Skripsi ini membahas hubungan antara mental lokal dengan perilaku mengemis di Desa Branta Tinggi, Madura. Mental lokal dipengaruhi budaya lokal dan kepercayaan yang menekankan konsumsi tinggi tanpa produksi yang memadai. Hal ini menyebabkan kemiskinan dan perilaku mengemis. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara mental lokal dan perilaku mengemis.
1. STUDI HUBUNGAN MENTAL LOKAL DENGAN
PERILAKU MENGEMIS
(Studi Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan
Kabupaten Pamekasan Madura)
SKRIPSI
Disusun oleh :
Tri Cahyono
0610210124
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010
2. KATA-KATA INSPIRASI
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan” (Alam Nasrah ayat 4)
“Jika terangnya sinar matahari itu terus kita
nikmati... Maka tidak akan ada hal yang menarik...
Kita juga butuh datangnya mendung menurunkan
rintik hujan dan tekombinasikan dengan sinar
matahari agar tercipta sebuah pelangi yang indah”
(Yusuf Mansyur)
“Kegagalan adalah kesempatan untuk memulai
lagi dengan lebih baik” (Henry Ford)
“Semangat itu tidak akan hilang pada saat kita
dikalahkan, tetapi semangat itu akan hilang saat
kita menyerah” (Ben Stein)
“Ditengah kesukaran pasti terdapat kesempatan”
(Einstein)
“Jika kejayaan hari ini milikmu... Maka besok kan
kuraih... Lusa kan ku genggam... Walaupun hanya
dengan sebatang tongkat pensil yang rapuh” (M.
Emka)
“Didalam setiap cerita sukses... Anda akan
menemukan sosok yang mengambil keputusan yang
berani” (Peter F. Drucker)
3. i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji hanyalah milik Allah SWT, Dzat yang telah melimpahkan
segala nikmat dan karunianya, khususnya kepada penulis, sehingga skripsi yang
berjudul “Studi Hubungan Mental Lokal dengan Perilaku Mengemis (Studi
Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan
Madura)” dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa pula shalawat dan salam
teruntuk Rasulullah, keluarga, sahabat dan mereka yang mengikuti jejaknya.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan dan penelitian lapangan,
telah banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab
itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis ingin mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Bapak Joko Wahono dan Ibu Sumariyah selaku Bapak dan Ibu tercinta yang
telah memberikan segala pengorbanan dalam hidupnya demi keberhasilan
putra-putrinya. Semoga Allah SWT senantiasa mengasihi mereka berdua
sebagaimana sayangnya mereka kepada anak-anaknya sewaktu masih kecil.
2. Ibu Dr. Asfi Manzilati, SE., ME. selaku dosen pembimbing utama yang telah
memberikan banyak ilmu dan Inspirasi kepada penulis sehingga tulisan ini
segera terselesaikan.
3. Bapak Dr. Ghozali Maski, SE., MS selaku Ketua Jurusan Ekonomi
Pembangunan.
4. Ibu Tyas Danarti Hascaryani, SE., ME. dan Ibu Farah Wulandari Pengestuty,
SE., ME. selaku dosen penguji dalam ujian komprehensif.
5. Bapak Prof. Agus Suman, SE., DEA., Ph.D. selaku dosen yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi asisten dosen
4. ii
Ekonomi Mikro, dan memberikan banyak inspirasi kepada penulis dalam
penulisan beberapa karya ilmiah.
6. Para bapak dan ibu guru serta para dosen yang telah mendidik penulis dari
TK hingga sekarang.
7. Bapak Mahrus Ali, Bapak Rahman, Bapak Razak, dan Bapak Junaidy selaku
informan dari desa Branta Tinggi yang telah bersedia meluangkan waktu dan
memberikan informasinya kepada penulis.
8. Pengurus FORSTILLING 2006-2007, 2007-2008 dan 2008-2009, atas
kerjasama selama ini mulai dari urusan organisasi hingga hubungan
kekerabatan yang terjalin seperti keluarga.
9. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Sepandai pandai tupai melompat pasti jatuh jua, seperti itulah tulisan dalam
sekripsi ini. Sehingga penilis berharap kepada pembaca untuk memberikan
penilaian dan masukan bagi perbaikan skripsi ini ke depan. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Malang, Desember 2010
Penulis
5. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
ABSTRAKSI ............................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................... 5
1.4 Batasan Masalah......................................................................... 5
1.5 Manfaat........................................................................................ 6
1.5.1 Manfaat Teoritis................................................................. 6
1.5.2 Manfaat Praktis.................................................................. 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................ 7
2.1 Pengemis ; Latar Belakang
dan Perilaku yang Disebabkan oleh Kemiskinan....................... 7
2.2 Karakteristik Masyarakat Madura yang Digambarkan
oleh Sumber Pustaka ................................................................. 9
2.3 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Sikap Mental .................... 12
2.3.1 Aplikasi Sikap Mental Terhadap Polemik Kemiskinan ..... 12
2.3.2 Sikap Mental dan Hubungannya dengan Marginalisasi
yang Terjadi di Pedesaan ................................................. 14
2.3.3 Sikap Mental dan Implikasi Perilaku Mengemis
yang Terpolakan ............................................................... 16
2.4 Kemiskinan dan Peran Kelembagaan......................................... 17
2.4.1 Realisasi Otonomi Daerah dan Potret Buram
Pertumbuhan Pembangunan............................................ 17
2.4.2 Realitas Kemarginalan di Daerah dan Implikasi Peran
Kelembagaan .................................................................... 21
2.5 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Prospektif Islam................ 23
2.5.1 Pembagian Riski Manusia dalam Tinjauan Agama Islam 24
2.5.2 Sebuah Rekomendasi Ajaran Islam dalam Mengentaskan
6. iv
Kemiskinan........................................................................ 26
2.6 Hubungan antara Budya dengan Eksistensi Kemiskinan
di berbagai daerah...................................................................... 28
2.7 Penelitian Terdahulu.................................................................... 31
2.8 Kerangka Pemikiran .................................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 38
3.1 Pendekatan Penelitian ................................................................ 38
3.2 Lokasi Penelitian ......................................................................... 39
3.3 Penentuan Informan.................................................................... 39
3.4 Jenis dan Sumber Data............................................................... 40
3.5 Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 42
3.6 Teknik Analisis Data.................................................................... 43
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................. 45
4.1 Gambaran Geografis ; Sebuah Eksplorasi Pengolahan Potensi
Ekonomi yang Belum Optimal.................................................... 45
4.2 Realitas Interaksi Masyarakat Desa Branta Tinggi Terkait dengan
Perilaku Mengemis..................................................................... 51
4.3 Topeng Budaya dan Tradisi ; Mengemis Merupakan Kebutuhan
yang Harus Dilakukan ................................................................ 56
4.4 Sektor Pertanian dan Perikanan ; Kontradiksi antara Potensi
dan Eksplorasi ............................................................................ 59
4.4.1 Sektor Pertanian................................................................ 60
4.4.2 Sektor Perikanan............................................................... 66
4.5 Dilema Kyai dalam Berdakwah ; antara Nilai Agama dan Budaya
Atau Tradisi................................................................................. 77
BAB V PENUTUP....................................................................................... 81
5.1 Kesimpulan.................................................................................. 81
5.2 Rekomendasi............................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
7. v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 01. Interaksi antara Pendapatan, Budaya dan Kelembagaan..... 36
Gambar 02. Pola Keterkaitan Nilai-Nilai Lokal dengan
Mental Lokal yang Mengarah Pada Penentuan
Pola Konsumsi dan Produksi............................................................... 37
Gambar 03. Tanaman Tembakau Masyarakat di Desa Branta Tinggi ...... 47
Gambar 04. Potensi Pantai di Desa Branta Tinggi .................................... 48
Gambar 05. Ketergantungan Air Bersih untuk Minum ............................... 50
Gambar 06. Rutinitas Kegiatan Keagamaan.............................................. 53
Gambar 07. Pola Pemasaran Tembakau................................................... 61
Gambar 08. Kelembagaan Sektor Pertanian ............................................. 63
Gambar 09. Mekanisme Pemberian Bantuan Pertanian ........................... 64
Gambar 10. Jalur Pemberian Penyuluhan Pertanian................................. 64
Gambar 11. Sebuah Potensi Sektor Perikanan yang Terbuang................ 67
Gambar 12. Kegiatan Pengeringan Ikan .................................................... 69
Gambar 13. Kepiting Bakau ; Makanan Konsusmsi Bernilai
Ekonomi Tinggi .................................................................................... 72
Gambar 14. Sosialisasi Desa dari Dinas Sosial Kabupaten dan Provinsi. 75
Gambar 15. Kyai Ma’imun Zubair ; Tokoh Agama Desa Branta Tinggi..... 79
8. vi
ABSTRAKSI
Cahyono, Tri. 2010. STUDI HUBUNGAN MENTAL LOKAL DENGAN
PERILAKU MENGEMIS (Studi Kasus: Desa Branta Tinggi Kecamatan
Tlanakan Kabupaten Pamekasan Madura). Skripsi, Jurusan Ekonomi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya. Dr. Asfi
Manzilati, SE., ME.
Mental lokal (shared value) merupakan aplikasi pola perilaku dari tiap-tiap
individu dalam lingkup suatu daerah yang sering kali terabaikan dalam bahasan
ilmu ekonomi. Padahal, mental lokal sangat berpengaruh dalam pengambilan
keputusan tiap-tiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidup (keputusan
konsumsi maupun produksi). Biasanya, mental lokal ini dipengaruhi oleh
beberapa hal diantaranya ; kelembagaan lokal, budaya, dan kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat.
Aplikasi mental lokal yang diwujudkan dalam bentuk keputusan konsumsi
dan produksi sering kali menimbulkan polemik tersendiri. Jika keputusan
berproduksi yang lebih dominan, maka kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita
makro ekonomi (pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas perekonomian) melalui
kedaerahan bisa terwujud. Namun, jika keputusan konsumsi yang lebih dominan,
ini justru memeperparah kekacauan perekonomian lantaran tidak adanya
keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan masyarakat.
Tak jarang, tingginya konsumsi tanpa diimbangi pola produksi yang
mumpuni akan menyeret masyarakat ke jurang kemiskinan yang ujung-ujungnya
mengarah pada pola perilaku menggelandang atau mengemis.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari dan mengidentifikasikan
hubungan antara mental lokal dengan perilaku mengemis di desa Branta Tinggi.
Hal ini sangatlah penting sebab, dari tahun ke tahun keberadaan pengemis di
desa ini tidak kunjung tereduksi. Padahal, sebagaimana diketahui bahwa di
daerah ini nilai-nilai ajaran islam sangat di junjung tinggi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan, mental lokal sangat berpengaruh terhadap
perilaku mengemis lantaran adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang
menitikberatkan pada perilaku meniru secara negatif (konsumsi tinggi). Selain itu,
dengan mengemis, oleh sebagian masyarakat dianggap lebih mudah
memperoleh kepingan rupiah tanpa membutuhkan usaha yang lebih berat. Untuk
itulah, mental lokal yang terus dijaga berakibat pada polemik tersendiri dalam
menanggulangi perilaku mengemis tersebut.
Kata kunci : Mental lokal, perilaku mengemis.
9. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan sosial ekonomi hingga saat ini menjadi poin penting bagi
pemerintah dalam meningkatkan proses pembangunan. Ketidakmerataan
distribusi kebijakan, pembangunan (fisik maupun nonfisik), dan pendapatan
daerah disinyalir sebagai pokok permasalahan yang mempengaruhi angka
kemiskinan di berbagai daerah. Ketidakmerataan tersebut secara tidak langsung
berpengaruh terhadap pola migrasi penduduk dari berbagai daerah.
Data makro yang dipaparkan oleh BPS (2008), berkaitan dengan jumlah
orang yang bekerja dan angkatan kerja yang tidak bekerja (pengangguran
terbuka) menunjukkan angka yang lumayan mencengangkan. Pada tahun 2008,
jumlah masyarakat Indonesia yang bekerja sebanyak 102.049.857 jiwa dan
jumlah pengangguran sebanyak 9.427.590 jiwa.
Melihat data tersebut tentunya menimbulkan ironi tersendiri dan harus
ada evaluasi lebih lanjut (tindakan nyata) dari pemerintah. Apa lagi untuk saat ini
sektor-sektor basis (utamanya pertanian) yang memiliki sumbangsih paling besar
dalam penyerapan tenaga kerja tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Padahal, jika dilihat dari data makro yang dikeluarkan oleh BPS tahun 2007,
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 42,61 juta jiwa. Sedangkan
sektor industri pada tahun yang sama menurut BPS hanya mampu menyerap
tenaga kerja sebesar 12,09 juta jiwa.
Sektor pertanian yang menjadi acuan penyerapan tenaga kerja semakin
terdesak lantaran degradasi lahan dan adanya paradigma yang berkembang
dimasyarakat berkaitan dengan profesi sebagai petani. Suman (2010)
menyebutkan, selama periode tahun 1999 – 2002 sawah irigasi yang telah
10. 2
dilahap untuk konversi adalah sebesar 423.857 hektare dan itu merupakan
lahan-lahan produktif yang ada di pulau Jawa dan Bali
Sebagai contoh lain yang dikeluarkan World Bank (2006), di pertengahan
tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai swasembada beras, 41% dari
semua lahan pertanian ditanami padi, sementara tahun 2006 hanya 38%. Fakta
tersebut nampak jelas bahwasannya untuk saat ini sektor pertanian yang menjadi
andalan pembagunan perekonomian tidak mampu lagi menyerap tenaga kerja
yang ada di pedesaan secara maksimal (khususnya angkatan kerja).
Upaya-upaya revitalisasi pertanian khususnya dipedesaan sebenarnya
telah dicanangkan untuk peningkatan perekonomian secara bottom-up yang
salah satunya dimulai dari desa. Walapun telah ada pergeseran menuju bentuk
pertanian dengan nilai tambah yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas
hanya pada daerah dan komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor. Sehingga
pelaku-pelaku ekonomi desa mulai meninggalkan sektor pertanian dengan
berharap memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi.
Bagi masyarakat yang tidak mampu menghadapi persaingan, hal ini justru
menimbulkan paradoks baru apalagi sampai mengarah pada migrasi kerja
(urbanisasi). Sektor-sektor formal daerah tujuan yang mampu menyerap tenaga
kerja jumlahnya terbatas. Walaupun ada, persyaratan-persyaratan yang diajukan
sering kali tidak bisa dipenuhi oleh kaum urban. Maka dari itulah, masyarakat
yang tidak kompeten tersebut akan bekerja secara serabutan hingga merelakan
diri hidup sebagai gelandangan ataupun pengemis.
Di Jawa Timur, hasil pendataan kemiskinan yang dilakukan oleh BPS
Jawa Timur pada tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah kemiskinan
masyarakat kota sebesar 2.148.500, dan penduduk desa 3.874.100 dengan total
keseluruhan 6.022.600 jiwa. Sedangkan di kabupaten Pamekasan sendiri, angka
kemiskinan 2007 mencapai 384.522 atau setara dengan 35,75 persen dari angka
11. 3
penduduk yang mencapai 818.604 jiwa. Pada tahun 2008, mengalami penurunan
menjadi 234.09 atau 35,73 dari total penduduk 835.101 jiwa. Angka ini cukup
mencengangkan mengingat potensi daerah di wilayah ini sangat besar terutama
sektor pertanian dan kelautan.
Mengingat masih tingginya angka kemiskinan di Jawa Timur utamanya
wilayah Pamekasan, maka diperlukan identifikasi secara mendalam guna
menemukan solusi dalam merumuskan kebijakan secara tepat dan terarah.
Kebijakan yang dimaksud tidak sebatas hanya memberikan obat penenang
(penyuluhan dan bantuan dana) saja, tetapi lebih diarahkan pada aspek-aspek
kemasyarakatan yang didapat dari identifikasi mengenai kondisi sosial
masyarakat. Identifikasi dirasa sangat penting mengingat kondisi sosial ekonomi
setiap daerah berbeda-beda.
Seperti kasus yang terjadi di salah satu daerah di desa Branta Tinggi
kabupaten Pamekasan. Kasus di daerah ini sangatlah unik, dimana sebagian
besar masyarakatnya menjalani aktivitas sehari-hari sebagai pengemis. Sangat
mengejutkan ketika memperoleh informasi ada komunitas pengemis di Madura.
Daerah yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran islam dengan karakter
masyarakat pekerja keras ternyata ada sebagian masyarakatnya yang
berperilaku mengemis khusunya yang ada di desa Branta Tinggi.
Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan bahwasannya masyarakat Madura
sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung
diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan
cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.
Keuletan tersebut tercermin dari perilaku mereka dalam memenuhi tuntutan
ekonomi.
Berdasar informasi dari kepala desa terkait, perilaku mengemis di desa
ini dari tahun ke tahun menjadi sorotan berbagai pihak. Baik dari civitas
12. 4
akademika (universitas Madura, STAIN Pamekasan, universitas Brawijaya, UPN
Veteran Surabaya dan IAIN sunan Ampel Surabaya), pemerintah lokal, daerah
maupun dari provinsi.
Berbagai macam upaya penanggulangan telah dilakukan, tetapi
eksistensi pengemis di desa Branta Tinggi dari tahun ke tahun tak kunjung bisa
di tanggulangi. Perilaku mengemis ditularkan secara internal melalui keluarga
dan didukung oleh lingkungan sekitar. Penularan perilaku mengemis ini telah
berlangsung dari generasi ke generasi sehingga, sampai saat ini keberadaan
pengemis di desa ini menjadi salah satu fenomena menarik yang perlu dipelajari
(diteliti).
13. 5
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, terdapat beberapa permasalahan pokok yang dapat
diidentifikasi dan diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan yaitu :
Bagaimana hubungan antara mental lokal (shared value) dengan perilaku
mengemis di desa Branta Tinggi?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini akan mencoba untuk
mempelajari dan mengidentifikasikan :
Hubungan antara mental lokal (shared value) dengan perilaku mengemis di
desa Branta Tinggi. Hal ini sangatlah penting sebab, dari tahun ke tahun
keberadaan pengemis di desa ini tidak kunjung tereduksi. Padahal,
sebagaimana diketahui bahwa di daerah ini nilai-nilai ajaran islam sangat di
junjung tinggi.
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah berguna untuk mengarahkan penelitian agar tidak
melebar dan tetap fokus pada permasalahan yang dikemukakan. Batasan yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain:
Mental lokal (shared value) merupakan aplikasi diri setiap individu
komunitas masyarakat dalam suatu wilayah tertentu. Mental lokal (shared
value) tiap daerah berbeda-beda, sehingga timbul heterogenitas pencitraan
jati diri wilayah.
14. 6
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi peneliti, penelitian ini harapannya mampu menambah wawasan dari
studi hubungan mental lokal (shared value) dengan perilaku mengemis.
2. Selain itu, penelitian ini nantinya bisa dijadikan bahan rujukan bagi
penelitian-penelitian yang mengambil topik sejenis.
1.5.2 Manfaat Praktis
1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan bagi masing-masing pemegang kebijakan yang berpengaruh
terhadap penanggulangan eksistensi pengemis di desa Branta Tinggi.
Sebab, dari penelitian yang telah dilakukan, sebagian kebijakan hanya
menganggap pengemis sebagai objek bukan sebagai subjek. Objek disini
yaitu masyarakat peminta-minta (pengemis) hanya dijadikan sebagai target
kebijakan dimana pemerintah terkait tanpa mengidentifikasi terlebih dahulu
permasalahan sosial ekonomi yang ada secara mendalam.
2 Mempermudah dalam mengidentifikasi tantangan dan hambatan serta
peluang dalam penerapan kebijakan yang dirasa perlu dilakukan untuk
mencapai tujuan inti tiap-tiap kebijakan.
15. 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengemis ; Latar Belakang dan Perilaku yang Disebabkan oleh
Kemiskinan
Dari tahun ke tahun, angka kemiskinan di Indonesia selalu menjadi
sorotan dari pemerintah. Sachs (2005), memaparkan bahwasannya dari
keseluruhan negara berkembang, lebih dari delapan juta orang meninggal setiap
tahunnya karena jeratan kemiskinan. Untuk Indonesia sendiri, selama periode
1970 – 2007 jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dengan cepat, dari
70 juta orang menjadi 22,5 juta orang dimana angka kemiskinan terbesar tinggal
di pulau Jawa yaitu sebesar 55 persen dari total kemiskinan yang ada (Urip,
2007).
Menurut Hadiyanti (2006), munculnya kemiskinan di berbagai daerah
secara teoritis dapat dipahami melalui akar penyebabnya yang dibedakan dalam
dua kategori :
Pertama Kemiskinan natural atau alamiah.Yakni kemiskinan yang timbul
sebagai akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan/atau tingkat perkembagan
teknologi yang sangat rendah. Artinya, faktor-faktor yang menyebabkan
kemiskinan ini secara alamiah memang ada, sehingga masyarakat menjadi
miskin lebih diakibatkan karena keterbatasan baik dari sumber daya alam,
sumber daya manusia maupun perkembangan teknologi. Kemiskinan natural ini
nampak jelas pada masyarakat pedesaan dengan sumber daya alam dan
manusia terbatas untuk dikelola dan jauh dari pusat pembangunan wilayah.
Keterbatasan tersebut memaksa masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan
lantaran tidak punya modal (fisik maupun non fisik) untuk dikembangkan.
16. 8
Kedua Kemiskinan struktural. Yakni kemiskinan yang terjadi karena
struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak
menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Kemiskinan
secara struktural ini sangat nampak pada masyarakat yang menganut sistem
kasta. Dimana kalangan yang memiliki kasta terendah, akses untuk
beraktualisasi diri dibatasi. Sehingga masyarakat dalam kasta terendah tidak
berdaya untuk mengubah nasibnya dan ini berjalan secara turun-temurun
lantaran sistem kasta selalu diwariskan dari generasi ke generasi.
Breman dalam Iqbali (2006) mengelompokkan pekerja berdasarkan kelas
sosial menjadi tiga bagian :
1. Kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki keterampilan.
2. kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri
dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal.
3. Kelompok miskin (sering diidentikkan dengan gelandangan dan pengemis).
Pengemis dalam perspektif awam selalu disamaartikan dengan
gelandangan. Padahal dalam pendefinisiannya, jelas berbeda antara
gelandangan dan pengemis. Berdasar perda kota Batam nomor 6 tahun 2002,
gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta
tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan
hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan pengemis adalah setiap orang
yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan
berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Berdasar definisi diatas, nampak jelas bahwa kedudukan gelandangan masih
lebih tinggi dibanding pengemis. Walaupun sama-sama dianggap tidak sesuai
dengan norma bangsa (berdasar pertimbangan peraturan pemerintah nomor 31
17. 9
tahun 1980 utamanya poin “a”), gelandangan masih mau berusaha mencukupi
kebutuhan hidupnya.
Timbulnya gelandangan dan pengemis diakibatkan oleh tekanan
ekonomi, dengan latar belakang permasalahan yang berbeda-beda di antara
yang satu dengan daerah yang lain, sehingga mereka jadi gelandangan dan
pengemis itu dilakukan dalam keadaan terpaksa satu dan lainnya untuk
mempertahankan hidupnya (Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1980).
Secara keilmuan, profesi sebagai gelandangan dan pengemis
dikategorikan dalam kegiatan sektor informal. Kegiatan ekonomi sektor informal
begitu mudah untuk dimasuki karena tanpa modal pun seseorang bisa masuk
didalamnya. Dalam praktek, bidang pekerjaan ini adalah sangat menjadi
perhatian dan orientasi dari kebanyakan masyarakat yang tidak berpenghasilan
tetap, yang tidak dapat masuk dalam sektor ekonomi formal dan yang tidak
mampu memiliki modal besar dalam berusaha (Effendi, 2006). Namun, karena
pengetahuan, pengalaman dan skill individu pelakunya yang kurang memadai
mengakibatkan pekerjaan ini begitu berisiko tinggi.
2.2 Karakteristik Masyarakat Madura yang Digambarkan oleh Sumber
Pustaka
Etnis Madura merupakan salah satu etnis yang terkenal sebagai
penduduk perantau dan pekerja keras. Tanah di Madura kurang subur sebagai
lahan pertanian (Hakim, tanpa tahun). Keterbatasan lahan tersebut
mengakibatkan tingginya angka kemiskinan hingga mengakibatkan masyarakat
bermigrasi dalam jangka panjang. Sampai saat ini, banyak masyarakat suku
Madura tidak tinggal di Madura, dan penduduk Madura termasuk peserta
program transmigrasi terbanyak (Hakim, tanpa tahun). Ikatan kekeluargaan
18. 10
sesama etnis sangat kuat. Orang Madura berpikir bahwa di mana ada orang
Madura itulah saudara, apalagi dari daerah yang sama dan memang ada ikatan
keluarga (Humaidy, 2002).
Sistem kekerabatan individu dalam kelompok tertentu di Madura biasanya
memiliki kedudukan dan peranannya masing-masing. Tak jarang seseorang
dapat mempunyai lebih dari satu kedudukan dan peranannya dalam kelompok
kekerabatan (Wibowo dkk, 2002). Masih menurut Wibowo (2002), peranan dan
kedudukan dari setiap individu di Madura dapat diklasifikasi menjadi dua jenis
yaitu lapisan bangsawan (lapisan atas) dan lapisan bukan bangsawan atau
sering disebut lapisan bawah (kabula). Golongan atas dibedakan dalam
beberapa kelas-kelas tertentu tergantung peranannya dalam status sosial yang
ada.
Adapun kelas sosial dalam golongan atas atau golongan bangsawan ini
diantaranya : pangeran, arya, panjhi, raden (bagus), dan mas. Menurut Wibowo
dkk (2002), golongan pangeran dan arya merupakan golongan tertinggi yang
masih memiliki hubungan darah (garis keturunan langsung) dengan “sultan” di
Madura. Sedangkan dibawah pangeran dan arya ada golongan panjhi, Raden,
dan mas. Sedangkan golongan bawah (kabula atau sering juga disebut kawula)
merupakan golongan rakyat biasa. Mereka tidak memiliki hak untuk memakai
atau mengenakan gelar yang biasa dikenakan oleh golongan atas (Wibowo dkk,
2002).
Pulau Madura terdiri dari empat kabupaten diantaranya : Bangkalan,
Sampang, Pamekasan dan Sumeneb. Sebagian besar penduduk pulau Madura
tinggal di pesisir dengan mata pencaharian utama yaitu sebagai nelayan
tradisional, petani garam dan petani tembakau. Namun, ada juga yang berprofesi
lain tetapi jumlahnya tidak begitu banyak. Untuk potensi sosial budaya, Madura
mempunyai beberapa hal yang unik yaitu antara lain karapan sapi, batik Madura,
19. 11
semangat kesetiakawanan yang tinggi, terbuka dan ulet (Sativa dan Utami,
2010).
Rifa’i dalam A’la (2010) menyebutkan bahwsannya masyarakat Madura
sejatinya memiliki pembawaan yang berpijak pada nilai-nilai adiluhung
diantaranya : tanggap, ulet, berkewirausahaan, ketualangan, serta hemat dan
cermat, mereka juga tulus setia dan memiliki keterkaitan kuat dengan agama.
Keuletan tersebut tercermin dari perilaku mereka dalam memenuhi tuntutan
ekonomi. Sehingga, tak jarang mereka merantau ke berbagai daerah bahkan ke
berbagai negara untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Namun, hal tersebut tidaklah seimbang dengan tingkat pendidikan yang
mereka kenyam. Entah kebetulan atau memang berpijak pada anutan tertentu,
mereka terutama yang berdiam di remote area sampai derajat tertentu kurang
memiliki apresiasi yang cukup kuat terhadap pendidikan dan keilmuan yang tidak
berhubungan langsung dengan dasar-dasar agama Islam yang menjadi anutan
mereka (A’la, 2010). Padahal, jika disimak secara baik-baik bahwasannya
masyarakat madura lebih suka menyekolahkan anaknya dalam tataran
pendidikan yang basisnya pondok pesantren. Dalam hal pendidikan, Sujito
(2007) mengungkapkan, orang tua lebih memilih pondok karena disamping
biayanya yang tidak mahal juga mendapatkan pendidikan agama.
Pendidikan yang berbasis pesantren ini sengaja dipilih dikarenakan
masyarakat madura begitu mengagungung-agungkan sosok seorang kyai.
Sebagai pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini mempunyai "otoritas
kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia dianggap sebagai
orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Sirodj, 2009).
Alasan lain mengapa masyarakat Madura memilih pondok pesantren
untuk menyekolahkan anaknya karena disamping biayanya yang tidak mahal
juga mendapatkan pendidikan agama (Sujito, 2007).
20. 12
2.3 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Sikap Mental
Seringkali polemik kemiskinan yang ada di Indonesia selau dikaitkan
dengan ketidak berdayaan dan kepasrahan dalam menghadapi goncangan
ekonomi yang ada. Padahal, jika dilihat dari kaca mata ilmu sosial dan diteliti
secara kualitatif, banyak hal yang memberikan efek terhadap naik atau turunnya
angka kemiskinan yang terjadi. Salah satunya bisa ditinjau dari sikap mental
secara individu kemasyarakatan.
2.3.1 Aplikasi Sikap Mental Terhadap Polemik Kemiskinan
Sikap mental sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang mana nilai tersebut
menjadi landasan dalam etos kerja. Sikap mulai menjadi pokok bahasan dalam
ilmu sosial sejak awal abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner
Dictionary dalam Ramdhani (tanpa tahun) mencantumkan bahwa sikap (attitude),
berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu yaitu “Manner of placing or holding the
body, dan Way of feeling, thinking or behaving” atau dalam bahasa Indonesianya
yaitu cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran,
dan perilaku.
Sedangkan mental sendiri menurut Abidin (2009), diartikan sebagai
kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang
yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dari
papaaran tersebut sangat jelas bahwa sikap dan mental selalu berhungan.
Kartono dalam Abidin (2009) mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental
yang sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai
kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas,
memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi
dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan
memiliki batin yang tenang.
21. 13
Memahami kemiskinan sering kali dikaitkan secara sempit dengan
ketidakmampuan secara ekonomi saja. Sebenarnya banyak hal yang
mempengaruhi terjadinya kemiskinan. Kemiskinan bisa terkait dengan
ketidakmampuan memenuhi standar hidup pada hampir semua aspek
kehidupan, baik yang bersifat material (pendapatan, pangan, air, pakaian, rumah,
sumber energi, keadaan sanitasi, aset lain seperti tanah, ternak, tanaman),
termasuk pendidikan dan kesehatan, maupun non material (pengetahuan kurang,
partisipasi dalam masyarakat terbatas, tidak percaya diri di depan umum,
pendapatnya tidak dihargai, tersisih dalam pergaulan, dan sebagainya) (Ranimpi,
2009).
Implikasi dari polemik kemiskinan yang terjadi untuk saat ini nampak jelas
ketika di lihat dari sudut pandang ekonomi secara mendasar yaitu pola konsumsi
dan produksi. Ditinjau dari pola konsumsi dan produksi yang dilakukan oleh
kalangan masyarakat marginal tidaklah seimbang. Pola konsumsi sendiri
sebenarnya untuk saat ini lebih mengarah kepada konsumsi yang berlebihan dan
mencolok. Dimana konsumsi yang berlebihan dan mencolok tersebut tidak lepas
karena adanya pengaruh-pengaruh dari berbagai media utamanya televisi.
Yang saat ini terjadi di masyarakat, orang-orang di negara berkembang
tidak membelanjakan uangnya yang “pas-pasan” untuk memenuhi kebutuhan
hidup dasar, melainkan untuk membeli “life style” (Dewi, 2007). Masyarakat di
negara-negara berkembang yang belum memiliki kemampuan menyaring
informasi, menganggap gaya hidup kelas atas adalah gaya hidup yang ada di
televisi. Selain itu, konsumsi berlebihan juga diimplementasikan kepada barang
yang mubadzir. Seperti yang di infokan oleh Suprapto (2009), yaitu 70 persen
dari 19 juta penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah
dipakai untuk konsumsi rokok.
22. 14
Ini artinya BLT yang diberikan kepada masyarakat miskin bukan untuk
mengatasi kemiskinan tetapi lebih membantu industri rokok yang ada di
Indonesia. Bukan hanya sekedar mengkonsumsi rokok saja, dengan adanya BLT
masyarakat cenderung menggantungkan bantuan dari pemerintah. Seperti yang
di sampaikan oleh menteri sosial Chamsyah dalam RRI pro3 yaitu, beliau
menghimbau agar pola pikir dan pola hidup masyarakat yang menetapkan
pencaharian hari ini hanya dikonsumsi untuk hari ini harus dirubah dengan pola
pikir hasil hari ini dapat untuk konsumsi hari berikutnya. Dengan berubahnya pola
fikir tersebut, pola konsumsi dan produksi masyarakat marginal menjadi
seimbang. Seimbang disini maksudnya masih ada selisih uang yang disisakan
untuk kebutuhan lain (misalnya tabungan dan modal usaha) dan di sisakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup esok hari.
2.3.2 Sikap Mental dan Hubungannya dengan Marginalisasi yang Terjadi di
Pedesaan
Data dari BPS menyebutkan, angka kemiskinan di Indonesia pada bulan
maret 2009 berjumlah 32,53 juta jiwa, dimana 20,62 juta diantaranya tinggal di
pedesaan dan sebagian besar berprofesi sebagai petani. Alasan kenapa
sebagian besar masyarakat miskin tinggal dipedesaan, menurut Yustika (2008)
yaitu, wilayah pedesaan karena lokasinya jauh dari pusat kota/pembangunan,
dicirikan oleh terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya kesempatan kerja
diluar pertanian (non-farm), dan jauh dari pasar.
Masalah lain yang dijumpai dalam pemasaran hasil pertanian adalah
masih lemahnya posisi tawar petani dalam pembentukan harga (Hermantyo,
2006). Lemahnya posisi tawar ini sering kali diakibatkan oleh tingginya
ketergantungan masyarakat petani terhadap pendapatan dari hasil pertanian
lantaran tidak ada pekerjaaan sampingan yang memberikan pendapatan cukup
23. 15
tinggi selain disektor pertanian, terbatasnya pengelolaan lahan pasca panen,
tidak adanya inisiatif untuk menabung (tidak mau menunda kenikmatan hasil
panen), tidak adanya inisiatif untuk mengolah produk pertanian menjadi produk
bernilai jual tinggi dan terbatasnya akses informasi pasar lantaran kinerja
kelembagaan pertanian kurang dioptimalkan.
Damsar (1995), menyatakan bahwa sebagian besar petani hidup begitu
dekat dengan batas-batas subsistensi dan menjadi sasaran permainan-
permainan alam serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar maka mereka meletakkan
landasan etika subsistensi atas dasar pertimbangan prinsip safety first
(mendahulukan selamat). Maksud dari Damsar tersebut, yaitu sebagian besar
petani selalu berusaha menghindari kegagalan panen yang dirasa akan
menghancurkan kehidupan mereka. Oleh sebab itulah, dalam memilih bibit, cara
tanam, dan cara-cara memperlakukan lahan secara teknis mereka lebih suka
meminimumkan kemungkinan terjadi kegagalan dengan meminimalisasi biaya-
biaya dan berharap memperoleh hasil yang maksimal. Dari tahun ke tahun moral
ekonomi dalam kelompok masyarakat petani sebagai sesuatu yang statis (Scott
dalam Damsar 1995). Sehingga moral petani tersebut sulit untuk lapuk oleh
adanya pengaruh-pengaruh perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial
kemasyarakatan yang berkembang.
Kondisi ini selain disebabkan oleh faktor penduduk desa terpuruk ke
lembah kemiskinan akibat dampak ketidakmerataan pendistribusian hasil-hasil
pembangunan juga oleh sikap mental penduduknya yang mengalami kemiskinan
secara alamiah dan kultural, ini ditunjukkan oleh situasi lingkaran
ketidakberdayaan mereka yang bersumber dari rendahnya tingkat pendidikan,
pendapatan, kesehatan dan gizi, produktivitas, penguasaan modal, keterampilan
dan teknologi serta hambatan infrastruktur maupun etnis sosial lainnya
(Hadiyanti, 2006). Kemiskinan bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam
24. 16
ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran-ukuran
kebudayaan dan kejiwaan (psikologi) dan memberikan corak tersendiri pada
kebudayaan yang ada serta diwariskan dari suatu generasi ke generasi
berikutnya sehingga terciptalah budaya kemiskinan (Humaidy, 2002).
2.3.3 Sikap Mental dan Implikasi Perilaku Mengemis yang Terpolakan
Kemiskinan lainnya yang sering menjadi buah bibir di kalangan
masyarakat yaitu adanya fenomena mengemis. Perilaku mengemis setiap
individu sebenarnya dipengaruhi berbagai hal mendasar. Hal dasar yang
mempengaruhi perilaku mengemis tersebut bisa bersifat internal maupun
eksternal. Menurut Megasari (2009), faktor penyebab menjadi pengemis jalanan
dari faktor eksternal adalah tidak mempunyai modal untuk membuka usaha
sendiri, susah mencari pekerjaan, tingginya penghasilan dari mengemis,
keturunan dari orang tua yang menjadi pengemis, pasrah menerima nasib,
pengaruh perkawinan dan lingkungan tempat tinggal yang mayoritas menjadi
pengemis. Sedangkan faktor internal adalah karena penyakit malas.
Pernyataan lainnya yang berkaitan dengan faktor internal dan eksternal
ini dikemukakan oleh Artijo dalam Humaidy 2002, faktor internal meliputi sifat-
sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik
ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural,
ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis. Sebagian
pengemis, termotivasi menjadi pengemis karena mencari uang dengan cara yang
mudah. Sehingga, karena mudahnya mencari uang dari mengemis tersebut,
inisiatif untuk berusaha mencukupi kebutuhan sendiri menjadi menurun atau
bahkan menghilang.
Untuk itulah, kegiatan mengemis yang terjadi dapat digambarkan menjadi
sebuah pola tersendiri. Dengan alasan keterbatasan sumber daya alam yang ada
25. 17
dan keterbatasan kemampuan untuk berusaha menjadikan kegiatan mengemis
menjadi kambing hitam. Kegiatan mengemis tersebut, sejatinya merupakan
implikasi sikap mental yang arahnya tertuju pada ketidakmauan untuk berperilaku
lebih produktif. Inilah yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup yang
bertumpu pada pola perilaku mengemis dari waktu ke waktu masih menjadi
sebuah potret buram kemiskinan di Indonesia.
2.4 Kemiskinan dan Peran Kelembagaan
Tantangan kemiskinan yang dihadapi Indonesia dari tahun ke tahun
semakin kompleks dan rumit. Sinergitas peran kelembagaan baik pusat maupun
daerah sangatlah dibutuhkan. Otoritas kelembagaan daerah dianggap sangat
urgent dalam menanggulangi sendi-sendi vital kemiskinan yang ada sesuai hak
dan wewenangnya yang tertuang dalam otonomi daerah. Momentum otonomi
daerah mulai dijadikan sebuah panorama baru pembangunan perekonomian
bangsa sejak tahun 2001. Untuk itulah, sebagian besar pelayanan publik yang
dulunya di atur oleh pemerintah pusat kini sepenuhnya menjadi kewenangan
daerah.
2.4.1 Realisasi Otonomi Daerah dan Potret Buram Pertumbuhan
Pembangunan
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, tutuntutan pemerintah daerah
dalam menanggulangi kemiskinan semakin jelas dan lebih terarah mengingat
pemerintah daerah lebih paham dengan kondisi wilayahnya. Kebijakan otonomi
daerah berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi
tuntutan reformasi akan demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya
pemberdayaan daerah. Sektor-sektor vital yang menunjang pertumbuhan
26. 18
perekonomian daerah diharapkan dapat diekplorasikan secara mantab dan jelas
dengan adanya otonomi daerah ini. Sehingga cita-cita makro negara mampu
diwujudkan secara maksimal.
Otonomi daerah sendiri menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999
dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi,
dengan diberlakukannya otonomi daerah ini, ada beberapa hal yang perlu
ditinjau dan diawasi secara seksama oleh pusat mengingat kapasitas tiap daerah
berbeda-beda. Dewi (2007) menyatakan, masing-masing daerah mempunyai
kapasitas kelembagaan yang berbeda dalam penanggulangan kemiskinan
diakibatkan oleh, antara lain : tingkat keterlibatan organisasi yang ada di daerah
tersebut, kondisi kemiskinan, dan latar belakang geografis daerah. Keterlibatan
organisasi yang dimaksud yaitu sejauh mana peran serta kelembagaan baik
formal maupun informal didaerah guna meningkatkan percepatan pertumbuhan
ekonomi daerah.
Selain itu, dengan diberlakukannya otonomi daerah yang notabene
memeperjelas arah pembangunan secara bottom-up, namun realitas yang terjadi
kecenderungan dependensi dari berbagai daerah ke pemerintah pusat semakin
tinggi. Pembangunan di daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi
tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari
pembangunan juga semakin besar (Kuncoro, tanpa tahun).
Kelembagaan yang menanggulangi kemiskinan semakin terdesak ketika
Indonesia dihadapkan pada situasi krisis ekonomi tahun 1997 – 1998. Data dari
BPS menunjukkan angka kemiskinan dari tahun 1996 – 1999 meningkat tajam.
Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta,
yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999.
27. 19
Angka kemiskinan tahun 1999 – 2005 berangsur-angsur mengalami penurunan.
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin tahun 2002 sebanyak 38,40
juta sedangkan tahun 2005 menjadi 35,10 juta. Walaupun sejak tahun 1999
hingga 2005 angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, tetapi
pemerataan upaya penanggulangan kemiskinan dari pemerintah daerah belum
menjangkau seluruh wilayah yang dipimpinnya.
Sangat ironis memang, hegemoni pembangunan yang dituangkan dalam
bentuk otonomi ternyata semakin menguras income negara. Pembangunan
daerah untuk meningkatkan Pendapatan asli daerah (PAD) ternyata akan
berjalan jika ada kucuran dana dari pusat. Padahal, ide utama dari otonomi yaitu
untuk meningkatkan kemandirian daerah. Dimana daerah tidak lagi
menggantungkan masalah keuangan kepada pusat tetapi mampu
mengeksplorasi potensi-potensi yang ada secara maksimal.
Walaupun kondisi geografis tiap daerah memunculkan corak dan
karakteristik yang berbeda, tetapi jelaslah kiranya setiap daerah memiliki
keunggulan komparatif (comparative advantage) tersendiri. Tidak adanya inisiatif
ataupun kesadaran dari pemerintah daerah yang menyebabkan kebijakan untuk
mengembangkan daerah secara maksimal (beraktualisasi diri) hanya sebatas
tulisan yang tidak diimplementasikan. Heryawan (2007) menyatakan,
kemunculan inisiatif daerah tergantung pada beberapa hal, seperti komitmen
kepala daerah dan DPRD, serta dukungan para pemangku kepentingan dalam
membangun tata pemerintahan yang berorientasi pada perbaikan pelayanan
publik dan pemberdayaan kaum miskin.
Kontradiksi dari otonomi daerah ini merupakan sebuah catatan tersendiri
yang harus digaris bawahi. Otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik jika
inisiatif untuk membangun dari masing-masing lembaga daerah hanya angin-
28. 20
anginan. Tidak adanya inisiatif untuk membangun tersebut justru akan
mendorong daerah ke jurang tirani dan cenderung membebani negara.
Aplikasi kebijakan yang dicanangkan oleh kelembagaan dalam
menanggulangi bentuk-bentuk kemarginalan sebenarnya tidaklah lepas dari
peran serta seorang pemimpin. Pemimpin memegang peranan penting dan vital
untuk menyukseskan proses perubahan dan memberikan hasil sesuai yang
diinginkan, dengan menyelesaikan permasalahan yang ada (Indarto, 2008).
melihat fenomena kemiskinan yang ada saat ini, pemimpin di setiap lini harus
berperan lebih aktif dan memiliki inisiatif utuk merencanakan perubahan,
memainkan peran kepemimpinan secara maksimal dan mengontrol
pengaplikasian kebijakan yang dilaksanakan. Untuk memaksimalkan
pembangunan yang ada di desa-desa negara berkembang, yaitu bila mayoritas
penduduk di perdesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi
(pembangunan), maka bisa disimpulkan pembangunan di negara berkembang
telah menjangkau sebagian besar warga negaranya; demikian sebaliknya
(Yustika, 2008).
Mobilitas sosial ekonomi sebagaimana yang diungkapkan oleh Yustika
diatas, haruslah diarahkan pada pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan
yang menganggap masyarakat sebagai subjek dan bukan hanya sebagai objek.
Dengan diberlakukannya sebagai subjek, pola kebijakan bottom-up akan terlihat
secara nyata keefektifannya.
Sebagaimana kasus riil saat ini, kebanyakan negara berkembang
mengandalkan pendekatan growth center dan industri sebagai leading sector
dalam strategi pembangunannya (tanpa memberdayakan masyarakat secara
merata). Karena secara teoritik, daerah pinggiran (periphery) akan berkembang
melalui efek penyebaran (spread effects) dan efek tetesan ke bawah (trickle
down effect). Tetapi pada kenyataannya stategi ini tidak berhasil dalam
29. 21
menyebarkan dan merembeskan efek dari pusat pertumbuhan dan percepatan
transformasi daerah (Fitanto, 2003).
Peran kelembagaan yang memberdayakan masyarakat sangat diperlukan
mengingat fungsi utama dari pemerintah adalah untuk mensejahterakan rakyat
yang tertuang dalam tiga bentuk yaitu : alokasi, distribusi dan stabilisasi. Menurut
Suryono (tanpa tahun), klasifikasi dari fungsi pemerintah tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Fungsi alokasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan penyediaan
dan pelayanan barang-barang publik yang peruntukannya secara komunal
dan tidak dapat dimiliki secara perorangan.
2. Fungsi distribusi memiliki keterkaitan erat dengan perataan kesejahteraan
masyarakat dalam arti proporsional tetap menjadi perhatian dalam rangka
mendorong tercapainya pertumbuhan yang optimal.
3. Fungsi stabilisasi memiliki keterkaitan erat dengan fungsi mengatur variabel
ekonomi makro dengan sasaran untuk mencapai stabilitas ekonomi secara
nasional.
2.4.2 Realitas Kemarginalan di Daerah dan Implikasi Peran Kelembagaan
Dalam kasus kemiskinan yang terjadi diberbagai daerah saat ini tidaklah
lepas dari adanya ketidakberdayaan masyarakat. Ketidakberdayaan keluarga
miskin salah satunya tercermin dalam kasus dimana elite desa dengan
seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang
sebenarnya diperuntukkan untuk orang miskin (Hidayanti, 2006).
Masyarakat miskin tidak berdaya menghadapi biasnya perilaku elite desa
karena sering kali terjadi asymmetric information antara lembaga desa dengan
masyarakatnya. Biasnya perilaku elite desa ini dari waktu ke waktu tetap
konsisten dan eksis dikalangan masyarakat desa. Masyarakat tidak berdaya
30. 22
menanggulangi hal tersebut mengingat adanya keterbatasan akses kelembagaan
dan informasi yang tidak sempurna. Keluarga miskin umumnya selalu lemah
dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi,
sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki
potensi lebih tinggi (Hidayanti, 2006).
Untuk itulah, dalam memajukan perekonomian pedesaan, setidaknya
harus ada peran dari kelembagaan setempat dengan melibatkan
(pemberdayaan) masyarakat, yang mana masyarakat bukan dijadikan objek
tetapi harus terlibat melaksanakan pembangunan dalam hal ini sebagai subjek.
Menurut W.J.S. Poerwadarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
mengartikan peranan adalah, sesuatu yang menjadi bagian atau yang
memegang pimpinan yang terutama (dalam terjadinya suatu hal atau peristiwa).
Sedangkan pemberdayaan, secara definitif yaitu suatu proses tindakan
sosial dimana masyarakat mengatur diri mereka sendiri untuk suatu perencanaan
dan penerapan, mendefinisikan kebutuhan dan masalah individu dan kolektif
mereka, membuat rencana kelompok dan individu untuk memenuhi kebutuhan
mereka dan memecahkan masalah mereka, melengkapi sumber daya yang
dimiliki bila diperlukan dengan jasa dan material yang diperoleh dari pemerintah
dan agen non pemerintah (LSM) di luar komuniti (Effendi, 2006).
Sebelum mengimplementasikan kebijakan lembaga daerah dalam
memberdayakan masyarakat, setidaknya harus ada identifikasi terlebih dahulu
terhadap permasalahan sosial-ekonomi yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Identifikasi ini sangat diperlukan mengingat permasalahan sosial-ekonomi di
setiap daerah berbeda-beda. Setelah dilakukan identifikasi dan ditemukan solusi,
selanjutnya diperlukan adanya rangsangan agar masyarakat mau terlibat dalam
pembangunan derah. Rangsangan untuk memulai proses pembangaunan ini,
31. 23
Sayogyo dalam Hidayanti 2006 mengemukakan beberapa syarat yang harus
dipenuhi diantaranya :
1. Restrukturisasi kelembagaan komunitas.
Maksudnya yaitu tatanan dasar yang mengatur komunitas perlu
direorientasi, dari yang berpola feodalistik dan kolonial ke pola pemerintahan
yang profesional dengan mempertimbangkan adanya pola perilaku
masyarakat yang dinamis.
2. Meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kebudayaan
masyarakat dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada
upaya peningkatan keberdayaan masyarakat desa untuk memperbaiki
nasibnya sendiri.
3. Pada aras program, pendekatan top-down harus segera diganti pendekatan
bottom-up, yang tercermin dari mekanisme pengambilan keputusan dan
penyelenggaraan program. Strategi pembangunan model top-down
(sentralistik) yang selama tiga dekade terakhir telah memarjinalkan arti
masyarakat lokal dan memandulkan inisiatif mereka serta menjauhkan dari
sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka
(Elizabeth, 2004). Adanya kebijakan secara top-down, ruang gerak
masyarakat untuk berekspresi dan beraktualisasi diri menjadi semakin
sempit dan terbatas. Maka dari itu, perubahan pendekatan dari top-down ke
bottom-up diharapkan mampu menstimuli masyarakt untuk lebih kreatif
berekspresi dan lebih bebas dalam beraktualisasi diri.
2.5 Memahami Kemiskinan Ditinjau dari Prospektif Islam
Dalam islam, kemiskinan yang terjadi merupakan suatu masalah yang
perlu segera diatasi. Perhatian islam tentang kemiskinan begitu besar, sampai-
sampai dalam al-Qur'an kata miskin dan masakin disebut hingga 25 kali dan
32. 24
tersebar dalam 19 surat, sementara faqir dan fuqoro disebut-sebut hingga 13 kali
yang tersebar di 10 surat (Ibrahim, 2007). Sangat berbeda jika memandang
kemiskinan dari pendekatan kontemporer (pendekatan umum) dan pendekatan
islam. Dalam pendekatan-pendekatan kontemporer, kemiskinan dipahami
sebagai fenomena sosial yang disebabkan oleh tiga kategori sebagai mana yang
di ungkapkan oleh Darusman (tanpa tahun) :
1. Teori yang menekankan pada nilai-nilai. Dimana mereka miskin lebih
desebabkan karena bodoh, tidak punya prestasi, malas dan tidak ulet.
2. Teori yang menekankan pada organisasi ekonomi masyarakat. Dalam teori
ini, orang miskin lebih desebabkan oleh kurangnya peluang dan kesempatan
untuk memperbaiki hidup mereka.
3. Teori yang menekankan pada pembagian kekuasaan dalam struktur sosial
dan tatanan masyarakat. Teori ini mengemukakan bahwa penyebab
kemiskinan utamanya lebih mengarah pada ketidakberesan tatanan sosial
kemasyarakatan. Misalnya dalam struktur sosial kemasyarakatan, ada
sekelompok orang penguasa yang dengan seenaknya menyalahgunakan
kekuasaannya sehingga menyebabkan orang-orang disekitarnya menjadi
miskin (tertindas).
2.5.1 Pembagian Riski Manusia dalam Tinjauan Agama Islam
Sebagaimana yang di terapkan dalam nilai-nilai ajaran islam, sebenarnya
untuk rizki setiap individu manusia telah diatur, tinggal manusianya saja yang
harus berusaha untuk mencarinya. Ini tertuang dalam Al-qur’an surat Al-Ra’d
ayat 26 dan surat Al-Jatsiyyah ayat 13 yaitu :
“Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendak”i
(QS. Al-Ra’d :26).
33. 25
“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi
semuanya (sebagai rahmat) dari padanya” (QS. Al-Jatsiyyah :13).
Dari ayat tersebut, dinyatakan bahwa semua riski setiap manusia telah diatur
oleh Allah, sehingga manusia tinggal berusaha untuk mencarinya. Apa lagi dalam
ayat lainnya dikatakan bahwasannya alam semesta ini merupakan sumberdaya
yang siap digunakan untuk kepentingan manusia. Sehingga, manusia jangan
hanya pasrah dan meratapi nasib, tetapi harus berusaha untuk keluar dari jeratan
kesengsaraan.
Islam menolak pandangan bahwa kemiskinan merupakan sebuah
keterpaksaan dan tidak perlu ada upaya perubahan nasib karena pandangan
seperti itu merupakan sandungan bagi upaya perbaikan harta yang rusak,
kecurangan timbangan, penegakan keadilan dan solidaritas kemanusiaan
(Qardhawi dalam Soekarni, 2004). Artinya setiap kaum muslim haruslah
berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya guna terlepas dari jeratan rantai
kemiskinan. Kemiskinan yang terus membelenggu masyarakat tidaklah baik. Jika
ini terus menerus terjadi, akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi
(pendapatan rendah, tingkat konsumsi menurun dan tabungan ataupun investasi
ikut menurun).
Jika kita hubungkan nilai-nilai ajaran islam ini dengan kasus pengemis
yang saat ini marak diberbagai daerah, beberapa literatur mengatakan
bahwasannya mengemis itu diperbolehkan bagi orang yang benar-benar tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dilarang bagi orang yang masih
mempunyai kekuatan untuk berusaha. Sebagaimana sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Tarmizi dalam Qardhawi (1993) :
“Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai
kekuatan dengan sempurna”.
34. 26
Sebebnarnya, perilaku mengemis yang sering kita jumpai baik bentuk dan
karakternya bermacam-macam. Ada yang membawa atau menggendong anak
kecil, ada yang anggota tubuhnya luka-luka, ada pula yang anggota tubuhnya
cacat dan lain sebagainya. Disampaikan oleh Yusuf Qardhawi 1993, bahwa tidak
halal juga seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah
orang, padahal dia masih mampu berusaha memenuhi kepentingan dirinya
sendiri dan keluarga serta tanggungannya. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Nas’i yaitu :
“Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka yang dengan
meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri. Oleh karena
itu, siapa mau silakan menetapkan luka itu pada mukanya, dan siapa mau
silakan meninggalkan, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk
suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain”.
2.5.2 Sebuah Rekomendasi Ajaran Islam dalam Mengentaskan Kemiskinan
Untuk menyiasati agar kemiskinan yang ada tidak berlangsung secara
terus-menerus, sebenarnya telah islam memberikan beberapa rekomendasi.
Rekomendasi yang sering ditekankan yaitu : bekerja, zakat, hukum waris,
berhemat dan shadaqoh.
1. Bekerja : setiap umat islam diwajibkan untuk bekerja selama masih memiliki
kemampuan. Bekerja merupakan salah satu aktivitas utama dalam
menanggulangi kemiskinan. Sumberdaya alam yang diciptakan di dunia ini
adalah untuk dikelola (diambil manfaatnya) secara bijak oleh manusia. Maka,
tidak etis rasanya jika manusia yang masih memiliki kemampuan secara
sempurna tidak mau bekerja dan hanya menggantungkan pada nasib.
Dalam surat Al-Taubah ayat 105 dikatakan :
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu”.
35. 27
2. Zakat : mengenai adanya zakat, sebenarnya islam tidak menghendaki
adanya suatu kekayaan yang terkumpul (dikuasai) pada salah satu tempat
dalam masyarakat. Islam menginginkan adanya suatu pemerataan riski dan
menghilangkan jurang pemisah antara golongan kaya dengan golongan
marginal. Maka, bagi kaum yang di nilai memiliki kecukupan harta diwajibkan
untuk membelanjakan hartanya di jalan kebaikan salah satunya berupa
zakat. Kata zakat itu menunjukkan bahwa kekayaan yang dikumpulkan
manusia itu mengandung najis dan kotor, tidak mungkin ia menjadi suci
sebelum dikeluarkan 2,5 % dalam setiap tahunnya (Darusman, tanpa tahun).
Siapa saja yang layak memperoleh zakat, dalam Al-Qur’an surat al-taubah
ayat 60 disebutkan :
"sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fkir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang sedang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan"
3. Hukum waris : yang dikehendaki islam mengenai hukum ini adalah, manusia
tidaklah hanya bekerja mengumpulkan kekayaan untuk diri sendiri dan
setelah itu (setelah meninggal) kekayaan tersebut dibiarkan begitu saja.
Tetapi, haruslah ada sistem pembagian harta kekayaan kepada keturunan
atau kerabat atau bisa juga kepada orang lain (hibah). Dengan adanya
sistem dari hukum waris ini, harapannya roda perekonomian keluarga
ataupun orang yang di beri warisan bisa terus berjalan dengan baik. Atau
setidaknya, harta yang diwariskan bisa dinikmati oleh orang lain.
4. Berhemat : dalam hal ini, islam tidak menghendaki seseorang
membelanjakan hartanya melebihi batas kemampuan financialnya.
Berhemat disini harapannya umat islam bisa menggunakan hartanya untuk
menabung (nantinya digunakan sebagai modal usaha, memenuhi kebutuhan
36. 28
esok hari, untuk berjaga-jaga guna memenuhi kebutuhan yang sifatnya
mendadak dan lain sebagainya).
5. Shadaqoh : pandangan islam mengenai sedekah ini sebenarnya sangatlah
luhur. Dimana orang yang bersedekah dilatih untuk saling perduli terhadap
orang lain.
2.6 Hubungan antara Budaya dengan Eksistensi Kemiskinan di Berbagai
Daerah
Kemajemukan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke
menunjukkan bahwasannya Indonesia kaya akan nilai-nilai budaya.
Kemajemukan bukan tercermin dari banyaknya budaya saja tetapi kemajemukan
bangsa semakin kompleks mengingat keanekaragaman etnis yang mendiami
negeri ini sejak dahulu telah ada. Yaitu melayu (pribumi), kemudian ada etnis
minoritas seperti Cina, India dan Arab, serta lebih dari 300 etnis dimana setiap
etnis mempunyai prinsip dan cara pandang tersendiri (Yustika, 2009).
Keragaman budaya dalam pembangunan ekonomi jika ditinjau dari
beberapa sudut pandang akan menemukan dua hal yang berbeda. Pertama,
nilai-nilai budaya tersebut mampu menjadi motor (penggerak) laju perekonomian
pasca otonomi dengan menginternalkan nilai-nilai budaya lokal pada tiap-tiap
individu serta mengaktualisasikan nilai-nilai kearifan lokal (local wishdom).
Kedua, nilai-nilai budaya justru akan menjadi boomerang yang menghancurkan
laju pertumbuhan ekonomi jika identitas utama dari budaya tersebut mengalami
pergeseran (degradasi). Pergeseran yang dimaksud seperti halnya jika tiap-tiap
individu mulai meninggalkan warisan kebudayaan lokal dan tidak lagi mampu
menyaring nilai-nilai kebudayaan baru yang diterimanya. Dan lebih parahnya lagi
jika kebudayaan baru tersebut diadopsi dan diterjemahkan dalam bentuk
37. 29
kebijakan oleh masing-masing pemegang kekuasaan tanpa ada proses
internalisasi nilai kepada masyarakat.
Padahal dalam kenyataannya, keberhasilan suatu kebijakan atau
pertukaran ekonomi sangat ditentukan oleh kepercayaan yang saling
menguntungkan (mutual trust) yang bersumber dari norma-norma, baik eksplisit
maupun implisit (Sen dalam Yustika, 2009).
Nilai-nilai yang diwariskan oleh budaya bangsa ini sangatlah banyak dan
memiliki arti yang luhur. Beberapa contoh keluhuran nilai budaya dapat dilihat
dari pesan-pesan moral kekayaan budaya bangsa. Misalnya saja warisan budaya
masyarakat Sumbawa, Rote dan Kalimantan Tengah. Bagi orang Sumbawa, etos
kerja masyarakat sangat terkait dengan ajaran Marapu atau hal-hal yang
berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan Marapu. Ada kalimat yang
menjelaskan etos kerja orang Sumbawa:
"ka ningu palumungu wangu palumungu ka ningu panggumangu wangu
panggumangu"
(supaya ada untuk melayani yang dilayani dan supaya ada untuk membakti
yang dibakti (Mubyarto dkk, 1996)).
Jadi dengan kata lain, etos kerja orang Sumbawa memfokuskan pada
kegiatan saling melayani dan saling berbakti terhadap satu dengan yang lainnya
Gambaran umum dari maksud kalimat di atas adalah, bahwa segala sesuatu
yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa, semua dipersembahkan bagi
Marapu. Karena pada ajaran Marapu ini, orang Sumbawa dituntut untuk bekerja
keras dan yang terpenting berbakti pada leluhur, maka dari itu orang Sumbawa
tidak sepenuhnya bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga
untuk Marapu.
Bagi orang Rote etos kerja mereka sangat berkaitan erat terhadap
semangat yang terdapat didalam diri mereka masing-masing. misalkan saja etos
kerja dalam bidang pertanian, untuk menunjukannya dapat dilihat dari sangsi-
38. 30
sangsi “lalaa” yang mana diperuntukan untuk menghukum kemalasan seseorang
(Mubyarto dkk, 1996). Sedangkan untuk masyarakat Kalimantan Tengah, ada
istilah budaya Betang (rumah panjang) yaitu sistem nilai-nilai atau norma
kehidupan bermasyarakat berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, kesetaraan
dalam masyarakat terbuka yang Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan
subkultur dari Pancasila (Mubyarto dkk, 1996). Adapun yang menjadi alasan
mengapa disebut sebagai budaya betang karena dalam satu rumah betang
biasanya diisi oleh beberapa keluarga. Keluarga yang satu dengan yang lain
harus saling mempunyai toleransi yang besar untuk dapat hidup tenang dan
tentram.
Internalisasi nilai-nilai budaya lokal sangatlah penting dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi. Nilai-nilai budaya secara normatif sebenarnya
membentuk pola perilaku masyarakat baik secara disadari maupun tidak
disadari. Hal ini berarti, bahwa perilaku masyarakat Indonesia (yang meliputi
masyarakat daerah di wilayah Indonesia) itu diatur oleh norma-norma dan
kepercayaan-kepercayaan yang terdapat dalam kebudayaan nasional Indonesia
(Rahman dan Yuswadi, 2005).
Terdegradasinya nilai-nilai kearifan bangsa menjadikan masyarakat hidup
dalam keadaan individualis. Berbagai macam upaya dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan (kenikmatan) pribadi tanpa memandang hak-hak untuk orang lain.
Seperti salah satu kasus korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak Gayus TH
Tambunan yang dilangsir oleh Republika Online 27 maret 2010. Fakta tersebut
memberikan gambaran bahwa terdegradasnya nilai-nilai kearifan bangsa
memeberikan implikasi secara langsung pada perekonomian.
39. 31
2.7 Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti sosial pernah melakukan penelitian terhadap fenomena
mengemis. Fenomena ini setiap hari masih saja eksis ditengah-tengah dinamika
masyarakat Indonesia. Salah satu peneliti yang mendalami tentang perilaku
pengemis ini yaitu Sonhaji. Penelitian dilakukan pada tahun 2006 bertempat di
Surakarta. Penelitian yang dilakukan Sonhaji yaitu mencoba mengamati dan
memetakan kegiatan mengemis mingguan (mengemis pada hari kamis dan
jum’at) yang yang bertempat di kelurahan Porwosari, Lawean, Kauman dan
pasar kliwon. Sifat penelitiannya yaitu kualitatif deskriptis dengan menggunakan
data primer dan sekunder. Dimana data primer diperoleh langsung melalui
wawancara dengan pengemis yang diambil dengan metode sampling (jumlah
sampel 19 orang pengemis).
Sedangkan data skunder diperoleh secara tidak langsung baik melalui
catatan dokumen, maupun observasi terhadap objek. Hasil yang didapat,
kegiatan mengemis di Surakarta dari tahun ke tahun tidak ada perubahan secara
signifikan, mulai sebelum dan sesudah krisis jumlah pengemis berkisar antara
100 – 150 orang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, pendapatan yang
diperoleh dari mengemis ini berkisar antara Rp 5.000 – Rp 20.000 setiap kali
mengemis. Sebagian pengemis ada yang berdomisili di Surakarta dan sebagian
berasal dari daerah lain. Kegiatan mengemis di Surakarta ini bukan bersifat
terorganisir tetapi murni karena inisiatif sendiri. Para responden yang berhasil
diwawancarai pada umumnya mengatakan bahwa mereka mau melakukan
kegiatan meminta-minta ini karena keadaan, dalam pengertian ini mereka
kebanyakan adalah orang-orang dari golongan miskin dimana mereka rata-rata
tidak memiliki pekerjaan tetap.
Peneliti lainnya yaitu Iqbali, dimana penelitiannya mengambil tempat di
kecamatan Kubu kabupaten Karangasem Bali. Analisis terhadap data penelitian
40. 32
dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif terutama untuk
data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi langsung. Analisis
kuantitatif terutama untuk data yang diperoleh dari wawancara dengan
menggunakan kuesioner terstruktur. Penelitian yang dilakukan Iqbali ini mencoba
memetakan tempat tinggal pengemis, daerah operasi, dan meneliti kemunculan
pengemis ditinjau dari sejarahnya.
Ada dua desa dimana pengemis ini berdomisili yaitu di desa Tianyar
Tengah dan Tianyar Barat. Masyarakat Tianyar dulunya bukanlah pengemis.
Mereka terbiasa melakukan sistem barter dengan penduduk daerah lain untuk
memperoleh barang yang mereka inginkan. Sistem barter ini dilakukan karena
terbatasnya sumberdaya alam yang ada. Kondisi alam di desa Tianyar sangat
kering jika musim kemarau dan tidak memungkinkan digunakan sebagai tempat
untuk bercocok tanam. Walaupun ada itupun luasnya terbatas. Setelah gunung
Agung meletus, pola hidup masyarakat mulai berubah. Yang dulunya sistem
barter berjalan dengan baik, saat ini mulai ditinggalkan dan beralih menjadi
pengemis. Perilaku mengemis ini dilakukan lantaran daerah yang dulunya
dijadikan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat sekitar (walaupun luasnya
terbatas), kini menjadi tandus dan berpasir lantaran terkena imbas dari letusan
gunung Agung.
Ditinggalkannya sistem barter ini lantaran adanya faktor pendorong dan
penarik. Faktor pendorongnya yaitu : kondisi sumberdaya alam yang tidak
mendukung untuk bercocok tanam dan adanya kalangan tertentu dari
masyarakat yang mengajak mengmis. Sedangkan faktor penariknya yaitu,
perilaku masyarakat kota yang selalu memberi uang jika ada pengemis
menyambangi rumahnya. Karena adanya faktor pendorong dan penarik tersebut,
hingga kini eksistensi pengemis di desa Tiayar ini tak kunjung berkurang bahkan
terus bertambah. Daerah yang sering dijadikan target operasi dari para pengemis
41. 33
ini diantaranya Denpasar, Badung, Singaraja, Banyuatis dan Munduk. Melihat
keberhasilan dari pengemis ini, masyarakat di daerah sekitar mulai tertular untuk
mengemis. Mereka yang mengemis sebagian bisa membeli sepeda motor,
membeli sapi, membeli babi dan bisa membangun rumah.
Untuk kasus pengemis di Madura, sebenarnya pernah diteliti oleh
beberapa peneliti sosial salah satunya Humaidy (2002). Tipe penelitian yang
digunakan adalah deskriptif analitis dengan teknik pengumpulan data melalui
wawancara mendalam (indepth interview) kepada para tokoh masyarakat
setempat, pejabat pemerintah mulai dari level aparat desa sampai kabupaten,
para pemerhati sosial khususnya yang pernah melakukan penelitian sejenis, dan
pengemis sebagai objek. Penelitian tersebut membahas kontradiksi pengemis di
desa Peragaan Daya kabupaten Sumenep. Beberapa hasil penelitiannya berupa
adanya paradigma budaya mengemis yang disangkutkan dengan hukum-hukum
yang berlaku. Hasilnya yaitu, pengemis disana beranggapan bahwa mengemis
tidak berlawanan dengan ajaran Islam dan hukum-hukum lainnya. Karena
masyarakat Peragaan beranggapan bahwa mengemis merupakan kegiatan yang
mulia karena mereka terkendala sulitnya mencari kerja (Humaidy, 2002).
Aktivitas ini oleh Humaidy diklasifikasin menjadi dua jenis yaitu dilakukan
secara tradisional (menggendong barang, bayi, berpakaian compang-camping
dan ekspresi melas) dan modern (terorganisir, menggunakan amplop dan stiker)
umumnya mereka bekerja sama dengan beberapa lembaga tertentu (pondok
pesantren, masjid dan madrasah). Kondisi wilayah di desa Peragaan ini tandus
dan berbatu sehingga masyarakat cukup kesulitan untuk memanfaatkannya
untuk bercocok tanam. Dulunya masyarakat Peragaan biasa mencari kayu dan
mengumpulkan batu-batu dari gunung untuk dijual. Karena pendapatan yang
mereka peroleh dari menjual kayu dan batu kurang mencukupi, sehingga mereka
mulai menjalani aktivitas sebagai pengemis. Bagi pengemis yang sudah berumur
42. 34
50 tahun ke atas, orientasi hidupnya diarahkan untuk pemenuhan biaya hidup
dasar, sedangkan bagi kaum muda, orientasinya tertuju ke barang-barang seperti
sepeda motor dan alat rumah tangga lainnya.
Masyarakat Peragaan memegang filsafat hidup yang di tularkan secara
turun-temurun oleh leluhur mereka yaitu sebuah pernyataan “kalau ingin kaya
harus miskin dahulu”. Adanya filsafah inilah yang menyebabkan keberadaan
pengemis terus eksis ditengah-tengan masyarakat Sumeneb. Dari wawancara
yang dilakukan oleh Humaidy, didapat bahwa pekerjaan mengemis dirasa sangat
menjanjikan mengingat mudahnya mencari uang ditengah-tengah sulitnya
lapangan pekerjaan. Aktivitas mengemis bagi masyarakat Peragaan bukanlah
mereupakan pekerjaan sampingan tetapi sudah menjadi pekerjaan pokok
(profesi harian). Hasil yang di dapat selain untuk membeli kebutuhan harian,
sebagian disimpan terlebih dahulu dan nantinya digunakan untuk membeli sapi,
membeli sepeda motor, membangun rumah dan membeli perhiasan.
Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut, sebagian besar mempelajari
pengemis dari segi historis, daerah operasi, daerah asal dan kondisi wilayah
dimana pengemis tersebut tinggal. Sangat jarang referensi (penelitian terdahulu)
yang membahas mengenai pengemis dari segi mental lokal. Kesehatan mental
hendaknya dipahami sebagai isu yang bersifat multidisipliner, sehingga ilmu
psikologi (psikiatri) tidak menjadi penguasa tunggal dalam mengkaji soal ini
(Ranimpi, 2009).
Memperkaya pengkajian mengenai hubungan mental lokal dengan
kemiskinan sangatlah membantu peneliti-peneliti lain yang mengambil topik
sejenis. Pengaruh mental lokal masyarakat sangat besar terhadap keputusan
berproduksi atau bekerja. Atau kata lainnya mental lokal memiliki hubungan
resiprokal dengan perilaku seseorang. Dengan meningkatnya masyarakat yang
43. 35
bekerja, fokus utama dari tiga final goal makroekonomi (peningkatan
pendapatan, pemerataan, stabilitas) akan tercapai.
2.8 Kerangka Pemikiran
Perubahan sosial tiap individu sering kali dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan dari luar maupun dari dalam. Hal inilah yang sangat erat kaitannya
dengan produktivitas ataupun proses penerimaan pengaruh-pengaruh hal baru
dari eksternal individu. Konsep mental lokal biasanya sangat melekat (mengakar
kuat) dalam pembentukan karakter individu dalam suatu komuitas atau komunal.
Mental lokal dalam ranah pengkajian biasanya tidaklah lepas dari pengaruh-
pengaruh kelokalan yang sifatnya selalu dinamis. Pengaruh tersebut bisa dari
kondisi kelembagaan maupun budaya lokal.
Seperti yang dikemukakan oleh Kunio dalam Yustika (2009), dalam
lintasan sejarah terbukti bahwa antara pendapatan, budaya dan kelembagaan
(pranata) telah melakukan interaksi yang saling menguntungkan. Dimana faktor
pendorong individu untuk melakukan kinerja ekonomi adalah karena adanya
faktor budaya dan kelembagaan. Maksudnya budaya dan kelembagaan disini
berpengaruh terhadap individu dalam berproduksi ataupun bekerja melalui
pembentukan pola fikir. Keputusan individu untuk bekerja atau ber produksi
sangat menentukan kinerja ekonomi. Kinerja ekonomi tersebut dalam kurun
waktu tertentu akan memberikan efek pembentukan polafikir individu tetapi sekali
lagi ini tidak terjadi sekaligus (memerlukan proses). Adapun bagan interaksi
pendapatan, budaya dan kelembagaan yang dikemukakan oleh Kunio adalah
sebagai berikut :
44. 36
Gambar 01 : Interaksi Antara Pendapatan, Budaya dan Kelembagaan
Budaya memiliki hubungan resiprokal dengan individu karena budaya sendiri
merupakan hasil karya dari manusia. Budaya adalah ekspresi yang
menggambarkan eksistensi manusia di dunia (Mubyarto, 1996).
Menurut Ismani 2001, sikap mental selalu dikaitkan dengan nilai-nilai
yang dijadikan sebagai landasan dalam etos kerja. Nilai-nilai sendiri berasal dari
berbagai sumber antara lain : agama, filsafat dan kebudayaan yang dianut oleh
suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Berdasar pada penjelasan beberapa
teori tersebut, sebenarnya antara kelembagaan dan nilai-nilai lokal
mempengaruhi pola fikir (mind set) individu. Pola fikir tersebut berkorelasi
dengan pengambilan keputusan individu untuk bekerja atau berproduksi. Dalam
jangka panjang, keseimbangan antara produksi dan konsumsi sangat
menentukan pola perilaku masyarakat. Tak heran, jika mengalami kegagalan
dalam berproduksi (konsumsi lebih dominan), keputusan mengemis akan
menjadi sebuah keniscayaan untuk dijalani.
Dari penjelasan beberapa teori mengenai hubungan nilai-nilai lokal,
mental individu maupun perilaku individu dapat digambarkan dalam bentuk
bagan (kerangka pemikiran) sebagai berikut :
Kelembagaan
Keputusan Produksi
Kinerja Ekonomi
Individu Budaya
45. 37
Gambar 02 : Pola Keterkaitan Nilai-Nilai Lokal dengan Mental Lokal yang
Mengarah Pada Penentuan Pola Konsumsi dan Produksi.
Keputusan Konsumsi Lebih Dominan dari
pada Produksi
Keputusan
Mengemis
46. 38
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Karena objek yang diteliti tidak sebatas pada pemahaman, pencarian dan
pendeskripsian data semata, maka diperlukan sebuah pendekatan analisis
secara mendalam guna diperoleh hasil yang lebih kompleks. Untuk itulah, maka
jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kulitatif dimana
penelitian deskriptif ini mencoba mendeskripsikan suatu fenomena yang
berlangsung ketika penelitian dilakukan. Dalam artian penelitian deskriptif
tersebut mencoba memaparkan kekinian fenomena-fenomena yang diteliti
(fenomena yang terjadi pada saat ini).
Penelitian kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami
masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistic),
dibentuk oleh kata-kata, dan diperoleh dari situasi yang alamiah (Tambunan,
2010). Maksud dari Tambunan tersebut yaitu, penelitian kualitatif diharapakan
mampu memperoleh data secara lebih dalam dan lebih kompleks karena data
yang di cari sebagian diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti.
Pendekatan kualitatif digunakan bila peneliti ingin memahami sudut
pandang partisipan secara lebih mendalam, dinamis dan menggali berbagai
macam faktor sekaligus (Cresswell, 1994 : dalam Tambunan, 2010 ). Dinamika
sosial yang terjadi dimasyarakat haruslah diteliti secara mendalam agar berbagai
faktor yang mempengaruhi fokus penelitian dapat diungkap secara kompleks dan
lebih mendalam.
47. 39
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan berupa penelitian studi kasus dimana penelitian
ini lebih spesifik mencoba untuk mempelajari dan mengamati fenomena yang
ada di suatu daerah sesuai kebutuhan penelitian. Adapun tempat atau lokasi
penelitiannya yaitu dilakukan di desa Branta Tinggi kecamatan Tlanakan
kabupaten Pamekasan pulau Madura. Dari pemilihan tempat tersebut,
harapannya mampu menjawab permasalahan penelitian.
3.3 Penentuan Informan
Untuk mengetahui keakuratan dan keaktualan informasi, maka kehadiran
informan sangat diperlukan. Informan-informan tersebut oleh peneliti digunakan
sebagai basis akurasi dan aktualisasi data yang berkaitan dengan isu-isu sosial
yang diteliti. Selain itu, dengan hadirnya informan, fokus utama penelitian
mengenai hubungan mental lokal dengan perilaku mengemis di desa Branta
Tinggi tidak lagi menjadi sebuah isu yang mengambang, tetapi lebih mengarah
pada isu-su sosial yang bisa dibuktikan keberadaannya.
Informasi yang di peroleh nantinya di analisis dan di bandingkan antara
data dari informan satu dengan informan lainnya untuk melihat cocok atau
tidaknya persepsi antara informan yang satu dengan informan yang lain
berkaitan dengan isu yang diteliti. Untuk itulah, beberapa informan yang sengaja
ditunjuk diantaranya : pertama, masyarakat lokal yang terlibat dalam lingkup
penelitian (pengemis). Dimana masyarakat ini secara langsung terlibat dalam
satu kesatuan sistem interaksi sosial suatu komunitas. Adapun maksud dan
tujuan peneliti memilih masyarakat pengemis adalah untuk mengetahui sejauh
mana paradigma yang berkembang sehingga berpengaruh pada perilaku
mengemis mereka.
48. 40
Selanjutnya informan non-pengemis sengaja dipilih guna menjabarkan
bagaimana interaksi atau hubungan sosial pengemis dikalangan masyarakat
umum (pengemis dengan non-pengemis) dan sejauh mana pengaruh interaksi
hubungan sosial tersebut dalam pembentukan paradigma (pola fikir) bagi
pengemis maupun non-pengemis. Kedua, kepala desa yang secara langsung
terlibat dan berpengaruh terhadap mobilitas sosial-ekonomi kemasyarakatan di
desa Branta Tinggi. Dari kepala desa ini harapannya peneliti mampu
memperoleh informasi mengenai bagaimana peran kelembagaan dalam
mempengaruhi mobilitas sosial-ekonomi (utamanya yang berkaitan dengan isu-
isu perilaku mengemis masyarakatnya) di desa terkait melalui kebijakan-
kebijakan yang diterapkan ataupun yang masih direncanakan.
Ketiga, kyai dan tokoh masyarakat setempat yang secara struktur
kemasyarakatan informan tersebut memiliki pengaruh terhadap tindakan sosial
masyarakat. Sebagai pemimpin informal, kyai oleh banyak orang diyakini
mempunyai "otoritas kebenaran" yang sangat besar serta kharismatik karena ia
dianggap sebagai orang suci yang dianugerahi berkah Ilahi (Chufron, 2009). Kyai
dan tokoh masyarakat tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran
secara umum mengenai hubungan antara masyarakat dengan sosok pemimpin
informal dan sejauh mana pengaruh keduanya (kyai dan tokoh masyarakat)
terhadap tindakan (perilaku) masyarkat desa Branta Tinggi.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Dalam setiap penelitian, peneliti tidaklah lepas dari data-data yang
menunjang ke kebakuan informasi yang dipaparkan. Data adalah fakta empirik
yang dikumpulkan oleh peneliti untuk kepentingan memecahkan masalah atau
menjawab pertanyaan penelitian (Dharma, 2008). Data dalam penelitian dipilah-
49. 41
pilah berdasarkan jenis dan sumbernya. Adapun jenis data yang dimaksud
meliputi : data subyek, data fisik dan data dokumenter.
a. Data Subyek : Data subyek adalah jenis data penelitian yang berupa opini,
sikap, pengalaman atau karakteristik dari seseorang atau sekelompok
orang yang menjadi subyek penelitian (responden). Data subjek ini sengaja
dipilih karena peneliti ingin menggali informasi yang ada dimasyarakat
utamanya yang berkaitan dengan fenomena sosial ekonomi yang terjadi.
b. Data Fisik : Data fisik merupakan data penelitian yang berupa objek atau
benda-benda fisik, antara lain dalam bentuk: bangunan atau bagian dari
bangunan, pakaian, buku, dan senjata. Dengan memilih data fisik ini,
harapannya peneliti mampu menggambarkan secara umum kondisi wilayah
dari objek yang diteliti.
c. Data Dokumenter : Data dokumenter adalah jenis data penelitian yang
antara lain berupa: faktur, jurnal, surat-surat, notulen hasil rapat, memo,
atau dalam bentuk laporan program. Data dokumenter tersebut
harapannya mampu memberi tambahan informasi kepada peneliti dengan
dasar adanya data-data terdahulu yang tersimpan dalam bentuk laporan,
jurnal, dan lain sebagainya.
Sedangkan berdasarkan sumbernya, data dalam penelitian
diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu : data primer dan data skunder.
a. Data Primer (primary data) : yaitu data yang diperoleh secara langsung
oleh peneliti dari sumber datanya. Untuk mendapatkan datanya, peneliti
harus mengumpulkan secara langsung dengan beberapa teknik
diantaranya : observasi, wawancara, diskusi, dan penyebaran kuesioner.
b. Data Sekunder (scondary data) : yaitu data yang diperoleh peneliti dari
sumber-sumber yang telah ada (peliti tangan ke dua) atau bisa juga disebut
50. 42
data diperoleh secara tidak langsung yang menunjang keabsahan
informasi penelitian.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, ada beberapa teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data. Adapun teknik yang digunakan pengumpulan data
berdasarkan Afriyani, 2009 yaitu : observasi, dokumentasi dan wawancara.
a. Obsevasi : observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik
perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu
mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan
pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap
pengukuran. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi
adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, kejadian atau peristiwa,
waktu, dan perasaan.
b. Dokumentasi : Dokumentasi adalah pengumpulan data yang diperoleh
dari bahan-bahan yang berbentuk dokumen. Sebagian besar data yang
tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata,
laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Implikasi utama dari data ini tak
terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam
c. Wawancara : Wawancara merupakan suatu kegiatan tanya jawab antara
pewawancara dan yang diwawancarai untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan. Atau bisa juga teknik wawancara ini dipakai sebagai alat re-
cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah
diperoleh sebelumnya.
51. 43
3.6 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan dilakukan analisis dan diolah sesuai dengan
sifat dan kategori karakteristik data, yaitu pendeskripsian. Pendeskripsian disini
meliputi upaya-upaya untuk mempelajari dan menjelaskan mengenai hubungan
mental lokal dengan perilaku mengemis. Sebenarnya analisis data merupakan
upaya mencari data secara sistematis yang didasarkan atas catatan wawancara,
observasi, dokumentasi dan lain sebagainya untuk meningkatkan pemahaman
penelitian atas obyek dan subyek yang diteliti.
Menurut Maryaeni (2005), analisis merupakan kegiatan :
(1) pengurutan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan
pemahaman yang ingin diperoleh; (2) pengorganisasian data dalam formasi,
kategori, ataupun unit perian tertentu sesuai dengan antisipasi peneliti; (3)
interpretasi peneliti berkenaan dengan signifikansi butir-butir ataupun satuan
data sejalan dengan pemahaman yang ingin diperoleh; (4) penilaian atas
butir ataupun satuan data sehingga membuahkan kesimpulan: baik atau
buruk, tepat atau tidak tepat, signifikan atau tidak signifikan.
Dalam penelitian ini, secara keseluruhan terdapat empat tahapan yang
digunakan untuk menganalisis data yaitu :
1. Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan merupakan hasil dari wawancara, observasi,
Dokumentasi dan lain sebagainya. Data-data yang terkumpul ini masih berupa
data mentah dan perlu dilakukan pemilahan untuk menemukan isu-isu utama
penelitian yang lebih fokus.
2. Penyajian Data
Penyajian data yaitu data yang dihasilkan melalui proses reduksi data
akan langsung disajikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang
52. 44
memberikan kemungkinan adanya penerikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
3. Reduksi Data
Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir
dapat diambil (Miles dan Huberman, 1992). Maksud utama dari reduksi ini yaitu
untuk memeperoleh data yang lebih tajam dan lebih fokus terhadap penelitian
sehingga dapat mempermudah dalam penarikan kesimpulan.
4. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus-menerus selama peneliti
melakukan penelitian. Penarikan kesimpulan dimaksudkan untuk mengetahui
secara mendalam mengenai objek yang diteliti. Sehingga, mempermudah dalam
mengetahui isu-isu utama dari penelitian.
53. 45
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Geografis ; Sebuah Eksplorasi Pengolahan Potensi Ekonomi
yang Belum Optimal
Dilihat dari bentang alamnya, kondisi tanah di Madura sebagian besar
berupa tanah grumusol. Menurut Karjadi (2000), umumnya tanah grumusol yaitu
berupa batu-batuan endapan yang berkapur biasanya berada di daerah bukit
maupun gunung, sifat tanah seperti ini biasanya basah (becek berlumpur) jika
musim hujan dan sangat kering jika musim kemarau. Bukan hanya itu saja,
sebagian besar wilayah Madura beriklim C (iklim hujan sedang), D (iklim agak
kering), dan E (iklim kering) dengan 8 – 10 bulan kering (Schmidt dan Ferguson
dalam Swarso, 2007). Karena kondisi tanah dan iklim yang tidak mendukung
untuk dikembangkannya tanaman yang mengandalkan kesuburan tanah,
sehingga sebagian besar masyarakat Madura terpaksa menanam tanaman
seperti ketela pohon, jagung, dan tembakau.
Tak ubahnya daerah Madura lainnya, desa Branta Tinggi juga mengalami
kondisi yang serupa. Kontur tanahnya yang kurang subur dan berpapasan
langsung dengan laut, menjadikan ketela pohon, jagung dan tembakau sebagai
tanamam favorit. Sebagaimana yang diungkapkan oleh pak Junaidy :
“Sebenyak oreng-oreng kadintoh nggi namen pohong, jegung,
bekoh....ye...kadeng-kadeng e..tanemin padih mon mosem ojen...ye...gunak
ruah se bisah e tanem...mon e tanemin selain ye tak odik....”
(kebanyakan orang-orang disini ya menanam ketela pohon, jagung,
tembakau, ya...kadang-kadang juga menanam padi kalau musim
penghujan...yah...mungkin hanya itu yang bisa ditanam...kalau tanaman
lainnya kadang tidak hidup)
Beberapa sumber pustaka sering kali memaparkan bahwasannya
tembakau Madura memiliki cita rasa yang unik dan berkualitas tinggi. Tembakau
Madura mempunyai mutu spesifik yang sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok
54. 46
sebagai bahan baku utama (Istiana, 2003). Untuk itulah, tembakau-tembakau
yang ada di Madura banyak dibudidayakan diberbagai tempat di Madura mulai
pegunungan hingga pesisir. Namun, kualitas tembakau tiap-tiap daerah berbeda-
beda sehingga muculah ketimpangan harga komoditas.
Kualitas tembakau yang dihasilkan desa Branta Tinggi tidaklah sebaik
tembakau didaerah Madura lainnya. Karena lokasinya berpapasan dengan laut
tersebut yang menjadi corak tersendiri sehingga kualitas tembakau di desa
Branta Tinggi ini kurang bagus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh kepala
desa terkait :
”Dulu pernah dilakukan penelitian oleh orang-orang Universitas Madura
mengenai tembakau yang ada di daerah sini, katanya kualitas tembakau yang
berada di pinggir pantai mutunya memang tidak sebagus tembakau yang ada
di daerah pegunungan maupun daerah yang jauh dari pantai lainnya”.
Tanah-tanah yang ada sebagian dibiarkan kering lantaran jika ditanami
tembakau hasil yang diperoleh tidak maksimal. Daun tembakau yang tipis
menjadikan bobot panen kurang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para
petani. Bukan hanya itu, cita rasa dari tembakau yang dihasilkanpun kurang
diminati oleh konsumen. Sebagaimana yang paparkan oleh H. Hamin :
“Bekoh kadintoh bek jubek, amargeh semak ambi tasek...dedih ye...aselah
gunak skonik...deunah tepes apa pole rasanah korang nyaman...mon oreng-
oreng kadintoh juelah paleng larang ye....lemabeles ebuh...tapeh jarang
dek...sebenyak pemborong melenah sepolo sampe dubeles ebuh
sekilonah...tak engak e Sumeneb...se ejuel sampe pa’lekor ebuh sekilonah.”
(Tembakau disini agak jelek, lantaran dekat dengan pantai..jadi ya...hasilnya
cuma sedikit...daunnya tipis-tipis apa lagi rasanya kurang enak...kalau orang-
orang disini jualnya paling mahal ya...Rp. 15.000...tapi jarang
dek...kebanyakan pemborong membelinya Rp 10.000 hingga Rp 12.000 per
kilogramnya...tidak seperti di Sumeneb...yang bisa dihargai hingga Rp 24.000
per kilogramnya)
55. 47
Walaupun karakteristik wilayahnya sebagian besar memiliki corak yang
kering dan kurang subur, tetapi potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh
desa Branta Tinggi ini sangatlah melimpah. Wilayahnya yang dekat dengan
pantai dan jalur transportasi utama antar wilayah di Madura merupakan salah
satu aset berharga yang perlu di tinjau lebih lanjut. Wilayah Branta Tinggi bagian
selatan, memiliki pantai dengan pasir putih yang luas dengan keanekaragaman
hayati yang terkandung didalamnya seperti kepiting, tiram, ikan, tanaman bakau,
karang yang kondisinya masih utuh dan aneka flora dan fauna lainnya yang
dijadikan sebagai salah satu faktor penting penggerak perekonomian desa.
Keindahan pantai hingga saat ini dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian untuk
dikembangkan lebih lanjut (misalnya sebagai objek wisata atau untuk tambak
ikan).
Gambar 03 : Tanaman Tembakau Masyarakat di Desa Branta Tinggi
Sumber : Survey Lapang, 2009.
56. 48
Bentang alam di bagian tengah desa Branta Tinggi sebagian besar
berupa tegalan dan kebetulan dilalui oleh jalur transportasi utama pulau Madura.
Hal inilah yang menjadikan wilayah ini semakin potensial untuk dikembangkan
lebih jauh. Pengembangan potensi yang ada berkaitan dengan adanya faktor
pendukung berupa sarana transportasi yang memadai yaitu berupa
pengembangan industri olahan. Daerah-daerah yang banyak industri pengolahan
tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit
industri pengolahan (Nursyadin dkk, 2007).
Industri pengolahan sangatlah potensial dikembangkan lantaran sumber
daya (alam dan manusia) di daerah Branta Tinggi sangatlah melimpah
jumlahnya. Sumber daya alam potensial dari hasil laut dan pertanian hingga saat
ini dalam pemasarannya hanya sebatas pada keprimeran produk semata. Selain
terdapat sarana transportasi yang memadai, tata letak dari desa Branta Tinggi ini
sangatlah strategis. Ini dikarenakan desa Branta Tinggi berdampingan langsung
dengan pusat perekonomian yang ada di kabupaten Pamekasan yaitu pasar
besar kabupaten. Jarak dari desa ke pusat perekonomian + 7 Km. Untuk itulah,
Gambar 04 : Potensi Pantai di Desa Branta Tinggi
Sumber : Survey Lapang, 2009.
57. 49
jika pengembangan industri olahan benar-benar dilaksanakan, maka hasil-hasil
produksi yang ada sangatlah mudah dipasarkan.
Tidak berhenti pada dukungan dari adanya sarana transportasi saja,
bagian desa Branta Tinggi sebelah utara, untuk saat ini telah memiliki sumur bor.
Dimana sumur bor yang ada digunakan untuk mencukupi kebutuhan air bersih
beberapa desa di Pamekasan. Selain itu, sumur bor yang ada oleh sebagian
masyarakat digunakan untuk mengairi ladang-ladang tembakau. Aset berharga
seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu sumber devisa desa.
Pemaparan tersebut diatas merupakan beberapa potensi yang hingga saat ini
belum terekplorasi secara maksimal. Bahkkan, walaupun desa ini memiliki akses
air bersih yang sangat lancar, namun melimpahnya air bersih yang dimiliki
sebagian besar dikuasai oleh PDAM Pamekasan. Sehingga, setiap hari
masyarakat harus mengeluarkan + Rp 2.000 untuk memenuhi bak mandi yang
dimilikinya.
Lebih parahnya lagi, air yang diperoleh dari PDAM tersebut tidak bisa
digunakan untuk kebutuhan konsumsi lantaran rasanya agak asin. Dan itupun
sebagian masyarakat Branta Tinggi ada yang tidak memperoleh bagian jatah air
dari sumur bor lantaran sebagian air yang ada disalurkan ke beberapa desa lain.
Untuk kebutuhan air konsumsi, masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan
+ Rp 4.000 demi membeli air bersih yang digunakan sebagai air konsumsi
selama dua hari. Dengan uang Rp 4.000 air yang diperoleh sebanyak 10 jirigen
berukuran 5 liter per jirigennya. Pembelian air konsumsi ini biasanya dilakukan di
salah satu rumah penduduk yang telah ditunjuk oleh PDAM sebagai agen
penyuplai air konsumsi. Kondisi ini memperparah kehidupan masyarakat desa
lantaran biaya-biaya kebutuhan harian cukup tinggi.
58. 50
Tawaran pasokan air bersih dengan harga cukup terjangkau hingga saat
ini masih belum ada. Teknologi tepat guna yang dicanangkan sebagai salah satu
alternatif untuk mengurangi biaya konsumsi air bersih hanya sebatas wacana
yang belum terealisasiikan. Sebagaimana dipaparkan oleh Faishal :
“Saben pernah bedhe sosialisasi deri pemerintah, se ca’en ngebangunah
detilator tenaga surya....anoh...alat se ndediagih aing acen dedih aing taber se
ngandalagih tenaga matahari...tapeh tak taoh poleh...sampe setiah adek
kaberah poleh....”
(Dulu pernah ada sosialisasi dari pemerintah, yang katanya mau membangun
destilator tenaga surya...itu...alat yang mengubah air asin menjadi air tawar
dengan bantuan sinar matahari...tapi tak tahu lagi...sampai sekarang tidak ada
kabarnya)
Memang, jika diilihat dari sketsa riil kondisi wilayah, sebenarnya pengembangan
destilator tenaga surya yang dimaksud benar-benar membantu masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan air konsumsi.
Melihat melimpahnya pasokan air dari laut yang bisa dijadikan air tawar
menggunakan teknologi tepat guna tersebut, sebenarnya kebijakan ini mampu
Gambar 05 : Ketergantungan Air Bersih untuk Minum
Sumber : Survey Lapang, 2009.
59. 51
mengurangi beban masyarakat jika benar-benar direalisasikan. Namun, itu
semua masih berupa wacana dari pemerintah setempat dan tidak tahu kapan
realisasinya.
4.2 Realitas Interaksi Masyarakat Desa Branta Tinggi Berkaitan dengan
Perilaku Mengemis
Tak ubahnya didaerah Madura lainnya, hubungan kekerabatan yang
terjadi di desa Branta Tinggi ini sangatlah erat. Hampir seluruh masyarakat di
Madura dari kampung yang berbeda saling mengenal satu sama lainnya
(Citrayati dkk, 2008).
Ada filosofi yang berkembang di kalangan orang Madura bahwa kalau
mereka saling bertemu meskipun tidak saling kenal, mereka tetap disebut
saudara (Humaidy, 2002).
Bahasa Madura penduduk desa Branta Tinggi sangatlah berbeda dengan
penduduk di beberapa desa seperti Bangkalan dan Sampang. Bahasa yang
digunakan di desa ini sangat halus dan santun walaupun percakapan dilakukan
pada teman sebaya. Penggunaan bahasa Madura yang halus hanya dilakukan
oleh beberapa desa di dua kabupaten yaitu Pamekasan dan Sumeneb.
Sebagaimana diungkapkan oleh bapak Sura’i :
“Bahasanah oreng-oreng neng Pamekasan nggi padhe ambi’ oreng-oreng
neng Sumeneb. Kadintoh nganggui bahasa Medureh alos...tak padhe ambi’
oreng-oreng Sampang ambi’ Bankalan se bahasanan beg kasar”.
(Bahasa orang-orang pamekasan identik dengan bahasa yang digunakan oleh
orang-orang Sumeneb. Disini menggunakan bahasa Madura yang
halus...tidak sama dengan bahasa yang digunakan orang-orang Sampang
atau Bangkalan...bahasa mereka agak kasar)
Tata bahasa yang halus oleh sebagian besar masyarakat diikuti dengan
tingkah laku yang halus dan santun. Ada beberapa hal menarik ketika bertamu di
rumah penduduk di desa ini. Setiap tamu yang datang, selalu diwajibkan untuk
makan dirumah orang yang didatangi. Walaupun makanan yang disajikan
60. 52
alakadarnya, tetapi untuk mencicipinya hukumnya wajib bagi seorang tamu.
Secara luas dijelaskan oleh bapak Junaidy :
“Ben tamoh se deteng kadintoh mesteh e beri’in ngakan...hukumah wajib
nekah...dedih tamoh se detang nggi wajib ngakan....e beri’in ngakan amargeh
oreng kadintoh mesteh ngormateh tamoh...mangkanah mon tak e kakan
nase’en ambik tamonah...nggi engak tak ngormaten neng tuan rumah..”
(setiap tamu yang datang disini selalu diberi makan...hukumnya wajib...jadi
tamu yang datang pun juga wajib untuk memakannya...maksud pemberian
makan disini yaitu untuk menghormati tamu...jadi..apabila makanan yang
disajikan tidak di makan, ya...seperti tidak menghormati tuan rumah lah...)
Untuk menghargai tuan rumah, setiap tamu wajib hukumnya menikmati
makanan yang disajikan. Ini dikarenakan setiap tamu yang dihormati hukumnya
wajib untuk menghargai yang menghormati tuan rumah (yang menghormati).
Selain itu, sebagaimana orang Madura lainnya, mereka selalu menonjolkan
sebuah perilaku untuk menjaga harga diri. Harga diri dan penggunaan kekuatan
fisik mempunyai relasi yang sangat erat dalam masyarakat Madura, karena
penampilan fisik diyakini sebagai penjelmaan dari harga diri (Wiyata, 2002).
Memang sedikit aneh melihat fenomena ini, tetapi, itulah budaya. Ibarat pepatah
“lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Dimana budaya sosial
kemasyarakatan setiap daerah tidaklah selalu sama.
Kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di desa ini beraneka ragam
bentuknya. Mulai selamatan setelah panen tembakau, pengajian bulanan, hingga
pengajian bersama setiap hari kamis (malam jum’at). Setiap panen tembakau,
acara selamatan selalu diadakan. Acara ini merupakan salah satu wujud syukur
atas riski yang diperoleh. Biasanya, acara selamatan pasca panen diadakan
disalah satu rumah penduduk yang telah ditunjuk dan disepakati oleh
masyarakat.
Acara lainnya, yaitu berupa pengajian bulanan yang diadakan untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan masyarakat terhadap kepercayaan yang
dianut. Sebenarnya, acara ini bertujuan untuk meningkatkat tali silaturahmi antar
61. 53
warga. Penempatan dan penyelenggaraan acara biasanya ditentukan dengan
sistem random. Bagi warga yang memperoleh giliran, biasanya dibantu
pendanaan untuk kebutuhan konsumsi oleh warga lain yang aktif sebagai
peserta pengajian tersebut. Pengajian ini diisi oleh ustadz dan kyai yang ada di
desa bersangkutan maupun dari daerah lain diluar Branta Tinggi.
Isi dari kajian setiap acara bermacam-macam tergantung tema yang
ditentukan oleh masyarakat. Namun, tema yang sering dibahas yaitu mengenai
akidah dan akhlaq. Selain itu, terkadang pengajiannya diisi istighosah yang
bertujuan untuk kirim do’a kepada para leluhur yang telah tiada.
Untuk kajian yang terakhir yaitu berupa kajian mingguan yang umumnya
diadaikan setiap hari kamis. Kajian ini umumnya diisi dengan pembacaan surat
yaasin dan tahlil bersama. Kegiatannya pun tidak hanya terpaku pada suatu
tempat tetapi bergantian di beberapa rumah penduduk yang telah ditentukan
sebelumnya. Kajian mingguan umumnya tidak diisi dengan ceramah-ceramah
kegamaan lantaran sebatas untuk kirim do’a kepada leluhur. Peserta dari kajian
Gambar 06 : Rutinitas Kegiatan Keagamaan
Sumber : Survey Lapang, 2009.
62. 54
mingguan pun juga lumayan banyak. Umumnya mereka berasal dari ke tiga
dusun yang ada di desa ini (Pelanggaran, Tengah dan Gedongan).
Karena begitu banyaknya kegiatan kemasyarakatan yang menimbulkan
interaksi sosial, tak jarang interaksi tersebut menimbulkan efek resiprokal kepada
warga yang lain. Pengaruh yang sangat nampak yaitu pada penularan perilaku
mengemis yang merupakan tradisi turun-temurun di desa ini. Pasalnya,
masyarakat Branta Tinggi yang menjalankan tradisi untuk mengemis terbatas
untuk masyarakat di dusun Pelanggaran semata. Namun, karena adanya
hubungan sosial yang begitu kuat, perilaku ini berpengaruh dan menular pada
masyarakat di dusun lain bahkan masyarakat di luar desa Branta Tinggi ikut
melakukan kegiatan ini.
Dilihat dari sistem pemerintahan desa, desa Branta Tinggi ini memiliki tiga
dusun utama yaitu, dusun Pelanggaran yang diidentikkan dengan kampung
(dusun) pengemis, dusun Tengah dan dusun Gedongan yang diidentikkan
dengan kampung (dusun) nelayan. Walaupun dengan corak dan latarbelakang
pekerjaan yang berbeda, namun ada sebuah kesamaan dalam pola konsumsi.
Pola konsumsi yang tinggi seringkali tanpa diimbangi dengan pola produksi yang
memadai. Inilah yang menjadi salah satu corak yang tak terpisahkan lagi bagi
masyarakat di desa Branta Tinggi utamanya pasca panen (khususnya bagi
petani) atau hasil tangkapan ikan sedang melimpah.
Pola konsumsi tinggi ini dijelaskan secara tegas oleh salah satu
perangkat desa yaitu pak Kholis:
“Biasanya setelah panen atau tangkapan ikan sedang melimpah, masyarakat
desa ini selalu memenuhi rumahnya dengan barang-barang yang agak
mewah. Misalnya membeli TV yang bagus, membeli sepeda motor walaupun
sebenarnya sudah punya, dan membeli barang-barang lain agar kelihatan
seperti seorang jutawan. Namun pada saat tertentu barang-barang tersebut
dijual kembali. Ini biasanya terjadi saat musim tanam dimana untuk
memperoleh modal yang cukup, barang-barang rumah tangga terpaksa
dijual”.