seperti reformasi di bidang administrasi, peraturan perundang-undangan
dan pengawasan serta penggalian potensi, Pemerintah melakukan upaya tambahan (extra
effort) baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Extra effort tersebut
antara lain dilakukan melalui peningkatan efisiensi pemeriksaan dan penagihan pajak, serta
peningkatan pengawasan atas peredaran barang kena cukai ilegal. Di bidang PNBP, kebijakan
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-1
2. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
yang dilakukan Pemerintah untuk mengamankan target PNBP tahun 2010 adalah
optimalisasi penerimaan SDA terutama dari migas, peningkatan kinerja BUMN, serta
optimalisasi PNBP kementerian/lembaga (K/L).
Memasuki tahun 2011, kondisi perekonomian Indonesia diharapkan jauh lebih baik daripada
tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi ditargetkan akan mencapai 6,3 persen, lebih tinggi
dibandingkan dengan perkiraan realisasi 2010. Indikator-indikator ekonomi makro lainnya
juga diperkirakan akan cukup stabil. Berdasarkan asumsi tersebut, pendapatan negara dan
hibah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp1.086,4 triliun, dengan perincian
penerimaan dalam negeri sebesar Rp1.082,6 triliun dan hibah Rp3,7 triliun. Penerimaan
dalam negeri akan berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp839,5 triliun, dan PNBP
sebesar Rp243,1 triliun.
Dalam rangka mencapai target penerimaan negara pada tahun 2011, Pemerintah akan
menjalankan berbagai kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP. Pokok-pokok kebijakan
perpajakan secara umum adalah melanjutkan dan mempertajam kebijakan-kebijakan tahun
sebelumnya. Di bidang perpajakan, kebijakan antara lain akan difokuskan pada (1) penggalian
potensi perpajakan; (2) peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (3) penyempurnaan
mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak; (4) peningkatan
pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; (5) perbaikan sistem informasi;
dan (6) konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Selain itu, dalam rangka
memperbaiki sistem administrasi perpajakan, Pemerintah mengambil kebijakan untuk
melakukan pengalihan BPHTB serta PBB perdesaan dan perkotaan dari pusat ke daerah.
Untuk BPHTB, pengalihan dilakukan pada tahun 2011, sedangkan untuk PBB, pengalihan
dimungkinkan dilakukan mulai tahun 2010 berdasarkan kesiapan masing-masing daerah.
Tenggat waktu yang diberikan kepada daerah untuk mempersiapkan pengalihan PBB tersebut
adalah sampai dengan tahun 2014. Di bidang PNBP, kebijakan yang dilakukan untuk
mencapai target 2011 adalah (1) optimalisasi lifting/produksi minyak mentah dan gas bumi,
serta komoditi tambang dan mineral guna mendukung pencapaian penerimaan SDA;
(2) penyesuaian pay-out ratio dividen dari laba BUMN; (3) penyelesaian audit keuangan
BUMN secara lebih awal guna memantau perkembangan rugi/laba BUMN; (4) penarikan
dividen interim dengan tetap memperhatikan cash flow BUMN; (5) intensifikasi dan
ekstensifikasi PNBP K/L, antara lain dengan melakukan review jenis dan tarif PNBP K/L;
dan (6) perbaikan administrasi pelaporan keuangan K/L.
3.2 Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun
2005–2009 dan Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah
Tahun 2010
Pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dalam
periode 2005–2009. Pertumbuhan rata-rata yang terjadi dalam periode tersebut adalah 14,4
persen, yaitu dari Rp495,2 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp848,8 triliun pada tahun
2009. Kondisi perekonomian yang cukup kondusif dalam periode 2005–2009 menjadi faktor
utama yang mendorong meningkatnya pendapatan negara khususnya penerimaan dalam
negeri, meskipun sempat terjadi krisis ekonomi di penghujung tahun 2008 sampai dengan
2009. Dalam periode 2005–2009 tersebut, penerimaan dalam negeri meningkat dari Rp493,9
triliun pada tahun 2005 menjadi Rp847,1 triliun pada tahun 2009. Hal ini berarti terjadi
pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Selain faktor kestabilan ekonomi, penerapan berbagai
III-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
3. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP juga menjadi salah satu faktor pendukung
tingginya realisasi penerimaan dalam negeri. Sementara itu, penerimaan hibah pada periode
2005–2009 mengalami pertumbuhan rata-rata 6,3 persen, yaitu dari Rp1,3 triliun pada
tahun 2005 menjadi Rp1,7 triliun pada tahun 2009.
Terus membaiknya kondisi perekonomian pada tahun 2010 menyebabkan Pemerintah
optimis dapat mencapai target pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010,
penerimaan dalam negeri ditargetkan mencapai Rp990,5 triliun, atau meningkat 16,9 persen
bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai
Rp1,9 triliun atau 13,8 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Dengan demikian,
dalam APBN-P tahun 2010, pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai Rp992,4
triliun, atau 16,9 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009.
Perkembangan pendapatan negara dan hibah dalam periode 2005–2010 dapat dilihat pada
Tabel III.1.
TABEL III.1
PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, 2005 – 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian
Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P
Pendapatan Negara dan Hibah 495,2 638,0 707,8 981,6 848,8 992,4
I. Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1 990,5
1. Penerimaan Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9 743,3
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 146,9 227,0 215,1 320,6 227,2 247,2
II. Hibah 1,3 1,8 1,7 2,3 1,7 1,9
Sumber: Kementerian Keuangan
3.2.1 Penerimaan Dalam Negeri
Dalam periode 2005–2009, penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata
14,4 persen. Sebagai komponen utama, penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan
rata-rata 15,6 persen, sedangkan PNBP tumbuh rata-rata 11,5 persen. Beberapa indikator
makroekonomi yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan dalam negeri dalam
periode tersebut adalah (1) tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat, yaitu dari 5,7 persen
pada tahun 2005, menjadi 6,0 persen pada tahun 2008, meskipun sempat mengalami
penurunan pada tahun 2009; (2) perkembangan ICP yang cenderung meningkat dari
USD51,8 per barel pada tahun 2005 hingga mencapai USD96,8 per barel pada tahun 2008,
dan USD61,6 per barel pada tahun 2009; dan (3) fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat yang sempat mengalami depresiasi pada periode tahun 2005–2009. Selain
itu, keberhasilan penerapan kebijakan perpajakan dan PNBP juga turut mendorong
peningkatan penerimaan dalam negeri.
Memasuki tahun 2010, kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan mampu mencapai
pertumbuhan 5,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2009
yang hanya mencapai 4,5 persen. Berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut,
dan juga didukung oleh tingginya perkiraan ICP yang mencapai USD80 per barel,
penerimaan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp990,5 triliun dalam APBN-P tahun 2010,
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-3
4. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp743,3 triliun dan PNBP Rp247,2 triliun.
Jumlah tersebut berarti 16,9 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya.
Perkembangan penerimaan dalam negeri pada periode 2005–2010 dapat dilihat pada
Tabel III.2.
TABEL III.2
PERKEMBANGAN PENERIMAAN DALAM NEGERI, 2005 – 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian
Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P
Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1 990,5
1. Penerimaan Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9 743,3
a. Pajak Dalam Negeri 331,8 396,0 470,1 622,4 601,3 720,8
i. Pajak penghasilan 175,5 208,8 238,4 327,5 317,6 362,2
1. Migas 35,1 43,2 44,0 77,0 50,0 55,4
2. Nonmigas 140,4 165,6 194,4 250,5 267,6 306,8
ii. Pajak pertambahan nilai 101,3 123,0 154,5 209,6 193,1 263,0
iii. Pajak Bumi dan Bangunan 16,2 20,9 23,7 25,4 24,3 25,3
iv. BPHTB 3,4 3,2 6,0 5,6 6,5 7,2
v. Cukai 33,3 37,8 44,7 51,3 56,7 59,3
vi. Pajak lainnya 2,1 2,3 2,7 3,0 3,1 3,8
b. Pajak Perdagangan Internasional 15,2 13,2 20,9 36,3 18,7 22,6
i. Bea masuk 14,9 12,1 16,7 22,8 18,1 17,1
ii. Bea keluar 0,3 1,1 4,2 13,6 0,6 5,5
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 146,9 227,0 215,1 320,6 227,2 247,2
a. Penerimaan SDA 110,5 167,5 132,9 224,5 139,0 164,7
i. Migas 103,8 158,1 124,8 211,6 125,8 151,7
ii. Non Migas 6,7 9,4 8,1 12,8 13,2 13,0
b. Bagian Laba BUMN 12,8 23,0 23,2 29,1 26,0 29,5
c. PNBP Lainnya 23,6 36,5 56,9 63,3 53,8 43,5
d. Pendapatan BLU 0,0 0,0 2,1 3,7 8,4 9,5
Sumber : Kementerian Keuangan
3.2.1.1 Penerimaan Perpajakan
Penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen dalam periode
2005–2009. Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan
perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan
pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai.
Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan dapat dikategorikan ke dalam penerimaan
pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak dalam negeri
terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak
penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, sedangkan
pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Dalam periode
2005–2009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen,
sedangkan pajak perdagangan internasional tumbuh rata-rata 5,2 persen.
Selanjutnya, penerimaan perpajakan mampu memberikan kontribusi yang dominan
terhadap penerimaan dalam negeri. Dalam tahun 2005, kontribusi penerimaan perpajakan
adalah 70,3 persen menjadi 64,3 persen pada tahun 2006, kemudian 69,5 persen pada tahun
2007 menjadi 67,3 persen pada tahun 2008, dan selanjutnya menjadi 73,2 persen pada tahun
2009. Semakin tingginya kontribusi penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa
peranan penerimaan perpajakan menjadi sangat strategis sebagai sumber pendanaan
III-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
5.
6. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
teknologi informasi dan komunikasi. Program utama dari kegiatan ini dikemas dalam Project
for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang bertujuan untuk meningkatkan
kepatuhan sukarela wajib pajak, dan melaksanakan good governance melalui peningkatan
transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak.
Reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan dilakukan melalui amendemen
tiga undang-undang perpajakan, yaitu: (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang; (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan; dan (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tarif PPh badan mengalami
penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun 2010. Selain itu,
pemberian diskon atas tarif PPh badan 5 persen lebih rendah dari tarif normal tetap diberikan
kepada perusahaan-perusahaan masuk bursa yang minimal 40 persen sahamnya dikuasai
oleh publik.
Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi dilakukan melalui pembangunan
suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur,
terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut
dikembangkan sejak awal tahun 2007 mencakup kegiatan mapping, profiling, dan
benchmarking.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan membayar pajak (tax compliance), Pemerintah
mencanangkan program sunset policy pada tahun 2008, dan diperpanjang hingga Februari
2009. Program sunset policy ini mengatur tentang penghapusan sanksi administrasi
perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain bertujuan meningkatkan tax compliance,
program ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi
melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking.
Sementara itu, dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, Pemerintah telah dan
akan tetap melanjutkan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya, program ekstensifikasi pada tahun 2010 dilakukan melalui tiga
pendekatan utama, yaitu: (1) pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara Pemerintah
dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan,
komisaris, direksi, staf, pekerja serta pegawai negeri sipil dan pejabat negara; (2) pendekatan
berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau
memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan; dan
(3) pendekatan berbasis profesi dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan,
dan profesi lainnya. Sejauh ini kegiatan ekstensifikasi perpajakan dinilai cukup berhasil. Hal
tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta pada
tahun 2005 menjadi 14,1 juta pada April 2010. Sedangkan program intensifikasi atau
penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui
III-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
7. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
(1) kegiatan mapping dan benchmarking; (2) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP
Madya; (3) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office (LTO) dan Khusus;
(4) pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama; (5) pembuatan profil high rise building;
(6) pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 retailer; dan (7) pengawasan intensif wajib pajak
orang pribadi potensial. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu metode penggalian
potensi dan pengawasan penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, dan saling
terkait, yang telah dikembangkan sejak tahun 2007.
Untuk menindaklanjuti program sunset policy, Pemerintah melakukan kegiatan yang
menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Kegiatan law
enforcement dilakukan melalui penagihan, pemeriksaan, dan penyidikan. Sedangkan
kegiatan pembinaan dilakukan dengan membangun komunikasi kepada setiap wajib pajak
melalui pendidikan perpajakan (tax education), menjaga hubungan dengan wajib pajak
(maintenance), dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya
untuk meningkatkan penerimaan, tanpa mengesampingkan fungsi utama kepabeanan cukai
sebagai regulator dalam rangka melancarkan arus barang dari transaksi perdagangan
internasional (trade facilitation) dan melindungi masyarakat dari ekses negatif dari masuknya
barang-barang pembatasan dan larangan serta narkotika (community protection). Dalam
hal ini, Pemerintah akan terus melanjutkan program reformasi melalui pembentukan Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Madya, serta melakukan program
intensifikasi melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi, peningkatan
efektivitas pemeriksaan fisik barang, dan optimalisasi sarana operasi seperti kapal patroli,
mesin sinar X, dan mesin sinar gamma.
Selanjutnya, untuk menjamin penegakan hukum (law enforcement) di bidang kepabeanan
dan cukai, Pemerintah meningkatkan fungsi pengawasan dan audit. Peningkatan
pengawasan dilakukan antara lain dengan (1) mengembangkan manajemen risiko
kepabeanan dan cukai; (2) membangun sistem dokumentasi pelanggaran kepabeanan dan
cukai; (3) melaksanakan pemberantasan penggunaan pita cukai palsu; (4) melaksanakan
pemberantasan peredaran rokok ilegal; dan (5) melaksanakan pemberantasan
penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai. Sedangkan peningkatan audit dilakukan
antara lain melalui (1) pembuatan dokumentasi sistem informasi perencanaan audit;
(2) penyusunan database profil dan objek audit; (3) monitoring pelaksanaan audit; serta
(4) penyempurnaan aplikasi sistem audit.
Khusus di bidang kepabeanan, langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah dalam
upaya meningkatkan penerimaan antara lain (1) pengembangan otomasi sistem pelayanan
kepabeanan dan cukai; (2) pemberian fasilitas/kemudahan dalam pelayanan kepabeanan
(Pre Entry Classification, Customs Advice, dan Pre-Notification); (3) pemberian fasilitas
terhadap industri substitusi impor dan industri orientasi ekspor; (4) pembentukan kantor
pelayanan utama dan KPPBC Madya; (5) peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas
barang impor dan ekspor; (6) mendukung kerjasama perdagangan internasional, baik
bilateral, regional, maupun multilateral; (7) penerapan National Single Windows (NSW)
dan portal Indonesia National Single Windows (INSW); (8) peningkatan pelayanan
kepabeanan melalui jalur mitra utama (MITA) dan jalur prioritas; (9) penegakan hukum di
bidang kepabeanan melalui risk management, risk assesment, profiling, dan targeting; dan
(10) meningkatkan kepatuhan pengguna jasa kepabeanan dalam memenuhi kewajibannya.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-7
8. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
Khusus di bidang cukai, sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang
Cukai, penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan maupun sistem prosedur
di bidang cukai dilakukan secara bertahap sehingga dapat memberikan perlindungan atas
kesehatan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan faktor daya serap tenaga kerja.
Upaya yang dilakukan antara lain melalui (1) penyempurnaan ketentuan mengenai perizinan
di bidang cukai; (2) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; (3) peningkatan
pelayanan di bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan di bidang cukai; (5) peningkatan
pemahaman ketentuan di bidang cukai (sosialisasi); (6) penerapan kode etik (reward and
punishment); dan (7) peningkatan security feature pita cukai untuk menghilangkan praktek
pemalsuan cukai.
Selanjutnya pada tahun 2010, beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam rangka
optimalisasi penerimaan cukai antara lain (1) peningkatan tarif cukai hasil tembakau berkisar
antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 persen sesuai dengan jenis hasil tembakau, yaitu
sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret putih mesin (SPM);
(2) perubahan ketentuan mengenai perizinan; (3) penyederhanaan golongan pengusaha
dan tarif cukai; serta (4) peningkatan tarif cukai minuman mengandung ethil alkohol
(MMEA) rata-rata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk
MMEA impor. Selain itu, Pemerintah juga melakukan peningkatan pengawasan, antara
lain melalui: (1) peningkatan operasi pasar; (2) pemeriksaan lokasi pabrik; (3) peningkatan
security features pita cukai; dan (4) peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor.
3.2.1.1.1 Pajak Dalam Negeri
Dalam periode 2005–2009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-
rata 16,0 persen, yaitu dari Rp331,8 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp601,3 triliun pada
tahun 2009. Pertumbuhan rata-rata tertinggi terjadi pada pos penerimaan PPh nonmigas
serta PPN dan PPnBM yang mencapai 17,5 persen. Sementara itu, cukai sebagai penerimaan
ketiga terbesar setelah PPh serta PPN dan PPnBM mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar
14,3 persen. Kontributor utama dalam penerimaan pajak dalam negeri adalah PPh yang
memberikan kontribusi rata-rata 52,4 persen. Sedangkan kontributor terbesar kedua dan
ketiga adalah PPN dan PPnBM serta cukai, yang masing-masing memberikan kontribusi
rata-rata 32,1 persen dan 9,3 persen. Pertumbuhan dan kontribusi rata-rata dari masing-
masing jenis pajak dalam kategori pajak dalam negeri dapat dilihat pada Grafik III.2 dan
Grafik III.3.
GRAFIK III.2
PERTUMBUHAN PENERIMAAN PERPAJAKAN DALAM NEGERI, 2005 – 2009
75,0 87,0
80
60 53,2
persen (y-o-y)
45,4
35,7 37,8
40
28,8 25,6 28,6
22,9 18,0 21,5 18,3 19,7
17,4 13,7 17,6 16,0 14,7 11,6
20 14,0 13,6 10,8
6,8 10,7 9,5
6,9 2,7
1,9
0
-1,2
-4,3 -7,2 -6,4
-7,9
(20)
PPh PPh PPN PBB BPHTB Cukai Pajak Lainnya
Migas Non Migas
(40) -35,0
2005 2006 2007 2008 2009
Sumber : Kementerian Keuangan
III-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
9. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
Dalam APBN-P tahun 2010, GRAFIK III.3
penerimaan pajak dalam KONTRIBUSI RATA-RATA PENERIMAAN PAJAK DALAM NEGERI, 2005 – 2009
negeri ditargetkan mencapai Cukai Pajak Lainnya
0,6%
BPHTB 9,3%
Rp720,8 triliun. Apabila 1,0% PPh Migas
10,3%
dibandingkan dengan realisasi PBB
4,7%
penerimaan pajak dalam
negeri tahun 2009, target
tersebut mengalami
PPh
peningkatan sebesar Rp119,5 PPN Non-Migas
42,1%
32,1%
triliun atau 19,9 persen.
Peningkatan terjadi pada
seluruh pos penerimaan
dalam negeri, terutama PPN
dan PPnBM yang meningkat Sumber : Kementerian Keuangan
36,2 persen dan BPHTB yang
meningkat 10,7 persen. Membaiknya kondisi perekonomian baik secara global maupun
domestik yang berimbas pada meningkatnya volume perdagangan dunia menjadi faktor
utama meningkatnya penerimaan pajak dalam negeri, khususnya penerimaan PPN dan
PPnBM impor. Selain itu, relatif tingginya ICP yang diperkirakan mencapai USD80 per
barel pada tahun 2010 dibandingkan dengan ICP tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per
barel (Desember−November) juga menjadi salah satu pemicu meningkatnya penerimaan
pajak migas.
Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan (PPh) mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen dalam periode
2005−2009. Dalam periode tersebut, nominal penerimaan PPh meningkat dari Rp175,5
triliun menjadi Rp317,6 triliun. Dilihat dari komposisinya, penerimaan PPh migas
memberikan kontribusi rata-rata sebesar 19,7 persen, sedangkan PPh nonmigas 80,3 persen.
Dalam APBN-P tahun 2010, PPh diperkirakan mencapai Rp362,2 triliun, yang terdiri atas
penerimaan PPh migas Rp55,4 triliun (15,3 persen) dan PPh nonmigas Rp306,8 triliun (84,7
persen). Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai Rp317,6 triliun,
terjadi peningkatan sebesar Rp44,6 triliun atau 14,0 persen.
Penerimaan PPh migas selama tahun 2005−2009 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar
9,2 persen. Dilihat dari komponen pendukungnya, penerimaan PPh minyak bumi tumbuh
rata-rata 18,6 persen dan PPh gas bumi tumbuh rata-rata 5,2 persen. Perkembangan realisasi
penerimaan PPh migas yang cenderung meningkat tersebut sesuai dengan perkembangan
ICP yang menunjukkan adanya tren kenaikan, meskipun lifting mengalami fluktuasi.
Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi penerimaan PPh migas diperkirakan mencapai Rp55,4
triliun, dengan kontribusi dari PPh minyak bumi sebesar Rp22,6 triliun (40,7 persen) dan
PPh gas bumi Rp32,8 triliun (59,3 persen). Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun
sebelumnya, terjadi peningkatan sebesar Rp5,3 triliun atau 10,7 persen. Penerimaan PPh
migas tahun 2009−2010 dapat dilihat pada Grafik III.4. Penyebab utama peningkatan
penerimaan PPh migas tersebut adalah lebih tingginya ICP pada tahun 2010 yang
diperkirakan mencapai USD80 per barel dibandingkan dengan ICP pada tahun 2009 yang
mencapai USD58,5 per barel (Desember−November), dan lebih tingginya lifting minyak
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-9
10. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
bumi tahun 2010 yang diperkirakan sebesar 965
GRAFIK III.4
MBCD dibandingkan dengan lifting pada tahun PENERIMAAN PPh MIGAS, 2009 − 2010
2009 yang mencapai 944 MBCD. Perkembangan triliun Rp
realisasi PPh migas 2005–2010 dapat dilihat pada 70,0
PPh Gas Alam PPh Minyak Bumi
Tabel III.3.
60,0
Dalam periode 2005−2009, realisasi penerimaan 50,0
PPh nonmigas mengalami pertumbuhan rata-
40,0 31,7 32,8
rata 17,5 persen, yaitu dari Rp140,4 triliun pada
30,0
tahun 2005 menjadi Rp267,6 triliun pada tahun
2009. Pertumbuhan tersebut terutama didukung 20,0
dari penerimaan PPh pasal 25/29 badan yang 10,0 18,4 22,5
tumbuh rata-rata 23,7 persen dan memberikan 0,0
kontribusi rata-rata 41,0 persen dalam periode 2009 APBN-P 2010
tersebut. Sumber : Kementerian Keuangan
TABEL III.3
PERKEMBANGAN PPh MIGAS, 2005 – 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd
Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P
Total Total Total Total Total Total
PPh Minyak Bumi 9,3 26,4 14,7 34,0 16,3 37,0 29,6 38,5 18,4 36,7 22,6 40,7
PPh Gas Bumi 25,8 73,6 28,5 66,0 27,3 62,0 47,4 61,5 31,7 63,3 32,8 59,3
PPh Migas Lainnya 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 1,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Total 35,1 100,0 43,2 100,0 44,0 100,0 77,0 100,0 50,0 100,0 55,4 100,0
Sumber : Kementerian Keuangan
Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPh
GRAFIK III.5
nonmigas diperkirakan mencapai Rp306,8 triliun. PENERIMAAN PPh NONMIGAS,
Hal ini berarti terjadi peningkatan 14,7 persen bila 2009 − 2010
dibandingkan dengan realisasi tahun triliun Rp
sebelumnya. Penerimaan PPh nonmigas tahun 320,0
2009−2010 dapat dilihat dalam Grafik III.5.
270,0 76,5
Selain faktor ekonomi, peningkatan penerimaan
61,3
PPh nonmigas terutama disebabkan oleh upaya 220,0
42,1
perbaikan administrasi perpajakan dan 170,0
33,8
61,6
dilakukannya extra effort sebagaimana yang 52,1
120,0
telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun tarif PPh
pasal 25/29 badan mengalami penurunan dari 28 70,0
persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada 20,0
120,3 126,7
tahun 2010, dan juga pemberian diskon 5 persen
bagi perusahaan masuk bursa yang 40 persen -30,0 2009 APBN-P 2010
sahamnya dikuasai publik, PPh pasal 25/29 badan
Lainnya PPh Final dan Fiskal
masih merupakan kontributor utama bagi
PPh Pasal 21 PPh Pasal 25/29 Badan
penerimaan PPh nonmigas dengan kontribusi
sebesar 41,0 persen. Bila dibandingkan dengan Sumber : Kementerian Keuangan
realisasi pada tahun 2009, PPh pasal 25/29 badan
tahun 2010 meningkat 5,3 persen. Perkembangan penerimaan PPh nonmigas per pasal
dalam periode 2005–2010 dapat dilihat padaTabel III.4.
III-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
11. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
TABEL III.4
PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS, 2005 – 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd
Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P
Total Total Total Total Total Total
PPh Pasal 21 9,3 26,4 31,6 19,1 39,4 20,3 51,7 20,7 52,1 19,5 61,6 20,1
PPh Pasal 22 25,8 73,6 4,0 2,4 4,0 2,0 5,0 2,0 4,4 1,6 5,4 1,8
PPh Pasal 22 Impor 13,5 9,3 13,1 7,9 16,6 8,6 25,1 10,0 19,2 7,2 23,9 7,8
PPh Pasal 23 13,0 8,9 15,4 9,3 15,7 8,1 18,1 7,2 16,0 6,0 20,0 6,5
PPh Pasal 25/29 Pribadi 1,6 1,1 1,8 1,1 1,6 0,8 3,6 1,4 3,3 1,3 4,3 1,4
PPh Pasal 25/29 Badan 51,4 35,4 65,1 39,3 80,8 41,6 106,4 42,6 120,3 45,0 126,7 41,3
PPh Pasal 26 8,9 6,1 10,5 6,4 14,6 7,5 14,9 6,0 18,4 6,9 22,9 7,5
PPh Final dan Fiskal 21,9 15,1 24,1 14,6 21,6 11,1 25,2 10,1 33,8 12,6 42,1 13,7
PPh Non Migas Lainnya -0,1 -0,04 0,04 0,02 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,0 0,00 0,0
Total 145,3 175,8 165,6 100,0 194,4 100,0 249,8 100,0 267,6 100,0 306,8 100,0
Sumber : Kementerian Keuangan
Selama periode 2005–2009, realisasi penerimaan PPh nonmigas didominasi oleh sektor
keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, sektor industri pengolahan, serta sektor
perdagangan, hotel dan restoran sebagai kontributor utama dengan rata-rata kontribusi
masing-masing sebesar 28,9 persen, 25,1 persen dan 9,9 persen. Pertumbuhan rata-rata
dalam kurun waktu 2005–2009 untuk sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan
adalah 17,3 persen, untuk sektor industri pengolahan 16,6 persen, dan sektor perdagangan,
hotel dan restoran sebesar 25,0 persen. Perkembangan PPh nonmigas sektoral 2005–2010
dapat dilihat dalam Tabel III.5.
TABEL III.5
PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTORAL, 2005 − 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian % thd % thd % thd % thd % thd Perk. % thd
Real. Real. Real. Real. Real.
Total Total Total Total Total Real. Total
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 2,5 2,1 2,8 2,0 4,7 2,6 9,9 4,3 10,5 4,3 9,3 3,6
Pertambangan Migas 9,9 8,1 12,1 8,3 14,0 7,8 17,9 7,8 8,5 3,5 8,2 3,2
Pertambangan Bukan Migas 5,6 4,5 6,2 4,3 10,5 5,8 11,7 5,1 17,8 7,3 14,0 5,4
Penggalian 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 0,5 0,2 0,3 0,1 0,3 0,1
Industri Pengolahan 33,9 27,7 34,7 24,0 41,9 23,3 56,6 24,7 62,7 25,7 77,8 30,0
Listrik, Gas, dan Air Bersih 3,0 2,4 5,7 3,9 4,7 2,6 5,3 2,3 5,4 2,2 8,3 3,2
Konstruksi 2,5 2,0 3,1 2,1 4,8 2,7 5,4 2,3 6,7 2,8 7,7 3,0
Perdagangan, Hotel, dan Restoran 11,1 9,1 13,5 9,3 16,9 9,4 24,3 10,6 27,1 11,1 31,5 12,2
Pengangkutan dan Komunikasi 11,3 9,3 14,7 10,2 16,3 9,1 20,1 8,8 16,8 6,9 17,4 6,7
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 35,7 29,2 44,3 30,6 54,8 30,5 60,5 26,4 67,6 27,7 61,6 23,8
Jasa Lainnya 6,7 5,5 7,6 5,2 10,7 5,9 12,3 5,4 17,8 7,3 20,3 7,8
Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 0,1 0,1 0,1 0,0 0,2 0,1 4,5 2,0 2,4 1,0 2,4 0,9
Total 122,4 100,0 145,0 100,0 179,7 100,0 229,1 100,0 243,6 100,0 258,9 100,0
* Belum memperhitungkan penerimaan PPh valas dan BUN, transaksi yang offline , serta restitusi.
Tahun 2010 sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan diperkirakan akan mengalami
penurunan sebesar Rp6,0 triliun atau 8,9 persen sehingga mencapai Rp61,6 triliun.
Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh turunnya suku bunga Bank Indonesia yang
mengakibatkan net interest margin (NIM) bank mengalami penurunan. Rata-rata suku
bunga untuk semester I tahun 2010 adalah 6,5 persen, atau menurun jika dibandingkan
dengan rata-rata suku bunga pada semester I tahun 2009 sebesar 7,75 persen.
Sementara itu, pada tahun 2010, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai
Rp77,8 triliun, meningkat sebesar Rp17,8 triliun atau 29,7 persen bila dibandingkan dengan
nilainya pada tahun 2009. Kenaikan ini terutama didukung oleh pertumbuhan sektor industri
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-11
12. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan akan mengalami
kenaikan sebesar Rp4,9 triliun atau 18,5 persen dibandingkan tahun 2009 sehingga mencapai
Rp31,5 triliun.
PPN dan PPnBM
Penerimaaan PPN dan PPnBM selama periode 2005–2009 mengalami pertumbuhan rata-
rata 17,5 persen. Secara komposisi, PPN dan PPnBM dalam negeri tumbuh rata-rata 23,8
persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan PPN dan PPnBM impor yang tumbuh rata-
rata 8,8 persen dalam periode tersebut. Dari sisi besarnya kontribusi, PPN dan PPnBM dalam
negeri mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 61,1 persen dari total penerimaan
PPN dan PPnBM, sedangkan PPN dan PPnBM impor memberikan kontribusi rata-rata 38,9
persen.
Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPN dan PPnBM ditargetkan sebesar Rp263,0
triliun, yang terdiri dari atas PPN dan PPnBM dalam negeri Rp163,0 triliun (63,1 persen)
dan PPN dan PPnBM impor Rp99,7 triliun (37,9 persen). Perkembangan PPN dan PPnBM
dalam periode 2005–2010 dapat dilihat dalam Tabel III.6.
TABEL III.6
PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 − 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd
Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P
Total Total Total Total Total Total
a. PPN 94,0 92,8 118,2 96,1 147,4 95,4 198,2 94,5 184,2 95,4 253,4 96,4
PPN DN 48,8 48,1 74,8 60,8 93,3 60,3 116,7 55,7 120,4 62,4 156,4 59,5
PPN Impor 44,9 44,3 43,1 35,0 53,9 34,9 81,1 38,7 63,4 32,9 96,7 36,8
PPN Lainnya 0,3 0,3 0,3 0,2 0,3 0,2 0,3 0,1 0,3 0,1 0,3 0,1
b. PPnBM 7,3 7,2 4,8 3,9 7,1 4,6 11,5 5,5 8,9 4,6 9,5 3,6
PPnBM DN 4,9 4,8 3,1 2,5 4,7 3,0 7,5 3,6 6,1 3,2 6,6 2,5
PPnBM Impor 2,4 2,4 1,7 1,4 2,4 1,6 4,0 1,9 2,8 1,5 3,0 1,1
PPnBM Lainnya 0,0 0,0 0,002 0,002 0,021 0,01 0,012 0,01 0,015 0,01 0,01 0,004
Total (a+b) 101,3 100,0 123,0 100,0 154,5 100,0 209,6 100,0 193,1 100,0 263,0 100,0
Sumber : Kementerian Keuangan
Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target pada tahun 2010 tersebut meningkat
Rp69,9 triliun atau 36,2 persen. Peningkatan terutama terjadi pada PPN dan PPnBM impor
dengan pertumbuhan 50,4 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan tahun sebelumnya
yang mengalami pertumbuhan negatif. Secara umum, peningkatan PPN dan PPnBM impor
tersebut sejalan dengan meningkatnya volume perdagangan dunia, yang berimbas pada
meningkatnya kegiatan ekspor-impor Indonesia.
Di sisi lain, penerimaan PPN dan PPnBM dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar
28,8 persen, lebih rendah dari pertumbuhan tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang
mengakibatkan melemahnya pertumbuhan PPN dan PPnBM dalam negeri ini adalah
rendahnya konsumsi Pemerintah yang pada kuartal I 2010 yang mengalami penurunan
sebesar 8,8 persen (y-o-y). Pada periode yang sama tahun sebelumnya, realisasi konsumsi
Pemerintah cukup tinggi sebagai akibat dilaksanakannya kegiatan Pemilu. Perkembangan
PPN dan PPnBM serta nilai impor dalam periode 2005–2009 dapat dilihat pada
Grafik III.6 dan penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2010 dapat dilihat pada
Grafik III.7.
III-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
13. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
GRAFIK III.6 GRAFIK III.7
PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 – 2009 PENERIMAAN PPN DAN PPnBM,
2009 − 2010
160 160000 triliun Rp
PPN & PPnBM DN 270
140 PPN & PPnBM Impor 140000 PPN PPnBM 9,5
250
triliun Rp
120 Nilai Impor
juta US$
120000
100 230
80 100000
210
60 253,4
80000 190 9,5
40
60000 170
20 184,2
0 40000 150
2005 2006 2007 2008 2009 2009 APBN-P
2010
Sumber: Kementerian Keuangan Sumber: Kementerian Keuangan
Secara umum, realisasi PPN secara sektoral dapat digolongkan ke dalam 12 sektor. Dalam
periode 2005–2009, sektor industri pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar,
dengan rata-rata 38,8 persen. Dua kontributor utama lainnya adalah sektor perdagangan,
hotel dan restoran, serta sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang masing-
masing memberikan kontribusi rata-rata 19,8 persen dan 6,6 persen. Dalam tahun 2010,
diperkirakan sektor industri pengolahan menjadi kontributor utama dengan kontribusi
sebesar 51,1 persen, disusul kemudian oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan
kontribusi sebesar 22,7 persen, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan dengan
kontribusi sebesar 5,8 persen.
Sebagian besar dari realisasi PPN merupakan PPN DN. Dalam periode 2005–2009, PPN
DN mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 62,4 persen. Tiga sektor utama yang
memberikan kontribusi terbesar terhadap penerimaan PPN DN adalah sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertambangan migas.
Kontribusi rata-rata dari ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 31,6 persen, 17,9
persen, dan 11,8 persen dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing 28,3 persen, 22,0
persen dan 7,5 persen.
Dalam tahun 2010, sebagian besar penerimaan PPN DN diperkirakan masih berasal dari
sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan
dan komunikasi, dengan kontribusi masing-masing mencapai 44,2 persen, 18,4 persen dan
8,2 persen. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, tiga sektor tersebut diperkirakan
akan mengalami kenaikan. Sektor industri pengolahan naik Rp17,1 triliun atau 34,1 persen,
sektor perdagangan, hotel dan restoran naik Rp4,5 triliun atau 19,1 persen, dan sektor
pengangkutan dan komunikasi naik Rp2,7 triliun atau 27,8 persen. Kenaikan ini sejalan
dengan membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri. Perkembangan penerimaan PPN
DN secara sektoral dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.7.
Dalam periode 2005–2009, penerimaan PPN impor didukung oleh tiga sektor utama yaitu
sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor
pertambangan migas yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata sebesar 50,7
persen, 23,1 persen, dan 19,1 persen. Pertumbuhan rata-rata dari ketiga sektor tersebut adalah
sebesar 16,0 persen, 22,6 persen, dan negatif 48,8 persen.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-13
14. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
TABEL III.7
PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTORAL, 2005 − 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian % thd % thd % thd % thd % thd Perk. % thd
Real. Real. Real. Real. Real.
Total Total Total Total Total Real. Total
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 1,6 2,8 1,8 2,2 2,0 2,0 3,1 2,7 3,5 2,8 3,3 2,2
Pertambangan Migas 2,9 5,2 16,8 21,0 14,6 14,5 17,0 15,1 3,9 3,1 2,8 1,9
Pertambangan Bukan Migas 0,8 1,4 1,3 1,6 1,8 1,8 1,4 1,2 1,9 1,5 2,1 1,4
Penggalian 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1
Industri Pengolahan 18,5 33,2 22,3 27,9 28,6 28,4 32,2 28,6 50,2 39,9 67,3 44,2
Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,4 0,8 0,6 0,7 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,6 0,9 0,6
Konstruksi 4,3 7,7 6,2 7,8 12,0 11,9 11,3 10,1 12,4 9,8 12,1 7,9
Perdagangan, Hotel, dan Restoran 10,6 19,0 12,8 16,0 17,9 17,8 20,3 18,0 23,5 18,7 28,0 18,4
Pengangkutan dan Komunikasi 6,1 10,9 6,6 8,2 8,1 8,1 8,8 7,8 9,7 7,7 12,4 8,2
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 7,7 13,7 8,4 10,6 10,8 10,8 9,4 8,3 10,4 8,2 12,1 7,9
Jasa Lainnya 1,3 2,4 1,6 2,0 2,3 2,2 2,6 2,3 3,0 2,4 3,8 2,5
Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 1,5 2,7 1,5 1,9 1,9 1,9 5,9 5,3 6,5 5,2 7,3 4,8
Total 55,8 100,0 79,9 100,0 100,6 100,0 112,8 100,0 125,7 100,0 152,3 100,0
* Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline, dan restitusi.
Sumber : Kementerian Keuangan
Pada tahun 2010, PPN impor diperkirakan akan tetap didukung oleh sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas.
Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran tersebut diperkirakan
akan mengalami kenaikan masing-masing 47,3 persen dan 54,1 persen. Dengan demikian,
sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp59,2 triliun dan sektor
perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan mencapai Rp28,2 triliun. Secara umum,
peningkatan penerimaan di kedua sektor tersebut didukung oleh meningkatnya kinerja
impor. Di sisi lain, sektor pertambangan migas diperkirakan akan mengalami penurunan
sehingga mencapai Rp0,6 triliun pada akhir tahun 2010. Pertumbuhan negatif penerimaan
sektor pertambangan migas menurut data modul penerimaan negara (MPN) disebabkan
karena penerimaan tercatat hanya dalam bentuk rupiah, penerimaan ini belum termasuk
penerimaan dalam bentuk mata uang asing. Apabila digabungkan dengan penerimaan mata
uang asing terdapat pertumbuhan positif sebesar 69,1 persen. Perkembangan penerimaan
PPN impor secara sektoral tahun 2005–2010 dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.8.
TABEL III.8
PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL, 2005 – 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian % thd % thd % thd % thd % thd Perk. % thd
Real. Real. Real. Real Real.
Total Total Total Total Total Real. Total
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,4 0,5
Pertambangan Migas 11,4 25,3 9,9 23,4 11,9 22,0 19,3 23,5 0,8 1,2 0,6 0,6
Pertambangan Bukan Migas 0,2 0,5 0,1 0,2 0,2 0,3 0,5 0,7 0,5 0,7 1,9 2,0
Penggalian 0,1 0,3 0,1 0,1 0,0 0,1 0,1 0,1 0,0 0,1 0,0 0,0
Industri Pengolahan 22,2 49,1 20,0 47,3 26,4 48,8 37,0 45,2 40,2 63,1 59,2 62,3
Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,2 0,3 0,2 0,5 0,1 0,2 0,2 0,2 0,2 0,4 0,2 0,3
Konstruksi 0,5 1,2 0,4 0,9 0,5 0,9 1,3 1,6 1,0 1,5 0,9 1,0
Perdagangan, Hotel, dan Restoran 8,1 17,9 9,0 21,4 12,4 23,0 20,1 24,5 18,3 28,7 28,2 29,7
Pengangkutan dan Komunikasi 1,9 4,1 2,0 4,7 1,8 3,3 2,4 3,0 1,5 2,3 1,2 1,3
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 0,4 1,0 0,4 0,9 0,4 0,8 0,7 0,9 1,0 1,6 2,2 2,3
Jasa Lainnya 0,1 0,2 0,1 0,2 0,2 0,3 0,2 0,3 0,1 0,1 0,1 0,1
Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Total 45,2 100,0 42,3 100,0 54,0 100,0 82,0 100,0 63,6 100,0 95,0 100,0
* Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline , dan restitusi.
Sumber : Kementerian Keuangan
PBB dan BPHTB
Realisasi PBB dan BPHTB masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata 10,6 persen
dan 17,2 persen dalam periode 2005–2009. Rata-rata kontribusi PBB terhadap penerimaan
pajak dalam negeri adalah sebesar 4,7 persen, sedangkan BPHTB sebesar 1,0 persen.
III-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
15. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
BOKS III.1
AMENDEMEN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM
NOMOR 42 TAHUN 2009
LATAR BELAKANG
1 . Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis.
2. Perkembangan transaksi bisnis yang mengikuti kemajuan teknologi serta perubahan pola
konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa, memerlukan penyerderhanaan sistem
PPN.
DASAR HUKUM
1 . Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Undang-undang Nomor 62 Tahun 2009 tentang KUP.
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. UU Nomor 18 Tahun
2000.
KEBIJAKAN
Pemerintah melakukan amendemen atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN
dan PPnBM jo. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagai bentuk penyederhanaan
sistem perpajakan dan kepastian hukum.
TUJUAN
1 . Dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan,
2. Menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana.
POKOK-POKOK PERUBAHAN UU PPN DAN PPnBM
Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun 2009
Ekspor BKP Tidak Berwujud dan Ekspor JKP dikenakan PPN
1. Istilah baru dalam objek pajak Tidak diatur.
dengan tarif 0%.
Dikenakan PPN terbatas pada penyerahan aktiva yang PPN dikenakan atas penyerahan seluruh aktiva, kecuali
2. Penyerahan aktiva yang tujuan
PPN terutang pada saat perolehannya telah dibayar aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan
semula tidak untuk diperjualbelikan
dan dapat dikreditkan. usaha.
3. Penyerahan dan bukan penyerahan
BKP
a. Pembiayaan syariah Dikenakan PPN pada setiap transaksi penyerahan. Dikenakan PPN, penyerahannya dianggap langsung.
Tidak dikenakan PPN, syarat semua perusahaan terdaftar
b. Dalam rangka restrukturisasi Dikenakan PPN.
sebagai PKP.
c. Persediaan yang tersisa pada saat Terbatas pada aktiva yang PPN pada saat Seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan
pembubaran perusahaan perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan. langsung dengan kegiatan usaha.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-15
16. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun 2009
4. NonBKP dan nonJKP (pasal 4a)
a. Daging, telur, susu, sayur- Dibebaskan dari pengenaan PPN, melalui Peraturan
Dibebaskan dari pengenaan PPN.
sayuran, dan buah-buahan Pemerintah tentang BKP Strategis.
Dikenakan PPN, kecuali pasir dan kerikil (Psl 4A (2)
b. Barang hasil pertambangan Tidak dikenakan PPN .
huruf a).
PPN tidak dikenakan atas jasa keuangan (menghimpun,
PPN tidak dikenakan atas jasa perbankan. (Psl 4A (3)
c. Jasa keuangan menempatkan, dan meminjam dana; pembiayaan;
huruf d).
penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai; penjaminan).
PPN dikenakan atas jasa: penyediaan parkir; telepon
d. Jasa tertentu umum (koin); pengiriman uang dengan wesel pos; Menjadi tidak dikenakan PPN.
serta jasa boga/catering .
5. Barang dan jasa yang tidak dikenakan Sebelumnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Ditetapkan langsung di dalam penjelasan Undang-Undang
PPN Pemerintah. (Pasal 4A).
PKP bertambah:
6. Pengusaha Kena Pajak (PKP) 1. Eksportir JKP,
2. Eksportir BKP tidak berwujud.
PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan dapat
7. Retur atas penyerahan JKP Tidak diatur.
dikurangkan.
(1) Bukan kebutuhan pokok; (2) Dikonsumsi
masyarakat tertentu; (3) Dikonsumsi masyarakat
8. a. Kriteria BKP mewah berpenghasilan tinggi; (4) Menunjukkan status; Kriteria nomor 5 dihapus.
(5) Merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban.
b. Tarif PPnBM Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 75%. Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 200%.
9. Restitusi
Hanya PKP tertentu, yaitu PKP: (1) Eksportir;
(2) Dengan penyerahan kepada Pemungut PPN;
a. Saat Pengajuan Restitusi (Pasal 9 Seluruh PKP dapat melakukan restitusi pada setiap (3) Mendapat fasilitas tidak dipungut PPN;
(4a), (4b)) masa pajak (Psl 9 (4)). (4) Belum berproduksi.
Restitusi PKP lain pada akhir tahun buku. (Psl 9 (4a))
1. Mengatur pengembalian pendahuluan bagi
PKP Eksportir, PKP dengan penyerahan kepada
Pemungut PPN, dan PKP yang mendapat
Hanya diberikan kepada WP Patuh dan WP dengan fasilitas tidak dipungut PPN, yang berisiko
b. Pengembalian Pendahuluan
Persyaratan Tertentu. rendah.
2. Sanksi bunga 2% per bulan paling lama 24
bulan, bila terbit SKPKB.
PPN atas barang bawaan dapat direstitusi melalui bandara
c. Restitusi untuk Turis Asing Tidak diatur.
tertentu, dengan syarat tertentu.
1. Hanya mengatur untuk PKP yang
Berlaku bagi PKP baik orang pribadi maupun badan yang:
menggunakan norma PPh.
10. Deemed Pajak Masukan 2. Deemed PM bagi PKP kegiatan tertentu
1. Memiliki omzet tertentu; dan
belum diatur.
2. Melakukan kegiatan tertentu.
11. Pengkreditan Pajak Masukan (PM)
Terbatas PM yang berasal dari perolehan dan/atau impor
a. PM yang boleh dikreditkan oleh barang modal. Dalam hal PKP gagal berproduksi, maka PM
Seluruh PM (Pasal 9 (2a)).
PKP yang belum berproduksi yang telah dikreditkan dan telah direstitusi harus dibayar
kembali.
b. Pengkreditan PM atas BKP yang Menghidupkan kembali rumusan Pasal 9 ayat (14) yaitu
Tidak diatur (pada perubahan kedua UU PPN,
dialihkan dalam rangka dalam hal restrukturisasi, maka PM atas BKP yang dialihkan
ketentuan ini dihapus).
restrukturisasi yang belum dikreditkan dapat dikreditkan oleh PKP.
III-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
17. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun 2009
WP mengajukan permohonan, pemberian ijin Cukup dengan pemberitahuan oleh WP, pemeriksaan
12. Pemusatan tempat PPN
berdasarkan pemeriksaan. dilakukan kemudian dalam hal diperlukan.
13. Faktur Pajak (FP)
Paling lama akhir bulan berikutnya atau pada saat Diatur dalam Undang-Undang (Psl 13 (1a)) yaitu saat
a. Saat Pembuatan FP
pembayaran (Peraturan Dirjen Pajak). penyerahan atau pada saat pembayaran.
b. Jenis FP Jenis FP yaitu Standar dan Sederhana. Hanya ada istilah “Faktur Pajak”.
PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak
PKP akan dikenai sanksi apabila menerbitkan FP
memuat: (1) Identitas pembeli; atau
yang tidak memenuhi syarat formal FP, antara lain:
c. Sanksi atas pelanggaran syarat (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda
(1) Identitas pembeli; atau
formal FP tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang eceran. FP
(2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan
tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun FP
(Pasal 13 ayat (5)).
tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya.
d. Syarat formal & material Diatur dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5)). Diatur dalam batang tubuh yaitu Pasal 13 ayat (9).
• Paling lama akhir bulan berikutnya setelah
• Paling lama pada tanggal 15 setelah
14. a. Saat penyetoran PPN berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa
berakhirnya Masa Pajak.
PPN disampaikan.
• Paling lama pada tanggal 20 setelah • Paling lama akhir bulan berikutnya setelah
b. Saat pelaporan PPN
berakhirnya Masa Pajak. berakhirnya Masa.
Memberikan dasar hukum atas pemberian fasilitas sebagai
berikut:
1. Perwakilan negara asing dibebaskan PPN dan
PPnBM;
2. Proyek Pemerintah yang dibiayai hibah LN
tidak dipungut PPN dan PPnBM;
3. Impor barang yang Bea Masuknya dibebaskan
Belum ada dasar hukum untuk pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dan PPn BM;
15. Fasilitas perpajakan (pasal 16b)
kegiatan-kegiatan tertentu.
4. Fasilitas PPN bagi kegiatan penanggulangan
bencana alam nasional;
5. Pembebasan PPN bagi listrik & air;
6. Menjamin tersedianya angkutan umum di
udara;
7. Bebas PPN bagi penyerahan perak sebagai
bahan baku kerajinan.
16. Tanggung renteng Tidak lagi diatur dalam UU KUP dan UU PPN. Diatur kembali dalam UU PPN.
Faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan penerimaan PBB adalah naiknya
nilai jual objek pajak (NJOP) dari tahun ke tahun dan perluasan objek PBB. Faktor yang
mempengaruhi NJOP adalah harga pasar properti baik tanah maupun bangunan. Khusus
untuk PBB sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, kenaikan NJOP juga
dipengaruhi oleh nilai produksinya. Meningkatnya penerimaan PBB terutama didukung
oleh PBB pertambangan yang dalam periode 2005–2009 mengalami peningkatan rata-
rata sebesar 22,3 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya penerimaan
PBB pertambangan antara lain ICP yang cenderung naik dan jumlah areal pertambangan
yang terus bertambah.
Sementara itu, peningkatan penerimaan BPHTB terutama disebabkan oleh meningkatnya
jumlah transaksi jual beli tanah dan bangunan. Sebagaimana diketahui, kegiatan usaha di
bidang properti sempat mengalami booming pada periode 2005–2007, meskipun agak
melemah pada tahun 2008 dan 2009.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-17
18. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penerimaan PBB dan BPHTB
ditargetkan sebesar Rp25,3 triliun dan Rp7,2 triliun pada APBN-P tahun 2010.
Perkembangan penerimaan PBB dan BPHTB dalam periode 2005–2010 ditunjukkan dalam
Tabel III.9.
TABEL III.9
PERKEMBANGAN PBB, 2005 – 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd
Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P
Total Total Total Total Total Total
PBB Pedesaan 4,5 27,8 5,8 27,7 1,7 7,3 1,4 5,6 1,4 5,9 0,9 3,4
PBB Perkotaan 3,6 21,9 3,8 18,2 4,9 20,5 5,0 19,6 5,5 22,7 6,3 24,7
PBB Perkebunan 0,1 0,9 0,2 0,7 0,4 1,7 0,6 2,4 0,7 2,9 0,8 3,1
PBB Kehutanan 0,1 0,6 0,1 0,4 0,1 0,5 0,2 0,6 0,2 0,7 0,3 1,2
PBB Pertambangan 7,4 45,7 10,5 50,4 16,6 69,9 18,2 71,6 16,5 67,8 17,1 67,5
PBB Lainnya 0,5 3,1 0,5 2,5 0,03 0,1 0,02 0,1 0,00 0,0 0,00 0,0
Total 16,2 100,0 20,9 100,0 23,7 100,0 25,4 100,0 24,3 100,0 25,3 100,0
Sumber : Kementerian Keuangan
Apabila dibandingkan dengan realisasi 2009, PBB dalam APBN-P tahun 2010 mengalami
peningkatan 4,3 persen, sedangkan BPHTB meningkat sebesar 10,7 persen. Peningkatan
penerimaan PBB tersebut terutama disebabkan oleh tingginya realisasi PBB pertambangan,
khususnya pertambangan migas. Dalam tahun 2010, PBB pertambangan ditargetkan sebesar
Rp17,1 triliun. Sementara itu, kenaikan penerimaan BPHTB pada tahun 2010 lebih banyak
dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi di sektor properti. Hal ini sejalan dengan tren
penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang berpengaruh terhadap turunnya bunga
kredit kepemilikan apartemen (KPA) dan kredit kepemilikan rumah (KPR). Selain itu,
meningkatnya transaksi properti juga dipengaruhi oleh semakin mudahnya persyaratan
pemberian kredit.
Cukai
Penerimaan cukai bersumber dari cukai hasil tembakau, cukai ethil alkohol (EA), cukai
MMEA, denda administrasi cukai, dan cukai lainnya. Penerimaan cukai mengalami
peningkatan secara signifikan dalam periode 2005–2009, tumbuh rata-rata sebesar 14,3
persen, yaitu dari Rp33,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp56,7 triliun pada tahun 2009.
Secara lebih rinci, penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai hasil tembakau
yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 97,8 persen dengan rata-rata pertumbuhan
14,1 persen. Sementara itu, kontribusi cukai EA mencapai 0,6 persen dengan rata-rata
pertumbuhan mencapai 40,6 persen, dan cukai MMEA memberikan kontribusi sebesar 1,6
persen dengan rata-rata pertumbuhan 16,7 persen.
Perkembangan penerimaan cukai hasil tembakau periode 2005–2009 menunjukkan
kecenderungan meningkat yang terutama dipengaruhi oleh: (1) kebijakan di bidang tarif
cukai dan harga dasar barang kena cukai; (2) kebijakan lainnya di bidang cukai, contohnya
kebijakan yang terkait dengan penundaan pembayaran cukai; (3) intensitas penindakan di
bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan administrasi pembukuan di bidang cukai oleh
KPPBC; (5) peningkatan pengawasan pengguna fasilitas cukai; (6) optimalisasi pelayanan
cukai dengan memanfaatkan teknologi informasi (sistem aplikasi cukai sentralisasi) dalam
kegiatan pelayanan perizinan nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC),
III-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
19. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
penetapan tarif cukai hasil tembakau, penundaan pembayaran cukai, dan proses penyediaan
sampai dengan pemesanan pita cukai; dan (7) peningkatan pelaksanaan sosialisasi ketentuan
di bidang cukai dengan tujuan agar para stakeholder dapat lebih memahami ketentuan
yang berlaku di bidang cukai. Perkembangan realisasi cukai tahun 2005–2010 dapat dilihat
pada Tabel III.10.
TABEL III.10
PERKEMBANGAN REALISASI CUKAI, 2005 – 2010
(triliun rupiah)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd
Real. Real. Real. Real Real. APBN-P
Total Total Total Total Total Total
Cukai Hasil Tembakau 32,6 98,2 37,1 98,1 43,5 97,4 49,9 97,4 55,4 97,6 55,9 94,3
Cukai Ethil Alkohol (EA) 0,10 0,3 0,1 0,4 0,4 1,0 0,4 0,8 0,4 0,7 0,4 0,7
Cukai MMEA 0,50 1,5 0,6 1,5 0,7 1,5 0,9 1,7 0,9 1,6 3,0 5,0
Denda Administrasi Cukai 0,004 0,01 0,002 0,01 0,005 0,01 0,012 0,02 0,016 0,03 0,000 0,00
Cukai Lainnya 0,003 0,01 0,007 0,02 0,028 0,1 0,015 0,0 0,010 0,0 0,000 0,0
Total 33,3 100,0 37,8 100,0 44,7 100,0 51,3 100,0 56,7 100,0 59,3 100,0
Sumber : Kementerian Keuangan
Berdasarkan pengklasifikasian jenis produksi hasil tembakau pada periode 2005–2009,
penerimaan cukai hasil tembakau didominasi oleh SKM yang memberikan kontribusi rata-
rata sebesar 57,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 2,8 persen. Sementara itu, kontribusi
SKT mencapai 35,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 2,0 persen, dan SPM
memberikan kontribusi sebesar 6,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 1,9 persen.
Perkembangan produksi jenis rokok 2005–2010 dapat dilihat pada Tabel III.11.
TABEL III.11
PERKEMBANGAN PRODUKSI JENIS ROKOK, 2005 – 2010
(miliar batang)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jenis Rokok
Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P
a. Sigaret Kretek Mesin (SKM) 126,6 125,4 131,7 144,5 141,2 144,2
b. Sigaret Kretek Tangan (SKT) 78,2 77,9 84,3 88,2 84,7 87,2
c. Sigaret Putih Mesin (SPM) 15,3 13,5 16,0 17,0 16,5 17,0
Total (a+b+c) 220,1 216,8 231,9 249,7 242,4 248,4
Sumber : Kementerian Keuangan
Dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, total produksi hasil tembakau pada tahun
2010 diperkirakan mengalami peningkatan hingga mencapai 6 miliar batang bila
dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 2009. Kenaikan produksi jenis rokok tersebut
terutama didorong oleh peningkatan produksi jenis SKM.
Selanjutnya, perkembangan produksi MMEA periode 2005–2009, mengalami pertumbuhan
rata-rata sebesar 3,5 persen. Penerimaan cukai MMEA didominasi dari penerimaan MMEA
dalam negeri dengan rata-rata sebesar 98,3 persen dan selebihnya sebesar 1,7 persen
disumbangkan oleh MMEA impor. Perkembangan penerimaan cukai MMEA dan produksi
MMEA dalam negeri 2005–2009 dapat dilihat pada Grafik III.8.
Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan cukai diperkirakan mencapai Rp59,3 triliun. Bila
dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target penerimaan cukai dalam APBN-P tahun
2010 tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp2,5 triliun (4,5 persen). Penerimaan cukai
tahun 2009–2010 dapat dilihat pada Grafik III.9.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-19
20. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah
GRAFIK III.8
PERKEMBANGAN PENERIMAAN CUKAI MMEA DAN PRODUKSI MMEA DALAM NEGERI,
2005 – 2009
1.000 228 232 250
900 202 203
800 184 200
miliar Rp
700
Juta Lt
600 150
500 927,2
878,5
400 100
687,9
300 568,1
500,4
200 50
100
- -
2005 2006 2007 2008 2009
Sumber : Kementerian Keuangan Penerimaan Cukai Produksi
Secara lebih rinci, penerimaan cukai hasil
GRAFIK III.9
tembakau dalam APBN-P tahun 2010 PENERIMAAN CUKAI,
diperkirakan mencapai Rp55,9 triliun atau triliun Rp 2009 − 2010
62
mengalami peningkatan sebesar Rp0,5 triliun
59,3
(0,9 persen) bila dibandingkan dengan realisasi 60
tahun 2009. Faktor utama yang menyebabkan 58 56,7
56
kenaikan penerimaan cukai hasil tembakau
adalah diterapkannya kebijakan kenaikan tarif 54
cukai yang diberlakukan mulai 1 Januari 2010 52
berkisar antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 50
2009 APBN-P
persen tergantung pada jenis hasil 2010
Sumber : Kementerian Keuangan
tembakaunya (SKM, SKT, dan SPM). Selain
dipicu oleh kenaikan tarif tersebut, peningkatan
penerimaaan cukai hasil tembakau juga didukung oleh upaya pemberantasan rokok ilegal
yang dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran barang kena cukai.
Sementara itu, penerimaan cukai MMEA dalam APBN-P tahun 2010 diperkirakan mencapai
Rp3,0 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp2,1 triliun (221,5 persen) bila dibandingkan
dengan realisasi tahun 2009. Faktor utama yang mempengaruhi penerimaan cukai MMEA
adalah diterapkannya kebijakan penyesuaian tarif cukai MMEA dengan kenaikan tarif rata-
rata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk MMEA impor.
Selain itu, pencapaian tersebut juga didukung oleh upaya pemberantasan MMEA ilegal yang
dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor. Penyesuaian tarif
cukai MMEA dan EA dapat dilihat pada Boks III.2.
Selanjutnya, penerimaan cukai EA dalam APBN-P tahun 2010 ditargetkan sebesar Rp0,4
triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp0,03 triliun (8,9 persen) bila dibandingkan
dengan realisasi tahun 2009. Peningkatan tersebut terjadi karena kebijakan penyesuaian
tarif cukai untuk konsentrat yang mengandung EA sebesar 100 persen dan penetapan tarif
cukai spesifik EA sebesar Rp20.000.
III-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
21. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III
BOKS III.2
PENYESUAIAN TARIF CUKAI MMEA DAN EA
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah, Penjelasan Pasal 5 ayat 1 angka 5 Undang-undang Nomor 18 Tahun
2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 mengatur bahwa
minuman beralkohol tidak lagi termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong mewah. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan
dan cukai dengan melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penetapan tarif cukai
atas EA, MMEA, dan konsentrat yang mengandung ethil alkohol.
Dalam rangka penyesuaian ketentuan tarif cukai atas MMEA dan EA, Pemerintah
memberlakukan kebijakan penetapan tarif cukai atas EA, MMEA, dan konsentrat yang
mengandung EA yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.011/
2010 tentang Penetapan Tarif Cukai Ethil Alkohol, Minuman yang Mengandung Ethil Alkohol,
dan Konsentrat yang Mengandung Ethil Alkohol yang berlaku efektif sejak tanggal 1 April
2010.
Tujuan dari kebijakan Pemerintah dalam melakukan penyesuaian tarif cukai spesifik atas
MMEA dan EA yaitu: (1) untuk pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Cukai (BKC);
(2) menyesuaikan beban perpajakan MMEA Indonesia dengan negara-negara yang
berkarakteristik mirip yakni tujuan pariwisata dan negara yang membatasi peredaran MMEA;
(3) memudahkan administrasi pemungutan dan kepastian pendapatan negara;
(4) penyederhanaan penggolongan tarif cukai ke dalam satu golongan; dan (5) menyamakan
tarif cukai MMEA Dalam Negeri (DN) dengan MMEA impor secara bertahap.
Dasar penetapan tarif cukai atas MMEA dan EA diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995
tentang Cukai yang mengatur bahwa Barang Kena Cukai (BKC) dikenai cukai dengan tarif
paling tinggi untuk produk DN sebesar 1.150 persen x harga jual pabrik atau 80 persen x HJE,
dan untuk impor sebesar 1.150 persen x (nilai pabean + BM) atau 80 persen x HJE. Tarif cukai
dapat diubah dari persentase harga dasar (advalorem) menjadi jumlah dalam rupiah untuk
setiap satuan BKC (spesifik), atau sebaliknya atau gabungan keduanya. Pokok-pokok
perubahan kebijakan penyesuaian tarif cukai yaitu:
1 . Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan A1 dan A2 menjadi golongan A
dengan penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 340,0 persen dan sebesar
214,3 persen. Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing
sebesar 340,0 persen dan sebesar 120,0 persen.
2 . Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan B1 dan B2 menjadi golongan B dengan
penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 500,0 persen dan sebesar 200,0 persen.
Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 100,0
persen dan sebesar 33,3 persen.
3 . Penyesuaian kenaikan tarif MMEA untuk golongan C sebesar 188,5 persen untuk produksi DN
dan sebesar 160,0 persen untuk impor.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-21