SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 56
Baixar para ler offline
Pendapatan Negara dan Hibah                                                          Bab III



                                        BAB III
                 PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

3.1 Umum
Dalam periode 2005–2009, realisasi pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan
rata-rata 14,4 persen, didukung dengan peningkatan penerimaan dalam negeri dan hibah
yang masing-masing tumbuh rata-rata 14,4 persen dan 6,3 persen. Penerimaan dalam negeri
terutama berasal dari penerimaan perpajakan yang memberikan kontribusi rata-rata 68,9
persen dengan pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) memberikan kontribusi rata-rata 31,1 persen dengan pertumbuhan rata-rata
11,5 persen. Meningkatnya realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode
2005–2009 tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi baik global maupun
nasional, dan juga keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan
negara dan hibah.
Kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah diarahkan untuk mendukung
kebijakan fiskal yang berkesinambungan melalui upaya optimalisasi pendapatan negara
dan hibah, khususnya penerimaan dalam negeri. Hal ini sesuai dengan peran pendapatan
negara dan hibah sebagai sumber pendanaan program-program pembangunan. Sebagai
kontributor utama bagi penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan diupayakan
secara optimal melalui tiga kebijakan utama, yaitu: (1) reformasi di bidang administrasi;
(2) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan; dan (3) reformasi di bidang
pengawasan dan penggalian potensi. Ketiga kebijakan tersebut secara umum berlaku baik
di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Di bidang PNBP, kebijakan yang
telah diambil Pemerintah dalam rangka optimalisasi adalah (1) meningkatkan produksi
sumber daya alam (SDA); (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan di bidang PNBP;
(3) meningkatkan pengawasan PNBP; dan (4) meningkatkan kinerja BUMN.
Pada tahun 2010, perekonomian dunia mulai pulih dari krisis. Kondisi tersebut berimbas
pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8
persen, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada realisasi pendapatan negara dan hibah.
Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi pendapatan negara dan hibah ditargetkan sebesar
Rp992,4 triliun atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009.
Penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp990,5 triliun atau meningkat 16,9 persen,
dengan perincian penerimaan perpajakan Rp743,3 triliun atau meningkat 19,9 persen dan
PNBP Rp247,2 triliun atau meningkat 8,8 persen. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai
Rp1,9 triliun dengan peningkatan sebesar 13,8 persen.
Dalam tahun 2010, kebijakan pendapatan negara dan hibah tetap diarahkan untuk
optimalisasi penerimaan dalam negeri. Di bidang perpajakan, selain melakukan kebijakan
yang bersifat reguler seperti reformasi di bidang administrasi, peraturan perundang-undangan
dan pengawasan serta penggalian potensi, Pemerintah melakukan upaya tambahan (extra
effort) baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Extra effort tersebut
antara lain dilakukan melalui peningkatan efisiensi pemeriksaan dan penagihan pajak, serta
peningkatan pengawasan atas peredaran barang kena cukai ilegal. Di bidang PNBP, kebijakan



Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                             III-1
Bab III                                                         Pendapatan Negara dan Hibah



yang dilakukan Pemerintah untuk mengamankan target PNBP tahun 2010 adalah
optimalisasi penerimaan SDA terutama dari migas, peningkatan kinerja BUMN, serta
optimalisasi PNBP kementerian/lembaga (K/L).
Memasuki tahun 2011, kondisi perekonomian Indonesia diharapkan jauh lebih baik daripada
tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi ditargetkan akan mencapai 6,3 persen, lebih tinggi
dibandingkan dengan perkiraan realisasi 2010. Indikator-indikator ekonomi makro lainnya
juga diperkirakan akan cukup stabil. Berdasarkan asumsi tersebut, pendapatan negara dan
hibah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp1.086,4 triliun, dengan perincian
penerimaan dalam negeri sebesar Rp1.082,6 triliun dan hibah Rp3,7 triliun. Penerimaan
dalam negeri akan berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp839,5 triliun, dan PNBP
sebesar Rp243,1 triliun.
Dalam rangka mencapai target penerimaan negara pada tahun 2011, Pemerintah akan
menjalankan berbagai kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP. Pokok-pokok kebijakan
perpajakan secara umum adalah melanjutkan dan mempertajam kebijakan-kebijakan tahun
sebelumnya. Di bidang perpajakan, kebijakan antara lain akan difokuskan pada (1) penggalian
potensi perpajakan; (2) peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (3) penyempurnaan
mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak; (4) peningkatan
pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; (5) perbaikan sistem informasi;
dan (6) konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Selain itu, dalam rangka
memperbaiki sistem administrasi perpajakan, Pemerintah mengambil kebijakan untuk
melakukan pengalihan BPHTB serta PBB perdesaan dan perkotaan dari pusat ke daerah.
Untuk BPHTB, pengalihan dilakukan pada tahun 2011, sedangkan untuk PBB, pengalihan
dimungkinkan dilakukan mulai tahun 2010 berdasarkan kesiapan masing-masing daerah.
Tenggat waktu yang diberikan kepada daerah untuk mempersiapkan pengalihan PBB tersebut
adalah sampai dengan tahun 2014. Di bidang PNBP, kebijakan yang dilakukan untuk
mencapai target 2011 adalah (1) optimalisasi lifting/produksi minyak mentah dan gas bumi,
serta komoditi tambang dan mineral guna mendukung pencapaian penerimaan SDA;
(2) penyesuaian pay-out ratio dividen dari laba BUMN; (3) penyelesaian audit keuangan
BUMN secara lebih awal guna memantau perkembangan rugi/laba BUMN; (4) penarikan
dividen interim dengan tetap memperhatikan cash flow BUMN; (5) intensifikasi dan
ekstensifikasi PNBP K/L, antara lain dengan melakukan review jenis dan tarif PNBP K/L;
dan (6) perbaikan administrasi pelaporan keuangan K/L.

3.2       Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun
          2005–2009 dan Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah
          Tahun 2010
Pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dalam
periode 2005–2009. Pertumbuhan rata-rata yang terjadi dalam periode tersebut adalah 14,4
persen, yaitu dari Rp495,2 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp848,8 triliun pada tahun
2009. Kondisi perekonomian yang cukup kondusif dalam periode 2005–2009 menjadi faktor
utama yang mendorong meningkatnya pendapatan negara khususnya penerimaan dalam
negeri, meskipun sempat terjadi krisis ekonomi di penghujung tahun 2008 sampai dengan
2009. Dalam periode 2005–2009 tersebut, penerimaan dalam negeri meningkat dari Rp493,9
triliun pada tahun 2005 menjadi Rp847,1 triliun pada tahun 2009. Hal ini berarti terjadi
pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Selain faktor kestabilan ekonomi, penerapan berbagai


III-2                                                          Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pendapatan Negara dan Hibah                                                            Bab III



kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP juga menjadi salah satu faktor pendukung
tingginya realisasi penerimaan dalam negeri. Sementara itu, penerimaan hibah pada periode
2005–2009 mengalami pertumbuhan rata-rata 6,3 persen, yaitu dari Rp1,3 triliun pada
tahun 2005 menjadi Rp1,7 triliun pada tahun 2009.
Terus membaiknya kondisi perekonomian pada tahun 2010 menyebabkan Pemerintah
optimis dapat mencapai target pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010,
penerimaan dalam negeri ditargetkan mencapai Rp990,5 triliun, atau meningkat 16,9 persen
bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai
Rp1,9 triliun atau 13,8 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Dengan demikian,
dalam APBN-P tahun 2010, pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai Rp992,4
triliun, atau 16,9 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009.
Perkembangan pendapatan negara dan hibah dalam periode 2005–2010 dapat dilihat pada
Tabel III.1.

                                     TABEL III.1
                 PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, 2005 – 2010
                                   (triliun rupiah)
                                         2005     2006     2007     2008     2009      2010
                     Uraian
                                         Real.    Real.    Real.    Real.    Real.    APBN-P
 Pendapatan Negara dan Hibah             495,2    638,0    707,8     981,6   848,8     992,4
 I.   Penerimaan Dalam Negeri            493,9    636,2     706,1    979,3    847,1    990,5
      1.   Penerimaan Perpajakan         347,0    409,2     491,0    658,7    619,9    743,3
      2. Penerimaan Negara Bukan Pajak    146,9   227,0     215,1   320,6     227,2    247,2
 II. Hibah                                  1,3      1,8      1,7      2,3      1,7      1,9
 Sumber: Kementerian Keuangan


3.2.1 Penerimaan Dalam Negeri
Dalam periode 2005–2009, penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata
14,4 persen. Sebagai komponen utama, penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan
rata-rata 15,6 persen, sedangkan PNBP tumbuh rata-rata 11,5 persen. Beberapa indikator
makroekonomi yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan dalam negeri dalam
periode tersebut adalah (1) tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat, yaitu dari 5,7 persen
pada tahun 2005, menjadi 6,0 persen pada tahun 2008, meskipun sempat mengalami
penurunan pada tahun 2009; (2) perkembangan ICP yang cenderung meningkat dari
USD51,8 per barel pada tahun 2005 hingga mencapai USD96,8 per barel pada tahun 2008,
dan USD61,6 per barel pada tahun 2009; dan (3) fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat yang sempat mengalami depresiasi pada periode tahun 2005–2009. Selain
itu, keberhasilan penerapan kebijakan perpajakan dan PNBP juga turut mendorong
peningkatan penerimaan dalam negeri.
Memasuki tahun 2010, kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan mampu mencapai
pertumbuhan 5,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2009
yang hanya mencapai 4,5 persen. Berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut,
dan juga didukung oleh tingginya perkiraan ICP yang mencapai USD80 per barel,
penerimaan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp990,5 triliun dalam APBN-P tahun 2010,



Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                              III-3
Bab III                                                                        Pendapatan Negara dan Hibah



terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp743,3 triliun dan PNBP Rp247,2 triliun.
Jumlah tersebut berarti 16,9 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya.
Perkembangan penerimaan dalam negeri pada periode 2005–2010 dapat dilihat pada
Tabel III.2.
                                            TABEL III.2
                         PERKEMBANGAN PENERIMAAN DALAM NEGERI, 2005 – 2010
                                          (triliun rupiah)
                                                  2005    2006      2007     2008     2009      2010
                             Uraian
                                                  Real.   Real.     Real.    Real.    Real.    APBN-P

          Penerimaan Dalam Negeri                 493,9   636,2     706,1    979,3    847,1     990,5
          1. Penerimaan Perpajakan                347,0   409,2     491,0    658,7    619,9     743,3
             a. Pajak Dalam Negeri                331,8   396,0     470,1    622,4    601,3     720,8
                i. Pajak penghasilan              175,5   208,8     238,4    327,5    317,6     362,2
                     1. Migas                      35,1     43,2     44,0      77,0    50,0       55,4
                     2. Nonmigas                  140,4   165,6     194,4    250,5    267,6     306,8
                ii. Pajak pertambahan nilai       101,3   123,0     154,5    209,6    193,1     263,0
                iii. Pajak Bumi dan Bangunan       16,2     20,9      23,7     25,4    24,3       25,3
                iv. BPHTB                           3,4       3,2      6,0      5,6      6,5        7,2
                v. Cukai                           33,3     37,8      44,7     51,3    56,7       59,3
                vi. Pajak lainnya                   2,1       2,3      2,7      3,0      3,1        3,8
             b. Pajak Perdagangan Internasional    15,2     13,2     20,9      36,3    18,7       22,6
                i. Bea masuk                       14,9      12,1     16,7     22,8     18,1       17,1
                ii. Bea keluar                      0,3       1,1      4,2     13,6      0,6        5,5
          2. Penerimaan Negara Bukan Pajak        146,9   227,0      215,1   320,6    227,2     247,2
             a. Penerimaan SDA                    110,5    167,5    132,9    224,5    139,0     164,7
                i. Migas                          103,8    158,1    124,8     211,6   125,8      151,7
                ii. Non Migas                       6,7       9,4      8,1     12,8    13,2       13,0
             b. Bagian Laba BUMN                   12,8     23,0      23,2     29,1    26,0       29,5
             c. PNBP Lainnya                       23,6     36,5      56,9     63,3    53,8       43,5
             d. Pendapatan BLU                      0,0      0,0       2,1      3,7      8,4        9,5
          Sumber : Kementerian Keuangan



3.2.1.1 Penerimaan Perpajakan
Penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen dalam periode
2005–2009. Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan
perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan
pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai.
Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan dapat dikategorikan ke dalam penerimaan
pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak dalam negeri
terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak
penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, sedangkan
pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Dalam periode
2005–2009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen,
sedangkan pajak perdagangan internasional tumbuh rata-rata 5,2 persen.
Selanjutnya, penerimaan perpajakan mampu memberikan kontribusi yang dominan
terhadap penerimaan dalam negeri. Dalam tahun 2005, kontribusi penerimaan perpajakan
adalah 70,3 persen menjadi 64,3 persen pada tahun 2006, kemudian 69,5 persen pada tahun
2007 menjadi 67,3 persen pada tahun 2008, dan selanjutnya menjadi 73,2 persen pada tahun
2009. Semakin tingginya kontribusi penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa
peranan penerimaan perpajakan menjadi sangat strategis sebagai sumber pendanaan


III-4                                                                        Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Bab III                                                            Pendapatan Negara dan Hibah



teknologi informasi dan komunikasi. Program utama dari kegiatan ini dikemas dalam Project
for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang bertujuan untuk meningkatkan
kepatuhan sukarela wajib pajak, dan melaksanakan good governance melalui peningkatan
transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak.
Reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan dilakukan melalui amendemen
tiga undang-undang perpajakan, yaitu: (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang; (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan; dan (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tarif PPh badan mengalami
penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun 2010. Selain itu,
pemberian diskon atas tarif PPh badan 5 persen lebih rendah dari tarif normal tetap diberikan
kepada perusahaan-perusahaan masuk bursa yang minimal 40 persen sahamnya dikuasai
oleh publik.
Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi dilakukan melalui pembangunan
suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur,
terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut
dikembangkan sejak awal tahun 2007 mencakup kegiatan mapping, profiling, dan
benchmarking.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan membayar pajak (tax compliance), Pemerintah
mencanangkan program sunset policy pada tahun 2008, dan diperpanjang hingga Februari
2009. Program sunset policy ini mengatur tentang penghapusan sanksi administrasi
perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain bertujuan meningkatkan tax compliance,
program ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi
melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking.
Sementara itu, dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, Pemerintah telah dan
akan tetap melanjutkan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya, program ekstensifikasi pada tahun 2010 dilakukan melalui tiga
pendekatan utama, yaitu: (1) pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara Pemerintah
dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan,
komisaris, direksi, staf, pekerja serta pegawai negeri sipil dan pejabat negara; (2) pendekatan
berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau
memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan; dan
(3) pendekatan berbasis profesi dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan,
dan profesi lainnya. Sejauh ini kegiatan ekstensifikasi perpajakan dinilai cukup berhasil. Hal
tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta pada
tahun 2005 menjadi 14,1 juta pada April 2010. Sedangkan program intensifikasi atau
penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui



III-6                                                             Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pendapatan Negara dan Hibah                                                            Bab III



(1) kegiatan mapping dan benchmarking; (2) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP
Madya; (3) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office (LTO) dan Khusus;
(4) pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama; (5) pembuatan profil high rise building;
(6) pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 retailer; dan (7) pengawasan intensif wajib pajak
orang pribadi potensial. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu metode penggalian
potensi dan pengawasan penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, dan saling
terkait, yang telah dikembangkan sejak tahun 2007.
Untuk menindaklanjuti program sunset policy, Pemerintah melakukan kegiatan yang
menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Kegiatan law
enforcement dilakukan melalui penagihan, pemeriksaan, dan penyidikan. Sedangkan
kegiatan pembinaan dilakukan dengan membangun komunikasi kepada setiap wajib pajak
melalui pendidikan perpajakan (tax education), menjaga hubungan dengan wajib pajak
(maintenance), dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya
untuk meningkatkan penerimaan, tanpa mengesampingkan fungsi utama kepabeanan cukai
sebagai regulator dalam rangka melancarkan arus barang dari transaksi perdagangan
internasional (trade facilitation) dan melindungi masyarakat dari ekses negatif dari masuknya
barang-barang pembatasan dan larangan serta narkotika (community protection). Dalam
hal ini, Pemerintah akan terus melanjutkan program reformasi melalui pembentukan Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Madya, serta melakukan program
intensifikasi melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi, peningkatan
efektivitas pemeriksaan fisik barang, dan optimalisasi sarana operasi seperti kapal patroli,
mesin sinar X, dan mesin sinar gamma.
Selanjutnya, untuk menjamin penegakan hukum (law enforcement) di bidang kepabeanan
dan cukai, Pemerintah meningkatkan fungsi pengawasan dan audit. Peningkatan
pengawasan dilakukan antara lain dengan (1) mengembangkan manajemen risiko
kepabeanan dan cukai; (2) membangun sistem dokumentasi pelanggaran kepabeanan dan
cukai; (3) melaksanakan pemberantasan penggunaan pita cukai palsu; (4) melaksanakan
pemberantasan peredaran rokok ilegal; dan (5) melaksanakan pemberantasan
penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai. Sedangkan peningkatan audit dilakukan
antara lain melalui (1) pembuatan dokumentasi sistem informasi perencanaan audit;
(2) penyusunan database profil dan objek audit; (3) monitoring pelaksanaan audit; serta
(4) penyempurnaan aplikasi sistem audit.
Khusus di bidang kepabeanan, langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah dalam
upaya meningkatkan penerimaan antara lain (1) pengembangan otomasi sistem pelayanan
kepabeanan dan cukai; (2) pemberian fasilitas/kemudahan dalam pelayanan kepabeanan
(Pre Entry Classification, Customs Advice, dan Pre-Notification); (3) pemberian fasilitas
terhadap industri substitusi impor dan industri orientasi ekspor; (4) pembentukan kantor
pelayanan utama dan KPPBC Madya; (5) peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas
barang impor dan ekspor; (6) mendukung kerjasama perdagangan internasional, baik
bilateral, regional, maupun multilateral; (7) penerapan National Single Windows (NSW)
dan portal Indonesia National Single Windows (INSW); (8) peningkatan pelayanan
kepabeanan melalui jalur mitra utama (MITA) dan jalur prioritas; (9) penegakan hukum di
bidang kepabeanan melalui risk management, risk assesment, profiling, dan targeting; dan
(10) meningkatkan kepatuhan pengguna jasa kepabeanan dalam memenuhi kewajibannya.


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                              III-7
Bab III                                                                                                                                            Pendapatan Negara dan Hibah



Khusus di bidang cukai, sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang
Cukai, penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan maupun sistem prosedur
di bidang cukai dilakukan secara bertahap sehingga dapat memberikan perlindungan atas
kesehatan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan faktor daya serap tenaga kerja.
Upaya yang dilakukan antara lain melalui (1) penyempurnaan ketentuan mengenai perizinan
di bidang cukai; (2) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; (3) peningkatan
pelayanan di bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan di bidang cukai; (5) peningkatan
pemahaman ketentuan di bidang cukai (sosialisasi); (6) penerapan kode etik (reward and
punishment); dan (7) peningkatan security feature pita cukai untuk menghilangkan praktek
pemalsuan cukai.
Selanjutnya pada tahun 2010, beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam rangka
optimalisasi penerimaan cukai antara lain (1) peningkatan tarif cukai hasil tembakau berkisar
antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 persen sesuai dengan jenis hasil tembakau, yaitu
sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret putih mesin (SPM);
(2) perubahan ketentuan mengenai perizinan; (3) penyederhanaan golongan pengusaha
dan tarif cukai; serta (4) peningkatan tarif cukai minuman mengandung ethil alkohol
(MMEA) rata-rata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk
MMEA impor. Selain itu, Pemerintah juga melakukan peningkatan pengawasan, antara
lain melalui: (1) peningkatan operasi pasar; (2) pemeriksaan lokasi pabrik; (3) peningkatan
security features pita cukai; dan (4) peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor.

3.2.1.1.1 Pajak Dalam Negeri
Dalam periode 2005–2009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-
rata 16,0 persen, yaitu dari Rp331,8 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp601,3 triliun pada
tahun 2009. Pertumbuhan rata-rata tertinggi terjadi pada pos penerimaan PPh nonmigas
serta PPN dan PPnBM yang mencapai 17,5 persen. Sementara itu, cukai sebagai penerimaan
ketiga terbesar setelah PPh serta PPN dan PPnBM mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar
14,3 persen. Kontributor utama dalam penerimaan pajak dalam negeri adalah PPh yang
memberikan kontribusi rata-rata 52,4 persen. Sedangkan kontributor terbesar kedua dan
ketiga adalah PPN dan PPnBM serta cukai, yang masing-masing memberikan kontribusi
rata-rata 32,1 persen dan 9,3 persen. Pertumbuhan dan kontribusi rata-rata dari masing-
masing jenis pajak dalam kategori pajak dalam negeri dapat dilihat pada Grafik III.2 dan
Grafik III.3.
                                                                         GRAFIK III.2
                                                   PERTUMBUHAN PENERIMAAN PERPAJAKAN DALAM NEGERI, 2005 – 2009

                                      75,0                                                                                            87,0
                  80


                  60   53,2
 persen (y-o-y)




                                                 45,4
                                                                                        35,7      37,8
                  40
                                                                  28,8           25,6                    28,6
                              22,9                      18,0                 21,5                                                                            18,3                            19,7
                                                           17,4                                            13,7            17,6             16,0                 14,7                 11,6
                  20                                                                                                                                14,0 13,6                                       10,8
                                                                     6,8                                                                                                10,7    9,5
                                                                                                                  6,9                                                                                      2,7
                                1,9
                  0
                                                                           -1,2
                                                                                                                    -4,3      -7,2   -6,4
                                                                                           -7,9
            (20)
                               PPh                    PPh                         PPN                      PBB                    BPHTB                    Cukai                  Pajak Lainnya
                               Migas                Non Migas
            (40)                         -35,0
                                                                                                                            2005             2006           2007               2008                 2009
  Sumber : Kementerian Keuangan




III-8                                                                                                                                         Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pendapatan Negara dan Hibah                                                          Bab III



Dalam APBN-P tahun 2010,                                   GRAFIK III.3
penerimaan pajak dalam KONTRIBUSI RATA-RATA PENERIMAAN PAJAK DALAM NEGERI, 2005 – 2009
negeri ditargetkan mencapai                          Cukai         Pajak Lainnya
                                                                       0,6%
                                            BPHTB    9,3%
Rp720,8 triliun. Apabila                     1,0%                                  PPh Migas
                                                                                     10,3%
dibandingkan dengan realisasi          PBB
                                       4,7%
penerimaan pajak dalam
negeri tahun 2009, target
tersebut         mengalami
                                                                              PPh
peningkatan sebesar Rp119,5                        PPN                    Non-Migas
                                                                             42,1%
                                                  32,1%
triliun atau 19,9 persen.
Peningkatan terjadi pada
seluruh pos penerimaan
dalam negeri, terutama PPN
dan PPnBM yang meningkat Sumber : Kementerian Keuangan
36,2 persen dan BPHTB yang
meningkat 10,7 persen. Membaiknya kondisi perekonomian baik secara global maupun
domestik yang berimbas pada meningkatnya volume perdagangan dunia menjadi faktor
utama meningkatnya penerimaan pajak dalam negeri, khususnya penerimaan PPN dan
PPnBM impor. Selain itu, relatif tingginya ICP yang diperkirakan mencapai USD80 per
barel pada tahun 2010 dibandingkan dengan ICP tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per
barel (Desember−November) juga menjadi salah satu pemicu meningkatnya penerimaan
pajak migas.
Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan (PPh) mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen dalam periode
2005−2009. Dalam periode tersebut, nominal penerimaan PPh meningkat dari Rp175,5
triliun menjadi Rp317,6 triliun. Dilihat dari komposisinya, penerimaan PPh migas
memberikan kontribusi rata-rata sebesar 19,7 persen, sedangkan PPh nonmigas 80,3 persen.
Dalam APBN-P tahun 2010, PPh diperkirakan mencapai Rp362,2 triliun, yang terdiri atas
penerimaan PPh migas Rp55,4 triliun (15,3 persen) dan PPh nonmigas Rp306,8 triliun (84,7
persen). Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai Rp317,6 triliun,
terjadi peningkatan sebesar Rp44,6 triliun atau 14,0 persen.
Penerimaan PPh migas selama tahun 2005−2009 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar
9,2 persen. Dilihat dari komponen pendukungnya, penerimaan PPh minyak bumi tumbuh
rata-rata 18,6 persen dan PPh gas bumi tumbuh rata-rata 5,2 persen. Perkembangan realisasi
penerimaan PPh migas yang cenderung meningkat tersebut sesuai dengan perkembangan
ICP yang menunjukkan adanya tren kenaikan, meskipun lifting mengalami fluktuasi.
Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi penerimaan PPh migas diperkirakan mencapai Rp55,4
triliun, dengan kontribusi dari PPh minyak bumi sebesar Rp22,6 triliun (40,7 persen) dan
PPh gas bumi Rp32,8 triliun (59,3 persen). Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun
sebelumnya, terjadi peningkatan sebesar Rp5,3 triliun atau 10,7 persen. Penerimaan PPh
migas tahun 2009−2010 dapat dilihat pada Grafik III.4. Penyebab utama peningkatan
penerimaan PPh migas tersebut adalah lebih tingginya ICP pada tahun 2010 yang
diperkirakan mencapai USD80 per barel dibandingkan dengan ICP pada tahun 2009 yang
mencapai USD58,5 per barel (Desember−November), dan lebih tingginya lifting minyak



Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                            III-9
Bab III                                                                                                                     Pendapatan Negara dan Hibah



bumi tahun 2010 yang diperkirakan sebesar 965
                                                                                                           GRAFIK III.4
MBCD dibandingkan dengan lifting pada tahun                                                       PENERIMAAN PPh MIGAS, 2009 − 2010
2009 yang mencapai 944 MBCD. Perkembangan                                                      triliun Rp
realisasi PPh migas 2005–2010 dapat dilihat pada                                               70,0
                                                                                                                    PPh Gas Alam                      PPh Minyak Bumi
Tabel III.3.
                                                                                               60,0
Dalam periode 2005−2009, realisasi penerimaan                                                  50,0
PPh nonmigas mengalami pertumbuhan rata-
                                                                                               40,0                      31,7                               32,8
rata 17,5 persen, yaitu dari Rp140,4 triliun pada
                                                                                               30,0
tahun 2005 menjadi Rp267,6 triliun pada tahun
2009. Pertumbuhan tersebut terutama didukung                                                   20,0

dari penerimaan PPh pasal 25/29 badan yang                                                     10,0                      18,4                               22,5
tumbuh rata-rata 23,7 persen dan memberikan                                                     0,0
kontribusi rata-rata 41,0 persen dalam periode                                                                       2009                               APBN-P 2010
tersebut.                                                                                      Sumber : Kementerian Keuangan


                                                                 TABEL III.3
                                                      PERKEMBANGAN PPh MIGAS, 2005 – 2010
                                                               (triliun rupiah)
                                    2005                  2006                  2007                      2008                         2009                   2010
           Uraian                      % thd                 % thd                 % thd                     % thd                        % thd                      % thd
                            Real.                 Real.                 Real.                    Real.                      Real.                       APBN-P
                                       Total                 Total                 Total                     Total                        Total                      Total
     PPh Minyak Bumi          9,3          26,4    14,7          34,0    16,3           37,0       29,6           38,5          18,4           36,7       22,6        40,7
     PPh Gas Bumi            25,8          73,6    28,5          66,0    27,3           62,0       47,4           61,5          31,7           63,3       32,8        59,3
     PPh Migas Lainnya        0,0           0,0     0,0           0,0     0,4            1,0        0,0            0,0           0,0            0,0        0,0         0,0

            Total            35,1      100,0       43,2      100,0       44,0          100,0       77,0          100,0          50,0          100,0        55,4      100,0
    Sumber : Kementerian Keuangan


Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPh
                                                                          GRAFIK III.5
nonmigas diperkirakan mencapai Rp306,8 triliun.             PENERIMAAN PPh NONMIGAS,
Hal ini berarti terjadi peningkatan 14,7 persen bila                      2009 − 2010
dibandingkan         dengan     realisasi    tahun triliun Rp
sebelumnya. Penerimaan PPh nonmigas tahun            320,0
2009−2010 dapat dilihat dalam Grafik III.5.
                                                     270,0                                76,5
Selain faktor ekonomi, peningkatan penerimaan
                                                                       61,3
PPh nonmigas terutama disebabkan oleh upaya          220,0
                                                                                          42,1
perbaikan administrasi perpajakan dan                170,0
                                                                      33,8
                                                                                          61,6
dilakukannya extra effort sebagaimana yang                             52,1
                                                     120,0
telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun tarif PPh
pasal 25/29 badan mengalami penurunan dari 28         70,0
persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada         20,0
                                                                      120,3              126,7
tahun 2010, dan juga pemberian diskon 5 persen
bagi perusahaan masuk bursa yang 40 persen           -30,0            2009           APBN-P 2010

sahamnya dikuasai publik, PPh pasal 25/29 badan
                                                           Lainnya                PPh Final dan Fiskal
masih merupakan kontributor utama bagi
                                                           PPh Pasal 21           PPh Pasal 25/29 Badan
penerimaan PPh nonmigas dengan kontribusi
sebesar 41,0 persen. Bila dibandingkan dengan Sumber : Kementerian Keuangan
realisasi pada tahun 2009, PPh pasal 25/29 badan
tahun 2010 meningkat 5,3 persen. Perkembangan penerimaan PPh nonmigas per pasal
dalam periode 2005–2010 dapat dilihat padaTabel III.4.



III-10                                                                                                                    Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pendapatan Negara dan Hibah                                                                                                                                                             Bab III



                                                                               TABEL III.4
                                                                  PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS, 2005 – 2010
                                                                             (triliun rupiah)
                                                 2005                        2006                        2007                    2008                   2009                    2010
                 Uraian                                % thd                     % thd                        % thd                     % thd               % thd                   % thd
                                          Real.                     Real.                         Real.                      Real.                 Real.               APBN-P
                                                       Total                     Total                        Total                     Total               Total                   Total

      PPh Pasal 21                            9,3        26,4          31,6         19,1              39,4        20,3         51,7      20,7        52,1       19,5       61,6         20,1
      PPh Pasal 22                          25,8          73,6          4,0            2,4             4,0         2,0         5,0        2,0         4,4        1,6        5,4           1,8
      PPh Pasal 22 Impor                     13,5          9,3         13,1            7,9            16,6         8,6        25,1       10,0        19,2        7,2      23,9            7,8
      PPh Pasal 23                           13,0          8,9         15,4            9,3            15,7         8,1         18,1       7,2        16,0        6,0      20,0            6,5
      PPh Pasal 25/29 Pribadi                 1,6           1,1          1,8           1,1             1,6         0,8         3,6        1,4         3,3        1,3        4,3           1,4
      PPh Pasal 25/29 Badan                  51,4        35,4          65,1         39,3             80,8         41,6       106,4       42,6       120,3       45,0     126,7          41,3
      PPh Pasal 26                            8,9          6,1         10,5            6,4            14,6         7,5        14,9        6,0        18,4        6,9      22,9            7,5
      PPh Final dan Fiskal                   21,9         15,1         24,1         14,6              21,6        11,1        25,2       10,1        33,8       12,6       42,1         13,7
      PPh Non Migas Lainnya                  -0,1       -0,04         0,04          0,02              0,01        0,01        0,02       0,01       0,02         0,0      0,00            0,0


                   Total                   145,3        175,8         165,6       100,0           194,4         100,0        249,8      100,0       267,6      100,0     306,8         100,0
      Sumber : Kementerian Keuangan



Selama periode 2005–2009, realisasi penerimaan PPh nonmigas didominasi oleh sektor
keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, sektor industri pengolahan, serta sektor
perdagangan, hotel dan restoran sebagai kontributor utama dengan rata-rata kontribusi
masing-masing sebesar 28,9 persen, 25,1 persen dan 9,9 persen. Pertumbuhan rata-rata
dalam kurun waktu 2005–2009 untuk sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan
adalah 17,3 persen, untuk sektor industri pengolahan 16,6 persen, dan sektor perdagangan,
hotel dan restoran sebesar 25,0 persen. Perkembangan PPh nonmigas sektoral 2005–2010
dapat dilihat dalam Tabel III.5.
                                                                               TABEL III.5
                                                             PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTORAL, 2005 − 2010
                                                                             (triliun rupiah)
                                                                         2005                     2006                   2007                   2008              2009                2010
                           Uraian                                           % thd                    % thd                  % thd                  % thd             % thd        Perk.   % thd
                                                                   Real.                     Real.                  Real.                Real.              Real.
                                                                             Total                    Total                  Total                  Total             Total       Real.   Total
 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan                       2,5       2,1            2,8         2,0        4,7        2,6        9,9      4,3    10,5        4,3        9,3           3,6
 Pertambangan Migas                                                   9,9        8,1           12,1         8,3       14,0        7,8      17,9       7,8     8,5         3,5       8,2           3,2
 Pertambangan Bukan Migas                                             5,6        4,5            6,2         4,3       10,5        5,8       11,7      5,1    17,8         7,3      14,0           5,4
 Penggalian                                                            0,1       0,1            0,1         0,1        0,2        0,1        0,5      0,2     0,3         0,1       0,3           0,1
 Industri Pengolahan                                                 33,9       27,7          34,7         24,0       41,9       23,3      56,6      24,7    62,7       25,7       77,8          30,0
 Listrik, Gas, dan Air Bersih                                         3,0        2,4            5,7         3,9        4,7        2,6        5,3      2,3     5,4        2,2        8,3           3,2
 Konstruksi                                                            2,5       2,0            3,1         2,1        4,8        2,7        5,4      2,3     6,7        2,8        7,7           3,0
 Perdagangan, Hotel, dan Restoran                                     11,1       9,1          13,5          9,3       16,9        9,4      24,3      10,6    27,1        11,1      31,5          12,2
 Pengangkutan dan Komunikasi                                         11,3        9,3          14,7         10,2       16,3        9,1      20,1       8,8    16,8        6,9       17,4           6,7
 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan                          35,7       29,2          44,3         30,6       54,8       30,5      60,5      26,4    67,6       27,7       61,6          23,8
 Jasa Lainnya                                                          6,7       5,5            7,6         5,2       10,7        5,9      12,3       5,4    17,8         7,3      20,3           7,8
 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya                                  0,1       0,1            0,1         0,0        0,2        0,1        4,5      2,0     2,4         1,0       2,4           0,9
                            Total                                   122,4      100,0         145,0        100,0      179,7      100,0     229,1     100,0   243,6      100,0      258,9         100,0
* Belum memperhitungkan penerimaan PPh valas dan BUN, transaksi yang offline , serta restitusi.




Tahun 2010 sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan diperkirakan akan mengalami
penurunan sebesar Rp6,0 triliun atau 8,9 persen sehingga mencapai Rp61,6 triliun.
Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh turunnya suku bunga Bank Indonesia yang
mengakibatkan net interest margin (NIM) bank mengalami penurunan. Rata-rata suku
bunga untuk semester I tahun 2010 adalah 6,5 persen, atau menurun jika dibandingkan
dengan rata-rata suku bunga pada semester I tahun 2009 sebesar 7,75 persen.
Sementara itu, pada tahun 2010, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai
Rp77,8 triliun, meningkat sebesar Rp17,8 triliun atau 29,7 persen bila dibandingkan dengan
nilainya pada tahun 2009. Kenaikan ini terutama didukung oleh pertumbuhan sektor industri




Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                                                                                    III-11
Bab III                                                                                            Pendapatan Negara dan Hibah



pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan akan mengalami
kenaikan sebesar Rp4,9 triliun atau 18,5 persen dibandingkan tahun 2009 sehingga mencapai
Rp31,5 triliun.
PPN dan PPnBM
Penerimaaan PPN dan PPnBM selama periode 2005–2009 mengalami pertumbuhan rata-
rata 17,5 persen. Secara komposisi, PPN dan PPnBM dalam negeri tumbuh rata-rata 23,8
persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan PPN dan PPnBM impor yang tumbuh rata-
rata 8,8 persen dalam periode tersebut. Dari sisi besarnya kontribusi, PPN dan PPnBM dalam
negeri mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 61,1 persen dari total penerimaan
PPN dan PPnBM, sedangkan PPN dan PPnBM impor memberikan kontribusi rata-rata 38,9
persen.
Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPN dan PPnBM ditargetkan sebesar Rp263,0
triliun, yang terdiri dari atas PPN dan PPnBM dalam negeri Rp163,0 triliun (63,1 persen)
dan PPN dan PPnBM impor Rp99,7 triliun (37,9 persen). Perkembangan PPN dan PPnBM
dalam periode 2005–2010 dapat dilihat dalam Tabel III.6.
                                                            TABEL III.6
                                               PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 − 2010
                                                          (triliun rupiah)
                                   2005              2006             2007             2008               2009             2010
          Uraian                       % thd             % thd            % thd            % thd              % thd               % thd
                           Real.                Real.            Real.            Real.              Real.            APBN-P
                                       Total             Total            Total            Total              Total               Total

 a. PPN                     94,0        92,8     118,2    96,1   147,4     95,4   198,2     94,5     184,2     95,4    253,4       96,4
     PPN DN                 48,8        48,1     74,8     60,8    93,3     60,3    116,7    55,7     120,4     62,4    156,4       59,5
     PPN Impor              44,9        44,3      43,1    35,0    53,9     34,9     81,1    38,7      63,4     32,9     96,7       36,8
     PPN Lainnya                 0,3     0,3      0,3      0,2     0,3      0,2     0,3      0,1       0,3      0,1      0,3        0,1
 b. PPnBM                        7,3     7,2      4,8      3,9      7,1     4,6     11,5     5,5       8,9      4,6      9,5        3,6
     PPnBM DN                    4,9     4,8       3,1     2,5     4,7      3,0      7,5     3,6        6,1     3,2      6,6        2,5
     PPnBM Impor                 2,4     2,4       1,7     1,4     2,4      1,6     4,0      1,9       2,8      1,5      3,0         1,1
     PPnBM Lainnya           0,0         0,0    0,002    0,002   0,021     0,01   0,012     0,01     0,015     0,01     0,01      0,004

   Total (a+b)              101,3      100,0    123,0    100,0   154,5    100,0   209,6    100,0      193,1   100,0    263,0      100,0
 Sumber : Kementerian Keuangan


Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target pada tahun 2010 tersebut meningkat
Rp69,9 triliun atau 36,2 persen. Peningkatan terutama terjadi pada PPN dan PPnBM impor
dengan pertumbuhan 50,4 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan tahun sebelumnya
yang mengalami pertumbuhan negatif. Secara umum, peningkatan PPN dan PPnBM impor
tersebut sejalan dengan meningkatnya volume perdagangan dunia, yang berimbas pada
meningkatnya kegiatan ekspor-impor Indonesia.
Di sisi lain, penerimaan PPN dan PPnBM dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar
28,8 persen, lebih rendah dari pertumbuhan tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang
mengakibatkan melemahnya pertumbuhan PPN dan PPnBM dalam negeri ini adalah
rendahnya konsumsi Pemerintah yang pada kuartal I 2010 yang mengalami penurunan
sebesar 8,8 persen (y-o-y). Pada periode yang sama tahun sebelumnya, realisasi konsumsi
Pemerintah cukup tinggi sebagai akibat dilaksanakannya kegiatan Pemilu. Perkembangan
PPN dan PPnBM serta nilai impor dalam periode 2005–2009 dapat dilihat pada
Grafik III.6 dan penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2010 dapat dilihat pada
Grafik III.7.



III-12                                                                                         Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pendapatan Negara dan Hibah                                                                                                       Bab III




                                GRAFIK III.6                                                          GRAFIK III.7
                    PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 – 2009                                    PENERIMAAN PPN DAN PPnBM,
                                                                                                      2009 − 2010
              160                                                 160000               triliun Rp
                         PPN & PPnBM DN                                                  270
              140        PPN & PPnBM Impor                        140000                            PPN          PPnBM    9,5
                                                                                         250
 triliun Rp




              120        Nilai Impor




                                                                           juta US$
                                                                  120000
              100                                                                       230

              80                                                  100000
                                                                                         210
              60                                                                                                         253,4
                                                                  80000                  190              9,5
              40
                                                                  60000                  170
              20                                                                                      184,2

               0                                                  40000                  150
                      2005       2006        2007   2008   2009                                           2009           APBN-P
                                                                                                                          2010
 Sumber: Kementerian Keuangan                                                         Sumber: Kementerian Keuangan


Secara umum, realisasi PPN secara sektoral dapat digolongkan ke dalam 12 sektor. Dalam
periode 2005–2009, sektor industri pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar,
dengan rata-rata 38,8 persen. Dua kontributor utama lainnya adalah sektor perdagangan,
hotel dan restoran, serta sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang masing-
masing memberikan kontribusi rata-rata 19,8 persen dan 6,6 persen. Dalam tahun 2010,
diperkirakan sektor industri pengolahan menjadi kontributor utama dengan kontribusi
sebesar 51,1 persen, disusul kemudian oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan
kontribusi sebesar 22,7 persen, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan dengan
kontribusi sebesar 5,8 persen.
Sebagian besar dari realisasi PPN merupakan PPN DN. Dalam periode 2005–2009, PPN
DN mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 62,4 persen. Tiga sektor utama yang
memberikan kontribusi terbesar terhadap penerimaan PPN DN adalah sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertambangan migas.
Kontribusi rata-rata dari ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 31,6 persen, 17,9
persen, dan 11,8 persen dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing 28,3 persen, 22,0
persen dan 7,5 persen.
Dalam tahun 2010, sebagian besar penerimaan PPN DN diperkirakan masih berasal dari
sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan
dan komunikasi, dengan kontribusi masing-masing mencapai 44,2 persen, 18,4 persen dan
8,2 persen. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, tiga sektor tersebut diperkirakan
akan mengalami kenaikan. Sektor industri pengolahan naik Rp17,1 triliun atau 34,1 persen,
sektor perdagangan, hotel dan restoran naik Rp4,5 triliun atau 19,1 persen, dan sektor
pengangkutan dan komunikasi naik Rp2,7 triliun atau 27,8 persen. Kenaikan ini sejalan
dengan membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri. Perkembangan penerimaan PPN
DN secara sektoral dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.7.
Dalam periode 2005–2009, penerimaan PPN impor didukung oleh tiga sektor utama yaitu
sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor
pertambangan migas yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata sebesar 50,7
persen, 23,1 persen, dan 19,1 persen. Pertumbuhan rata-rata dari ketiga sektor tersebut adalah
sebesar 16,0 persen, 22,6 persen, dan negatif 48,8 persen.




Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                        III-13
Bab III                                                                                                                                                  Pendapatan Negara dan Hibah



                                                                                 TABEL III.7
                                                             PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTORAL, 2005 − 2010
                                                                               (triliun rupiah)
                                                                         2005                        2006                   2007                    2008                    2009                   2010
                           Uraian                                                 % thd                    % thd                   % thd                   % thd                  % thd       Perk.      % thd
                                                                   Real.                         Real.                  Real.                   Real.                   Real.
                                                                                  Total                    Total                   Total                   Total                  Total       Real.      Total
 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan                      1,6            2,8           1,8       2,2          2,0         2,0          3,1        2,7         3,5        2,8         3,3           2,2
 Pertambangan Migas                                                   2,9            5,2          16,8      21,0         14,6       14,5         17,0        15,1         3,9        3,1         2,8           1,9
 Pertambangan Bukan Migas                                             0,8            1,4           1,3       1,6          1,8         1,8          1,4        1,2         1,9        1,5         2,1           1,4
 Penggalian                                                           0,0            0,1           0,1       0,1          0,1         0,1          0,1        0,1         0,1        0,1         0,2           0,1
 Industri Pengolahan                                                 18,5          33,2           22,3      27,9         28,6       28,4         32,2       28,6         50,2       39,9       67,3           44,2
 Listrik, Gas, dan Air Bersih                                         0,4            0,8           0,6       0,7          0,5         0,5          0,6        0,6         0,7        0,6         0,9           0,6
 Konstruksi                                                           4,3            7,7           6,2       7,8         12,0        11,9         11,3       10,1        12,4        9,8        12,1           7,9
 Perdagangan, Hotel, dan Restoran                                    10,6          19,0           12,8      16,0         17,9       17,8         20,3       18,0         23,5       18,7       28,0           18,4
 Pengangkutan dan Komunikasi                                          6,1          10,9            6,6       8,2          8,1         8,1          8,8        7,8         9,7        7,7       12,4            8,2
 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan                           7,7           13,7           8,4      10,6         10,8       10,8           9,4        8,3        10,4        8,2        12,1           7,9
 Jasa Lainnya                                                         1,3            2,4           1,6       2,0          2,3         2,2          2,6        2,3         3,0        2,4         3,8           2,5
 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya                                 1,5            2,7           1,5       1,9          1,9         1,9          5,9        5,3         6,5        5,2         7,3           4,8
                            Total                                    55,8         100,0           79,9     100,0        100,6      100,0        112,8      100,0        125,7      100,0      152,3          100,0
* Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline, dan restitusi.
Sumber : Kementerian Keuangan


Pada tahun 2010, PPN impor diperkirakan akan tetap didukung oleh sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas.
Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran tersebut diperkirakan
akan mengalami kenaikan masing-masing 47,3 persen dan 54,1 persen. Dengan demikian,
sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp59,2 triliun dan sektor
perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan mencapai Rp28,2 triliun. Secara umum,
peningkatan penerimaan di kedua sektor tersebut didukung oleh meningkatnya kinerja
impor. Di sisi lain, sektor pertambangan migas diperkirakan akan mengalami penurunan
sehingga mencapai Rp0,6 triliun pada akhir tahun 2010. Pertumbuhan negatif penerimaan
sektor pertambangan migas menurut data modul penerimaan negara (MPN) disebabkan
karena penerimaan tercatat hanya dalam bentuk rupiah, penerimaan ini belum termasuk
penerimaan dalam bentuk mata uang asing. Apabila digabungkan dengan penerimaan mata
uang asing terdapat pertumbuhan positif sebesar 69,1 persen. Perkembangan penerimaan
PPN impor secara sektoral tahun 2005–2010 dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.8.
                                                                                 TABEL III.8
                                                                 PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL, 2005 – 2010
                                                                               (triliun rupiah)

                                                                              2005                       2006                    2007                    2008                   2009                  2010
                                Uraian                                              % thd                    % thd                  % thd                   % thd                  % thd      Perk.      % thd
                                                                      Real.                        Real.                 Real.                    Real                   Real.
                                                                                    Total                    Total                  Total                   Total                  Total      Real.      Total
 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan                           0,1             0,1       0,1          0,3       0,1           0,2        0,1          0,1      0,1          0,1     0,4            0,5
 Pertambangan Migas                                                      11,4         25,3           9,9         23,4      11,9          22,0      19,3          23,5      0,8          1,2     0,6            0,6
 Pertambangan Bukan Migas                                                  0,2             0,5       0,1          0,2       0,2           0,3       0,5           0,7      0,5          0,7     1,9            2,0
 Penggalian                                                                0,1            0,3        0,1          0,1       0,0           0,1        0,1          0,1      0,0          0,1     0,0            0,0
 Industri Pengolahan                                                    22,2           49,1         20,0         47,3      26,4          48,8      37,0          45,2     40,2         63,1    59,2           62,3
 Listrik, Gas, dan Air Bersih                                              0,2            0,3        0,2          0,5       0,1           0,2       0,2           0,2      0,2          0,4     0,2            0,3
 Konstruksi                                                                0,5             1,2       0,4          0,9       0,5           0,9        1,3          1,6      1,0          1,5     0,9            1,0
 Perdagangan, Hotel, dan Restoran                                          8,1         17,9          9,0         21,4      12,4          23,0      20,1          24,5     18,3         28,7    28,2           29,7
 Pengangkutan dan Komunikasi                                                1,9            4,1       2,0          4,7       1,8           3,3       2,4           3,0      1,5          2,3     1,2            1,3
 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan                                0,4             1,0       0,4          0,9       0,4           0,8       0,7           0,9      1,0          1,6     2,2            2,3
 Jasa Lainnya                                                            0,1           0,2           0,1          0,2       0,2           0,3       0,2           0,3      0,1       0,1        0,1            0,1
 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya                                    0,0           0,0           0,0          0,0       0,0           0,0       0,0           0,0      0,0       0,0        0,0            0,0
                                 Total                                  45,2         100,0          42,3        100,0      54,0         100,0      82,0         100,0     63,6     100,0       95,0          100,0
* Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline , dan restitusi.
Sumber : Kementerian Keuangan




PBB dan BPHTB
Realisasi PBB dan BPHTB masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata 10,6 persen
dan 17,2 persen dalam periode 2005–2009. Rata-rata kontribusi PBB terhadap penerimaan
pajak dalam negeri adalah sebesar 4,7 persen, sedangkan BPHTB sebesar 1,0 persen.



III-14                                                                                                                                              Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pendapatan Negara dan Hibah                                                                                                                                 Bab III




                                                                BOKS III.1
                        AMENDEMEN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM
                                                NOMOR 42 TAHUN 2009


  LATAR BELAKANG
  1 . Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis.
  2. Perkembangan transaksi bisnis yang mengikuti kemajuan teknologi serta perubahan pola
      konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa, memerlukan penyerderhanaan sistem
      PPN.

  DASAR HUKUM
  1 . Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
      Tahun 1945.
  2. Undang-undang Nomor 62 Tahun 2009 tentang KUP.
  3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. UU Nomor 18 Tahun
      2000.

  KEBIJAKAN
  Pemerintah melakukan amendemen atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN
  dan PPnBM jo. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagai bentuk penyederhanaan
  sistem perpajakan dan kepastian hukum.


  TUJUAN
  1 . Dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan,
  2. Menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana.


                                        POKOK-POKOK PERUBAHAN UU PPN DAN PPnBM

                       Uraian                             UU No 12 Tahun 2000                                     UU No 42 Tahun 2009

                                                                                                    Ekspor BKP Tidak Berwujud dan Ekspor JKP dikenakan PPN
    1. Istilah baru dalam objek pajak          Tidak diatur.
                                                                                                    dengan tarif 0%.


                                               Dikenakan PPN terbatas pada penyerahan aktiva yang   PPN dikenakan atas penyerahan seluruh aktiva, kecuali
    2. Penyerahan aktiva yang tujuan
                                               PPN terutang pada saat perolehannya telah dibayar    aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan
       semula tidak untuk diperjualbelikan
                                               dan dapat dikreditkan.                               usaha.


    3. Penyerahan dan bukan penyerahan
       BKP

        a. Pembiayaan syariah                  Dikenakan PPN pada setiap transaksi penyerahan.      Dikenakan PPN, penyerahannya dianggap langsung.

                                                                                                    Tidak dikenakan PPN, syarat semua perusahaan terdaftar
        b. Dalam rangka restrukturisasi        Dikenakan PPN.
                                                                                                    sebagai PKP.


        c. Persediaan yang tersisa pada saat   Terbatas pada aktiva yang PPN pada saat              Seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan
           pembubaran perusahaan               perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan.    langsung dengan kegiatan usaha.




Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                                                  III-15
Bab III                                                                                                                   Pendapatan Negara dan Hibah




                             Uraian                             UU No 12 Tahun 2000                                        UU No 42 Tahun 2009

         4. NonBKP dan nonJKP (pasal 4a)


              a. Daging, telur, susu, sayur-         Dibebaskan dari pengenaan PPN, melalui Peraturan
                                                                                                            Dibebaskan dari pengenaan PPN.
                 sayuran, dan buah-buahan            Pemerintah tentang BKP Strategis.


                                                     Dikenakan PPN, kecuali pasir dan kerikil (Psl 4A (2)
              b. Barang hasil pertambangan                                                                  Tidak dikenakan PPN .
                                                     huruf a).


                                                                                                            PPN tidak dikenakan atas jasa keuangan (menghimpun,
                                                     PPN tidak dikenakan atas jasa perbankan. (Psl 4A (3)
              c. Jasa keuangan                                                                              menempatkan, dan meminjam dana; pembiayaan;
                                                     huruf d).
                                                                                                            penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai; penjaminan).


                                                     PPN dikenakan atas jasa: penyediaan parkir; telepon
              d. Jasa tertentu                       umum (koin); pengiriman uang dengan wesel pos;         Menjadi tidak dikenakan PPN.
                                                     serta jasa boga/catering .

         5. Barang dan jasa yang tidak dikenakan     Sebelumnya ditetapkan berdasarkan Peraturan            Ditetapkan langsung di dalam penjelasan Undang-Undang
            PPN                                      Pemerintah.                                            (Pasal 4A).

                                                                                                            PKP bertambah:
         6. Pengusaha Kena Pajak (PKP)                                                                        1. Eksportir JKP,
                                                                                                              2. Eksportir BKP tidak berwujud.

                                                                                                            PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan dapat
         7. Retur atas penyerahan JKP                Tidak diatur.
                                                                                                            dikurangkan.


                                                      (1) Bukan kebutuhan pokok; (2) Dikonsumsi
                                                     masyarakat tertentu; (3) Dikonsumsi masyarakat
         8.   a. Kriteria BKP mewah                  berpenghasilan tinggi; (4) Menunjukkan status;         Kriteria nomor 5 dihapus.
                                                     (5) Merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
                                                     mengganggu ketertiban.



              b. Tarif PPnBM                         Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 75%.         Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 200%.


         9. Restitusi

                                                                                                            Hanya PKP tertentu, yaitu PKP: (1) Eksportir;
                                                                                                            (2) Dengan penyerahan kepada Pemungut PPN;
              a. Saat Pengajuan Restitusi (Pasal 9   Seluruh PKP dapat melakukan restitusi pada setiap      (3) Mendapat fasilitas tidak dipungut PPN;
                 (4a), (4b))                         masa pajak (Psl 9 (4)).                                (4) Belum berproduksi.


                                                                                                            Restitusi PKP lain pada akhir tahun buku. (Psl 9 (4a))


                                                                                                            1. Mengatur pengembalian pendahuluan bagi
                                                                                                               PKP Eksportir, PKP dengan penyerahan kepada
                                                                                                               Pemungut PPN, dan PKP yang mendapat
                                                     Hanya diberikan kepada WP Patuh dan WP dengan             fasilitas tidak dipungut PPN, yang berisiko
              b. Pengembalian Pendahuluan
                                                     Persyaratan Tertentu.                                     rendah.

                                                                                                            2. Sanksi bunga 2% per bulan paling lama 24
                                                                                                               bulan, bila terbit SKPKB.

                                                                                                            PPN atas barang bawaan dapat direstitusi melalui bandara
              c. Restitusi untuk Turis Asing         Tidak diatur.
                                                                                                            tertentu, dengan syarat tertentu.

                                                     1. Hanya mengatur untuk PKP yang
                                                                                                            Berlaku bagi PKP baik orang pribadi maupun badan yang:
                                                        menggunakan norma PPh.
         10. Deemed Pajak Masukan                    2. Deemed PM bagi PKP kegiatan tertentu
                                                                                                            1. Memiliki omzet tertentu; dan
                                                        belum diatur.
                                                                                                            2. Melakukan kegiatan tertentu.

         11. Pengkreditan Pajak Masukan (PM)

                                                                                                            Terbatas PM yang berasal dari perolehan dan/atau impor
              a. PM yang boleh dikreditkan oleh                                                             barang modal. Dalam hal PKP gagal berproduksi, maka PM
                                                     Seluruh PM (Pasal 9 (2a)).
                 PKP yang belum berproduksi                                                                 yang telah dikreditkan dan telah direstitusi harus dibayar
                                                                                                            kembali.


              b. Pengkreditan PM atas BKP yang                                                              Menghidupkan kembali rumusan Pasal 9 ayat (14) yaitu
                                                     Tidak diatur (pada perubahan kedua UU PPN,
                 dialihkan dalam rangka                                                                     dalam hal restrukturisasi, maka PM atas BKP yang dialihkan
                                                     ketentuan ini dihapus).
                 restrukturisasi                                                                            yang belum dikreditkan dapat dikreditkan oleh PKP.




III-16                                                                                                                 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pendapatan Negara dan Hibah                                                                                                                              Bab III




                        Uraian                           UU No 12 Tahun 2000                                     UU No 42 Tahun 2009


                                              WP mengajukan permohonan, pemberian ijin             Cukup dengan pemberitahuan oleh WP, pemeriksaan
    12.   Pemusatan tempat PPN
                                              berdasarkan pemeriksaan.                             dilakukan kemudian dalam hal diperlukan.

    13. Faktur Pajak (FP)

                                              Paling lama akhir bulan berikutnya atau pada saat    Diatur dalam Undang-Undang (Psl 13 (1a)) yaitu saat
          a. Saat Pembuatan FP
                                              pembayaran (Peraturan Dirjen Pajak).                 penyerahan atau pada saat pembayaran.


          b. Jenis FP                         Jenis FP yaitu Standar dan Sederhana.                Hanya ada istilah “Faktur Pajak”.


                                                                                                   PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak
                                              PKP akan dikenai sanksi apabila menerbitkan FP
                                                                                                   memuat: (1) Identitas pembeli; atau
                                              yang tidak memenuhi syarat formal FP, antara lain:
          c. Sanksi atas pelanggaran syarat                                                        (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda
                                              (1) Identitas pembeli; atau
             formal FP                                                                             tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang eceran. FP
                                              (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan
                                                                                                   tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun FP
                                              (Pasal 13 ayat (5)).
                                                                                                   tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya.


          d. Syarat formal & material         Diatur dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5)).          Diatur dalam batang tubuh yaitu Pasal 13 ayat (9).

                                                                                                   • Paling lama akhir bulan berikutnya setelah
                                              • Paling lama pada tanggal 15 setelah
    14. a. Saat penyetoran PPN                                                                       berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa
                                                berakhirnya Masa Pajak.
                                                                                                     PPN disampaikan.

                                              • Paling lama pada tanggal 20 setelah                • Paling lama akhir bulan berikutnya setelah
          b. Saat pelaporan PPN
                                                berakhirnya Masa Pajak.                              berakhirnya Masa.

                                                                                                   Memberikan dasar hukum atas pemberian fasilitas sebagai
                                                                                                   berikut:
                                                                                                     1. Perwakilan negara asing dibebaskan PPN dan
                                                                                                        PPnBM;
                                                                                                     2. Proyek Pemerintah yang dibiayai hibah LN
                                                                                                        tidak dipungut PPN dan PPnBM;
                                                                                                     3. Impor barang yang Bea Masuknya dibebaskan
                                              Belum ada dasar hukum untuk pemberian fasilitas           tidak dipungut PPN dan PPn BM;
    15. Fasilitas perpajakan (pasal 16b)
                                              kegiatan-kegiatan tertentu.
                                                                                                     4. Fasilitas PPN bagi kegiatan penanggulangan
                                                                                                        bencana alam nasional;
                                                                                                     5. Pembebasan PPN bagi listrik & air;
                                                                                                     6. Menjamin tersedianya angkutan umum di
                                                                                                        udara;

                                                                                                     7. Bebas PPN bagi penyerahan perak sebagai
                                                                                                        bahan baku kerajinan.

    16.    Tanggung renteng                   Tidak lagi diatur dalam UU KUP dan UU PPN.           Diatur kembali dalam UU PPN.




Faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan penerimaan PBB adalah naiknya
nilai jual objek pajak (NJOP) dari tahun ke tahun dan perluasan objek PBB. Faktor yang
mempengaruhi NJOP adalah harga pasar properti baik tanah maupun bangunan. Khusus
untuk PBB sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, kenaikan NJOP juga
dipengaruhi oleh nilai produksinya. Meningkatnya penerimaan PBB terutama didukung
oleh PBB pertambangan yang dalam periode 2005–2009 mengalami peningkatan rata-
rata sebesar 22,3 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya penerimaan
PBB pertambangan antara lain ICP yang cenderung naik dan jumlah areal pertambangan
yang terus bertambah.
Sementara itu, peningkatan penerimaan BPHTB terutama disebabkan oleh meningkatnya
jumlah transaksi jual beli tanah dan bangunan. Sebagaimana diketahui, kegiatan usaha di
bidang properti sempat mengalami booming pada periode 2005–2007, meskipun agak
melemah pada tahun 2008 dan 2009.



Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                                                 III-17
Bab III                                                                                                                Pendapatan Negara dan Hibah



Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penerimaan PBB dan BPHTB
ditargetkan sebesar Rp25,3 triliun dan Rp7,2 triliun pada APBN-P tahun 2010.
Perkembangan penerimaan PBB dan BPHTB dalam periode 2005–2010 ditunjukkan dalam
Tabel III.9.

                                                               TABEL III.9
                                                      PERKEMBANGAN PBB, 2005 – 2010
                                                             (triliun rupiah)
                                      2005                  2006                  2007                  2008                   2009                2010
               Uraian                    % thd                 % thd                 % thd                 % thd                  % thd                   % thd
                              Real.                 Real.                 Real.                 Real.                  Real.                 APBN-P
                                         Total                 Total                 Total                 Total                  Total                   Total

         PBB Pedesaan           4,5          27,8     5,8          27,7     1,7           7,3     1,4           5,6      1,4           5,9      0,9          3,4
         PBB Perkotaan          3,6          21,9     3,8          18,2     4,9          20,5     5,0          19,6      5,5          22,7      6,3         24,7
         PBB Perkebunan         0,1          0,9      0,2           0,7    0,4            1,7    0,6           2,4       0,7           2,9      0,8          3,1
         PBB Kehutanan          0,1          0,6      0,1           0,4     0,1           0,5    0,2           0,6       0,2           0,7      0,3          1,2
         PBB Pertambangan       7,4          45,7    10,5          50,4    16,6          69,9    18,2          71,6     16,5          67,8      17,1        67,5
         PBB Lainnya            0,5           3,1     0,5           2,5   0,03            0,1   0,02            0,1    0,00           0,0      0,00          0,0

                Total          16,2      100,0       20,9      100,0       23,7      100,0       25,4      100,0        24,3      100,0        25,3        100,0

     Sumber : Kementerian Keuangan



Apabila dibandingkan dengan realisasi 2009, PBB dalam APBN-P tahun 2010 mengalami
peningkatan 4,3 persen, sedangkan BPHTB meningkat sebesar 10,7 persen. Peningkatan
penerimaan PBB tersebut terutama disebabkan oleh tingginya realisasi PBB pertambangan,
khususnya pertambangan migas. Dalam tahun 2010, PBB pertambangan ditargetkan sebesar
Rp17,1 triliun. Sementara itu, kenaikan penerimaan BPHTB pada tahun 2010 lebih banyak
dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi di sektor properti. Hal ini sejalan dengan tren
penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang berpengaruh terhadap turunnya bunga
kredit kepemilikan apartemen (KPA) dan kredit kepemilikan rumah (KPR). Selain itu,
meningkatnya transaksi properti juga dipengaruhi oleh semakin mudahnya persyaratan
pemberian kredit.
Cukai
Penerimaan cukai bersumber dari cukai hasil tembakau, cukai ethil alkohol (EA), cukai
MMEA, denda administrasi cukai, dan cukai lainnya. Penerimaan cukai mengalami
peningkatan secara signifikan dalam periode 2005–2009, tumbuh rata-rata sebesar 14,3
persen, yaitu dari Rp33,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp56,7 triliun pada tahun 2009.
Secara lebih rinci, penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai hasil tembakau
yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 97,8 persen dengan rata-rata pertumbuhan
14,1 persen. Sementara itu, kontribusi cukai EA mencapai 0,6 persen dengan rata-rata
pertumbuhan mencapai 40,6 persen, dan cukai MMEA memberikan kontribusi sebesar 1,6
persen dengan rata-rata pertumbuhan 16,7 persen.
Perkembangan penerimaan cukai hasil tembakau periode 2005–2009 menunjukkan
kecenderungan meningkat yang terutama dipengaruhi oleh: (1) kebijakan di bidang tarif
cukai dan harga dasar barang kena cukai; (2) kebijakan lainnya di bidang cukai, contohnya
kebijakan yang terkait dengan penundaan pembayaran cukai; (3) intensitas penindakan di
bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan administrasi pembukuan di bidang cukai oleh
KPPBC; (5) peningkatan pengawasan pengguna fasilitas cukai; (6) optimalisasi pelayanan
cukai dengan memanfaatkan teknologi informasi (sistem aplikasi cukai sentralisasi) dalam
kegiatan pelayanan perizinan nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC),


III-18                                                                                                                Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pendapatan Negara dan Hibah                                                                                                                                     Bab III



penetapan tarif cukai hasil tembakau, penundaan pembayaran cukai, dan proses penyediaan
sampai dengan pemesanan pita cukai; dan (7) peningkatan pelaksanaan sosialisasi ketentuan
di bidang cukai dengan tujuan agar para stakeholder dapat lebih memahami ketentuan
yang berlaku di bidang cukai. Perkembangan realisasi cukai tahun 2005–2010 dapat dilihat
pada Tabel III.10.
                                                               TABEL III.10
                                                  PERKEMBANGAN REALISASI CUKAI, 2005 – 2010
                                                              (triliun rupiah)
                                          2005                2006               2007                     2008                          2009                2010
            Uraian                               % thd           % thd                  % thd                    % thd                     % thd                 % thd
                                     Real.               Real.               Real.                 Real                     Real.                      APBN-P
                                                 Total           Total                  Total                    Total                     Total                 Total

Cukai Hasil Tembakau                   32,6       98,2    37,1       98,1      43,5      97,4       49,9          97,4           55,4           97,6     55,9       94,3
Cukai Ethil Alkohol (EA)               0,10        0,3     0,1        0,4       0,4       1,0        0,4           0,8           0,4             0,7      0,4        0,7
Cukai MMEA                             0,50        1,5     0,6        1,5       0,7       1,5        0,9           1,7           0,9             1,6      3,0        5,0
Denda Administrasi Cukai              0,004       0,01   0,002       0,01    0,005       0,01      0,012          0,02       0,016             0,03     0,000      0,00
Cukai Lainnya                         0,003       0,01   0,007       0,02    0,028        0,1      0,015           0,0       0,010               0,0    0,000        0,0
             Total                     33,3      100,0    37,8   100,0         44,7     100,0       51,3         100,0           56,7          100,0     59,3      100,0
Sumber : Kementerian Keuangan


Berdasarkan pengklasifikasian jenis produksi hasil tembakau pada periode 2005–2009,
penerimaan cukai hasil tembakau didominasi oleh SKM yang memberikan kontribusi rata-
rata sebesar 57,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 2,8 persen. Sementara itu, kontribusi
SKT mencapai 35,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 2,0 persen, dan SPM
memberikan kontribusi sebesar 6,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 1,9 persen.
Perkembangan produksi jenis rokok 2005–2010 dapat dilihat pada Tabel III.11.
                                                         TABEL III.11
                                         PERKEMBANGAN PRODUKSI JENIS ROKOK, 2005 – 2010
                                                        (miliar batang)

                                                                 2005         2006        2007       2008            2009               2010
                                       Jenis Rokok
                                                                 Real.        Real.      Real.       Real.           Real.          APBN-P

                            a. Sigaret Kretek Mesin (SKM)            126,6     125,4       131,7      144,5              141,2           144,2
                            b. Sigaret Kretek Tangan (SKT)            78,2      77,9       84,3           88,2            84,7            87,2
                            c.    Sigaret Putih Mesin (SPM)           15,3      13,5       16,0           17,0            16,5            17,0

                                 Total (a+b+c)                       220,1     216,8      231,9       249,7              242,4           248,4
                           Sumber : Kementerian Keuangan


Dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, total produksi hasil tembakau pada tahun
2010 diperkirakan mengalami peningkatan hingga mencapai 6 miliar batang bila
dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 2009. Kenaikan produksi jenis rokok tersebut
terutama didorong oleh peningkatan produksi jenis SKM.
Selanjutnya, perkembangan produksi MMEA periode 2005–2009, mengalami pertumbuhan
rata-rata sebesar 3,5 persen. Penerimaan cukai MMEA didominasi dari penerimaan MMEA
dalam negeri dengan rata-rata sebesar 98,3 persen dan selebihnya sebesar 1,7 persen
disumbangkan oleh MMEA impor. Perkembangan penerimaan cukai MMEA dan produksi
MMEA dalam negeri 2005–2009 dapat dilihat pada Grafik III.8.
Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan cukai diperkirakan mencapai Rp59,3 triliun. Bila
dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target penerimaan cukai dalam APBN-P tahun
2010 tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp2,5 triliun (4,5 persen). Penerimaan cukai
tahun 2009–2010 dapat dilihat pada Grafik III.9.


Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                                                                                       III-19
Bab III                                                                  Pendapatan Negara dan Hibah




                                                GRAFIK III.8
                     PERKEMBANGAN PENERIMAAN CUKAI MMEA DAN PRODUKSI MMEA DALAM NEGERI,
                                                2005 – 2009
                     1.000                                      228               232           250
                       900    202             203
                       800                             184                                      200
         miliar Rp




                      700




                                                                                                      Juta Lt
                      600                                                                       150
                      500                                                        927,2
                                                               878,5
                      400                                                                       100
                                                      687,9
                      300                     568,1
                             500,4
                      200                                                                       50
                      100
                        -                                                                       -
                             2005             2006    2007     2008              2009

              Sumber : Kementerian Keuangan                   Penerimaan Cukai           Produksi


Secara lebih rinci, penerimaan cukai hasil
                                                                     GRAFIK III.9
tembakau dalam APBN-P tahun 2010                              PENERIMAAN CUKAI,
diperkirakan mencapai Rp55,9 triliun atau triliun Rp                  2009 − 2010
                                                  62
mengalami peningkatan sebesar Rp0,5 triliun
                                                                                   59,3
(0,9 persen) bila dibandingkan dengan realisasi 60
tahun 2009. Faktor utama yang menyebabkan 58                    56,7
                                                  56
kenaikan penerimaan cukai hasil tembakau
adalah diterapkannya kebijakan kenaikan tarif     54

cukai yang diberlakukan mulai 1 Januari 2010      52

berkisar antara 9,6 persen sampai dengan 21,0     50
                                                                2009              APBN-P
persen tergantung pada jenis hasil                                                 2010
                                                 Sumber : Kementerian Keuangan
tembakaunya (SKM, SKT, dan SPM). Selain
dipicu oleh kenaikan tarif tersebut, peningkatan
penerimaaan cukai hasil tembakau juga didukung oleh upaya pemberantasan rokok ilegal
yang dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran barang kena cukai.
Sementara itu, penerimaan cukai MMEA dalam APBN-P tahun 2010 diperkirakan mencapai
Rp3,0 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp2,1 triliun (221,5 persen) bila dibandingkan
dengan realisasi tahun 2009. Faktor utama yang mempengaruhi penerimaan cukai MMEA
adalah diterapkannya kebijakan penyesuaian tarif cukai MMEA dengan kenaikan tarif rata-
rata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk MMEA impor.
Selain itu, pencapaian tersebut juga didukung oleh upaya pemberantasan MMEA ilegal yang
dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor. Penyesuaian tarif
cukai MMEA dan EA dapat dilihat pada Boks III.2.
Selanjutnya, penerimaan cukai EA dalam APBN-P tahun 2010 ditargetkan sebesar Rp0,4
triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp0,03 triliun (8,9 persen) bila dibandingkan
dengan realisasi tahun 2009. Peningkatan tersebut terjadi karena kebijakan penyesuaian
tarif cukai untuk konsentrat yang mengandung EA sebesar 100 persen dan penetapan tarif
cukai spesifik EA sebesar Rp20.000.




III-20                                                                 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pendapatan Negara dan Hibah                                                               Bab III




                                        BOKS III.2
                  PENYESUAIAN TARIF CUKAI MMEA DAN EA


  Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang
  Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
  Atas Barang Mewah, Penjelasan Pasal 5 ayat 1 angka 5 Undang-undang Nomor 18 Tahun
  2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 mengatur bahwa
  minuman beralkohol tidak lagi termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak (BKP) yang
  tergolong mewah. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan
  dan cukai dengan melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penetapan tarif cukai
  atas EA, MMEA, dan konsentrat yang mengandung ethil alkohol.
  Dalam rangka penyesuaian ketentuan tarif cukai atas MMEA dan EA, Pemerintah
  memberlakukan kebijakan penetapan tarif cukai atas EA, MMEA, dan konsentrat yang
  mengandung EA yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.011/
  2010 tentang Penetapan Tarif Cukai Ethil Alkohol, Minuman yang Mengandung Ethil Alkohol,
  dan Konsentrat yang Mengandung Ethil Alkohol yang berlaku efektif sejak tanggal 1 April
  2010.
  Tujuan dari kebijakan Pemerintah dalam melakukan penyesuaian tarif cukai spesifik atas
  MMEA dan EA yaitu: (1) untuk pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Cukai (BKC);
  (2) menyesuaikan beban perpajakan MMEA Indonesia dengan negara-negara yang
  berkarakteristik mirip yakni tujuan pariwisata dan negara yang membatasi peredaran MMEA;
  (3) memudahkan administrasi pemungutan dan kepastian pendapatan negara;
  (4) penyederhanaan penggolongan tarif cukai ke dalam satu golongan; dan (5) menyamakan
  tarif cukai MMEA Dalam Negeri (DN) dengan MMEA impor secara bertahap.
  Dasar penetapan tarif cukai atas MMEA dan EA diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang
  Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995
  tentang Cukai yang mengatur bahwa Barang Kena Cukai (BKC) dikenai cukai dengan tarif
  paling tinggi untuk produk DN sebesar 1.150 persen x harga jual pabrik atau 80 persen x HJE,
  dan untuk impor sebesar 1.150 persen x (nilai pabean + BM) atau 80 persen x HJE. Tarif cukai
  dapat diubah dari persentase harga dasar (advalorem) menjadi jumlah dalam rupiah untuk
  setiap satuan BKC (spesifik), atau sebaliknya atau gabungan keduanya. Pokok-pokok
  perubahan kebijakan penyesuaian tarif cukai yaitu:
  1 . Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan A1 dan A2 menjadi golongan A
      dengan penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 340,0 persen dan sebesar
      214,3 persen. Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing
      sebesar 340,0 persen dan sebesar 120,0 persen.
  2 . Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan B1 dan B2 menjadi golongan B dengan
      penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 500,0 persen dan sebesar 200,0 persen.
      Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 100,0
      persen dan sebesar 33,3 persen.
  3 . Penyesuaian kenaikan tarif MMEA untuk golongan C sebesar 188,5 persen untuk produksi DN
      dan sebesar 160,0 persen untuk impor.




Nota Keuangan dan RAPBN 2011                                                                III-21
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

hutang dan aset negara
hutang dan aset negarahutang dan aset negara
hutang dan aset negaraAry Efendi
 
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbnTransparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbnwandranatuna
 
Kebijakan Fiskal
Kebijakan FiskalKebijakan Fiskal
Kebijakan FiskalSiti Sahati
 
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanikMengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanikUmi Hanik
 
Ringkasan APBN 2017
Ringkasan APBN 2017Ringkasan APBN 2017
Ringkasan APBN 2017Tony Hidayat
 
D1 Pajak: Penyusunan APBN dan Kebijakan Fiskal
D1 Pajak: Penyusunan APBN dan Kebijakan FiskalD1 Pajak: Penyusunan APBN dan Kebijakan Fiskal
D1 Pajak: Penyusunan APBN dan Kebijakan FiskalNur Rina Martyas Ningrum
 
keuangan publik dan kebijakan fiskal
keuangan publik dan kebijakan fiskalkeuangan publik dan kebijakan fiskal
keuangan publik dan kebijakan fiskalSrestha Anindyanari
 
Analisis kebijakan fiskal
Analisis kebijakan fiskalAnalisis kebijakan fiskal
Analisis kebijakan fiskalArief H
 
Kebijakan fiskal
Kebijakan fiskalKebijakan fiskal
Kebijakan fiskalSiti Sahati
 
Bab 7 apbn & uln
Bab 7 apbn & ulnBab 7 apbn & uln
Bab 7 apbn & ulnxNet8
 
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMAAPBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMAPraktisiMadrasah
 
anngara pendapatan dan belanja negara
anngara pendapatan dan belanja negaraanngara pendapatan dan belanja negara
anngara pendapatan dan belanja negaraHana Marcelina
 
Anggaran pendapatan dan belanja negara
Anggaran pendapatan dan belanja negaraAnggaran pendapatan dan belanja negara
Anggaran pendapatan dan belanja negaragravity1992
 
Kebijakan defisit anggaran
Kebijakan defisit anggaranKebijakan defisit anggaran
Kebijakan defisit anggaranMulyadi Yusuf
 

Mais procurados (20)

hutang dan aset negara
hutang dan aset negarahutang dan aset negara
hutang dan aset negara
 
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbnTransparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
Transparansi dalam pengelolaan dan pengendalian apbn
 
Kebijakan Fiskal
Kebijakan FiskalKebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal
 
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanikMengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
Mengkritisi postur rapbn 2009 umi hanik
 
Apbd
Apbd  Apbd
Apbd
 
Tugas kebijakan fiskal
Tugas kebijakan fiskalTugas kebijakan fiskal
Tugas kebijakan fiskal
 
Ringkasan APBN 2017
Ringkasan APBN 2017Ringkasan APBN 2017
Ringkasan APBN 2017
 
D1 Pajak: Penyusunan APBN dan Kebijakan Fiskal
D1 Pajak: Penyusunan APBN dan Kebijakan FiskalD1 Pajak: Penyusunan APBN dan Kebijakan Fiskal
D1 Pajak: Penyusunan APBN dan Kebijakan Fiskal
 
keuangan publik dan kebijakan fiskal
keuangan publik dan kebijakan fiskalkeuangan publik dan kebijakan fiskal
keuangan publik dan kebijakan fiskal
 
Analisis kebijakan fiskal
Analisis kebijakan fiskalAnalisis kebijakan fiskal
Analisis kebijakan fiskal
 
Kebijakan fiskal
Kebijakan fiskalKebijakan fiskal
Kebijakan fiskal
 
Inflasi
InflasiInflasi
Inflasi
 
sumber-sumber APBD
sumber-sumber APBDsumber-sumber APBD
sumber-sumber APBD
 
Factsheet agustus 2019
Factsheet agustus 2019Factsheet agustus 2019
Factsheet agustus 2019
 
Factsheet agustus 2019
Factsheet agustus 2019Factsheet agustus 2019
Factsheet agustus 2019
 
Bab 7 apbn & uln
Bab 7 apbn & ulnBab 7 apbn & uln
Bab 7 apbn & uln
 
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMAAPBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
APBN dan APBD Materi Ekonomi Kelas 12 MA/SMA
 
anngara pendapatan dan belanja negara
anngara pendapatan dan belanja negaraanngara pendapatan dan belanja negara
anngara pendapatan dan belanja negara
 
Anggaran pendapatan dan belanja negara
Anggaran pendapatan dan belanja negaraAnggaran pendapatan dan belanja negara
Anggaran pendapatan dan belanja negara
 
Kebijakan defisit anggaran
Kebijakan defisit anggaranKebijakan defisit anggaran
Kebijakan defisit anggaran
 

Destaque

Destaque (9)

Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab VI)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab VI)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab VI)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab VI)
 
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APECPertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
Pertemuan ke-17 Menteri Keuangan APEC
 
Ministry of Finance Green Paper
Ministry of Finance Green PaperMinistry of Finance Green Paper
Ministry of Finance Green Paper
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (BAB I)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (BAB I)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (BAB I)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (BAB I)
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab II)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab II)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab II)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab II)
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab IV)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab IV)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab IV)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab IV)
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Bab V)
 
SEJARAH KOSMOLOGI
SEJARAH KOSMOLOGISEJARAH KOSMOLOGI
SEJARAH KOSMOLOGI
 
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Daftar Isi)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Daftar Isi)Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Daftar Isi)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011 (Daftar Isi)
 

Semelhante a Pendapatan Negara dan Hibah

Tugas asp 2 analisis apbn 2016
Tugas asp 2 analisis apbn 2016Tugas asp 2 analisis apbn 2016
Tugas asp 2 analisis apbn 2016EnvaPya
 
Jenis- Jenis Pendapatan pusat ppt
Jenis- Jenis Pendapatan pusat pptJenis- Jenis Pendapatan pusat ppt
Jenis- Jenis Pendapatan pusat pptNabila Hanun
 
Paparan Menko Perekonomian Versi 2 (Kerangka dan Sasaran Ekonomi Makro 2011)
Paparan Menko Perekonomian Versi 2 (Kerangka dan Sasaran Ekonomi Makro 2011)Paparan Menko Perekonomian Versi 2 (Kerangka dan Sasaran Ekonomi Makro 2011)
Paparan Menko Perekonomian Versi 2 (Kerangka dan Sasaran Ekonomi Makro 2011)mekon
 
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amjBab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amjCahyo Wiryanto
 
paper kebijakan fiskal
paper kebijakan fiskalpaper kebijakan fiskal
paper kebijakan fiskalMulyadi Yusuf
 
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAANKEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAANTri Damri
 
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]NhaAnawati
 
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016iqbal haqiqi94
 
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdfTRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdfTrifoniaApikaRirinPu1
 
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptxSPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptxAdityaNugroho97
 
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III mekon
 
PAPARAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 2017 - FKP 2016.ppt
PAPARAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 2017 - FKP 2016.pptPAPARAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 2017 - FKP 2016.ppt
PAPARAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 2017 - FKP 2016.ppthidayat129353
 

Semelhante a Pendapatan Negara dan Hibah (20)

Tugas asp 2 analisis apbn 2016
Tugas asp 2 analisis apbn 2016Tugas asp 2 analisis apbn 2016
Tugas asp 2 analisis apbn 2016
 
hukum pajak.docx
hukum pajak.docxhukum pajak.docx
hukum pajak.docx
 
Jenis- Jenis Pendapatan pusat ppt
Jenis- Jenis Pendapatan pusat pptJenis- Jenis Pendapatan pusat ppt
Jenis- Jenis Pendapatan pusat ppt
 
Paparan Menko Perekonomian Versi 2 (Kerangka dan Sasaran Ekonomi Makro 2011)
Paparan Menko Perekonomian Versi 2 (Kerangka dan Sasaran Ekonomi Makro 2011)Paparan Menko Perekonomian Versi 2 (Kerangka dan Sasaran Ekonomi Makro 2011)
Paparan Menko Perekonomian Versi 2 (Kerangka dan Sasaran Ekonomi Makro 2011)
 
Informasi APBN 2018
Informasi APBN 2018Informasi APBN 2018
Informasi APBN 2018
 
Final informasi apbn 2018
Final informasi apbn 2018 Final informasi apbn 2018
Final informasi apbn 2018
 
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amjBab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
 
Uu 28 2003
Uu 28 2003Uu 28 2003
Uu 28 2003
 
Fiskal
FiskalFiskal
Fiskal
 
Uu 01 2002 Pjls
Uu 01 2002 PjlsUu 01 2002 Pjls
Uu 01 2002 Pjls
 
paper kebijakan fiskal
paper kebijakan fiskalpaper kebijakan fiskal
paper kebijakan fiskal
 
Rapbn
RapbnRapbn
Rapbn
 
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAANKEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DI BIDANG ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN
 
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
Paper analisis kasus_korupsi_rapbn-1_baru[1]
 
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
Membaca arah kebijakan ekonomi dan moneter 2016
 
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdfTRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
TRIFONIA APIKA RIRIN PUTRI_D1091171032_PEMPEM_27 APRIL.pdf
 
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptxSPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
SPKN-Pengelolaan Kebijakan Fiskal Dan Kerangka Ekonomi Makro.pptx
 
Advertorial APBN 2014
Advertorial APBN 2014Advertorial APBN 2014
Advertorial APBN 2014
 
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
Bahan Menko Retreat Meeting (Raker III
 
PAPARAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 2017 - FKP 2016.ppt
PAPARAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 2017 - FKP 2016.pptPAPARAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 2017 - FKP 2016.ppt
PAPARAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 2017 - FKP 2016.ppt
 

Mais de Badan Kebijakan Fiskal

Global financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachGlobal financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachBadan Kebijakan Fiskal
 
Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Badan Kebijakan Fiskal
 
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Badan Kebijakan Fiskal
 
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal BorrowingStudi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal BorrowingBadan Kebijakan Fiskal
 

Mais de Badan Kebijakan Fiskal (20)

Global financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approachGlobal financial safety net: A three tier approach
Global financial safety net: A three tier approach
 
Pidato Menkeu
Pidato MenkeuPidato Menkeu
Pidato Menkeu
 
Indonesia oecd
Indonesia   oecdIndonesia   oecd
Indonesia oecd
 
Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
Rekonstruksi Kebijakan P3B IndonesiaRekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia
 
Communique
CommuniqueCommunique
Communique
 
Pelantikan Eselon II
Pelantikan Eselon IIPelantikan Eselon II
Pelantikan Eselon II
 
Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010Recent Economic Development: August 2010
Recent Economic Development: August 2010
 
PMK Nomor 144/PMK.011/2010
PMK Nomor 144/PMK.011/2010PMK Nomor 144/PMK.011/2010
PMK Nomor 144/PMK.011/2010
 
PMK Nomor 131/PMK.011/2010
PMK Nomor 131/PMK.011/2010PMK Nomor 131/PMK.011/2010
PMK Nomor 131/PMK.011/2010
 
PMK Nomor 128/PMK.011/2010
PMK Nomor 128/PMK.011/2010PMK Nomor 128/PMK.011/2010
PMK Nomor 128/PMK.011/2010
 
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penyerapan Belanja Kementerian / Lembaga 2010
 
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
Policy Paper Nomor 1 Agustus 2010
 
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal BorrowingStudi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
Studi Manajemen Utang LN & DN Pemerintah & Assessment Terhadap Optimal Borrowing
 
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2010
 
PMK Nomor 44 Tahun 2008
PMK Nomor 44 Tahun 2008PMK Nomor 44 Tahun 2008
PMK Nomor 44 Tahun 2008
 
Perpres Nomor 91 Tahun 2007
Perpres Nomor 91 Tahun 2007Perpres Nomor 91 Tahun 2007
Perpres Nomor 91 Tahun 2007
 
PMK Nomor 30 Tahun 2007
PMK Nomor  30 Tahun 2007PMK Nomor  30 Tahun 2007
PMK Nomor 30 Tahun 2007
 
PP Nomor 1 Tahun 2007
PP Nomor 1 Tahun 2007PP Nomor 1 Tahun 2007
PP Nomor 1 Tahun 2007
 
Perpres Nomor 103 Tahun 2006
Perpres Nomor 103 Tahun 2006Perpres Nomor 103 Tahun 2006
Perpres Nomor 103 Tahun 2006
 
Keppres Nomor 104 Tahun 2003
Keppres Nomor 104 Tahun 2003Keppres Nomor 104 Tahun 2003
Keppres Nomor 104 Tahun 2003
 

Último

manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptxmanajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptxMyusuf852079
 
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).pptSIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).pptDenzbaguseNugroho
 
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptKonsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptAchmadHasanHafidzi
 
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptxMATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptxDenzbaguseNugroho
 
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.pptmengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.pptharis916240
 
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptxV5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptxBayuUtaminingtyas
 
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar BisnisMenganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar BisnisGallynDityaManggala
 
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptxBAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptxTheresiaSimamora1
 
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotexPengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotexquotex
 
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGANMENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGANGallynDityaManggala
 
power point tentang koperasi simpan pinjam di indonesia
power point tentang koperasi simpan pinjam di indonesiapower point tentang koperasi simpan pinjam di indonesia
power point tentang koperasi simpan pinjam di indonesiaMukhamadMuslim
 
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesiaBAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesiaTriskaDP
 

Último (13)

manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptxmanajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
manajemen_keuangan_&_investasi_06.15pptx
 
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).pptSIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
SIKLUS Akuntansi Perusahaan Dagang (1).ppt
 
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptKonsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
 
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptxMATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
MATERI PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN.pptx
 
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.pptmengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
mengidentifikasi risiko xxxxxxxxxxxx.ppt
 
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptxV5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
V5_Petunjuk teknis Pengisian Usulan Alat Kesehatan melalui aplikasi.pptx
 
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar BisnisMenganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
Menganalisis Pasar Konsumen dan Pasar Bisnis
 
ANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptxANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS METODE GRAFIK.pptx
 
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptxBAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
 
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotexPengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
Pengenalan Quotex Trading untuk Pemula - dan panduan login ke quotex
 
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGANMENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
MENCIPTAKAN HUBUNGAN DAN NILAI PELANGGAN
 
power point tentang koperasi simpan pinjam di indonesia
power point tentang koperasi simpan pinjam di indonesiapower point tentang koperasi simpan pinjam di indonesia
power point tentang koperasi simpan pinjam di indonesia
 
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesiaBAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
BAB 1 Pengantar_e-commerce dalam peekonomian indonesia
 

Pendapatan Negara dan Hibah

  • 1. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 3.1 Umum Dalam periode 2005–2009, realisasi pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen, didukung dengan peningkatan penerimaan dalam negeri dan hibah yang masing-masing tumbuh rata-rata 14,4 persen dan 6,3 persen. Penerimaan dalam negeri terutama berasal dari penerimaan perpajakan yang memberikan kontribusi rata-rata 68,9 persen dengan pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) memberikan kontribusi rata-rata 31,1 persen dengan pertumbuhan rata-rata 11,5 persen. Meningkatnya realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode 2005–2009 tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi baik global maupun nasional, dan juga keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah. Kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah diarahkan untuk mendukung kebijakan fiskal yang berkesinambungan melalui upaya optimalisasi pendapatan negara dan hibah, khususnya penerimaan dalam negeri. Hal ini sesuai dengan peran pendapatan negara dan hibah sebagai sumber pendanaan program-program pembangunan. Sebagai kontributor utama bagi penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan diupayakan secara optimal melalui tiga kebijakan utama, yaitu: (1) reformasi di bidang administrasi; (2) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan; dan (3) reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi. Ketiga kebijakan tersebut secara umum berlaku baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Di bidang PNBP, kebijakan yang telah diambil Pemerintah dalam rangka optimalisasi adalah (1) meningkatkan produksi sumber daya alam (SDA); (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan di bidang PNBP; (3) meningkatkan pengawasan PNBP; dan (4) meningkatkan kinerja BUMN. Pada tahun 2010, perekonomian dunia mulai pulih dari krisis. Kondisi tersebut berimbas pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 persen, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada realisasi pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi pendapatan negara dan hibah ditargetkan sebesar Rp992,4 triliun atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp990,5 triliun atau meningkat 16,9 persen, dengan perincian penerimaan perpajakan Rp743,3 triliun atau meningkat 19,9 persen dan PNBP Rp247,2 triliun atau meningkat 8,8 persen. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun dengan peningkatan sebesar 13,8 persen. Dalam tahun 2010, kebijakan pendapatan negara dan hibah tetap diarahkan untuk optimalisasi penerimaan dalam negeri. Di bidang perpajakan, selain melakukan kebijakan yang bersifat reguler seperti reformasi di bidang administrasi, peraturan perundang-undangan dan pengawasan serta penggalian potensi, Pemerintah melakukan upaya tambahan (extra effort) baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Extra effort tersebut antara lain dilakukan melalui peningkatan efisiensi pemeriksaan dan penagihan pajak, serta peningkatan pengawasan atas peredaran barang kena cukai ilegal. Di bidang PNBP, kebijakan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-1
  • 2. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah yang dilakukan Pemerintah untuk mengamankan target PNBP tahun 2010 adalah optimalisasi penerimaan SDA terutama dari migas, peningkatan kinerja BUMN, serta optimalisasi PNBP kementerian/lembaga (K/L). Memasuki tahun 2011, kondisi perekonomian Indonesia diharapkan jauh lebih baik daripada tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi ditargetkan akan mencapai 6,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan realisasi 2010. Indikator-indikator ekonomi makro lainnya juga diperkirakan akan cukup stabil. Berdasarkan asumsi tersebut, pendapatan negara dan hibah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp1.086,4 triliun, dengan perincian penerimaan dalam negeri sebesar Rp1.082,6 triliun dan hibah Rp3,7 triliun. Penerimaan dalam negeri akan berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp839,5 triliun, dan PNBP sebesar Rp243,1 triliun. Dalam rangka mencapai target penerimaan negara pada tahun 2011, Pemerintah akan menjalankan berbagai kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP. Pokok-pokok kebijakan perpajakan secara umum adalah melanjutkan dan mempertajam kebijakan-kebijakan tahun sebelumnya. Di bidang perpajakan, kebijakan antara lain akan difokuskan pada (1) penggalian potensi perpajakan; (2) peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (3) penyempurnaan mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak; (4) peningkatan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; (5) perbaikan sistem informasi; dan (6) konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Selain itu, dalam rangka memperbaiki sistem administrasi perpajakan, Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan pengalihan BPHTB serta PBB perdesaan dan perkotaan dari pusat ke daerah. Untuk BPHTB, pengalihan dilakukan pada tahun 2011, sedangkan untuk PBB, pengalihan dimungkinkan dilakukan mulai tahun 2010 berdasarkan kesiapan masing-masing daerah. Tenggat waktu yang diberikan kepada daerah untuk mempersiapkan pengalihan PBB tersebut adalah sampai dengan tahun 2014. Di bidang PNBP, kebijakan yang dilakukan untuk mencapai target 2011 adalah (1) optimalisasi lifting/produksi minyak mentah dan gas bumi, serta komoditi tambang dan mineral guna mendukung pencapaian penerimaan SDA; (2) penyesuaian pay-out ratio dividen dari laba BUMN; (3) penyelesaian audit keuangan BUMN secara lebih awal guna memantau perkembangan rugi/laba BUMN; (4) penarikan dividen interim dengan tetap memperhatikan cash flow BUMN; (5) intensifikasi dan ekstensifikasi PNBP K/L, antara lain dengan melakukan review jenis dan tarif PNBP K/L; dan (6) perbaikan administrasi pelaporan keuangan K/L. 3.2 Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2005–2009 dan Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2010 Pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dalam periode 2005–2009. Pertumbuhan rata-rata yang terjadi dalam periode tersebut adalah 14,4 persen, yaitu dari Rp495,2 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp848,8 triliun pada tahun 2009. Kondisi perekonomian yang cukup kondusif dalam periode 2005–2009 menjadi faktor utama yang mendorong meningkatnya pendapatan negara khususnya penerimaan dalam negeri, meskipun sempat terjadi krisis ekonomi di penghujung tahun 2008 sampai dengan 2009. Dalam periode 2005–2009 tersebut, penerimaan dalam negeri meningkat dari Rp493,9 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp847,1 triliun pada tahun 2009. Hal ini berarti terjadi pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Selain faktor kestabilan ekonomi, penerapan berbagai III-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 3. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP juga menjadi salah satu faktor pendukung tingginya realisasi penerimaan dalam negeri. Sementara itu, penerimaan hibah pada periode 2005–2009 mengalami pertumbuhan rata-rata 6,3 persen, yaitu dari Rp1,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp1,7 triliun pada tahun 2009. Terus membaiknya kondisi perekonomian pada tahun 2010 menyebabkan Pemerintah optimis dapat mencapai target pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan dalam negeri ditargetkan mencapai Rp990,5 triliun, atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun atau 13,8 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Dengan demikian, dalam APBN-P tahun 2010, pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai Rp992,4 triliun, atau 16,9 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Perkembangan pendapatan negara dan hibah dalam periode 2005–2010 dapat dilihat pada Tabel III.1. TABEL III.1 PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, 2005 – 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Pendapatan Negara dan Hibah 495,2 638,0 707,8 981,6 848,8 992,4 I. Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1 990,5 1. Penerimaan Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9 743,3 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 146,9 227,0 215,1 320,6 227,2 247,2 II. Hibah 1,3 1,8 1,7 2,3 1,7 1,9 Sumber: Kementerian Keuangan 3.2.1 Penerimaan Dalam Negeri Dalam periode 2005–2009, penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Sebagai komponen utama, penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan PNBP tumbuh rata-rata 11,5 persen. Beberapa indikator makroekonomi yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan dalam negeri dalam periode tersebut adalah (1) tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat, yaitu dari 5,7 persen pada tahun 2005, menjadi 6,0 persen pada tahun 2008, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009; (2) perkembangan ICP yang cenderung meningkat dari USD51,8 per barel pada tahun 2005 hingga mencapai USD96,8 per barel pada tahun 2008, dan USD61,6 per barel pada tahun 2009; dan (3) fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sempat mengalami depresiasi pada periode tahun 2005–2009. Selain itu, keberhasilan penerapan kebijakan perpajakan dan PNBP juga turut mendorong peningkatan penerimaan dalam negeri. Memasuki tahun 2010, kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan mampu mencapai pertumbuhan 5,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2009 yang hanya mencapai 4,5 persen. Berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, dan juga didukung oleh tingginya perkiraan ICP yang mencapai USD80 per barel, penerimaan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp990,5 triliun dalam APBN-P tahun 2010, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-3
  • 4. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp743,3 triliun dan PNBP Rp247,2 triliun. Jumlah tersebut berarti 16,9 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Perkembangan penerimaan dalam negeri pada periode 2005–2010 dapat dilihat pada Tabel III.2. TABEL III.2 PERKEMBANGAN PENERIMAAN DALAM NEGERI, 2005 – 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1 990,5 1. Penerimaan Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9 743,3 a. Pajak Dalam Negeri 331,8 396,0 470,1 622,4 601,3 720,8 i. Pajak penghasilan 175,5 208,8 238,4 327,5 317,6 362,2 1. Migas 35,1 43,2 44,0 77,0 50,0 55,4 2. Nonmigas 140,4 165,6 194,4 250,5 267,6 306,8 ii. Pajak pertambahan nilai 101,3 123,0 154,5 209,6 193,1 263,0 iii. Pajak Bumi dan Bangunan 16,2 20,9 23,7 25,4 24,3 25,3 iv. BPHTB 3,4 3,2 6,0 5,6 6,5 7,2 v. Cukai 33,3 37,8 44,7 51,3 56,7 59,3 vi. Pajak lainnya 2,1 2,3 2,7 3,0 3,1 3,8 b. Pajak Perdagangan Internasional 15,2 13,2 20,9 36,3 18,7 22,6 i. Bea masuk 14,9 12,1 16,7 22,8 18,1 17,1 ii. Bea keluar 0,3 1,1 4,2 13,6 0,6 5,5 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 146,9 227,0 215,1 320,6 227,2 247,2 a. Penerimaan SDA 110,5 167,5 132,9 224,5 139,0 164,7 i. Migas 103,8 158,1 124,8 211,6 125,8 151,7 ii. Non Migas 6,7 9,4 8,1 12,8 13,2 13,0 b. Bagian Laba BUMN 12,8 23,0 23,2 29,1 26,0 29,5 c. PNBP Lainnya 23,6 36,5 56,9 63,3 53,8 43,5 d. Pendapatan BLU 0,0 0,0 2,1 3,7 8,4 9,5 Sumber : Kementerian Keuangan 3.2.1.1 Penerimaan Perpajakan Penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen dalam periode 2005–2009. Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai. Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan dapat dikategorikan ke dalam penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak dalam negeri terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Dalam periode 2005–2009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen, sedangkan pajak perdagangan internasional tumbuh rata-rata 5,2 persen. Selanjutnya, penerimaan perpajakan mampu memberikan kontribusi yang dominan terhadap penerimaan dalam negeri. Dalam tahun 2005, kontribusi penerimaan perpajakan adalah 70,3 persen menjadi 64,3 persen pada tahun 2006, kemudian 69,5 persen pada tahun 2007 menjadi 67,3 persen pada tahun 2008, dan selanjutnya menjadi 73,2 persen pada tahun 2009. Semakin tingginya kontribusi penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa peranan penerimaan perpajakan menjadi sangat strategis sebagai sumber pendanaan III-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 5.
  • 6. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah teknologi informasi dan komunikasi. Program utama dari kegiatan ini dikemas dalam Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, dan melaksanakan good governance melalui peningkatan transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak. Reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan dilakukan melalui amendemen tiga undang-undang perpajakan, yaitu: (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang; (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tarif PPh badan mengalami penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun 2010. Selain itu, pemberian diskon atas tarif PPh badan 5 persen lebih rendah dari tarif normal tetap diberikan kepada perusahaan-perusahaan masuk bursa yang minimal 40 persen sahamnya dikuasai oleh publik. Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi dilakukan melalui pembangunan suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur, terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut dikembangkan sejak awal tahun 2007 mencakup kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan membayar pajak (tax compliance), Pemerintah mencanangkan program sunset policy pada tahun 2008, dan diperpanjang hingga Februari 2009. Program sunset policy ini mengatur tentang penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain bertujuan meningkatkan tax compliance, program ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Sementara itu, dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, Pemerintah telah dan akan tetap melanjutkan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, program ekstensifikasi pada tahun 2010 dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yaitu: (1) pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara Pemerintah dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf, pekerja serta pegawai negeri sipil dan pejabat negara; (2) pendekatan berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan; dan (3) pendekatan berbasis profesi dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan, dan profesi lainnya. Sejauh ini kegiatan ekstensifikasi perpajakan dinilai cukup berhasil. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta pada tahun 2005 menjadi 14,1 juta pada April 2010. Sedangkan program intensifikasi atau penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui III-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 7. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III (1) kegiatan mapping dan benchmarking; (2) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Madya; (3) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office (LTO) dan Khusus; (4) pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama; (5) pembuatan profil high rise building; (6) pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 retailer; dan (7) pengawasan intensif wajib pajak orang pribadi potensial. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu metode penggalian potensi dan pengawasan penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, dan saling terkait, yang telah dikembangkan sejak tahun 2007. Untuk menindaklanjuti program sunset policy, Pemerintah melakukan kegiatan yang menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Kegiatan law enforcement dilakukan melalui penagihan, pemeriksaan, dan penyidikan. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dengan membangun komunikasi kepada setiap wajib pajak melalui pendidikan perpajakan (tax education), menjaga hubungan dengan wajib pajak (maintenance), dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan, tanpa mengesampingkan fungsi utama kepabeanan cukai sebagai regulator dalam rangka melancarkan arus barang dari transaksi perdagangan internasional (trade facilitation) dan melindungi masyarakat dari ekses negatif dari masuknya barang-barang pembatasan dan larangan serta narkotika (community protection). Dalam hal ini, Pemerintah akan terus melanjutkan program reformasi melalui pembentukan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Madya, serta melakukan program intensifikasi melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi, peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang, dan optimalisasi sarana operasi seperti kapal patroli, mesin sinar X, dan mesin sinar gamma. Selanjutnya, untuk menjamin penegakan hukum (law enforcement) di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah meningkatkan fungsi pengawasan dan audit. Peningkatan pengawasan dilakukan antara lain dengan (1) mengembangkan manajemen risiko kepabeanan dan cukai; (2) membangun sistem dokumentasi pelanggaran kepabeanan dan cukai; (3) melaksanakan pemberantasan penggunaan pita cukai palsu; (4) melaksanakan pemberantasan peredaran rokok ilegal; dan (5) melaksanakan pemberantasan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai. Sedangkan peningkatan audit dilakukan antara lain melalui (1) pembuatan dokumentasi sistem informasi perencanaan audit; (2) penyusunan database profil dan objek audit; (3) monitoring pelaksanaan audit; serta (4) penyempurnaan aplikasi sistem audit. Khusus di bidang kepabeanan, langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan antara lain (1) pengembangan otomasi sistem pelayanan kepabeanan dan cukai; (2) pemberian fasilitas/kemudahan dalam pelayanan kepabeanan (Pre Entry Classification, Customs Advice, dan Pre-Notification); (3) pemberian fasilitas terhadap industri substitusi impor dan industri orientasi ekspor; (4) pembentukan kantor pelayanan utama dan KPPBC Madya; (5) peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor; (6) mendukung kerjasama perdagangan internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral; (7) penerapan National Single Windows (NSW) dan portal Indonesia National Single Windows (INSW); (8) peningkatan pelayanan kepabeanan melalui jalur mitra utama (MITA) dan jalur prioritas; (9) penegakan hukum di bidang kepabeanan melalui risk management, risk assesment, profiling, dan targeting; dan (10) meningkatkan kepatuhan pengguna jasa kepabeanan dalam memenuhi kewajibannya. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-7
  • 8. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Khusus di bidang cukai, sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan maupun sistem prosedur di bidang cukai dilakukan secara bertahap sehingga dapat memberikan perlindungan atas kesehatan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan faktor daya serap tenaga kerja. Upaya yang dilakukan antara lain melalui (1) penyempurnaan ketentuan mengenai perizinan di bidang cukai; (2) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; (3) peningkatan pelayanan di bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan di bidang cukai; (5) peningkatan pemahaman ketentuan di bidang cukai (sosialisasi); (6) penerapan kode etik (reward and punishment); dan (7) peningkatan security feature pita cukai untuk menghilangkan praktek pemalsuan cukai. Selanjutnya pada tahun 2010, beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam rangka optimalisasi penerimaan cukai antara lain (1) peningkatan tarif cukai hasil tembakau berkisar antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 persen sesuai dengan jenis hasil tembakau, yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret putih mesin (SPM); (2) perubahan ketentuan mengenai perizinan; (3) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; serta (4) peningkatan tarif cukai minuman mengandung ethil alkohol (MMEA) rata-rata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk MMEA impor. Selain itu, Pemerintah juga melakukan peningkatan pengawasan, antara lain melalui: (1) peningkatan operasi pasar; (2) pemeriksaan lokasi pabrik; (3) peningkatan security features pita cukai; dan (4) peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor. 3.2.1.1.1 Pajak Dalam Negeri Dalam periode 2005–2009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata- rata 16,0 persen, yaitu dari Rp331,8 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp601,3 triliun pada tahun 2009. Pertumbuhan rata-rata tertinggi terjadi pada pos penerimaan PPh nonmigas serta PPN dan PPnBM yang mencapai 17,5 persen. Sementara itu, cukai sebagai penerimaan ketiga terbesar setelah PPh serta PPN dan PPnBM mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 14,3 persen. Kontributor utama dalam penerimaan pajak dalam negeri adalah PPh yang memberikan kontribusi rata-rata 52,4 persen. Sedangkan kontributor terbesar kedua dan ketiga adalah PPN dan PPnBM serta cukai, yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata 32,1 persen dan 9,3 persen. Pertumbuhan dan kontribusi rata-rata dari masing- masing jenis pajak dalam kategori pajak dalam negeri dapat dilihat pada Grafik III.2 dan Grafik III.3. GRAFIK III.2 PERTUMBUHAN PENERIMAAN PERPAJAKAN DALAM NEGERI, 2005 – 2009 75,0 87,0 80 60 53,2 persen (y-o-y) 45,4 35,7 37,8 40 28,8 25,6 28,6 22,9 18,0 21,5 18,3 19,7 17,4 13,7 17,6 16,0 14,7 11,6 20 14,0 13,6 10,8 6,8 10,7 9,5 6,9 2,7 1,9 0 -1,2 -4,3 -7,2 -6,4 -7,9 (20) PPh PPh PPN PBB BPHTB Cukai Pajak Lainnya Migas Non Migas (40) -35,0 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber : Kementerian Keuangan III-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 9. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III Dalam APBN-P tahun 2010, GRAFIK III.3 penerimaan pajak dalam KONTRIBUSI RATA-RATA PENERIMAAN PAJAK DALAM NEGERI, 2005 – 2009 negeri ditargetkan mencapai Cukai Pajak Lainnya 0,6% BPHTB 9,3% Rp720,8 triliun. Apabila 1,0% PPh Migas 10,3% dibandingkan dengan realisasi PBB 4,7% penerimaan pajak dalam negeri tahun 2009, target tersebut mengalami PPh peningkatan sebesar Rp119,5 PPN Non-Migas 42,1% 32,1% triliun atau 19,9 persen. Peningkatan terjadi pada seluruh pos penerimaan dalam negeri, terutama PPN dan PPnBM yang meningkat Sumber : Kementerian Keuangan 36,2 persen dan BPHTB yang meningkat 10,7 persen. Membaiknya kondisi perekonomian baik secara global maupun domestik yang berimbas pada meningkatnya volume perdagangan dunia menjadi faktor utama meningkatnya penerimaan pajak dalam negeri, khususnya penerimaan PPN dan PPnBM impor. Selain itu, relatif tingginya ICP yang diperkirakan mencapai USD80 per barel pada tahun 2010 dibandingkan dengan ICP tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per barel (Desember−November) juga menjadi salah satu pemicu meningkatnya penerimaan pajak migas. Pajak Penghasilan (PPh) Pajak penghasilan (PPh) mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen dalam periode 2005−2009. Dalam periode tersebut, nominal penerimaan PPh meningkat dari Rp175,5 triliun menjadi Rp317,6 triliun. Dilihat dari komposisinya, penerimaan PPh migas memberikan kontribusi rata-rata sebesar 19,7 persen, sedangkan PPh nonmigas 80,3 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, PPh diperkirakan mencapai Rp362,2 triliun, yang terdiri atas penerimaan PPh migas Rp55,4 triliun (15,3 persen) dan PPh nonmigas Rp306,8 triliun (84,7 persen). Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai Rp317,6 triliun, terjadi peningkatan sebesar Rp44,6 triliun atau 14,0 persen. Penerimaan PPh migas selama tahun 2005−2009 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,2 persen. Dilihat dari komponen pendukungnya, penerimaan PPh minyak bumi tumbuh rata-rata 18,6 persen dan PPh gas bumi tumbuh rata-rata 5,2 persen. Perkembangan realisasi penerimaan PPh migas yang cenderung meningkat tersebut sesuai dengan perkembangan ICP yang menunjukkan adanya tren kenaikan, meskipun lifting mengalami fluktuasi. Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi penerimaan PPh migas diperkirakan mencapai Rp55,4 triliun, dengan kontribusi dari PPh minyak bumi sebesar Rp22,6 triliun (40,7 persen) dan PPh gas bumi Rp32,8 triliun (59,3 persen). Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya, terjadi peningkatan sebesar Rp5,3 triliun atau 10,7 persen. Penerimaan PPh migas tahun 2009−2010 dapat dilihat pada Grafik III.4. Penyebab utama peningkatan penerimaan PPh migas tersebut adalah lebih tingginya ICP pada tahun 2010 yang diperkirakan mencapai USD80 per barel dibandingkan dengan ICP pada tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per barel (Desember−November), dan lebih tingginya lifting minyak Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-9
  • 10. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah bumi tahun 2010 yang diperkirakan sebesar 965 GRAFIK III.4 MBCD dibandingkan dengan lifting pada tahun PENERIMAAN PPh MIGAS, 2009 − 2010 2009 yang mencapai 944 MBCD. Perkembangan triliun Rp realisasi PPh migas 2005–2010 dapat dilihat pada 70,0 PPh Gas Alam PPh Minyak Bumi Tabel III.3. 60,0 Dalam periode 2005−2009, realisasi penerimaan 50,0 PPh nonmigas mengalami pertumbuhan rata- 40,0 31,7 32,8 rata 17,5 persen, yaitu dari Rp140,4 triliun pada 30,0 tahun 2005 menjadi Rp267,6 triliun pada tahun 2009. Pertumbuhan tersebut terutama didukung 20,0 dari penerimaan PPh pasal 25/29 badan yang 10,0 18,4 22,5 tumbuh rata-rata 23,7 persen dan memberikan 0,0 kontribusi rata-rata 41,0 persen dalam periode 2009 APBN-P 2010 tersebut. Sumber : Kementerian Keuangan TABEL III.3 PERKEMBANGAN PPh MIGAS, 2005 – 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Total Total Total Total Total Total PPh Minyak Bumi 9,3 26,4 14,7 34,0 16,3 37,0 29,6 38,5 18,4 36,7 22,6 40,7 PPh Gas Bumi 25,8 73,6 28,5 66,0 27,3 62,0 47,4 61,5 31,7 63,3 32,8 59,3 PPh Migas Lainnya 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 1,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Total 35,1 100,0 43,2 100,0 44,0 100,0 77,0 100,0 50,0 100,0 55,4 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPh GRAFIK III.5 nonmigas diperkirakan mencapai Rp306,8 triliun. PENERIMAAN PPh NONMIGAS, Hal ini berarti terjadi peningkatan 14,7 persen bila 2009 − 2010 dibandingkan dengan realisasi tahun triliun Rp sebelumnya. Penerimaan PPh nonmigas tahun 320,0 2009−2010 dapat dilihat dalam Grafik III.5. 270,0 76,5 Selain faktor ekonomi, peningkatan penerimaan 61,3 PPh nonmigas terutama disebabkan oleh upaya 220,0 42,1 perbaikan administrasi perpajakan dan 170,0 33,8 61,6 dilakukannya extra effort sebagaimana yang 52,1 120,0 telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun tarif PPh pasal 25/29 badan mengalami penurunan dari 28 70,0 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada 20,0 120,3 126,7 tahun 2010, dan juga pemberian diskon 5 persen bagi perusahaan masuk bursa yang 40 persen -30,0 2009 APBN-P 2010 sahamnya dikuasai publik, PPh pasal 25/29 badan Lainnya PPh Final dan Fiskal masih merupakan kontributor utama bagi PPh Pasal 21 PPh Pasal 25/29 Badan penerimaan PPh nonmigas dengan kontribusi sebesar 41,0 persen. Bila dibandingkan dengan Sumber : Kementerian Keuangan realisasi pada tahun 2009, PPh pasal 25/29 badan tahun 2010 meningkat 5,3 persen. Perkembangan penerimaan PPh nonmigas per pasal dalam periode 2005–2010 dapat dilihat padaTabel III.4. III-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 11. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III TABEL III.4 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS, 2005 – 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Total Total Total Total Total Total PPh Pasal 21 9,3 26,4 31,6 19,1 39,4 20,3 51,7 20,7 52,1 19,5 61,6 20,1 PPh Pasal 22 25,8 73,6 4,0 2,4 4,0 2,0 5,0 2,0 4,4 1,6 5,4 1,8 PPh Pasal 22 Impor 13,5 9,3 13,1 7,9 16,6 8,6 25,1 10,0 19,2 7,2 23,9 7,8 PPh Pasal 23 13,0 8,9 15,4 9,3 15,7 8,1 18,1 7,2 16,0 6,0 20,0 6,5 PPh Pasal 25/29 Pribadi 1,6 1,1 1,8 1,1 1,6 0,8 3,6 1,4 3,3 1,3 4,3 1,4 PPh Pasal 25/29 Badan 51,4 35,4 65,1 39,3 80,8 41,6 106,4 42,6 120,3 45,0 126,7 41,3 PPh Pasal 26 8,9 6,1 10,5 6,4 14,6 7,5 14,9 6,0 18,4 6,9 22,9 7,5 PPh Final dan Fiskal 21,9 15,1 24,1 14,6 21,6 11,1 25,2 10,1 33,8 12,6 42,1 13,7 PPh Non Migas Lainnya -0,1 -0,04 0,04 0,02 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,0 0,00 0,0 Total 145,3 175,8 165,6 100,0 194,4 100,0 249,8 100,0 267,6 100,0 306,8 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Selama periode 2005–2009, realisasi penerimaan PPh nonmigas didominasi oleh sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, sektor industri pengolahan, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai kontributor utama dengan rata-rata kontribusi masing-masing sebesar 28,9 persen, 25,1 persen dan 9,9 persen. Pertumbuhan rata-rata dalam kurun waktu 2005–2009 untuk sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan adalah 17,3 persen, untuk sektor industri pengolahan 16,6 persen, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,0 persen. Perkembangan PPh nonmigas sektoral 2005–2010 dapat dilihat dalam Tabel III.5. TABEL III.5 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTORAL, 2005 − 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian % thd % thd % thd % thd % thd Perk. % thd Real. Real. Real. Real. Real. Total Total Total Total Total Real. Total Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 2,5 2,1 2,8 2,0 4,7 2,6 9,9 4,3 10,5 4,3 9,3 3,6 Pertambangan Migas 9,9 8,1 12,1 8,3 14,0 7,8 17,9 7,8 8,5 3,5 8,2 3,2 Pertambangan Bukan Migas 5,6 4,5 6,2 4,3 10,5 5,8 11,7 5,1 17,8 7,3 14,0 5,4 Penggalian 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 0,5 0,2 0,3 0,1 0,3 0,1 Industri Pengolahan 33,9 27,7 34,7 24,0 41,9 23,3 56,6 24,7 62,7 25,7 77,8 30,0 Listrik, Gas, dan Air Bersih 3,0 2,4 5,7 3,9 4,7 2,6 5,3 2,3 5,4 2,2 8,3 3,2 Konstruksi 2,5 2,0 3,1 2,1 4,8 2,7 5,4 2,3 6,7 2,8 7,7 3,0 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 11,1 9,1 13,5 9,3 16,9 9,4 24,3 10,6 27,1 11,1 31,5 12,2 Pengangkutan dan Komunikasi 11,3 9,3 14,7 10,2 16,3 9,1 20,1 8,8 16,8 6,9 17,4 6,7 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 35,7 29,2 44,3 30,6 54,8 30,5 60,5 26,4 67,6 27,7 61,6 23,8 Jasa Lainnya 6,7 5,5 7,6 5,2 10,7 5,9 12,3 5,4 17,8 7,3 20,3 7,8 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 0,1 0,1 0,1 0,0 0,2 0,1 4,5 2,0 2,4 1,0 2,4 0,9 Total 122,4 100,0 145,0 100,0 179,7 100,0 229,1 100,0 243,6 100,0 258,9 100,0 * Belum memperhitungkan penerimaan PPh valas dan BUN, transaksi yang offline , serta restitusi. Tahun 2010 sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar Rp6,0 triliun atau 8,9 persen sehingga mencapai Rp61,6 triliun. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh turunnya suku bunga Bank Indonesia yang mengakibatkan net interest margin (NIM) bank mengalami penurunan. Rata-rata suku bunga untuk semester I tahun 2010 adalah 6,5 persen, atau menurun jika dibandingkan dengan rata-rata suku bunga pada semester I tahun 2009 sebesar 7,75 persen. Sementara itu, pada tahun 2010, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp77,8 triliun, meningkat sebesar Rp17,8 triliun atau 29,7 persen bila dibandingkan dengan nilainya pada tahun 2009. Kenaikan ini terutama didukung oleh pertumbuhan sektor industri Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-11
  • 12. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar Rp4,9 triliun atau 18,5 persen dibandingkan tahun 2009 sehingga mencapai Rp31,5 triliun. PPN dan PPnBM Penerimaaan PPN dan PPnBM selama periode 2005–2009 mengalami pertumbuhan rata- rata 17,5 persen. Secara komposisi, PPN dan PPnBM dalam negeri tumbuh rata-rata 23,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan PPN dan PPnBM impor yang tumbuh rata- rata 8,8 persen dalam periode tersebut. Dari sisi besarnya kontribusi, PPN dan PPnBM dalam negeri mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 61,1 persen dari total penerimaan PPN dan PPnBM, sedangkan PPN dan PPnBM impor memberikan kontribusi rata-rata 38,9 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPN dan PPnBM ditargetkan sebesar Rp263,0 triliun, yang terdiri dari atas PPN dan PPnBM dalam negeri Rp163,0 triliun (63,1 persen) dan PPN dan PPnBM impor Rp99,7 triliun (37,9 persen). Perkembangan PPN dan PPnBM dalam periode 2005–2010 dapat dilihat dalam Tabel III.6. TABEL III.6 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 − 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Total Total Total Total Total Total a. PPN 94,0 92,8 118,2 96,1 147,4 95,4 198,2 94,5 184,2 95,4 253,4 96,4 PPN DN 48,8 48,1 74,8 60,8 93,3 60,3 116,7 55,7 120,4 62,4 156,4 59,5 PPN Impor 44,9 44,3 43,1 35,0 53,9 34,9 81,1 38,7 63,4 32,9 96,7 36,8 PPN Lainnya 0,3 0,3 0,3 0,2 0,3 0,2 0,3 0,1 0,3 0,1 0,3 0,1 b. PPnBM 7,3 7,2 4,8 3,9 7,1 4,6 11,5 5,5 8,9 4,6 9,5 3,6 PPnBM DN 4,9 4,8 3,1 2,5 4,7 3,0 7,5 3,6 6,1 3,2 6,6 2,5 PPnBM Impor 2,4 2,4 1,7 1,4 2,4 1,6 4,0 1,9 2,8 1,5 3,0 1,1 PPnBM Lainnya 0,0 0,0 0,002 0,002 0,021 0,01 0,012 0,01 0,015 0,01 0,01 0,004 Total (a+b) 101,3 100,0 123,0 100,0 154,5 100,0 209,6 100,0 193,1 100,0 263,0 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target pada tahun 2010 tersebut meningkat Rp69,9 triliun atau 36,2 persen. Peningkatan terutama terjadi pada PPN dan PPnBM impor dengan pertumbuhan 50,4 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang mengalami pertumbuhan negatif. Secara umum, peningkatan PPN dan PPnBM impor tersebut sejalan dengan meningkatnya volume perdagangan dunia, yang berimbas pada meningkatnya kegiatan ekspor-impor Indonesia. Di sisi lain, penerimaan PPN dan PPnBM dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 28,8 persen, lebih rendah dari pertumbuhan tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang mengakibatkan melemahnya pertumbuhan PPN dan PPnBM dalam negeri ini adalah rendahnya konsumsi Pemerintah yang pada kuartal I 2010 yang mengalami penurunan sebesar 8,8 persen (y-o-y). Pada periode yang sama tahun sebelumnya, realisasi konsumsi Pemerintah cukup tinggi sebagai akibat dilaksanakannya kegiatan Pemilu. Perkembangan PPN dan PPnBM serta nilai impor dalam periode 2005–2009 dapat dilihat pada Grafik III.6 dan penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2010 dapat dilihat pada Grafik III.7. III-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 13. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III GRAFIK III.6 GRAFIK III.7 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 – 2009 PENERIMAAN PPN DAN PPnBM, 2009 − 2010 160 160000 triliun Rp PPN & PPnBM DN 270 140 PPN & PPnBM Impor 140000 PPN PPnBM 9,5 250 triliun Rp 120 Nilai Impor juta US$ 120000 100 230 80 100000 210 60 253,4 80000 190 9,5 40 60000 170 20 184,2 0 40000 150 2005 2006 2007 2008 2009 2009 APBN-P 2010 Sumber: Kementerian Keuangan Sumber: Kementerian Keuangan Secara umum, realisasi PPN secara sektoral dapat digolongkan ke dalam 12 sektor. Dalam periode 2005–2009, sektor industri pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar, dengan rata-rata 38,8 persen. Dua kontributor utama lainnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang masing- masing memberikan kontribusi rata-rata 19,8 persen dan 6,6 persen. Dalam tahun 2010, diperkirakan sektor industri pengolahan menjadi kontributor utama dengan kontribusi sebesar 51,1 persen, disusul kemudian oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi sebesar 22,7 persen, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan dengan kontribusi sebesar 5,8 persen. Sebagian besar dari realisasi PPN merupakan PPN DN. Dalam periode 2005–2009, PPN DN mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 62,4 persen. Tiga sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar terhadap penerimaan PPN DN adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertambangan migas. Kontribusi rata-rata dari ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 31,6 persen, 17,9 persen, dan 11,8 persen dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing 28,3 persen, 22,0 persen dan 7,5 persen. Dalam tahun 2010, sebagian besar penerimaan PPN DN diperkirakan masih berasal dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi, dengan kontribusi masing-masing mencapai 44,2 persen, 18,4 persen dan 8,2 persen. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, tiga sektor tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan. Sektor industri pengolahan naik Rp17,1 triliun atau 34,1 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran naik Rp4,5 triliun atau 19,1 persen, dan sektor pengangkutan dan komunikasi naik Rp2,7 triliun atau 27,8 persen. Kenaikan ini sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri. Perkembangan penerimaan PPN DN secara sektoral dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.7. Dalam periode 2005–2009, penerimaan PPN impor didukung oleh tiga sektor utama yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata sebesar 50,7 persen, 23,1 persen, dan 19,1 persen. Pertumbuhan rata-rata dari ketiga sektor tersebut adalah sebesar 16,0 persen, 22,6 persen, dan negatif 48,8 persen. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-13
  • 14. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah TABEL III.7 PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTORAL, 2005 − 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian % thd % thd % thd % thd % thd Perk. % thd Real. Real. Real. Real. Real. Total Total Total Total Total Real. Total Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 1,6 2,8 1,8 2,2 2,0 2,0 3,1 2,7 3,5 2,8 3,3 2,2 Pertambangan Migas 2,9 5,2 16,8 21,0 14,6 14,5 17,0 15,1 3,9 3,1 2,8 1,9 Pertambangan Bukan Migas 0,8 1,4 1,3 1,6 1,8 1,8 1,4 1,2 1,9 1,5 2,1 1,4 Penggalian 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 Industri Pengolahan 18,5 33,2 22,3 27,9 28,6 28,4 32,2 28,6 50,2 39,9 67,3 44,2 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,4 0,8 0,6 0,7 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,6 0,9 0,6 Konstruksi 4,3 7,7 6,2 7,8 12,0 11,9 11,3 10,1 12,4 9,8 12,1 7,9 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 10,6 19,0 12,8 16,0 17,9 17,8 20,3 18,0 23,5 18,7 28,0 18,4 Pengangkutan dan Komunikasi 6,1 10,9 6,6 8,2 8,1 8,1 8,8 7,8 9,7 7,7 12,4 8,2 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 7,7 13,7 8,4 10,6 10,8 10,8 9,4 8,3 10,4 8,2 12,1 7,9 Jasa Lainnya 1,3 2,4 1,6 2,0 2,3 2,2 2,6 2,3 3,0 2,4 3,8 2,5 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 1,5 2,7 1,5 1,9 1,9 1,9 5,9 5,3 6,5 5,2 7,3 4,8 Total 55,8 100,0 79,9 100,0 100,6 100,0 112,8 100,0 125,7 100,0 152,3 100,0 * Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline, dan restitusi. Sumber : Kementerian Keuangan Pada tahun 2010, PPN impor diperkirakan akan tetap didukung oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas. Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan masing-masing 47,3 persen dan 54,1 persen. Dengan demikian, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp59,2 triliun dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan mencapai Rp28,2 triliun. Secara umum, peningkatan penerimaan di kedua sektor tersebut didukung oleh meningkatnya kinerja impor. Di sisi lain, sektor pertambangan migas diperkirakan akan mengalami penurunan sehingga mencapai Rp0,6 triliun pada akhir tahun 2010. Pertumbuhan negatif penerimaan sektor pertambangan migas menurut data modul penerimaan negara (MPN) disebabkan karena penerimaan tercatat hanya dalam bentuk rupiah, penerimaan ini belum termasuk penerimaan dalam bentuk mata uang asing. Apabila digabungkan dengan penerimaan mata uang asing terdapat pertumbuhan positif sebesar 69,1 persen. Perkembangan penerimaan PPN impor secara sektoral tahun 2005–2010 dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.8. TABEL III.8 PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL, 2005 – 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian % thd % thd % thd % thd % thd Perk. % thd Real. Real. Real. Real Real. Total Total Total Total Total Real. Total Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,4 0,5 Pertambangan Migas 11,4 25,3 9,9 23,4 11,9 22,0 19,3 23,5 0,8 1,2 0,6 0,6 Pertambangan Bukan Migas 0,2 0,5 0,1 0,2 0,2 0,3 0,5 0,7 0,5 0,7 1,9 2,0 Penggalian 0,1 0,3 0,1 0,1 0,0 0,1 0,1 0,1 0,0 0,1 0,0 0,0 Industri Pengolahan 22,2 49,1 20,0 47,3 26,4 48,8 37,0 45,2 40,2 63,1 59,2 62,3 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,2 0,3 0,2 0,5 0,1 0,2 0,2 0,2 0,2 0,4 0,2 0,3 Konstruksi 0,5 1,2 0,4 0,9 0,5 0,9 1,3 1,6 1,0 1,5 0,9 1,0 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 8,1 17,9 9,0 21,4 12,4 23,0 20,1 24,5 18,3 28,7 28,2 29,7 Pengangkutan dan Komunikasi 1,9 4,1 2,0 4,7 1,8 3,3 2,4 3,0 1,5 2,3 1,2 1,3 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 0,4 1,0 0,4 0,9 0,4 0,8 0,7 0,9 1,0 1,6 2,2 2,3 Jasa Lainnya 0,1 0,2 0,1 0,2 0,2 0,3 0,2 0,3 0,1 0,1 0,1 0,1 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Total 45,2 100,0 42,3 100,0 54,0 100,0 82,0 100,0 63,6 100,0 95,0 100,0 * Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline , dan restitusi. Sumber : Kementerian Keuangan PBB dan BPHTB Realisasi PBB dan BPHTB masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata 10,6 persen dan 17,2 persen dalam periode 2005–2009. Rata-rata kontribusi PBB terhadap penerimaan pajak dalam negeri adalah sebesar 4,7 persen, sedangkan BPHTB sebesar 1,0 persen. III-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 15. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III BOKS III.1 AMENDEMEN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM NOMOR 42 TAHUN 2009 LATAR BELAKANG 1 . Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis. 2. Perkembangan transaksi bisnis yang mengikuti kemajuan teknologi serta perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa, memerlukan penyerderhanaan sistem PPN. DASAR HUKUM 1 . Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-undang Nomor 62 Tahun 2009 tentang KUP. 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. UU Nomor 18 Tahun 2000. KEBIJAKAN Pemerintah melakukan amendemen atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagai bentuk penyederhanaan sistem perpajakan dan kepastian hukum. TUJUAN 1 . Dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, 2. Menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana. POKOK-POKOK PERUBAHAN UU PPN DAN PPnBM Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun 2009 Ekspor BKP Tidak Berwujud dan Ekspor JKP dikenakan PPN 1. Istilah baru dalam objek pajak Tidak diatur. dengan tarif 0%. Dikenakan PPN terbatas pada penyerahan aktiva yang PPN dikenakan atas penyerahan seluruh aktiva, kecuali 2. Penyerahan aktiva yang tujuan PPN terutang pada saat perolehannya telah dibayar aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan semula tidak untuk diperjualbelikan dan dapat dikreditkan. usaha. 3. Penyerahan dan bukan penyerahan BKP a. Pembiayaan syariah Dikenakan PPN pada setiap transaksi penyerahan. Dikenakan PPN, penyerahannya dianggap langsung. Tidak dikenakan PPN, syarat semua perusahaan terdaftar b. Dalam rangka restrukturisasi Dikenakan PPN. sebagai PKP. c. Persediaan yang tersisa pada saat Terbatas pada aktiva yang PPN pada saat Seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan pembubaran perusahaan perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan. langsung dengan kegiatan usaha. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-15
  • 16. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun 2009 4. NonBKP dan nonJKP (pasal 4a) a. Daging, telur, susu, sayur- Dibebaskan dari pengenaan PPN, melalui Peraturan Dibebaskan dari pengenaan PPN. sayuran, dan buah-buahan Pemerintah tentang BKP Strategis. Dikenakan PPN, kecuali pasir dan kerikil (Psl 4A (2) b. Barang hasil pertambangan Tidak dikenakan PPN . huruf a). PPN tidak dikenakan atas jasa keuangan (menghimpun, PPN tidak dikenakan atas jasa perbankan. (Psl 4A (3) c. Jasa keuangan menempatkan, dan meminjam dana; pembiayaan; huruf d). penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai; penjaminan). PPN dikenakan atas jasa: penyediaan parkir; telepon d. Jasa tertentu umum (koin); pengiriman uang dengan wesel pos; Menjadi tidak dikenakan PPN. serta jasa boga/catering . 5. Barang dan jasa yang tidak dikenakan Sebelumnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Ditetapkan langsung di dalam penjelasan Undang-Undang PPN Pemerintah. (Pasal 4A). PKP bertambah: 6. Pengusaha Kena Pajak (PKP) 1. Eksportir JKP, 2. Eksportir BKP tidak berwujud. PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan dapat 7. Retur atas penyerahan JKP Tidak diatur. dikurangkan. (1) Bukan kebutuhan pokok; (2) Dikonsumsi masyarakat tertentu; (3) Dikonsumsi masyarakat 8. a. Kriteria BKP mewah berpenghasilan tinggi; (4) Menunjukkan status; Kriteria nomor 5 dihapus. (5) Merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban. b. Tarif PPnBM Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 75%. Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 200%. 9. Restitusi Hanya PKP tertentu, yaitu PKP: (1) Eksportir; (2) Dengan penyerahan kepada Pemungut PPN; a. Saat Pengajuan Restitusi (Pasal 9 Seluruh PKP dapat melakukan restitusi pada setiap (3) Mendapat fasilitas tidak dipungut PPN; (4a), (4b)) masa pajak (Psl 9 (4)). (4) Belum berproduksi. Restitusi PKP lain pada akhir tahun buku. (Psl 9 (4a)) 1. Mengatur pengembalian pendahuluan bagi PKP Eksportir, PKP dengan penyerahan kepada Pemungut PPN, dan PKP yang mendapat Hanya diberikan kepada WP Patuh dan WP dengan fasilitas tidak dipungut PPN, yang berisiko b. Pengembalian Pendahuluan Persyaratan Tertentu. rendah. 2. Sanksi bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan, bila terbit SKPKB. PPN atas barang bawaan dapat direstitusi melalui bandara c. Restitusi untuk Turis Asing Tidak diatur. tertentu, dengan syarat tertentu. 1. Hanya mengatur untuk PKP yang Berlaku bagi PKP baik orang pribadi maupun badan yang: menggunakan norma PPh. 10. Deemed Pajak Masukan 2. Deemed PM bagi PKP kegiatan tertentu 1. Memiliki omzet tertentu; dan belum diatur. 2. Melakukan kegiatan tertentu. 11. Pengkreditan Pajak Masukan (PM) Terbatas PM yang berasal dari perolehan dan/atau impor a. PM yang boleh dikreditkan oleh barang modal. Dalam hal PKP gagal berproduksi, maka PM Seluruh PM (Pasal 9 (2a)). PKP yang belum berproduksi yang telah dikreditkan dan telah direstitusi harus dibayar kembali. b. Pengkreditan PM atas BKP yang Menghidupkan kembali rumusan Pasal 9 ayat (14) yaitu Tidak diatur (pada perubahan kedua UU PPN, dialihkan dalam rangka dalam hal restrukturisasi, maka PM atas BKP yang dialihkan ketentuan ini dihapus). restrukturisasi yang belum dikreditkan dapat dikreditkan oleh PKP. III-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 17. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun 2009 WP mengajukan permohonan, pemberian ijin Cukup dengan pemberitahuan oleh WP, pemeriksaan 12. Pemusatan tempat PPN berdasarkan pemeriksaan. dilakukan kemudian dalam hal diperlukan. 13. Faktur Pajak (FP) Paling lama akhir bulan berikutnya atau pada saat Diatur dalam Undang-Undang (Psl 13 (1a)) yaitu saat a. Saat Pembuatan FP pembayaran (Peraturan Dirjen Pajak). penyerahan atau pada saat pembayaran. b. Jenis FP Jenis FP yaitu Standar dan Sederhana. Hanya ada istilah “Faktur Pajak”. PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak PKP akan dikenai sanksi apabila menerbitkan FP memuat: (1) Identitas pembeli; atau yang tidak memenuhi syarat formal FP, antara lain: c. Sanksi atas pelanggaran syarat (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda (1) Identitas pembeli; atau formal FP tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang eceran. FP (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun FP (Pasal 13 ayat (5)). tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya. d. Syarat formal & material Diatur dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5)). Diatur dalam batang tubuh yaitu Pasal 13 ayat (9). • Paling lama akhir bulan berikutnya setelah • Paling lama pada tanggal 15 setelah 14. a. Saat penyetoran PPN berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa berakhirnya Masa Pajak. PPN disampaikan. • Paling lama pada tanggal 20 setelah • Paling lama akhir bulan berikutnya setelah b. Saat pelaporan PPN berakhirnya Masa Pajak. berakhirnya Masa. Memberikan dasar hukum atas pemberian fasilitas sebagai berikut: 1. Perwakilan negara asing dibebaskan PPN dan PPnBM; 2. Proyek Pemerintah yang dibiayai hibah LN tidak dipungut PPN dan PPnBM; 3. Impor barang yang Bea Masuknya dibebaskan Belum ada dasar hukum untuk pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dan PPn BM; 15. Fasilitas perpajakan (pasal 16b) kegiatan-kegiatan tertentu. 4. Fasilitas PPN bagi kegiatan penanggulangan bencana alam nasional; 5. Pembebasan PPN bagi listrik & air; 6. Menjamin tersedianya angkutan umum di udara; 7. Bebas PPN bagi penyerahan perak sebagai bahan baku kerajinan. 16. Tanggung renteng Tidak lagi diatur dalam UU KUP dan UU PPN. Diatur kembali dalam UU PPN. Faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan penerimaan PBB adalah naiknya nilai jual objek pajak (NJOP) dari tahun ke tahun dan perluasan objek PBB. Faktor yang mempengaruhi NJOP adalah harga pasar properti baik tanah maupun bangunan. Khusus untuk PBB sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, kenaikan NJOP juga dipengaruhi oleh nilai produksinya. Meningkatnya penerimaan PBB terutama didukung oleh PBB pertambangan yang dalam periode 2005–2009 mengalami peningkatan rata- rata sebesar 22,3 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya penerimaan PBB pertambangan antara lain ICP yang cenderung naik dan jumlah areal pertambangan yang terus bertambah. Sementara itu, peningkatan penerimaan BPHTB terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah transaksi jual beli tanah dan bangunan. Sebagaimana diketahui, kegiatan usaha di bidang properti sempat mengalami booming pada periode 2005–2007, meskipun agak melemah pada tahun 2008 dan 2009. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-17
  • 18. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penerimaan PBB dan BPHTB ditargetkan sebesar Rp25,3 triliun dan Rp7,2 triliun pada APBN-P tahun 2010. Perkembangan penerimaan PBB dan BPHTB dalam periode 2005–2010 ditunjukkan dalam Tabel III.9. TABEL III.9 PERKEMBANGAN PBB, 2005 – 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Total Total Total Total Total Total PBB Pedesaan 4,5 27,8 5,8 27,7 1,7 7,3 1,4 5,6 1,4 5,9 0,9 3,4 PBB Perkotaan 3,6 21,9 3,8 18,2 4,9 20,5 5,0 19,6 5,5 22,7 6,3 24,7 PBB Perkebunan 0,1 0,9 0,2 0,7 0,4 1,7 0,6 2,4 0,7 2,9 0,8 3,1 PBB Kehutanan 0,1 0,6 0,1 0,4 0,1 0,5 0,2 0,6 0,2 0,7 0,3 1,2 PBB Pertambangan 7,4 45,7 10,5 50,4 16,6 69,9 18,2 71,6 16,5 67,8 17,1 67,5 PBB Lainnya 0,5 3,1 0,5 2,5 0,03 0,1 0,02 0,1 0,00 0,0 0,00 0,0 Total 16,2 100,0 20,9 100,0 23,7 100,0 25,4 100,0 24,3 100,0 25,3 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Apabila dibandingkan dengan realisasi 2009, PBB dalam APBN-P tahun 2010 mengalami peningkatan 4,3 persen, sedangkan BPHTB meningkat sebesar 10,7 persen. Peningkatan penerimaan PBB tersebut terutama disebabkan oleh tingginya realisasi PBB pertambangan, khususnya pertambangan migas. Dalam tahun 2010, PBB pertambangan ditargetkan sebesar Rp17,1 triliun. Sementara itu, kenaikan penerimaan BPHTB pada tahun 2010 lebih banyak dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi di sektor properti. Hal ini sejalan dengan tren penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang berpengaruh terhadap turunnya bunga kredit kepemilikan apartemen (KPA) dan kredit kepemilikan rumah (KPR). Selain itu, meningkatnya transaksi properti juga dipengaruhi oleh semakin mudahnya persyaratan pemberian kredit. Cukai Penerimaan cukai bersumber dari cukai hasil tembakau, cukai ethil alkohol (EA), cukai MMEA, denda administrasi cukai, dan cukai lainnya. Penerimaan cukai mengalami peningkatan secara signifikan dalam periode 2005–2009, tumbuh rata-rata sebesar 14,3 persen, yaitu dari Rp33,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp56,7 triliun pada tahun 2009. Secara lebih rinci, penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai hasil tembakau yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 97,8 persen dengan rata-rata pertumbuhan 14,1 persen. Sementara itu, kontribusi cukai EA mencapai 0,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 40,6 persen, dan cukai MMEA memberikan kontribusi sebesar 1,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan 16,7 persen. Perkembangan penerimaan cukai hasil tembakau periode 2005–2009 menunjukkan kecenderungan meningkat yang terutama dipengaruhi oleh: (1) kebijakan di bidang tarif cukai dan harga dasar barang kena cukai; (2) kebijakan lainnya di bidang cukai, contohnya kebijakan yang terkait dengan penundaan pembayaran cukai; (3) intensitas penindakan di bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan administrasi pembukuan di bidang cukai oleh KPPBC; (5) peningkatan pengawasan pengguna fasilitas cukai; (6) optimalisasi pelayanan cukai dengan memanfaatkan teknologi informasi (sistem aplikasi cukai sentralisasi) dalam kegiatan pelayanan perizinan nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC), III-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 19. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III penetapan tarif cukai hasil tembakau, penundaan pembayaran cukai, dan proses penyediaan sampai dengan pemesanan pita cukai; dan (7) peningkatan pelaksanaan sosialisasi ketentuan di bidang cukai dengan tujuan agar para stakeholder dapat lebih memahami ketentuan yang berlaku di bidang cukai. Perkembangan realisasi cukai tahun 2005–2010 dapat dilihat pada Tabel III.10. TABEL III.10 PERKEMBANGAN REALISASI CUKAI, 2005 – 2010 (triliun rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Real Real. APBN-P Total Total Total Total Total Total Cukai Hasil Tembakau 32,6 98,2 37,1 98,1 43,5 97,4 49,9 97,4 55,4 97,6 55,9 94,3 Cukai Ethil Alkohol (EA) 0,10 0,3 0,1 0,4 0,4 1,0 0,4 0,8 0,4 0,7 0,4 0,7 Cukai MMEA 0,50 1,5 0,6 1,5 0,7 1,5 0,9 1,7 0,9 1,6 3,0 5,0 Denda Administrasi Cukai 0,004 0,01 0,002 0,01 0,005 0,01 0,012 0,02 0,016 0,03 0,000 0,00 Cukai Lainnya 0,003 0,01 0,007 0,02 0,028 0,1 0,015 0,0 0,010 0,0 0,000 0,0 Total 33,3 100,0 37,8 100,0 44,7 100,0 51,3 100,0 56,7 100,0 59,3 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Berdasarkan pengklasifikasian jenis produksi hasil tembakau pada periode 2005–2009, penerimaan cukai hasil tembakau didominasi oleh SKM yang memberikan kontribusi rata- rata sebesar 57,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 2,8 persen. Sementara itu, kontribusi SKT mencapai 35,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 2,0 persen, dan SPM memberikan kontribusi sebesar 6,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 1,9 persen. Perkembangan produksi jenis rokok 2005–2010 dapat dilihat pada Tabel III.11. TABEL III.11 PERKEMBANGAN PRODUKSI JENIS ROKOK, 2005 – 2010 (miliar batang) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jenis Rokok Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P a. Sigaret Kretek Mesin (SKM) 126,6 125,4 131,7 144,5 141,2 144,2 b. Sigaret Kretek Tangan (SKT) 78,2 77,9 84,3 88,2 84,7 87,2 c. Sigaret Putih Mesin (SPM) 15,3 13,5 16,0 17,0 16,5 17,0 Total (a+b+c) 220,1 216,8 231,9 249,7 242,4 248,4 Sumber : Kementerian Keuangan Dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, total produksi hasil tembakau pada tahun 2010 diperkirakan mengalami peningkatan hingga mencapai 6 miliar batang bila dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 2009. Kenaikan produksi jenis rokok tersebut terutama didorong oleh peningkatan produksi jenis SKM. Selanjutnya, perkembangan produksi MMEA periode 2005–2009, mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3,5 persen. Penerimaan cukai MMEA didominasi dari penerimaan MMEA dalam negeri dengan rata-rata sebesar 98,3 persen dan selebihnya sebesar 1,7 persen disumbangkan oleh MMEA impor. Perkembangan penerimaan cukai MMEA dan produksi MMEA dalam negeri 2005–2009 dapat dilihat pada Grafik III.8. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan cukai diperkirakan mencapai Rp59,3 triliun. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target penerimaan cukai dalam APBN-P tahun 2010 tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp2,5 triliun (4,5 persen). Penerimaan cukai tahun 2009–2010 dapat dilihat pada Grafik III.9. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-19
  • 20. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah GRAFIK III.8 PERKEMBANGAN PENERIMAAN CUKAI MMEA DAN PRODUKSI MMEA DALAM NEGERI, 2005 – 2009 1.000 228 232 250 900 202 203 800 184 200 miliar Rp 700 Juta Lt 600 150 500 927,2 878,5 400 100 687,9 300 568,1 500,4 200 50 100 - - 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber : Kementerian Keuangan Penerimaan Cukai Produksi Secara lebih rinci, penerimaan cukai hasil GRAFIK III.9 tembakau dalam APBN-P tahun 2010 PENERIMAAN CUKAI, diperkirakan mencapai Rp55,9 triliun atau triliun Rp 2009 − 2010 62 mengalami peningkatan sebesar Rp0,5 triliun 59,3 (0,9 persen) bila dibandingkan dengan realisasi 60 tahun 2009. Faktor utama yang menyebabkan 58 56,7 56 kenaikan penerimaan cukai hasil tembakau adalah diterapkannya kebijakan kenaikan tarif 54 cukai yang diberlakukan mulai 1 Januari 2010 52 berkisar antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 50 2009 APBN-P persen tergantung pada jenis hasil 2010 Sumber : Kementerian Keuangan tembakaunya (SKM, SKT, dan SPM). Selain dipicu oleh kenaikan tarif tersebut, peningkatan penerimaaan cukai hasil tembakau juga didukung oleh upaya pemberantasan rokok ilegal yang dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran barang kena cukai. Sementara itu, penerimaan cukai MMEA dalam APBN-P tahun 2010 diperkirakan mencapai Rp3,0 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp2,1 triliun (221,5 persen) bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Faktor utama yang mempengaruhi penerimaan cukai MMEA adalah diterapkannya kebijakan penyesuaian tarif cukai MMEA dengan kenaikan tarif rata- rata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk MMEA impor. Selain itu, pencapaian tersebut juga didukung oleh upaya pemberantasan MMEA ilegal yang dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor. Penyesuaian tarif cukai MMEA dan EA dapat dilihat pada Boks III.2. Selanjutnya, penerimaan cukai EA dalam APBN-P tahun 2010 ditargetkan sebesar Rp0,4 triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp0,03 triliun (8,9 persen) bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Peningkatan tersebut terjadi karena kebijakan penyesuaian tarif cukai untuk konsentrat yang mengandung EA sebesar 100 persen dan penetapan tarif cukai spesifik EA sebesar Rp20.000. III-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
  • 21. Pendapatan Negara dan Hibah Bab III BOKS III.2 PENYESUAIAN TARIF CUKAI MMEA DAN EA Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Penjelasan Pasal 5 ayat 1 angka 5 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 mengatur bahwa minuman beralkohol tidak lagi termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan dan cukai dengan melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penetapan tarif cukai atas EA, MMEA, dan konsentrat yang mengandung ethil alkohol. Dalam rangka penyesuaian ketentuan tarif cukai atas MMEA dan EA, Pemerintah memberlakukan kebijakan penetapan tarif cukai atas EA, MMEA, dan konsentrat yang mengandung EA yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.011/ 2010 tentang Penetapan Tarif Cukai Ethil Alkohol, Minuman yang Mengandung Ethil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Ethil Alkohol yang berlaku efektif sejak tanggal 1 April 2010. Tujuan dari kebijakan Pemerintah dalam melakukan penyesuaian tarif cukai spesifik atas MMEA dan EA yaitu: (1) untuk pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Cukai (BKC); (2) menyesuaikan beban perpajakan MMEA Indonesia dengan negara-negara yang berkarakteristik mirip yakni tujuan pariwisata dan negara yang membatasi peredaran MMEA; (3) memudahkan administrasi pemungutan dan kepastian pendapatan negara; (4) penyederhanaan penggolongan tarif cukai ke dalam satu golongan; dan (5) menyamakan tarif cukai MMEA Dalam Negeri (DN) dengan MMEA impor secara bertahap. Dasar penetapan tarif cukai atas MMEA dan EA diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang mengatur bahwa Barang Kena Cukai (BKC) dikenai cukai dengan tarif paling tinggi untuk produk DN sebesar 1.150 persen x harga jual pabrik atau 80 persen x HJE, dan untuk impor sebesar 1.150 persen x (nilai pabean + BM) atau 80 persen x HJE. Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar (advalorem) menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan BKC (spesifik), atau sebaliknya atau gabungan keduanya. Pokok-pokok perubahan kebijakan penyesuaian tarif cukai yaitu: 1 . Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan A1 dan A2 menjadi golongan A dengan penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 340,0 persen dan sebesar 214,3 persen. Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 340,0 persen dan sebesar 120,0 persen. 2 . Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan B1 dan B2 menjadi golongan B dengan penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 500,0 persen dan sebesar 200,0 persen. Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 100,0 persen dan sebesar 33,3 persen. 3 . Penyesuaian kenaikan tarif MMEA untuk golongan C sebesar 188,5 persen untuk produksi DN dan sebesar 160,0 persen untuk impor. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-21