1. RANCANGAN TERAPI MUSIK ANGKLUNG UNTUK
MENURUNKAN PENGHAYATAN PERASAAN
KESEPIAN (LONELINESS) LANSIA
KASUS DI PANTI WERDHA KOTAMADYA BANDUNG
Oleh :
Arisanti Chandra Dewi
NPM : L2H 040515
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Sidang
Guna Memperoleh Gelar Magister Psikologi
Program Magister Profesional Psikologi
Bidang Kajian Psikologi Klinis
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PROFESIONAL PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2010
2. RANCANGAN TERAPI MUSIK ANGKLUNG UNTUK
MENURUNKAN PENGHAYATAN PERASAAN
KESEPIAN (LONELINESS) LANSIA
KASUS DI PANTI WERDHA KOTAMADYA BANDUNG
Oleh :
Arisanti Chandra Dewi
NPM : L2H 040515
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Sidang
Guna Memperoleh Gelar Magister Psikologi
Program Magister Profesional Psikologi
Bidang Kajian Psikologi Klinis
Ini Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal Seperti tertera di b awah ini
Bandung, Januari 2010
Prof. DR. Sawitri Supardi Sadarjoen
DR. H. Ahmad Gimmy Prathama S., M.Si
Ketua Tim Pembimbing
Anggota Tim Pembimbing
4. iv
Kupersembahkan Karya kecil ini sebagai
Janji Bakti-ku pada Papa (Alm), dan Mama
Terima kasih atas segala kasih sayang yang telah diberikan selama ini,
Semoga Allah SWT selalu menyertai kita dan menempatkan arwah Papa tercinta
di sisi-Nya yang terbaik dan terindah.
Amien ya Robbal Alamin
Untuk Yang Tercinta Papap dan Kaka
5. v
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untk
mendapatkan gelar akademik magister, baik di Universitas Padjadjaran
maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, Januari 2010
Yang membuat pernyataan,
(Arisanti Chandra Dewi)
L2H040515
6. vi
ABSTRACT
The aim of this research is to introduce and develop the form of musical therapy by
utilizing Angklung as the tool in order to solve the psychological problem, especially
the problem of loneliness on Elders who stay in three panti werdha in Kotamadya
Bandung.
The period of Elders is the end period of a human cycle with the characteristics of
deterioration in physiological, psychological, and social interaction as well. Elders
are a human group that is very prone to have loneliness. It is caused by loosing their
spouse, living separately with their children, having no more friends at the same age,
and the problem has become worse since they have lived in panti werdha. Basically,
there are some ways to decrease the loneliness such as involving the m on social
activities and listening to the music.
Many people have researched the effect of music on human physiology and
psychology. Music has been acknowledged as the media for therapy which then
developed as musical therapy. Musical therapy consists of some stages of activities:
listening, playing, creating and constructing the music or song. The scope of this
research is to the stage of playing musical instrument. Musical instrument which are
often used in musical therapy are modern musical instrument, while the traditional
ones, such as Angklung, are seldom used. Angklung has unique timbre which is light
and also has the meaning of happiness and togetherness. The lonely elders need the
ambience which could create positive mood and togetherness that will eliminate
sadness and loneliness.
This research is true experimental which means the study of the intentional treatment
by observing the effect by strictly controlling some extraneous variables. The
research design used is “Before After two group design”. Statistical test used in this
research is Mann Whitney and Wilcoxon difference test. The subject of this research
is Elders which suffer the problem of loneliness, following the rules of UCLA
Loneliness scale v.3 by Danniel Russel (1996).
The result of the statistical test shows that there is a difference of loneliness level on
experimental group (EG) as the subject by comparing the condition before and after
the treatment of Angklung musical therapy (with significant level of 95%). This
condition shows that Angklung musical therapy, by playing Angklung together, can
create positive mood and increase social interaction ability of the subject, and as the
result, decrease the loneliness. At the end of this research, there are some suggestions
for the next research.
Keyword : Loneliness, Music Therapy, and Angklung.
7. vii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan dan mengembangkan bentuk terapi
musik dengan menggunakan alat musik angklung dalam mengatasi permasalahan
psikologis khususnya masalah kesepian (loneliness) pada lansia yang tinggal di tiga
panti werdha kotamadya Bandung.
Masa lansia adalah puncak dari siklus manusia yang ciri-cirinya cenderung
mengalami penurunan dan kesengsaraan, baik secara fisiologis, psikologis, dan
sosial. Lansia adalah kelompok yang paling rentan terhadap permasalahan kesepian
(loneliness), hal ini disebabkan karena kehilangan pasangan, berpisah dengan anakanak yang semakin dewasa, kehilangan relasi atau teman sebaya, terlebih lagi bagi
mereka yang dititipkan di panti werdha. Pada dasarnya terdapat beberapa cara untuk
mengurangi penghayatan perasaan kesepian (loneliness), antara lain dengan aktif
mengikuti kegiatan sosial dan mendengarkan musik. Musik sudah banyak diteliti dan
memiliki pengaruh terhadap fungsi fisiologis dan psikologis. Musik sudah diakui
dapat menjadi media dalam sebuah terapi, yang kemudian berkembang menjadi terapi
musik. Terapi musik dimulai dari kegiatan mendengarkan, bermain, kemudian
membuat dan mengaransemen sebuah musik atau lagu. Dalam penelitian ini hanya
sampai pada tahap bermain alat musik. Alat musik yang sering digunakan dalam
terapi musik adalah alat-alat musik moderen, sedangkan alat musik tradisional seperti
angklung seringkali terabaikan keberadaannya. Angklung sendiri memiliki timbre
yang khas yaitu ringan, selain itu secara filosofi dan perkembangannya mengandung
makna dan unsur utama kegembiraan dan kebersamaan. Para lansia yang menghayati
perasaan kesepian (loneliness) membutuhkan suasana yang dapat membangkitkan
mood dan penuh kebersamaan sehingga mereka tidak mengalami perasaan sedih
terabaikan, terasing sehingga menjadi kesepian.
Penelitian ini merupakan true experimental yaitu adanya perlakuan (treatment) yang
sengaja diberikan untuk melihat pengaruhnya, dengan mengontrol secara ketat
extraneous variable. Rancangan yang digunakan yaitu Before After two group design.
Uji statistik yang digunakan adalah uji beda Mann Whitney dan uji beda Wilcoxon.
Subjek penelitian adalah para lansia yang mengalami penghayatan perasaan kesepian
(loneliness) yang tinggi, dimana telah dijaring melalui UCLA Loneliness scale v.3
dari Danniel Russell (1996).
Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan antara taraf loneliness kelompok
eksperimen (EG) sebelum dengan sesudah diberikan treatment (dengan taraf
signifikansi 95 %). Kondisi ini memperlihatkan bahwa terapi musik angklung dengan
memainkan alat musik angklung secara berkelompok dapat membuat suasana hati
(mood) dan kemampuan berinteraksi para subjek penelitian meningkat sehingga
menurunkan penghayatan perasaan kesepian (loneliness) karena pada alat musik
angklung terdapat unsur kenyamanan, kesenangan, kebersamaan dan rekreatif saat
memainkannya. Diakhir penelitian ada beberapa saran yang diajukan.
Kata kunci : Perasaan Kesepian (Loneliness), Terapi Musik, dan Angklung.
8. viii
Kata Pengantar
Assalamua’aikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, Segala Puja dan Puji syukur hanya untuk Allah SWT atas
segala nikmat dan hidayah yang selama ini telah diberikan-Nya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.
Penelitian ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat ujian guna
memperoleh gelar Magister Psikologi pada program magister profesional Psikologi
bidang kajian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Penulis
menyadari bahwa penyusunan tugas akhir ini tidak akan berjalan dengan baik dan
lancar tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tidak terkira kepada :
1. Prof. DR. Sawitri Supardi Sadarjoen, selaku ketua komisi pembimbing yang
telah
membimbing,
mengarahkan,
dan
mendukung
penulis
dalam
penyelesaian penelitian ini.
2. DR. H. Ahmad Gimmy Prathama Siswadi, M.Si., selaku anggota komisi
pembimbing yang juga telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam
penyelesaian penelitian ini.
3. Prof. DR. Hj. Juke R. Siregar, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran.
4. DR. Hj. Hendriati Agustiani. M.Si., selaku Ketua Program BKU Magister
Keprofesian Psikologi Universitas Padjadjaran.
5. Drs. Amir Sjarif Bachtiar, M.Si., atas do’a dan dukungannya.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik dan
memberikan bekal ilmu pengetahuan, wawasan, serta pengalaman kepada
penulis, juga ibu Nani, Mbak Umi beserta seluruh staf administrasi magister
yang telah banyak membantu.
9. ix
7. Bapak Drs. H. Nuryana, Ketua Lembaga Lansia Indonesia Pemprov Jawa
Barat yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.
8. Bapak dr. H. Djamhoer, Ketua bidang kesenian dan olahraga Lembaga
Lansia Indonesia Pemprov Jawa Barat yang telah membantu penulis dalam
pelaksanaan penelitian ini.
9. Bapak Drs. H. Iwa, Bagian Keuangan Lembaga Lansia Indonesia Pemprov
Jawa Barat yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.
10. Bapak Sam Udjo dari Saung Angklung Udjo yang telah banyak membantu
dalam penelitian ini.
11. Bapak Eddie, Pelatih Angklung STBA yang telah banyak membantu penulis
dalam mengenal dan berlatih angklung, beserta rekan-rekan Gentra Seba
STBA..
12. Ibu Hj. Nia, Kepala asrama Panti Werdha Budi Pertiwi Bandung, beserta
para pengurus dan petugas panti.
13. Ibu Mayor Wayan, Kepala Panti Werdha Senjarawi Bandung, Ibu Indri
beserta para kandidat dan petugas panti.
14. Ibu Gina, kepala asrama Panti Werdha Asuhan Bunda Bandung, beserta para
petugas panti.
15. Nenek, Kakek, Oma dan Opa, para penghuni Panti Werdha Budi Pertiwi,
Panti Werdha Senjarawi, dan Panti Werdha Asuhan Bunda yang sudah
bersedia
meluangkan
waktunya
untuk
membantu
penulis
dalam
menyelesaikan penelitian ini.
16. Secara khusus penulis menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada Mama dan Papa (Alm) tersayang yang selalu memberikan perhatian,
kasih sayang, dukungan, semangat dan do’a sejak kecil hingga kapanpun.
Tiada yang lebih berarti dan berharga dalam kehidupan ini selain kasih
sayang dan do’a yang Mama dan Papa (Alm) curahkan selama ini. Semoga
Allah menerima Arwah Papa di sisi-Nya yang terbaik, Amien.
10. x
17. Rokky Irvayandi, S.T., M.M., suami tercinta yang telah memberikan warna
dan mengisi sisi lain kehidupan penulis dengan memberikan semangat,
dukungan, cinta dan do’a. “Thank you for your love and for all beautiful
moments we’ve made together.”
18. Darriel Aqeela Devandra, anakku tercinta yang sudah menemani sejak dalam
kandunganku dengan setia, mendukung, dan menjadi teman berbagi ketika
penulis dalam keadaan suka maupun duka. Terima kasih sayang, mamam dan
papap sayang kaka.
19. Bapak, Mamah serta Aldi, Fifi dan Raditya keponakanku tersayang, untuk
semua dukungan dan do’a yang dipanjatkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini.
20. Tante-tanteku, Oom-oomku terutama Tante Rini dan Oom Heru atas do’a
dan dukungannya, dan adik-adikku terutama Ryo, Arief dan Akbar yang
selalu membuat hidup penulis penuh gejolak emosi baik canda tawa dan
marah.
21. Telletubies: Dewot, Babeh, dan Daffa, Neng Ria, Ardi, Nayla dan Nazwa,
Ewieh Iza dan calon babynya, Terimakasih buat Do’anya dan persahabatan
kita yang indah.
22. Farida, Julian, Aulia, dan Amir, yang selalu berjuang bersama dan berbagi
suka dan duka selama menyelesaikan pendidikan.
23. Prita, Ida, dan Koagouw, terima kasih untuk diskusi, masukan, dukungan
dan bantuannya selama penyelesaian penulisan.
24. Teman-teman magister angkatan 3 yang sama-sama sudah berjuang dan
melewati masa-masa indah bersama selama menempuh masa pendidikan.
25. Teman-teman magister jurusan klinis angkatan 2 dan 4, yang juga saling
menguatkan selama penyelesaian penelitian dan penulisan ini.
26. Teman-teman co-Fasilitator dan observer, Icha, Aden, Anin, Ayu, Dinda,
Ari, Vikri, Angki, Kia, Anya, Mia, Yucki, Elya, Silmi, Tantri, Mira, Septi,
11. xi
Muti, Lofa, Fitria, Yatni, Yani, Sani, terima kasih sudah membantu penulis
sehingga terselesaikannya penelitian ini.
27. Semua pihak yang telah membantu dan memotivasi penulis selama
menyelesaikan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan,
walaupun demikian mudah-mudahan tulisan ini dapat dimanfaatkan oleh yang
membutuhkannya. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas
semua bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis. Amien ya Robbal
Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bandung, Januari 2010
Penulis
(Arisanti Chandra Dewi)
12. xii
DAFTAR ISI
JUDUL
i
PENGESAHAN
ii
PENGESAHAN REVISI
iii
KATA PERSEMBAHAN
iv
SURAT PERNYATAAN
v
ABSTRACT
vi
ABSTRAK
vii
Kata Pengantar
viii
Daftar Isi
xii
Daftar Bagan
xvi
Daftar Tabel
xviii
Daftar Gambar
xix
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang Masalah
1
1.2. Rumusan Masalah
8
1.3. Maksud, tujuan dan Kegunaan Penelitian
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS
12
2.1. Kajian Pustaka
12
2.1.1. Usia Lanjut
12
2.1.1.1. Definisi Masa Usia Lanjut
12
2.1.1.2. Karakteristik Usia Lanjut
13
2.1.1.3. Aspek Biologis dari Usia Lanjut
17
2.1.1.4. Aspek Psikologis dari Usia Lanjut
19
2.1.1.4.1. Penginderaan dan Persepsi
19
2.1.1.4.2. Belajar dan Memori (Daya Ingat)
20
2.1.1.4.3. Proses Belajar dan Pembelajaran pada Lansia
22
13. xiii
2.1.1.4.4. Kepribadian
24
2.1.1.4.5. Keterlibatan Komunitas dan Dukungan Sosial
25
2.1.1.5. Aspek Sosiologis dari Usia Lanjut
27
2.1.1.5.1. Hubungan Keluarga
27
2.1.1.5.2. Hubungan Sosial
29
2.1.2. Gerontology
32
2.1.2.1. Definisi Gerontology
32
2.1.2.2. Kesehatan Mental Lansia
34
2.1.2.3. Perkembangan Sosio-Emosional Lansia
35
2.1.3. Kehidupan Lansia Dalam Institusi
37
2.1.4. Panti Werdha
38
2.1.4.1. Pengertian Panti Werdha
38
2.1.4.2. Tujuan Penyelenggaraan Panti Werdha
39
2.1.4.3. Pelayanan di Panti Werdha
40
2.1.5. Loneliness
41
2.1.5.1. Definisi Loneliness
41
2.1.5.1.1. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan Sosial 42
2.1.5.1.2. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan
Eksistensial
2.1.5.2. Macam-Macam Penyebab Loneliness
2.1.5.2.1. Kejadian Pemicu Kesepian (Precipitating Event)
45
47
47
2.1.5.2.2. Faktor Predisposisi dan Bertahannya Gejala
Kesepian
50
2.1.5.3. Karakteristik Orang-orang yang Mengalami Kesepian
54
2.1.5.4. Pengalaman dari Kondisi Kesepian
54
2.1.5.4.1. Manifestasi Afektif
54
2.1.5.4.2. Manifestasi Motivasional
55
2.1.5.4.3. Manifestasi Kognitif
56
2.1.5.4.4. Korelasi Tingkah Laku dengan Kesepian
56
14. xiv
2.1.5.4.5. Konsekuensi Sosial dan Kesehatan
2.1.6. Musik
57
58
2.1.6.1. Unsur-unsur dalam Musik
2.1.7. Terapi Musik
60
60
2.1.7.1. Definisi Terapi Musik
60
2.1.7.2. Aspek Pendukung Terapi Musik
63
2.1.7.2.1. Psikobiologis Suara
63
2.1.7.2.2. Musik dan Penyembuhan
67
2.1.7.2.3. Respon Fisiologis Terhadap Musik
69
2.1.7.2.4. Respon Emosi Musikal
77
2.1.7.2.5. Musical Expression
78
2.1.7.2.6. Musical Perception
78
2.1.7.2.7. Fisiologi Emosi Musik
78
2.1.7.2.8. Musik dan Suasana Hati
80
2.1.7.2.9. Psikologi Musik dan Efek Psikologis
82
2.1.7.2.9.1. Psikologi Musik
82
2.1.7.2.9.1. Pengaruh Musik Terhadap Perubahan
Psikologis
2.1.8. Angklung
83
85
2.1.8.1. Sejarah Angklung
85
2.1.8.2. Spesifikasi Angklung
89
2.1.9. Angklung dan Psikologi
2.2. Kerangka Pemikiran
95
96
2.3. Premis
104
2.4. Hipotesis
105
BAB III METODE DAN SUBYEK PENELITIAN
106
3.1. Metode Penelitian
106
3.1.1. Skema Penelitian
107
15. xv
3.1.2. Variabel Penelitian
108
3.1.2.1. Independent Variable(IV)
108
3.1.2.2. Dependent Variable (DV)
109
3.2. Subyek Penelitian
111
3.2.1. Populasi Penelitian
111
3.2.2. Subjek Penelitian
111
3.3. Alat Ukur
113
3.3.1. Proses Adaptasi Alat Ukur Loneliness
114
3.3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
114
3.4. Pengukuran
115
3.5. Tahapan Penelitian
116
3.5.1. Lokasi Kegiatan Penelitian
3.6. Rancangan Penelitian
123
123
3.6.1. Rancangan Kegiatan
123
3.6.2. Rancangan Waktu, Materi, dan Pemberian Materi Penelitian
127
3.7. Analisa Data
127
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
129
4.1. Hasil Penelitian
129
4.2. Pembahasan
136
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
163
5.1. Kesimpulan
163
5.2. Saran
165
DAFTAR PUSTAKA
167
LAMPIRAN
17. xvii
DAFTAR TABEL
2.1. Emosi Dasar yang Dihasilkan Berdasarkan Berbagai Karakteristik
Musik
3.1. Rancangan Kegiatan Penelitian
84
123
3.2. Rancangan Kegiatan Pelaksanaan Pemberian Intervensi / Pelakuan
(Treatment)
125
3.3. Rancangan Waktu dan Proses Pemberian Intervensi (Lampiran)
127
4.1. Hasil Uji Beda Mann Whitney Pre-Test antara Kelompok EG dan CG
130
4.2.Hasil Uji Beda Mann Whitney Post-Test antara Kelompok EG dan CG
131
4.3. Hasil Uji Beda Wilcoxon Pre-Test – Post-Test Skor Total Loneliness
Kelompok EG
132
4.4. Hasil Uji Beda Wilcoxon Pre-Test – Post-Test Skor Total Loneliness
Kelompok CG
133
4.5.Rekap Perbandingan Data Hasil Pengukuran Awal (Pre-) dan Pengukuran
Akhir (Post-) Kelompok Eksperimen (EG) dan Kelompok
Kontrol (CG)
136
4.6.a. Rekap Perbandingan Data Hasil Pengukuran Awal (pre-) dan Pengukuran akhir
Kelompok Eksperimen (EG)
139
4.6.b. Rekap Perbandingan Data Hasil Pengukuran Awal (pre-) dan Pengukuran
Akhir Kelompok Eksperimen (EG)
139
19. xix
DAFTAR GAMBAR
Diagram 4.1. Gambaran Umum Kondisi Loneliness Pra- dan PascaKegiatan Terapi Musik Angklung
134
Diagram 4.1.a. Perbandingan Skor UCLA Loneliness Scale Kelompok Kontrol (CG)
Pra- dan Pasca Kegiatan
134
Diagram 4.1.b. Perbandingan Skor UCLA Loneliness Scale Kelompok Eksperimen
(EG) Pra- dan Pasca Kegiatan
135
20. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masa lanjut usia oleh sebagian besar orang dianggap sebagai masa penurunan
yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Pada masa ini terjadi penurunan
kondisi fisiologis, psikologis dan sosial, yang jika tidak dapat dilalui dengan baik
maka akan muncul hambatan-hambatan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Ciriciri usia lanjut yang cenderung menuju pada kesengsaraan serta adanya penyesuaian
diri yang buruk, membuat banyak orang merasa takut untuk menghadapi masa tuanya, ini terjadi khususnya dalam kebudayaan Amerika (Hurlock, 1980). Orang-orang
pada masa usia lanjut seringkali membutuhkan bantuan dan dukungan dari orang lain,
khususnya dari orang-orang terdekatnya seperti keluarga, sahabat dan kelompok
sosial seusianya. Fenomena yang banyak terjadi saat ini mereka seringkali bukan
merasa terbantu ataupun didukung melainkan lebih sering merasa terabaikan
keberadaannya, ini dapat menimbulkan perasaan tertentu dalam diri mereka seperti
sedih, kesepian, tersisihkan, dan marah. Para lansia dianggap tidak memiliki
kemampuan dan keterampilan apapun diusianya yang sudah lanjut. Bahkan mereka
oleh sebagian besar orang dianggap menyusahkan, membebani, dan merepotkan
orang lain. Anggapan ini semakin membuat orang-orang banyak yang cenderung
menjauhkan diri dari keberadaan dan kehidupan orang lanjut usia.
21. 2
Masa tua seharusnya menjadi masa yang paling membahagiakan, karena
merupakan fase paling puncak dari tahapan kehidupan setiap manusia. Pada masa ini,
seseorang seharusnya hanya tinggal menikmati kehidupan setelah selama masa
produktifnya mereka membangun karir dan kehidupan mereka baik secara ekonomi
maupun kehidupan berkeluarga. Namun pada kenyataannya yang terjadi justru
kondisi sebaliknya, dimana mereka justru merasa terbuang, tersisihkan dan terabaikan
dari kehidupan mereka khususnya dari anak dan cucunya. Mereka justru rentan
terhadap perasaan kesepian (loneliness) di masa tuanya. Perasaan ini muncul akibat
kematian pasangan, berkurangnya minat sosial dan kesibukan yang dimiliki oleh para
anggota keluarga lainnya sehingga seringkali meninggalkan para lansia sendirian
tanpa ada yang menemani. Kondisi ini membuat beberapa orang lebih memilih
menitipkan para lansia di panti werdha dengan pertimbangan agar para lansia dapat
beraktivitas dan bersosialisasi disertai pengawasan dari pihak panti.
Penitipan para lansia di panti bukannya membantu mereka untuk lebih merasa
bahagia tapi memunculkan permasalahan baru pada diri para lansia tersebut yaitu
timbul perasaan terbuang dan perasaan kesepian, terutama mereka yang masuk ke
panti bukan keinginan sendiri. Bagi mereka yang masuk ke panti secara sukarela
tidak merasa dibuang namun perasaan kesepian tetap mereka rasakan. Tingkah laku
yang muncul dari para lansia di panti werdha tersebut antara lain seringkali
menyendiri, melamun, duduk bersama-sama tapi saling diam dan sibuk dengan
pikiran serta perasaan masing-masing, bila ada kunjungan meskipun bukan keluarga
mereka merasa senang dan berusaha mempersiapkan diri dan berdandan untuk tampil
22. 3
sebaik mungkin. Mereka akan aktif mendekati dan mengajak berbicara (ngobrol)
dengan orang-orang yang melakukan kunjungan. Mereka mengatakan bahwa mereka
pasrah dengan keadaan yang dialami saat ini namun mereka sering merasa kesepian
meskipun mereka tinggal di panti dengan teman-teman yang sebaya mereka. (Hasil
wawancara dan observasi peneliti terhadap para penghuni di empat panti kotamadya
Bandung, 2007).
Berbagai cara sudah mulai dilakukan untuk mengatasi masalah kesepian yang
dialami oleh para lanjut usia terutama bagi mereka yang tinggal di panti werdha,
seperti memelihara binatang, keterampilan tangan, berkebun, aktivitas keagamaan
dan melalui media musik yang diterapkan dan diselenggarakan oleh pihak panti.
Berbagai cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah baik fisik maupun psikologis
tersebut lebih sering dikenal dengan istilah terapi. Pada dasarnya terapi merupakan
prosedur untuk menyembuhkan atau meringankan suatu penyakit. Terapi sendiri
mampu membantu seseorang dalam mengatasi penyakit atau gangguan yang diderita
sehingga yang bersangkutan dapat berfungsi lagi secara optimal baik untuk dirinya
sendiri maupun orang lain.
Media terapi ada berbagai macam seperti binatang, aktivitas fisik, air, dan
musik. Musik sendiri mulai lebih dikembangkan dan diterapkan sebagai alat terapi
sejak National Association for Music Therapy mendefinisikan terapi musik pada
tahun 1960. Pengembangan serta penerapan ini dilakukan karena unsur-unsur yang
terkandung dalam musik selaras dengan unsur-unsur ritmis dalam tubuh manusia
misalkan denyut jantung, sistem pernafasan, tekanan darah dan lain sebagainya.
23. 4
Mendengarkan musik dapat memberikan efek secara fisiologis maupun psikologis.
Musik ketika didengarkan, mengantarkan gelombang listrik yang ada di otak
pendengar sehingga secara fisiologis terdapat perubahan ritme denyut jantung dan
tekanan darah sesuai dengan frekuensi, tempo, dan volumenya (Wikipedia, 2005).
Selain itu, aktivitas mendengarkan musik dapat pula memberikan efek secara
psikologis seperti membuat seseorang merasa nyaman, bahagia, segar, dan tenang.
Bila aktivitas mendengarkan disertai dengan bermain alat musik maka seseorang
tersebut juga akan merasakan suatu kesenangan, meningkatkan kemampuan
sosialisasi dan komunikasi terutama bila bermain musik dilakukan secara bersamasama. (Djohan, 2006).
Menurut Djohan (2003), banyak penelitian tentang pengaruh musik dimana
dengan mendengarkan musik dapat menimbulkan emosi yang dalam istilah terapi
aktivitas ini dikatakan sebagai aktifnya berbagai kognisi dan perasaan. Dilihat dari
aspek kognitif dan aktivitas otak bisa dikatakan bahwa setiap orang yang sehat dapat
bereaksi terhadap musik baik secara fisik maupun psikis. Sementara dalam penelitian
neurologis dikatakan bahwa separuh otak manusia memiliki tugas untuk memproses
berbagai aspek pengalaman musik (Kaufman & Frisina, 1992 dalam Djohan, 2003).
Sedangkan dalam penelitian tentang emosi sebagai respon terhadap musik
menjelaskan bahwa musik dapat meningkatkan intensitas emosi dan akan lebih akurat
bila ‘emosi musik’ itu dijelaskan sebagai suasana hati (mood), pengalaman dan
perasaan yang dipengaruhi akibat mendengar musik (Sloboda, 1991 dalam Djohan,
2003).
24. 5
Terapi musik umumnya menggunakan metoda mendengarkan musik namun
adapula beberapa kasus lain yang awalnya dimulai dari mendengarkan hingga
menggunakan alat musik untuk dimainkan terutama bagi mereka yang mengalami
keterbatasan fisik dan masalah psikologis lainnya hingga menciptakan dan
mengaransemen sebuah musik atau lagu (Don Campbell, 2002). Dalam beberapa
kasus tersebut alat musik yang digunakan seringkali alat musik dari jenis musik
klasik seperti piano, biola, harpa, bass dan genderang, jarang sekali menggunakan alat
musik tradisional terutama tradisional dari bangsa kita sendiri yaitu Indonesia
(Djohan, 2006).
Jarangnya penggunaan alat musik tradisional bangsa Indonesia dalam terapi
musik menimbulkan suatu pertanyaan dan pemikiran tersendiri bagi peneliti. Asumsi
yang muncul dari peneliti berkenaan dengan jarangnya penggunaan alat musik
tradisional Indonesia yaitu kurangnya sosialisasi, namun pada dasarnya setiap alat
musik dapat digunakan untuk media terapi musik, selama memenuhi kaidah-kaidah
dari music therapy dan dapat disesuaikan dengan permasalahan yang dialami oleh
pasien atau klien. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Djohan (2007) bahwa setiap alat
musik baik itu yang moderen maupun tradisional memiliki warna musik masingmasing yang bersifat khas dan berbeda satu sama lain serta dapat digunakan dalam
terapi secara psikologi. Setiap bunyi yang dihasilkan suatu alat musik maupun
berbagai macam alat musik dapat menjadi sugesti tertentu yang dihayati berbeda
untuk setiap individu. Saat ini mulai dikembangkan alat musik tradisional untuk
25. 6
digunakan sebagai kajian terapi musik, seperti gamelan, dan barok. (penelitian
Djohan, 2007, unpublised research)
Penelitian ini akan mengangkat musik sebagai bentuk terapi dengan
menggunakan alat musik tradisional berupa angklung yang merupakan alat musik
tradisional asli Indonesia tepatnya dari daerah Jawa Barat, karena angklung sedang
menjadi perbincangan hangat dimulai dengan banyaknya seminar-seminar yang
membahas mengenai kesenian angklung sebagai alat musik khas Jawa Barat yang
disampaikan oleh beberapa pemerhati kesenian tradisional Jawa Barat seperti Bapak
Obby A. R. Wiramiharja, Masyarakat Musik Angklung (MMA), serta sebuah pusat
kesenian sunda dan kerajinan angklung yang lebih dikenal sebagai saung angklung
Udjo, selain itu angklung sudah dimainkan dimana-mana bahkan mengglobal sampai
ke mancanegara. Pembicaraan mengenai angklung yang terhangat adalah saat negara
tetangga yaitu Malaysia berusaha mematenkan bahwa angklung merupakan alat
musik yang berasal dari negara mereka. Padahal keberadaan angklung sudah ada
sejak jaman kerajaan Sunda atau kerajaan Pasundan sebelum abad 15 yang digunakan
untuk upacara adat dalam rangka menghormati keberadaan Dewi Sri atau Dewi Padi.
Angklung dimainkan secara bersama-sama oleh para petani sebagai persembahan
terhadap Dewi Sri. Adanya mitos ini dapat dikatakan bahwa angklung merupakan
refleksi dari kehidupan masyarakat petani dimana dapat memberikan semangat dan
kegembiraan bagi para petani untuk terus bercocok tanam (P4ST UPI, 2003). Filosofi
yang ada dalam angklung di atas dapat dianalogikan pada tubuh seorang manusia,
dimana dengan adanya refleksi bahwa angklung dapat memberikan kesenangan dan
26. 7
menambah semangat para petani diharapkan dapat pula dirasakan oleh manusia
secara keseluruhan.
Filosofi angklung yang merefleksikan keadaan yang penuh kesenangan dan
menambah semangat serta efek warna suara yang dihasilkan oleh angklung belum
terbukti secara empiris, sehingga masih perlu diadakan suatu kajian ilmiah terutama
dalam bentuk kajian yang berpengaruh secara psikologis pada setiap diri individu.
Angklung telah dikembangkan oleh bapak Daeng Sutigna dengan mottonya
untuk angklung adalah 5 M: Murah, Mudah, Menarik, Massal, dan Mendidik (Obby
A R. Wiramihardja, 1989). Berdasarkan motto tersebut maka diharapkan siapapun
termasuk para lansia ataupun orang-orang yang mengalami keterbatasan tidak akan
mengalami kesulitan untuk memainkannya. Mereka hanya perlu menggoyangkan
angklung dengan menggunakan sedikit energi yang dikeluarkan tanpa memerlukan
bakat khusus (talenta) di bidang musik, namun hasil yang dirasakan dapat optimal
dan memiliki harmonisasi nada yang indah. Selain itu, mereka juga tidak akan merasa
malu karena mereka cenderung akan memainkan angklung secara bersama-sama
sehingga diharapkan dapat memotivasi mereka untuk bermain dan berlatih, serta
menambah kesenangan dan kegembiraan ketika mendengarkan maupun bermain
angklung. Selain itu, dengan bermain angklung secara bersama-sama diharapkan
dapat pula menambah kemampuan komunikasi, kemampuan sosialisasi, rasa
kepercayaan diri, semangat hidup dan peningkatan penghargaan terhadap diri sendiri
bahwa diri mereka masih mampu melakukannya, masih mampu untuk berkarya dan
menunjukkan keterampilan mereka, karena pada dasarnya lansia terutama yang
27. 8
mengalami penghayatan perasaan kesepian (loneliness) membutuhkan kebersamaan
dengan orang lain.
Pada kenyataannya, di panti jompo Sandbühl, Schlieren Swiss, angklung sudah
sepuluh (10) tahun lebih digunakan sebagai terapi untuk melatih gerakan tangan para
lansia yang sudah tidak terkontrol atau sulit untuk dikontrol. Hal ini menjadi suatu hal
yang ironis, dimana angklung yang merupakan alat musik tradisional Jawa barat
Indonesia lebih dahulu digunakan di luar negeri sebagai alat terapi dibandingkan oleh
kita sendiri sebagai negara asalnya. Namun, hal ini semakin memperkuat motivasi
peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai angklung yang digunakan sebagai
bentuk terapi musik untuk mengatasi permasalahan psikologis yaitu kesepian
(loneliness).
1.2. Rumusan Masalah
Periode lanjut usia adalah periode yang rentan mengalami kesepian yang
disebabkan karena kehilangan pasangan, berpisah dengan anak-anak yang semakin
dewasa, kehilangan relasi dengan teman sebaya. Hasil wawancara dan observasi
peneliti terhadap penghuni yang tinggal di empat panti kotamadya Bandung,
ditunjang dengan hasil liputan wawancara yang dilakukan oleh media Pikiran Rakyat
dan beberapa hasil penelitian terdahulu, sebagian besar penghuni panti werdha
mengalami perasaan kesepian. Tingkah laku yang muncul seperti murung, sedih,
melamun, malas berbaur dengan teman-teman di panti, namun ketika menerima
kunjungan maka mereka sangat antusias untuk menyambut para tamu.
28. 9
Pada dasarnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi perasaan
kesepian,
misalkan
meningkatkan aktivitas
pertemanan,
mengerjakan
hobi,
memelihara binatang peliharaan, aktivitas keagamaan dan mendengarkan musik dari
radio atau televisi. Musik sendiri sudah banyak diteliti dan memiliki pengaruh
terhadap fungsi-fungsi fisiologis, psikologis serta peningkatan suasana hati (mood).
Penelitian-penelitian terdahulu dari terapi musik lebih banyak menggunakan alat
musik dari luar negeri yang lebih bersifat klasik atau moderen, sehingga seringkali
membuat alat musik tradisional terlupakan. Pemikiran peneliti, pada dasarnya semua
alat musik dapat digunakan untuk menjadi bagian dari terapi musik, sehingga alat
tradisional juga dapat dijadikan media dalam terapi musik termasuk angklung.
Berdasarkan pemikiran peneliti di atas, angklung sebagai alat musik tradisional
diharapkan dapat menjadi salah satu kajian dalam terapi musik. Motto angklung yang
dikembangkan oleh Bapak Daeng Soetigna juga menambah nilai dasar dari angklung
untuk dapat digunakan sebagai alat terapi musik. Oleh karena itu, pertanyaan pada
penelitian ini adalah :
“Apakah terapi musik angklung dapat berperan untuk menurunkan
perasaan kesepian pada orang lanjut usia yang tinggal di panti werdha?”
1.3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian
29. 10
Maksud dari penelitian ini adalah mengangkat alat musik angklung sebagai
bagian dari kajian terapi musik yang dapat digunakan untuk kepentingan terapi dalam
bidang psikologi khususnya penurunan perasaan kesepian pada orang lanjut usia.
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh pemberian terapi musik
angklung untuk mengatasi masalah perasaan kesepian (loneliness) yang dialami para
lanjut usia di Panti Werdha yaitu dengan mendapatkan data empiris untuk
mengembangkan bentuk intervensi metode terapi musik dengan menggunakan alat
musik angklung.
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
a. Aspek praktis : rancangan terapi musik dengan menggunakan alat musik
angklung dapat digunakan sebagai keperluan terapi terutama untuk penurunan
perasaan kesepian pada orang lanjut usia.
b. Aspek teoritis : dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan terapi
khususnya terapi musik dengan menggunakan angklung sebagai alat musik
tradisional asli dari daerah Jawa Barat Indonesia, sehingga selanjutnya dapat
menjadi suatu kajian preventif terhadap permasalahan loneliness.
c. Aspek edukatif : hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi penelitian lain dalam mengembangkan rancangan intervensi psikologis
berupa terapi musik dengan menggunakan angklung sebagai alat musik
tradisional asli dari daerah Jawa Barat Indonesia khususnya dalam konteks
31. 12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Usia Lanjut
2.1.1.1. Definisi Usia Lanjut
Psikologi perkembangan biasanya mengacu pada perbedaan organisme sejalan
dengan usia kematangan fisik, dan usia lanjut menunjuk pada perubahan-perubahan
atau diferensiasi yang terjadi setelah usia kematangan fisik (Birren & Schaie, 1977).
Selain itu, terdapat beberapa definisi mengenai usia lanjut, salah satunya adalah yang
dikemukakan oleh Handler (1960; dalam Birren & schaie, 1977:4) yaitu usia lanjut
adalah deteriorisasi atau kemunduran pada organisme yang matang sebagai akibat
dari ketergantungan pada waktu, perubahan-perubahan hakiki yang secara esensial
tidak dapat dikembalikan, yang terjadi pada semua anggota dari suatu spesies,
sedemikian rupa sejalan dengan berlalunya waktu, mereka menjadi semakin tidak
dapat mengatasi tekanan-tekanan lingkungan, sehingga meningkatkan kemungkinan
kematian.
Birren & Schaie (1977) menyatakan bahwa usia lanjut menunjuk pada
perubahan yang teratur yang terjadi pada organisme representatif yang matang secara
genetis, yang hidup di bawah kondisi lingkungan yang representatif sejalan dengan
kelanjutan usia kronologis mereka. Selanjutnya uraian tentang usia lanjut akan dibagi
menjadi 3 aspek yaitu biologis, psikologis, dan sosiologis.
32. 13
2.1.1.2. Karakteristik Usia Lanjut
Usia lanjut merupakan periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang.
Menurut Hurlock (1980), biasanya usia 60 tahun dipandang sebagai garis pemisah
antara usia madya (pertengahan) dan usia lanjut, walaupun telah disadari bahwa usia
kronologis merupakan kriteria yang kurang baik dalam menandai permulaan usia
lanjut karena perbedaan tertentu di antara individu-individu dalam memulai periode
usia lanjut mereka. Menurut Kalish (1977), cara lain untuk mengetahui seseorang
telah lanjut usia adalah dengan melihat perubahan penampilan fisik, kemampuan
kognitif, peran sosial, kesehatan, dan aspek-aspek psikologis tertentu (Turner &
Helms, 1987:433).
Ada beberapa ahli yang membagi usia lanjut ke dalam beberapa tahap.
Menurut Hurlock (1980), masa tua dibagi dalam dua tahap, yaitu:
1. Early old-age (usia 60 - 70 tahun)
2. Advanced old-age (mulai usia 70 tahun ke atas)
Burnside (1979), membagi usia lanjut dalam tahap-tahap sebagai berikut:
l.
Young-old ( usia 60 - 69 tahun)
Merupakan masa transisi utama, karena kebanyakan lansia harus beradaptasi
dengan struktur peran yang baru sebagai usaha untuk mengatasi berbagai
kehilangan yang terjadi pada dekade ini, seperti penurunan pendapatan, teman
mulai berkurang, dan kekuatan fisik mulai menurun.
33. 14
2.
Middle age-old (usia 70 - 79 tahun)
Ditandai dengan berbagai kehilangan dan penyakit, teman dan keluarga semakin
banyak yang meninggal. Selain itu, partisipasi dalam masyarakat makin
berkurang, masalah kesehatan juga sangat terasa. Ada penurunan aktivitas
seksual, yang disebabkan oleh kematian pasangan hidup.
3. Old-old (usia 80 -89 tahun)
Lansia akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan
lingkungan. Mereka membutuhkan bantuan untuk mempertahankan kontak sosial
dan budaya.
4. Very old-old (usia 90 -99 tahun)
Masalah kesehatan akan semakin menjadi-jadi. Bila krisis-krisis pada tahaptahap sebelumnya dapat diatasi dengan baik, maka dekade sembilan puluhan ini
dapat memberikan kebahagiaan, kegembiraan, dan kepuasan.
Berkaitan dengan bervariasinya kriteria usia lanjut, Havighurst (1957)
mengungkapkan bahwa tak ada pembatasan usia lanjut yang pasti, peran sosial lansia
yang lebih menentukan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada Sidang Umum
tentang Lanjut Usia tahun 1991 menetapkan kriteria usia lanjut adalah 60 tahun ke
atas, dan hal ini berlaku secara internasional.
Sama seperti pada tahap-tahap usia lainnya, usia lanjut juga memiliki tugastugas perkembangan, yang menurut Duval (1971, dalam Pikunas, 1976: 366) adalah
sebagai berikut:
1. Menentukan tempat tinggal yang memuaskan untuk menghabiskan masa tua.
34. 15
2. Menyesuaikan diri dengan uang pensiun yang diperolehnya.
3. Mengukuhkan kegiatan rutin rumah tangga yang memuaskan.
4. Memelihara hubungan dengan pasangan hidup.
5. Menghadapi kematian diri sendiri atau mempersiapkan diri hidup tanpa
pasangan.
6. Memelihara hubungan dengan anak dan cucu.
7. Memelihara hubungan dengan kerabat atau sanak keluarga.
8. Memelihara hubungan dengan lingkungan sekitar.
9. Menemukan makna atau arti hidup.
Usia lanjut juga dikatakan sebagai suatu periode kemunduran. Manusia selalu
berubah secara konstan, tidak statis. Selama bagian awal kehidupan seseorang, terjadi
perubahan-perubahan yang sifatnya evolusional, dalam arti bahwa individu selalu
menuju pada kedewasaan dan keberfungsian. Namun pada bagian usia selanjutnya,
mereka tidak evolusional lagi dan perubahan tersebut dikenal dengan istilah ‘menua’,
yang mempengaruhi struktur fisik maupun mental.
Dalam periode usia lanjut, terjadi kemunduran baik fisik maupun mental secara
perlahan dan bertahap, yang prosesnya disebut sebagai senescence, yaitu masa proses
menjadi tua. Seseorang akan menjadi semakin tua pada usia lima puluhan, pada awal
atau akhir usia enampuluhan, tergantung pada laju kemunduran fisik dan mentalnya.
Kemunduran fisik dan mental ini membawa juga perubahan minat dan keinginan
pada lansia. Minat tersebut antara lain meliputi minat terhadap diri sendiri, minat
terhadap penampilan, minat untuk berekreasi, minat untuk melakukan kontak sosial
35. 16
(Hurlock, 1980). Orang akan menjadi semakin dikuasai oleh dirinya sendiri apabila
dirinya bertambah tua, dimana mereka lebih banyak berpikir tentang dirinya sendiri
daripada orang lain dan kurang memperhatikan keinginan atau kehendak orang lain.
Lansia juga cenderung untuk mengeluh tentang kesehatan dan suka membesarbesarkan penyakit ringan yang dideritanya. Lansia juga tampak begitu dikuasai oleh
dirinya sendiri, sehingga mereka tidak habis-habisnya menceritakan pengalaman masa
lalunya setiap saat, berharap untuk dilayani dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Banyak lansia tetap menganggap penting penampilan, tetapi banyak juga yang
menunjukkan sikap tidak perduli terhadap penampilannya. Ada beberapa penjelasan
tentang menurunnya keinginan untuk memperhatikan penampilannya. Semakin aktif
seseorang dengan kegiatan sosial, semakin terangsang mereka untuk merawat diri agar
penampilannya lebih menarik. Sebaliknya, orang yang mengundurkan diri dari kegiatan
sosial, mempunyai motivasi yang lebih rendah dalam menjaga dan merawat
penampilan tubuhnya. Status ekonomi dan tempat tinggal juga mempengaruhi minat
lansia dalam memperhatikan penampilan. Status ekonomi yang rendah akan membuat
lansia lebih memprioritaskan biaya hidupnya untuk kebutuhan sehari-hari. Demikian
juga lansia yang tinggal sendiri mempunyai minat yang lebih rendah untuk menjaga
penampilannya bila dibandingkan dengan lansia yang tinggal dengan pasangan
hidupnya atau dengan anak dan cucunya.
36. 17
2.1.1.3. Aspek Biologis dari Usia Lanjut
Usia lanjut biasanya menunjuk kemunduran pada tubuh dan tingkah laku yang
berkaitan dengan umur (Perlmutter & Hall, 1985). Perubahan-perubahan biologis yang
terkait dengan normal aging terjadi secara bertahap dan kumulatif. Pada proses
menua, tubuh kehilangan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan sel-sel, organorgan, dan jaringan, sehingga akhirnya terjadi kerusakan (breakdown) dalam integrasi
sistem tubuh (Shock, 1977b; dalam Perlmutter & Hall, 1985:82). Saat seseorang
memasuki tahap biologis terakhir dalam hidupnya, kemampuannya untuk beradaptasi
dengan tantangan lingkungan berkurang, sehingga mengurangi kesempatan mereka
untuk bertahan (Rockstein & Sussman, 1979; dalam Perlmutter & Hall, 1985:68).
Proses aging (menua) lebih lanjut diuraikan dalam dua macam proses, yaitu
primary aging dan secondary aging. Primary aging yang juga dikenal sebagai normal
aging, terjadi pada setiap individu. Sifatnya universal dan tidak bisa dihindarkan,
terdiri dari perubahan gradual dan terkait dengan usia, yang bisa diamati pada setiap
anggota spesies. Primary aging ini terjadi lebih awal dalam kehidupan dan
mempengaruhi semua sistem tubuh. Tanda-tanda primary aging yang terlihat antara
lain: rambut yang mulai memutih dan jarang, bercak-bercak pigmentasi di balik
lengan, melambannya gerakan, berkurangnya penglihatan dan pendengaran. Respons
terhadap suhu mulai melamban. Efektivitas sistem kekebalan untuk melindungi tubuh
dari infeksi semakin menurun. Pemulihan akibat pengerahan tenaga fisik
membutuhkan waktu lebih lama. Terdapat pula perbedaan tingkat kerentanan
terhadap penyakit yang dipengaruhi secara genetis.
37. 18
Secondary aging terjadi pada sebagian besar orang, tapi tidak universal dan
dapat dihindarkan. Karena perubahan-perubahan yang diasosiasikan dengan
secondary aging berkorelasi dengan usia kronologis, maka perubahan yang terjadi
sering dianggap sebagai hal yang tidak bisa dihindarkan pada proses primary aging.
Secondary aging adalah hasil dari penyakit, kurangnya latihan (disuse), atau
penyalahgunaan (abuse). Pada lansia, hubungan antara umur dengan penyakit adalah
sangat kuat, hal ini dapat dilihat dari hampir 85 % individu di atas 65 tahun memiliki
sekurangnya satu penyakit kronis dan sekitar 50 % mengatakan bahwa aktivitas
normal mereka dalam beberapa hal dibatasi oleh kondisi mereka (Shanas & Maddox,
1976; dalam Perlmutter & Hall, 1985:70). Selain penyakit kronis yang hanya bisa
dikontrol dan tidak bisa disembuhkan, lansia juga sering mempunyai masalah dengan
penyakit-penyakit akut.
Disuse dapat menyebabkan secondary aging pada semua bagian sistem tubuh.
Kurangnya latihan dapat menyebabkan otot atropi (berhenti pertumbuhannya) dan
menjadi kaku. Banyak lansia tidak melakukan aktivitas atau olah raga karena mereka
berpendapat tidak mampu untuk itu dan karena mereka berpikir bahwa latihan itu
tidak baik untuk mereka. Padahal, dengan tidak menggunakan tubuh mereka, efek
secondary aging menjadi lebih cepat.
Penyalahgunaan (abuse) adalah penyebab ketiga dari secondary aging.
Bentuk yang jelas dari penyalahgunaan yang membawa kerusakan adalah merokok,
minum minuman beralkohol, terlalu banyak makan, dan kurang gizi. Perlakuan yang
tidak baik terhadap tubuh akan membuat tubuh semakin rentan terkena penyakit,
38. 19
seperti kanker, serangan jantung, stroke, hipertensi, diabetes, dan penyakit-penyakit
lainnya.
2.1.1.4. Aspek Psikologis dari Usia Lanjut
2.1.1.4.1. Penginderaan dan Persepsi
Sejalan dengan meningkatnya usia, sistem penginderaan secara perlahan
menjadi kurang sensitif terhadap stimulus dari lingkungan, sehingga dapat membatasi
pengetahuan tentang dunia dan terkadang mengganggu kemampuan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Woodruff (1983; dalam Perlmutter & Hall, 1985:
182) menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan orang muda, orang usia lanjut
berada pada kondisi deprivasi penginderaan. Kondisi ini bertanggung jawab atas
terjadinya disorientasi dan kebingungan, bila tidak terdapat kerusakan organis pada
otak.
Pada lansia terjadi perubahan-perubahan dalam penginderaan, namun yang
penting untuk dikemukakan di sini adalah kemunduran dalam penglihatan dan
pendengaran. Akibat menurunnya kemampuan organ mata, akomodasi mata menjadi
kurang efisien dan fungsi indera visual mengalami kemunduran. Orang usia lanjut
menjadi kurang peka terhadap warna dan mengalami kerusakan persepsi kedalaman.
Sejalan dengan bertambahnya usia, pemrosesan informasi visual menjadi lamban, dan
muncul stimulus persistence (Botwinick, 1973; dalam Perlmutter & Hall, 1985: 186)
yang ditampakkan oleh perubahan dalam sensitivitas terhadap kedipan.
39. 20
Kehilangan kemampuan pendengaran berkembang secara gradual sejalan
dengan usia. Perubahan saraf dapat merusak diskriminasi pengucapan, dan tinnitus
(suara dering, deru, atau dengungan yang persisten di telinga) mungkin juga terdapat
pada
problem
pendengaran
lansia.
Kesulitan
pendengaran
memungkinkan
berkembangnya simptom-simptom paranoid, atau seorang lansia menjadi terisolasi
secara
sosial.
Proses
auditory
yang
lambat
tampaknya
menyebabkan
ketidakmampuan untuk membedakan bunyi ucapan. Meningkatkan intensitas ucapan
belum tentu mengatasi masalah dan stress akan semakin mengurangi kemampuan
tersebut.
Berkurangnya
fungsi
penginderaan
mungkin
merupakan
kehilangan
kemampuan (yang terkait dengan penuaan) yang sifatnya hampir universal.
Bagaimanapun, beberapa orang menunjukkan hanya sedikit kerusakan penginderaan
walaupun telah berusia lanjut.
2.1.1.4.2. Belajar dan Memory (Daya Ingat)
Semua pemfungsian kognitif dapat dimasukkan dalam istilah pemrosesan
informasi, dimana individu mengambil informasi dari lingkungan, kemudian
memanipulasi, menyimpan, mengklasifikasi, dan mendapatkannya kembali. Dengan
proses belajar dan mengingat, informasi ditransfer di dalam sistem, sehingga sulit
untuk memisahkan kedua proses tersebut. Meskipun penuaan biologis terlibat dalam
belajar dan memori, faktor-faktor lain juga penting, termasuk perbedaan
40. 21
pemfungsian kognitif yang didapat dari situasi kehidupan, penurunan ketrampilan
kognitif, dan depresi.
Tingkat penurunan dalam keterampilan belajar dan usia dimana hal itu
dimulai tidak diketahui. Pengkondisian klasikal tampaknya memerlukan waktu lebih
lama dan respons mungkin melemah pada orang dewasa di atas 60 tahun.
Pengkondisian operant tampaknya efektif pada orang dewasa usia berapa pun. Lansia
dapat mempelajari keterampilan kognitif walaupun keterampilan mereka mengalami
deterioriasi karena kurangnya latihan atau kurangnya motivasi. Faktor-faktor yang
memberi kontribusi pada perbedaan usia dalam studi tentang belajar adalah motivasi,
kewaspadaan lansia, distrakbilitas, dan interferensi retroaktif atau proaktif.
Sistem memori meliputi sensory memory, yaitu tempat informasi lingkungan
didaftarkan secara cepat; short term memory, yaitu tempat informasi disimpan dalam
kesadaran; dan long term memory, yaitu tempat ingatan, pengetahuan, dan
pengalaman lampau disimpan. Dalam short term memory, yaitu tempat informasi
diatur untuk pengkodean dalam long term memory, kecepatan dan fleksibilitas
menurun seiring usia. Dalam long term memory, informasi disimpan dalam bentuk
ingatan episodik atau semantik, dan penyimpanan ini tidak dipengaruhi oleh penuaan.
Sejalan dengan usia, terdapat kesulitan untuk mendapatkan kembali ingatan episodik,
tetapi recall ingatan semantik maupun recognition tidak mengalami penurunan berarti.
Pengkodean juga menunjukkan masalah bagi lansia yang disebabkan oleh defisiensi
produksi, dimana lansia gagal menggunakan strategi mengingat secara spontan
walaupun pada saat muda mereka memiliki metamemory yang baik, kegagalan untuk
41. 22
menggunakan strategi mengingat disebabkan oleh penurunan sejumlah energi yang
tersedia pada lansia. Disamping itu, lansia mungkin mengkodekan informasi secara
kurang spesifik dan kurang terdiferensiasi, sehingga untuk mendapatkan kembali
informasi menjadi lebih sulit.
2.1.1.4.3. Proses Belajar dan Pembelajaran (Learning & Education) Pada Lansia
Dalam beberapa buku ada fakta menyebutkan bahwa beberapa para lansia
memiliki motivasi belajar yang sangat tinggi, pengalaman dan tes performance yang
sangat tinggi pula terutama bagi mereka yang masih menggunakan atau menjaga
minat mereka terhadap lingkungan sekitar dan juga bagi mereka yang selalu
menggunakan kemampuan problem solving, mereka akan mengalami sedikit
penurunan drastis akibat dari usia.
Pendidikan memegang peranan penting, karena tingkat pendidikan yang
tinggi menunjukkan daya tahan yang luar biasa terhadap penurunan intelektual
daripada mereka yang berpendidikan rendah. Para lansia yang suka membaca buku
dan mengikuti kursus-kursus, tergabung dalam berbagai aktivitas juga menunjukkan
daya tahan yang tinggi pula. Hal ini memperkuat bahwa usia memiliki keeratan yang
negatif terhadap penurunan kemampuan kognitif seseorang. (Jarvik & Bank, 1983;
Schaie, 1983; Siegler, 1983 dalam Aiken, 1995).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa lansia sebagai orang yang belajar
(older learner) adalah rigid atau ‘tetap dalam cara mereka’. Konsekuensinya, mereka
memiliki kesulitan untuk mempelajari hal baru, bukan karena pengurangan kapasitas
42. 23
tapi karena pengetahuan lama dan kebiasaan dalam cara mendapatkan pembelajaran
baru. Pembelajaran yang berkelanjutan dan penggunaan problem solving pada lansia
dapat bertahan dan bahkan meningkatkan kemampuan intelektual, sikap, dan minat,
yang kesemuanya saling berinteraksi terhadap performance.
Karakteristik older learner yang perlu dipahami oleh para pengajar yaitu :
1. Lansia memerlukan cara pemberian materi yang lebih lambat.
2. Mengulang materi beberapa kali (jika perlu), karena pengulangan dapat
memperbaiki gangguan atau perhatian yang kurang.
3. Ajari para older learner bagaimana cara mengorganisasi atau encode materi
yang dipelajari secara semantik. Asosiasi imaginer, dan teknik mnemonik
lainnya.
4. Menggunakan beberapa reinforcement positif dan meningkatkan pengalaman
atas kesuksesan sebelumnya (jika diperlukan).
5. Merancang tujuan jangka pendek yang dapat dicapai oleh older learner dengan
jangka waktu yang masuk akal.
6. Karena para lansia mudah merasa lelah, waktu untuk praktek dari materi yang
diberikan harus lebih singkat bila dibandingkan dengan younger learner.
7. Ketika mendemokan yang berkaitan dengan kemampuan fisik, usahakan
dijabarkan dengan bantuan lisan untuk setiap tahapan apa saja yang sedang
dilakukan sambil dipraktekan oleh pengajar.
8. Hati-hati dan buat pengecualian bagi para lansia yang mengalami gangguan
visual dan auditory; seperti pencahayaan yang harus lebih terang dan cerah,
43. 24
cara bicara dan alat bantu harus lebih keras volumenya, materi ditulis dengan
tulisan atau huruf yang ukurannya lebih besar, dan sebagainya.
Penurunan dalam kemampuan belajar dan mendapatkan atau memahami
informasi baru dipengaruhi oleh perubahan sensori dan latihan, dan beberapa hal lain
seperti bentuk materi yang terlalu kompleks untuk para lansia. Mekanisme memori
terkandung didalamnya yaitu encoding, storage dan retrival. Hal ini dapat
dipengaruhi pula oleh situasi, tipe informasi dan bagaimana informasi tersebut
digunakan (Lovelace, 1990). Kesulitan yang dialami dari setiap tahapan dapat
mengganggu proses memori (Zacks, Hasher, & Li, 2000). Short Term Memory dan
Long Term Memory serta kemampuan untuk memahami ide-ide baru merupakan
kemampuan mental yang akan mengalami penurunan dikarenakan faktor usia.
2.1.1.4.4. Kepribadian
Banyak orang yakin bahwa penuaan mempengaruhi kepribadian dalam
berbagai cara yang dapat diperkirakan, dan mereka telah mengembangkan ide-ide
stereotipe mengenai perubahan tersebut. Hans Thomae (1980; dalam Perlmutter &
Hall, 1985:272) telah melaporkan bahwa para murid melihat lansia itu keras kepala,
mudah tersinggung, bossy, dan sering mengeluh secara berlebihan. Orang Jerman
menyebut mereka tidak aktif dan menarik diri. Lansia juga digambarkan sebagai
manusia yang tidak kompeten, dependen, dan pasif. Psikiater menganggap mereka itu
kaku (rigid), mudah tersinggung, dan ekstrim. Hurlock (1980) pun menggambarkan
lansia sebagai manusia yang menjengkelkan, dengan sifat-sifat mudah marah, pelit,
44. 25
suka bertengkar, banyak menuntut, egois, semaunya sendiri, dan umumnya sulit
menyesuaikan diri.
Studi-studi menunjukkan bahwa karakteristik kepribadian dari masa muda ke
dewasa tua tidak berubah pada orang dewasa sehat yang tinggal dalam komunitas
(Thomae, 1980; dalam Perlmutter & Hall, 1985:273). Tidak ada masalah mengenai
pendekatan teoritis mana yang digunakan, kepribadian tetap stabil (McCrae &
Costa, 1982; dalam Perlmutter & Hall, 1985:273). Kepribadian cenderung untuk
tetap stabil sepanjang ada kontinuitas situasi kehidupan (Moss & Susman,1980;
dalam Perlmutter & Hall, 1985:277).
Gangguan kepribadian yang timbul pada lansia lebih disebabkan oleh kondisi
sosial yang dapat menimbulkan perasaan tidak aman. Banyak lansia yang
menunjukkan penyimpangan perilaku di bawah tekanan-tekanan yang mereka alami
ketika muda. Kemudian ditimpa oleh tekanan karena masalah yang misalnya
berhubungan dengan kematian pasangan hidup, pensiun, berkurangnya teman, atau
perubahan tempat tinggal (Hurlock, 1980).
2.1.1.4.5. Keterlibatan Komunitas dan Dukungan Sosial
Kehadiran orang dewasa di tempat peribadatan cenderung stabil sampai
umur 65 tahun; lalu mengalami penurunan, yang berkaitan dengan kesehatan.
Perbedaan kohort dan waktu historis yang muncul mempengaruhi kehadiran di
tempat peribadatan. Berbagai penurunan waktu kehadiran di tempat peribadatan
yang sejalan dengan usia, mungkin diimbangi dengan kegiatan religius pribadi, dan
45. 26
tampaknya terdapat peningkatan pemaknaan agama secara pribadi di antara para
lansia.
Meskipun
studi-studi
cross-sectional
mengindikasikan
peningkatan
konservatisme seiring usia, pendidikan, dan situasi historis perlu diperhitungkan
dalam peningkatan tersebut. Kebanyakan orang mempertahankan orientasi politis
saat mereka muda, yang dimodifikasi oleh trend umum dalam masyarakat. Aktivitas
politik cenderung memuncak selama usia 50-an, tapi tidak menurun seiring usia.
Usia dapat digunakan untuk status bantuan, untuk mendapat hak-hak istimewa, atau
untuk menghindari kewajiban tertentu. Diskriminasi melawan orang lanjut usia
biasanya terjadi pada pekerjaan, karena usia bukan lagi prediktor kemampuan atau
kebutuhan, telah dinyatakan bahwa semua program sosial didasarkan oleh
kebutuhan, bukan usia, maka tanda usia lanjut dipindah dari umur 65 tahun ke 75
tahun.
Kebanyakan orang Amerika, termasuk lansia, tinggal di rumah atau
apartemen, dengan kepemilikan rumah yang mantap seiring usia. Meskipun hanya
sejumlah kecil lansia yang tinggal di age-segregated housing, sebagian besar yang
memilih tinggal di tempat tersebut cukup merasa puas. Pindah ke perumahan umum
age-segregated mengakibatkan penurunan pada beberapa individu dan perbaikan
pada individu-individu yang lain. Congregate housing mendukung sosialisasi dan
interdependensi diantara lansia. Memasuki sebuah rumah perawatan seringkali
diikuti oleh penurunan atau kematian, sebagian disebabkan karena individu yang
memasuki institusi itu cenderung memiliki kesehatan yang buruk, sebagian terjadi
46. 27
karena lingkungan biasanya tidak menstimulasi, dan sebagian karena lingkungan
tampaknya mengajarkan ketidakberdayaan. Studi-studi menunjukkan bahwa
mengembalikan beberapa kontrol kepada penghuni akan mengurangi stress,
memperbaiki kesehatan, dan kepuasan. Lansia yang agresif pada umumnya akan
lebih baik daripada yang pasif, dalam suatu institusi.
Program-program sosial tampak didukung oleh publik ketika kelompok yang
memerlukan bantuan tidak memiliki alternatif sumber pertolongan, ketika program
itu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang esensial, ketika program membuat
seorang individu tidak begitu tergantung pada orang lain, dan ketika individu yang
membutuhkan tidak menyebabkan kondisi tersebut. Outreach service mencoba
untuk menempatkan lansia dan menginformasikan kepada mereka berbagai program
pendukung, termasuk pelayanan kesehatan, program nutrisi, pelayanan transportasi,
dukungan sosial, pelayanan hukum, dan foster care. Pelayanan yang suportif
ditujukan untuk meningkatkan partisipasi lansia dalam komunitas, memperluas
kapasitas mereka, dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan peran sosial
yang baru (Perlmutter & Hall, 1985).
2.1.1.5 Aspek Sosiologis dari Usia Lanjut
2.1.1.5.1 Hubungan Keluarga
Hubungan antara kakek-nenek dan cucu dipengaruhi oleh suku, agama,
tingkat sosial ekonomi, dan kepribadian. Ikatan istimewa seringkali berkembang
antara kakek-nenek dengan cucu, dan hubungan ini memungkinkan kakek-nenek
47. 28
melawan norma yang menghargai tingkah laku sesuai umur dan memberi
kesempatan melakukan kontak fisik yang penuh afeksi. Robinson (1989; dalam
L'Abate, 1994:211) menyatakan bahwa hubungan kasih sayang dengan cucu-cucu
dapat membantu mengkompensasikan beberapa hal yang `hilang' karena penuaan,
khususnya jika kakek-nenek tersebut merasa mereka memiliki sesuatu yang berharga
untuk diberikan kepada cucu-cucunya. Wanita lansia mengekspresikan kepuasan yang
lebih besar lagi jika cucu-cucu mereka masih kecil dan jika mereka memiliki tanggung
jawab (meskipun bukan tanggung jawab penuh) untuk membantu cucunya (Thomas,
1989, 1990, dalam L’Abate, 1994. p. 212). Sebagian besar lansia sering
berhubungan dengan anak-anak mereka yang sedang berkembang, menerima
dukungan emosional dan sosial yang konsisten sebagai alat dalam menghadapi krisis.
Banyak keluarga terdiri dari tiga generasi (kakek-nenek, ayah-ibu, anak) dan
kebanyakan lansia yang tinggal bersama-sama anaknya menganggap hal tersebut
adalah kebutuhan, bukan suatu pilihan. Kesenjangan pandangan antara orang tua dan
anak yang telah dewasa tentang hubungan mereka menyebabkan saat orang tua
memasuki usia lanjut, anak-anak yang telah dewasa bertanggung jawab atas dua
generasi selain mereka sendiri. Keluarga yang lebih kecil mungkin akan membuat
lansia di masa mendatang tidak lagi memiliki sumber keluarga yang tersedia seperti
sekarang dan trend ke arah age-irrelevancy membatasi anak yang sedang berkembang
dalam menyediakan pelayanan bagi orang tua yang telah lanjut usia.
Kehidupan lansia pada umumnya ditunjang oleh anak-anak mereka yang telah
dewasa, baik dalam hal materi maupun emosional (Kennedy, 1978). Hal ini
48. 29
menyebabkan lansia lebih memilih untuk tetap tinggal bersama dengan anak-anak dan
cucu-cucunya. Tetapi ada pula lansia yang memilih untuk tinggal berdua saja dengan
pasangan hidupnya, atau untuk lansia yang telah ditinggal oleh pasangannya memilih
untuk tinggal sendiri saja atau di panti werdha (Kennedy, 1978).
Lansia mempunyai keterikatan dan ketergantungan yang semakin kuat dengan
pasangan hidupnya. Orientasi hubungan akan semakin terpusat pada pasangannya,
karena hubungannya dengan anak-anak semakin berkurang. Lansia yang kehilangan
pasangan hidupnya karena kematian akan menghadapi kecemasan, merasa tidak
berdaya dan putus asa, yang disebabkan oleh keinginannya untuk bergantung pada
orang lain dan diperhatikan oleh orang lain (Walsh, 1980).
2.1.1.5.2 Hubungan Sosial
Kemunduran fisik dan mental yang dialami orang yang telah lanjut usia
membuat minat dan keinginannya mengalami perubahan. Minat tersebut antara lain
meliputi minat terhadap diri sendiri, yaitu minat terhadap penampilan, minat untuk
berekreasi, dan minat untuk melakukan kontak sosial (Hurlock, 1980). Orang akan
menjadi semakin dikuasai oleh dirinya sendiri apabila bertambah tua, dia lebih
banyak berpikir tentang dirinya sendiri daripada orang lain dan kurang
memperhatikan keinginan atau kehendak orang lain. Lansia juga cenderung untuk
mengeluh tentang kesehatan dan tampak dikuasai oleh dirinya sendiri, sehingga tidak
habis-habisnya menceritakan pengalaman masa lalunya setiap saat. Lansia juga
berharap untuk dilayani dan selalu menjadi pusat perhatian.
49. 30
Lansia cenderung untuk tetap tertarik pada kegiatan rekreasi yang biasa mereka
lakukan pada masa muda, dan hanya mengubah minat tersebut bila benar-benar
diperlukan. Perubahan minat untuk berekreasi biasanya terjadi karena dahulu lansia
disibukkan oleh pekerjaan dan keluarga, namun kini menjadi lebih banyak
mempunyai kesempatan untuk berekreasi. Kegiatan rekreasi atau kegiatan mengisi
waktu luang meliputi membaca, menulis surat, mendengarkan radio, menonton
televisi, berkunjung ke rumah teman atau saudara, menjahit, menyulam, berkebun,
piknik, jalan-jalan, bermain kartu, menonton bioskop, ikut serta dalam organisasi
kemasyarakatan atau organisasi keagamaan. Lansia yang tinggal di panti werdha
mempunyai bentuk rekreasi yang disesuaikan dengan kondisi fisik dan mentalnya
(Hurlock, 1980).
Dengan bertambahnya usia, sebagian orang merasa kehilangan keterlibatan
sosialnya atau merasa lepas dari lingkungan sosialnya. Pada usia lanjut, hal ini
dirasakan dengan berkurangnya partisipasi sosial atau kontak sosial. Cumming &
Henry (1981) mengemukakan bahwa pelepasan diri secara sosial (social
disengagement) dilakukan oleh lansia atas kemauannya sendiri atau karena terpaksa.
Dalam hal pelepasan diri secara sukarela, lansia menganggap bahwa keterlibatan
sosial sudah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Pelepasan diri dari kegiatan
sosial secara terpaksa dilakukan apabila lansia menginginkan dan memerlukannya,
atau karena kondisi-kondisi tertentu, seperti meninggal dunia, pindah rumah, kondisi
fisik yang tidak memungkinkan lansia beraktivitas seperti dulu. Keterlibatan atau
pelepasan diri tersebut dapat menentukan kepuasan pada masa tuanya. Menurut
50. 31
Birren (1964), social disengagement meliputi keterlibatan dengan orang lain
berkurang, pengurangan variasi peran sosial yang dimainkan, dan berkurangnya
partisipasi dalam kegiatan fisik.
Havighurst, Neugarten, dan Tobin (1964) mengatakan bahwa kontak sosial
pada lansia berubah karena keterlibatan berubah. Ada tiga macam sumber kontak
sosial yang sangat dipengaruhi oleh usia lanjut, yaitu persahabatan pribadi yang
akrab, kelompok persahabatan, dan perkumpulan formal (Wood & Robertson, 1978;
dalam Hurlock, 1980). Dalam teori aktivitas yang dikemukakan Havighurst (1964),
dikatakan bahwa lansia dapat memperoleh kepuasan dan kebahagiaan dengan terus
melakukan aktivitas. Orang yang aktif, dapat berprestasi dan berarti bagi orang lain.
Orang yang tidak dibutuhkan dalam kehidupan bersama akan merasa tidak puas dan
tidak bahagia. Hal ini terlihat misalnya pada lansia yang tidak lagi hidup di tengahtengah keluarganya. Lansia tersebut merasa terasing dan tidak dapat berpartisipasi
secara aktif.
Pendapat lain mengatakan bahwa justru setelah orang memasuki usia lanjut
atau pensiun, kontak dengan teman-teman atau keluarga menjadi lebih sering terjadi.
Hal ini disebabkan oleh waktu luang yang tersedia lebih banyak (Turner & Helms,
1983). Hilang atau berkurangnya aktivitas yang harus dilakukan menimbulkan
kebutuhan akan aktivitas pengganti. Umumnya lansia kemudian aktif dalam kegiatan
sosial kemasyarakatan dan melakukan kegiatan yang merupakan hobinya di masa
muda. Namun penyesuaian diri yang demikian tergantung pada sikap dan kebiasaan
lansia pada masa sebelumnya (Pikunas, 916:373). Bila sewaktu muda lansia terbiasa
51. 32
aktif dan mempunyai banyak hobi, dapat melanjutkannya di masa tua, terutama setelah
pensiun. Sedangkan lansia yang sewaktu mudanya tidak mempunyai hobi akan
mengalami kesulitan mencari aktivitas pengganti. Aktivitas sosial juga dipengaruhi
oleh keadaan fisik, sosial dan keuangan (Pikunas, 1976:373).
2.1.2. Gerontology
2.1.2.1. Definisi Gerontology
Study of biological, psikological, medical, sociological and economic factors
having a bearing on old age. Gerontology is an interdisiplinary field based on
the premise that solutions to the problems of aging require the cooperative
efforts of specialists in many fields. (Lewis R. Aiken, 1995).
Dalam gerontologi terdapat gabungan dari beberapa ilmu seperti biologi,
psikologi, sosiologi, medis dan ekonomi untuk melihat dan mengatasi permasalahan
yang terjadi dalam proses penuaan seorang manusia. Seringkali terjadi tumpang
tindih dalam aktivitas para ahli yang meneliti mengenai gerontologi. Gerontologi
merupakan disiplin ilmu yang bersifat aplikatif yang diperuntukkan bagi peningkatan
kesehatan dan kehidupan yang layak bagi para orang lanjut usia.
Proses penuaan sendiri akan berbeda bagi setiap individu, dimana didalamnya
terdapat perubahan mulai dari penampilan fisik, sistem organ internal, sensasi,
persepsi, gerakan (movement), kondisi psikis, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi.
Perubahan tersebut lebih banyak merupakan perubahan ke arah kemunduran, hal
52. 33
inilah yang sering membuat banyak orang menjadi takut untuk menghadapi masa
tuanya.
Usia berhubungan dengan perubahan kulit, otot dan tulang pada setiap tubuh
manusia. Kulit akan terlihat keriput, splotchier, colagen berkurang, elastisitas
berkurang, kasar, varises, rambut beruban dan menipis, serta tubuh terlihat mengecil.
Pada saat proses penuaan terdapat pula penurunan secara umum pada sel-sel dan
tissues dari semua organ internal, yang menghasilkan penurunan pada efisiensi
fungsi-fungsi dari cardio vascular, pernapasan, musculoskeletal, gastrointestinal dan
genitourinary systems.
Penurunan jumlah neurons dalam otak, aliran darah ke otak, dan kecepatan
impuls nerve memberi efek pada kapasitas otak untuk memproses informasi pada usia
lanjut. Pola tidur pun berubah, dimana mereka memiliki waktu tidur yang kurang dan
tidak seperti orang-orang yang lebih muda usianya.
Usia juga berhubungan dengan penurunan fungsi-fungsi panca indera,
misalkan pada mata, paling banyak gangguan yang terjadi adalah presbyopia, tapi
katarak dan glukoma juga merupakan gangguan serius yang terjadi pada para lansia.
Penglihatan mereka akan sangat terbantu bila mereka menggunakan kacamata,
pencahayaan yang sangat memadai, dan bentuk tulisan yang besar. Pada
pendengaran, para lansia akan mengalami penurunan pada sensitivitas mendengar di
frekuensi yang rendah. Penurunan fungsi pendengaran ini dapat dikurangi dengan
menggunakan alat bantu pendengaran. Indera pembau, perasa dan peraba serta
53. 34
sensitivitas rasa sakit dan terhadap suhu juga mengalami penurunan seiring
bertambahnya usia.
Pergerakan juga menjadi sulit dan reaksinya menjadi melambat, tapi itu pun
akan berbeda bagi setiap individu sesuai dengan fungsi motorik yang dimiliki. Hal
untuk mempermudah para lansia dalam bergerak adalah dibuatnya alat-alat bantu
seperti tongkat untuk membantu berjalan ataupun layout ruangan yang dibuat
sedemikian rupa agar para lansia tidak mengalami kesulitan untuk bergerak.
2.1.2.2. Kesehatan Mental Lansia
Gangguan mental dapat membuat individu semakin tergantung pada
pertolongan dan perawatan orang lain. Kesehatan mental tidak hanya dilihat dari
ketidakhadiran gangguan-gangguan mental, berbagai kesulitan dan frustrasi, tapi juga
merefleksikan kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan
dengan cara-cara yang efektif dan memuaskan. Orang-orang dewasa lanjut usia lebih
memungkinkan untuk memiliki beberapa jenis penyakit fisik, keterkaitan antara
persoalan-persoalan fisik dan mental lebih umum terjadi pada masa dewasa akhir
dibandingkan pada masa dewasa awal (Birren & Sloane, 1985). Sekitar 10 % dari
individu yang berusia diatas 65 tahun, memiliki permasalahan-permasalahan
kesehatan mental yang cukup parah yang memerlukan perhatian profesional (Larve,
Dessonville & Jarvik, 1985; dalam Santrock, 2002).
Jenis gangguan yang lazim dialami adalah depresi, kecemasan, dan alzheimer.
Frekuensi depresi di orang-orang lansia bervariasi (Lewinsohn dkk, 1991). Sekitar
54. 35
80% dari orang lansia yang menunjukkan gejala-gejala depresi, dan sama sekali tidak
mendapatkan perawatan, dan sekitar 25% dari individu yang melakukan bunuh diri di
Amerika antara lain mereka yang berusia lebih dari 65 tahun (Church, Siegel &
Foster, 1988). Kurang lebih 7% dari orang lansia memiliki gangguan kecemasan
(Gatz, 1992). Orang lansia sebenarnya memiliki kemungkinan yang lebih tinggi
untuk mengalami gangguan-gangguan kecemasan daripada depresi (George dkk,
1988 dalam Santrock, 2002).
2.1.2.3. Perkembangan Sosio – Emosional Lansia
Dalam Santrock (2002) terdapat tiga teori penuaan, yaitu :
a. Teori Pemisahan; dimana orang-orang lansia secara perlahan-lahan menarik diri
dari masyarakat (Cumming & Henry, 1961). Teori ini menjelaskan bahwa
pemisahan merupakan aktivitas timbal balik dimana orang-orang lansia tidak
hanya menjauh dari masyarakat, tapi masyarakat juga menjauh dari mereka.
Dalam teori ini juga dijelaskan bahwa orang-orang lansia mengembangkan
suatu kesibukan terhadap dirinya sendiri (self-preoccupation), mengurangi
hubungan emosional dengan orang lain, dan menunjukkan penurunan
ketertarikan terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan.
b. Teori Aktivitas (Activity Theory); dimana semakin orang-orang lansia aktif dan
terlibat, semakin kecil kemungkinan mereka menjadi renta dan semakin besar
kemungkinan mereka merasa puas dengan kehidupannya.
55. 36
c. Teori Rekonstruksi gangguan sosial; dimana penuaan dikembangkan melalui
fungsi psikologis negatif yang dibawa oleh pandangan-pandangan negatif
tentang dunia sosial dari orang-orang lansia dan tidak memadainya penyediaan
layanan untuk mereka. Rekonstruksi sosial dapat terjadi dengan merubah
pandangan dunia sosial dari orang-orang lansia dan dengan menyediakan
sistem-sistem yang mendukung mereka (Kuypers & Bengston, 1973).
Stereotipe orang lansia antara lain banyak lansia menghadapi diskriminasi
yang menyakitkan dan seringkali tersembunyi sehingga sulit untuk melawannya.
Selain itu, seringkali lansia ditolak secara sosial, karena dipandang sudah pikun atau
membosankan. Pada waktu yang lain, mereka mungkin dipandang seperti anak-anak
dan dilukiskan dengan kata-kata sifat sebagai sosok yang ‘mungil dan manis’. Orang
lansia mungkin disingkirkan dari kehidupan keluarga mereka oleh anak-anak yang
melihat mereka sebagai sosok yang sakit, jelek dan parasit. Singkatnya, orang lansia
mungkin dipandang tidak mampu untuk berpikir jernih, mempelajari sesuatu yang
baru, menikmati seks, memberi kontribusi terhadap komunitas, dan memegang
tanggung jawab pekerjaan. Persepsi yang tentu saja tidak berperikemanusiaan, tapi
seringkali terjadi secara nyata dan menyakitkan (Butler, 1987; Chinn, 1991; Cole
dkk, 1993; Gatz, 1992). Seringkali lansia tinggal di dalam institusi-institusi seperti
rumah sakit, rumah sakit jiwa, panti jompo dan sebagainya, namun hampir 95 %
orang lansia tinggal di dalam rumahnya sendiri dan bukan di institusi.
56. 37
2.1.3. Kehidupan Lansia dalam Institusi
Lansia
yang
memasuki
institusi
jangka
panjang
bertujuan
untuk
mendapatkan jaminan untuk bertahan hidup dengan memperlambat deterioriasi lebih
lanjut, dan memperbaiki hilangnya fungsi-fungsi fisik maupun mental. Tujuan ini
sesuai dengan setting tempat tinggal yang memiliki ketetapan perawatan kesehatan
dalam lingkungan sosial yang terstruktur.
Sebuah tinjauan studi mengenai pengaruh institusi mengatakan bahwa lansia
yang diinstitusikan memiliki karakteristik sebagai berikut: penyesuaian diri buruk,
depresi dan tidak bahagia, intelektual tidak efektif, self image negatif, perasaan
tidak berarti dan impoten, pandangan terhadap diri sebagai orang "tua" (Tobin &
Lieberman, 1976). Lansia penghuni panti cenderung menunjukkan minat dan
aktivitas yang rendah. Mereka tampaknya lebih hidup di masa lalu, menarik diri, dan
tidak responsif dalam berhubungan dengan orang lain. Ada beberapa pendapat bahwa
lansia tersebut mengalami peningkatan kecemasan, yang sering berfokus pada
kematian mereka.
Kemampuan lansia untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan institusi juga
dipengaruhi oleh kerelaannya. Menurut Hurlock (1980), apabila lansia, baik laki-laki
maupun perempuan, masuk ke dalam institusi secara sukarela, maka mereka akan
lebih bahagia dan memiliki motivasi yang kuat untuk menyesuaikan diri terhadap
berbagai perubahan mendadak yang diakibatkan oleh institusi.
Berdasarkan salah satu penelitiannya, Townsend (1953), mengemukakan
empat alasan lansia membutuhkan panti werdha, yaitu:
57. 38
1. Karena mereka tinggal sendiri dan tidak ada orang yang menolong bila
mereka sakit.
2. Karena mereka kehilangan tempat tinggal dengan alasan diusir oleh pemilik
tanah, keluarga membutuhkan ruangan untuk anak-anaknya. berselisih dengan
anak atau menantu, keluarga pindah ke tempat lain.
3. Karena kehilangan keluarga yang menunjang penghidupan mereka.
4. Karena keluarga yang menunjang mereka telah menjadi lemah ekonominya
dan tidak dapat memberikan tunjangan lagi.
2.1.4. Panti Werdha
2.1.4.1. Pengertian Panti Werdha
Panti werdha yang disebut juga Sasana Tresna Werdha merupakan unit
pelaksanaan teknis di bidang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia / Jompo,
yang memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi para lansia / jompo berupa
pemberian penampungan, jaminan hidup seperti makanan dan pakaian, pemeliharaan
kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta
agama, sehingga lansia dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir
dan batin (Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut
Usia/Jompo Terlantar Melalui Sasana Tresna Werdha, Departemen Sosial RI, 1986).
Lansia yang diterima oleh panti werdha milik pemerintah adalah lansia yang
berumur 60 tahun ke atas, yang secara fisik dan sosial ekonominya lemah, tidak
berdaya mencari nafkah untuk keperluan hidup sehari-hari, menerima nafkah dari
58. 39
orang lain, hidup terlantar karena tidak ada keluarga atau tidak diketahui keluarganya,
tidak diurus sebagaimana layaknya oleh keluarga, atau karena sesuatu sebab tertentu
lansia tersebut tidak mau hidup dalam lingkungan keluarganya, tetapi ingin disantuni
di dalam panti werdha.
Panti werdha yang dikelola oleh swasta ada dua macam, yaitu panti yang
hanya menerima lansia yang terlantar dan panti yang menerima lansia yang masuk
atas anjuran keluarga dengan membayar sejumlah uang, serta menerima lansia yang
terlantar hidupnya.
2.1.4.2. Tujuan Penyelenggaraan Panti Werdha
Menurut UU No.4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang
jompo dan Surat Keputusan Menteri Sosial RI No. HUK 33/1.50/107/70 jo UU No.6
tahun 1974 tentang ketentuan pokok kesejahteraan sosial, tercantum kebijakan
pemerintah tentang pelayanan dan penyantunan lansia, yaitu:
1. Pemberian bantuan dan santunan kepada lansia dalam panti werdha.
2. Pemberian bantuan dan santunan kepada lansia di luar panti berupa pemberian
bantuan usaha produktif.
3. Bantuan peningkatan kemampuan pelayanan panti pemerintah daerah dan
swasta.
Tujuan didirikannya panti werdha adalah sebagai tempat mencintai dan
menyayangi orang tua yang secara operasional merupakan panti sosial tempat
melayani para lansia jompo dengan memenuhi kebutuhannya (Pedoman Pelaksanaan
59. 40
Bantuan dan Penyantunan Lanjut Usia/Jompo Terlantar di Sasana Tresna Werdha,
Departemen Sosial RI, 1986).
2.1.4.3 Pelayanan di Panti Werdha
Pelayanan
yang
sesuai
dengan
Keputusan
Menteri
Sosial
No.4l
/HIJK/Kep/IX/79 adalah sebagai berikut:
1. Pemeliharaan kesehatan.
2. Pelaksanaan kegiatan yang bersifat rekreatif dan kegiatan lain yang
bermanfaat.
3. Pelaksanaan bimbingan mental spiritual dan kemasyarakatan.
Menurut Hurlock (1980), terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh lansia di panti
werdha, yaitu:
1. Kemungkinan berhubungan dengan teman seusia dan mempunyai minat serta
kemampuan yang yang sejenis.
2. Ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi masa lalu, yang tidak
mungkin diperoleh dalam kelompok generasi yang lebih muda.
Panti werdha menuntut adanya penyesuaian diri yang baik, karena lansia
harus bisa mengikuti ketentuan / tata tertib yang berlaku di panti, juga melakukan
penyesuaian terhadap sesama penghuni lain dan petugas panti.
60. 41
2.1.5. Loneliness
2.1.5.1. Definisi Loneliness
Konsep mengenai loneliness belum dapat didefinisikan dengan baik.
Beberapa definisi mengenai kesepian (Loneliness), antara lain :
”Loneliness berdasarkan pendekatan eksistensial, yang salah satunya yaitu kesepian
dalam hidup yang rapuh (loneliness of a broken life) ditandai kehidupan yang
dibayangi oleh penolakan, pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri,
penyakit, kematian, tragedi, dan krisis yang biasanya tidak hanya mempengaruhi
kesadaran seseorang akan keberadaannya, tetapi juga dunia yang dihuninya,
hubungannya dengan orang lain dan pekerjaannya” (Moustakas, 1961 dalam Turnip,
1997). Dalam kesepian eksistensial manusia sangat menyadari dirinya sebagai
individu yang terisolasi dan terpisah.
“Loneliness disebabkan bukan karena keadaan sendiri (alone), loneliness disebabkan
tidak adanya suatu atau sekumpulan relasi definit yang dibutuhkan individu.
…Loneliness tampaknya selalu merupakan respon dari ketiadaan sejumlah relasi tipe
tertentu, atau lebih akurat lagi, loneliness adalah suatu respon atas ketiadaan sejumlah
relasi khusus yang dibutuhkan.” (Weiss, 1973 dalam Peplau & Perlman, 1982: 4.
dikutip dari Witriani, 2000).
“Loneliness merupakan perasaan deprivasi yang disebabkan oleh kekurangan dari
kontak sosial (dengan orang lain): perasaan bahwa seseorang merasa kehilangan. Dan
sejak seseorang memiliki suatu harapan dari suatu yang tidak ada, loneliness dapat
dikarakteristikan lebih jauh sebagai suatu rasa dari deprivasi yang muncul ketika
61. 42
relasi sosial dengan orang lain tidak terjalin” (Gordon, 1976, p. 26 dalam Peplau &
Perlman, 1982: 4).
2.1.5.1.1. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan Sosial
Menurut sudut pandang sosial, Peplau dan Perlman (1982) menggolongkan
definisi kesepian dalam tiga buah pendekatan, yaitu:
a. Kebutuhan intimasi (need for intimacy)
Pendekatan ini digunakan antara lain oleh Sullivan, Weiss, Fromm
Reichman dan Bowly. Sullivan mengatakan:
"Loneliness ... is the exceedingly unpleasant and driving experience connected
with inadequate discharge of the need for human intimacy for interpersonal
intimacy."
(Sullivan dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)
Kesepian adalah keadaan yang tidak menyenangkan atas tidak terpenuhinya
kebutuhan akan hubungan yang intim atau dekat pada seseorang.
“Loneliness is caused not by being alone but by being without some definite
needed relationship or set of relationships …”
(Weiss dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)
Weiss mengatakan bahwa kesepian bukan disebabkan karena kesendirian tapi
karena tidak adanya hubungan atau satu set hubungan yang dibutuhkan. Maka
seseorang akan mengalami kesepian apabila dalam hubungannya dengan orang
62. 43
lain, ia tidak dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan sosial yang ada dalam
dirinya.
Jadi pendekatan ini menekankan bahwa secara universal manusia
memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan yang intim dengan manusia
lainnya.
b. Proses kognitif (Cognitive processes)
Flanders, Sadler dan Johnson (dalam Peplau & Perlman, 1982)
berpendapat melalui pendekatan ini bahwa kesepian dihasilkan dari
ketidakpuasan seseorang terhadap hubungan sosialnya. de Jong Gierveld
mengatakan:
"We define loneliness as the experiencing of a lag between realized and
desired interpersonal relationship as disagreeable or unacceptable,
particularly when desired interpersonal relationships within a reasonable
period of time."
(Gierveld dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)
Kesepian merupakan keadaan yang disebabkan karena adanya kesenjangan
antar dua jenis hubungan sosial, yaitu jenis hubungan sosial yang diinginkan
dan jenis hubungan yang sesungguhnya atau pada kenyataannya dimiliki oleh
seseorang.
Jadi inti dari pendekatan ini menyangkut persepsi dan evaluasi
seseorang mengenai hubungan sosial manusia.
63. 44
c. Social reinforcement
Pendekatan ini mengatakan bahwa orang mengalami kesepian
disebabkan karena ia merasa adanya kekurangan dalam bentuk hubungan
sosial yang memuaskan. Tingkatan dari kuantitas dan tipe hubungan seperti
apa yang memuaskan bagi seseorang tergantung dari apa yang telah dipelajari
sebelumnya. Young mendefinisikan kesepian sebagai:
"... the absence or perceived absence of satisfying social relationship,
accompanied by symptoms of psychological distress that are related to the
actual or perceived absence ... propose that social relationship can be in part
as a response to the abcence of important social reinforcement."
(Young dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)
Kesepian adalah tidak munculnya hubungan yang dianggapnya
sebagai hubungan sosial yang memuaskan, diiringi dengan munculnya gejala
psikologis yang berhubungan dengan ketidakmunculan tersebut.
Jadi pendekatan ini mendefinisikan kesepian sebagai keadaan yang
diakibatkan
perasaan
ketidakterpenuhinya
hubungan
seseorang
akan
hubungan sosial yang menurut norma sosialnya adalah hubungan yang
memuaskan. Namun pendekatan ini cenderung lebih mengacu pada kebutuhan
sosial daripada pendekatan kognitif.
64. 45
2.1.5.1.2. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan Eksistensial
Menurut sudut pandang eksistensial, kesepian dibagi dalam dua golongan,
yaitu kesepian eksistensial (existential loneliness) dan kesepian kecemasan (anxiety
loneliness) (Moustakas dalam Turnip, 1997).
a. Kesepian eksistensial (existential loneliness)
Kesepian eksistensial adalah kenyataan tak terelakkan sebagai bagian dari
keberadaan manusia (Moustakas dalam Turnip, 1997). Menurut Thomas
Wolfe (dikutip dalam Witriani, 2000) kesepian ini adalah pengalaman
intrinsik dan merupakan kondisi yang menunjang munculnya kreativitas,
melampaui duka, rasa putus asa dan kelumpuhan menyeluruh. Semuanya
menimbulkan dorongan pada seseorang untuk mencari dan menciptakan
bentuk baru serta menemukan cara yang unik untuk menyadari keberadaannya
dan mengekspresikan pengalamannya.
Ada dua bentuk kesepian eksistensial yang utama, yaitu kesepian dalam
kesendirian (loneliness of solitude) dan kesepian dalam hidup yang rapuh
(loneliness of a broken life). Kesepian dalam kesendirian adalah keadaan yang
damai berada sendirian dengan segala misteri yang melingkupi alam semesta,
dalam harmoni dan keutuhan keberadaannya. Kesepian dalam kerusakan
hidup yang rapuh ditandai kehidupan yang dibayangi oleh penolakan,
pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri, penyakit, kematian,
tragedi, dan krisis yang biasanya tidak hanya mempengaruhi kesadaran
seseorang
akan
keberadaannya,
tetapi
juga
dunia
yang dihuninya,
65. 46
hubungannya dengan orang lain dan pekerjaannya (Moustakas, 1961 dalam
Turnip, 1997).
Dalam kesepian eksistensial manusia sangat menyadari dirinya sebagai
individu yang terisolasi dan terpisah.
b. Kesepian kecemasan (anxiety loneliness)
Kesepian kecemasan disebabkan oleh pengasingan diri dan penolakan diri,
jadi bukan kesepian yang sesungguhnya, tetapi kecemasan yang sifatnya
mengganggu dan samar-samar (Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997). Maka
kesepian ini disebabkan oleh kesenjangan yang mendasar antara kesejatian
diri seseorang dengan peran yang harus dijalankannya. Usaha seseorang untuk
mencapai konformitas dengan orang lain dalam lingkungannya, menuruti
segala aturan, meniru orang lain, mencoba menjadi orang lain, keinginan
untuk memiliki kekuasaan dan status dapat meningkatkan keterasingan
seseorang terhadap kesejatian dirinya, membuat orang kehilangan jati dirinya
dan kemudian mengalami kesepian karena tidak mengenali lagi kesejatian
dirinya yang sebenarnya.
Kesepian kecemasan adalah kondisi yang banyak terjadi dalam masyarakat
masa kini. Orang-orang modern sepertinya tidak lagi menikmati pertemanan,
dukungan dan perlindungan dari sesamanya. Mereka hidup dalam komunitas
dengan pola hubungan antar manusia yang telah ditentukan oleh aturan-aturan
66. 47
tingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu (Moustakas, 1961 dalam Turnip,
1997).
Kesepian kecemasan yang terburuk adalah penghayatan ketidakberartian diri,
tidak adanya orientasi pada nilai-nilai, keyakinan, pegangan hidup dan ketakutan
akan keterasingan. Karenanya orang berusaha untuk menghindarinya dan keluar
dari kondisi ini melalui cara berkegiatan dengan orang lain (Moustakas, 1972
dalam Turnip, 1997).
Dalam kesepian kecemasan, manusia terasing dari dirinya sendiri dalam
menghayati keberadaannya.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan kesepian adalah keadaan
yang membuat seorang individu merasa sendiri di dunia ini karena interpretasi dirinya
terhadap lingkungannya.
2.1.5.2. Macam-macam Penyebab Loneliness
Ada dua hal dasar yang menyebabkan kesepian. Pertama, adalah kejadian
yang memicu loneliness; dan kedua, adalah faktor-faktor predisposisi penyebab
loneliness dan membuat orang tetap berada dalam loneliness.
2.1.5.2.1. Kejadian Pemicu Kesepian (Precipitating Event)
Kejadian-kejadian yang menjadi pemicu (precipitating event) munculnya
perasaan loneliness yaitu sebagian besar dari menurunnya tingkat relasi sosial
seseorang, seperti berakhirnya suatu hubungan suami istri, ditinggalkan orang
67. 48
terdekat, diabaikan keberadaannya, khususnya untuk para lansia ditinggal pasangan
hidup yang meninggal dan teman sebayanya sudah banyak yang meninggal, anakanak sibuk dengan urusan masing-masing dan para lansia seringkali tidak dilibatkan
dalam urusan anak-anak dan cucu-cucu mereka adalah beberapa contohnya. Perasaan
loneliness tidak hanya disebabkan oleh ada atau tidak adanya relasi sosial, tapi juga
dari aspek kualitatif relasi sosial seseorang. Bila seseorang merasa tidak puas dengan
relasi sosial yang dimilikinya saat itu dapat memunculkan perasaan kesepian.
Munculnya perasaan kesepian juga dapat dipicu oleh perubahan dalam keinginan
seseorang akan bentuk relasi sosial mereka terutama bila keinginan tidak terjadi
dalam kejadian nyata. Seseorang yang memiliki hambatan dalam kemampuan
bersosial membuat ia mengalami kesulitan untuk membangun dan mempertahankan
hubungan sosial yang memuaskan.
Kejadian yang menjadi pemicu kesepian dapat ditinjau dari 2 pendekatan,
yaitu pendekatan sosial dan pendekatan eksistensial.
Menurut pendekatan eksistensial, kesepian dapat dipicu oleh beberapa hal,
seperti misalnya karena rasa frustasi akan kebutuhan kasih sayang dan perlindungan
yang tidak diperoleh, sebagaimana umumnya terjadi pada masa kecil; pada usia
dewasa dapat terjadi karena kegagalan berhubungan dengan orang lain atas dasar
cinta, ketulusan dan kedalaman hubungan. Kesepian dapat juga dipicu oleh hilangnya
kehangatan manusiawi yang asli dan munculnya kepura-puraan dalam suara maupun
senyuman, serta kata-kata dan pertemuan yang basa-basi; masuk ke rumah sakit atau
68. 49
rumah jompo juga dapat memicu kesepian karena keterasingan yang dirasakan
(Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997).
Sedangkan menurut pendekatan sosial, Peplau dan Perlman (1982)
mengatakan ada dua macam perubahan dalam hal ini, yaitu:
a. Hubungan sosial aktual pada seseorang
Yaitu perubahan dalam hubungan sosial aktual seseorang sehingga berada di
bawah level optimal seperti berakhirnya suatu hubungan yang dekat karena
kematian, perceraian, atau putusnya hubungan cinta, atau juga perpisahan secara
fisik dengan orang-orang yang dicintai, seperti pindah ke komunitas baru, dan lainlain.
Contoh-contoh di atas dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian, karena
Peplau & Perlman (1982) mengatakan bahwa kesepian disebabkan bukan hanya
karena seseorang punya atau tidak jalinan hubungan dengan orang lain, tapi juga
dipengaruhi oleh aspek kualitas dalam suatu hubungan sosial.
b. Adanya perubahan dalam kebutuhan atau keinginan sosial dalam diri seseorang
Dengan adanya perubahan usia, maka ada perubahan-perubahan lain yang akan
mengikuti dalam diri seseorang, di antaranya adalah kebutuhan dan keinginan
sosial. Sehingga dengan demikian, kebutuhan atau keinginan sosial yang telah
terpenuhi sekarang belum tentu akan sesuai untuk orang yang sama dalam
beberapa tahun mendatang. Hal ini dapat menyebabkan kesepian.
69. 50
2.1.5.2.2. Faktor Predisposisi dan Bertahannya Gejala Kesepian
Faktor predisposisi dan bertahannya kesepian dikelompokkan menjadi faktor
psikologis dan situasional. Banyak faktor psikologis dan situasional yang
meningkatkan kerentanan seseorang terhadap munculnya kesepian. Faktor-faktor
tersebut meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami kesepian dan juga
menyulitkan baginya untuk membangun kembali hubungan sosial yang memuaskan.
Middlebrook (1980) menggolongkannya sebagai berikut :
a. Faktor psikologis
1. Kesepian eksistensial
Terbatasnya keberadaan manusia yang terpisah dari orang lain sehingga ia
tidak mungkin berbagi perasaan dan pengalaman dengan orang lain; dia harus
mengambil keputusan sendiri dan menghadapi ketidakpastian.
2. Pengalaman traumatis
Kehilangan seseorang yang sangat dekat secara tiba-tiba bisa menyebabkan
orang merasa kesepian; tetapi dia akan lebih sanggup menghadapi kesepian
bila sering mengalaminya atau orang itu sendiri yang mulai untuk menjauh
dari orang yang dekat padanya.
3. Kurang dukungan dari lingkungan
Orang bisa
mengalami kesepian bila
merasa tidak sesuai dengan
lingkungannya, sehingga ia menganggap dirinya diabaikan atau ditolak oleh
lingkungan.
70. 51
4. Krisis dalam diri dan kegagalan
Seseorang bisa kehilangan semangat dan menghindar dari lingkungannya bila
merasa harga dirinya terganggu karena harapannya tidak terpenuhi; hal ini
dapat menyebabkan timbulnya gejala kesepian pada orang itu.
5. Kurang rasa percaya diri
Kesepian dapat terjadi bila seseorang kurang dapat mengungkapkan diri
sepenuhnya dan hanya mampu berhubungan secara formal saja. Meskipun ia
bisa berhubungan sosial dengan cukup baik, ia tetap merasa kurang dilibatkan.
6. Kepribadian yang tidak sesuai dengan lingkungan
Orang-orang dengan temperamen tertentu seperti pemalu dan yang tidak
mampu berhubungan sosial akan menarik diri dari lingkungan.
7. Ketakutan untuk menanggung resiko sosial
Seseorang merasa takut untuk terlalu dekat dengan orang lain, karena
khawatir akan ditolak. Ia melihat kedekatan sosial sebagai sesuatu yang
berbahaya dan penuh resiko.
b. Faktor situasional
1. Takut dikenal orang lain
Seseorang yang takut dikenal secara mendalam oleh orang lain akan
cenderung menghilangkan kesempatan untuk berhubungan dekat dengan
orang lain, sehingga ia tidak punya teman berbagi rasa.
71. 52
2. Nilai-nilai yang berlaku pada lingkungan sosial
Nilai-nilai yang dianut seperti privasi dan kesuksesan membuat seseorang
terikat.
3. Kehidupan di luar rumah
Rutinitas di luar rumah seperti sekolah, kuliah, dan kerja menyebabkan
kurangnya kehangatan hubungan seseorang dengan orang-orang tertentu.
4. Kehidupan di dalam rumah
Rutinitas di rumah seperti jam-jam makan, tidur, mandi, menyebabkan
kejenuhan pada pelakunya.
5. Perubahan pola-pola dalam keluarga
Kehadiran orang lain atau perginya seseorang dari keluarga menyebabkan
terganggunya hubungan antar anggota keluarga.
6. Pindah tempat
Sering berpindah-pindah menyebabkan seseorang tidak dapat menjalin
hubungan yang akrab dengan lingkungan baru.
7. Terlalu besarnya suatu organisasi
Bila populasi yang terdapat dalam suatu organisasi terlalu besar, akan sulit
bagi seseorang untuk mengenal satu sama lain secara lebih dekat; perkenalan
terjadi hanya di permukaan saja.
8. Desain arsitektur bangunan
Bentuk bangunan modern yang canggih membatasi interaksi sosial dan
membuat anggota masyarakat menjadi individualistis.
72. 53
Sementara itu Moustakas juga mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab
kesepian adalah penolakan atau pengabaian semasa kanak-kanak (Moustakas, 1961
dalam Turnip, 1997). Tingkah laku yang menyebabkan terjadinya kesepian pada
seseorang adalah usaha untuk mencapai konformitas dengan orang lain, mencoba
menjadi orang lain, usaha untuk mencapai status dan kekuasaan yang tidak sesuai
dengan kemampuannya yang sebenarnya, semua itu dapat membuat seseorang
terasing dari dirinya sendiri (Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997).
Kesepian kecemasan disebabkan karena pertahanan yang dilakukan terhadap
keadaan dunia yang tidak bersahabat, perlawanan terhadap rasa sakit dan keinginan
untuk mencari kasih sayang dan rasa aman. Sementara kesepian eksistensial
disebabkan karena keberadaan manusia itu sendiri;
“The constant, everlasting weather of man’s life is not love but loneliness.
Love is the rare and precious flower but loneliness pervades each new day
and each new night”
(Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997)
Keberagaman seseorang dan adanya faktor sosial dapat menyebabkan
seseorang rentan terhadap kemungkinan kesepian. Keberagaman tersebut oleh Peplau
& Perlman (1982) disebutkan sebagai berikut:
a. Karakteristik personal
Peplau & Perlman (1982) menyebutkan bahwa karakter orang-orang
lonely yaitu pemalu, introvert, dan tidak punya cukup keinginan untuk
mengambil resiko dalam berhubungan sosial.
73. 54
b. Faktor kebudayaan dan situasi
Para sosiolog memberi masukan bahwa keadaan kesepian dapat
meningkat akibat nilai-nilai kebudayaan yang berlaku di lingkungan
seseorang.
2.1.5.3. Karakteristik Orang-Orang yang Mengalami Kesepian
Peplau dan Perlman (1982) mengemukakan karakteristik utama orang-orang
yang biasanya terisolir dari orang lain yang bukan keluarga adalah mereka yang
berpendidikan rendah, memiliki pemasukan dana yang rendah, berusia lanjut atau
sudah tua, sudah menikah, tidak bekerja, dan terutama wanita.
2.1.5.4. Pengalaman dari Kondisi Kesepian
2.1.5.4.1. Manifestasi Afektif
Kesepian adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Fromm-Reichman
(dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa kesepian adalah salah satu
keadaan yang menyakitkan dan mengerikan. Sedangkan Weiss mengatakan bahwa
kesepian adalah stres yang mengganggu tanpa bentuk yang jelas.
Peplau dan Perlman (1982) mengemukakan bahwa kesepian berkorelasi
dengan depresi. Orang yang kesepian biasanya kurang bahagia, kurang puas, lebih
pesimistis dan lebih depresif (Bradburn, 1969; Perlman, Gerson, Spinner, 1978 dalam
Perlman & Peplau, 1982). dan kecemasan, sehingga banyak tanda-tanda fisik yang
menyertainya, seperti gangguan makan atau tidur, sakit kepala dan mual-mual.
74. 55
Mereka juga rentan terhadap penyakit.
Penelitian terdahulu menemukan bahwa Orang yang kesepian juga sering
merasa tegang, gelisah, dan bosan (Loucks, 1971 dalam Peplau & Perlman, 1982).
Mereka juga cenderung lebih kasar terhadap orang lain (Moore & Sermat, 1974;
Loucks, 1974 dalam Peplau & Perlman, 1982). Hasil yang sama didapat dari sample
mahasiswa dan lansia yaitu munculnya rasa marah, menutup diri, kosong dan
canggung (Perlman et al, 1978).
Menurut Moustakas (1961 dalam Turnip, 1997), manifestasi afektif dari
kesepian kecemasan adalah duka cita dan rasa kehilangan yang mendalam dan tidak
dapat dihindari; sedang depresi yang terjadi menyeluruh berakibat kehampaan dan
rasa putus asa. Muncul juga rasa inferior dan rasa nyeri serta penderitaan karena
orang yang bersangkutan merasa tidak dicintai dan diabaikan.
2.1.5.4.2. Manifestasi Motivasional
Dua kontradiksi muncul dalam manifestasi ini. Satu sisi mengatakan bahwa
kesepian sebagai sesuatu yang merangsang. Sullivan (1953) menyatakan bahwa
loneliness adalah dorongan, kekuatan yang memotivasi orang untuk mencari interaksi
sosial walaupun mereka merasa cemas untuk melakukannya.
Sisi lainnya mengatakan bahwa kesepian menurunkan motivasi. Fromm &
Reichman (1959) menyatakan bahwa kesepian yang sesungguhnya menyebabkan
ketidakberdayaan yang melumpuhkan dan kesia-siaan yang pasti dihadapi. Penelitian
Perlman (unpublishes research) menemukan
bahwa
orang yang kesepian
75. 56
mengeluarkan pernyataan apatis seperti “Kekuatan saya sepertinya sering menjauh
dari saya” dan menolak pernyataan “Saya mempunyai banyak energi”.
2.1.5.4.3. Manifestasi Kognitif
Ada bukti yang menyatakan bahwa pada umumnya orang yang kesepian
kurang sanggup berkonsentrasi secara efektif (Perlman, unpublishes research). Orang
yang kesepian biasanya juga sangat sadar (aware) dan sangat terfokus terhadap
dirinya (Jones, Freemon, Goswick, 1981). Weiss (dikutip dalam Witriani, 2000)
mengatakan bahwa orang yang kesepian biasanya bersikap sangat waspada dalam
hubungan interpersonal.
Apabila seseorang yang kesepian memiliki kepribadian yang stabil, maka
kemungkinan dialaminya depresi pun berkurang (Michela, Peplau, Weeks, 1980).
2.1.5.4.4. Korelasi Tingkah Laku dengan Kesepian
Menurut Moustakas (1961) tingkah laku yang menyertai kesepian antara lain
ketidakbahagiaan, kesedihan yang mendalam, kepura-puraan, kepalsuan, mengenali
orang lain pada permukaan saja, kegagalan mencari makna eksistensi yang sering
menimbulkan ketakutan akan munculnya kesepian.
Orang yang kesepian biasanya juga menjadi mudah curiga, dan mudah sekali
terluka hatinya, bahkan oleh kritik yang paling halus sekalipun (Moustakas, 1961).
Mereka bisa terjerumus ke dalam kesedihan yang pasif; menangis, tidur, makan,
76. 57
menonton televisi terus menerus adalah contoh manifestasinya (Deaux, Dane,
Wrightsman, 1993).
2.1.5.4.5. Konsekuensi Sosial dan Kesehatan
Konsekuensi
kesepian
tidak
hanya
dirasakan
oleh
individu
yang
bersangkutan, melainkan juga oleh masyarakat sekitarnya sebagai satu kesatuan.
Misalnya, banyak remaja yang dihinggapi kesepian menampilkan tingkah laku yang
menyimpang sehingga merugikan masyarakat sekitarnya, misalnya kebiasaan
membolos, ketergantungan obat, delikuensi, perkelahian masal dan tindakan-tindakan
destruktif lainnya (Brennann & Auslander, 1979), bahkan ada yang sampai bunuh diri
(Wenzs, 1977).
Kesepian berkorelasi dengan depresi dan kecemasan; sehingga banyak tandatanda fisik yang menyertainya, seperti gangguan makan atau tidur, sakit kepala, mualmual (Perlman & Peplau, 1982). Kesepian juga berkorelasi dengan frekuensi minum
alkohol (Rubenstein & Shaver, 1982). Orang yang kesepian cenderung menjadi
alkoholik sebagai respon terhadap masalah pribadi dan stress (Perlman, unpublished
research). Mereka juga lebih rentan terhadap penyakit (Peplau, Russel & Cutrona,
unpublished research).
Beberapa pengertian tentang perasaan kesepian (loneliness) telah diberikan
oleh para ahli sosial terdahulu, namun dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik
suatu benang merah mengenai pandangan mereka mengenai perasaan kesepian yaitu