1. TUGAS
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
Oleh :
Nama : Aseh Egasari ( G1A011037)
Wahyu Restuti Tresnaningsih (G1A011043)
Gries Yulianti ( G1A011045)
Kelas : B
Dosen : Arie Vatresia,S.T.,M.T.I
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BENGKULU
2. 2011
BAB III
ALAM PIKIRAN ONTOLOGIS
Ontologis sebagai pembebasan
Dunia mitis terutama ditandai oleh rasa takut dalam diri manusia terhadap daya –
daya purba dalam hidup dan alam raya. Manusia mencari semacam strategi guna
menemukan hubungan tepat antara manusia dan daya – daya kekuatan tersebut. Perbuatan
– perbuatan praktis, seperti pertukangan, tehnik dan kesenian memainkan peranannya,
tetapi renungan – renungan teoritis mengenai alam yang nampak (fisika) dan alam yang
tidak nampak (metafisika) mulai tampil ke muka.
Perkembangan ini disebut sebagai perkembangan dari “mitos” ke “logos”. Istilah
“logos” dalam bahasa Yunani kuno berarti “makna” atau “arti”. Memahami “logos” sesuatu
perbuatan berarti mengerti, mengapa perbuatan itu harus dilakukan demikian; mengerti hal
ikhwal sekitar kita berarti mengerti apa yang terjadi, bahkan juga bila timbul masalah –
masalah sukar mengenai dosa dan penderitaan. Mengerti, memahami sebab musababnya,
itu lalu terasa sebagai suatu pembebasan dan penebusan.
Merenungkan barang – barang, peristiwa – peristiwa, suka duka manusia dan
masyarakatnya juga dapat dinamakan : renungan tentang Ada. Ada yang meliputi segala
sesuatu sejak dahulu kala merupakan sasaran bagi setiap pengertian filsafat dan akhirnya
memuncak dalam suatu ilmu mengenai Ada itu atau ontologi. Merenungkan tentang Ada
mengakibatkan pembebasan. Lewat kebatinannya manusia bersentuhan dengan dasar –
dasar Ada kehidupan beserta kosmosnya. Dan dalam kontak dengan dasar Ada itu manusia
menghayati penebusannya. Kadang – kadang ilmu mengenai Ada itu (ontologi) disusun
secara lengkap, dibagi - bagikan menurut bentuk – bentuk pengetahuan dan bentuk –
bentuk eksistensi. Penyusunan serupa itu selalu dilatarbelakangi usaha untuk mencapai
pengertian yang membebaskan mengenai Yang Mutlak, yang letaknya di sebelah sana
segala pengkotakan manusia.
Dari pelbagai segi alam pikiran Barat berbeda dengan alam pikiran Timur. Alam
pikiran Timur lebih condong meleburkan segala sesuatu, termasuk individu manusia, di
dalam Yang Mutlak yang tak terungkapkan. Itulah mungkin sebabnya, mengapa alam pikiran
Barat sejak permulaan lebih memperhatikan barang – barang konkrit dan fakta – fakta yang
nyata. Pikiran barat lebih daripada pikiran Timur, mempunyai ciri khas, yaitu munculnya
ilmu pengetahuan dan tehnik. Sekalipun demikian ada persamaan yang besar, terutama
karena usaha di kedua belah pihak untuk memperoleh pengertian tentang eksistensi
manusia dan untuk menyusun suatu ilmu mengenai Ada.
3. Dalam dunia Yunani kuno perkembangan dari alam pikiran mitis ke arah alam pikiran
ontologis penting sekali: peralihan ini sampai sekarang masih mempengaruhi proses
merangkum alam raya dan masyarakat dalam wadah ilmu pengetahuan. Para filsuf Yunani
pertama melukiskan proses terjadinya dunia ini menurut istilah – istilah dari dunia
pengecoran besi : pencairan, pendinginan, peniupan, penatahan. Dengan demikian rahasia –
rahasia yang meliputi awal mula dunia ini serta manusia ditarik ke dalam jangkauan ,
pelukisan faktuil. Manusia mengambil jarak, ia mngamat – amati dan mengkotak –
kotakkan, dan itulah ciri – ciri sikap ontologis.
Mungkin juga manusia Yunani merasa kecewa mengenai kelakuan para dewa dulu.
Kecewa terutama, karena manusia harus belajar menerima takdir, sekalipun itu tak dapat
dimengertinya. Manusia dalam batinnya memberontak, dia ingin mengerti mengapa dia
bersalah, dan apakah gerangan masalah – masalh kehidupan ini. Tidak dengan menerima
takdir, melainkan memperoleh pengetahuan dan pengertian, kebebasan dapat dicapai.
Filsafat merupakan jalan guna memperoleh pengertian dan dengan demikian dapat
berfungsi sebagai pembebasan. Pengertian membebaskan. Maka dari itu tema – tema
pokok dala filsafat ialah : hubungan manusia terhadap dunia ilahi, dunia transenden;
pengertian mengenai dosa dalam kehidupan manusiawi dan duniawi; hubungan antara
jaman ini dan jaman abadi. Sikap yang baru itu kita namakan alam pikiran ontologis: cara
sana.berpikir ini membebaskan manusia dari lingkaran mitologis, justru dengan mngambil
jarak terhadap dunia yang mengitarinya. Alam pikiran ontologis berani hidup dalam
ketegangan distansi (jarak) itu.
Fungsi – fungsi pemikiran logis
Fungsi pertama dari pemikiran ontologis ialah membuat suatu peta mengenai segala
sesuatu yang mengatasi manusia. Sikap ontologis berusaha menampakkan dunia transeden
itu, dunia yang mengatasi manusia, bahkan menjadikannya sesuatu yang dapat dimengerti.
Dari pengalaman mitis mengenai dewa – dewa berkembanglah filsafat : ontologis mengenai
idea – idea yang sempurna. Idea – idea tersebut merupakan contoh – contoh ilahi bagi
segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu bertitik pangkal di dunia sana. Aristoteles
mempergunakan istilah Ada Ilahi. Maksudnya, ialah segala bentuk eksistensi dan pikiran
akhirnya memuncak dalam bentuk yang paling tinggi, mahkota dan penyempurnaan seluruh
dunia kita, baik yang nampak maupun yang tidak nampak.
Fungsi mitos yang kedua, ialah jaminan mengenai hari ini, kita jumpai pula dalam
sikap ontologis. Mitos – mitos dipakai sebagai suatu alat atau sarana untuk menerangkan
sesuatu atau menuturkan sesuatu yang sukar diungkapkan dengan cara lain dalam rangka
suatu teori yaitu rangka ontologis yang meliputi ajaran tentang Idea-idea.
Fungsi ketiga dari ontologis ialah menyajikan pengetahuan. Memang, mitos pun
memberikan sedikit pengetahuan mengenai hal ikhwal dunia ini, tetapi sikap ontologis
terutama menonjolkan pengetahuan sistematis yang dapat dikontrol. Kini manusia ingin
menggali sebab musabab segala sesuatu hingga sampai pada Sebab Pertama. Kadang –
kadang para filsuf berbicara tentang Substansi sebagai dasar terakhir yang menerangkan
4. segala sesuatu. “Sebab Pertama” (antara lain istilah ini dipakai oleh Aristoteles) dan
Substansi (Spinoza) disamakan dengan Tuhan atau Ketuhanan.
Dalam dunia mitis manusia individuil belum mempunyai identitas sendiri. Ia dikuasai
oleh daya – daya pertalian dengan marganya dan dengan alam sekitarnya. Seorang
pengarang Yunani, Heraclitus, menulis bahwa daya – daya kekuasaan dewa sebetulnya ada
di dalam diri manusia sendiri, tak lain dan tak bukan daripada semangat atau sikapnya.
Ucapan ini merupakan langkah pertama ke arah interiorisasi, penemuan batin manusia;
laksana sebuah ladang yang semulanya dilanda oleh angin dewata lalu menutup diri,
membentuk kehidupan jiwanya sendiri secara individuil dan manusiawi.
Dalam dunia mitis manusia masih dapat mengatakan, bahwa jiwanya sedang
merantau di luar badannya dan berdian dalam pohon para leluhur. Bila filsafat Yunani mulai
berkembang, maka jiwa manusia dilokalisir di dalam badannya. Dalam kitab – kitab
Upanishad “ atman” (yaitu jiwa atau hakekat, semulanya: nafas) masih mempunyai fungsi
mitis smata – mata, belum berkembang menjadi kehidupan batin masing – masing individu.
Tetapi lewat pengertian mengenai batinnya sendiri manusia dapat menemukan, bahwa ia
bersatu dengan “atman” yang unirsil, yaitu dasar purba segala kenyataan (“brahman”).
Proses ini dapat dinamakn “identifikasi diri”.
Identitas tersebut menempatkan dunia di luar manusia dalam suatu perspektif.
Manusia bukan lagi sebuah bidang terbuka tanpa tempat yang pasti di tengah – tengah
Alam raya; ia telah menjadi subyek, sang pelukis yang berdiri di luar pemandangan alam dan
menempatkan alam itu dalam jaringan garis – garis pemandangannya sendiri. Satu titik, dan
titik itu sebetulnya fokus atau kancah pandangan sang pelukis sendiri, yang dengan
demikian mencerminkan identitas subyek manusiawi yang sudah pasti kedudukannya dalam
alam raya. Sebetulnya bagi kita perspektif nampak paling nyata bila kita memandang alam
kita masih menempatkan diri berhadapan dengan alam itu. Ketika manusia berubah dan
bersama dengan manusia juga perspektifnya terhadap dunia.
Manusia sebagai subyek telah membulatkan diri dan dewa – dewa pun digariskan
dengan lebih jelas. Semulanya, dalam dunia mitis, dewa – dewa tak lain daripada daya –
daya kekuatan alam. Semulanya kekuatan vital itu dihormati dalam seekor binatang. Tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, binatang itu dianggap sebagai lambang khas dari seorang
dewa; dewa – dewa sendiri dilukiskan sebagai manusia – manusia. Dalam sastra Yunani
klasik dewi Athena sering disebut “Athena yang bermata burung hantu”; seorang dewi lain
disebut “Hera yang bermata lembu”; kemudian hari kata sifat itu dianggap sebagai suatu
kiasan, yaitu ketika orang – orang tidak ingat lagi akan asal usul mitis, ketika dewa – dewa
itu belum berkepribadian. Bermata lembu lalu diartikan: yang matanya besar.
Dalam tahap ontologis manusia juga mulai menanyakan tentang “apa-“-nya para
dewa itu. Manusia tidak lagi terpukau oleh pengalaman yang menggetarkan, ialah “bahwa”
ada sesuatu yang tak terungkapkan. Manusia mengambil jarak, tentu saja jarak yang dijiwai
oleh rasa hormat, tetapi maksud agar dengan lebih mudah dapat memberi nama kepada
para dewa dan mengisahkan hakekat koderat mereka. Kecenderungan untuk
mempersoalkan “hakekat” atau “apa”-nya sesuatu (problematik ontologis) lalu
5. menimbulkan teori – teori theologis yang berbelit. Istilah – istilah yang dipakai dengan jelas
menonjolkan “apa”-nya, seperti misalnya “koderat” (dalam diri kristus terdapat dua
koderat) dan “hakekat” (dalamn Trinitas terdapat tiga Pribadi dalam satu hakekat). Dalam
filsafat Tuhan disebut Pengada Tertinggi, yang meliputi segala sesuatu, sebab pertama dasar
dunia, dst.
Banyak ahli pikir bahkan menegaskan, bahwa pemikiran – pemikiran theologis itu
merupakan usaha – usaha untuk melihat dengan mata batin hakekat koderat Tuhan sendiri.
Dan ini bukan suatu urusan teori semata – mata. Memandang wajah Tuhan merupakan
salah satu bentuk kehidupan mistik yang memberi kebahagiaan; lewat pengertian manusia
yang terbatas itu dapat menyentuh Cita – citanya yang abadi dan tak terbatas.
Filsafat mengenai Tuhan mempunyai segi-segi praktis. Dengan bertitik pangkal pada
Tuhan norma – norma dan nilai – nilai memperoleh tempatnya yang tetap, sehingga
manusia lalu juga tahu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh; dengan kata perkataan
lain, dia memperoleh sebuah pedoman yang tepat. Teori semacam ini diistilahkan “filsafat
nilai – nilai”. Sebetulnya yang dimaksud dengan istilah tersebut ialaih sesuatu yang biasa
sekali, sesuatu yang umum manusiawai: manusia yang telah meninggalkan dunia mitis ingin
melihat dengan jelas mana yang ditempuh. Itulah sebabnya ia menyususn hukum – hukum
negara, mengajarkan moral; pembaharuan religius dan politis memperjuangkan nilai – nilai
moril. Pendek kata: nilai – nilai itu didefinisikan.
Substansialisme
Apa yang dimaksud di sini dengan istilah “substansialisme”? Kata “substansi” sendiri
sebetulnya berarti sesuatu yang dapat berdiri sendiri, yang mempunyai landasan sendiri dan
tidak perlu bersandar pada sesuatu di luarnya. Dengan demikian hubungan atau relasi
antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lain diputuskan. Substansialisme
mengadakan isolasi, memisahkan. Manusia, barang – barang, dunia, nilai – nilai Tuhan
dipandang sebagai lingkaran- lingkaran yang berdiri sendiri, sebagai “substansi-substansi”,
lepas yang satu dari yang lain. Dan ini memperlihatkan sikap sombong dari subyek yang
berpikir itu. Manusia berpendirianseolah – olah dengan akal budinya ia dapat merangkum
dan mengerti segala – galanya, sehingga itu dapat dimasukkan ke dalam kotak – kotak
definisi – definisinya. Penggambaran dunia menurut perspektif diteruskan secara ekstrim
sehingga akhirnya hanya mencerminkan kembali subyek yang mahakuasa dan yang berdiri
sendiri. Bahkan obyek pun (sesama manusia, Tuhan, nilai – nilai) akan dapat lenyap dari
pandangan sang subyek itu.
Aliran substansialisme juga nampak dalam bidang praktis, yaitu dalam sikap
individualistis. Terdapat kecenderungan individualistis yang memandang masyarakat
sebagai suatu kumpulan atom – atom, yang satu lepas dari yang lain. Seorang ahli
kebudayaan Yunani, R. Harder dalam tulisannya mengatakan : “ Orang – orang (yang dipahat
ini) memang bukan individualis – individualis, melainkan individu – individu. Dan individuum
merupakan terjemahan latin dari kata Yunani ...........: atom. Atomisasi berarti menghapus
dunia penghubung. Dunia organis .............. suasana yang meliputi manusia, pemancaran
6. kehangatan yang menghubungkan manusia yang satu dengan manusia yang lain, semuanya
itu dihapuskan. Dalam sejarah Eropa pun individualisme memainkan peranan besar.
Masyarakat lalu digambarkan sebagai penjumlahan belaka dari atom – atom manusiawi
yang lepas yang satu dari yang lain. Individu – individu lepas demikian menonjol.
Substansialisme mempunyai efek yang membekukan. Dalam agama dan filsafat
patokan – patokan menjadi beku. Tata negara dan perbuatan – perbuatan moril diikat oleh
hukum – hukum abadi. Manusia dan dunia dipakukan pada rumus – rumus yang pernah di
telorkan oleh ilmu pengetahuan pada suatu jaman tertentu. Jalan lain, rumus lain, alternatif
– alternatif tidak terdapat lagi. Menyimpang dari pemecahan – pemecahan yang sudah
tersedia tidak mungkin, kemajuan kreatif dihalangi. Kebenaran – kebenaran yang prnah
ditemukan diikuti secara harfiah dan dibeo saja. “Apa”-nya dijadikan substansi dan dengan
demikian diisolasikan. Manusia tidak berminat lagi meraih sesuatu di luar atau di atas
dirinya. Transedensi lenyap, manusia terkurung dalam tembok – tembok imanensianya.
Seperti sikap mitis, sikap ontologis berusaha untuk mencapai suatu hubungan yang
masuk akal antara manusia dan daya – daya kekuatan sekitarnya. Cara berpikir secara
ontologis sebetulnya merupakan suatu cara tertentu dalam bidang permenungan,
perbuatan, kemauan, perasaan, organisasi, pertukangan dan penentuan policy. Sambil
mengambil jarak terhadap dunia sekitarnya manusia berusaha untuk mencapai suatu
pengakuan terhadap segala sesuatu yang mengatasinya. Tetapi di sini pun ada bahaya,
bahwa manusia sendiri ingin merebut kekuasaan. Substansialisme merupakan bahaya yang
selalu mau menyergap pikiran ontologis. Nilai – nilai dan konsep – konsep dijadikan
substansi – substansi yang terlepas. Bahkan manusia sendiri dijadikan dua substansi : badan
dan jiwa. Masyarakat tak lain daripada suatu penjumlahan individu- individu. Distansi
menjadi retakan dan masyarakat dijadikan suatu sistem tertutup yang tak dapat diganggu
gugat.