Ini versi Director's Uncut yang panjang, sampai 2000 kata lebih dan sangat teknis, berisi ilustrasi teknis bagaimana membelajarkan karakter lewat pembelajaran tentang membandingkan pecahan. Versi pendeknya dimuat di harian KOMPAS 14 Desember 2012.
1. Kasmaran 1 Berilmu-pengetahuan 2:
Sebuah Catatan untuk Draf Kurikulum Matematika SD 2013 3
Iwan Pranoto
Dikisahkan, sesudah perang usai dan Belanda memegang kekuasaan, pengikut setia Pangeran
Diponegoro bernama Kiai Song mengasingkan diri bersama para pengikut setia lainnya. Di tempat
pengasingan di dekat Yogyakarta – sekarang tempat ini dikenal sebagai Kasongan – beliau menetap dan
membelajarkan kepada para ibu-ibu cara membuat gerabah. Awalnya, gerakan belajar membuat
gerabah ini adalah gerakan “produktivitas” untuk bertahan hidup secara ekonomi dan politik. Namun,
kegiatan membuat gerabah ini lebih utamanya membelajarkan para ibu-ibu semangat perlawanan dan
kepejuangan, keuletan, keteguhan, dan juga “pelampiasan emosi.” Ini bermakna bahwa masyarakat
yang awalnya belajar membuat gerabah, sekarang meningkat menjadi membuat gerabah untuk belajar
nilai dan sikap-sikap mulia manusia. Proses membuat gerabah yang sepele menjadi secara total dihayati,
seluruh sanubari diri pembuatnya melebur ke dalam kegiatan tersebut, seperti orang sedang kasmaran.
Pembuatan gerabah sekarang melibatkan rasa takjub, kesungguhan, penuh integrasi, dan gairah total.
Tataran berkegiatan pembelajaran ilmu pengetahuan atau pun ketrampilan seperti itu dalam tulisan ini
diistilahkan sebagai kasmaran berilmu-pengetahuan. Yang tadinya, produknya adalah benda mati,
selanjutnya produknya adalah pengembangan diri dengan pencerahan pada nilai-nilai luhur manusia.
Kegiatan membuat gerabah menjadi suatu kegiatan yang mulia. (Kisah tentang Kiai Song ini diambil dari
buku Surat Malam untuk Presiden, karya Acep Iwan Saidi.)
Jika saja gerakan kebudayaan oleh Kiai Song di atas dipandang dari sudut pendidikan dan saat sekarang
hendak disalin pada persekolahan di abad 21 ini, bagaimana bentuk kurikulumnya? Tulisan ini berusaha
menjawabnya.
Kasmaran Berilmu-pengetahuan
Secara umum, harus diakui bahwa kurikulum nasional dan juga dokumen standar yang digunakan
sekarang tidak sempurna. Namun ketidaksempurnaan dokumen-dokumen ini bukan satu-satunya
sumber permasalahan. Permasalahan di persekolahan kita adalah kegagalan mengangkat kegiatan
belajar menulis menjadi menulis untuk belajar (berpikir.) Dari learning to write menjadi writing to learn
1
Kata “kasmaran” diusulkan oleh Prof. Bambang Hidayat saat di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 7
November 2013.
2
Di Harian KOMPAS, kata “berilmu pengetahuan” terkesan dianggap sebagai “memiliki pengetahuan.” Saya pikir
sebetulnya lebih pas sebagai “berilmu-pengetahuan” sebagai padanan dari “bermatematika” yang saya
terjemahkan dari “doing mathematics.” Jadi, “doing science” itu lah yang saya maksud dengan “berilmu-
pengetahuan.” Kata ini lebih dari sekedar memiliki ilmu pengetahuan, tetapi berilmu-pengetahuan itu melibatkan
sifat berpetualang, bertanya, dan bersikap bersahaja, bukan sok tahu.
3
Tulisan ini saya buat pada beberapa minggu, dari saat sebelum saya membaca draft kurikulum baru, sampai saya
baca. Yang dimuat di Kompas adalah versi sebelum saya membaca draft kurikulum matematika yang baru. Versi
Director’s Uncut ini merupakan versi yang berisi catatan tentang usulan kurikulum matematika. Juga, di bagian
akhir tulisan, saya memberikan ilustrasi bagaimana membelajarkan karakter melalui bermatematika, bukan materi
matematika. Bgaian ini sangat teknis, saya tak yakin ada harisn yang mau memuat, kecuali majalah sains populer,
mungkin.
2. (and think.) Padahal keadaan menulis untuk belajar itu lah tanda kasmaran berbahasa. Hal yang sama
terjadi di hampir semua mata pelajaran. Dalam matematika, kegagalan terjadi dalam upaya mengangkat
dari kegiatan belajar berhitung menjadi berhitung untuk belajar (berpikir.) Gagal mengangkat learning to
compute menjadi computing to learn and think. Padahal kemampuan berhitung untuk belajar dan
berpikir ini lah tanda kasmaran bermatematika. Secara analogi, dalam kasus Kiai Song di atas, kegagalan
pendidikan saat ini terjadi pada saat kegiatan siswa di persekolahan sekedar berkutat di jenjang belajar
membuat gerabah. Kesulitan terjadi pada upaya mengangkat kegiatan membuat gerabah menjadi
membuat gerabah untuk belajar nilai dan sikap-sikap luhur manusia.
Para peserta didik pada umumnya sekarang ini belum di jenjang kasmaran berilmu-pengetahuan. Ilmu
pengetahuan sekarang baru sekedar sesuatu yang diingat. Ilmu pengetahuan masih terlepas dari diri
pemelajarnya. Siswa yang berfisika pada umumnya belum mencapai tataran takjub dan kasmaran
terhadap rumus F = ma. Kebanyakan siswa belum mencapai jenjang kasmaran terhadap rumus
sederhana tersebut yang memodelkan pena jatuh sampai pergerakan benda di angkasa. Kebanyakan
siswa belum mampu kasmaran terhadap rumus Bernoulli yang memungkinkan sayap sederhana dan
relatif kecil dibanding badan pesawat, berpenampang gemuk di tengah dapat mengangkat pesawat
dengan bebannya yang berton-ton. lmu pengetahuan masih sekedar dikumpulkan dan disimpan untuk
ditumpahkan lagi saat ujian, namun belum berilmu-pengetahuan sampai mampu mengubah jati diri
pemelajar dalam berperilaku dan berpikir.
Tentu betul bahwa semua harus mulai belajar menulis dahulu sebelum dapat menulis untuk belajar.
Harus dapat membuat gerabah dahulu dan tangan kotor berlumuran tanah liat, sebelum dapat
memahami membuat gerabah untuk belajar sikap dan nilai-nilai luhur. Para pengikut Kiai Song harus
cakap membuat celengan dari tanah liat dahulu, sebelum memaknai nilai “menahan hasrat” yang
terkandung dari makna celengan. Namun, kurikulum yang baik harus memudahkan guru merekacipta
tahapan pembelajaran yang terstruktur jelas guna memungkinkan siswa berkembang mulai dari proses
menyerap pengetahuan dan ketrampilan, sampai mengembangkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi
dan memekarkan sikap serta sikap-sikap universal.
Sejalan dengan hal itu dan dalam konteks kehidupan sekarang, para siswa yang mempelajari mata
pelajaran berdasarkan kurikulum baru pada akhirnya harus berproses menjadi memahami mata
pelajaran itu untuk mengembangkan ketrampilan relevan dengan jaman sekarang. Ketrampilan masa
kini itu misalnya berpikir kritis, menyampaikan argumen secara runtun dan tertata, meyakinkan orang
lain, serta merumuskan pertanyaan, harus dikembangkan semua siswa melalui proses belajar pada
berbagai mata pelajaran. Kecuali itu, peserta didik juga perlu mengembangkan sikap-sikap universal
seperti gigih, berpikir luwes, menghargai hak orang lain untuk menyampaikan pendapat yang berbeda,
percaya diri, dan mencintai ilmu pengetahuan. Tidak cukup kecakapan serta nilai-nilai luhur tersebut
disebutkan istilahnya semata. Namun harus diresapi melalui refleksi dan perenungan, bukan pada
materi ajarnya. Jika siswa dapat merenungkan dan merasakan bahwa mereka tidak saja belajar ilmu
pengetahuan, tetapi justru mengembangkan dirinya dalam ketrampilan dan nilai-nilai universal itu,
maka siswa tersebut sudah menunjukkan kasmaran dalam berilmu-pengetahuan. Pencapaian jenjang
kasmaran berilmu-pengetahuan itu lah yang harus direkacipta dalam kurikulum mendatang. Pesan
kasmaran berilmu-pengetahuan ini harus dapat dirasakan saat seorang pendidik membaca kurikulum.
3. Kurikulum 2013
Dalam tulisan ini akan ditinjau secara khusus usulan Kurikulum Matematika SD 2013. Dalam dokumen
itu, dimunculkan istilah kompetensi inti (KI). Jika istilah ini adalah hasil terjemahan dari core competence
dalam dunia bisnis, perlu dirumuskan ulang agar tepat dengan falsafah pendidikan. Sebagai misal, dalam
usulan Kurikulum 2013 itu, KI ke-2 adalah: “Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun,
peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru.” Kemudian, dalam salah
satu kolom Kompetensi Dasar (KD), dituliskan, “Menunjukkan perilaku patuh pada tata tertib dan aturan
dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai prosedur/aturan dengan memperhatikan nilai
tempat puluhan dan satuan” Pertanyaan penting di sini adalah apakah guru nanti paham maksud KI dan
KD serta keterkaitannya.
Tentu sangat mulia mengaitkan sikap dan kecakapan universal ke dalam kurikulum matematika. Namun
demikian, pengaitan ini pertama harus mengirimkan pesan yang sama dengan ciri kasmaran
bermatematika. Pengaitan ini tidak boleh melanggar hakikat keilmuan matematika itu sendiri, seperti
misalnya berhasrat berpikir mandiri, berpikir alternatif, bertanya kritis, dan meragukan secara
terorganisir (skeptis). Kemudian, kedua, pengaitan sikap universal harus terpadu secara alamiah dengan
kalimat atau frasa di KD. Tidak boleh terkesan dibuat-buat atau dicocok-cocokkan. Sayangnya, dua hal
ini justru terkesan tidak dipenuhi oleh usulan Kurikulum 2013.
Matematika sangat unik. Matematika atau tepatnya pematematika, menciptakan dan mengkaji gagasan
yang dibuat oleh dia sendiri atau manusia lain. Berbeda dari saudari-saudarinya: seni, ilmu pengetahuan
alam, dan sosial yang mengamati gejala alam dan kehidupan, matematika utamanya mempelajari
gagasan buatan manusia. Aturan yang sepertinya diturunkan dari langit dan bersifat mutlak hampir tidak
ada dalam matematika, kecuali satu kepatuhan pematematika pada proses penyimpulan yang
berdasarkan deduksi semata. Matematika adalah bentuk seni paling radikal yang memungkinkan
manusia melepaskan pemikirannya dari realita. Matematika tidak punya aturan yang menghambat
pengembaraan berpikir. Inilah hakikat matematika.
Prosedur penjumlahan atau pengurangan bilangan yang dinyatakan dalam KD di atas mengirimkan
pesan bahwa prosedur itu memang harus begitu. Ditambah lagi, kata patuh sampai muncul 4 kali.
Padahal semua prosedur dalam matematika buatan manusia. Justru siswa bersama guru matematika
diharapkan menciptakan prosedur-prosedur baru untuk menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan,
atau membagi bilangan. Keberanian bertanya kritis: “Mengapa prosedur penjumlahan bilangan harus
begitu?” serta berpikir alternatif: “Bagaimana prosedur menjumlahkan bilangan yang lebih efisien?”
yang diharapkan melalui mata pelajaran matematika. Nuansa bertanya kritis dan tak mudah puas seperti
ini yang kita harapkan dalam sebuah kurikulum matematika. Kepatuhan memang baik pada konteks
tertentu, tetapi dalam bermatematika, kepatuhan bukan sikap yang dimuliakan.
Terkait dengan usulan IPA dan IPS yang akan dilebur ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia,
tentunya kita akademisi tertarik dengan pernalaran di balik gagasan itu. Dengan peleburan itu, masihkah
anak-anak dan cucu-cucu kita di peradaban mendatang dapat merasakan kasmaran dengan keilmuan
pengetahuan alam dan sosial, seperti fisika, kimia, geografi, dsb? Perlulah dikutip sebuah dzikir
4. kegundahan yang diungkapkan seorang rekayasawan penerbangan yang terlibat dalam pembangunan
teknologi strategis, Bapak Jusman Syafii Djamal, yang mengungkapkan tentang kasmaran bersains:
“… sayap pesawat itu salah satu puncak aplikasi fisika dan matematika yang saya pelajari sejak
SD,hingga ITB. Sayang generasi berikut TIDAK akan lagi menikmati the beauty of mathematics and
physics. Sebab IPA akan dilebur dlm bahasa.”
Kita semua berharap pencetus gagasan peleburan IPA/IPS ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia ini
dapat menjelaskan bagaimana anak-anak dan cucu-cucu kita masih akan kasmaran seperti Pak Jusman
di atas. Pembangunan berbasiskan intelektualitas hanyalah isapan jempol tanpa para pemuda-
pemudinya kasmaran berilmu-pengetahuan.
Sebuah Gagasan Alternatif
Apakah perumusan KI dalam usulan Kurikulum 2013 jelas dan bermakna tunggal. Mungkinkah Puspendik
(Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang) nantinya menyusun alat evaluasi terhadap KI itu? Kalau
Puspendik tidak dapat merumuskan alat evaluasinya, bagaimana kita akan tahu bahwa pendidikan
(baca: siswa) berhasil mencapai tujuan seperti yang ditulis dalam KI? Bagaimana menilainya?
Berikut diusulkan sebuah ilustrasi perumusan kurikulum matematika SD yang tidak melanggar hakikat
matematika. Sebaiknya, istilah KI diganti dengan kata yang sudah digunakan sebelumnya, yakni karakter.
Kemudian, apa saja karakter yang hendak ditumbuhkan di SD, SMP, SMA, dan SMK, dijabarkan. Ilustrasi
perumusan ini mengaitkan antara karakter yang hendak dikembangkan dan KD. Dalam ilustrasi ini,
misalnya karakter yang hendak dikembangkan adalah: Mampu bernalar, mempertimbangkan,
memutuskan, dan bertanggung jawab. Karakter-karakter ini harus secara alami muncul bukan dalam
materi matematika, tetapi tersirat kuat dalam bermatematikanya. Munculnya karakter-karakter ini tidak
naif diucapkan langsung, tetapi tersirat pada saat siswa merenungkan pengalaman bermatematika.
Dalam kasus Kiai Song di atas, kemungkinan besar, para ibu-ibu itu menyadari bahwa mereka
mengembangkan nilai-nilai luhur yang tersirat itu melalui proses perenungan pada saat mengaji, bukan
saat membuat gerabah. Pada kasus sekolah, perenungan ini justru sangat efektif jika dilakukan pada
pelajaran Agama. Itu lah saat mengkaji karakter yang terkait dalam kegiatan belajar matematika.
Terkait dengan empat karakter di atas, berikut dirumuskan KD-nya. Misalnya, diambil topik bilangan
pecahan. Dalam topik ini, misalnya diusulkan KD: “Siswa memilih cara yang sesuai utk membandingkan
dua pecahan dan menjabarkan alasan pilihannya.” Dari KD ini, terbaca langsung bahwa siswa akan
mengevaluasi berbagai cara yang diketahuinya untuk membandingkan dua pecahan yang dihadapinya.
Kemudian, siswa harus memilih cara yang dianggapnya sesuai serta menyusun argumen, menjelaskan
pasangan pecahan berikut: � … � , � … �,� … �,� … �. Untuk pasangan pertama,
2 3 24 12 17 7 1234 2012
mengapa dia memilih cara tersebut. Untuk lebih menjelaskan KD ini, dapat diperhatikan pasangan-
3 4 47 21 26 13 1235 2013
silang: 2 × 4 … 3 × 3. Jadi, lebih besar. Pada pasangan kedua, tentu lebih sesuai membuat pecahan
3 12
siswa kemungkinan akan memilih prosedur tradisional, mengalikan dengan cara tradisional, yakni kali
4 21
24 12
42 21
menjadi atau menyamakan pembilang. Jadi, lebih besar. Untuk pasangan ketiga, digunakan cara
menyamakan penyebut. Kemudian, pada pasangan terakhir, misalnya dapat digunakan cara
5. memandang pasangan tersebut sebagai �1 − � dan �1 − �. Jadi, yang kanan lebih besar, karena
1 1
1235 2013
pengurangnya lebih kecil. Setelah itu, dalam KD dinyatakan bahwa siswa perlu mengemukakan argumen
mengapa dipilih cara yang dia gunakan.
Dari ilustrasi di atas, siswa akan berpikir tingkat tinggi, dengan mempertimbangkan berbagai cara yang
dia ketahui, kemudian dia harus memutuskan. Setelah itu dia harus mempertanggungjawabkan
keputusannya dengan menyusun alasannya. Seharusnya dari ilustrasi di atas, dapat terbaca dan
dirasakan sekarang bahwa empat karakter itu terwujudkan secara sungguh-sungguh dan alamiah dalam
KD itu. Empat karakter tersebut sekarang tidak diadakan dengan dibuat-buat. Juga tersirat bahwa
berpikir tinggi tidak lebih sulit daripada berpikir tingkat rendah.
Keterpaduan Kurikulum dengan Ujian dan Model Belajar
Perancangan program pendidikan atau kurikulum secara menyeluruh yang sesuai rekacipta mundur
(backward design) meletakkan rumusan tujuan pendidikan sebagai awalan. Kemudian, penilaian
pendidikan dan perancangan model pembelajaran. Rumusan tujuan adalah lingkup Puskurbud untuk
menjawab pertanyaan, “Anak-anak kita perlu mengembangkan pengetahuan, kecakapan, sikap, dan nilai
apa?” Kemudian, Puspendik harus menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita tahu kalau anak-anak kita
sudah mempunyai empat hal itu?” Dari situ, selanjutnya perancang model pembelajaran harus
menjawab pertanyaan, “Bagaimana membelajarkan pengetahuan, kecakapan, sikap, dan nilai itu?” Tiga
jenjang itu perlu dijalankan secara menyatu, bukan dikerjakan secara bertahap atau linear. Satu tahap
tidak dapat dikerjakan menunggu tahap lainnya tuntas. Perumusan tujuan pendidikan harus
dikonsultasikan bolak balik dengan pembuat evaluasi, agar tujuan yang tidak realistis, yang jelas tak
dapat dievaluasi, dapat dirumuskan ulang. Sangat besar diharapkan peranan BSNP dalam penjaminan
perancangan Kurikulum 2013 mengikuti sebuah tata kerja yang sistematis dan dilandasi pernalaran yang
kokoh.