Autoimmune diseases clinical spectrum and diagnosis approach
1. Autoimmune diseases: Clinical Spectrum and Diagnosis approach
Rachmat Gunadi Wachjudi
Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RS Dr Hasan Sadikin Bandung
Sampai dengan saat ini dikenal 103 jenis penyakit autoimmune yang terjadi karena gangguan
sistim imun yang menimbulkan gangguan fungsi dan sistim organsebagian dari penyakit ini tidak sering
ditemukan, namun secara keseluruhan penyuakit autoimmune ini diderita oleh 14,7 – 23,5 juta orang di
Amerika atau merupakan 8% penduduk dari jumlah penduduknegara tersebutl. Prevalensinya pundari
dalam 2 dekade ini terus meningkat. Di Indonesia belum tersedia data epidemiologinya, namun sebagai
ilustrasi di Klinik Reumatologi sejak tahun 1999-2010 terdapat 568 penderita Lupus. Jumlah ini
merupakan 10 persen dari keseluruhan pasien yang berkunjung ke Klinik Reumatologi RS Dr. Hasan
Sadikin Bandung.
Sebagian besar dari penyakit autoimmune tak dapat disembuhkan secara tuntas, sehingga
penderitanya mungkin akan membutuhkan pengobatan seumur hidup dengan konsekwensi yang dapat
dialami karenanya. Sebagian besar penderitanya wanita, dan merupakan penyebab terbanyak kematian
pada usia muda dan pertengahan, sehingga menimbulkan problem berat bagi penderita maupun
keluarganya. Dengan pertimbangan itulah, penelitian-penelitian mengenai penyakit-penyakit
autoimmune, sebagian besar ditujukan untuk mengurangi dampak penyakit.
Kemajuan di bidang diagnostik laboratorik, ditemukannya biomarker dapat membantu diagnosis
lebih dini, serta memungkinkan dokter menentukan pengobatan yang tepat serta monitoring terapi.
Patogenesis autoimunitas dan penyakit autoimmune sangat penting dipahami agar dapat menentukan
terapi yang paling efektif.
Sebagai ilustrasi pathogenesis pada makalah ini akan diwakili oleh salah satu penyakit
autoimmune yakni Lupus Eritematosus Sistemik. Lupus merupakan penyakit autoimmune sistemik yang
paling banyak dikenal orang. Lupus ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya
kompleks imun, dan episode aktivasi komplemen yang tidak terkendali. Lupus disebabkan terjadinya
interaksi antara gen yang dicurigai berperan pada LES dan faktor lingkungan yang menghasilkan respon
imun abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel
imfosit B. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal
antara lain produksi autoantibodi yang beberapa diantaranya membentuk kompleks imun, dan deposit
di jaringan menimbulkan kerusakan organ target.
2. Patogenesis Penyakit Autoimmune
Pemahaman pathogenesis sangat diperlukan dalam merancang terapi yang akan diberikan pada pasien
autoimmune seperti dilukiskan pada kartun dibawah ini
3. Spektrum Klinis penyakit autoimmune: organ specific dan Systemic
Komposisi gejala, tanda serta pemeriksaan penunjang baik laboratories maupun imaging disusun oleh
para akhli dalam bentuk criteria klasifikasi untuk berbagai penyakit autoimmune.
Diagnosis penyakit autoimmune didasarkan pada pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang
Contoh penentuan Diagnosis berdasarkan Kriteria klasifikasi SLE menurut ACR tahun
1997
Kriteria
Ruam malar
Ruam discoid
Fotosensitivitas
Ulkus mulut
Artritis
Serositis
Gangguan
ginjal
Gangguan
neurologis
Definisi
Eritema menetap, datar atau menonjol pada eminens malar dan tidak melewati
plika nasolabialis
Bercak eritema menonjol dengan gambaran keratotik dan sumbatan folikular
dan dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari baik
dari anamnesis penderita atau yang dilihat dokter pemeriksa
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat dokter
pemeriksa
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer yang ditandai
oleh rasa nyeri, bengkak atau efusi
Pleuritis : riwayat nyeri pleuritik atau pleural friction rub yang didengar
dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura, atau
Perikarditis : bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang
didengar dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.
Proteinuria menetap > 0,5 gr/hari atau > + + +, atau
Silinder selular dapat berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau
campuran
Kejang, tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidak seimbangan elektrolit, atau
Psikosis, dengan sudah mengeksklusi penyebab lain seperti obat-obatan
4. Gangguan
hematologis
Gangguan
imunologis
Antibodi
antinuklear
atau gangguan metabolik misalnya uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit
Anemia hemolitik dengan retikulositosis, atau
Lekopenia : < 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan, atau
Limfopenia : < 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan, atau
Trombositopenia : < 100.000/mm3 telah disingkirkan kemungkinan karena
obat-obatan
Anti DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal,
atau
Anti Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm, atau
Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas :
Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM
Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar, atau
Hasil tes positif palsu VDRL paling tidak selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema Pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi antibodi treponemal
Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.
Dikutip dari: Tutuncu ZN, dkk.37
Contoh lain adalah algoritma pendekatan diagnosis pada artritis reumatoid
5. Antinuclear antibodies (ANA)
ANA merupakan antibodi terhadap berbagai antigen inti sel yang terdeteksi dalam serum pasien dengan
penyakit rematik dan pada orang sehat. Berbagai teknik imunokimia digunakan untuk mendeteksi
antibodi ini, termasuk mikroskop immunofluorescence, hemaglutinasi, imunodifusi, fiksasi komplemen,
dan enzim-linked immunosorbent assay (ELISA). Sel yang digunakan adalah human epithelial-2 (Hep-2).
Gambar 1. Pola ANA
Aplikasi Klinis Tes ANA
Tes ANA sangat berguna dalam membuat diagnosis lupus eritematosus sistemik (SLE). Hampir semua
pasien dengan SLE memiliki tes ANA positif, dengan sensitivitas 93% sampai 95% dan spesifisitas 57%.
Namun, orang sehat dapat memiliki tes ANA positif pada titer yang lebih rendah. Sekitar 25% sampai
30% dari orang sehat memiliki tes positif dengan titer 1: 40, 10% sampai 15% pada titer 1: 80, dan 5%
pada titer 1: 160 atau lebih. Frekuensinya meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada wanita.
Tes ANA dengan titer tinggi (> 1: 640) dapat meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit autoimun,
meskipun tidak didiagnosis penyakit autoimun, tetapi pasien dengan titer tinggi harus diikuti
perkembangannya. ANA titer tidak secara rutin digunakan untuk menilai aktivitas penyakit pada lupus,
dan serial tes ANA tidak berguna.
Selain lupus, tes ANA sangat membantu dalam mendiagnosis penyakit rematik lainnya. Sensitivitas ANA
dalam mendiagnosis sclerosis sistemik adalah 85% dan spesifisitas adalah 54%. Meskipun ANA tidak
termasuk kriteria klasifikasi untuk sindrom Sjögren tahun 2002, tetapi ditemukan pada 80% pasien
dengan titer tinggi ( > 1: 320). Pasien dengan fenomena Raynaud juga harus dilakukan tes ANA karena
tes ANA positif menunjukkan peningkatan risiko penyakit rematik terkait sistemik dari 19% menjadi 30%,
sedangkan tes negatif menunjukkan risiko hanya 7%. Selain itu, tes ANA membantu untuk stratifikasi
risiko pada pasien dengan uveitis juvenile idiopathic arthritis.
6. Tabel 1. Sensitiivitas dan Spesifisitas Tes ANA pada Berbagai Pennyakit Autoimun
Disease
Systemic lupus erythematosus
Scleroderma
Polymyositis, dermatomyositis
Rheumatoid arthritis
Sjögren's syndrome
Raynaud's phenomenon
Juvenile chronic arthritis
Juvenile chronic arthritis with uveitis
Sensitivity (%)
93-95
85
61
41
48
64
57
80
Specificity (%)
57
54
63
56
52
41
39
53
Tes ANA pada penyakit autoimun lain
Tes ANA juga dapat menjadi positif pada penyakit autoimun yang tidak terkait dengan penyakit jaringan
ikat, seperti hepatitis autoimun, cholangitis autoimun primer, primary biliary cirrhosis, dan penyakit
Crohn. Gangguan lain yang terkait dengan titer ANA yang positif diantaranya penyakit infeksi kronis
seperti mononukleosis, endokarditis bakteri subakut, TBC, dan penyakit limfoproliferatif. Oleh karena
itu, untuk perlu diseleksi pasien apa saja yang perlu diperiksa tes ANA ini.
Pola ANA dan Diagnosis Penyakit
Tes ANA dengan mikroskop imunofloresens dapat memperlihatkan pola ANA yang dapat dihubungkan
dengan diagnosis penyakit autoimun tertentu. Pola ANA tertentu hanya didapatkan pada penyakit
autoimun tertentu, sehingga tes ANA dengan polanya dapat memperkirakan penyakit apa sebenarnya
yang diderita pasien. Akan tetapi apabila didapatkan pola yang tidak khas perlu diperiksa selanjutnya
dengan pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu panel ANA. Pemeriksaan panel ANA ini dapat lebih spesifik
mengarah ke penyakit autoimun tertentu. Pemeriksaan panel ANA memperlihatkan antibodi spesifik
yang positif hanya pada satu penyakit autoimun. Anti dsDNA sangat berguna untuk mendukung
diagnosis pasien dengan Lupus nefritis dan menentukan prognosisnya.
7. Tabel 2. Pola ANA dan hubungannya dengan jenis penyakit autoimun
Antigen
Penyakit
Homogenous and Diffuse
DNA-histone complex
(nucleosome)
SLE (60%)
Drug-induced lupus (95%)
Peripheral Rim
dsDNA
SLE
Speckled
RNA polymerase types II and III
RNP
Scl-70
Sm
SS-A
SS-B
Systemic sclerosis
MCTD (100%)
Systemic sclerosis (15%-70%)
SLE (25%-30%)
Sjögren's syndrome (8%-70%)
SLE (35%-40%)
Sjögren's syndrome (14%-60%)
SLE (15%)
Nucleolar
Nucleolar RNA, RNA polymerase 1
Pm-scl
Systemic sclerosis
Polymyositis
Centromere
CENP
Limited scleroderma
Rheumatoid Factor (RF)
RF terdeteksi pada berbagai penyakit rematik dan non rematik. Tes ini umumnya digunakan dalam
mendiagnosis penyakit rheumatoid arthritis (RA). Sensitivitas RF untuk mendiagnosis rheumatoid
arthritis adalah sekitar 50% sampai 80%, dan spesifisitas sekitar 85% sampai 90%, seperti yang
dilaporkan oleh beberapa penelitian. RF mungkin negatif pada tahap awal dari penyakit rheumatoid
arthritis, dan positif dari waktu ke waktu.
RF saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis rheumatoid arthritis. Sekitar 15% sampai 20%
dari pasien dengan rheumatoid arthritis tidak pernah memiliki positif RF, dan 2% sampai 10% dari orang
sehat juga dengan tes RF positif. Oleh karena itu, RF positif saja tidak mengkonfirmasi penyakit
rheumatoid arthritis dan RF negatif tidak mengecualikan itu. Tes RF harus diperiksa lebih selektif dan tes
ini tidak dapat digunakan untuk memeantau aktiviitas penyakit.
8. Tabel 3. Hasil Tes RF positif pada penyakit rematik dan non rematik
Penyakit Rematik (Sensitivitas)
Cryoglobulinemia (40%-100%)
Polymyositis and dermatomyositis (5%-10%)
Rheumatoid arthritis (50%-90%)
Sjögren's syndrome (75%-95%)
Systemic lupus erythematosus (15%-35%)
Systemic sclerosis (20%-30%)
Penyakit Non Rematik
Bacterial endocarditis
Infections
o Hepatitis
o Leprosy
o Parasites
o Syphilis
o Tuberculosis
Malignancy
Pulmonary disease
o Interstitial pulmonary fibrosis
o Sarcodosis
o Silicosis
Primary biliary cirrhosis
Anti Cyclic Citrullinated Peptide (Anti CCP)
Anti CCP adalah antibodi yang langsung timbul akibat berhubungan dengan residu citrulline yang
terbentuk pasca metabolisme arginin. Tes ini meningkat pada pasien dengan rheumatoid arthritis.
Sensitivitasnya 30% sampai 60% dan spesifisitasnya 95% sampai 98% untuk pasien yang memenuhi
kriteria untuk rheumatoid arthritis.
Dua dari kegunaan klinis yang paling penting dari tes ini adalah sangat spesifik untuk penyakit RA dan
dapat positif pada fase awal rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa antiCCP antibodi dapat muncul dalam sirkulasi beberapa tahun sebelum timbulnya rheumatoid arthritis.
Tumbulnya anti-CCP antibodi pada penyakit RA dini sangat berguna untuk memprediksi perubahan
radiologis yang lebih cepat, artinya pasien RA dengan anti-CCP positif akan mengalami kerusakan sendi
yang signifikan dibandingkan pasien tanpa antibodi ini. Oleh karena itu, anti-CCP antibodi harus
diperiksa pada pasien rheumatoid arthritis yang didiagnosis atas dasar klinis.
Pasien dengan infeksi kronis virus hepatitis C kadang-kadang memiliki titer tinggi RF dan berbagai gejala
rematik, tapi anti-CCP antibodi jarang ditemukan.
9. Antineutrophil Cytoplasmic Antibodies (ANCA)
ANCA adalah antibodi yang berguna untuk membuat diagnosis penyakit autoimun tertentu yang
bermanivestasi vaskulitis, seperti Wegener granulomatosis dan polyangiitis mikroskopis. Antibodi ini
timbul langsung akibat interaksi dengan beberapa komponen sitoplasma neutrofilik.
Antara 70% sampai 90% dari pasien dengan Wegener granulomatosis adalah ANCA positif, tetapi tetap
diagnosis didasari pada gambaran klinis. Antara 40% sampai 80% dari pasien dengan polyangiitis
mikroskopis adalah ANCA positif.
Complement
Sistem komplemen terdiri dari protein plasma dan membran sel yang berfungsi untuk pertahanan
bawaan terhadap mikroba patogen. Aktivitas komplemen biasanya dinilai dengan menentukan kadar C3
dan C4 dan dengan mengukur aktivitas (total hemolitik komplemen) CH50. CH50 adalah panduan yang
berguna untuk menilai semua aktivitas sembilan komponen komplemen pada jalur klasik (C1, C2, C3, C4,
C5, C6, C7, C8, dan C9). Aktivasi jalur klasik ditandai dengan rendahnya kadar C3 dan C4. Aktivasi jalur
alternatif ditandai oleh rendahnya kadar C3 tapi C4 normal.
Pengukuran komplemen merupakan alat diagnostik yang penting dalam banyak penyakit autoimun.
Hypocomplementemia dapat berkaitan dengan SLE dan cryoglobulinemia. Ada hubungan yang signifikan
antara kadar komplemen rendah dan lupus nephritis. Kegunaan komplemen yang rendah sebagai
prediktor flare lupus masih kontroversial.
Antifosfolipid antibodi
Antibodi antifosfolipid termasuk antibodi yang langsung timbul akibat interaksi dengan fosfolipidprotein terkait seperti cardiolipin, β2-glikoprotein 1, dan prothrombin. Antibodi ini biasanya diukur pada
pasien dengan SLE, trombosis berulang, dan kehilangan janin berulang, apabila positif dapat
meningkatkan kemungkinan sindrom antifosfolipid antibodi. Sindrom antifosfolipid ditandai dengan
thrombolism vena, trombosis arteri, atau gangguan kehamilan seperti keguguran berulang, kematian
10. janin atau kematian neonatus. Bersama-sama dengan antibodi antifosfolipid juga dapat diperiksa
antikoagulan lupus.
Antibodi anticardiolipin diukur dengan ELISA dan biasanya mencakup tiga serotipe: IgG, IgM, dan IgA.
Antibodi ini harus positif sekitar 12 minggu untuk menetapkan diagnosis sindrom antifosfolipid antibodi,
bersama dengan beberapa kriteria klinis.
Imaging :
X-ray :
Pemeriksaan radiologis sangat berguna untuk melihat kelainan tulang dan sendi pada beberapa penyakit
rematik, seperti Reumatoid Arthritis (RA) dan Ankilosing Spondilitis (AS).
Pada tahap awal penyakit RA mungkin tidak ada perubahan pada x-ray, tetapi pada tahap lanjut akan
mulai terlihat beberapa kelainan yang dapat menunjukkan juxta-artikular osteopenia, pembengkakan
jaringan lunak dan menghilangnya celah sendi. Progresifitas penyakit RA dapat mengakibatkan adanya
erosi tulang dan subluksasi.
Gambar 2. X ray pada RA
Gambar 3. X ray pada AS Pada AS tahap awal mungkin hanya memperlihatkan sacroileitis dan pada
tahap lanjut akan terlihat bamboo spine.
11. Capilaroscopy :
Kapilaroskopi digunakan untuk mendiagnosis pasien dengan sistemik sklerosis.
Gambar 4. Capilaroscopy
Berbagai pemeriksaan tersebut diatas, dilakukan atas indikasi, sesuai dengan manifestasi klinis dan
diagnosis banding dari masing-masing pasien yang diperiksa.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Morley JJ, Kushner I. Serum C-reactive protein levels in disease. Ann N Y Acad Sci. 1982, 389: 406-418.
Salvarani C, Cantini F, Niccoli L, et al: Acute phase reactants and the risk of relapse/recurrance in polymyalgia
rheumatica. A prospective follow up study. Arthritis Rheum. 2005, 53: 33-38.
Solomon DH, Kavanaugh AJ, Schur PH. Evidence-based guidelines for the use of immunologic tests: Antinuclear
antibody testing. Arthritis Rheum. 2002, 47: 434-444.
Nardi N, Brito-Zerón P, Ramos-Casals M, et al: Circulating auto-antibodies against nuclear and non-nuclear antigens in
primary Sjögren's syndrome: Prevalance and clinical significance in 335 patients. Clin Rheumatol. 2006, 25: 341-346.
Luggen M, Belhorn L, Evans T, et al: The evolution of Raynaud's phenomenon. A longterm prospective study. J
Rheumatol. 1995, 22: 2226-2232.
Kavanaugh AF, Solomon DH. Guidelines for immunologic laboratory testing in the rheumatic diseases: Anti-DNA
antibody tests. Arthritis Rheum. 2002, 47: 546-555.
American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Immunologic Testing Guidelines. Guidelines for
immunologic laboratory testing in the rheumatic diseases: Anti-Sm and anti-RNP antibody tests. Arthritis Rheum.
2004, 51: 1030-1044.
Sheldon J. Laboratory testing in autoimmune rheumatic diseases. Best Pract Res Clin Rheumatol. 2004, 18: 249-269.
Reveille DJ, Solomon DH. Evidence-based guidelines for the use of immunologic tests: Anticentromere, Scl-70, and
nucleolar antibodies. Arthritis Rheum. 2003, 49: 339-412.
Shmerling RH, Delbanco TL. How useful is the rheumatoid factor? An analysis of sensitivity, specificity, and predictive
value. Arch Intern Med. 1992, 152: 2417-2420.
Shovman O, Gilburd B, Shoenfeld Y, et al: The diagnostic utility of anti-cyclic citrullinated peptide antibodies, matrix
metalloproteinase-3, rheumatoid factor, erythrocyte sedimentation rate, and C-reactive protein in patients with
erosive and non-erosive rheumatoid arthritis. Clin Devel Immunol. 2005, 12: (3): 197-202.
Wener M, Hutchinson K, Morishima C, Gretch DR. Absence of antibodies to cyclic citrullinated peptide in sera of
patient with hepatitis C virus infection and cryoglobulinemia. Arthritis Rheum. 2004, 50: 2305-2308.
Hoffman GS, Specks U. Antineutrophil cytoplasmic antibodies. Arthritis Rheum. 1998, 41: 1521-1537.
Kerr GS, Fleisher TA, Hallahan CW, et al: Limited prognostic value of changes in antineutrophil cytoplasmic antibody
titer in patients with Wegener's granulomatosis. Arthritis Rheum. 1993, 36: 365-371.
Ramos-Casals M, Campoamor MT, Font J, et al: Hypocomplementemia in systemic lupus erythematosus and primary
antiphospholipid syndrome: Prevalance and clinical significance in 667 patients. Lupus. 2004, 13: 777-783.