Dokumen tersebut membahas tentang peranan dialog yang beretika dalam membangun persatuan bangsa dalam perspektif Islam. Dokumen menjelaskan bahwa perbedaan pandangan seringkali menyebabkan konflik di Indonesia. Dialog dipandang sebagai solusi untuk mencari titik temu dan menyelesaikan permasalahan secara damai. Perspektif Islam menegaskan bahwa pluralitas dan perbedaan adalah fitrah manusia, sehingga dialog yang beretika perlu dilakukan untuk me
1. 1
Kategori : Bidang Sosial Budaya
PERANAN DIALOG YANG BERETIKA UNTUK
MENUMBUHKAN JIWA PERSATUAN BANGSA DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
Diusulkan oleh :
Arif Dwi Hartanto
Tri Cahyono
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011
2. 2
RINGKASAN
Berbagai permasalahan pembangunan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
ekonomi semata. Dan setidaknya hal ini telah diamini oleh sebagian kalangan,
baik ekonom, politikus, teknokrat, dan berbagai tokoh kemasyarakatan dan
keagamaan. Tetapi lebih dari itu, bahwa pembangunan bangsa yang berkelanjutan
lebih disebabkan oleh pengaruh-pengaruh internal yang tendensinya mengarah
kepada modal sosial, aspek moral, serta kemasyarakatan. Hal ini erat kaitannya
dengan masalah integrasi bangsa yang dalam perkembangannya sangat penting
untuk diperbincangkan penguatannya.
Penguatan disini lebih dititikberatkan pada pemecahan masalah dalam
berbagai aspek yang mempengaruhinya. Mengingat permasalahan yang terjadi
bukan hanya bersifat antar kelompok, tetapi juga aspek internal dari kelompok itu
sendiri, baik berbasis agama, maupun golongan etnik. Dialog merupakan solusi
dalam mengetengahkan pemecahan permasalahan yang sedang berkembang.
Solusi dialog disini tentunya harus memandang berbagai keadaan yang
menyelimutinya, sehingga dengan kesadaran akan keadaan itu, dapat ditarik suatu
pengkondisian, khususnya dalam tataran aplikatif dan praksis sosial..
Sungguhpun demikian, perspektif Islam dalam memandang suatu
perbedaan adalah suatu kewajaran, mengingat Allah memang telah menciptakan
Dunia ini dengan penuh keberagaman. Dengan keberagaman, sesuatu akan
menjadi indah, bukannya malah akan berpecah-pecah. Hal ini dikoherensikan
dengan keadaan yang akan memperbesar api keberhasilan. Dengan dialog, Islam
mengajarkan suatu peredaman pemecahan masalah dengan penuh kearifan dan
keindahan. Karya tulis ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menelaah suatu
dialog yang beretika dalam membangun jiwa persatuan bangsa sebagaimana juga
terekam dalam cita-cita Kh Abdul Wahid Hasim. Adapun beberapa konsep yang
melandasi karya tulis ini adalah definisi komunikasi kelompok sebagai dasar
dialog, etika sebagai pedoman pelaksanaannya, integrasi bangsa sebagai tujuan,
serta konsep pluralitas sebagai permasalahannya. Karya tulis ini menggunakan
data sekunder, yang didapat melalui telaah pustaka, internet, serta beberapa bahan
lain yang relevan untuk dijadikan pertimbangan. Sedangkan langkah-langkah
prosedur pengumpulan data meliputi perumusan masalah, penentuan ruang
lingkup permasalahan, penentuan kata kunci untuk mempersempit objek data,
Pengumpulan data, serta pengetikan data yang relevan serta pengkomunikasian
data
3. 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam perspektif historis, perjalanan politik bangsa Indonesia memang
selalu menghadirkan heterogenitas dalam setiap prosesnya. Tak terkecuali dalam
preambul UUD 1945 yang disahkan tanggal 22 Juni 1945. Salah satu sila di dalam
Pancasila hasil rumusan Kh Abdul Wahid Hasyim dan kawan-kawan tercantum
kata-kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Dan ternyata
rumusan ini diperdebatkan dengan segala pandangan yang benar-benar berbeda.
Dalam menyikapinya, pemikiran luar biasa dari Kh Abdul Wahid Hasyim adalah
bahwa segala perselisihan yang timbul bisa diselesaikan secara musyawarah
hingga semua dapat terselesaikan dengan baik.
Kontradiksi dengan pernyataan tersebut, perpecahan bangsa di era
reformasi sekarang dirasa malah sudah menjadi suatu patogen pembangunan kelas
akut. Pembangunan secara ekonomi yang sudah mapan selama berpuluh-puluh
tahun ternyata bisa luluh lantak dalam sekejap dikarenakan disintegrasi bangsa,
khususnya dalam masyarakat multiagama dan etnisitas seperti Indonesia.
Disintegrasi ini umumnya berawal dari perbedaan pandangan serta prinsip,
ataupun perbedaan ide dan persepsi (Ikhtilaf dan Khilaf). Perbedaan mereka dalam
menyikapi segala ranah kehidupan, meliputi akidah, ide, pemikiran, etika, budaya
sampai kepada pemahaman terhadap Fikih dan tata cara melakukan ritual (Ibadah)
kepada Tuhannya (Hidayat, 2008).
Permasalahan-permasalahan mengenai isu-isu perpecahan sangat marak
terjadi. Seperti gerakan-gerakan sosial militan Komite Persiapan Penegakan
Syariat Islam (KPPSI) yang ditemukan di Makassar Sulawesi Selatan sejak akhir
abad ke-20 atau tepat mulai tahun 1999 (Anonimous, 2008). Gerakan sparatis
tahun 1950, yaitu Darul Islam (Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan).
Munculnya kelompok PERMESTA di Sulawesi. Ataupun pada tahun 2000-2001
terjadi kasus Poso yang mengusung permasalahan antar agama, serta kasus sampit
4. 4
di Kalimantan yang mengusung masalah etnis pada beberapa tahun setelahnya
(Helmanita, 2003:29).
Dari realitasnya, Indonesia memiliki dasar keragaman etnis sejak awalnya.
Yaitu melayu (pribumi), kemudian ada etnis minoritas seperti China, India dan
Arab, serta lebih dari 300 etnis dimana setiap etnis mempunyai prinsip dan cara
pandang tersendiri (Yustika, 2009:336). Dalam konsepsi multikulturalisme, semua
ini dapat membawa persoalan-persoalan agama yang sifatnya privat dan
individual untuk memasuki wilayah umum atau publik/ Negara (L.Berger
et.al.,1988:35), dan penekanan permasalahan adalah pada level ini.
Dari penjelasan tadi, titik permasalahannya sebenarnya terdapat pada
perbedaan pandangan yang ekstrem, dalam artian tidak dicarikan titik temu antara
dua atau beberapa kalangan. Untuk mampu menyatu, maka harus dilakukan
dialektika dengan segala problematika yang muncul, ia dituntut untuk peduli dan
menempati barisan terdepan dalam mencari solusi terhadap problematika tersebut.
Mencari solusi, pada gilirannya akan berurusan dengan tema dialog,
diskusi, dan benturan-benturan ide. Karena dialog merupakan salah satu cara
untuk saling memahami, mencari titik temu, dan menyelesaikan permasalahan (al-
Qarni, 2006:1). Serta ada beberapa etika (adab) yang harus dipatuhi oleh masing-
masing pihak agar sebuah dialog membuahkan hasil dan manfaat dengan cepat
dan mudah. Karya tulis ini mencoba menguraikan tentang peranan sebuah dialog
yang beretika untuk menumbuhkan jiwa persatuan bangsa dalam pandangan
Islam. Peranan serta etika dialog dalam Islam ini diharapkan tidak semata
ditujukan untuk kalangan umat Islam saja, tetapi sangat mungkin diaplikasikan
dalam segenap elemen masyarakat dalam kehidupan berbangsa. Sehubungan
dengan itu, sebenarnya terdapat suatu kesatuan umat manusia sebagaimana
digambarkan oleh firman Allah: ”Tiada manusia itu melainkan semula
merupakan umat yang tunggal kemudian mereka berselisih.” (QS Yunus (10):19).
5. 5
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah adalah:
1. Bagaimana perspektif Islam menyikapi berbagai perbedaan
pandangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
2. Bagaimana peranan dialog yang beretika untuk menumbuhkan jiwa
persatuan bangsa dalam perspektif Islam?
1.3 Tujuan
1. Menemukan solusi dalam meredam suatu konflik dengan prinsip
sebuah kesepahaman, kesepakatan, dan kesetaraan.
2. Menyajikan cara memaksimalkan suatu dialog yang beretika untuk
menumbuhkan jiwa persatuan berbangsa dan bernegara dalam
perspektif Islam.
6. 6
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Komunikasi Kelompok
Landasan dari komunikasi kelompok adalah suatu lingkungan dimana
seseorang menghadapi pertaruhan suatu bentuk kemampuan untuk
mempertahankan hidup (survival).
Komunikasi kelompok adalah suatu bidang studi, penelitian dan terapan
yang tidak menitikberatkan perhatiannya pada proses kelompok secara umum,
tetapi pada tingkah laku individu dalam diskusi kelompok tatap muka yang kecil
(Goldberg dan Larson, 1985:6). Disamping itu, baik komunikasi kelompok
maupun diskusi kelompok memusatkan perhatiannya pada tingkah laku para
anggota kelompok dalam berdiskusi.
Secara definitif, komunikasi kelompok adalah suatu studi tentang segala
sesuatu yang terjadi pada saat individu-individu berinteraksi dalam kelompok
kecil, dan bukan deskripsi mengenai bagaimana seharusnya komunikasi terjadi,
serta bukan pula sejumlah nasehat tentang cara-cara bagaimana yang harus
ditempuh. Apabila kita menggunakan komunikasi kelompok sebagai kriteria,
standar-standar yang masuk akal sebagaimana yang disarankan Elwood Murray
(1972), maka komunikasi kelompok dapat dikatakan sebagai suatu disiplin.
Karena komunikasi kelompok itu mempunyai ruang lingkup, menunjukkan
kemajuan dalam pengembangan teori serta mempunyai metodologi riset, kritik
dan penerapan (Murray; dalam Goldberg dan Larson, 1985:16).
Sehubungan dengan itu, terdapat suatu premis tentang pemecahan masalah
dalam suatu dialog. Namun, kita tidak mempermasalahkan apakah suatu penilaian
itu “tepat” atau “tidak tepat”, “benar” atau “salah”, tetapi kita lebih
menitikberatkan perhatian pada “cukup”nya (adequacy) suatu penilaian dalam
suatu dialog. Menurut Morris (1956), bahwa pemecahan masalah oleh kelompok
merupakan suatu proses penyelidikan secara kolektif. Proses tersebut
menghendaki interaksi yang kooperatif dan terkoordinasi di mana didalamnya
7. 7
sumber daya anggota dipertemukan untuk mengatasi isu-isu yang berhubungan
dengan keadaan suatu masalah tertentu. Kerja sama dan koordinasi semacam itu
akan sangat sulit dilaksanakan tanpa adanya persetujuan dasar mengenai masalah
khusus yang dihadapi kelompok
2.2 Etika
Secara harfiah, etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan di mana etika berhubungan erat
dengan konsep individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau
evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan (www.organisasi.org).
Menurut para ahli, terdapat beberapa pandangan tentang pengertian etika,
yang dalam perkembangannya dapat disinonimkan dengan moral. Menurut Sony
Keraf (1991): moralitas adalah system tentang bagaimana kita harus hidup dengan
baik sebagai manusia. Menurut Frans Magnis Suseno (1987): etika adalah sebuah
ilmu dan bukan sebuah ajaran. Disini moralitas menekankan “inilah cara anda
melakukan sesuatu”. Etika lebih kepada “mengapa untuk melakukan sesuatu itu
harus menggunakan cara tersebut?” (filsafat.ugm.ac.id).
2.3 Integrasi
Berikut ini beberapa pengertia tantang integrasi:
Menurut Claude Ake (dalam Syamsuddin, 1994:3) integrasi nasional pada
dasarnya mencakup dua masalah pokok, yaitu :
1. Bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh kepada tuntutan-tuntutan
negara, yang mencakup perkara pengakuan rakyat terhadap hak-hak yang
dimiliki negara.
2. Bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur prilaku
politik setiap anggota masyarakat, konsensus ini tumbuh dan berkembang
diatas nilai-nilai dasar yang dimiliki bangsa secara keseluruhan.
Sedangkan menurut pakar sosiologi Manrice Duverger, mengatakan
sebagai berikut. Integrasi didefinisikan sebagai:
8. 8
Dibangunnya interdependensi yang lebih rapat antara bagian-bagian
antara organisme hidup atau antar anggota-anggota dalam masarakat”
sehingga integrasi adalah proses mempersatukan masyarakat, yang
cenderung membuatnya menjadi suatu kata yang harmonis yang
didasarkan pada tatanan yang oleh anggota-anggotanya dianggap sama
harmonisnya.
2.4 Konsep Pluralitas
Gambar 01. Peta Konsep Pluralitas.
Sedangkan secara definisi, konsep pluralitas mencakup (www.uin.ac.id).:
1. Pluralitas : kondisi atau fakta akan adanya keanekaragaman dalam
realitas.
2. Pluralitas agama : kondisi atau fakta akan adanya keanekaragaman
agama.
3. Pluralisme : sikap mau menerima, menjaga, dan mengormati akan
adanya perbedaan di dalam realitas.
4. Pluralisme agama : sikap mau menerima, menjaga, dan menghormati
perbedaan dan keanekaragaman agama sebagai benar secara unik bagi
pemeluknya.
AGAMA
(Doktrin)
þ
KEBUDAYAAN
A
KEBUDAYAAN
B
KEBUDAYAAN
C
KEBUDAYAAN
D
POLA
BERAGAMA
A
POLA
BERAGAMA
D
POLA
BERAGAMA
B
POLA
BERAGAMA
C
dipahami dan dikerjakan
Melahirkan bentuk keberagaman yang
bervariasi
9. 9
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Sifat Penulisan
Karya tulis ini bersifat argumentatif, yaitu menjelaskan bagaimana peranan
dialog yang beretika untuk menumbuhkan jiwa persatuan bangsa dalam perspektif
Islam.
3.2 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
3.2.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan secara tidak langsung
dari sumber-sumber lain misalnya buku, artikel, dan surat kabar
(Dharmaseta, 1993). Dalam hal ini, data yang diperoleh berupa data
kualitatif. Data kualitatif merupakan data yang terbentuk kata-kata
atau kalimat yang menjelaskan tentang suatu permasalahan atau
fenomena yang terjadi.
3.2.2 Metode Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan membaca buku-buku literatur,
makalah, terutama makalah seputar pentingnya dialog, peranan
serta etikanya dalam menghadapi suatu perbedaan.
b. Pencarian data melalui internet
Pencarian dilakukan dengan membuka situs-situs resmi instansi
ataupun lembaga-lembaga dakwah.
c. Pengumpulan buku-buku dan literature-literatur yang menunjang
pembahasan makalah ini
Adapun di dalam proses pengumpulan data dilakukan prosedur
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
10. 10
1. Perumusan masalah
2. Penentuan ruang lingkup permasalahan
3. Penentuan kata kunci untuk mempersempit objek data
4. Pengumpulan data
5. Pengetikan data yang relevan serta pengkomunikasian data
3.3 Analisis Data
Dalam penulisan ini, kami menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dimana
kami menelaah dan menjelaskan dari semua data yang bersifat kualitatif untuk
dapat dijadikan bahasan serta aspek pemecahan.
11. 11
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kemungkinan Pluralitas
Allah SWT menyerukan umat manusia untuk bersatu dan tidak berbeda-
beda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham dalam menegakkan
syari'ah-Nya (QS. 3:102-103). Allah SWT memperingatkan umat Islam agar tidak
terjebak dalam perselisihan beragama seperti yang pernah terjadi pada umat
sebelumnya. (QS. 3:105).
Dalam hal ini, kehidupan dunia menimbulkan banyak sekali perselisihan
dan perbedaan pendapat sehingga bila tidak berhati-hati, kita bisa berpecah
pendapat dan berujung perselisihan. Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang
lazim yang terjadi di dalam masyarakat, Allah s.w.t. berfirman: “Tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. (QS. HUD: 118-119).
Baik dahulu maupun sekarang kaum Muslimin selalu berbeda pendapat di
dalam cara bagaimana menentukan permasalahan yang bersifat kabur, contohnya
adalah pemilihan imam dan khalifah. Ataupun mengenai hukum Islam, yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip aqidah dan syari’at, maupun fiqh. Dari
permasalahan ini muncul perselisihan mengenai soal kecil antara kaum Mu‟tazilah
dan kaum Sunnafi (Al-Ghazali; dalam Al-Ridlawi, 1984:17). Pada jaman dahulu
perbedaan pendapat tersebut lebih banyak berwujud dalam tataraan kenyataan
praktis dibandingkan pada tingkatan teori dan pemikiran.
Sehubungan dengan itu pula, terdapat suatu kenyataan tentang pluralisme
dalam berkehidupan. Pandangan Islam terhadap pluralitas adalah cara/sudut
pandangan pemeluknya mau mengerti, dan memahami perbedaan (Helmanita,
2003:12). Menurut Mohamed Fathi Osman, dalam Helmanita (2003), pluralisme
adalah sebuah pendekatan serius menuju kesepahaman lain dan upaya bersama
untuk mengonstruksi pemahaman yang lebih komprehensif terhadap perbedaan.
Istilah lain yang erat hubungannya dengan pluralisme adalah inklusifisme. Kata
12. 12
ini secara definisi Islam adalah sebagai cara pandang bahwa Islam merupakan
agama terbuka yang menolak ekslusivisme dan absolutisme. Karena inklusifisme
dalam Islam berarti memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya pluralisme
(Helmanita, 2003:13). Firman Allah yang berkaitan dengan ini:
"Maka disebabkan rahmat dan Allahlah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkaniah ampunan bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-
Nya." (QS. Ali Imran: 159).
“Dan katakanlah, kami beriman dengan ajaran (kitab suci) yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhanku dan
Tuhanmu adalah satu, dan kita (semua) pasrah kepadaNya” (Al-Ankabut
(29):46).
Al-Quran mengajarkan toleransi dalam melihat kemajemukan, dan tidak
saling berbantahan. Dengan demikian, Islam memandang perbedaan itu
merupakan sunnatullah, karena Allah dengan sengaja menciptakan keragaman
(pluralitas).
Sesungguhnya, perbedaan dalam alam semesta adalah sunnatullah yang
membuat kehidupan menjadi harmonis. Perbedaan bentuk membuat kehidupan
menjadi bervariasi. Berbagai bentuk pastilah mempunyai keragaman yang
berbeda-beda dengan segala keindahannya. Demikanlah harmoni kehidupan, alam
semesta menjadi indah ketika ada perbedaan wujud dan fungsinya. Perbedaan
pada wasa'ilulhayat (sarana hidup).
Dalam menyikapi hal ini, permasalahan muncul ketika perbedaan terjadi
pada minhajul hayah (jalan hidup). Perbedaan itu menjadi amat membahayakan
bila terjadi pada dzatuddin (esensi agama), atau perbedaan yang terjadi pada ushul
(dasar-dasar) yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, AS Sunnah, maupun Ijma'.
Sebab prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, As Sunnah maupun
13. 13
Ijma' adalah sudah menjadi substansi dasar agama yang mempersatukan antara
Islam dan ajaran para Nabi sebelumnya, kemudian perbedaan tanawwu'
(penganeka ragaman) dalam pelaksanaan syari'ah, antara wajib atau sunnah.
Wajib ain atau kifayah, dan seterusnya. Hal ini pulalah yang bisa diambil
pelajaran dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bukan hanya
internal Islam saja. Bahwa dalam bernegara sekalipun terdapat banyak perbedaan,
seperti dzatuddin dalam Islam berarti dapat disamakan dalam perbedaan antar
umat beragama (esensi antar umat beragama). Ushul berarti dapat disamakan
dalam kasus beragamnya ideology (dasar) dalam bermasyarakat, beragama dan
berpendapat. Sedangkan model tanawwu’ berarti terdapatnya aneka ragam budaya
dan etnisitas.
Selain itu, dialog diperlukan terhadap persoalan-persoalan masyarakat
sehingga dengan dialog itu masyarakat tidak bisa mengelak dari keharusan
berlaku patuh kepada ketentuan yang berlaku (Yani, 2007). Allah Swt berfirman
yang artinya. “Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang
Kami berikan kepada mereka” (QS 42:38).
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa harus diperlukan suatu dialog
(hiwar) dalam menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan, khususnya dalam
era pembangunan suatu bangsa untuk menuju penguatan integrasi kesatuan. Spirit
perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta karena
Allah) ta'awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan
diri dari fanatisme pribadi.
Dalam menyikapi hal tersebut, Islam sesungguhnya mempunyai teologi
non kekerasan dalam memecahkan suatu masalah lewat sebuah dialog, dan teologi
itu berlaku untuk semua umat manusia, tanpa membedakan agama, etnik,
golongan, atau asal-usul bangsa. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa spirit non-kekerasan merupakan titik konvergensi paling nyata antara
semua umat (Helmanita, 2003:32). Disinilah perlu dibuka kran lebar-lebar untuk
bersikap inklusif dalam melihat kemajemukan dengan bijak, diterima dengan
14. 14
sadar bahkan dikaji dengan seksama tanpa harus menyalahkan pilihan lain yang
berbeda.
4.2 Peranan Sebuah Dialog yang Beretika
Dialog menunjukkan suatu upaya pencarian sebuah kesepahaman,
kesetaraan, dan kesepakatan dalam suatu pendekatan interaksi personal yang
lembut dan bijaksana (al-Qarni, 2006:4). Allah s.w.t. menyinggung masalah
dialog ini dalam firmanNya:
“Kawannya berkata kepadanya mengajaknya untuk berdialog (QS. Al-
Kahfi: 37)
“Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Al-Muja‟dilah: 1)
Dialog kita perlukan untuk mencari sebuah kebenaran. Dan dalam
penerapannya, dialog dapat dilakukan pada siapa saja, termasuk dengan para ahlu
kitab sekalipun. Bila diterapkan dalam konteks bernegara, dialog dapat dilakukan
dengan para ahli jabatan/teknokrat, politikus, ekonom, dan beberapa ahli yang
sangat berpengaruh dalam suatu negara:
Katakanlah: Hai Ahli Kitab! Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah!” (QS. Ali Imran: 64).
Terhadap kaum musyrik pun, dialog sangat diperlukan dalam
memperdebatkan sebuah wacana dalam kebenaran dan memahamkan mereka
akan kebenaran tersebut. Kaum musyrik dalam Islam berarti kaum yang tidak
sejalan/seideologi dan menentang ajaran Islam (fasik). Bila diterapkan dalam
berbangsa, maka hal ini dapat disamakan dengan kelompok-kelompok tertentu
yang berbeda pandangan. Hal ini bertautan dengan kesadaran individu/ kelompok
untuk menyatukan diri dalam sebuah ikatan (baik longgar maupun ketat). Konsep
ini mengacu pada ungkapan “kami” dan “mereka” (Yustika, 2009:320). Sehingga
cara berdialog dengan orang yang berbeda pandangan sangatlah penting.
Terhadap kaum musyrikin, Allah berfirman:
15. 15
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman
baginya” (QS. At-Taubah: 6)
Oleh karenanya, kita harus mengakui bahwa perbedaan pendapat memang
sebuah kelaziman dan tidak dapat dihindari di tengah-tengah masyarakat.
Perbedaan ini ada dua bentuk:
1. Perbedaan pendapat yang mengarah pada keberagaman, yaitu furu’ iyah
(cabang). Hal ini masih dibenarkan dan bahkan perlu didialogkan dalam
berbagai permasalahan yang masih dapat dikatakan nisbi. Perbedaan ini
muncul pada wilayah aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada masalah-
masalah dasar prinsipil dan kaidah. Perbedaan aplikasi ini sangat mungkin
terjadi karena memang Allah telah jadikan furu' (cabang) syari'ah agama
terbuka untuk dianalisa dan dikaji aplikasinya.. Maka perbedaan apapun
yang muncul dalam tataran aplikasi/ furu'iyyah harus dikembalikan kepada
kitab Allah, dan rasul-Nya semasa hidup atau kepada Sunnahnya setelah
rasul wafat. Dalam konteks bermasyarakat, berarti hal ini dikembalikan
kepada pedoman-pedoman hukum yang sifatnya tertulis maupun hukum
formal.
2. Perbedaan pendapat yang mengarah pada pertentangan dan permusuhan.
Bentuk perselisihan seperti ini sangat tercela, bahkan Allah s.w.t.
berfirman:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai- berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali „Imran:
105).
Kebanyakan dari mereka yang berbeda dalam hal ini adalah mereka yang
tidak tahu nan bodoh tentang dasar-dasar agama, mereka selalu berbeda
dalam mendialogkan hal-hal yang sudah pokok (qath’i). Perlu ditegaskan
disini adalah bahwa islam itu sudah jelas dan nyata.
16. 16
Dari penjelasan tadi, maka perlu dirumuskan adab/ etika yang harus dipegang
oleh setiap orang dalam melakukan penelitian masalah, dengan demikian hal ini
dapat diintegrasikan dalam segenap sendi kehidupan berbangsa. Spirit perbedaan
itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah)
ta'awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran. Sebelum berdialog, perlu
diperhatikan bahwa berdialoglah yang bermutu dan bermanfaat saja.
Menurut al-Qarni (2006:7), Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah
mencari titik-titik kesamaan dalam berbagai ragam dialog. Titik kesamaan disini
adalah persamaan persepsi, yang sama-sama mengatakan “persetujuan”.
Lakukanlah dialog secara bertahap dan urut sesuai dengan permasalahan yang
ada. Perlu ditegaskan adalah; bagi yang tengah melakukan dialog dan mengalami
kebuntuan karena berbeda pendapat, hendaknya ia menghentikan dialognya,
karena ada sebagian manusia yang tetap keras kepala, congkak dan tidak mau
menerima dalil-dalil dan argument yang sahih dan kuat. Namun, kita juga tidak
boleh serta merta meninggalkannya dan memperlakukan secara kasar. Yang lebih
penting lagi disini adalah tidak mendahului fardhu ain (yang harus dikerjakan
setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar
syar'iy. Ada ulama yang mengatakan : Barang siapa yang belum melaksanakan
fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan menganggapnya
mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta. Disini akan dipaparkan berbagai
adab/ etika pokok dalam berdialog”.
1. Ikhlas
Hendaknya kedua/ lebih pihak menyingkirkan ego masing-masing
(fanatisme sempit). Logikanya, orang yang terlalu fanatik terhadap
kelompoknya, madzhabnya, atau pemikirannya, tidak akan menerima
pendapat orang lain dengan lapang dada. Dalam hal ini, perlu diperjelas
lagi bahwa tujuan dari sebuah dialog adalah mencari kebenaran. Dengan
demikian, sikap ikhlas disini mutlak diperlukan.
2. Mempunyai Dalil yang Kuat
Dengan dalil yang kuat, sesorang akan mempertahankan pendapatnya
dengan penuh keyakinan. Dalil dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dalil
17. 17
aqli (logika) yang kuat dan dalil naqli (Al-Qur‟an dan Hadis) yang benar.
Dalam berdialog, seorang pendialog pun harus dituntut dapat menjelaskan
letak keabsahan dalil yang digunakan.
3. Kebenaran Suatu pendapat Adalah Kabur
Pendapat seorang itu tidaklah benar seratus persen. Maka janganlah kita
menyombongkan diri dengan pendapat yang kita lontarkan, dengan
meremehkan pendapat orang lain. Terkait dengan hal ini, Ibn Qudamah
menulis di dalam al-Mughni: Orang-orang yang berilmu tidak akan
memusuhi orang yang berlainan pendapat dengannya dalam masalah-
masalah yang dapat diperdebatkan.
4. Tidak Melakukan Diskusi Kecuali Dengan Orang yang Dianggap Akan
Dapat Diambil Ilmunya.
Janganlah sekali-kali mencari lawan dialog yang bodoh dan bebal, serta
keras kepala karena dampak negatifnya lebih besar dibanding dengan
manfaatnya, bahkan untuk kemaslahatan umat. Hal ini pula yang
digunakan para ahli bid’ah dalam menyalurkan kesesatannya melalui
dialog yang dilakukan pada orang-orang bodoh sehingga merekapun
mengikutinya. Jelas, bahwa tingkat keilmuan keagamaan mutlak
diperlukan dalam sebuah dialog.
5. Melakukan Dialog Dengan Baik dan Sopan
Kesopanan merupakan etika dialog yang harus tetap selalu dipelihara.
Dalam kitab Ihya‟ nya, Abu Hamid al Ghazali mengingatkan: “Kalian
hanya mengajaknya berdialog. Maka jangan sekali-kali menyinggung
masalah pribadinya, kedudukannya ataupun akhlaknya. Tetaplah pada
masalah yang diperdebatkan”. Jelas bahwa disini terkandung pokok-
pokok kesopanan dengan menghormati lawan bicara dengan baik dan
sungguh-sungguh.
18. 18
4.3 Dialog dan Persatuan Bangsa
Pada kenyataannya, pluralisme memang terus berkembang. Tapi
sayangnya masyarakat belum siap secara mental, sosial dan kultural untuk hidup
berdampingan dalam ruang keanekaragaman/ pluralitas. Sehubungan dengan itu,
sering terjadi perseteruan antar kelompok, seperti kasus Ambon, Aceh, Sampit,
Poso, dan kerusuhan lainnya masih sering terjadi, bahkan sampai saat ini. Semua
ini tidak hanya mencemaskan masyarakat sekitarnya, tetapi juga pada level bangsa
Indonesia. Banyak analisis mengatakan kesemua itu disebabkan oleh persoalan
ekonomi, kelompok politik, dan ketidak sepahaman atas ideologi yang mereka
anut. Bila ini dibiarkan terus-menerus, maka akan membahayakan dan
menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa.
Dari berbagai persitiwa tadi, sesungguhnya sangat diperlukan suatu dialog
serta kerjasama antaragama, etnis, golongan, ataupun yang lainnya menjadi jalan
tengah dalam meminimalisai ketegangan. Sekalipun pemahaman teologi berbeda,
tidak ada jalan buntu untuk mencoba mengerti perbedaan itu, dan dialog menjadi
sangat penting dilakukan. Dialog dapat dikatakan sebagai jalan untuk menemukan
bahasa yang sama, tetapi dengan kata-kata yang berbeda. Dialog yang beretika
tentu akan melahirkan kedewasaan dalam melihat atmosfir perbedaan. Tidak lagi
apriori apalagi menghujat kelompok agama dan etnis lain, kerana itu merupakan
malapetaka persatuan kehidupan berbangsa kita (Helmanita, 2003:40-41)
19. 19
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Dialog merupakan jalan dalam meredam suatu konflik sehingga
menyajikan suatu permasalahan ke arah kebenaran. Melalui dialog, kita
bisa mengarahkan akal manusia kepada Allah. Dialog yang beretika juga
akan membuat kita dapat diterima, didengar, dan dihormati manusia.
2. Berbagai bentuk dialog sangat perlu dilakukan dan dimaksimalkan.
Diantaranya yang bisa dilakukan adalah secara kontinuitas dan
berkesinambungan. Serta rasa pengertian dalam kerjasama (ta’awun), yang
dalam pandangan Islam adalah suatu keindahan. Kerjasama disini
digunakan untuk mengakomodir berbagai kepentingan yang berbeda dari
sudut pandang etnis, ras, dan agama. Karena masalah kerjasama itu sendiri
lahir dalam kaitan perbedaan yang berhubungan langsung dengan ras
maupun agama.
5.1 Saran
1. Diperlukan dialog sebagai terapan aplikatif, yang dapat mengembalikan
esensi dari kehidupan beragama pada tindakan yang tidak mengharuskan
hukum, serta dogmatisme masing-masing agama. Hal ini dapat diwadahi
oleh lembaga tertentu sebagai mediatornya.
2. Dibutuhkan pemahaman beragama yang bersifat fungsional konkret sosial
(berteologi dalam konteks), sehingga sangat bermanfaat dalam
memecahkan suatu permasalahan.
3. Dibutuhkan pemahaman sejak dini dalam pembelajaran keagamaan serta
kemasyarakatan pada diri individu. Disini bukan hanya dari kalangan
orang tua dan keluarga, tetapi juga perlu dilakukan oleh segenap pihak
elemen masyarakat, para tokoh dan pemerintah, sehingga tujuan persatuan
dalam menopang pembangunan berkelanjutan dapat terwujud.
20. 20
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya.
Aisyah, Siti. 2009. Kritik Implementasi Dialog Islam, (Online),
(www.scribd.com, dikases tanggal 25 Juni 2009).
Al-Ghazali, Syeikh Muhammad.1984. Tentang Perbedaan yang Ada.
DalamAl-Ridlawi, Sayyid Murtadla (Ed.), Membina Kerukunan
Muslimin (halaman 17-19). Jakarta: Anggota IKAPI.
.1984. Seruan ke Arah Persatuan Islam.
DalamAl-Ridlawi, Sayyid Murtadla (Ed.), Membina Kerukunan
Muslimin (halaman 17-19). Jakarta: Anggota IKAPI.
Al-Qarni, „Aidh. 2006. Terampil Berdialog, Etika dan Strateginya.
Terjemahan. Yodi Indrayadi. 2006. Jakarta: Anggota IKAPI
DKI.
Al-Razi. 1990. Dialog Tentang Tuhan dan Nabi. Terjemahan. Masykur
Ab, Ahmad Shaleh. 1990. Jakarta: Gema Insani.
Anonimous. 2006. Dialog Dalam Semangat Permusuhan, (Online),
(www.swaramuslim.net, diakses tanggal 20 Juni 2009).
Anonimous. 2008. Etika Dalam Berkomunikasi, (Online),
(www.organisasi.org, diakses tanggal 25 Juni 2009).
Anonimous. 2008. Teori Integrasi (Online), (subpokbarab.wordpress
com.htm, diakses tanggal 25 Juni).
Anonimous. 2009. Etika Profesi dan Budi Pekerti, (Online),
(www.filsafat.ugm.ac.id, diakses tanggal 25 Juni 2009).
Anonimous. 2009. Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Online),
(www.uin.ac.id, diakses tanggal 25 Juni 2009).
Charris Zubair, Achmad. 2009. Agama Menurut Sudut Tinjauan Etika
Dalam Wacana Politik Indonesia, (Online), (www.endosri.co.cc,
diakses tanggal 25 Juni 2009).
Goldberg, A. Alvin, & Larson, Carl. E. 1985. Komunikasi Kelompok,
Proses-proses Diskusi dan Penerapannya. Terjemahan.
21. 21
Koesdarini Soemiati, Gary R. Yusuf. 1985. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press).
Helmanita, Karlina. 2003. Pluralisme dan Inklusivisme Islam di Indonesia.
Jakarta: PBB UIN.
Hidayat, Balda. 2008. Etika Dialog Dalam Islam, (Online),
(www.darushollah.com, diakses tanggal 20 Juni 2009).
L.Berger et.al.,19881988. Teori Masyarakat: proses peradaban dalam
sistem dunia modern. Tenerjemahan: Thomas Rieger. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia (YOI).
Mahmud, Seikh Syaltut.1984. Kesatuan Islam. DalamAl-Ridlawi, Sayyid
Murtadla (Ed.), Membina Kerukunan Muslimin (halaman 17-
19). Jakarta: Anggota IKAPI.
Morris, Charles. 1964. Varieties of Human Value. Chambridge, Mass:The
M.I.T. Press.
Republika Newsroom. 2009. Dialog Antaragama Pentingnya Toleransi
Dalam Perbedaan, (Online), (www.republika.co.id, diakses
tanggal 20 Juni 2009).
Syamsuddin, Nazaruddin. Integrasi dan Ketehanan Nasional di Indonesia
(Lemhanas, Jakarta1994,hal3).
TW, HG. Suseno. 2009. Kebebasan dan Pluralitas Dalam Berbagai Aspek
Kehidupan Bangsa Indonesia, (Online), (www. hagaseno
files.wordpress.com, diakses tanggal 25 Juni 2009).
Wajdiy, Muhammad Farid.1984. Tentang Kerukunan Menurut Islam.
DalamAl-Ridlawi, Sayyid Murtadla (Ed.), Membina Kerukunan
Muslimin (halaman 17-19). Jakarta: Anggota IKAPI.