Teks tersebut membahas tentang konsep nasionalisme, sejarah munculnya nasionalisme di Eropa, dan pandangan Islam terhadap nasionalisme. Nasionalisme didefinisikan sebagai kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa. Nasionalisme mulai muncul di Eropa pada abad pertengahan dan menyebar dengan cepat. Bagi umat Islam, nasionalisme bertentangan dengan persatuan umat yang diwajibkan oleh Islam karena hanya mengikat umat berdasarkan bang
1. lostin1924.wordpress.com/2013/04/15/seputar-nasionalisme/ 1/8
Note
Mitra dari seorang pelupa :)
Seputar Nasionalisme
APRIL 15, 2013 BY NONE
(http://lostin1924.files.wordpress.com/2013/04/images.jpg)Nasionalisme didefinisikan sebagai kesadaran
keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai,
mempertahankan serta mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan suatu bangsa, yakni
semangat kebangsaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997;648).
Dari sisi lainnya, nasionalisme di pandang sebagai suatu paham untuk menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama. Identitas tersebut dapat
berupa kesamaan darah atau keturunan, suku bangsa, daerah tempat tinggal, bahasa, kebudayaan dan
sejenisnya (wikipedia).
Sejarah nasionalisme bermula dari benua Eropa sekitar Abad Pertengahan. Gerakan Reformasi Protestan
yang dipelopori oleh Martin Lither di Jerman disinyalir sebagai pemici gerakan kebangsaan tersebut dalam
pengertian nation-state di Eropa. Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan
Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang dapat menumbuhkan
rasa kebanggaan sebagai bangsa Jerman. Penerjemahan ini tidak hanya mendobrak hak ekslusif bagi
mereka yang menguasai bahasa Latin (seperti para pastor, uskup, dan kardinal sebagai penafsir Injil)
namun juga sacara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin dari masyarakat Jerman (lihat:
Adhiyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, 2005: 4).
2. lostin1924.wordpress.com/2013/04/15/seputar-nasionalisme/ 2/8
Nasionalisme yang tumbuh di Jerman kemudian menjalar secara cepat di dataran Eropa. Hal ini kemudian
menyulut persaingan fanatisme antarbangsa di Eropa yang masing-masing berusaha mendominasi lainnya.
Pada akhirnya persaingan tersebut melahirkan penjajahan negara-negara Eropa terhadap negeri-negeri di
benua Asia, Afrika dan Amerika Latin. Karena sejalan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi Eropa
pada masa itu, mereka bersaing untuk mendapatkan bahan baku produksi dari negeri-negeri lain di luar
Eropa. Pandangan pemikiran Itali, Nikolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk
melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya, juga turut ‘menyemangati’ Eropa untuk
menggencarkan penjajahannya.
Ben Anderson dalam Imagined Communities menyebutkan bahwa nasionalisme terbentuk dari adanya
suatu ilusi akan suatu bangsa mandiri dan bebas dari kekuasaan kolonial; suatu bangsa yang diikat oleh
suatu kesatuan media komunikasi, yakni bahasa. Faktor kesamaan bahasa serta kesamaan pengalaman
bersama yang ditimbulkan oleh karya-karya sastra menghasilkan suatu Imagined Communities yang
didasari oleh perasaan senasib dan sepenanggungan (Anderson, Benedict, Imagined Communities).
Corak nasionalisme
Mahatma Gandhi dan pemikir Tiongkok menginspirasi Soekarno yang kemudian mencoba
mengejawenkan nasionalisme dengan corak yang berbeda dengan nasionalisme Barat (sosio-nasionalis).
Menurut dia, nasionalisme yang sejati nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari
rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan; nasionalisme yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai
suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bukti. Bagi Soekarno, rasa cinta bangsa itu adalah
lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap suatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang
hidup. (Soekarno, 1964).
Sedikit dibalut atas nama agama, nasionalisme juga menjelma dengan istilah nasionalisme-religius. Konon
negara-negara di Timur Tengah mengadopsi madel nasionalisme ini. penambahan istilah religius seolah
selaras dengan ketentuan agama, padahal memiliki esensi yang sama.
Ikatan Nasionalisme
Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani memaparkan alasan mengapa nasionalisme tidak mampu menjaga
persatuan dan kesatuan. Pertama: kualitas ikatannya rendah. Ia tidak mampu mengikat manusia yang satu
dengan manusia yang lainnya tatkala mewujudkan persatuan.
Kedua: ikatannya hanya bersifat emosional dan muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri,
selain adanya peluang selalu berubah-ubah.
Ketiga: ikatan ini bersifat temporal, akan meningkat ketika ada ancaman dari luar, sebaliknya pada saat
keadaan normal atau aman ikatan ini tidak berarti sama sekali (An-Nabhani, Nizham al-Islam).
Nasionalisme dalam Kacamata Islam
Secara syar’i, umat Islam diharamkan mengadopsi nasionalisme karena ia bertentangan dengan perinsip
kesatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Kesatuan umat Islam wajib hanya didasarkan pada ikatan
akidah, bukan ikatan kebangsaan, seperti nasionalisme. Allah SWT berfirman:
3. lostin1924.wordpress.com/2013/04/15/seputar-nasionalisme/ 3/8
Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara (TQS al-Hujurat: 10).
Ayat di atas menunjukkan behwa umat Islam adalah bersaudara, yang diikat oleh kesamaan akidah Islam
(Ideologi), bukan oleh kesamaan bangsa. Rasulullah saw. bahkan mengharamkan ikatan ‘ashabiyah
(fanatisme golongan), yaitu setiap ikatan pemersatu yang bertentangan dengan Islam, termasuk
nasionalisme:
Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ‘ashabiyah (fanatisme golongan) (HR Abu Dawud).
Dalam Piagam Madinah disebutkan kewajiban umat untuk menjadi satu kesatuan: “Dengan nama Allah
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi saw. antara
orang-orang Mukmin dan Muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib. Sesungguhnya mereka adalah umat yang
satu, yang berbeda dengan umat lainnya.” (Sirah Ibnu Hisyam, II/119).
Pernah pada masa Rasulullah saw. salah seornag tokoh yahudi bernama Syas bin Qais –yang sangat benci
dengan bersatuan dua suku besar penghuni Kota Madinah Aus dan Khazraj dalam ikatan Islam- membuat
makar dengan mengirim seseorang penyair agar membacakan syair-syair Arab jahiliyah yang biasa
mereka pakai dalam perang Buats. Penyair itu berhasil. Perasaan kebangsaan dan kepahlawanan kaum
Aus maupun Khazraj intu memuncak hingga mereka lupa bahwa mereka sesama Muslim. Yang Aus
merasa Aus dan yang Khazraj merasa Khazraj. Dalam puncak emosi menyulut perang itu mereka akhirnya
berteriak-teriak. “Senjata-senjata”.
Pada saat genting itulah Rasulullah saw. datang dan melerai mereka. Rasulullah saw. lalu bersabda. “Wahai
kaum Muslim, apakah karena seruan Jahiliah ini (kalian hendak berperang), padahal aku ada di tengah-tengah
kalian, setelah Allah memberikan hidayah Islam kepada kalian. Dengan Islam itu Allah memuliakan kalian.
Dengan Islam Allah memutuskan urusan kalian pada masa Jahiliyah. Dengan Islam Allah menyelamatkan
kalian dari kekufuran. Dengan Islam itu pula Allah mempertautkan hati-hati kalian”. Serta merta kaum
Anshar itu segera menyadari bahwa perpecahan mereka itu adalah dari setan dan tipuan kaum kafir
sehingga mereka menangis dan berpelukan satu sama lain. Lalu mereka berpaling kepada Rasulullah saw.
dengan senantiasa siap mendengar dan taat. (Sirah Ibnu Hisyam, I/555).
Penolakan Nasionalisme
Menurut an-Nabhani, nasionalisme tidak bertolak dari ide yang lahir melalui proses berfikir yang benar dan
sadar. Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia. Sebab,
dalam suatu kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan, alam semesta,
dan manusia, serta pemikiran tertentu tentang kehidupan untuk memecahkan problem kehidupan.
Kebangkitan umat Islam hanya bisa terjadi apabila didasarkan pada akidah Islam sebagai fikrah kulliyah
(Nihzham al-Islam, 2001: 22).
Tidak hanya an-Nabhani, banyak ulama lain terkemuka yang juga menolak nasionalisme. Di antaranya
adalah Muhammad Qutb yang mensejajarkan paham nasionalisme dengan komunisme dan sekularisme
yang sama-sama betentangan dengan akidah Islam. Menurut beliau, paham-paham tersebut dapat
membatalkan keislaman seseorang (Muhammad Qutb, Lailaha illallah ‘Aqidat[an] wa Syari’at[an], hlm.
140).
Abu A’la al Maududi, ulama asal Pakistan, juga menolak penggabungan Islam dengan nasionalisme.
4. lostin1924.wordpress.com/2013/04/15/seputar-nasionalisme/ 4/8
Abu A’la al Maududi, ulama asal Pakistan, juga menolak penggabungan Islam dengan nasionalisme.
Menurut beliau, tidak mungkin seseorang menjadi Muslim nasionalis karena kedua-duanya tidak mungkin
bisa bertemu (Abu A’la Al Maududi, Ummah al-Islam wa Qadhiyah a-Qawmiyyah, hlm. 174).
Berdasarkan hal tersebut dapat difahami bahwa persatuan umat Islam berdasarkan akidah adalah wajib.
Sebaliknya, perpecahan umat adalah haram. Sejalan dengan menjaga persatuan umat tersebut maka
mempertahankan keutuhan wilayah umat Islam juga wajib. Karena itu separatisme adalah haram karena
akan merobek keutuhan wilayah umat Islam tersebut.
Agenda di balik Nasionalisme
Sebagaimana disebutkan di atas, nasionalisme yang tubuh di Eropa telah melahirkan penjajahan yang
menindas bangsa lain, khususnya Asia dan Afrika. Adapun negeri-negeri jajahannya mereka
menghembuskan ide nasionalisme untuk memecah-belah negeri-negeri tersebut, karena keterpecahbelahan
memudahkan bagi penjajah mereka (devide et impera). Kondisi umat Islam saat ini yang terpecah belah
menjadi 70 negara merupakan salah satu ‘hasil’ penjajahan tersebut terhadap Khilafah Islamiyah yang
dikerat-kerat berdasarkan nasionalisme menjadi negara-bangsa (nation-state).
Benih perpecahan tersebut dimulai sejak imperialis Barat menginfriltasikan racun nasionalisme ke dalam
tubuh umat Islam melalui kegiatan kristenisasi dan missi zending. Mereka sebagian besar berasal dari
Amerika, Ingris dan Prancis pada pertengahan abad ke 19 di Suriah dan Libanon. Melalui ide-ide
nasionalisme itu, kaum misionaris menyulut sentimen kebencian terhadap negara Khilafah Ustmaniyah,
yang mereka tuding sebagai negara penjajah bagi negeri-negeri di sekitarnya. Mereka kemudian
meniupkan nasionalisme di Arab saudi, Mesir, Libanon, Suriah, dan sebagainya untuk melakukan
perlawanan terhadap Khilafah Ustmaniyah.
Perjanjian Syeks-Picot (1915) yang membagi-bagi wilayah khilafah Ustmaniyah pada tangan penjajah
merupakan bukti ‘keampuhan’ ide nasionalisme dalam memecah belah kaum Muslim dan menghancurkan
Khilafah (Lihat: Abdul Qadim Zallum, Kaifah Hudimat al-Khilafah, 1990).
Pasca runtuhnya Khilafah mereka kemudian merancang payung nasionalisme yang permanen, yaitu Liga
Arab. Lembaga ini merupakan perpanjangan tangan dari nasionalisme Arab yang telah meruntuhkan
Khilafah Ustmaniyah. Kepentingan utama Barat dalam Liga ini adalah sebagai penopang penyebaran
paham nasionalisme di wilayah Timur Tengah untuk mencegah bangkitnya kembali Khilafah. Pendirian
Liga ini dilakukan oleh Antonie Adien, Menlu Britania, pada 22 Maret 1945, di Kairo yang beranggotakan
Mesir, Saudi Arabia, Libanon, Suriah, Irak, Yordania, dan Yaman.
Upaya Barat (AS, Eropa, dan sekutunya) untuk melemahkan negeri-negeri Islam melalui isu nasionalisme
dan separatisme terus dihembuskan hingga saat ini. apa yang terjadi di Sudan, Bangladesh hingga kasus
Timor Timur menunjukkan hal tersebut. Mereka terus berupaya mencerai beraikan negeri-negeri Islam
melalui gerakan separatisme tersebut dengan kedok penentuan nasib (right of self determinism) yang
dilegetimasi PBB.
Hingga detik ini, isu separatisme di Papua terus digulirkan oleh Barat, khususnya AS. Selain sejalan dengan
upaya mereka untuk melemahkan negeri Muslim, juga sejalan dengan upaya mereka merenggut kekayaan
dari bumi Papua melalui Freeport. Beberapa waktu lalu beredar berita terkait separatisme Papua tersebut di
Australia. Berita yang dipublikasikan jaringan media Fairfax dan The Canberra Times (13/8/2011) itu
menyebutkan tentang laporan rahasia mengenai kelompok separatis Papua. Laporan yang bertajuk
5. lostin1924.wordpress.com/2013/04/15/seputar-nasionalisme/ 5/8
(http://lostin1924.files.wordpress.com/2013/04/unduhan.jpg)
Demonstari “Ganyang Malaysia”
Anatomy of Papuan Separatis itu mengungkapkan sejumlah nama politisi, akademisi, wartawan, pekerja
sosial dan pemimpin agama dari seluruh dunia yang menyokong gerakan separatisme di Papua. Di antara
mereka ada senator Partai Demokrat AS Dianne Feinstein, Uskup Agung Desmod Tutu, anggota parlemen
Inggris dari Partai Buruh Andrew Smith serta mantan pemimpin Papua Nugini Michael Somare.
Semua itu menjelaskan satu hal, bahwa ide nasionalisme dan separatisme merupakan agenda asing untuk
melemahkan umat Islam dengan cara memecah belah dan menjauhkannya dari persatuan. Sebab,
persatuan umat Islam dan penyatuan wilayah negeri-negeri Islam bisa menjadi mimpi buruk bagi Barat
sang penjajah.
Dampak Buruk Nasionalisme
Pertama: Memecah belah umat. Barat menyadari betul, selama umat Islam bersatu dengan ikatan akidah
Islam dan tersemai dalam institusi pemersatu umat, yaitu Khilafah Islamiyah, maka kaum muslim tetap
kuat. Mereka tau jika Islam bersatu maka Islam tak bisa dikalahkan. Karena itu mereka begitu massif
menyebarkan pemikiran-pemikiran berbisa –salah satunya nasionalisme-, dalam rangka terus menerus
merongrong kekuatan umat Islam.
Kedua: Menyuburkan berbagai konflik. Akibat paham nasionalisme diemban oleh kaum Muslim, Negara
Islam sebelumnya bernaung di bawah panji tauhid Khilafah Islamiyah akhirnya dipecah-pecah menjadi
sekitar 70 negeri-negeri kecil yang satu sama lain saling bersengketa. Negara serumpun Indonesia-Malaysia
sejak 1961 tak luput dari sengketa. Semua itu berakar dari perebutan wilayah teritorial hingga tema
kebudayaan. Berawal dari rebutan wilayah Serawak atau sabah, Kalimantan, pama masa kini terus
merembet dengan saling klaim kepemilikan tari pendet, angklung, keris, reog ponorogo, kain batik, lagu
kebangsaan, hingga masalah kedaulatan Ambalat. Ajakan “ganyang Malaysia” pun terus bergulir di
Tanah Air.
Ketiga: Memunculkan disintegrasi. Selain mengakibatkan pecahnya negara-negara di Timur Tengah,
nasionalisme juga tidak mampu mencegah adanya ancaman disintegrasi, seperti halnya di Indonesia.
Ancaman terjadi sejak pasca Kemerdekaan hingga sekarang. Pada tahun 1948, misalnya, sebuah konflik
kekerasan terjadi di jawa timur. Peristiwa ini diawali dengan adanya proklamasi negara Soviet Republik
Indonesia oleh PKI. Di Sumatra sekitar tahun 1950-an muncul pula gerakan separatis PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) pimpinan kolonel Ahmad Husen. Di Sulawesi ada PERMESTA (Piagam
Perjuangan Rakyat Semesta) pimpinan D.J Somba dan Kolonel Samual.
6. lostin1924.wordpress.com/2013/04/15/seputar-nasionalisme/ 6/8
(http://lostin1924.files.wordpress.com/2013/04/unduhan-6.jpg)
Organisasi Papua Merdeka
(http://lostin1924.files.wordpress.com/2013/04/unduhan-8.jpg)
wilayah umat Muslim dalam naungan khilafah
(http://lostin1924.files.wordpress.com/2013/04/532199_349172255182482_1615533175_n.jpg)
Kekejaman Tentara Israel Terhadap Penduduk Palestina
Keempat: melemahkan umat. Nasionalisme terbukti menghilangkan kepedulian umat sehingga kaum
Muslim menjadi lemah. Negeri-negeri Islam menjadi santapan empuk
bangsa-bangsa Imperialis. Namun, mereka menghadapi persoalan itu hanya dengan sendiri-sendiri.
Kesadaran bahwa umat Islam itu ibarat satu tubuh pun telah meluntur. Padahal persaudaraan mereka
berjumlah lebih dari satu milyar manusia.
Nasionalisme inilah yang menyebabkan Palestina terus dinistakan oleh bangsa zionis Israel. Kaum zionis
tau, sistem nation-state yang diterapkan di negeri-negeri Muslim adalah benteng penghalang umat Islam
untuk membantu saudaranya.
Penyatuan Umat Islam
7. lostin1924.wordpress.com/2013/04/15/seputar-nasionalisme/ 7/8
Penyatuan Umat Islam
Sebagai wujud persatuan seluruh umat Islam, Islam mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah datu
kepemimpinan atau negara, yakni Khilafah Islamiyah. Haram bagi mereka tercerai berai di bawah
kepemimpinan yang lebih dari satu. Rasulullah saw. bersabda:
Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
Siapa saja yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kaliah terhimpun pada satu rang laki-laki (seorang
khalifah), lalu dia (orang yang datang itu) hendak memecah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah
kalian, maka bunuhlah dia (HR. Muslim).
Nas hadis di atas dengan jelas menunjukkan adanya kewajiban untuk bersatu di bawah satu negara:
Khilafah. Tidak debunarkan umat memiliki lebih dari seorang Khalifah (imam). Terkait dengan hal tersebut,
Abdurrahman al-Jaziri menjelaskan pendirian empat Imam Mazhab sebagai berikut,
“Para Imam (Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) rahimahumullah bersepakat bahwa umat Islam tidak
boleh pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua orang Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat
maupun bertentangan.” (Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, V/308).
Berdasarkan hadis tersebut serta fakta Khilafah Islamiyah yang berjalan selama 14 abad, Imam
Taqiyyuddin an-Nabhani mendefinisikan Khilafah sebagai kepemimpinan umat bagi seluruh kaum Muslim di
dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia
(Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, 2002:34).
Dari definisi ini, Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dinia karena nas-nas syariah memang
menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu istitusi negara. Menurut Abdul Qadim
Audah, Islam menjadikan kaum Muslim sebagai umat yang satu; menyatukan mereka dalam satu negara;
memberikan satu imam bagi mereka guna memerintah negara yang satu; dan umat yang satu tersebut
bertugas menegakkan Islam dan mengendalikan berbagai urusannya dalam batas-batas yang ditetapkan
oleh Islam (Abdul Qodim Audah, Al-Islam wa Awdha’unah as-Siyasiyah, 1981: 278).
Dengan demikian substansi dari ide Khilafah yang wajib diperjuangkan oleh umat Islam adalah
terwujudnya kehidupan Islam yang dicirikan dua hal pokok. Pertama: kehidupan yang didalamnya
diterapkan syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang menyangkut aspek ibadah, makanan, minuman, pakaian,
akhlak maupun muamalat serta ‘uqubat. Kedua: bersatunya kembali umat Islam yang kini bercerai berai
dalam lebih dari 70 negara ke dalam naungan Negara Khilafah Islamiyah dengan seorang Khalifah sebagai
pemimpinnya.
Referensi: al-Wa’ie
This entry was posted in Analisis and tagged Keburukan Nasionalisme, mengenal nasionalisme, Nasionalisme,
nasionalisme dalam sudut pandang Islam, Pengaruh Nasionalisme terhadap Islam. Bookmark the permalink.
Blog at WordPress.com. | Theme: Sunspot by Automattic.