O slideshow foi denunciado.
Seu SlideShare está sendo baixado. ×

Perjalanan Yang B Elum Selesai (3)

Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Anúncio
Próximos SlideShares
Bab 2 ips kelas 2
Bab 2 ips kelas 2
Carregando em…3
×

Confira estes a seguir

1 de 3 Anúncio

Perjalanan Yang B Elum Selesai (3)

Baixar para ler offline

Perjalanan yang b elum selesai (3)
Oleh : Muhammad Jusuf
Hijrah ke Jakarta. Peristiwa Malari 1974. Menggondol ijasah sekaligus SMA dan STM

http://www.allvoices.com/contributed-news/4714200-perjalanan-yang-b-elum-selesai-3
Pada tanggal 3 Januari 1973, Julak-julakku (Pade dalam bahasa Jawa), Nenek, Paman dan Acil (bibi), mungkin hamper seratus orang seluruh saudara-saudara ku, baik dari pihak Ayahku, dan Ibuku mengantar keluargaku ke bandara Sepinggan, Balikpapan. Pada hari itu, Aku, bersama delapan , satu kakak perempuan, dan enam adik-adikku, Ayah dan Ibuku akan berangkat ke Jakarta. Ayahku, memutuskan pindah ke Jakarta, dari kesatuannya, ketika itu Intendam (Komando Perbekalan) dengan kesatuan yang sama di Jakarta. Dulu kantornya persis di samping kanan SMP Negeri 14 Jakarta Timur, Jatinegara, atau dikenal Bali Mester. Kini, kantor itu sudah berdiri megah Mall Pusat Grosir Jatinegara.
Bagi ku, ini adalah kedua kalinya aku berkunjung ke Jakarta, setelah pada awal tahun 1070 lalu, aku mengantar Ayahku ke Jakarta untuk berobat, dan dirawat selama 3 bulan di Rumah Sakit Cikini di Jakarta karena sakit maag yang sudah parah. Ayahku, sejak beberapa tahun terakhir memang mengindap penyakit maag. Itulah sebabnya, dia beberapa tahun sebelumnya, yang sempat masuk sekolah Secapa (sekolah calon perwira) di Cimahi, Jawa Barat, harus ‘’dipulangkan’’ kembali ke Balikpapan, karena menderita sakit maag. Karena gagal itulah, Ayahku, yang ketika pindah ke Jakarta sudah berpangkat Peltu (pembantu letnan satu), sampai pensiun, pada tahun 1984 lalu, juga tetap berpangkat Peltu.
Praktis, hamper satu pesawat Dakota ‘’Bouraq’’ ketika itu hamper penuh dari seluruh keluarga kami yang bersepuluh. Adik bungsu kami, Bambang Widodo, ketika itu masih berumur sekitar tiga bulan, jadi masih harus digendong Ibuku di sepanjang penerbangan yang ‘’pesawatnya’’ masih menggunakan bangku beralaskan ‘’terpal’’. Ayahku, memang, membayar sendiri kepindahan ini, karena harus menjual rumah kami yang dua tingkat di Kampung Baru tengah seharga Rp 1,250.000. Ketika itu, uang sebesar ini cukup besar, sehingga ayahku masih bias membayar Rp 400,000 untuk uang ‘’membeli’’ rumah di Asrama Kobekdam (dulu Intdam) No.12, dulu persis di belakang terminal Cililitan Jakarta Timur
Dua jam kemudian, sekitar pukul 11 pagi, kami sudah mendarat di Bandara Kemayoran Jakarta. Pak Dumyati, sahabat Ayahku yang pernah bertugas di Balikpapan, dan yang juga menyarankan agar Ayahku pindah saja ke Jakarta Nampak bersama keluarganya, Isteri dan anaknya, Tony menjemput di Bandara Kemayoran. Karena, dia hanya naik Fiat 1100, yang kecil dan hanya cukup untuk empat orang, terpaksa dia ‘’menyewa’’ mobil ‘’box’’, agar barang-barang yang kami bawa cukup banyak muat. Kami pun seluruh tujuh anak-anak Ayahku duduk dan masuk di dalam box di belakang. Ayahku , Ibuku dan Bambang Widodo duduk bersebelahan dengan supir.
Kami, sebelum pindah di Asrama Kobekdam, sempat tinggal sekitar 3 bulan di Losmen Jaya I, Jatinegara, persis di depan SMAN No.22 Jatinegara. Karena, ketika kami tiba, Ayahku belum mendapatkan rumah , dan rumah yang akan dibeli masih ditempati ‘’penghuni lama’’ yang rupanya sudah mulai angkat kaki, menjelang pensiun.
Kondisi Jakarta ketika itu, hamper sama seperti yang saya sudah lihat pada tahun 1970,an. Penduduknya belum sampai 4 juta jiwa. Jalan-jalan masih sepi, belum banyak kendaraan, apalagi sepeda motor. Namun, beca masih mendominasi jalan-jalan di Jakarta. Orang-orang miskin pun banyak tidur di depan pertokoan, dan belum ada mall-mall seperti yang kita lihat sekarang. Namun, sepertinya udaranya masih segar, belum ada pencemaran parah, dan banjir pun belum separang sekarang
Tahun 1974, ketika aku masih duduk di SMPN 14 Jakarta Timur, ada satu peristiwa besar di Indonesia, yaitu peristiwa Malari tahun 1974. Ketika itu, kami pelajar di SMP Negeri 14 belum tahu banyak soal-soal politik. Kami hanya tahu, guru kami hanya memulangkan

Perjalanan yang b elum selesai (3)
Oleh : Muhammad Jusuf
Hijrah ke Jakarta. Peristiwa Malari 1974. Menggondol ijasah sekaligus SMA dan STM

http://www.allvoices.com/contributed-news/4714200-perjalanan-yang-b-elum-selesai-3
Pada tanggal 3 Januari 1973, Julak-julakku (Pade dalam bahasa Jawa), Nenek, Paman dan Acil (bibi), mungkin hamper seratus orang seluruh saudara-saudara ku, baik dari pihak Ayahku, dan Ibuku mengantar keluargaku ke bandara Sepinggan, Balikpapan. Pada hari itu, Aku, bersama delapan , satu kakak perempuan, dan enam adik-adikku, Ayah dan Ibuku akan berangkat ke Jakarta. Ayahku, memutuskan pindah ke Jakarta, dari kesatuannya, ketika itu Intendam (Komando Perbekalan) dengan kesatuan yang sama di Jakarta. Dulu kantornya persis di samping kanan SMP Negeri 14 Jakarta Timur, Jatinegara, atau dikenal Bali Mester. Kini, kantor itu sudah berdiri megah Mall Pusat Grosir Jatinegara.
Bagi ku, ini adalah kedua kalinya aku berkunjung ke Jakarta, setelah pada awal tahun 1070 lalu, aku mengantar Ayahku ke Jakarta untuk berobat, dan dirawat selama 3 bulan di Rumah Sakit Cikini di Jakarta karena sakit maag yang sudah parah. Ayahku, sejak beberapa tahun terakhir memang mengindap penyakit maag. Itulah sebabnya, dia beberapa tahun sebelumnya, yang sempat masuk sekolah Secapa (sekolah calon perwira) di Cimahi, Jawa Barat, harus ‘’dipulangkan’’ kembali ke Balikpapan, karena menderita sakit maag. Karena gagal itulah, Ayahku, yang ketika pindah ke Jakarta sudah berpangkat Peltu (pembantu letnan satu), sampai pensiun, pada tahun 1984 lalu, juga tetap berpangkat Peltu.
Praktis, hamper satu pesawat Dakota ‘’Bouraq’’ ketika itu hamper penuh dari seluruh keluarga kami yang bersepuluh. Adik bungsu kami, Bambang Widodo, ketika itu masih berumur sekitar tiga bulan, jadi masih harus digendong Ibuku di sepanjang penerbangan yang ‘’pesawatnya’’ masih menggunakan bangku beralaskan ‘’terpal’’. Ayahku, memang, membayar sendiri kepindahan ini, karena harus menjual rumah kami yang dua tingkat di Kampung Baru tengah seharga Rp 1,250.000. Ketika itu, uang sebesar ini cukup besar, sehingga ayahku masih bias membayar Rp 400,000 untuk uang ‘’membeli’’ rumah di Asrama Kobekdam (dulu Intdam) No.12, dulu persis di belakang terminal Cililitan Jakarta Timur
Dua jam kemudian, sekitar pukul 11 pagi, kami sudah mendarat di Bandara Kemayoran Jakarta. Pak Dumyati, sahabat Ayahku yang pernah bertugas di Balikpapan, dan yang juga menyarankan agar Ayahku pindah saja ke Jakarta Nampak bersama keluarganya, Isteri dan anaknya, Tony menjemput di Bandara Kemayoran. Karena, dia hanya naik Fiat 1100, yang kecil dan hanya cukup untuk empat orang, terpaksa dia ‘’menyewa’’ mobil ‘’box’’, agar barang-barang yang kami bawa cukup banyak muat. Kami pun seluruh tujuh anak-anak Ayahku duduk dan masuk di dalam box di belakang. Ayahku , Ibuku dan Bambang Widodo duduk bersebelahan dengan supir.
Kami, sebelum pindah di Asrama Kobekdam, sempat tinggal sekitar 3 bulan di Losmen Jaya I, Jatinegara, persis di depan SMAN No.22 Jatinegara. Karena, ketika kami tiba, Ayahku belum mendapatkan rumah , dan rumah yang akan dibeli masih ditempati ‘’penghuni lama’’ yang rupanya sudah mulai angkat kaki, menjelang pensiun.
Kondisi Jakarta ketika itu, hamper sama seperti yang saya sudah lihat pada tahun 1970,an. Penduduknya belum sampai 4 juta jiwa. Jalan-jalan masih sepi, belum banyak kendaraan, apalagi sepeda motor. Namun, beca masih mendominasi jalan-jalan di Jakarta. Orang-orang miskin pun banyak tidur di depan pertokoan, dan belum ada mall-mall seperti yang kita lihat sekarang. Namun, sepertinya udaranya masih segar, belum ada pencemaran parah, dan banjir pun belum separang sekarang
Tahun 1974, ketika aku masih duduk di SMPN 14 Jakarta Timur, ada satu peristiwa besar di Indonesia, yaitu peristiwa Malari tahun 1974. Ketika itu, kami pelajar di SMP Negeri 14 belum tahu banyak soal-soal politik. Kami hanya tahu, guru kami hanya memulangkan

Anúncio
Anúncio

Mais Conteúdo rRelacionado

Quem viu também gostou (20)

Anúncio

Mais recentes (20)

Perjalanan Yang B Elum Selesai (3)

  1. 1. Perjalanan yang b elum selesai (3) Oleh : Muhammad Jusuf Pada tanggal 3 Januari 1973, Julak-julakku (Pade dalam bahasa Jawa), Nenek, Paman dan Acil (bibi), mungkin hamper seratus orang seluruh saudara-saudara ku, baik dari pihak Ayahku, dan Ibuku mengantar keluargaku ke bandara Sepinggan, Balikpapan. Pada hari itu, Aku, bersama delapan , satu kakak perempuan, dan enam adik-adikku, Ayah dan Ibuku akan berangkat ke Jakarta. Ayahku, memutuskan pindah ke Jakarta, dari kesatuannya, ketika itu Intendam (Komando Perbekalan) dengan kesatuan yang sama di Jakarta. Dulu kantornya persis di samping kanan SMP Negeri 14 Jakarta Timur, Jatinegara, atau dikenal Bali Mester. Kini, kantor itu sudah berdiri megah Mall Pusat Grosir Jatinegara. Bagi ku, ini adalah kedua kalinya aku berkunjung ke Jakarta, setelah pada awal tahun 1070 lalu, aku mengantar Ayahku ke Jakarta untuk berobat, dan dirawat selama 3 bulan di Rumah Sakit Cikini di Jakarta karena sakit maag yang sudah parah. Ayahku, sejak beberapa tahun terakhir memang mengindap penyakit maag. Itulah sebabnya, dia beberapa tahun sebelumnya, yang sempat masuk sekolah Secapa (sekolah calon perwira) di Cimahi, Jawa Barat, harus ‘’dipulangkan’’ kembali ke Balikpapan, karena menderita sakit maag. Karena gagal itulah, Ayahku, yang ketika pindah ke Jakarta sudah berpangkat Peltu (pembantu letnan satu), sampai pensiun, pada tahun 1984 lalu, juga tetap berpangkat Peltu. Praktis, hamper satu pesawat Dakota ‘’Bouraq’’ ketika itu hamper penuh dari seluruh keluarga kami yang bersepuluh. Adik bungsu kami, Bambang Widodo, ketika itu masih berumur sekitar tiga bulan, jadi masih harus digendong Ibuku di sepanjang penerbangan yang ‘’pesawatnya’’ masih menggunakan bangku beralaskan ‘’terpal’’. Ayahku, memang, membayar sendiri kepindahan ini, karena harus menjual rumah kami yang dua tingkat di Kampung Baru tengah seharga Rp 1,250.000. Ketika itu, uang sebesar ini cukup besar, sehingga ayahku masih bias membayar Rp 400,000 untuk uang ‘’membeli’’ rumah di Asrama Kobekdam (dulu Intdam) No.12, dulu persis di belakang terminal Cililitan Jakarta Timur Dua jam kemudian, sekitar pukul 11 pagi, kami sudah mendarat di Bandara Kemayoran Jakarta. Pak Dumyati, sahabat Ayahku yang pernah bertugas di Balikpapan, dan yang juga menyarankan agar Ayahku pindah saja ke Jakarta Nampak bersama keluarganya, Isteri dan anaknya, Tony menjemput di Bandara Kemayoran. Karena, dia hanya naik Fiat 1100, yang kecil dan hanya cukup untuk empat orang, terpaksa dia ‘’menyewa’’ mobil ‘’box’’, agar barang-barang yang kami bawa cukup banyak muat. Kami pun seluruh tujuh anak-anak Ayahku duduk dan masuk di dalam box di belakang. Ayahku , Ibuku dan Bambang Widodo duduk bersebelahan dengan supir. Kami, sebelum pindah di Asrama Kobekdam, sempat tinggal sekitar 3 bulan di Losmen Jaya I, Jatinegara, persis di depan SMAN No.22 Jatinegara. Karena, ketika kami tiba, Ayahku belum mendapatkan rumah ,
  2. 2. dan rumah yang akan dibeli masih ditempati ‘’penghuni lama’’ yang rupanya sudah mulai angkat kaki, menjelang pensiun. Kondisi Jakarta ketika itu, hamper sama seperti yang saya sudah lihat pada tahun 1970,an. Penduduknya belum sampai 4 juta jiwa. Jalan-jalan masih sepi, belum banyak kendaraan, apalagi sepeda motor. Namun, beca masih mendominasi jalan-jalan di Jakarta. Orang-orang miskin pun banyak tidur di depan pertokoan, dan belum ada mall-mall seperti yang kita lihat sekarang. Namun, sepertinya udaranya masih segar, belum ada pencemaran parah, dan banjir pun belum separang sekarang Tahun 1974, ketika aku masih duduk di SMPN 14 Jakarta Timur, ada satu peristiwa besar di Indonesia, yaitu peristiwa Malari tahun 1974. Ketika itu, kami pelajar di SMP Negeri 14 belum tahu banyak soal-soal politik. Kami hanya tahu, guru kami hanya memulangkan kami lebih cepat, karena katanya kerusukan takut menjalar sampai ke Jakarta Timur. Peristiwa Malari, seperti yang saya tahu kemudian adalah peristiwa unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan dan dimotori para mahasiswa, yang ketika itu terkenal tokohnya bernama Hariman Seregar, Syahrir. Mereka melakukan domostrasi menentang kunjungan Perdana Menteri Tanaka sebagai protes atas donomasi Jepang atas perekonomian Indonesia. Itulah sebabnya ketika itu, apa pun mobil dan sepeda motor buatan Jepang dibakar massa ketika mereka temui di jalan-jalan. Namun, unjuk raya memang sangat tidak terkendali, karena massa mulai membakar berbagai ban bekas, kendaraan buatan Jepang yang lewat, sampai membakar ‘’proyek Senen’’ (Pasar Senen). Itulah sebabnya, PM Tanaka mempersingkat kunjungannya di Indonesia, sehingga kunjungannya pun dari Bandara Halim Perdana Kusuma ke Istana Negara menggunakan Helikopter. Akibat unjuk rasaya anti-jepang inilah, mengapa Jepang lebih melakukan pendekatan budaya dan social juga, ketimbang hanya pendekatan ekonomi dalam beberapa decade belakangan ini. Pada tahun 1974, aku lulus SMP, dan aku pun ketika itu belum segera memutuskan akan masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) umum, atau Sekolah Teknik Mengah (STM). Aku bimbang, mengingat aku memiliki sepuluh Saudara, karena tiga tahun belakangan menyusul dua adiknya lahir, Yuni dan Eko,s ehingga apakah aku masuk STM agar bias cepat kerja, sehingga segera bias membantu ayahku yang hanya berpangkat ‘’Peltu’’ namun menghidupi selusin orang, termasuk 10 anak-anaknya, atau aku masuk SMA, karena aku masih bercita-cita masuk perguruan tinggi agar menjadi sarjana. Di dalam kebimbangan itulah, akhirnya, ketika Ayahku menanyakan kepadaku, apakah aku mau masuk SMA atau STM, maka aku memutuskan masuk STM. Akhirnya, karena aku tidak lulus tes masuk STM Pembangunan di Rawamangun yang memiliki fasilitas lengkap dan sekolah berlangsung selama 4 tahun, aku akhirnya dapat sekolah ‘’STM’’ Jaya I, ketika itu terletak di Jalan Budi Utama Jakarta Pusat, persis disamping kanan STM Negeri I atau SMA Negeri ! Budi Utomo Jakarta Pusat. Aku mengambil jurusan mesin. Namun, satu minggu kemudian, aku bimbang, sebenarnya aku berminat masuk SMA. Akhirnya, diam-diam, menggunakan tambungan ku sendiri, aku masuk sekolah SMA Pancasila II di Jakarta Timur, persis di depan Losmen Jaya I Jatinegara, atau siangnya ditempati SMAN 22. SMA Pancasila II yang ketika itu Kepala Sekolahnya adalah Soewandy, mantan anggota D

×