Nasionalisme Indonesia awalnya berwawasan sempit dan bersifat regional. Gerakan nasionalisme sering mengubur perjuangan umat Islam yang sebenarnya berjuang melawan kolonialisme untuk membela agama, bukan semata-mata untuk negara. Nasionalisme juga berupaya melemahkan pengaruh Islam dengan memperkenalkan budaya leluhur pra-Islam dan bahasa Sansekerta.
1. www.eramuslim.com/berita/analisa/nasionalisme-indonesia.htm#.UXzmhaLYIaA 1/5
Ahad, 17 Jumadil Akhir 1434 H / 28 April 2013 Indeks Foto Video
30 Redaksi – Senin, 7 Rabiul Akhir 1434 H / 18 Februari 2013 13:41 WIB
BERITA TERKAIT
Nasionalisme Membahayakan
Aqidah Al Wala’ Dan Al Bara’
Kerugian Yang Diderita Umat
Manusia Dengan Menyebarkan
Nasionalisme
Merenungi Esensi Kecintaan
Terhadap Rasulullah Saw
Inilah Tujuan Operasi Militer
Perancis di Mali yang Sebenarnya
Nabi Nuh dan Banjir, Sebuah Ibrah
Home » Berita » Analisa » Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia
Sementara itu di
Indonesia yang
mayoritas penduduknya
Islam, kita dapati
gerakan Nasionalisme
tak kalah serunya.
Nasionalisme ini mulai
dikenal di Indonesia pada awal abad ke-20, tepatnya ketika muncul
pergerakan Nasional yang dimotori “Boedi Oetomo”. Padahal menurut
K.H. Firdaus AN, Boedi Ooetomo tidak lebih dari perpanjangan tangan
Kolonial Belanda.
Itu bisa dibuktikan umpamanya dengan melihat UUD Boedi Oetomo pasal 2 yang menyebutkan salah
satu tujuannya, yaitu “Menggalang kerja sama, guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura
secara harmonis”
Ditambah lagi, bahwa keanggotaan Boedi Oetomo hanya bersifat regional dan kesukuan yang sempit,
Jawa dan Madura, sebagaimana tercantum pada pasal 4.[1] Dari sini menjadi jelas, bahwa munculnya
Nasionalisme secara umum dan khususnya di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan Kolonialisme.
Berbeda sekali, umpamanya dengan pergerakan yang bersifat atau berlabel Islam. Syarekat Islam
sebagai contoh, adalah pergerakan yang sangat komitmen dan mempunyai peran yang sangat besar di
dalam membebaskan Indonesia dari Kolonial Belanda. Syarekat Islam yang mulai berdiri sejak tanggal 16
Oktober 1905, dengan nama Syarikat Dagang Islam, mempunyai tujuan yang sangat mulia, yaitu:
“ Akan menjalankan Islam seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya supaya mendapatkan suatu Dunia
Islam yang sejati”
Dengan kata lain SI bertujuan Islam Raya, dengan meng-Islamkan Indonesia dahulu. Di sini, SI sudah
mempunyai wawasan international yang digali dari ajaran Islam yang murni. Namun sangat disayangkan
sekali, orang-orang Nasionalis telah mengubur perjuangan mereka dengan memanipulasi sejarah.
Menurut Dr. Muchtar Aziz, dosen sejarah dan peradaban Islam pada Fakultas Adab dan Program pasca
sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, faktor utamanya adalah distrosi politik, sehingga orang tidak
berani menganalisa apa adanya. Padahal, menurutnya, perjuangan umat Islam selama lima puluh tahun
adalah sangatlah berharga. Beliau mempertanyakan juga, kenapa konstituanse dibubarkan, padahal
waktu itu sudah mendekati penyelesaian. Tetapi begitu hampir selesai lantas dihentikan. “Ini jelas ada
orang-orang yang takut kepada Islam” Ujar beliau.
[1] Suara Hidayatullah, Mei 1997, hal: 70-71
Sebaliknya Boedi Oetomo, yang merupakan kaki tangan Belanda tersebut dijadikan tonggak Kebangkitan
Nasional. Sebuah sejarah yang sudah salah kaprah. Nampaknya mereka takut kalau Islam berkuasa.
Terbaru Terpopuler
Rahasia Kematian, Alam Akhirat dan Kiamat
FBI Membohongi Publik di Kasus Bom Boston
Kenapa Muslimin Eropa Timur Bergabung
Dengan Hitler Melawan RusiaAher : Ajang Miss World Tidak Menggunakan
Bikini, InsyaAllah Lebih SopanIslam Phobia
Manusia Sekuler Ekstrim Pun Membutuhkan
Syariat IslamCintai Rasulullah SAW maka Ikuti Langkah
Beliau, Inilah Salah Satu Kitab Yang Perlu
Dimiliki
Burma Memaksa Muslim Rohingya Merubah
Kewarganegaraan MerekaAmalan Keseharian Uje yang Ringan dimata
Manusia, Tapi Bisa Jadi Mulia di Hadapan AllahPasca Bom Boston Kaum Muslimin Jerman
Dibawah Kontrol Intelijen
WEBMAILWEBMAIL ERAMUSLIM MY TEAMERAMUSLIM MY TEAM PROPERTYPROPERTY Pencarian...
DepanDepan BeritaBerita Oase ImanOase Iman PeradabanPeradaban FokusFokus MuslimahMuslimah HikmahHikmah Pendidikan & KeluargaPendidikan & Keluarga BisnisBisnis UstadzUstadz Suara LangitSuara Langit NovelNovel KonsultasiKonsultasi
ShareShareShareShareMore
Berbagai ujian, cobaan, dan kesulitan di dunia dapat
menambah iman kepada Allah dan memperdalam keyakinan
tauhid. Semua itu merupakan sarana pendidikan bagi jiw a
manusia. Ujian dan cobaan yang datang bukanlah untuk
diratapi karena tidaklah ujian dan cobaan tersebut melainkan
BSM: Kami percaya diri untuk IPO
Memang sudah lama Bank Syariah Mandiri
merencanakan untuk melantai di Bursa Efek
Indonesia. Pada 2014 mendatang, BSM yakin
dan percaya diri untuk menggelar IPO. Yuslam
Fauzi, Direktur Utama BSM, kembali
meyakinkan akan langkah BSM tersebut. “Niat
untuk IPO sudah cukup kuat. Para pemegang
2. www.eramuslim.com/berita/analisa/nasionalisme-indonesia.htm#.UXzmhaLYIaA 2/5
Konsep kebangsaan (Nasionalisme) waktu itu memang terlalu bersahaja dan berwawasan sempit.
Tokoh-tokohnya seperti Ir. Soekarno sering mengidentikan Nasionalisme Indonesia dengan gagasan
Kemal Attaturk di Turki. Begitu pula yang di sebutkan Dr. Soetomo ketika ia menulis di “Soera Oemoem”
media massa BU yang terbit di Surabaya, bahwa:
“Digul Lebih utama dari Mekkah. Buanglah Ka’bah dan jadikan Demak itu kamu punya kiblat”
Atau yang diungkapkan Sundari, yang cenderung mempersepsikan paham kebangsaan sebagai suatu
sikap penolakan terhadap fasilitas yang dibenar Islam untuk beristri sampai empat. [1]
Pernyataan-pernyataan diatas menunjukan bahwa BU anti agama dan anti Islam. Karena pernyataan itu
mengandung unsur penghinaan terhadap Islam yang sulit ditolerir.
Diantara usaha gerakan-gerakan nasionalisme Indonesia yang sangat merugikan umat Islam dan masih
terasa biasnya sampai hari ini antara lain:
Pertama : Gerakan untuk memperbaharui sebutan “Pahlawan Islam” seperti Pangeran Diponegoro,
Jendral Soedirman dengan sebutan “Pahlawan Nasional”.[1]
Karena berangkat dari pijakan dan cara berfikir yang salah, mereka menafsirkan seluruh perjuangan
Umat Islam Indonesia selama ini, seolah-olah hanya membela negri dan tanah air saja. Propaganda
nasionalisme dengan gaya seperti ini terus saja digencarkan sampai hari ini. Di dalam salah satu tulisan
pada salah satu majalah disebutkan:
“Ikuti berbagai kisah, dari Tjut Nya’ Dhien sampai Pangeran Diphonegoro, dari Sultan Hasanuddin
sampai para Kyai di Banten, yang harus tersungkur peluru Belanda demi negri tercinta.”[2]
Padahal mereka para Alim Ulama, Kyiai dan para pemimpin Islam pada waktu itu, khususnya sebelum
berdirinya RI pada tahun 1945, berjuang melawan Kolonial, bukan semata-mata karena negri atau tanah
air, akan tetapi terdorong oleh semangat jihad membela agama.
Karena Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi umat yang mulia, umat yang tidak rela dijajah dan
diinjak-injak kehormatannya oleh para penjajah yang nota bene adalah orang-orang kafir. Perjuangan
umat Islam ini tidak terbatas hanya pada tanah air atau daerah yang ia tempati saja, akan tetapi
berkembang dan meluas ke negara-negara lain, di mana umat Islam berada.
Di sini letak perbedaan antara perjuangan untuk negri dan tanah air an sich, dengan perjuangan membela
agama. Walaupun ada letak kesamaan yaitu berjuang mengusir penjajah.
Lebih dari itu, justru dengan semangat keagamaan seperti ini suatu bangsa akan lebih maju dan bisa
lebih gigih berjuang melawan segala bentuk penjajahan dan aksi kolonial.
Bukankah organisasi yang berlevel Islam yang mengeluarkan resolusi jihad ketika terjadi pemberontakan
PKI pada tahun 1948? Bahkan kemerdekaan Indonesia bisa diraih karena perjuangan umat Islam.
Kenyataan seperti ini diakui sendiri oleh penulis-penulis sejarah, seperti Harry J. Benda, yang
menyatakan bahwa konsolidasi Belanda yang semakin meluas, terus menerus diancam dengan
perjuangan-perjuangan lokal yang dipimpin ulama. Bahkan oleh George Mc. Turnan Kahin, menyebutnya
sebagai “Ideological Weapon” bahwa Islam telah dijadikan senjata ideologis untuk menentang kaum
kolonial.[3]
Ternyata semangat untuk mengusir penjajah justru timbul dari ruh perjuangan keagamaan, bukan hanya
semata-mata milik kelompok yang menyatakan dirinya Nasionalis.
Pernyataan seperti ini dikuatkan dengan rentetan kejadian yang menyebabkan timbulnya gerakan
kolonialisme, yang mempunyai kaitan erat dengan runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Mungkin bisa
dikatakan bahwa kolonialisme merupakan folow up dari pertarungan antara Islam dan musuh-musuhnya.
Penyelewengan makna perjuangan ini, akan sangat mempengaruhi cara berfikir anak didik dan generasi
Islam pada masa-masa mendatang, karena mereka akan memahami bahwa pahlawan-pahlawan Islam
itu berjuang sekedar membela tanah air, bukan untuk menegakkan kalimatullah. Akibatnya, pemahaman
dan ruh jihad melawan orang-orang kafir akan hilang secara pelan-pelan dari jiwa generasi Islam, sebuah
rekayasa yang sangat membahayakan.
3. www.eramuslim.com/berita/analisa/nasionalisme-indonesia.htm#.UXzmhaLYIaA 3/5
Kedua : Melakukan pemugaran tempat-tempat bersejarah yang sebagian besar dibangun sebelum
masuknya Islam ke Indonesia, dengan tujuan mengingatkan generasi muda Islam pada leluhur mereka
agar dihormati dan diagung-agungkan, yang akhirnya lupa terhadap kebudayaan Islam yang telah
dibangun para Ulama.
Selain itu, di sana ada usaha-usaha untuk membelokkan beberapa kebudayaan Islam kepada arah yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri, seperti: “Sekaten”, jika dahulu dipakai oleh para Wali
Songo untuk menggiring orang masuk Islam (bersyahadat), saat ini digunakan untuk merongrong nilai
keIslaman dan merusak ajaran tauhid itu sendiri.
Akibatnya, timbul corak ke-Islaman yang baru yaitu keislaman yang penuh dengan bid’ah dan khurafat,
serta segala bentuk kesyirikan yang selanjutnya, akan mengaburkan pemahaman aqidah yang benar dan
bersih.
Keislaman seperti ini lebih dikenal sebagai Islam kejawen atau Islam abangan yang menjurus kearah
mistik klasik khas jawa, karena merupakan hasil sinkretisme dari unsur Jawa, Hindu dan Budha.
Akhirnya agenda pengislaman yang belum digarap secara sempurna oleh wali songo tersebut, menjadi
terbengkalai sebagai Islam yang separu-separuh dan kepalang tanggung.[4]
Ketiga : Menghidupkan acara yang diwariskan para leluhur yang sebagian besar bertentangan dengan
Aqidah Islamiyah. Seperti kebiasaan “Kirab” di keraton Jogja yang terkadang disertai sesaji pada ratu
Roro Kidul, iring-iringan “Kyai Slamet” di keraton Solo setiap awal bulan Muharam. Kyai Slamet adalah
seekor kerbau bule yang sangat dikramatkan oleh masyarakat Solo dan sekitarnya. Kadang-kadang
mereka berebut kotoranya untuk “melalap barokah”, ironis memang.[5]
Al-Quran sebagai way of live bagi umat Islam mencatat fenomena semacam ini jauh-jauh sebelumnya.
Di dalam banyak ayat-ayatnya sering disebutkan bahwa kebudayaan nenek moyang sering kali menjadi
penghalang bagi seseorang untuk mendapakan dan menerima kebenaran. Sebagai contoh, bisa dibuka
ayat-ayat di bawah ini:
Qs. Al-Baqarah:170, Qs. Al-Maidah:104, Qs. Al-A’raf:28, 70, Qs. Hud:62, 87, Qs. Yunus : 78, Qs.
Ibrahim:10, Qs. Al-anbiya’:53, Qs. As-Syu’ara:75, Qs. Luqman:21, Qs. Saba’:43, Qs. Az-Zukhruf:22, 23
Keempat : Menggalakkan pemakaian bahasa Sansekerta di Instansi-instansi resmi, seperti: Adi Puro, Tri
Dharma, Bhineka Tunggal Ika dll.
Perubahan-perubahan kejawa-jawaan nampaknya telah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokoh
kejawen, yang sementara ini banyak menduduki kursi di pemerintahan Indonesia, seperti yang pernah
diungkapkan oleh Emha Ainun Najib, sehingga terkesan adanya upaya-upaya untuk mengembalikan
tanah Jawa kepada ajaran Hindu Budha.
Berhubungan dengan usaha-usaha untuk mengembangkan kebudayaan dan warisan leluhur ini, penulis
perlu menyertakan peryataan salah seorang orientalis, yang pernah menulis buku “Timur Dekat,
Masyarakat Kebudayaannya”. Di dalam buku ini, ia mengungkapkan bahwa:
”Di setiap negara Islam yang kami masuki, kami melakukan penelitian-penelitian terhadap kebudayaan-
kebudayaan leluhur sebelum datangnya Islam di tempat tersebut, praktek semacam itu saya lakuakan
agar seorang muslim menjadi bimbang dengan adanya kebudayaan tersebut, kemana ia harus
memberikan loyalitasnya, kepada peninggalan leluhur tersebut atau kepada agamanya (Islam)”.[6]
Islam mengajak umatnya untuk maju, akan tetapi mereka ingin kembali ke zaman purbakala, taqlid
dengan nenek moyangnya. Allah berfirman:
ﺎَﻧِﺗﺎَﯾﺂِﺑ ْاوُﺑﱠذَﻛ َﯾنِذﱠﻟا ِم َْوﻘْﻟا ُلَﺛَﻣ َكِﻟﱠذ ثَﮭْﻠَﯾ ُﮫْﻛُرْﺗَﺗ ْوَأ ْثَﮭْﻠَﯾ ِﮫْﯾَﻠَﻋ ْلِﻣَْﺣﺗ نِإ ِبْﻠَﻛْﻟا ِلَﺛَﻣَﻛ ُﮫُﻠَﺛَﻣَﻓ ُهاَوَھ َﻊَﺑﱠﺗاَو ِض ْرَﻷا ﻰَﻟِإ َدَﻠْﺧَأ ُﮫﱠﻧِﻛـَﻟَو ﺎَﮭِﺑ ُهﺎَﻧْﻌَﻓَرَﻟ ﺎَﻧْﺋِﺷ ْوَﻟَو
َونُرﱠﻛَﻔَﺗَﯾ ْمُﮭﱠﻠَﻌَﻟ َصَﺻَﻘْﻟا ِصُﺻْﻗَﺎﻓ
“ Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi
dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya
seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-a’raf:176)
4. www.eramuslim.com/berita/analisa/nasionalisme-indonesia.htm#.UXzmhaLYIaA 4/5
Suka 107 TweetTweet 32 30
Perlu dicatat disini:
Bahwa gerakan-gerakan nasionalisme yang bermunculan pada tiga tahun terakhir ini, seperti PCPP
(Persatuan Cendikiawan Pembangunan Pancasila), YKPK (Yayasan Kerukunan Persaudaraan
Kebangsaan) dan PNI Baru, hanyalah akibat dari frustasi dan tak puas terhadap organisasi sosial yang
ada. Terbukti bahwa kebanyakan anggotanya adalah para mantan politis, dan tokoh-tokohnya adalah
dulunya dedengkot Partai Nasional Indonesia (PNI), atau berasal dari jajaran GMNI yang merupakan
bekas organisasi mahasiswa PNI.
Oleh karenanya, tak salah kalau Prof. Nazaruddin Syamsuddin, seorang pengamat dari UI Jakarta,
berkomentar bahwa orang-orang yang frustasi saja yang akan mendukung partai-partai semacam ini.
Bahkan menurut Harold Crouch, pengamat politik Indonesia dari Australia, bahwa Organisasi Nasionalis
yang bermunculan itu hanya untuk mengimbangi ICMI- yang sementara ini sangat dekat dengan
pemerintah. Nampaknya, mereka sangat ambisius dan terobsesi dengan kekuasaan.
Orang-orang seperti ini kalau memegang kekuasaan dikhawatirkan akan mengikuti jejak para
pendahulunya, Soekarno dan Soeharto.
Disetujui atau tidak, akhirnya hanya Islamlah yang akan menjadi alternatif tunggal untuk kembali
memimpin manusia dan membawanya kepada kebahagiaan hakiki Dunia dan Akhirat. Hanya dengan
hukum Islamlah, sebuah bangsa akan maju, aman dan makmur. Hanya dengan pemimpin Muslim yang
komitmen dengan ajaran Islam, negara Indonesia akan bisa dibawa kepada keadilan sosial, baldatun
toyyibatun wa robbun Ghofur.
[1] Majalah Gatra, 8 april 1995
[2] Majalah Gatra, 11 November 1995
[3] M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 3.
[4] Widji Saksono, MengIslamkan Tanah jawa tela’ah atas metode Dakwah Wali Songo, Penerbit Mizan,
hal. 219,226,227.
[5] Gatra 9 April 1995
[6] Muhammad Sa’id Al-Qhohthoni, al-Wala’ wal Bara’, Daarut Thoyibah 1415, hal. 420
[1] Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, hal: 25
Analisa Terbaru
Islam Phobia
Jihad itu Bukan Terorisme …
R.A. Kartini dan Para Yahudi Belanda
Kenapa Assad Perlukan Perbatasan Suriah-Jordan ?
Syirik di Tengah Kita, Mulai Eyang Subur Sampai Ritual UN
Perang Otak di Zaman Kotak-kotak