TEKNIK MENJAWAB RUMUSAN SPM 2022 - UNTUK MURID.pptx
Laporan Mitigasi bancana
1. LAPORAN PRAKTIKUM
MITIGASI BENCANA
IDENTIFIKASI ANCAMAN BAHAYA BENCANA DAN UPAYA
MITIGASI BENCANA
DESA BANTARUJEG, KECAMATAN BANTARUJEG, KABUPATEN
MAJALENGKA
DAN LOKASI PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Mitigasi Bencana
Disusun Oleh:
ADIYAT FIKRIZAL (1003242)
PAMUNGKAS
ADHI MUNAJAR (1000920)
AJI MUHAMMAD S. (1000931)
DINI NURAFTIANI (1001670)
GANI INDRA SAMUDRA (1005788)
IKBAL SAEFUL AZIS (1005616)
M. FAJAR ISNIAWANSYAH (1001776)
SUYANTO (1006644)
YEGI PERULAMA D. (1001436)
YOGA HEPTA GUMILAR (1002055)
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
2. UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut UU No. 24 Tahun 2007 menyatakan bahwa bencaana
adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana bisa terjadi kapanpun dan dimanapaun bahkan tanpa
prediksi sebelumnya, terjadinya suatu bencana dapat disebabkan oleh
faktor alam maupun faktor non alam yang dapat mengakibatkan jatuhnya
korban dan diiringi dengan adanya kerugian. Dampak dari terjadinya suatu
bencana sangatlah merugikan bagi kelangsungan hidup masyarakat, oleh
karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengurangi atau meminimalisir
kerugian yang ditimbulkan dari suatu bencana, yaitu dengan melakukan
atau mempersiapkan suatu bentuk pencegahan atau mitigasi bencana.
Mitigasi bencana itu sendiri adalah suatu upaya yang dilakukan untuk
mengurangi dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui
pembuatan bangunan-bangunan fisik, maufun non fisik-struktural melalui
perundang-undangan dan pelatihan. Mitigasi bencana pada prinsipnya
harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam
bencana alam (natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari
perbuatan manusia (man-made disaster).
Seperti halnya dengan Desa Bantarujeg yang berada di Kecamatan
Bantarujeg lebih tepatnya lagi di Kabupaten Majalengka, dimana di Desa
Bantarujeg apabila dilihat dari keadaan tofografinya yang berupa dataran
3. rendah dan berbukit dengan sifat tanah yang mudah lepas, dimana daerah
tersebut termasuk kepada daerah yang rawan bencana atau berpotensi
untuk terjadinya suatu bencana, terutama bencana longsor dan banjir.
Kondisi yang terjadi di Bantarujeg hampir sama dengan yang terjadi di
daerah pembangunan Bendungan Jatigede di Kabupaten Sumedang,
dimanadalam proses pembuatan bendungan Jatigede berlokasi pada aliran
DAS Ci Manuk yang tergolong sangat kritis dan kondisi fisik terutama
berlokasi batuan lempung serpih serta berdekatan dengan sesar sehingga
bendungan Jatigede sangat berpotensi untuk terjadinya suatu bencana, bisa
itu tanah longsor, gempa, bahkan banjir. Untuk mengurangi atau
meminimalisir suatu dampak yang dapat ditimbulkan dari bencana yang
kemungkinan bisa terjadi, maka diperlukan suatu bentuk penggulangan
bencan seperti mitigasi bencana. Bentuk penganggulangan bencana dapat
dilakukan terhadap sektor struktural maupun sektor non struktural agar
dampak yang disebabkan oleh bencana tersebut tidak menimbulkan korban
jiwa dan tidak menimbulkan kerugian dan kerusakan terhadap
kelangsungan hidup masyarakat.
Berdasarkan karakteristik wilayah pada kedua lokasi pengamatan
yaitu di Desa Bantrujeg dan lokasi pembangunan waduk Jatigede yang
berpotensi besar dalam ancaman bahaya bencana. Oleh karena itu, kami
memilih kedua lokasi tersebut menjadi lokasi pengamatan dengan judul
“Identifikasi Ancaman Bahaya Bencana dan Upaya Mitigasi Bencana di
Desa Bantarujeg dan Lokasi Pembangunan Waduk Jatigede”.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang ingin dipecahkan dalam kegiatan
penelitian Mitigasi Bencana kali ini antara lain :
1. Bagaimana kondisi fisik dan sosial yang ada di Desa Bantarujeg
serta yang berada di wilayah bendungan Jatigede ?
2. Bencana apa yang sangat berpotensi terjadi di Desa Bantarujeg
serta di wilayah bendungan Jatigede ?
4. 3. Upaya atau bentuk mitigasi apa yang sudah dan telah dipersiapkan
oleh warga dan pemerintah dalam menaggulangi bencana ?
C. Tujuan Penelitian
Meninjau dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas maka
tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui seperti apa kondisi fisik dan sosial diwilayah
tersebut
2. Untuk mengetahui jenis bencana apa yang sangat berpotensi terjadi
di wilayah tersebut
3. Untuk mengetahui upaya mitigasi apa yang sudah dipersiapkan
dalam menanggualngi suatu bencana
D. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian lapangan ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya serta bagi pembaca pada
umumnya, manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini antara lain:
1. Memberikan informasi tentang keadaan fisik maupun sosial di Desa
Bantarujeg serta di kawasan bendungan Jadigede
2. Memberikan informasi mengenai bencana yang sangat berpotensi
terjadi di Desa Bantarujeg serta di kawasan bendungan Jatigede
3. Memberikan informasi mengenai upaya MITIGASI dalam
menanggulangi suatu bencana
5. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bencana
1. Pengertian Bencana
Secara umum pengertian bencana adalah suatu kejadian tiba-tiba
atau musibah yang besar yang mengganggu susunan dasar dan fungsi
normal dari suatu masyarakat atau komunitas Menurut UU No. 24
Tahun 2007 menyatakan bahwa bencna adalah suatu peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Menurut Coburn, A. W. dkk. 1994. Di dalam UNDP
mengemukakan bahwa : Bencana adalah Satu kejadian atau
serangkaian kejadian yang memberi meningkatkan jumlah korban dan
atau kerusakan, kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan-
6. pelayanan penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada
di luar kapasitas norma.
Pada dasarnya bencana terbagi menajdi tiga jenis yaitu bencana
yang disebabkan oleh alam seperti gunung meletus, banjir dan gempa
bumi. Adapun bencana yang timbul akibat ulah manusia seperti gagal
teknologi, kecelakaan lalulintas, maupun wabah penyakit.
Menurut Heru Sri Haryanto (2001:35) Berpendapat bahwa
karakteristik bencana mempunyai pengertian sebagai berikut :
1. Gangguan terhadap kehidupan normal, yang biasanya
merupakan gangguan cukup besar, mendadak dan terkirakan
terjadinya, serta meliputi daerah dengan jangkauan luas.
2. Bersifat merugikan manusia, seperti kehilangan jiwa, luka di
badan, kesengsaraan, gangguan kesehatan, serta kehilangan
harta benda.
3. Mempengaruhi struktur sosial masyarakat, seperti kerusakan
sistem pemerintahan, gedung atau bangunan, sarana
komunikasi, dan pekayanan masyarakat.
Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa secara tiba-tiba
yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau keduanya yang
mengaibatkan korban, kerusakan fasilitas akan merusak kehidupan
normal masyarakat dalam skala wilayah tertentu.
2. Bencana Alam
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunug meletus, banjir, kekeringan, dan tanah
longsor. Sebenarnya gejala alam merupakan gejala yang sangat
alamiah dan biasa terjadi pada bumi. Namun, hanya ketika gejala alam
tersebut melanda manusia (nyawa) dan segala produk budidayanya
7. (kepemilikan, harta dan benda), kita baru dapat menyebutnya sebagai
bencana. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk
mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka.
Bencana alam dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan
penyebabnya bencana, yaitu :
1. Bencana alam geologis
Bencana alam ini disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal
dari dalam bumi (gaya endogen). Yang termasuk dalam
bencana alam geologis adalah gempa bumi, letusan gunung
berapi, dan tsunami.
2. Bencana alam klimatologi
Bencana alam klimatologis merupakan bencana alam yang
disebabkan oleh faktor angin dan hujan. Contoh bencana alam
klimatologis adalah banjir, badai, banjir bandang, angin puting
beliung, kekeringan, dan kebakaran alami hutan (bukan oleh
manusia). Gerakan tanah (longsor) termasuk juga bencana
alam, walaupun pemicu utamanya adalah faktor klimatologis
(hujan), tetapi gejala awalnya dimulai dari kondisi geologis
(jenis dan karakteristik tanah serta batuan dan sebagainya)
3. Bencana alam ekstra-terestrial
Bencana alam Ekstra-Terestrial adalah bencana alam yang
terjadi di luar angkasa, contoh : hantaman/impact meteor. Bila
hantaman benda-benda langit mengenai permukaan bumi maka
akan menimbulkan bencana alam yang dahsyat bagi penduduk
bumi.
Proses-proses geologi endogen maupun eksogen dapat
menimbulkan bahaya bagi aktivitas kehidupan manusia. Bencana
8. yang ditimbulkan akibat proses-proses gelologi tersebut disebut
dengan bencana geologi.
i. Gempa Bumi
Gempa bumi adalah bencana alam yang berupa suatu
getaran yang diakibatkan oleh pergerakan atau tumbukan lempeng
tektonik, patahan aktif, aktivitas gunung api, dan runtuhan batuan.
Teori yang diterima yang menjelaskan tentang mekanisme
terjadinya gempa bumi adalah pergeseran sesar dan teori
kekenyalan elastis (elastic rebound theory) dari H.F Rheid tahun
1906. Teori ini menyatakan jika permukaan bidang sesar saling
bergesekan, batuan akan mengalami perubahan wujud jika
perubahan tersebut melampaui batas elastisitas, maka batuan akan
patah dan akan kembali ke bentuk asalnya. Gempa bumi dapat
terjadi dimana saja, namun 80 % bumi yang sering terkena gempa
bumi adalah daerah sirkum pasifik yang meliputi Chile, Alaska,
Jepang, Filipina, Selandia Baru, Indonesia, dan beberapa pulau
tertentu di Kepualuan Pasifik. Sirkum pasifik sering disebut Ring of
Fire yaitu zona sebaran gunung api dan gempa bumi yang
mengelilingi samudera Pasifik dan membentuk seperti tapal kuda
sepanjang 40.000 km. Selain itu, daerah lain yang sering terkena
gempa bumi adalah daerah mediteranian dan transasiatik yang
meliputi Daerah Karibia, Himalaya, Alpen, Spanyol, Italia, Yunani,
dan India Utara. Berdasarkan pada penyebabnya, gempa bumi
dibagi menjadi tiga kalsifikasi, yaitu :
Gempa bumi vulkanik, yaitu gempa bumi yang diakibatkan oleh
aktivitas gunung berapi, pada umumnya gempa ini berkekuatan
kecil yaitu sekitar dibawah 2 skala ritcher ;
Gempa bumi runtuhan, yaitu gempa bumi yang diakibatkan oleh
runtuhnya batuan terutama terjadi pada daerah karst karena adanya
stalagtit yang jatuh dalam gua. Kekuatan gempa ini berkisar antara
2 – 3 skala ritcher ;
9. Gempa bumi tektonik, yaitu gempa bumi yang diakibatkan oleh
aktivitas tektonik terutama pada zona-zona subduksi dan patahan
yang menyebarkan getaran ke segala arah. Kekuatan gempa
tersebut dapat mencapai angka 9 skala ritcher.
Tingkat kerusakan yang terasa pada lokasi terjadinya gempa
bumi disebut intensitas gempa bumi. Tingkat kerusakan tersebut
ditentukan dengan menilai kerusakan yang dihasilkan dan
pengaruhnya terhadap benda, bangunan, tanah, dan pada aktivitas
manusia. Parameter yang digunakan untuk mengetahui tingkat
kerusakan tersebut adalah MMI (Modified Mercalli Intensity)
dengan kisaran angka mulai dari I – XII. Sedangkan parameter
gempa yang diukur berdasarkan yang terjadi di daerah tertentu
akibat goncangan pada sumbernya disebut magnituda. Satuan yang
digunakan adalah skala ritcher.
Gambar 2.1Ring of Fire
Tabel 2.1Hubungan Kekuatan Gempa Bumi dan Frekuensi Terjadinya
10. ii. Letusan Gunung Api
Gunung berapi terbentuk karena adanya gerakan magma
sebagai arus konveksi yang menyebabkan bergeraknya kerak bumi.
Dalam teori tektonik lempeng, gerakan kerak bumi tersebut dibagi
menjadi tiga, yaitu :
Gerakan saling menjauh (divergent) yang menyebabkan terjadinya
pemekaran kerak, magam keluar melalui rekahan tersebut dan
membentuk gunung berapi ditengah samudera yang disebut mid-
ocean ridge ;
Gerakan saling bertumbukan (convergent), yaitu pergerakan kerak
bumi yang saling menumbuk, kerak samudera menumbuk dan
kerak samudera menujam ke bawah, dan membentuk zona
subduksi dimana terjadi peleburan batuan. Magma bergerak dan
menerobos sehingga membentuk busur gunung berapi tepi benua
(volcanic arc) ;
Gerakan saling bergeser sejajar berlawanan arah (transform) antar
kerak yang menyebabkan timbulnya rekahan dan sesar mendatar.
11. Gambar 2.2 Pergerakan Kerak Bumi
Gambar 2.3 Sebaran Gunung Api Di Indonesia
Letusan gunung berapi yang material gunung api yang
berupa gas, debu, aliran lava, fragmen batuan disebut erupsi. Erupsi
dapat diklasifikasikan berdasarkan asal tempat keluarnya:
Erupsi pusat, erupsi keluar melalui kawah utama ;
12. Erupsi samping, erupsi keluar dari lereng tubuh gunung api ;
Erupsi celah, erupsi yang keluar dari retakan yang panjang dapat
mencapai hingga beberapa kilometer ;
Erupsi eksentrik, erupsi yang keluar dari samping dapur magma
melalui kepundan tersendiri.
Material letusan gunung api terdiri dari :
Aliran lava, yaitu magma yang keluar dan mengalir ke permukaan ;
Aliran piroklastik, yaitu berupa gas panas yang dapat mencapai
suhu diatas 1000°C, abu vulkanik,dan batuan yang bergerak
dengan cepat dengan kecepatan hingga 700 km/jam ;
Lahar, yaitu berupa batuan, pasir, kerikil yang tercampur air ;
Debris avalanches (volcanic landslide), longsoran dan runtuhan
fragmen batuan dari kawah berukuran kecil hingga besar yang
jatuh melalui lereng gunung api ;
Tefra (tephra), yaitu fragmen batuan yang dilemparkan ke udara
saat terjadi letusan ;
Gas vulkanik, berupa gas yang dilepaskan saat gunung meletus
(uap air, CO2, SO2, HCL, H2S, HF, CO, H2, NH3, CH4, dan SiF4) ;
Abu gunung api
Aktivitas gunung berapi dibagi dapat tiga kelompok, yaitu :
Aktif, gunung api yang mempunyai aktivitas letusan menerus dan
berkala ;
Diam/istirahat/tidur (dormant), gunung api yang saat ini tidak aktif
namun tercatat bahwa gunung api tersebut pernah mengalami
erupsi ;
Tidak aktif, gunung api yang tidak tercatat pernah erupsi atau
tidaknya.
13. Gambar 2.4 Awan Panas
Gambar 2.5 Aliran Lava
Gambar 2.6 Lahar
iii. Tsunami
14. Tsunami adalah rangakian gelombang laut yang
menjalar dengan kecepatan hingga lebih dari 800 km/jam
dengan tinggi gelombangdapat mencapai 70 meter.
Kecepatan gelombang tsunami tergantung daripada
kedalaman laut. Terjadinya tsunami diakibatkan oleh letusan
gunung api di dasar laut, longsor di dasar laut, jatuhnya
meteorit di laut. Pada awal terjadi tsunami, gempa atau
runtuhan menyebabkan bergeraknya dasar samudera (tsunami
akibat meteorit sangat jarang terjadi), kemudian terjadi
pemusatan arus pada blok yang jatuh sehingga terjadi arus
balik menuju pantai dengan kekuatan arus yang lebih besar
dari sebelumnya.
Gambar 2.7 Tsunami
15. Gambar 2.8 Proses Terjadinya Tsunami
iv. Gerakan Massa Tanah atau Batuan
Mass movement atau mass wasting adalah gerakan masa
batuan atau tanah yang ada di lereng karena pengaruh gaya
gravitasi. Gerakan masa batuan bisa terjadi jika shear stress atau
gaya menarik massa lebih besar dari shear strength atau gaya
menahan tarikan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan massa batuan yaitu :
Curah hujan
Kandungan air dalam batuan
Vegetasi
Kemiringan lereng
Relief
Ketebalan hancuran batuan/debris di atas batuan dasar
Orientasi bidang lemah dalam batuan
Gempa bumi
Tambahan material di bagian atas lereng
16. a. Gerakan Massa Batuan Berdasarkan Cara bergeraknya
1) Mengalir (flow)
Bentuk mengalir akan terjadi apabila materi batuan
mengalir menuruni lereng sebagai materi yang agak cair.
2) Meluncur (slip)
Bentuk meluncur akan terjasi apabila massa batuan yang
menuruni lereng rlatif koheren. Ada dua macam slip yaitu slide dan
slump. Disebut slide apabila meluncur pada bidang yang kurang
lebih sejajar dengan permukaan, dan disebut slump bila meluncur
pada bidang yang melengkung.
3) Jatuh bebas (fall)
Terjadi bila massa batuan jatuh bebas dari suatu tebing
terjal.
Gambar 2.9Flow Gambar 2.10Slide
Gambar 2.11Slump Gambar 2.12Fall
b. Gerakan Massa Batuan Berdasarkan Kecepatannya
1) Soil creep (rayapan tanah)
Adalah gerakan tanah secara perlahan-lahan menuruni
lereng karena gaya tarik bumi. Gerakannya sangat pelan sehingga
17. sulit untuk diamati, tetapi butuh pengamatan khusus yaitu dari
gejala-gejala yang ditimbulkan seperti pohon-pohon dan
tiang-tiang yang condong sesuai arah gerakan tanah.
2) Talus Creep (rayapan puing-puing)
Adalah gerakan puing-puing hasil pelapukan yang
tertimbun di suatu lereng yang disebabkan gravitasi bumi.
3) Earth Flow
Adalah aliran massa batuan yang jenuh air menuruni lereng.
Memiliki kecepatan yang bervariasi, ada yang cepat dan ada yang
lambat
4) Solifluction dan Permafrost
Solifluction adalah hancuran batuan yang mengalir karena
jenuh air yang berada di atas batuan kedap air. Sedangkan batuan
kedap air yang ada di bawah hansuran batuan yang jenuh air dapat
berupa permafrost.
5) Mud Flow
Adalah aliran hancuran batuan halus yang bercampur
dengan air melalui lembah-lembah. Biasanya kandungan air
banyak sehingga gerakan massa sangat cepat.
6) Rock Slide
Adalah gerakan batuan yang meluncur diatas suatu bidang
lapisan atau bidang retakan yang miring.
7) Rock Fall
Adalah gerak bebas jatuhan bongkahan batuan pada tebing
yang terjal. Biasanya terjadi pada daerah dimana bagian bawah
tebing telah tergali, baik oleh abrasi maupun oleh kegiatan
manusia.
18. Gambar 2.13 Rayapan Tanah Gambar 2.14 Mud Flow
3. Bencana Non Alam
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal
teknologi, kecelakaan lalulintas, maupun wabah penyakit. Bencana
non alam termasuk bencana yang harus diperhitungkan, karena
bencana non alam jugadapat menyebabkan kerugian bahkan dapat
menimbulkan korban jiwa. Mitigasi sangat diperlukan juga dalam
menanggulangi bencana non alam, agar dampak dari bencana tersebut
dapat terminimalisir.
B. Mitigasi Bencana
1. Pengertian Mitigasi Bencana
Mitigasi atau mitigation merupakan suatu upaya yang dilakukan
untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik-struktural
melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik-
struktural melalui perundang-undangan dan penelitian. Mitigasi pada
prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang
termasuk ke dalam bencana alam maupun bencana non alam yang
lebih tepatnya yaitu bencana yang diakibatkan oleh perbuatan manusia.
Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi
kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu korban jiwa
dan/atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan
dan kegiatan manusia. Untuk mendefenisikan rencana atau srategi
mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian resiko (risk
assessmemnt). Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan
19. kegiatan yang rutin dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini berarti
bahwa kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam periode
jauh-jauh hari sebelum kegiatan bencana, yang seringkali datang lebih
cepat dari waktu-waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki
intensitas yang lebih besar dari yang diperkirakan semula.
2. Jenis Mitigasi
Secara umum mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi
struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan
dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi
non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan
disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan
peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula,
kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara
substansial kepada daerah-daerah untuk mengembangkan sistem
mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan paling efektif-efisien
untuk daerahnya.
Mitigasi Struktural
Mitigsasi struktural merupakan suatu upaya untuk meminimalisir
dampak dari suatu bencana, dengan cara melakukan pembangunan
berbagai aspek saran-prasarana fisik dengan menggunakan pendekatan
teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir,
membuat alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang
bersifat tahan gempa, ataupun membuat Early Warning System yang
digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami.
Mitigasi struktural bisa disebut juga sebagai suatu rekayasa teknis
bangunan yang tahan terhadap bencana. Bangunan tahan bencana
adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa
sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau mengalami
kerusakan yang tidak membahayakan apabila bencana yang
bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur perancangan
20. struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari
bencana.
Rangkaian dari mitigasi struktural :
a. Pemilihan lokasi yang tepat untuk dijadikan bangunan
b. Penilaian gaya yang diakibatkan fenomena alam seperti gempa
bumi, badai dan banjir
c. Perencanaan dan analisis bangunan yang disesuaikan dengan
gaya fenomena alam
d. Perencanaan bangunan yang sesuai kondisi lokal
e. Material bahan bangunan yang sesuai dengan kontruksi
bangunan
f. Tidak membangun pada daerah yang rawan bencana seperti
longsor, banjir, gempa bumi tsunami dan rawan terhadap
letusan gunungapi.
Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak
bencana yang lebih menekankan kepada pembuatan kebijakan
seperti pembuatan suatu peraturan dalam menanggulangi suatu
bencana. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB)
adalah upaya non-struktural di bidang kebijakan dari mitigasi ini.
Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota, capacity
building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagaia
aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat,
juga bagian ari mitigasi ini.
Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan
wilayah, dan asuransi. Kebijakan non struktural lebih berkaitan
dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari risiko yang
tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan
identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi
21. proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan terjadinya
bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang
bersifat non struktural harus saling mendukung antara satu dengan
yang lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk memprediksi,
mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana
harus diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat
peraturan yang memadai yang didukung oleh rencana tata ruang
yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa banjir dan tanah longsor
pada musim hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia
pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya
penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak
sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang
digunakan untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi
risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak
mengganggu keseimbangan lingkungan di masa depan. Rangkaian
dari mitigasi non struktural:
a. Membuat peraturan pemerintah tentang tataguna lahan dan
tataguna bangunan
b. Dengan intensif memberikan dorongan untuk melakukan
mitigasi
c. Memberika pelatihan dan pendidikan penanggulangan bencana
d. Melakukan sosialisasi untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat tentang pengetahuan dan pemahaman bahaya dan
kerawanan, partisipasi masyarakat
e. Pemberdayaan institusi
f. Menyeting sistem peringatan
C. Upaya Penanggulangan Bencana
Upaya penanggulangan dampak bencana dilakukan melalui
pelaksanaan tanggap darurat dan pemulihan kondisi masyarakat di wilayah
terjadinya bencana . Upaya penanggulangan dampak bencana tersebut
22. dilakukan secara sistematis, menyeluruh, efisien dalam penggunaan
sumberdaya dan efektif dalam memberikan bantuan kepada kelompok
korban.
Secara garis besar, upaya penanggulangan bencana meliputi :
a. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan yaitu suatu sikap siap bagi setiap orang, petugas
serta institusi pelayanan untuk melakukan tindakan dan cara-cara
menghadapi bencana baik sebelum, sedang, maupun sesudah bencana.
Setiap orang maupun institusi harus siap siaga dalam menghadapi suatu
dampak dari bencana, dengan mempersiapkan segala upaya penanganan
dan meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan.
b. Rehabilitasi
Tahap ini bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi
bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk
menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan
ibadah, bangunan sekolah, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan
sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap
rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada
tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan
penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek psikologis
melalui penanganan trauma korban bencana.
c. Rekonstruksi
Tahap ini bertujuan membangun kembali kawasan yang sudah
terkena dampak bencana dengan melibatkan semua masyarakat,
perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Pembangunan
prasarana dan sarana haruslah dimulai dari sejak selesainya penyesuaian
tata ruang (apabila diperlukan) di tingkat kabupaten terutama di wilayah
rawan bencana. Sasaran utama dari tahap ini adalah terbangunnya kembali
daerah yang sudah terkena dampak bencana.
23. D. Perencanaan Tata Guna Lahan Daerah Rawan Bencana Geologi
Untuk hidup secara aman dan nyaman selaras dengan perubahan
bumi, maka kita harus dapat memahami lingkungan alam dan kecepatan
perubahan yang terjadi di bumi serta mampu menyesuaikan diri dari
karakteristik perubahan alam tersebut. Berkaitan dengan reaksi manusia
terhadap bencana alam yang mungkin terjadi di lingkungan dimana
manusia itu tinggal adalah sebabai berikut:
1. Menghindar (Avoidance)
Reaksi manusia terhadap potensi bencana alam yang paling banyak
adalah dengan cara menghindar, yaitu dengan cara tidak membangun dan
menempatkan bangunan ditempat-tempat yang berpotensi terkena bencana
alam seperti: banjir, daerah rawan longsor atau daerah rawan gempa.
2. Stabilisasi (Stabilization)
Beberapa bencana alam dapat distabilkan dengan cara menerapkan
rekayasa keteknikan, seperti misalnya di daerah-daerah yang berlereng dan
berpotensi longsor, yaitu dengan cara membuat kemiringan lereng menjadi
landai dan stabil serta membuat fondasi bangunan dengan tiang pancang
hingga pada lapisan tanah yang stabil.
3. Penetapan Persyaratan Keselamatan Bangunan (provision for safety in
structures)
Dalam banyak kasus bangunan yang akan didirikan di tempat-
tempat yang berpotensi terjadi bencana alam seperti gempa bumi, maka
struktur bangunan harus dirancang dengan memperhitungkan keselamatan
jiwa manusia, yaitu dengan bangunan yang tahan gempa. Untuk daerah-
daerah yang berpotensi terkena banjir, maka bangunan harus dibuat
dengan struktur panggung untuk menghindarkan terkena banjir.
4. Pembatasan penggunaan lahan dan jumlah jiwa (Limitation of land-
use and occupancy)
Jenis peruntukan lahan, seperyi lahan pertanian atau lahan
pemukiman dapat dilakukan dengan cara membuat peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan potensi bencana yang mungkin timbul. Penempatan
24. jumlah jiwa per hektar dapat disesuaikan untuk mengurangi tingkat
bencana.
5. Membanguan Sistem Peringatan Dini (Establishment of early warning
system)
Beberapa bencana alam dapat diprediksi, sehingga memungkinkan
tindakan darurat. Banjir, angin puyuh, gelombang laut, serta erupsi gunung
api adalah jenis-jenis bencana alam yang dapat diprediksikan. System
peringatan dini telah terbukti secara efektif dapat mencegah dan
meminimalkan bencana yang akan terjadi disuatu daerah, seperti
gelombang laut di daerah-daerah pantai.
2. Perencanaan Tata Guna Daerah Banjir
Bencana banjir merupakan bencana yang sering melanda
pemukiman penduduk di berbagai wilayah dan kota di dunia. Hal yang
sangat menarik dari peristiwa bencana banjir adalah mengapa kebanyakan
dari manusia bermukim di wilayah-wilayah yang berpotensi terkena
bencana banjir. Berdasarkan sejarah kehidupan manusia di muka bumi,
umumnya pemukiman dan perkotaan dibangun di tepi-tepi pantai dan
sungai. Hal ini dapat dimengerti karena manusia membutuhkan air untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahnnya adalah bagaimana cara
untuk meminimalkan resiko dan menghindar dari bencana banjir yang
sudah terlanjur ada ditempat dimana manusia tinggal.
Umumnya, pencegahan fisik untuk semua jenis bencana banjir
dilakukan untuk siklus banjir yang terjadi hingga 100 tahunan. Pemilihan
mengapa yang diambil adalah untuk siklus banjir 100 tahunan
berimplikasi pada tingkat resiko tertentu yang dapat diterima. Terdapat 4
(empat) metoda untuk mengurangi potensi dan dampak fisik dan biaya
pada bencana banjir, yaitu: (1) rekayasa keteknikan (2) kebijakan tataguna
lahan dan regulasi (3) system peringatan dini (4) asuransi. Dalam
perencanaan ttaguna lahan, metoda yang pertama dan kedua merupakan
metoda yang menjadi perhatian utama. Metoda pendekatan rekasa
keteknikan telah diuraikan pada bab 3 sedangkan pendekatan aturan dan
25. kebijakan dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam kebijakan tataguna
lahan dan regulasi maka hal yang terpenting adalah suatu peraturan yang
memastikan bahwa masyarakat yang bermukim di wilayah-wilayah rawan
bencana banjir tidak menjadi subyek dari bencana yang akan menimpa dan
aktivitas masyarakat disetiap tempat tidak tertanggu apabila terjadi banjir.
Salah satu pendekatan di dalam pengendalian banjir adalah dengan
cara melakukan perencanaan penanggulangan bencana banjir secara
komperehensif, seperti misalnya perencanaan yang disesuaikan dengan
zona-zona genangan air, dan diikuti dengan pembuatan aturan-aturan yang
berhubungan dengan persyaratan kontruksi bangunan yang diijinkan pada
setiap zona. Agar dapat efektif maka dalam perencanaan umum harus ada
peta dokumen tentang zona-zona genangan air serta frekuensi kejadian
banjir,. Informasi semacam ini sangat penting dan diperlukan dalam proses
perencanaan tataguna lahan, terutama dalam penetapan peruntukan lahan.
Dalam pemanfaatan lahan dapat juga terjadi dan dimungkinkan
membangun bangunan didaerah dataran banjir (floodplain area) akan
tetapi harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, misalnya
kontruksi bangunannya harus berada diatas genangan air atau kontruksi
jembatan yang melintasi sungai harus ditingkatkan guna menghindari
terpaan arus air ketika terjadi banjir, dan dapat juga bagian dari areal
dataran banjir dibiarkan sebagai ruang terbuka atau digunakan sebagai
taman atau lapangan olah raga. Dalam persiapan perencanaan,
pertimbangan harus diberikan untuk pemanfaatan lahan yang berada
bagian hulu yang akan membantu meminimalkan frekuensi terjadinya
banjir. Pemanfaatan lahan dan pengguanan aspal dan beton pada lahan
harus diminimalkan untuk membantu penyerapan air dan mengurangi run
off. Aturan yang berkaita dengan penggunaan lahan dan persyaratan
konstruksi di daerah rawan bencana banjir merupakan hal yang umum
diterapkan dan merupakan suatu kebijakan pemerintah dalam rangka
melindungi masyarakatnya terhadap bahaya bencana banjir.
Peraturan yang berkaitan dengan zonasi genangan air untuk larangan
membanguan di areal-areal yang tergenang air, aturan tentang jenis-jenis
26. penggunaan lahan yang diperbolehkan merupakan aturan-aturan yang
wajib dilaksanakan oleh pemerintah (pemberian IMB), swasta, maupun
masyarakat secara konsisten.
Peta zona genangan air sangat berguna baik bagi pemerintah
daerah dan kontraktor karena peta ini merupakan rujukan dasar didalam
pembuatan aturan-aturan yang berkaitan dengan pembangunan
infrastruktur serta struktur bangunan yang harus dipenuhi. Perusahaan
asuransi dapat memanfaatkan peta zona genangan air sebagai dasar dalam
penilaian bangunan yang akan diasuransikan, khususnya untuk asuransi
bencana banjir.
Pemerintah bertanggungjawab atas pembuatan aturan-aturan yang
berkaitan dengan persyaratan bangunan, seperti konstruksi dan tipe
bangunan yang akan dibangun di wilayah banjir, baik untuk banjir yang
sifatnya tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan, dan seterusnya serta aturan-aturan
yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan. Para kontraktor wajib
memenuhi aturan-aturan yang telah dibuat dan ditetapkan terhadap
persyaratan konstuksi bangunan. Sedangkan bagi perusahaan asuransi peta
zona genangan banjir diperlukan guna kepentingan dalam penilaian dan
besarnya tanggungan suatu bangunan yang akan diasuransikan, khususnya
asuransi kerugian bencana alam (banjir).
3. Perencanaan Tata Guna Daerah Gempa
Pada kenyataanya lokasi pemukiman di dunia kebanyakan berada
di tempat yang rawan t erhadap bencana gempa bumi. Beberapa
contoh dapat kita lihat antara lain adalah Negara jepang yang berada di
zona subduksi antara lempeng pasifik dengan asia timur, Indonesia berada
pada zona subduksi antara lempeng asia tenggara dengan samudra hindia,
dan kota-kota seperti San Fransisco (USA), jayapura (papua) dan liwa
(lampung barat, Sumatra) terletak pada zona sesar atau patahan aktif.
Pemukiman dan kota-kota yang sudah terlanjur ada di lingkungan
yang rawan bencana gempabumi wajib melakukan penataan ulang dalam
penggunaan dan perencanaan lahan agar supaya apabila terjadi bencana
dapat dihindari dan diminimalkan dampak yang mungkin terjadi.
27. Untuk areal pemukiman yang berada di wilayah rawan gempa, maka
respon terhadap perencanaan lahannya juga berbeda. Barangkali bencana yang
paling mudah diatasi adalah dampak gempa bumi yang berupa rekahan tanah.
Walaupun dalam hal ini terdapat kesulitan karena adanya berbagai factor yang
sangat komplek seperti:
1. Interval kejadian yang tidak pasti
Karena adanya interval diantara gempa utama disepanjang suatu
patahan sehingga tidak berguna untuk data perencanaan. Tidak adanya
data membuat hal ini sulit untuk melakukan penyesuaian perencanaan
yang spesifik dan pembuatan peraturan yang berkaitan dengan
pemanfaatan lahan di sekitar dan di sepanjang suatu patahan serta
mendapat dukungan politik untuk mendukung aturan tersebut.
2. Penetapan lebar zona patahan
Di berbagai instansi, data tentang lebar suatu zona patahan dapat
berbeda-beda. Tanpa suatu dasar yang pasti maka untuk memprediksi
patahan mana yang berikutnya yang akan bergerak/ patah sangat sulit
dilakukan, sehingga untuk membuat suatu penyesuaian rencana serta
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan lahan yang berkaitan
dengan lahan yang harus diproteksi sangat sulit.
3. Bangunan yang sudah terlanjur ada
Pembangunan yang dilaksanakan ditempat-tempat yang berdekatan
dengan zona patahan dan disepanjang jalur patahan akan sulit dilarang
dan untuk menyadarkan masyarakat agar tidak melakukan
pembanguanan di tempat-tempat tersebut akan menjadi sia-sia, hal ini
disebabkan karena pemerintah/ lembaga yang berwenang tidak
memiliki data yang memadai dan akurat terhadap kemungkinan
bencana yang mungkin terjadi.
Berkaitan dengan ketidakpastian dan waktu terjadinya gempa,
maka bencana gempa harus diposisikan dalam perhitungan dan
pengambilan keputusan yang tepat didasarkan atas data-data yang
28. tersedia. Oleh karena itu untuk bangunan-bangunan, seperti
perumahan, rumah sakit, sekolahan dilarang dibangun di zona patahan.
Untuk itu diperlukan suatu peraturan yang melarang warga masyarakat
membangun bangunan di tempat-tempat yang berada di zona patahan
aktif.
4. Perencanaan Tata Guna Daerah Gerakan Massa Tanah atau Batuan
Perencanaan tata guna lahan di kawasan rawan gerakan tanah/
longsor lebih sulit dibandingkan dengan perencanaan pada lahan yang
rawan longsor disebabkan dua factor yaitu:
a. Alongsoran seringkali terjadi dengan jenis yang sangat komplek
sehingga memerlukan pemetaan yang lebih rinci guna menentukan
batas-batas yang tegas yang akan dipakai dalam perencanaan dan
pembuatan laporan.
b. Longsoran seringkali memiliki tingkat potensi perpindahan maas
tanah/ batuan yang berbeda-beda. Penelitian yang lebih rinci perlu
dilakukan untuk mengklasifikasikan tipe-tipe longsoran serta
memperkirakan kapan longsoran tersebut akan terjadi.
Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut diatas maka
diperlukan suatu peta yang disebut dengan peta “Kestabilan Wilayah”.
Peta kestabilan wilayah telah dikembangkan untuk membantu paar
perencana dalam mengenal lokasi lahan yang tidak stabil (rawan longsor)
dan digunakan untuk pertimbangan awal dalam proses perencanaan.
Dengan peta kestabilan wilayah, dimungkinkan untuk menyiapkan rencana
umum dari pemanfaatan lahan yang sesuai, terutama untuk lahan-lahan
yang tidak stabil harus mempertimbangkan resiko yang dapat diterima
serta biaya yang harus dikeluarkan guna menstabilkan longsoran atau
mencegah instalasi yang ada.
29. BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
eksploratif, wawancara serta observasi. Menurut Suryabrata (1983), metode
deskriptif eksploratif yaitu sebuah metode dengan tujuan untuk mendapatkan
data dasar yang diperlukan sebagai pangkalan untuk penelitian lebih lanjut
ataupun sebagai dasar untuk membuat keputusan. Metode wawancara yaitu
metode yang dilakukan secara eksplisit untuk mengetahui informasi dari
informan untuk mendapatkan data dalam bentuk data kualitatif.Metode
wawancara dilakukan untuk lebih memperdalam mengenai informasi yang
telah didapatkan melalui metode deskriptif eksploratif, sehingga dengan
adanya metode wawancara dapat menambahkan informasi terhadap data yang
didapat. Metode yang terakhir yang digunakan yaitu metode observasi dimana
metode ini dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan cara terjun
langsung ke lapangan untuk melakukan penelitian.
Melalui metode tersebut penulis akan menggali secara mendalam
mengenai kebencanaan yang terjadi di Desa Bantarujeg Kabupaten
Majalengka, fenomena longsor, kekeringan, banjir, gerakan tanah, gempa
bumi, angin tornado (puyuh) serta fenomena fisik lainnya yang terjadi di
lokasi kajian.
30. Selain daripada mengetahui terdapat berbagai macam fenomena fisik
yang secara alami terjadi melalui alam tersebut, tidak luput penerapan
teknik konservasi pada lahan yang diterapkan masyarakat dan menilai
kesesuaian teknik konservasi tersebut dengan karakteristik lahan serta
menghubungkan penerapan teknik konservasi tersebut dengan kondisi
sosial ekonomi masyarakat.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Sumaatmadja (1988:112) mengatakan bahwa “Keseluruhan gejala,
individu, kasus dan masalah yang diteliti, yang ada di daerah penelitian
menjadi objek penelitian geografi. Semua kasus, individu dan gejala yang
ada di daerah penelitian disebut populasi penelitian atau universe”.
Menurut Ridwan (2003:8) “Populasi merupakan objek atau subjek
yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu
berkaitan dengan masalah penelitian”. Populasi penelitian terdiri dari
populasi wilayah dan populasi responden. Populasi wilayah adalah seluruh
lahan yang telah mengalami longsoran, gempa, banjir, pergerakan tanah,
erosi, kekeringan di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka yang
merupakan lahan yang rentan terhadap terjadinya erosi yang tinggi dan
populasi responden adalah petani yang mengolah lahan tersebut.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lahan yang berada di
Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka yaitu :
31. Tabel 3.1 Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg
No Wilayah Penggunaan Lahan Luas (ha)
1 Desa Bantarujeg Sawah Irigasi Setengah Teknis 65
Sawah Tadah Hujan 154
Jumlah 219
Luas Penggunaan Lahan Sawah (ha)
180
160
140
120
100
80 Luas (ha)
60
40
20
0
Sawah Irigasi Setengah Teknis Sawah Tadah Hujan
Gambar 3.1 Grafik Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg
32. Berdasarkan pada data diatas, populasi wilayah penelitian ini
mempunyai luas 3,60 Km2, dengan dominasi penggunaan lahannya berupa
sawah dan pemukiman.
2. Sampel
Menurut Sumaatmadja (1988 : 112) “Sampel adalah bagian dari
populasi (cuplikan contoh) yang mewakili kriteria bagian ini diambil dari
keseluruhan sifat atau generalisasi yang ada pada populasi”.
Berdasarkan masalah yang akan dibahas, maka dalam menentukan
sampel penelitian ini digunakan teknik sampel wilayah (area probality
sampling) yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan mengambil wakil
dari setiap wilayah yang terkena longsor, banjir, erosi, kekeringan, gerakan
tanah serta gempa yang terdapat dalam kawasan populasi yang menjadi
objek kajian dengan pendekatan satuan lahan yang merupakan hasil
tumpangsusun peta kemiringan lereng dengan peta penggunaan lahan dan
peta jenis tanah. Jadi satuan lahan yang sama diwakili oleh satu sampel
secara acak (random). Sedangkan cara pengambilan sampel mengikuti
sampel satuan lahan yang ditentukan dengan teknik aksidental. Kawasan
yang rentan terhadap erosi, longsor, banjir di Desa Bantarujeg Kabupaten
Majalengka. Sampel wilayah diambil berdasarkan kemiringan lereng
sebanyak 4 sampel yang mewakili setiap daerah yang terkena banjir,
longsor dan erosi berdasarkan bagian atas, tengah dan bawah. Sampel
kedua adalah lokasi pembangunan waduk Jatigede.
33. Satuan lahan yang telah ditentukan dapat dilihat sebarannya pada
peta satuan lahan yang disajikan pada gambar 3.1 berikut ini :
35. Sedangkan untuk sampel respondennya menggunakan teknik
pengambilan secara aksidental yaitu semua masyarakat yang ditemui pada
saat penelitian dijadikan sampel.Sampling aksidental adalah teknik
penentuan sampel berdasarkan faktor spontanitas, artinya siapa saja yang
secara tidak sengaja bertemu dengan peneliti dan sesuai dengan
karakteristiknya, maka orang tersebut dapat digunakan sebagai sampel
(responden)”.
C. Variabel Penelitian
Menurut Rafi’i (1996 : 46), variable penelitian mengandung
pengertian ukuran, sifat, ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu
kelompok atau suatu yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok
lain. Variabel penelitian dalam judul penelitian ini adalah terdiri dari
variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variable bebas dan
terikat.Variabel bebas terdiri dari karakteristik lahan dan respon
masyarakat, karakteristik lahan meliputi tanah, topografi, erosi dan
vegetasi, sedangkan respon masyarakat meliputi kegiatan pertanian dan
pemahaman petani tentang lahan kritis. Variabel terikatnya adalah
kekritisan lahan yang terbagi menjadi lahan potensial kritis, semi kritis dan
lahan kritis, serta faktor dari teknik pertanian yang telah dipakai oleh
masyarakat seperti Sistem tanam, pola tanam, jenis tanaman, pemeliharaan
tanaman, teknik konservasi yang telah dilaksanakan oleh masyarakat
36. terhadap lahan garapan. Untuk melihat hubungan antara ketiga faktor ini
dapat dilihat pada table 3.2 dimana terdapat hubungan antara ketiga
variable tersebut.Variabel bebas dapat mempengaruhi variable terikat dan
variable bebas dapat berdiri sendiri.Variabel bebas terdiri dari variable
fisik yang merupakan parameter tingkat kekritisan lahan, sedang variable
terikatnya adalah tingkat kekritisan lahan yang diakibatkan oleh adanya
erosi, longsor, pergerakan tanah, kekeringan serta fenomena fisik yang
lainnya.
Variabel Bebas (X) Variabel terikat (Y)
Faktor Petani :
Kegiatan Petani
Pemahaman petani
tentang lahan kritis
Karakteristik Lahan
Kemiringan lereng
Kondisi tanah Teknik Konservasi yang
Kondisi geologi dilakukan masyarakat
Vegetasi untuk tetap menjaga
kelestarian lahan dari
kerentanan terhadap
bahaya erosi, banjir,
Teknik Pertanian longsor, pergerakan tanah
dll.
Sistem tanam
Pola tanam
Jenis tanaman
Pemeliharaan
tanaman
Teknik konservasi
37. Gambar 3.3 Varibel penelitian
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi, yaitu teknik pengamatan secara langsung terhadap gejala,
fenomena dan fakta yang ada di daerah penelitian. Alat yang digunakan
yaitu pedoman observasi digunakan untuk mengamati karakteristik lahan
dan teknik konservasi yang digunakan masyarakat terhadap fenomena
alam yang terjadi seperti erosi, longsor, banjir serta lainnya.
2. Wawancara, yaitu peneliti menanyakan langsung kepada responden tanpa
perantara di daerah penelitian dengan menggunakan pedoman berstruktur
untuk mengamati kondisi masyarakat yang menetap di daerah kawasan
rentan terhadap bencana.
3. Studi dokumentasi, yaitu penarikan data dari lembaga-lembaga yang
terkait dengan penelitian ini. Teknik ini digunakan untuk melengkapi data
yang berkaitan dengan penelitian baik berupa data statistik maupun peta-
peta tematik serta foto-foto yang dibutuhkan dari lapangan.
4. Kajian Pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan
literatur seperti buku, jurnal, internet, dan lain-lain yang berhubungan
38. dengan permasalahan yang sedang diteliti. Kajian pustaka digunakan
untuk memperoleh referensi tentang iklim, tanah, geologi, geomorfologi,
data kependudukan, luas kawasan longsor, dan lain-lain.
E. Alat Pengumpulan Data
Untuk memudahkan pengumpulan data maka diperlukan alat dan bahan
sebagai berikut :
1. Peta dasar (base map) terdiri dari :
a. Peta rupabumi lembar
b. Peta rupabumi lembar
c. Peta rupabumi lembar
d. Peta rupabumi lembar
e. Peta Geologi lembar
2. Kompas untuk menentukan lokasi penelitian
3. Klinometer atau busur derajat untukmengukur kemiringan lereng
4. Ceklist lapangan dan pedoman wawancara
5. Kamera digital Cannon
6. Bor tanah
7. Ph Tester
8. Alat tulis
9. Ring sample
10. GPS
39. F. Teknik Analisa Data
Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif dan
kualitatif.Teknik analisis kuantitatif digunakan untuk mengelola dan
menginterpretasikan data yang berbentuk angka atau yang bersifat
sistematis. Jenis analisis yang digunakan dalam penelitian Konservasi dan
Rehabilitasi Lahan yang lebih menitikberatkan terhadap fenomena yang
terjadi secara alami dan non alami seperti erosi, longsor, banjir, gerakan
tanah serta fenomena yang lain yang dapat mengurangi manfaat dari lahan
itu sendiri.
Analisis yang pertama dilakukan secara kualitatif dimana analisis
ini didasarkan terhadap data-data yang telah didapatkan di lapangan sesuai
dengan objektifitas dari kajian.Analisis kualitatif dilakukan dengan
berdasarkan terhadap data yang di dapat serta wawancara yang telah
dilakukan.
Analisis yang kedua dilakukan secara kuantitatif yaitu dengan
menggunakan rumus USLE.
Teknik atau langkah-langkah yang dilakukan penyusun dalam
pengolahan data penelitian yang terkumpul adalah sebagai berikut :
1. Memeriksa kembali data yang diperoleh, baik data primer maupun data
sekunder, hal ini dilakukan untuk menghindari kekurangan atau kesalahan
yang terjadi dalam kajian.
2. Menghitung kemiringan lereng diperoleh dari informasi kontur yang
terdapat pada peta rupabumi skala 1 : 25.000, perhitungan berlaku untuk
40. setiap karvak, yang dilakukan pertama kali adalah membuat petak persegi
ukuran 2x2 cm diatas peta, kedua membuat garis diagonal memotong
kontur, ketiga menghitung jumlah kontur dan dikelaskan sesuai
perhitungan, maka akan didapatkan besar kemiringan lereng untuk setiap
karvak, kemudian besaran di klasifikasikan menurut kelas Jamulya (1993).
Pada peta setiap yang memiliki kemiringan lereng sama dipisahkan dan
dideliniasi dan diberikan keterangan hingga mendapatkan sebaran kelas
kemiringan lereng yang dikehendaki. Perhitungan kemiringan lereng
(s)tersebut menggunakan rumus :
Keterangan :
n = Jumlah kontur Ci = Interval Kontur
s = Kemiringan lereng S = Skala
a = Panjang lereng
41. Peta Rupa
Bumi
Peta Peta
kemiringan Penggunaan
Lahan
Peta Satuan
Lereng
Peta Sampel
Penelitian
Karakteristik Lahan Faktor Budaya Aktivitas Petani
Masyarakat
1. Kemiringan 1. Cara pengolahan
Lereng 1. Pendidikan lahan
2. Kondisi tanah 2. Kesadaran 2. Sistem tanam
3. Kondisi Geologi 3. Kemampuan 3. Pola tanam
4. Vegetasi 4. Jenis tanaman
5. Pemeliharaan
tanaman
6. Teknik konservasi
Analisis
Kesimpul
an
Rekomend
asi
Gambar 3.4 Bagan Alur Penelitian
42. BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Wilayah
a. Bantarujeg, Kabupaten Majalengka
i. Kondisi Fisik
Secara astronomis, Kecamatan Bantarujeg terletak pada
108o11’00” BT dan 108o24’00” BT sampai 6o57’00” LS dan 7o41’00”
LS. Sedangkan secara administratif termasuk wilayah Kabupaten
Majalengka. Sedangkan secaraadministratif
KecamatanBantarujegtermasukwilayahKabupaten
Majalengkadenganbataswilayahsebagaiberikut :
a. SebelahutaraberbatasandenganKecamatanMaja
b. SebelahtimurberbatasandenganKecamatanTalaga
c. SebelahselatanberbatasandenganKecamatan Malausma
d. SebelahbaratberbatasandenganKecamatanLemahsugih
KecamatanBantarujegmemilikiwilayahseluas61,86Km2
yangterdiri dari22desa.Desayangmemilikiwilayahterluasadalah
Desagununglarang,yaitu 11,12 Km2. Sedangkan yang mempunyai luas
wilayah terkecil, yaitu Desa Cinambo1,97Km. Dengan luas yang
dimiliki Kecamatan Bantarujeg berarti Kecamatan Bantarujeg hanya
sekitar 5,14 % dari luas wilayah Kabupaten Majalengka (yaitu kurang
lebih 1.204,24 Km2).
Sedangkan daerah Plot yang berada di desa Batantarujeg berada
pada Koordinat 108°13’30” BT dan 6°59’00” LS sampai 108°15’30“
BT dan 6°58’30“ LS. Secara administratif desa Bantarujeg memilikai
batas wilayah sebagai berikut:
a. SebelahutaraberbatasandenganDesa Babakansari
b. SebelahtimurberbatasandenganDesa Wadon
c. SebelahselatanberbatasandenganDesa Sirnagalih
d. SebelahbaratberbatasandenganDesa Sukajadi
44. Gambar 4.2 Peta plot kajian kelompok 6 Desa Bantarujeg
1. Iklim
45. Tipe iklim pada Kecamatan Bantarujeg berdasarkan
klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (dalam Rafi’I,
1995:259) diperoleh data selama sepuluh tahun rata-rata curah
hujan sebagai berikut :
Tabel 4.1 Jumlah curah hujan bulanan kecamatan bantarujeg 1997 sampai
2006
Tabel 4.2 Bulan basah dan bulan kering selama 10 Tahun
46. Dari data tersebut diketahui bahwa rata-rata jumlah curah
hujan tahuanan selama 10 tahun yaitu 2342,3 mm/tahun. Jumlah
bulan kering dimana bulan dengan curaqh hujan rata-rata
dibawah 60 mm didapat rata-rata jumlah bulan keringnya yaitu
3,5 bulan dan jumlah bulan basah dimana curah hujan lebih dari
100 mm per bulan didapat rata-rata bulan basah yaitu 7,5 bulan.
Dari rata-rata jumlah bulan basah dan bulan kering dalam jangka
waktu 10 tahun diperoleh nilai Q = 46,67 % sebagai acuan untuk
menentukkan tipe iklim menurut Schmidt Ferguson. Maka
Kecamatan Bantarujeg berdasarkan nilai Q tersebut
dikategorikan dengan tipe iklim C agak basah.
Table 4.3 Nilai Q klasifikasi iklim Schmidt Ferguson
Tipe Nilai(%) S
A 0<Q<14.3 SangatBasah
i
B 14,3<Q<33,3 Basah
f
33,3<Q<60 AgakBasah
a
C 60<Q<100 Sedang
t
100<Q<167 AgakKering
D 167<Q<300 Kering
300<Q<700 SangatKering
E Q>700 EkstrimKering
Namun berdasarkan kalsifikasi tipe iklim Junghuhn
F sebagian besar Kecamatan Bantarujeg termasuk dalam zona
iklim panas dengan ketinggianm 0 -700 mdpl dan sedikit dari
G wilayahnya yang termasuk zona iklim sejuk dengan ketinggian
700 – 1500 m dpl, karena ketinggian Kecamtan Bantarujeg yaitu
H 280 sampai 1134 m dpl.
47. Gambar 4.3 Zonafikasi iklim Junghuun
2. Topografi dan Geomorfologi
Ketinggian Kecamatan Bantarujeg yaitu dari 280 sampai
1134 m dpl. Kelas kemiringan lereng yaitu kelas II (3-8%) dengan
criteria lahan yang landai atau berombak, kelas II (8-15%) dengan
kriteria lahan agak miring atau bergelombang, Kelas IV (15-30%)
dengan kriteria lahan miring dan berbukit. Namun kelerengan yang
paling mendominasi pada Kecamatan Bantarujeg yaitu kelas II
dengan persentase 54,12% atau sekitar 60,37 Km2 dari total luas
wilayah Kecamatan Bantarujeg yaitu 111,56 Km2 . Namun pada
penelitian di lokasi penelitian kelompok 6 yaitu di Desa
Bantarujeg,
berdasarkanhasilpenelitiandaritabeldiatasbahwakemiringanlereng
yangpalingdominandiDesaBantarujegadalahkemiringanlerengI(data
r)denganluas2,16Km2(60%).Adapunpetakemiringan lerengpada
lokasi penelitian kelompok 6, disajikanpadagambar4.4 sebagai
berikut :
48. Gambar 4.4 Peta kemiringan lereng lokasi penelitian kelompok 6
49. Gambar 4.5 Peta topografi lokasi penelitian kelompok 6 (Desa Bantarujeg)
Bentukan lahan pada Kecamatan Bantarujeg merupakan
bentukan asal struktural, namun pada perkembangannya
kenampakan geomorfologi pada wilyah tersebut berupa bentukan
lahan asal denudasional yang terjadi karena proses gradasi yang
meliputi proses gradasi dan agradasi yang dalam jangka waktu
lama dapat merubah lahan menjadi suatu dataran. Kondisi tersebut
50. ditunjukkan oleh hilangnya lapisan permukaan akibat terjadi
pelapukan dan pengikisan atau erosi kemudian terangkut ke tempat
yang lebih rendah. Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka
secara umum merupakan wilayah yang termasuk zona Bogor,
perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen tersier laut
dalam membentuk antiklinorium dan dibeberapa tempat
mengalami patahan.Bukit sisa terdapat di Desa Bantarujeg, Desa
Babakansari, dan Desa Cikidang dan D5 (paneplains) atau dataran
nyaris terdapat disebelah selatan Desa Bantarujeg, Desa
Cimangguhilir, Desa Desa sindanghurip, Desa Cipeundeuy, Desa
Sukadana, Desa Ciranca, Desa Jagamulya, Desa Banyusari, Desa
Malausna, Desa Buninagaradan Desa Cimuncang.
3. Geologi
Berdasarkan peta geologi lembar Arjawinangun, satuan
batuan di wilayah Kecamatan Bantarujeg dikelompokkan
menjadi breksi hasil gunung api tua (Qvb), hasil gunung api tua
tak teruaikan (Qvu), formasi kaliwungu (Tpk), formasi halang
anggota atas (Tmhu), formasi halang anggota bawah (Tmhl),
formasi cinambo anggota serpih (Tomcu), formasi cinambo
anggota batupasir (Tomd). Satuan batuan yang paling dominan
pada lokasi penelitian Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten
Majalengka adalah satuan batuan formasi halang anggota bawah
(Tmhl) yaitu sekitar 29,23% dari total luas wilayah administratif
Kecamatan Bantarujeg dan satuan batuan yang paling sedikit
adalah satuan batuan formasi cinambo anggota pasir (Tomd),
hanya sekitar 3,17% dari total luas wilayah administratif
Kecamatan Bantarujeg.
Satuan breksi hasil gunungapi tua (Qvb) terdiri dari breksi
gunungapi dan endapan lahar. Breksi berwarna abu-abu tua yang
keras, komponenya terdiri dari batuan beku andesit, basal dan
massa dasar pasir tufa. Tanah pelapukannya berupa pasir lanau
51. lempungan berwarna coklat kemerahan, bersifat urai, plastisitas
sangat rendah, kesarangan sedang-tinggi, kandungan bahan
organik rendah, pH asam-sangat asam, ketebalan 1,5-2,25 meter.
Persebarannya meliputi bagian selatan Desa Sukadana,
Werasari, Cipeundeuy, dan bagian selatan Desa Malausma.
Satuan batuan hasil gunungapi tua tak teruraikan (Qvu) terdiri
dari breksi gunungapi lahat dan lavayang bersifat andesit dan
basal. Breksi berwarna abu-abu tua agak kekuningan keras,
komponen batuan beku andesit, lemas terbuka, massa dasar
pasir halus, lava berwarna abu-abu, keras dan kompak. Tanah
pelapukannya berupa lanau lempungan berwarna coklat
kemerahan bersifat urai teguh, plastisitas rendah, kesarangan
sedang, kandungan bahan organik rendah, pH asam-sangat
asam, dan ketebalnnya 2-3 meter. Persebarannya meliputi
sekitar Desa Haurgeulis. Satuan batuan formasi kaliwungu
(Tpk) terdiri dari batu lempung dengan sisipan batu pasir tufaan
dan konglomerat. Batu lempung berwarna abu-abu tua bersifat
keras. Tanah pelapukannya berupa lempung berwarna abu-abu
agak kekuningan, lunak-teguh, plastisitas tinggi. Kesarangan
rendah, kandungan bahan organik rendah, pH asam-sangat
asam, dan ketebalan tanah 1,5-2,25 meter. Persebarannya
meliputi Desa Wadowetan. Satuan batuan formasi halang
anggota atas (Tmhu) terdiri dari batu pasir tufaan, lempung, dan
konglomerat. Batu pasir merupakan bagian utama berwarna abu-
abu kekuningan, berbutir halus dank eras. Tanah pelapukannya
berupa pasir lanauan berwarna coklat kemerahan, bersifat urai,
plastisitas rendah kesarangan sedang, kandungan bahan organik
rendah, pH asam dengan ketebalan tanah 1-2 meter.
Persebarannya meliputi Desa Bantarujeg, Salawangi, dan
Babakansari. Satuan batuan formasi halang anggota bawah
(Tmhl) terdiri dari breksi, tufa, lempung dan konglomerat.
Breksi berwarna abu-abu, komparan andesit, keras, massa dasar
52. pasir. Tanah pelapukannya berupa lanau lempungan berwarna
coklat kekuningan, plastisitas rendah, kesarangan rendah,
kandungan bahan organik rendah,pH asam-sangat asam dan
ketebalan tanah 1,5-2 meter. Persebarannya meliputi Desa
Cikidang, Gununglarang, Sindanghurip, Lebakwangi, Banyusari
dan Malausma. Satuan batuan cinambo anggota serpih (Tomcu)
terdiri dari batu lempung denga selingan batu pasir gampingan
dan pasir tufaan. Batu lempung berwwarna abu-abu tua bersifat
hancur bila kering. Tanah pelapukannya berupa lempung
berwarna abu-abu tua bersifat lunak basah, plastisitas tinggi,
kesarangan rendah, kandungan bahan organik rendah, pH asam-
sangat asam dan ketebalan tanah 1,5-2,25 meter. Persebarannya
meliputi Desa Sukamenak dan sebagian kecil di Desa
Haurgeulis dan Cinambo. Satuan batuan formasi cinambo
anggota batupasir (Tomd) terdiri dari batupasir, tufa, lempung,
dan batu pasir gampingan. Satuan ini berwarna abu-abu
kekuningan sampai abu-abu gelap, kompak, pada batu pasir
mempunyai cirri pelapisan tebal dengan sisipan serpih dan
lempung yang tipis dan padat berwarna kehitam-hitaman. Tanah
pelapukannya berupa lempung lanauan berwarna coklat
kemerahan, teguh, plastisitas sedang, kesarangan sedang,
kandungan bahan organik rendah, pH asam dan ketebalan tanah
1,5-2 meter. Persebarannya meliputi Desa Haurgeulis dan Desa
Sukamenak.
53. Gambar 4.6 Peta geologi lokasi penelitian kelompok 6 (Desa Bantarujeg)
4. Tanah
Jenis tanah yang tersebar pada Kecamatn Bantarujeg yaitu
tanah litosol, latosol, dan podsolik merah kuning. Penyebaran
jenis tanah yang mendominasi pada wilayah tersebut adalah
tanah latosol dengan batas horizon tanah yang tidak begitu jelas
yang terletak pada ketinggian 300-900 m dpl. Tanah latosol
berwarna merah kekuningan, kandungan bahan organic 3-9%,
pH tanah 4,5-6,5 yang tergolong asam sampai agak asam, dan
tektur tanah liat, struktur remah dengan konsistensi gembur,
54. permeabilitas tanah mudah samapi agak sukar. Tanah ini
tersebar di daerah sebelah barat daya Desa Sukadana, sebelah
selatan Desa Banyusari, sebelah timur Desa Ciranca, sebelah
selatan Haurgeulis, sebelah barat Desa Sukamenak.
Tanah litosol meliputi Desa Werasari, Malausma,
Banyusari, Jagamulya, Buninagara, Ciranca, Sindanghurip,
Cimangguhilir,Sukadana, Lebakwangi, Cipeundeuy,
Wadowetan, Siliwangi, Salawangi, Cinambo, Cikidang. Tanah
litosol mempunyai solum yang tipis dengan kandungan bahan
organic yang rendah, tekstur tanah kasar yaitu berpasir dengan
struktur berbutir lepas, pH dan permeabilitasnya bervariasi.
Tanah podsolik merah kuning mempunya batas horizon
yang nyata, struktur tanah gumpal dengan tekstur lempung
berpasir hingga liat, pH anatar 4-5. Jenis tanah ini tersebar di
sebelah selatan Desa Buninagara, Selatan Desa Banyusari,
sebelah timur Desa Ciranca, sebelah selatan Haeurgeulis,
sebelah utara Desa Sukamenak.
55. Gambar 4.7 Peta tanah lokasi penelitian kelompok 6 (Desa Bantarujeg)
56. Gambar 4.8 Horizon tanah di Desa Banatrujeg
5. Hidrologi
Pola sungai pada Kecamatan Bantarujeg mempunyai pola
dendritis dengan induk sungainya yaitu sungai Ci Lutung yang
mengalir melalui Desa Salawangi, Desa Cikidang, Desa
Wadowetan, Desa Bantarujeg, Desa Babakansari, Desa Gunung
larang. Dari induk sungai Ci Lutung terdapat anak-anak sungai
diantaranya Ci Hieum dan Ci Juray.
Gambar 4.9 Sungai Ci Hieum
6. Penggunaan Lahan
57. Terdapat lima jenis penggunaan lahan pada Kecamatan
Bantarujeg yaitu sawah, tegalan, kebun campuran, hutan, serta
pemukiman. Pemanfaatan lahan sebagian besar adalah untuk
lahan pertanian. Pada sawah dan tegalan, tanaman yang ditanam
berupa padi, jagung, kacang tanah, ubi jalar maupun ubi kayu.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4 Penggunaan Lahan
58. Gambar 4.10 Peta penggunaan lahan lokasi pegamatan kelompok 6 (Desa Bantarujeg)
59. Gambar 4.11 Penggunaan lahan sawah di Desa Bantarujeg
Gambar 4.12 Penggunaan lahan ladang di Desa Bantarujeg
Gambar 4.12 Penggunaan lahan kebun campuran di Desa Bantarujeg
60. ii. Kondisi Sosial
1. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk di Kecamatan Bantarujeg berdasarkan
tahun 2007 adalah 88.145 jiwa. Untuk lebih rinci dapat dilhat
pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.5 Jumlah PendudukTahun 2007
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa desa yang
memiliki jumlah penduduk terbanyak pada tahun 2007 adalah
Desa Buninagara dengan jumlah penduduk 5961 jiwa atau
sekitar 6,7% dari total jumlah penduduk di Kecamatan
Bantarujeg serta jumlah penduduk paling sedikit yaitu Desa
Haurgeulis dengan jumlah penduduk sekitar 1344 jiwa atau
1,52% dari total jumlah penduduk di Kecamatan Bantarujeg.
61. 2. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk dibagi menjadi tiga yaitu
kepadatan penduduk agraris, kepadatan penduduk fisiografis,
dan kepoadatan penduduk kasar. Kepadatan penduduk agraris
merupakan perbandingan antara jumlah petani dengan luas
lahan pertanian. Kepadatan penduduk fisiografis merupakan
perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian.
Dan kepadatan penduduk kasar merupakan perbandingan jumlah
penduduk dengan luas wilayahnya. Kepadatan penduduk
agraris, fisiografis, serta kepadatan penduduk kasar pada
Kecamatan Bantarujeg secara berurutan adalah adalah 261
jiwa/Km2, 996 jiwa/Km2, dan 790 jiwa/Km2.
tingkatkepadatanpendudukdi suatu
wilayahdikelompokkansebagaiberikut:
1. 0 -51orang/km2termasuktidakpadat
2. 51–250orang/km2termasukkurangpadat
3. 251–400orang/km2termasukpadat
4. >400orang/km2termasuksangatpadat
Khusus untuk kepadatan penduduk kasar yang mempunyai
nilai 790 jiwa/Km2 dikategorikan dalam kelompok kepadatan
penduduk yang sangat padat.
Tabel 4.6 Kepadatan penduduk per Desa di Kecamatan Bantarujeg tahun 2009
Jumlah KepadatanPendud
No. NamaDesa Penduduk LuasWilayah (jiwa/Km2)
uk
(Jiwa) 2
1 Bantarujeg 3.628 (Km)
3,0 1178
2 Babakansari 4.497 7,4
8 608
3 Wadowetan 4.497 4,4
0 734
4 Gununglaran 4.201 10,0
7 419
5 Cikidang
g 2.983 24,7 633
1
62. 6 Haurgeulis 1.372 3,6 377
7 Cinambo 1.825 1,8
4 971
8 Sukamenak 3.342 6,2
8 531
9 Salawangi 3.767 4,5
9 835
10 Silihwangi 4.363 4,6
1 942
11 Cimangguhil 4.548 5,7
3 788
12 Sindanghuri
ir 2.617 2,7
7 955
13 Cipeundeuy
p 3.157 2,7
4 1161
Jumlah 88145 111,56
2 10132
3. Komposisi Penduduk
Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada tahun
2007 yaitu terdiri dari 50,19% laki-laki dan 49,81% perempuan.
Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yaitu
44,36% tingkat SD, 50,92% tingkat SMP, 4,014% tingkat SMA,
0,32% tingkat akademi/sederajat, dan 0,387% tingkat perguruan
tinggi. Berdasarkan komposisi penduduk menurut tingkat
pendidikan tersebut menunjukkan tingkat pendidikan yang
cukup baik, terutama pada pencapaian target wajib belajar 9
tahun. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian,
didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharaian sebagai
petani dengan persentase 58% disusul dengan buruh sebesar
25,7%, serta lainnya.
Tabel 4.7 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin
N JenisKelamin Jumlah(Jiwa) Persentase(%)
1. Laki-laki 2171 49.8
o
2. Perempuan 2186
4 50.1
150.
Jumlah 435
7 100,00
9
194
81
9.81
49.8
b. Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang 149.
i. Kondisi Fisik 81
63. Waduk Jatigede merupakan waduk yang membendung
sungai Ci Manuk, mulai dari Balubur Limbangan ke atas adalah
sub DAS hulu yang dijadikan waduk Jatigede pada ketinggian
sekitar 700 m dpl. Waduk Jatigede dikeliling oleh 12 gunung api
dan beberapa diantaranya masih aktif. DAS bagian tengah
berupa dataran yang lebih rendah yang meliputi penggal sungai
Ci Manuk bagian tengah dengan dua anak sungai yaitu Ci
Lutung dan Ci Peles. Sedangkan DAS bagian hilirnya terdiri
dari dataran pantai. Rata-rata debit tahunan di hilir waduk
Jatigede sekitar sebesar 62,9 m3/detik sedangkan di lokasi
bendung rentang yaitu 137,3 m3/detik.
Luas DAS Ci Manuk yang merupakan sungai yang akan
dibendung dengan waduk Jatigede secara keseluruhan
2
mempunyai luas sekitar 3.600 Km dengan panjang sungai
utama sekitar 230 Km. Batuan dasar utama alluvium, hasil
gunung api, miosen fasies sedimen, plistosen, pliosen fasies
gunung api dan eosen. Jenis tanah pada lokasi waduk jatigede
bervariasi. Berikut adalah jenis tanah yang terdapat pada sekitar
lokasi berdasarkan kepekaan terhadap erosi :
a. Tidak peka erosi : alluvial, glei humus.
b. Agak peka erosi : litosol, latosol
c. Peka erosi : grumosol, andosol
d. Sangat peka erosi : mediteranean coklat, mediteranean coklat
kemerahan, regosol.
Namun dari semua 60% jenis tanah pada lokasi kegiatan
adalah latosol dengan kriteria agak peka terhadap erosi.
Meskipun dijumlahkan dengan jenis tanah yang lain, tetap saja
berada pada klasifikasi yang sama atau malah lebih tinggi/sangat
peka erosi. Pemanfaatan air di waduk Jatigede berasal dari DAS
Ci Manuk dengan luas DAS 3.584 Km2. Terdapat sekitar 31%
lahan kritis. Curah hujan tahunan DAS Ci Manuk berkisar 2.800
mm, namun 78% dilimpaskan ke laut. Hal tersebut terjadi
64. karena peresapan air ke tanah yang kurang, artinya pada daerah
hulu sungai Ci Manuk telah terjadi penggunaan lahan yang tidak
sesuai dengan konservasi. Dari gambar di atas dapat kita
perbandingan antara kawsan lindung dengan kawasan budidaya.
Umumnya tanaman yang dibudidayakan berupa tanaman
musiman yang kurang terhadap peresapan air serta intensitas
pengolahan yang sangat tinggi. Selain itu juga lahan pertanian
tersebut tidak diteras ataupun ada yang diteras tetapi kualitasnya
buruk. Penggunaan lahan pada tahun 1991 berdasarkan data
Bappeda provinsi Jawa Barat adalah hutan (22,7%), sawah
(35,99%), lahan pertanian (29,76%), permukiman (6,55%),
permukaan air (0,01%), lain-lain (4,93%).
Gambar 4.14Lokasi pembangunan waduk Jatigede
.
65. Gambar 4.15 Penggunaan Lahan Hulu DAS Ci Manuk (foto satelit)
Gambar 4.16 Peta Penggunaan Lahan Tahun 1991 (Bappeda Jabar)
66. Berdasarkan hasil analisis dari foto satelit terdapat patahan
atau sesar di sebelah timur lokasi waduk Jatigede. Hal tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
ii. Kondisi Sosial
Populasi penduduk yang berdomisili dalam DAS Ci Manuk
berdasarkan data statistik Provinsi Jawa Barat tahun 2011 yaitu
sebanyak 2.780.680 jiwa dengan kota-kota utama di Kabupaten
Garut, Sumedang, Majalengka, dan Indramayu. Rencana kegiatan
waduk Jatigede membutuhkan luas sekitar 4.892 Ha. Dari luas
tersebut 3.696 Ha milik warga dan 3.200 Ha berupa lahan yang
subur. Pada lokasi waduk Jatigede terdapat sekitar 28 situs budaya
yang terancam hilang. Namun karena lokasi situs budaya tersebut
akan dibangun waduk Jatigede maka dengan terpaksa situs budaya
tersebut harus dipindahkan.
B. Potensi Ancaman Bahaya Bencana
a. Bantarujeg, Kabupaten Majalengka
Potensi atau bahaya bencana pada lokasi penelitian di Desa
Bantarujeg, Kecamatan Banatrujeg, Kabupaten Majalengka
berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dusun yaitu terdapat
67. ancaman bahaya dari letusan gunung api, gempa bumi, banjir,
pergerakan massa tanah, kekeringan, angin kencang, serta longsor.
Menurutnya pernah terjadi sebuah bencana letusan gunung
api galunggung yang berdampak pada lokasi penelitian. Bencana
letusan gunung api galunggung yang berdampak pada lokasi
penelitian berupan penyebaran abu vulkanik. Luas sebaran yang
terkena dampak dari abu vulkanik tersebut hampir mengenai semua
wilayah Kecamatan Bantarujeg. Seperti yang kita ketahui bahwa
abu vulkanik mempunyai massa yang lebih ringan daripada
material batuan hasil dari letusan gunung api sehingga luas
sebarannya pun semakin luas karena terbawa oleh angin. Dampak
dari penyebaran abu vulkanik dari letusan gunung api galunggung
tersebut menghambat aktivitas perekonomian masyarakat terutama
pada sektor pertanian yang terancam gagal panen karena abu
vulkanik tersebut menutupi lahan pertanian. Selain itu, dampak lain
dari penyebaran abu vulkanik juga merugikan kesehatan
masyarakat terutama gangguan sistem pernapasan.
Terdapat pula ancaman bahaya gempa bumi. Menurut
Kepala Dusun, pernah terjadi gempa sebesar 2-3 skala ritcher
dengan jarak sekitar 7,5 km dari pusat gempa. Ancaman bahaya
gempa bumi pada lokasi penelitian disebabkan lokasi penelitian
berdekatan dengan gunung api sehingga ketika terjadi aktivitas
gunung api disekitar lokasi penelitian maka gempa vulkanik akan
dirasakan oleh masyarakat sekitar. Selain ancaman bahaya gempa
bumi yang berasal dari aktivitas gunung api, terdapat juga ancaman
bahaya gempa bumi yang berasal dari pergerakan patahan baribis
yang dimungkinkan menimbulkan gempa bumi dan berdampak
pada lokasi penelitian jika sewaktu-waktu terjadi pergerakan pada
patahan baribis. Ancaman bahaya gempa bumi lainnya disebabkan
atau berasal dari aktivitas pertambangan batu andesit di daerah
hulu, ketika terjadi aktivitas penambangan batu andesit dimungkin
68. terjadi pergerakan atau pergeseran batuan sehingga menimbulkan
ancaman bahaya gempa bumi yang berupa gempa runtuhan.
Ancaman bahaya bencana lainnya adalah banjir. Seperti
yang dijelaskan pada pembahasan di atas mengenai karakteristik
wilayah Bantarujeg khususnya dalam hal iklim bahwa rata-rata
curah hujan di Kecamatan Bantarujeg cukup tinggi dalam 10 tahun
dari tahun 1997-2006 yaitu sebesar 2342,3 mm/tahun dan rata-rata
bulan basahnya yaitu 7,5 bulan. Dari hal tersebut dapat dilihat
bahwa ancaman bahaya banjir pada lokasi penelitian cukup besar.
Faktor lain yang mendukung besarnya ancaman bahaya banjir
adalah kondisi topografi yang bergelombang dan terdapat bentuk-
bentuk lereng yang cekung maupun datar. Selain itu, faktor lainnya
adalah sifat tanah yang mempunyai permeabilitas sedang sampai
agak cepat, namun sifat tanah pada lokasi penelitian ketika terkena
air maka permeabilitasnya semakin berkurang karena terkstur tanah
yang lempung berpasir sampai liat yang gembur sehingga seolah-
olah memadat tetapi mudah lepas dan air pun akan menggenang
jika durasi hujan lama apalagi padalahan-lahan yang memiliki
vegetasi yang tidak begitu rapat sehingga tenaga kinetis hujan
dapat lebih memadatkan tanah, memperkecil laju infiltrasi, dan
menggenankan air. Faktor utama penyebab banjir adalah
meluapnya sungai Ci Hieum akibat penggunaan lahan di hulunya
tidak baik sehingga laju limpasan air lebih besar daripada laju
infiltrasinya. Jarak sungai Ci Hieum dengan pemukiman warga
sekitar 500 meter. Luas sungai Ci Hieum yang tidak begitu luas
atau dalam juga turut menjadi faktor penyebab banjir ketika
limpasan air yang besar dari sungai Ci Hieum melewatinya dan
meluap karena daya tampung yang kurang memadai. Menurut
Kepala Dusun dampak bencana banjir pernah dialami dengan
ketinggian banjir 50 cm dari permukaan tanah. Menurutnya ada 2
RT per dusun yang permanen terkena dampak banjir dan 10 hektar
sawah.
69. Ancaman bahaya bencana yang mempunyai potensi besar
dalam memberikan dampak pada lokasi penelitian adalah ancaman
gerakan massa tanah dan longsor. Seperti yang telah dijelaskan
bahwa curah hujan pada lokasi penelitian cukup tinggi dan sifat
tanah yang mudah lepas. Pergerakan tanah dapat dilihat dari
indikator-indikator tertentu seperti yang ditemukan di lokasi
penelitian yang berupa rumah yang retak-retak, tiang listrik yang
miring, tanah yang longsor serta rusaknya tepi-tepi jalan. Jenis
gerakan massa tanah pada lokasi penelitian berupa rayapan yang
bergerak secara perlahan-lahan. Hal tersebut dikarenakan jenis
batuannya yang sedimen yang mempunyai sifat lunak atau
fleksibel. Ancaman bahaya bencana tersebut ditemukan pada lokasi
penelitian terutama pada plot 3 dan plot 4. Potensi gerakan massa
tanah dan longsor semakin besar mengingat curah hujan yang
tinggi. Energi potensial dari gerakan massa tanah dan longsor
tersebut akan semakin besar karena adanya penambahan massa
tanah oleh air jika kita mengingat sifat tanah pada lokasi penelitian
yang gembur dan mudah lepas serta permeabilitasnnya yang
sedang sampai agak cepat serta kemiringan lereng pada yang agak
miring dan topografi berbukit-bukit. Menurut Kepala Dusun
pernah terjadi longsor namun di daerah Cibeuriy yang berdampak
kerusakan pada 10 rumah warga.
71. Gambar 4.18 Bukit terkikis/tererosi
Bencana kekeringan pernah terjadi pada lokasi penelitian
yaitu selama musim kemarau dengan luas sebaran dampak satu
Kecamatan Bantarujeg. Dampak dari kekeringan tersebut adalah
terancamnya gagal panen bagi sektor pertanian. Penggunaan lahan
pertanian yang hanya mengandalkan air hujan dapat memperparah
ancaman bahaya kekeringan ini. Saluran irigasi pernah dibuat
namun pada akhirnya tidak berfungsi kembali dikarenakan saluran
irigasi tersebut tertutupi atau rusak karena longsoran sehingga air
tidak bisa mengairi sawah.
Sedangkan untuk ancaman bahaya bencana sosial yaitu
hilangnya budaya, menurunya etos kerja, serta banyaknya warga
yang gulung tikar untuk industri rumah serta berkurangnya tanga
kerja buruh tani. Hal tersebut berpotensi menjamurnya
72. pengangguran apalagi jika kita melihat bahwa berdasarkan data
komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan seperti yang telah
dibahas yaitu dengan dominasi masyarakat dengan tingkat
pendidikan SMP. Selain itu, berkurangnya buruh tani dan belum
optimalnya mekanisasi pertanian untuk meningkatkan
produktivitas pertanian dimungkinkan akan hilangnya budaya
bertani dan berkurangnya lahan pertanian. Menurunya etos kerja
serta dimungkinkannya menjamur pengangguran akan
menyebabkan potensi konflik masyarakat semakin besar.
Peta daerah rawan bencana di Desa Bantarujeg yang kami
buat, dipertimbangkan besar kecilnya rawan bencana berdasarkan
tingkat kemiringan, penggunaan lahan, pola pemukiman, sifat
tanah, metode pertanian masyarakat setempat sehingga dibuat peta
daerah rawan bencana Desa Bantarujeg seperti pada gambar di
bawah ini :
73. Gambar 4.19 Peta rawan bencana Desa Bantarujeg
b. Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang
Struktur batuan pada lokasi waduk Jatigede berupa
lempung serpih yang mempunyai sifat mudah lepas. Hal tersebut
dapat menjadi sebuah ancaman bahaya gerakan massa tanah
maupun longsor jika terjadi hujan. Apabila waduk tersebut telah
selesai dibangun atau dioperasikan, maka bukan tidak mungkin
umur waduk tersebut akan berkurang atau waduk tersebut rusak
karena terjadi gerakan massa tanah, dengan rusaknya waduk
tersebut maka akan menimbulkan sebuah banjir dari air genangan
waduk dan merugikan manusia serta fasilitas-fasilitas lainnya. Hal
74. ancaman bahaya tersebut didukung oleh faktor curah hujan di DAS
Ci Manuk yang tinggi seperti yang telah dibahas di atas. Energi
potensial dari gerakan massa tanah akan semakin besar seiring
penambahan massa tanah oleh air apalagi pada daerah yang
bergelombang atau berbukit. Tidak hanya itu, laju sedimentasi
yang besar pada sungai Ci Manuk juga dapat mengancam merusak
bendungan dan menjadikan ancaman bahaya banjir.
Ancaman bahaya lainnya adalah gempa bumi, baik itu yang
berasal dari gunung api aktif maupun dari patahan yang berlokasi
dekat dengan waduk Jatigede. Apabila terjadi gempa bumi, maka
dikhawatirkan akan rusak atau bocor sehingga terjadi banjir atau
bencana. Gempa lainnya mungkin saja terjadi ketika pembebanan
air pada waduk yang akan mempengaruhi lapisan batuan di
bawahnya dan terjadi gempa terutama karena penurunan tanah, jika
mengingat struktur tanah dan batuannya yang labil.
Ancaman bencana sosial terjadi terutama pada pembebasan
lahan yaitu relokasi dan ganti rugi bagi warga yang terkena
dampak dari pembangunan waduk Jatigede. Lokasi relokasi belum
tentu sesuai dengan keinginan warga dan belum tentu memiliki
sumber daya yang hampir sebanding dengan lokasi awal menjadi
potensi timbulnya bencana sosial. Apabila lokasi yang baru lebih
produktif maka akan sangat menguntungkan warga namun apabila
lebih buruk maka warga akan mengalami kerugian. Masalah lain
yang dihadapi adalah ketidaksesuaian rencana relokasi. Pemerintah
tidak mengutamakan relokasi warga tetapi mendahulukan relokasi
cagar budaya sehingga banyak warga yang mengadu pada DPRD
setempat. Istilah relokasi sebenarnya tidak sesuai bagi budaya
karena akan mengurangi nilai budaya maupun sejarahnya. Pada
lokasi rencana kegiatan terdapat sekitar 28 situs budaya yang
terancam hilang. Namun karena lokasi situs budaya tersebut akan
dibangun waduk Jatigede maka dengan terpaksa situs budaya
tersebut harus dipindahkan. Masalah ekonomi merupakan akar dari
75. permasalahan sosial. Rencana kegiatan waduk Jatigede
membutuhkan luas sekitar 4.892 Ha. Dari luas tersebut 3.696 Ha
milik warga dan 3.200 Ha berupa lahan yang subur. Dengan
adanya rencana kegiatan waduk Jatigede otomatis akan
mengurangi tingkat perekonomian warga terutama saat
berlangsung konstruksi. Hal tersebut akan berakar pada ancaman
penurunan produksi beras yang ditaksir mengalami penurunan
sekitar 80.000 ton per tahun. Berdasarkan masalah-masalah
tersebut bencana sosial yang berpotensi terjadi apabila tidak segera
diselesaikan adalah konflik secara vertikal yaitu antara pemerintah
dan masyarakat yang pada akhirnya dapat menghambat rencana
pembangunan waduk Jatigede
76. Gambar 4.20 Peta daerah rawan bencana di lokasi penelitian waduk Jatigede
C. Upaya Mitigasi Bencana
a. Bantarujeg, Kabupaten Majalengka
Upaya tindakan mitigasi dari pemerintah yaitu berupa
tindakan preventif atau pencegahan. Namun dalam pelaksanaannya
77. masih belum optimal. Upaya masih berupa himbauan dan
pemberian tanda daerah rawan bencana. Hal tersebut dikarenakan
belum terbentuknya lembaga yang mampu mengkoordinasikan dan
mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai ancaman bahaya
bencana serta tindakan siap siaga maupun hal yang dilakukan
ketika terjadi bencana. Sebagian besar tingkat pendidikan
masyarakat setempat tergolong cukup baik yaitu tingkat SMP
namun hal tersebut belum menjamin adanya kesadaran mengenai
ancaman bahaya bencana, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara
dengan masyarakat sekitar, masyarakat setidaknya tahu mengenai
apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Namun kesadaran
untuk mengurangi dampak bencana sendiri agaknya masih belum
terpikirkan. Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan tentang
kebencanaan masih belum ada dari pihak pemerintah secara resmi
namun dari tokoh masyarakat ada. Dampak dari bencana akan
semakin besar karena tidak terdapatnya peringatan dini seperti jalur
evakuasi ketika terjadi bencana. Kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah masih berupa himbauan. Terdapat pos-pos siaga
bencana pada tingkat kecamatan dan kabupaten. Oleh karena itu,
diperlukan adanya suatu lembaga atau apapun yang mampu
mengkoordinasi dan mensosialisasikan mengenai ancaman bahaya
bencana, penanggulangan serta hal-hal apa saja yang harus
dilakukan kepada masyarakat ketika terjadi bencana sehingga
menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai kebencanaan dan
dapat mengurangi dampak kerugian dari bencana.
b. Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang
Terdapat suatu badan atau lembaga khusus yang dibentuk
dalam mengangani mengenai penaggulangan dan mitigasi bencana
yang dinamakan Badan Penanggulangan dan Mitigasi Bencana
(BPMB). Upaya mitigasi bencana dari pemerintah sebagai akibat
dari pembangunan waduk Jatigede, berupa upaya mitigasi secara
78. struktural maupun non struktural. Mitigasi secara struktural dalam
hal pencegahan gerakan massa tanah dan longsor adalah dengan
teknik grouting. Grouting adalah salah satu perbaikan pondasi
bendungan yang merupakan pekerjaan memasukan bahan yang
masih dalam keadaan cair untuk perbaikan tanah, dengan cara
tekanan, sehingga bahan tersebut akan mengisi semua retak-retak
dan lubang-lubang, kemudian setelah mbeberapa saat bahan
tersebut akan mengeras, dan menjadi satu kesatuan dengan tanah
yang ada. Tujuan dari dilakukannya grouting adalah untuk
memperkuat formasi dari lapisan tanah dan menjadikan lapisan
tanah tersebut padat sehingga mampu untuk menahan beban
bangunan yang direncanakan. untuk menahan aliran air, misalnya
pada bangunan dam, agar air tidak mengalir melalui bawah
bangunan dam. Air yang mengalir di bawah bangunan dam secara
bertahun-tahun akan membawa partikel tanah, yang akan
mengakibatkan terjadinya rongga-rongga di bawah bangunan, dan
hal ini dapat membahayakan kestabilan dam tersebut, grouting
pada dam ini biasa disebut tirai sementasi, guna tirai sementasi ini
untuk menghambat laju air, sehingga aliran air semakin panjang,
karena aliran semakin panjang maka air akan mengalami
kehilangan energy, dan untuk menahan aliran air tanah agar tidak
masuk ke dalam suatu kegiatan bangunan yang sedang
berjaan.Untuk jenis grouting yang digunakan di Bendungan
Jatigede dijelaskan sebagai berikut:
1. Grouting perlu dilakukan untuk menutup rekahan (crack) pada
pondasi batuan dan harus meningkatkan kekedapan (water
tightness).
2. Grouting tirai (curtain grouting) berfungsi sebagai zone kedap
air dan diletakkan pada tengah impervious core atau dibagian hulu
impervious facing (membrane).
79. 3. Grouting selimut (blanket grouting) berfungsi menahan
rembesan pada permukaan pondasi yang retak-retak.
4. Bila grouting tidak dapat dilakukan, dapat diganti dengan
impervious blanket pada bagian hulu dan atau pembuatan drain
dibagian hilir.
Mitigasi secara struktural lainnya adalah dengan melakukan
perbaikan kondisi hulu DAS Ci Manuk untuk mengurangi laju
sedimentasi pada jangka panjang sehingga ancaman kerusakan
bendungan dan bahaya banjir semakin berkurang. Seperti yang
dijelaskan pada pembahasan di atas bahwa sekitar 28% daerah
tangkapan air tergolong kritis. Upaya yang dilakukan dalam
memperbaiki kerusakan hulu adalah dengan melakukan konservasi
DAS secara intensif dan sinergis antara Kementrian Kehutanan,
Kementrian Pertanian, Kementrian Pekerjaan Umum, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten terkait dengan nama Gerakan
Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN KPA). Disamping itu
juga, dilaksanakan kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis
(GRLK) dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GNRHL) di Jawa Barat. Untuk sementara waktu, sedimentasi
pada waduk Jatigede dialihkan pada bendungan penampung
sedimentasi.
Mitigasi secara non struktural yang dilakukan berupa
pemberian penyuluhan maupun peringatan dini apabila air pada
bendungan telah melebihi kapasitasnya dalam menampung air.
Peringatan dini apabila diprediksi akan terjadi bencana terutama
kebcoran bendungan dilakukan melalui sirine-sirine yang
memberitahukan kepada masyarakat agar waspada dan siap siaga.
Selain itu, dicanangkan pula jalur-jalur evakuasi serta lokasi
evakuasi ketika terjadi bencana. Sedangkan untuk mitigasi
ancaman bencana sosial, hal yang dilakukan adalah pemberian
80. ganti rugi lahan serta relokasi warga dan sosialisasi mengenai
manfaat adanya waduk Jatigede.
81. BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan pada bab IV, maka dapat
diambil sebuah kesimpulan sebagai berikut :
a. Kondisi fisik wilayah lokasi pengamatan yaitu pada Desa
Bantarujeg, Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka secara
umum merupakan wilayah yang termasuk zona Bogor, perbukitan
lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen tersier laut dalam
membentuk antiklinorium dan dibeberapa tempat mengalami
patahan. Sifat tanahnya mudah lepas. Mempunyai rata-rata curah
hujan tinggi yaitu 2342,3 mm/tahun dan beriklim C menurut
klasifikasi Schmidt Fergusson. Kelas kemiringan lereng bervariasi
dari II sampai IV dengan elevasi antara 280 sampai 1134 m dpl.
Satuan yang paling mendominasi adalah formasi halang anggota
bawah (Tmhl) dan jenis tanah yang mendominasi adalah tanah
latosol. Pola sungai pada Kecamatan Bantarujeg mempunyai pola
dendritis dengan induk sungainya yaitu sungai Ci Lutung. Terdapat
lima jenis penggunaan lahan pada Kecamatan Bantarujeg yaitu
sawah, tegalan, kebun campuran, hutan, serta pemukiman dengan
dominasi sawah. Sedangkan untuk kondisi fisik secara umum di
lokasi pembangunan waduk Jatigede merupakan yang
membendung aliran sungai Ci Manuk pada elevasi sekitar 700 m
dpl. Waduk Jatigede dikeliling oleh 12 gunung api dan beberapa
diantaranya masih aktif.Intensitas curah hujan rata-rata pada DAS
Ci Manuk tergolong tinggi yaitu sekitat 2.800 mm. Batuan dasar
utama alluvium, hasil gunung api, miosen fasies sedimen,
plistosen, pliosen fasies gunung api dan eosin dengan 60% jenis
tanah pada lokasi kegiatan adalah latosol dengan kriteria agak peka
terhadap erosi.Terdapat sekitar 31% lahan kritis. Menurut data
Bappeda provinsi Jawa Barat penggunaan lahan di DAS Ci Manuk
82. yaitu hutan (22,7%), sawah (35,99%), lahan pertanian (29,76%),
permukiman (6,55%), permukaan air (0,01%), lain-lain (4,93%).
b. Kondisi sosial wilayah lokasi pengamatan yaitu pada Desa
Bantarujeg, Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka secara
umum memiliki jumlah penduduk berdasarkan tahun 2007 adalah
88.145 jiwa dari 50,19% laki-laki dan 49,81% perempuan dengan
penduduk terbanyak adalah di penduduk terbanyak pada tahun
2007 adalah Desa Buninagara dengan jumlah penduduk 5961 jiwa
dan penduduk paling sedikit yaitu Desa Haurgeulis dengan jumlah
penduduk sekitar 1344 jiwaterdiri.Kepadatan penduduk agraris,
fisiografis, serta kepadatan penduduk kasar pada Kecamatan
Bantarujeg secara berurutan adalah adalah 261 jiwa/Km2, 996
jiwa/Km2, dan 790 jiwa/Km2. Komposisi penduduk menurut
tingkat pendidikan yang paling mendominasi adalah tingkat
pendidikan SMP yaitu sebesar 50,92% dari total jumlah penduduk
sedangkan menurut mata pencaharian sekitar 58% penduduk
bekerja sebagai petani. Sedangkan pada lokasi pengamatan kedua
yaitu di lokasi pembangunan waduk Jatigede, populasi penduduk
yang berdomisili dalam DAS Ci Manuk berdasarkan data statistik
Provinsi Jawa Barat tahun 2011 yaitu sebanyak 2.780.680 jiwa.
Waduk Jatigede membutuhkan luas sekitar 4.892 Ha dari luas
tersebut 3.696 Ha milik warga dan 3.200 Ha berupa lahan yang
subur. Pada lokasi waduk Jatigede terdapat sekitar 28 situs budaya.
c. Potensi atau ancaman bahaya bencana berdasarkan kondisi fisik
maupun sosial di lokasi pengamatan Bantarujeg yaitu seperti
banjir, gerakan massa tanah dan longsor, kekeringan, gempa bumi,
serta bencana sosial yaitu berupa munculnya potensi konflik
dikarenakan menurunnya etos kerja. Ancaman bahaya bencana
gerakan massa tanah dan longsor dipengaruhi oleh sifat tanah yang
labil serta mudah lepas dan topografi yang berbukit serta curah
hujan yang tinggi dan bulan basah yang lebih banyak dari bulan
keringnya. Ancaman bahaya gempa bumi dipengaruhi oleh faktor