1. SEMINAR KEBUDAYAAN MINANGKABAU
GEBU MINANG 2010
SKM-GM 2010
Padang, 12 - 13 Desember 2010
PEDOMAN PENGAMALAN
ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH
SYARAK MANGATO ADAT MAMAKAI,
ALAM TAKAMBANG JADI GURU
Didahului dengan Pidato Kunci (Keynote Speaker)
Dari Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.
Disepakati dalam Seminar Kebudayaan Minangkabau
Gebu Minang 2010
SKM-GM 2010
Padang, 13 Desember 2010
SEKRETARIAT GERAKAN EKONOMI DAN BUDAYA MINANG
JAKARTA, 2010
Jl. Kayumanis I No.24 RT.002/02 Jakarta Timur 13130
Telp./Faks : 021. 859 03567, 0812 822 0321
2. DAFTAR ISI
I. UMUM
A. Sekapur Sirih Dewan Eksekutif Gebu Minang
B. Pidato Kunci Prof.Dr. Azyumardi Azra, M.A.
C. Kata Sambutan Ketua Umum Gebu Minang
D. Laporan Ketua Umum Panitia Penyelenggara SKM-GM 2010
E. Rekomendasi Terpilih Dari Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang Kepada Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat
F. Pegiat Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang 2010
G. Daftar FGD (Focused Group Discussion)
II. PEDOMAN PENGAMALAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH SYARAK
MANGATO ADAT MAMAKAI, ALAM TAKAMBANG JADI GURU
I. PENDAHULUAN
1. Minangkabau dalam Lintasan Sejarah.
2. Tantangan, Peluang, dan Rujukan.
a. Tantangan dan Peluang.
b. Rujukan Ayat-ayat Al Quran dan Hadits Nabi yang Terkait dengan Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah.
c. Pepatah dan Petitih yang Terkait dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
d. Rujukan Hukum.
e. Rujukan Kelembagaan.
II. BAGIAN PERTAMA
A. Ajaran.
1. Pengertian.
2. Hakikat Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
3. Intisari Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
4. Fungsi Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
B. Tolok Ukur Perwujudan.
1. Tolok Ukur Rohaniah.
2. Tolok Ukur Lahiriah.
III. BAGIAN KEDUA
A. Kelembagaan.
1. Wilayah Kebudayaan Minangkabau.
2. Koordinasi Pembangunan Nagari.
3. Lembaga-lembaga Kewaspadaan terhadap Bencana.Alam.
B. Tatanan Sosial Minangkabau.
1. Tiga Jenis Lareh.
2. Lareh Koto Piliang.
3. Lareh Bodi Caniago.
4. Lareh nan Panjang.
C. Unsur-unsur Tatanan Sosial Minangkabau.
1. Kaum dan Tanah Ulayat Kaum.
2. Suku dan Tanah Ulayat Suku.
3. Nagari dan Ulayat Nagari.
4. Peranan Harta Pusaka.
3. D. Hubungan Kekerabatan dan Nama Diri Orang Minangkabau.
1. Hubungan Kekerabatan.
2. Anak-anak Minangkabau.
3. Keluarga dan Harato Pusako Randah.
4. Malakok.
5. Bundo Kanduang/Kaum Perempuan.
6. Kaum Muda.
7. Nama Diri.
8. Pemberian Gelar Sako dan Sangsako.
E. Kesetaraan dan Jejaring Kerjasama antara Warga Minangeanah dan Minangrantau.
F. Kepemimpinan Sosial.
1. Tungku Tigo Sajarangan.
2. Forum Tungku Tigo Sajarangan.
3. Jejaring Informasi dan Koordinasi.
IV. BAGIAN KETIGA
A. Akhlak.
1. Ruang Lingkup.
2. Akhlak Ibu dan Kaum Perempuan Minangkabau.
3. Akhlak Bapak dan Kaum Pria Minangkabau.
4. Akhlak Anak dan Kaum Muda Minangkabau.
5. Akhlak Penghulu, Tungganai, dan Mamak.
6. Peran Alim Ulama dan Pembinaan Akhlak Umat.
7. Kewajiban Mengubah Nasib.
8. Akhlak Berusaha.
B. Pembekalan Para Pelaku Utama Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
1. Pembekalan Calon Ibu dan Calon Bapak.
2. Pembekalan Calon Alim Ulama.
3. Pembekalan Calon Pemangku Adat.
C. Jaminan Nafkah yang Memadai bagi Alim Ulama dan Pemangku Adat Purnawaktu.
1. Jaminan Nafkah Tetap.
2. Sumber Jaminan Nafkah Tetap.
V. BAGIAN KEEMPAT ; SANKSI TERHADAP PELANGGARAN
a. Sanksi MoraL dan Sanksi Sosial.
b. Sanksi Adat.
c. Sanksi Hukum.
d. Paga Nagari.
VI. BAGIAN KELIMA : IKHTIAR MEMBANGUN KESEJAHTERAAN.
A. Bidang Sosial Ekonomi.
1. Badan Usaha.
2. Pendayagunaan Sumber Daya Alam di Darat dan di Laut.
3. Pembangunan Potensi Maritim.
4. Dukungan Modal Usaha.
5. Kepariwisataan.
B. Bidang Sosial Budaya.
1. Bahasa Minang.
2. Pepatah Petitih.
3. Kesenian.
4. Pencak Silat dan Olah Raga Tradisional Lainnya.
VII. BAGIAN KEENAM : PENANGGULANGAN BENCANA.
1. Penanggulangan Bencana
2. Tujuh Saran Kebijakan Pemerintah Jangka Pendek dan Jangka Menengah.
3. Kewaspadaan terhadap Ancaman terhadap Nilai-nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah.
4. VIII. BAGIAN KETUJUH : LINGKUP KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA.
A. Hak, Tanggung Jawab, dan Kewajiban Kewarganegaraan.
1. Filsafat, Ideologi, dan Hukum Nasional.
2. Hak Asasi Manusia.
3. Harmonisasi Hukum.
B. Kerjasama dan Program Prioritas.
a. Kerjasama Kelembagaan.
b. Program Prioritas.
c. Pembekalan Pejabat Pemerintah.
IX. BAGIAN KEDELAPAN
A. Bahan Kajian.
a. Kajian Norma.
b. Kajian Kelembagaan.
c. Kajian Hukum.
d. Kajian Kesejarahan.
B. Lembaga-lembaga Kajian dan Advokasi.
a. Lembaga Kajian dan Advokasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
b. Lembaga Kajian dan Advokasi Pembangunan Nagari.
c. Lembaga Kajian dan Advokasi Pembanagunan Potensi Maritim.
d. Lembaga Kajian dan Advokasi Pemulihan Hak atas Tanah Ulayat.
X. BAGIAN KESEMBILAN : PELAKSANAAN.
1. Pengamalan dan Penyempurnaan Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah.
2. Pembentukan Forum Tungku Tigo Sajarangan.
3. Pengubahan Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
III. LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Pokok - pokok ajaran adat minangkabau, Adat Basandi Syarak - Syarak Basandi Kitabullah beserta
penjelasannya dan berlaku untuk seluruh wilayah minangkabau
B. Kesimpulan Hasil Pembahasan SKM GM 2010
1. Komisi A : ABS-SBK Dan Tungku Tigo Sajarangan
2. Komisi B : Membangun Nagari Kemasa Depan Di Sumatera Barat
3. Komisi C : Pendayagunaan Pottensi Maritim Dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
4. Komisi D : Pemulihan Hak Atas Tanah Ulayat
5. Komisi E : Masalah Mitigasi Bencana Dan Kegiatan Pasca Bencana
6. Transkrip Tulis tangan hasil SKM-GM 2010
C. Hasil Seminar Dalam Rangka Pra KKM - Revolusi Biru Dan Penanggulangan Bencana, 7-8 Agustus
2010 di Teluk Bayur
D. Hasil Pra Kongres Kebudayaan Minangkabau 12 Oktober 2010 di Padang
E. Hasil Kesepakatan Pertemuan Antara Gebu Minang Dengan Para Tetua Masyarakat Kurai Lima
Jorong 21 November 2010
F. Daftar Hadir Sidang Komisi SKM-GM 2010
G. Daftar Hadir Peserta SKM-GM 2010
H. Makalah-makalah Pembicara pada SKM GM 2010
I. Daftar Bacaan
J. Photo Dokumentasi
5.
6. SEKAPUR SIRIH
DEWAN EKSEKUTIF GEBU MINANG
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa taala, kepengurusan Gerakan
Ekonomi dan Budaya Minang (Gebu Minang) periode 2005-2010 mempersembahkan naskah ‘Pedoman
Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah; Syarak Mangato Adat Mamakai; Alam
Takambang Jadi Guru” — yang dibahas dan disempurnakan dalam Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu
Minang di Padang pada tanggal 12-13 Desember 2010 - kepada seluruh masyarakat Minangkabau, baik di
Ranah maupun di Rantau.
Pasal 4 Anggaran Dasar Gebu Minang (2005) menegaskan bahwa Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah; Syarak Mangato Adat Mamaki; Alam Takambang Jadi Guru adalah merupakan dasar
organisasi, yang jelas harus ditindaklanjuti. Namun, oleh karena belum tersedianya rujukan yang memadai,
Gebu Minang merasa perlu untuk mengambil prakarsa untuk memulai rumusan yang amat mendasar tersebut.
Upaya penyusunan ini dimulai dengan rangkaian seminar, lokakarya, serta focused group discussion, di
Jakarta dan di berbagai kota di Sumatera Barat, yang kemudian dilewakan kepada seluruh orang Minangkabau
melalui fasilitas internet. Naskah ini dibangun dan juga dilewakan setapak demi setapak, untuk menampung
[hampir] seluruh pendapat dan pandangan mengenai tema ini, paling akhir dalam Drat 19, bulan November
2010.
Sedianya, naskah ini direncanakan untuk dibahas dan diputuskan oleh seluruh – atau sebagian besar
orang Minangkabau – dalam sebuah Kongres Kebudayaan Minangkabau ( KKM ). Namun rencana tersebut
tidak dapat dilaksanakan oleh karena satu dan lain hal, sehingga jadwal pelaksanaan KKM tersebut terpaksa
tertunda beberapa kali. Upaya membahas dan mengambil kesimpulan terhadap naskah ini akhirnya dapat
dilangsungkan dalam format Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang 2010.
Harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk merumuskan sebuah naskah yang mampu menampung
semua pandangan dan disetujui oleh semua orang. Terdapat demikian banyak pendapat dan tafsir terhadap
materi yang akan dibahas, yang kelihatannya telah demikian lama tidak sempat atau belum sempat dibahas
secara mendasar dan mendalam.
Syukur Alhamdulillah, setelah melalui rangkaian panjang kegiatan yang sangat melelahkan, dan
didukung oleh berbagai kalangan yang juga merasakan adanya kebutuhan untuk merumuskan dan
menyepakati Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah; Syarak Mangato Adat Mamaki; Alam
Takambang Jadi Guru sebagai jati diri, identitas kultural, dan rujukan moral, akhirnya Pedoman Pelaksanaan ini
dapat disepakati.
Sudah barang tentu Pedoman Pelaksanaan ini belumlah sempurna. Selain oleh karena ada sebagian
masyarakat Minangkabau yang merasa pandangannya belum terwadahi dalam Pedoman Pelaksanaan ini, juga
oleh karena adat yang salingka nagari beserta pemahaman kita tentang syarak tumbuh dan berkembang. Oleh
karena itu kepengurusan Gebu Minang periode 2005-2010 berharap agar dokumen ini dapat disempurnakan
secara berlanjut di masa datang.
Kepada seluruh fihak dan kalangan yang dengan bermurah hari telah memberikan saran, masukan,
bahkan kritik – khususnya kepada para sanak yang telah datang dari nagari-nagari yang jauh untuk hadir dalam
Seminar Kebudayaan Minagkabau 2010 – kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu melimpahkan rahmat, nikmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kita semua. Amin.
Jakarta, 31 Desember 2010.
7. KONSOLIDASI KULTURAL SUKU BANGSA MINANGKABAU:
Aktualisasi ABS-SBK di tengah Tantangan Lokal, Nasional dan Global
Oleh : Azyumardi Azra
“Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; Syarak mangato, adaik mamakai”
Konsolidasi kultural suku bangsa Minangkabau? Kenapa ada gagasan seperti ini? Bukankah suku bangsa
Minangkabau terkenal di seantero Nusantara sebagai sebuah suku yang distingtif, yang relatif memiliki
karakternya yang khas? Begitu distingtifnya berbagai aspek kehidupan suku bangsa ini sehingga menjadi
sasaran penelitian para ahli dan peneliti, mulai dari tradisi matrilinealnya yang unik, adat istiadatnya yang khas,
budaya merantau yang tidak pernah pudar, sampai kepada Islam yang dipandang sangat kuat baik di masa
lampau maupun kontemporer.
Tetapi pada saat yang sama, berbagai aspek kehidupan suku bangsa Minangkabau juga cenderung cair,
karena kebudayaannya yang terbuka, yang ‘eksvolutif’, berbeda dengan kebudayaan suku Jawa yang
‘involutif’—melingkar ke dalam jika kita meminjam kerangka Clifford Geertz tentang ‘involusi pertanian di Jawa’.
Karena itu, kebudayaan suku Minangkabau cenderung sangat terbuka bagi budaya luar, dengan
mengorbankan budayanya sendiri, yang lebih lama menjadi distingsinya.
Gejala kebudayaan Minangkabau yang ‘eksvolutif’ itu bisa terlihat dalam perjalanan sejarah budaya, sosial dan
keagamaan suku bangsa ini. Sejak ekspansi Islam yang menemukan momentumnya mulai abad 16, Islam
adalah sesuatu yang datang dari luar, yang bagaimanapun diterima secara bertahap ‘naik’. Sebaliknya, adat
berasal dari darek, wilayah pusat alam Minangkabau, yang ‘menurun’ ke pesisir dan rantau. Perkembangan ini
tergambar dalam prinsip agamo mandaki, adaik manurun. Bagaimanapun, merupakan keniscayaan bagi adat
untuk menerima Islam, yang kemudian ditempatkan sejajar: adaik basandi syarak, syarak basandi adaik.
Dalam perkembangan berikutnya, Islam tidak lagi terbendung. Dinamika pembaharuan internal di dalam
komunitas yang lebih berorientasi Islam—persisnya antara tasawuf jalan damai (Tuanku Nan Tuo dan Syekh
Jalaluddin) dengan mereka yang ala Wahabi (Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol) akhirnya
menempatkan Islam di atas adat seperti tercermin dan prinsip adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah,
yang sampai sekarang ini menjadi simbolisme ‘ketundukan’ adat di bawah hegemoni agama.
Meski demikian konsolidasi agama dan amalgamasinya dengan adat kelihatan tidak pernah tuntas. Tarik
menarik dalam Islam Minangkabau itu sendiri juga tidak pernah selesai, begitu juga di antara Islam pada satu
pihak dengan adat pada pihak lain. Pada ranah agama, gelombang pembaruan yang dilancarkan Haji
Abdulkarim Amrullah (Haji Rasul), Haji Abdullah Ahmad dan Kaum Muda lainnya mengakibatkan ‘Islam surau’
(tradisi) pada posisi defensif dan marjinal, yang dampaknya masih terlihat sampai sekarang ini, yang diakui
banyak tokoh Minangkabau sebagai ‘kelangkaan ulama’.
Sementara itu, ‘tarik tambang’ antara agama dengan adat juga terus berlangsung. Ini terlihat dari riwayat Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang bermukim di Mekkah, yang mengritik adat Minangkabau yang menurut dia
belum sepenuhnya sesuai sesuai dengan ortodoksi Islam. Dan ini terus berlanjut di masa Buya Hamka, yang
memandang perlu adanya sebuah ‘revolusi’ adat Minangkabau agar lebih sesuai dengan ortodoksi Islam.
Hingga sekarang ini, pergumulan antara Islam dan adat tetap saja belum berakhir apalagi ada prinsip ‘adaik
nan sabana adaik atau adaik nan sabatang panjang; dicabuik indak mati, diajak indak layua, indak lapuak dek
hujan, indak lakang dek paneh; sebuah prinsip idealistik yang bisa diperdebatkan, ketika berbagai perubahan
cepat dan berdampak panjang terus melanda ranah Minangkabau.
Perubahan-perubahan dalam setengah abad terakhir—khususnya sejak selesainya PRRI pada akhir 1960an
yang kemudian diikuti pemerintahan Orde Baru—juga terjadi sangat sangat cepat dan berdampak panjang
dalam berbagai aspek kehidupan suku bangsa Minang. Perubahan itu bukan hanya menyangkut kehidupan
sosial yang pada gilirannya juga menimbulkan dampak-dampak tertentu dalam kehidupan adat istiadat dan
keagamaan, tetapi juga psikologi orang Minang. Semua perubahan ini bukan tidak menimbulkan disorientasi
dan dislokasi di kalangan suku bangsa Minang, yang sampai sekarang ini masih terlihat sisa-sisanya, yang
cenderung terus menggayuti filsafat hidup, cara pandang dan gaya hidup orang Minang baik di ranah maupun
di rantau.
Karena itu, jika kita berbicara tentang ‘konsolidasi kultural’ suku bangsa Minangkabau, maka hal ini nampaknya
merupakan sebuah keharusan yang bahkan sebenarnya sudah lama tertunda. Ke depan, dengan konsolidasi
kultural itu, suku bangsa Minangkabau dapat menemukan kembali jati dirinya—yang agaknya mesti kontekstual
dengan realitas hari ini dan tantangan ke depan baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
8. ABS-SBK: Retrospeksi
Wacana tentang ‘Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah’ (ABS-SBK) yang beriringan dengan
gagasan ‘kembali ke nagari’ dan sekaligus ‘kembali ke surau’ telah bergaung dalam beberapa tahun terakhir di
kalangan para ulama, pemimpin Minang baik di Sumatera Barat maupun di rantau. Kemunculan wacana,
gagasan dan bahkan juga konsep filosofis dan praksis seperti ditawarkan Naskah Seminar Kebudayaan
Minangkabau 2010, tidak ragu lagi berkaitan dengan perkembangan politik masa pasca-Soeharto, ketika
kebijakan desentralisasi dan otonomisasi daerah menemukan momentumnya dan memberikan peluang bagi
konsolidasi atau rekonsolidasi kebudayaan Minangkabau dalam berbagai aspeknya.
Meskipun demikian, masih jadi tanda tanya besar tentang seberapa jauh wacana ABS-SBK dan
gerakan “kembali ke nagari’ dan ‘kembali ke surau” tersebut bisa berhasil. Pengamatan selintas di lapangan
menunjukkan, belum terlihat tanda-tanda meyakinkan bahwa ketiga gagasan dan bahkan mungkin juga
semacam gerakan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan.
Bagaimanapun, wacana atau gagasan tentang ABS-SBK dan ‘kembali ke nagari’ dan ‘kembali ke
surau’ pada satu segi boleh jadi masih mencerminkan ‘romantisme’ sejarah orang Minang sekarang tentang
keunggulan dan distingsi kebudayaan Minangkabau di masa silam. Baik ‘adat’, ‘nagari’ dan ‘surau’ dipandang
sebagai ‘local genius’ dalam kehidupan adat, sosial-politik, dan keagamaan Minangkabau, sehingga
menghantarkan suku bangsa ini ke dalam posisi terkemuka di antara suku-suku bangsa lain di Nusantara.
Dalam ingatan bersama (collective memory) masyarakat Minangkabau ketiga ‘local genius’ itu
memberikan suasana yang kondusif untuk kelahiran sejumlah ulama besar, pemikir, cendekiawan, pemimpin
politik puncak, budayawan, dan sastrawan. Mereka memainkan peran penting dalam kancah nasional sejak
masa pergerakan sampai dasawarsa awal pasca-kemerdekaan; secara sangat simbolik mereka menampilkan
distingsi dan keunggulan sistem adat, agama, sosial-budaya dan sosio-politik Minangkabau.
Selanjutnya adalah ratapan tentang ‘batang tarandam’, eksistensi ‘keminangan’ yang dipandang sudah pudar.
Hampir seluruh forum yang membahas tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat Minang dalam waktu
sekitar setengah abad terakhir—sejak akhir 1960an—hampir mengandung pesan ekplisit maupun implisit
tentang sudah saatnya bagi suku bangsa Minangkabau untuk ‘mambangkik batang tarandam’. Riuh rendah
gagasan ini sering terdengar di ranah Minang sendiri; menjadi wacana tidak hanya di kalangan cerdik pandai,
alim ulama dan tokoh-tokoh informal lainnya, tetapi juga merupakan pembicaraan—jika tidak kebijakan—di
kalangan para pejabat pemerintahan di Provinsi Sumatera Barat. Tokoh-tokoh Minang pada berbagai levelnya
di rantau juga menjadikan wacana ini sebagai topik pembicaraan yang hangat dan berkepanjangan.
Dalam gemuruh wacana tentang ‘mambangkik batang tarandam’, atau kini mungkin digantikan: “Allah
SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak mengubahnya” (al-Qur’an, surat al-
Ra’d 11). Ayat ini secara tipikal digunakan kaum Muslim di manapun ketika mereka berada pada posisi defensif
—tidak menguntungkan ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lain yang sering sulit tertandingi.
Semua kecenderungan ini pada satu segi mencerminkan ‘romantisme’ sejarah masyarakat
Minangkabau sekarang tentang masa silam mereka yang penuh kebanggaan; yang memiliki berbagai ‘local
genius’ dan distingsi dalam kehidupan agama, adat, dan sosial-budaya. Sering sekali juga, romantisme itu
menyimpan semacam sikap apologetik dan defense mechanism, ketika masalah yang dihadapi terasa begitu
berat, rumit dan kompleks; ketika semua optimisme dan harapan nyaris tidak terlihat. Nuansa pesimisme dan
ketiadaan harapan itu cukup merajalela dalam psyche banyak kalangan masyarakat Minang. Karena itu, tidak
heran sejak masa Gubernur Harun Zain berbagai usaha dilakukan untuk memulihkan harga diri, harkat,
marwah, dan martabat etnis Minang; usaha yang terus berlanjut sampai sekarang ini.
Strategi Kebudayaan dan Politik
Memandang perjalanan historis suku bangsa Minangkabau dan pengalaman pergumulan adat dan Islam,
kenestapaan pasca-PRRI, dan perubahan politik, agama, adat, dan sosial budaya, konsolidasi kultural suku
bangsa ini masih terus menghadapi banyak tantangan dan kendala.
Pada bidang politik, kembali kepada pemerintahan lembaga nagari masih menunggu integrasi pranata dan
lembaga adat dan agama dengan birokrasi resmi. Pemerintahan nagari yang secara tradisional mencakup
kepemimpinan keagamaan—yang bertumpu pada lembaga-lembaga keagamaan seperti surau—dan
kepemimpinan adat dan kepemimpinan ‘cadiak-candikio’ dan ‘tigo tungku sajarangan’, perlu pemulihan yang
sistemik, bukan sekedar wacana dan konsep.
Pada saat yang sama, adat dan agama juga memerlukan konsolidasi yang melibatkan kontekstualisasi dan
revitalisasi baik pada tingkat konsep normatif maupun kerangka praksis; juga kelembagaan dan
kepemimpinannya. Ini tidak lain, karena adat dan agama berhadapan dengan perubahan-perubahan struktur
9. sosial masyarakat Minang yang berlangsung kian cepat dalam tiga dasawarsa terakhir. Kini, keluarga
Minangkabau semakin menjadi ‘keluarga nuklir’, di mana ayah hampir sepenuhnya menjadi penanggungjawab
berbagai aspek kehidupan istri dan anak-anaknya. Mamak tidak lagi memikul tanggungjawab aktual sehari-hari
terhadap kemenakan, karena mereka juga sibuk dengan tanggungjawab masing-masing terhadap anak-anak
mereka sendiri. Mamak memang masih dikonsultasi sang ayah dan ibu dalam hal-hal sangat esensial dan
krusial menyangkut anak mereka (kemenakan sang mamak) seperti soal pernikahan misalnya; tetapi,
keputusan kini hampir sepenuhnya berada di tangan ayah dan ibu.
Juga, karena urbanisasi yang terus berlangsung semakin cepat atau ‘meng-urban-nya’ wilayah-wilayah
pedesaan, anak laki-laki semakin jarang tidur di surau; mereka kini sudah mempunyai ‘kamar’ di rumah
orangtua mereka masing-masing. Dengan demikian, salah satu ‘ritus peralihan’ (rite de passage), sangat
penting baik secara adat maupun agama dalam kehidupan anak-anak Minang terus kian lenyap.
Dalam perkembangan lebih jauh, dengan menguatnya keluarga nuklir, tanggungjawab atas pendidikan—
termasuk pendidikan agama—semakin menjadi tanggungjawab keluarga daripada paguyuban adat dan
lingkungan lebih luas yang diwakili surau dan nagari. Keluarga—atau ayah dan ibu—yang memiliki
pengetahuan keagamaan, mungkin relatif tidak mengalami masalah serius dalam penanaman pendidikan
agama ini, karena mereka sendiri bisa mengajari anak-anak mereka. Tetapi bagi ayah atau ibu yang tidak
memiliki pengetahuan dan kecakapan keagamaan, dan tidak secara konsisten mendorong anak-anaknya ke
surau (mushalla dan langgar) untuk belajar mengaji, dan juga tidak mampu mendatangkan guru mengaji ke
rumah, maka mengakibatkan terjadinya pengikisan keislaman di kalangan generasi muda Minang.
Dalam kehidupan sosial budaya, perubahan-perubahan yang dimunculkan pembangunan (modernisasi) Orde
Baru, menimbulkan urbanisasi yang berlangsung dan meningkat secara cepat di Sumatera Barat—seperti juga
terjadi di banyak wilayah Indonesia lainnya. Semakin banyak anak-anak muda Minang yang masih bujangan
dan yang sudah berumahtangga—baik laki-laki maupun perempuan—yang merantau ke wilayah-wilayah urban,
baik di lingkungan Sumatera Barat sendiri maupun ke wilayah-wilayah lain. Nagari, surau dan lubuk tapian pun
ditinggalkan; banyak persawahan dan lahan-lahan perkebunan dibiarkan begitu saja menyemak membelukar.
Sementara di rantau sendiri keadaannya tidak kunjung membaik. Persaingan di kota-kota seperti Jakarta,
Medan, Bandung, Surabaya dan sebagainya semakin sulit. Karena itu, dalam dua dasawarsa terakhir setidak-
tidaknya, perantau-perantau Minang bisa ditemukan di berbagai pelosok terpencil di Indonesia, membuka kedai
nasi Padang. Tidak terlihat kemajuan signifikan para perantau ini. Para perantau Minang umumnya tidak
mampu melangkah keluar sektor kaki lima, dan sektor-sektor informal lainnya. Lihatlah, apakah ada dan berapa
banyak perantau Minang yang berhasil menjadi pengusaha besar nasional dalam dua atau tiga dasawarsa
terakhir ini.
Menghadapi berbagai tantangan dan realitas yang tidak kondusif itu, maka tidak ada pilihan, kecuali perlunya
sebuah strategi kebudayaan dan politik. Dalam bacaan saya, Naskah Seminar Kebudayaan Minangkabau 2010
telah memberikan kerangka yang relatif komprehensif menyangkut strategi kebudayaan dan politik tersebut.
Bagaimanapun kerangka itu memerlukan political will kepemimpinan birokrasi kepemerintahan; dan juga
kesediaan kepemimpinan agama dan adat untuk membangun kesepakatan, baik pada tingkat konsep,
kerangka, dan praksis konsolidasi kultural suku bangsa Minangkabau tersebut. Tanpa itu, keinginan untuk
perubahan ke arah lebih baik, bisa berarti bahwa ‘kaum’ Minangkabau itu sendiri tidak mau mengubah
nasibnya. Wallahu a’lam bish-shawab.
*Azyumardi Azra, lahir 4 Maret 1955, adalah Guru besar sejarah; dan Direktur Sekolah PascaSarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang. Ia juga pernah
bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya
dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).
Memperoleh gelar MA, MPhil dan PhD dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia
memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan
Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University,
Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC),
International Aga Khan University (London, 2005-2010).
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang). Juga anggota Southeast Asian
Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-2001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action
Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford
Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-sekarang); Asian Scholarship Foundation (ASF,
Bangkok, 2006-sekarang); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-sekarang);
anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008).
10. Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia
(2004-sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8);
International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sekarang); Multi Faith
Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-
sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of
Melbourne, 2005-7); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World
Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang).
Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (Jakarta,
1994-sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang); Journal of
Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur,
2005-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of
Civilisation Studies (International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Journal of
Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic
Studies, 2010-sekarang).
Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy:
Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian
World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam
Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious
Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010). Lebih 30
artikelnya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.
Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran
pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15
Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan
Islam moderat; dan pada September 2010, ia mendapat penghargaan Honorary Commander of the Order of
British Empire (CBE) dari Ratu Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan
peradaban
11. KATA SAMBUTAN KETUA UMUM GEBU MINANG
PADA SIDANG PLENO KEDUA
SEMINAR KEBUDAYAAN MINANGKABAU GEBU MINANG
PADANG, 12 DESEMBER 2010
Para ninik mamak nan gadang basa batuah; alim ulama suluah bendang dalam nagari; dan para cadiak
pandai, serta para peserta Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang 2010 yang saya hormati,
Profesor Dr Azyumardi Azra, M.A selaku keynote speaker yang saya hormati,
Profesor Dr H. Musril Zahari, M.Pd yang saya hormati,
Para panelis,
Tamu dan undangan,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakuh,
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah subhana wa taala, izinkanlah saya menyampaikan salam
hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesudian kita sekalian untuk meluangkan waktu
`dari kesibukan pekerjaan sehai-hari untuk hadir dalam Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang (SKM
GM) 2010 sekarang ini.
Seperti kita ketahui bersama, bahan-bahan yang akan dibahas dalam sidang dan rapat-rapat SKM GM ini
sudah dipersiapkan dan dilewakan lebih dari satu tahun, dan telah banyak memperoleh tanggapan dalam
masyarakat. Dengan demikian, maka sesungguhnya SKM GM 2010 sudah berlangsung lama dalam
kenyataannya di dalam masyarakat kita, suatu hal yang rasanya belum pernah terjadi selama ini. Saya percaya
bahwa para hadirin yang belum mendapat bahan-bahan secara langsung dari panitia atau dari media
elektronik, akan memperolehnya dari berita dan kolom surat kabar serta dari tanggapan para warga masyarakat
Minangkabau pada umumnya.
Sudah barang tentu adalah manusiawi bagi kita sekalian untuk bertanya, dan memperoleh jawaban,
tentang apakah latar belakang, maksud, dan tujuan diselenggarakannya Seminar kebudayaan ini, baik tujuan
yang tersurat maupun tujuan yang tersirat ?
Jawaban dan penjelasan terhadap latar belakang, maksud dan tujuan diselenggarakannya Kongres, yang
sekarang kita namakan Seminar kebudayaan ini sudah sering kami sampaikan melalui media massa, namun
mungkin baik jika saya menyampaikan rangkumannya secara langsung di depan sidang yang mulia ini.
Tema utama yang dijadikan rujukan dalam Seminar kebudayaan ini adalah Sabda Ilahi yang tercantum
dalam Al Quranulkarim, Surah Ar Ra’d ayat 11, yang menyatakan dengan jelas bahwa Allah SWT tak akan
mengubah nasib suatu kaum kalau bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya.
Saya rasa tidak memerlukan banyak penjelasan lagi, bahwa kita semua ingin mengubah nasib kita
sekarang – yang mungkin sekali kita rasakan kurang memuaskan – ke arah nasib yang lebih baik, yang jelas
hanya bisa kita ubah dengan ikhtiar kita sendiri, seperti tercantum dalam Sabda Ilahi yang saya rujuk tadi. Jika
kita sependapat dengan pengamatan ini, maka yang perlu kita bahas adalah apa kebijakan dasar dan
bagaimana caranya menjabarkan Sabda Ilahi tersebut ke dalam kenyataan.
Sebagai titik tolak, Gebu Minang merujuk kepada ajaran yang sudah lama kita anut, yaitu ajaran Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK), oleh karena ABS SBK ini telah menyatukan secara
harmonis antara ajaran adat Minangkabau yang sudah ada selama ratusan tahun, dengan ajaran agama Islam
yang baru datang ke Minangkabau ini – kira-kira – 400 tahun yang lalu. Seperti kita ketahui. ABS SBK ini sudah
menjadi dasar Gebu Minang, seprti tercantum dalam Pasal 4 Anggaran Dasar Gebu Minang, yang ditetapkan di
Sawah Lunto, bulan Desember 2005.
Ada suatu masalah dalam melaksanakan ABS SBK ini ke dalam kenyataan, yaitu belum adanya rincian
lebih lanjut tentang apa pengertiannya, apa hakikatnya, apa tujuannya, apa tolok ukurnya, serta apa lembaga-
lembaga yang akan kita andalkan dalam menindaklajutinya. Sudah barang tentu masalah ini tidak akan terasa
sewaktu kita menghayatinya secara perseorangan, atau di dalam kaum, bahkan di tingkat nagari. Masalah ini
baru akan jelas terasa jika kita akan menindaklanjutinya secara kelembagaan di tingkat kecamatan,
kabupaten/kota, tingkat provinsi, atau tingkat Indonesia. Masalah ini perlu kita jawab, oleh karena sebagai
sebuah suku perantau kita tentu tidak ingin wawasan kita terbatas pada tingkat nagari saja, betapapun
pentingnya peranan nagari dalam kehidupan kita sebagai pribadi. Lagi pula, selain sebagai warga suku bangsa
Minangkabau, kita adalah bagian menyeluruh dari bangsa Indonesia yang ikut kita bangun dan kita
pertahankan.
Gebu Minang sudah lama menunggu adanya rincian lebih lanjut tentang ABS-SBK ini, dan oleh karena
belum ada sampai sekarang, sesuai dengan Pasal 4 Anggaran Dasar, sejak tahun 2007 telah beberapa kali
mencoba mengkaji latar belakang sejarah lahir dan berkembangnya ABS SBK ini. Seiring dengan itu, dengan
segala keterbatasan yang ada, Gebu Minang mencoba merangkum kandungan isi ABS SBK ini, dan
12. menuliskannya dalam berbagai drafts, sampai draft paling akhir yang ada di tangan kita sekalian, yang kami
lakukan sebagai pelaksanaan dari saran Engku Y. Sutan Mangkuto.
Untuk menindaklanjutnya nanti, Gebu Minang mengharapkan berfungsinya kerjasama dari unsur-unsur
Tungku Tigo Sajarangan, yaitu niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Kita sudah lama mendengar
tentang Tungku Tigo Sajarangan ini, dan kita ingin agar kerjasama tersebut benar-benar terwujud `dalam
kenyataan. Untuk memperoleh masukan yang lebih dalam tentang aspek-aspek kepemimpinan Minangkabau
ini, kita mengharapkan pencerahan dari dua guru besar, yaitu Prof Dr Azyumardi Azra, M.A, dan Prof Dr H.
Musril Zahari, M.Pd
Sudah barang tentu draft yang disiapkan Gebu Minang itu masih jauh dari sempurna, dan oleh karena ABS
SBK merupakan milik kita semua, rumusan tersebut harus kita sepakati bersama, setidak-tidaknya disepakati
oleh sebagian besar warga Minangkabau, dalam sebuah kongres kebudayaan seperti sekarang ini. Adalah
merupakan hasrat Gebu Minang bahwa kongres kebudayaan ini dapat dihadiri oleh semua unsur dalam
masyarakat Minangkabau. Namun seperti kita ketahui bersama, hasrat ini belum dapat diwujudkan, dan
kongres ini dapat dihadiri oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang mewakili sebagian besar nagari dari seluruh
Sumatera Barat. Namun seperti kita ketahui bersama, format kongres ini dengan berat hati terpaksa kami
batalkan dan atas saran dari Walikota Padang Bpk. Dr. Fauzi Bahar, M.Si diganti menjadi Seminar kebudayaan
Minangkabau. Sekali lagi atas nama pengurus Gebu Minang, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya atas kehadiran kita sekalian dalam kongres kebudayaan ini.
Suatu masalah yang juga timbul dalam masyarakat kita, terutama di Rantau, adalah apa yang dimaksud
dengan ‘Kitabullah’ dalam ABS SBK. Bagi kita yang berdiam di Ranah mungkin sekali pertanyaan ini akan
terasa agak ganjil, oleh karena sudah barang tentu yang kita maksud dengan Kitabullah adalah Al
Quranulkarim. Namun jika kita pikir-pikir, memang ada baknya ditegaskan bahwa yang kita maksud dengan
‘Kitabullah’ adalah Al Quranulkarim, oleh karena dalam ajaran agama kita sendiri ada beberapa buah kitab-
kitab.
Dalam hubungan ini, secara berkebetulan, Gebu Minang mendapatkan wakaf hak pengarang dari keluarga
buya Fachruddin Hs, yang dalam tahun 1969 pernah menerbitkan sebuah buku kecil berjudul “Petunjuk Al
Quran dalam Berbagai Persoalan Disusun Menurut Alfabet”. Buku kecil ini telah disunting dan diterbitkan
kembali oleh Yayasan Sepuluh Agustus untuk Gebu Minang, dan diwakafkan lagi untuk para peserta Seminar
kebudayaan agar dapat memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hadirin dan hadirat yang saya muliakan,
Sudah barang tentu jernihnya pemahaman kita tentang ABS SBK be,lumlah memadai, betapapun
pentingnya. Sama pentingnya adalah bagaimana kita menindaklanjutnya dalam kenyataan, untuk meningkatkan
kesejahteraan kita secara lahir batin, baik dalam suasana damai maupun dalam suasana ancaman bencana
yang melanda daerah Sumatera Barat dalam tahun-tahun belakangan ini.
Oleh karena itu, seiring dengan menyajikan sebuah konsep yang cukup sistematik tentang ABS SBK, Gebu
Minang juga menyajikan serangkaian gagasan mengenai pembangunan sosial ekonomi, baik tentang
pembangunan nagari dan kesejahteraan masyarakat petani, yang penting untuk nagari-nagari di darek;
maupun tentang pendayagunaan potensi laut/maritim serta kesejahteraan masyarakat pasisia, yang rasanya
akan bermanfaat untuk masyarakat enam kabupaten/kota di daerah pesisir Sumatra Barat. Oleh karena tanah
ulayat memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat kita – yang sebagian telah lepas dari
kepemilikan masyarakat-hukum adat kita-- Panitia mengajak kita sekalian untuk mencurahkan fikiran tentang
upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk memulihkannya kembali. Seperti juga halnya dengan konsep tentang
ABS SBK, dua konsep ini , termasuk tentang konsep tentang tanah ulayat, memerlukan penyempurnaan dari
kita sekalian.
Seperti kita alami bersama, juga pada saat kita sedang berkumpul sekarang ini, daerah Sumatera Barat
sedang berada dalam ancaman bencana yang entah kapan atau dimana akan terjadi. Oleh karena itu, adalah
wajar, jika kita mencurahkan perhatian pada upaya yang harus dilakukan untuk menghadapi kemungkinan
terjadinya bencana, serta upaya yang harus dilakukan pada dan setelah terjadinya bencana. Untuk
memperoleh masukan mengenai masalah ini, kita mengharapkan pencerahan dari instansi-instansi serta
lembaga-lembaga swadaya masyarakat terkait.
Saya mengharapkan agar waktu yang dua hari ini kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk
mengoreksi dan menyempurnakan berbagai bahan yang telah disiapkan dan dilewakan oleh Panitya. Kami
mengharapkan adanya masukan tertulis, disamping sumbangan secara lisan yang akan disampaikan dalam
komisi-komisi. Seluruhnya itu akan dicatat dan diolah oleh para notulis yang diperbantukan. Prinsipnya – seperti
yang sudah dilakukan sebelum ini – semua masukan ditampung dan diwadahi dalam kesimpulan seminar
kebudayaan ini. Sebagian akan kita laksanakan dalam seminar ini, sebagian lagi setelah seminar, sekiranya
saran dan masjukan tersebut memerlukan pembahasan lebih lanjut.
Setelah selesainya seminar ini, Gebu Minang mengharapkan terbentuknya empat lembaga kajian yang
akan membahas, menindaklanjuti, serta mencerahkan masyarakat tentang lima tema yang dibahas, yaitu: 1)
Lembaga Kajian dan Advokasi ABS SBK; 2) Lembaga Kajian dan Advokasi Pembangunan Nagari,
Kesejahteraan Masyarakat Petani, dan Pemulihan Hak atas Tanah Ulayat; 3) Lembaga Kajian dan Advokasi
Pendayagunaan Potensi Maritim dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir; dan 4) Lembaga Kajian dan Advokasi
Kesiagaan Menghadapi Bencana. Sudah arang tentu bagaimana bentuk finalnya nanti bergantung pada
perkembangan keadaan.
13. Sudah barang tentu, seluruh kesepakatan kita dalam kongres ini tidak akan terlaksana besok pagi. Masih
diperlukan upaya yang bersungguh-sungguh dalam waktu yang panjang untuk menindaklanjutinya dalam
kenyataan. Apa yang dapat kita lakukan dalam kongres ini adalah mengenal masalahnya, membahas berbagai
segi dari masalah itu, merumuskan pokok-pokok yang dapat kita sepakati dalam menangani pelaksanaannya,
serta merencanakan pembentukan lembaga-lembaga yang kita harapkan untuk menindaklanjutinya dalam
tahun-tahun mendatang. Secara khusus atas nama jajaran Gebu Minang, saya mengucapkan terima kasih, dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada Walikota Padang, Bapak Dr. Fauzi Bahar, M.Si, serta kepada Saudara
Basrizal Koto yang telah memberikan dukungan perlindungan dan bantuan yang sangat diperlukan pada
moment-moment kritis pelaksanaan Seminar ini yang sebelumnya bernama Kongres Kebudayaan
Minangkabau.
Akhirulkalam, seluruh manfaat yang diharapkan timbul dalam rangkaian pembicaraan dalam seminar dua
hari ini, kita sumbangkan untuk masyarakat Minangkabau pada khususnya dan kepada daerah Sumatera Barat
pada umumnya.
Semoga Allah subhana wa taala selalu memberkati kita sekalian. Amin.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
GERAKAN EKONOMI DAN BUDAYA MINANG
MAYJEN TNI (Purn) H. ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP
Ketua Umum
14. LAPORAN KETUA UMUM PENYELENGGARA
SEMINAR KEBUDAYAAN MINANGKABAU GEBU MINANG
PADANG, 12 DESEMBER 2010
Assalamualaikum Wr.Wb.
Bapak Walikota Padang, Dr H Fauzi Bahar, M.Si yang saya hormati,
Bapak Prof Dr Azyumardi Azra, M.A.
Bapak Prof Dr Musril Zahari, M.Pd
Para pejabat pemerintah, sipil, POLRI dan militer,
Saudara-saudara anggota Tim Pemantau dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Para ninik mamak nan dianjuang tinggi diambak gadang, nan gadang basa batuah, alim ulama palito nan
indak namuah padam duduaknyo bacamin kitan, tagaknyo rintang jo pitua, taruih kapado cadiak pandai
pagaran kokoh suluah bendang dalam nagari.
Para Bundo Kanduang, limpapeh rumah nan gadang, sumarak alam Minangkabau, Urang mudo samo
didalam, Kepada Bapak-bapak, Ibu-ibu, kok kete indak taimbau namo, gadang indak basabui gala.
Izinkanlah saya pertama-tama mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak-bapak
serta Ibu-Ibu dan Saudara-sekalian, yang telah sudi meringankan langkah menghadiri alek gadang
Minangkabau yang diprakarsai oleh salah satu organisasi para Perantau, yaitu Gerakan Ekonomi dan Budaya
Minangkabau – Gebu Minang – yang sekarang ini sudah berusia lebih dari dua dasawarsa.
Sebagai sapangka, kami ingin menyediakan pelayanan yang terbaik bagi kita sekalian, namun seperti kita
ketahui bersama, hal itu tidak mungkin kami lakukan, oleh karena demikian banyaknya halangan, hambatan,
bahkan rintangan yang kami hadapi untuk dapat melaksanakan alek gadang yang sekarang dinamakan sebagai
Seminar Kebudayaan Minangkabau. Oleh karena itu, sebagai sepangka saya mengucapkan maaf yang
sebesar-besarnya atas segala ketidaknyamanan yang para Hadirin dan hadirat rasakan sebelum dan selama
berlagsungnya Seminar ini. Saya percaya bahwa kita sekalian dapat memahami latar belakang terjadinya
seluruh ketidak-nyamanan ini.
Ada dua bagian dalam Panitia Pelaksana ini, yaitu Panitia Pengarah (Steering Committee) yang telah
bekerja selama lebih dari setahun ini, dan Panitia Pelaksana Lapangan (Organizing Committee) yang harus
bekerja keras selama sebulan terakhir.
Panitia Pengarah telah berusaha keras untuk menghimpun dan merumuskan berbagai rumusan awal dari
bahan yang diperlukan untuk lancarnya Seminar yang mempunyai lima tema yang ingin kita bahas bersama
selama dua hari ini. Sudah barang tentu, tanpa adanya berbagai rumusan awal tersebut adalah mustahil untuk
mengharapkan lancarnya pembahasan dalam Seminar yang dihadiri oleh kurang lebih seribu orang, yang dari
lebih 534 nagari dari Seluruh Sumatera Barat. Apalagi jika kita ingat bahwa para peserta Seminar ini berasal
dari berbagai latar belakang, yang sebelum ini – mungkin – belum pernah kenal satu sama lainnya.
Ada suatu masalah serius dalam bidang Panitia Pengarah yang perlu saya jernihkan dalam laporan ini, oleh
karena masalah ini dalam pandangan kami telah merupakan akar penyebab dari demikian banyak hambatan,
kesukaran, dan rintangan selama ini. Masalah itu adalah isu yang tidak berdasarkan fakta yang disebarkan
secara luas dan sistematis. Tanpa mengadakan klarifikasi secara langsung kepada kami sebagai sipangka, ada
fihak-fihak tertentu yang secara berkelanjutan melancarkan isu tersebut dalam masyarakat,
Walau selintas isu yang dilontarkan itu hampir tidak masuk akal, oleh karena bagaimana mungkin sebuah
seminar yang hanya berlangsung dua hari, akan mampu mengubah sebuah sistem sosial yang sudah
berlangsung selama ratusan tahun, bahwa Seminar mempunyai tujuan akan mengganti sistem kekerabatan
matrilineal dengan sistem kekerabatan patrilineal.
Seperti kita ketahui bersama, sistem kekerabatan matrilineal adalah rujukan paling dasar dari tatanan sosial
Minangkabau yang sudah mapan dan melekat dalam jiwa raga masyarakat Minangkabau selama ratusan
tahun.
Demikianlah, Seminar yang sedianya akan dilaksanakan di kota Bukittinggi, bukan saja harus kami undur
beberapa kali, tetapi juga akhirnya harus kami pindahkan ke kota Padang yang indah ini.
Kami telah mencoba menghubungi fihak-fihak yang kontra, baik dengan maksud memberi klarifikasi
(penjelasan) maupun untuk meminta masukan dan koreksi secara langsung. Seluruhnya itu tidak pernah
berhasil. Sampai saat ini kami belum pernah berhasil. Baik untuk memberikan penjelasan secara langsung
ataupun untuk menerima masukan dan koreksi dari fihak yang bersangkutan. Bahkan Gubernur Sumatera
Sekretariat : Jl. Kayumanis I No.24 RT.002/02 Jakarta Timur 13130
Telp./Faks : 021. 859 03567, 0812 822 0321
15. Barat telah memprakarsai pra kongres tanggal 12 Oktober 2010 dengan maksud agar pihak yang tadinya
kontra akan hadir, namun demikian usaha tersebut tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak yang
akhirnya menemui jalan buntu, sedangkan peserta yang hadir sebanyak 163 orang tetap menghendaki agar
kegiatan KKM tetap dilaksanakan.
Sungguh kami tidak mengetahui secara persis motivasi apa sesungguhnya yang mendorong
dilancarkannya gerakan menggagalkan kongres/seminar ini, walaupun tentunya kami dapat menduga dan
mengira-ngira dorongan dan upaya melalui demikian banyak tulisan, artikel, melalui media, ataupun demikian
banyak pesan-singkat yang kami terima. Kami serahkan hal ini kepada seluruh masyarakat Minangkabau untuk
menilainya apa sesungguhnya yang melatarbelakangi seluruh upaya tersebut.
Namun ada sisi positif dari gencarnya isu yang dilancarkan kelompok tertentu tersebut, yaitu lebih
meyakinkan kami untuk meneruskan ikhtiar mengadakan Seminar Kebudayaan Minangkabau ini, khususnya
lebih mendalami hal-hal yang terkait dengan pengamalan ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah (ABS SBK) dalam kehidupan kita sehari-hari. Kami percaya bahwa isu negatif yang gencar itu yang
justru menyebabkan timbul perhatian masyarakat kita untuk mengetahui apa yang sesungguhnya yang
ditawarkan oleh Gebu Minang dalam acara ini, sebagian di antaranya malah mendaftar dan hadir sebagai
peserta dalam seminar ini.
Oleh karena itu, kami percaya bahwa masyarakat kita sudah mengetahui – setidak-tidaknya secara garis
besar -- bahan-bahan yang telah kami sebar-luaskan secara terbuka sejak awal tahun ini, baik melalui 13 kali
acara tatap muka dalam berbagai diskusi terarah ( focused group discussion) dengan utusan dari Nagari-nagari
di Minangkabau maupun secara tidak langsung melalui media internet.
Hadirin dan hadirat yang saya muliakan,
Dalam bidang tugas Panitia Pelaksanaan Lapangan dapat saya sampaikan, bahwa seandainya Bapak
Walikota Padang – Dr. H Fauzi Bahar, M.Si – tidak dengan cepat turun tangan memberikan dukungan moril,
bantuan dan perlindungan, kita semua tidak akan dapat hadir dalam acara pembukaan ini, ikhlas kami terpaksa
hijrah dari Bukittinggi ke Padang. Akhirnya dengan dukungan dan perlindungan yang diberikan oleh Bapak
Walikota Padang adalah layak bahwa untuk seluruh dukungan dan bantuan Bapak Walikota, atas nama Gebu
Minang dan seluruh jajaran Panitia penyelenggara SKM Gebu Minang 2010 saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya, semoga beliau sukses dalam membuat Kota Padang yang terbuka untuk semua
masyarakat yang ingin melakukan kegiatan yang positif.
Secara khusus kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Basrizal Koto,
yang telah menyediakan fasilitas ruang pertemuan dan kamar hotel yang mampu memberikan akomodasi untuk
sekitar 800 orang peserta.
Semoga Allah subhana wa taala selalu memberikan rahmat, taufiq, hidayat, dan inayah-Nya untuk kita
semua. Amin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Padang, 12 Desember 2010
Ir. H. R. Ermansyah Jamin Dt. Tanmaliputi
Ketum Peyelenggara Seminar Kebudayaan Minangkabau 2010
16. REKOMENDASI TERPILIH
DARI SEMINAR KEBUDAYAAN MINANGKABAU
GEBU MINANG
KEPADA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT
1. Umum.
a. Sesuai dengan arahan Gubernur Sumatera Barat pada acara Pra Kongres tanggal 12
Oktober 2010 dan kehendak para peserta Seminar Kebudayaan Gebu Minang 2010 pada
tanggal 13 Desember 2010, Pemerintah Daerah Sumatera Barat agar menyelenggarakan
Kongres Kebudayaan Minangkabau dalam tahun 2011 ini.
b. Seluruh peserta Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang 2010 agar diundang
sebagai peserta dalam Kongres Kebudayaan Minangkabau 2011 tersebut.
2. Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah; Syarak
Mangato Adat Mamakai; Alam Takambang Jadi Guru.
a. Pemerintah Daerah agar memfasilitasi terbentuknya Forum Tungku Tigo Sajarangan
disetiap tingkatan sebagai unsur kepemimpinan kolektif masyarakat Minangkabau dalam
menyelesaikan masalah serta dalam mencari mufakat untuk menghadapi tantangan masa
datang.
b. Mendorong agar unsur-unsur Forum Tigo Sajarangan -- yaitu lembaga-lembaga ninik
mamak, alim ulama, dan lembaga cadiak pandai, berada di bawah satu atap.
c. Secara pro aktif melayani keinginan masyarakat untuk tegaknya moral dan budi berdasar
adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
d. Mendorong Mahkamah Agung R.I untuk menghidupkan kembali peradilan adat dalam
kasus-kasus sengketa adat.
e. Meminta kepada jajaran kepolisian daerah agar telebih dahulu bekerjasama dengan tokoh-
tokoh masyarakat-hukum adat setempat sebelum melakukan penangkapan/penahanan
dalam kasus tindak pidana ringan yang melibatkan warga masyarakat hukum adat.
f. Mensosialisasikan naskah ini kepada seluruh jajaran Pemerintah Daerah sebagai masukan,
khususnya kepada para pejabat yang berasal dari luar daerah.
g. Lebih mengaktifkan unsur Sekretariat Daerah menangani pembangunan nagari dan
sejenisnya dan masyarakat perantau.
3. Pembangunan Nagari & sejenisnya dan Kesejahteraan Masyarakat Petani.
a. Menuntut Pemprov Sumatera Barat untuk memperjuangkan dipulihkannya otonomi Nagari
berdasarkan hak asal-usul menurut penjelasan Pasal 18 Undang Undang Dasar 45 dan
Masyarakat Hukum Adat yang berlaku di Minangkabau.
b. Mendorong pemerintah kabupaten dan kota untuk membentuk peraturan daerah yang akan
memberi status badan hukum (legal standing) kepada nagari-nagari, agar dapat membela
dan memanfaatkan hak tradisionalnya sebagai Pemohon pada Mahkamah Konstitusi, jika
merasa haknya itu dilanggar oleh undang-undang.
c. Secara bertahap memfasilitasi pembuatan peta partisipasi tentang batas nagari-nagari.
d. Membantu penyediaan modal yang berasal dari dana corporate social responsibility untuk
lembaga-lembaga keuangan mikro, seperti koperasi simpan pinjam dan baitul mal wa
tamwil yang berbasis syariah yang telah mulai tumbuh di daerah Sumatera Barat.
Sekretariat : Jl. Kayumanis I No.24 RT.002/02 Jakarta Timur 13130
Telp./Faks : 021. 859 03567, 0812 822 0321
17. e. Untuk mencegah isolasi dan untuk membangun komunikasi yang cepat antara nagari dan
sejenisnya dengan para perantaunya, agar memfasilitasi kegiatan pelatihan serta
pengoperasian internet di nagari-nagari.
f. Perlu disiapkan kebijakan untuk menampung dinamika masyarakat nagari.
4. Pendayagunaan Potensi Maritim dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir.
a. Pemerintah Daerah agar memberikan perhatian khusus kepada pemberdayaan sumber daya
perikanan dan kelautan.
b. Memfasilitasi kebangkitan kembali budaya bahari di sepanjang pantai Barat provinsi
Sumatera Barat.
c. Mendukung kebijakan Kementerian Kelautan & Perikanan agar Provinsi Sumatera Barat
menjadi sentra pengembangan potensi daya maritim untuk kawasan Indonesia bagian barat
yang berpusat di Teluk Bayur.
d. Mendeklarasikan lautan di depan pantai Barat Sumatera Barat dan pantai Timur kepulauan
Mentawai sebagai Lautan Minangkabau atau Tabek Gadang Minangkabau yang
merupakan ulayat tinggi.
e. Secara bertahap memfasilitasi terbentuknya lembaga masyarakat yang mengkoordinasikan
seluruh kegiatan pendayagunaan potensi maritim.
f. Memfasilitasi terbentuknya komunitas maritim di Sumatera Barat, yang terdiri dari unsur-
unsur syahbandar, lembaga-lembaga pendidikan maritim, masyarakat nelayan, stasiun TNI-
Angkatan Laut dan unsur-unsur Kementerian Kelautan & Perikanan, dan organisasi
nelayan pesisir, antara lain organisasi seperti KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan).
g. Memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya budi daya perikanan.
h. Memimpin proses rehabilitasi terumbu karang yang telah rusak berat oleh karena
eksploitasi yang melanggar hukum.
i. Menindak lanjuti kesediaan Kementerian Kelautan & Perikanan untuk menghibahkan
kapal-kapal pelatih untuk nelayan pesisir dalam rangka meningkatkan kemampuan
menangkap ikan di Zona Ekonomi Ekslusif 200 Mil.
j. Memperhatikan secara khusus peningkatan pendapatan nelayan pantai yang ada dengan
membentuk koperasi-koperasi, serta depot penyediaan bahan bakar, termasuk penyediaan
bahan bakar bersubsidi.
k. Dalam jangka pendek memfasilitasi kerjasama operasional yang saling menguntungkan
antara nelayan dari daerah tetangga yang sudah lebih maju dengan nelayan tradisional
setempat.
l. Sebagai bagian menyeluruh dari Sumatera Barat perlu diberikan perhatian dan pelayanan
khusus kepada masyarakat kepulauan Mentawai, antara lain dengan memasukan kep.
Mentawai sebagai bagian dari sentra pembangunan maritim.
m. Oleh karena mempunyai potensi yang sangat besar untuk mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat Mentawai perlu dikembangkan fasilitas untuk wisata maritim.
n. Untuk mengatasi gejolak harga penjualan ikan, sewaktu-waktu tertentu meningkat (pada
waktu musim panen), kepada pemerintah diminta untuk dapat membeli hasil panen
tangkapan nelayan, dan memprakarsai pembangunan industry pengolahan dengan
memanfaatkan dana yang dialokasikan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
o. Mencegah akibat yang lebih buruk dari abrasi yang terjadi disepanjang pantai Sumatera
Barat dengan melakukan penanaman pohon bakau.
p. Memanfaatkan para penyuluh yang dibentuk oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
q. Memanfaatkan semaksimal mungkin Gerakan Nasional Masyarakat Minapolitan yang
resmi dicanangkan di Pariaman baru-baru ini oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan RI
dan Kementerian Kominfo dengan sasaran Indonesia menjadi produsen ikan terbesar pada
tahun 2015.
18. 5. Pemulihan Hak atas Tanah Ulayat.
I. Masalah Tanah Ulayat Selama Ini
Sebelum Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) dan Domein Verklaring tahun 1870
diundangkan di zaman penjajahan Belanda, praktis seluruh tanah di Indonesia ini adalah tanah
ulayat, baik yang dikuasai oleh raja maupun oleh kelompok suku, kaum, marga, desa, nagari,
dsb. Di zaman kemerdekaan ini, pemerintah RI lalu mengeluarkan UUPA (Undang-Undang
Pokok Agraria), No.5 tahun 1960, yang dasarnya adalah pengakuan akan eksistensi tanah
adat.
Namun sejak masa diberlakukannya Agrarische Wet sampai ke UUPA, dan bahkan
berlanjut sampai sekarang, struktur dan sistem perekonomian nasional telah mengalami
perubahan yang cukup berarti dan mendasar. Sistem dan struktur perekonomian di Indonesia,
dalam praktek, telah menjurus kepada yang bersifat kapitalistik, liberal dan individualistik,
kendati pasal 33 UUD 1945 menginginkan agar “perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan,” yang karenanya secara formalistis masih diakui keberadaan
dari tanah komunal adat dengan nama tanah ulayat itu.
Pengakuan formal ini malah dikukuhkan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, di
mana dikatakan: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.”
Atas dasar itulah Pemerintah Daerah Sumatera Barat mengeluarkan Perda No. 6 th
2008 tentang Tanah Ulayat dan Pamanfaatannya, pada tgl 22 Juli 2008, yang pasal 2 nya a.l.
mengatakan: (1) Asas utama tanah ulayat bersifat tetap berdasarkan filosofi adat
Minangkabau “jua indak dimakan bali, gadai indak dimakan sando;’ (2) Asas pemanfaatan
tanah ulayat adalah manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat adat,
berkeadilan dan bertanggung jawab, sesuai dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah.
Namun, pada waktu yang sama, pasal 33 ayat (2) UUD 1945 juga mengatakan,
bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dengan sistem dan struktur ekonomi yang dikembangkan oleh negara, terutama sejak
masa Orde Baru dan berlanjut sampai saat Reformasi sekarang ini, yaitu dengan mengajak
perusahaan-perusahaan multi-nasional kapitalistik yang juga didukung dan diperan sertai oleh
perusahaan-perusahaan nasional, dan BUMN, maka di manapun, termasuk di Sumatera Barat
sendiri, keberadaan tanah ulayat tinggal kenangan pahit masa lalu, karena sebagian terbesar
telah dikonsesikan oleh pemerintah sendiri berupa tanah HGU kepada perusahaan-perusahaan
multi-nasional dan nasional itu, dengan mengalihkan tanah ulayat menjadi tanah negara. Meski
masa kontraknya berakhir, atau tidak diperpanjang lagi, tanah ulayat yang dikonversikan
menjadi tanah negara itu tidak dikembalikan kepada rakyat sebagai tanah ulayat semula.
Karenanya, di tengah-tengah kesukaran rakyat untuk mendapatkan tanah untuk menjalankan
usaha-usahanya, baik di bidang pertanian, perkebunan, perternakan, atau galian lain, dsb, kita
juga menyaksikan ribuan hektar tanah yang tadinya tanah ulayat itu dibiarkan terlantar, karena
tidak digarap oleh para perusahaan yang memegang konsensi HGU tanah itu. Dalihnya adalah
karena mereka pemegang hak konsensi HGU yang berlaku selama minimal 30 tahun yang
bahkan juga dapat diperpanjang lagi.
II. Alternatif Penyelesaian ke Masa Depan
Untuk mengoreksi dan membenahi penyimpangan kebijakan Negara terhadap hak atas
tanah ulayat ini sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, berikut
disampaikan beberapa alternatif :
19. (1) Dengan Kebijakan Pemerintah Daerah Sumatera Barat seperti tercantum dalam Perda
No. 6 th 2008 itu perlu ditindak lanjuti dengan langkah-langkah konkrit dalam upaya
mengembalikan tanah ulayat yang diHGUkan sebagai tanah negara itu dalam jangka
waktu yang ditentukan, sehingga semua tanah ulayat kembali ke tangan rakyat, dan
dipergunakan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
(2) Bagi tanah ulayat rakyat yang masih berupa cadangan, artinya yang belum digarap,
perlu ada penyelesaian secara tuntas, baik mengenai hak pemilikan kolektif kaum,
suku, maupun nagari, dengan penentuan batas-batas wilayah yang jelas dan
terinventirasi serta terkodifikasi melalui Prona dan Undang-undang keagrariaan
lainnya.
(3) Secara hukum adat maupun syarak, sesuai dengan prinsip ABS-SBK, tanah ulayat
rakyat dalam kaum, suku maupun nagari, diperlakukan sebagai tanah wakaf kaum,
suku, maupun nagari, yang tidak dibagi secara hukum faraidh, karena bukan milik dari
seorang tertentu yang meninggal, tapi milik kolektif kaum, suku dan nagari secara
turun-temurun.
(4) Dalam menyelesaikan sengketa tanah-tanah ulayat kaum, suku dan nagari, fihak
Pengadilan harus memahami dan menjunjung tinggi prinsip tanah ulayat yang
berfungsi sebagai tanah wakaf, yang karenanya tidak boleh dibagi dan disesuaikan
dengan undang-undang keagrariaan yang sifatnya individual.
(5) Pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten beserta DPRD terkait, di Sumatera Barat,
didukung seluruh lapisan kepemimpinan masyarakat Minangkabau, perlu
memprioritaskan usaha penyelesaian masalah sengketa tanah ulayat ini, baik dengan
pihak luar manapun, maupun dengan pihak dalam sendiri dalam suku, kaum dan
nagari.
(6) Terhadap tanah-tanah ulayat yang dapat dipakai dan dimanfaatkan untuk keperluan
pembangunan di masa datang, norma konstitusi yang tercantum dalam pasal 33 ayat (2)
UUD 1945 harus menjadi pedoman, prinsip, dan tujuan, dalam membangun Daerah
dan Negara.
(7) Semangat serta kebijakan yang terkandung dalam Perda No. 6 th 2008 mengenai
Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya perlu ditindaklanjuti secara aktif agar tanah ulayat
kembali kepada rakyat, sesuai dengan motto konstitusi “untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
(8) Mendorong Pemerintah Pusat untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 169 Tahun
1989 Tentang Hak Masyarakat Hukum Adat dan Kelompok Persukuan di Negara-
negara Merdeka.
(9) Mengadakan inventarisasi tentang kondisi tanah ulayat.
(10) Melindungi hak-hak ulayat adat agar jangan berpindah kepada pihak lain.
6. Mitigasi Kebencanaan.
(1) Mendorong terbentuknya wadah partisipasi masyarakat dalam rangka mitigasi bencana.
20. (2) Mencantumkan program-program mitigasi kebencanaan dalam Rancangan Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Sumatera Barat, dengan prioritas untuk kota Padang
sebagai Ibukota Provinsi.
DEWAN EKSEKUTIF
Mayjen TNI (Purn.) H. Asril Hamzah Tanjung, S.IP Warni Darwis
Ketua Umum Wkl. Sekretaris Jenderal
MENGETAHUI
Penyelenggara Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang 2010
& Mubes V Gebu Minang
Ir. H. R. Ermansyah Jamin Dt. Tanmaliputi
Ketua Umum
Dr. Saafroedin Bahar St. Majolelo Drs. Zulhendri Chaniago
Ketua SC SKM GM 2010 Ketua OC SKM GM 2010
21. PEGIAT SEMINAR KEBUDAYAAN MINANGKABAU
GEBU MINANG 2010
TINGKAT PUSAT
Pimpinan Gebu Minang : Mayjen TNI (Purn.) H Asril. Hamzah Tanjung, S.Ip
Pimpinan Panitia Penyelenggara : Ir. H. R. Ermansyah Jamin Dt. Tanmaliputi.
Panitia Pengarah : 1. Dr.Saafroedin Bahar.
2. Dr. Mochtar Naim.
3. Drs H. Farhan Muin Dt Bagindo, M.Si.
4. H. Amri Aziz, M.Sc
5. Ny. Ir. Sulfah Achni E. Jamin.
6. Drs. H. Nafis Thalib
7. Hj. Inneke Azizchan
8. Warni Darwis.
9. Drs. Mishar Dt. Mangkuto Sapuluah
10. Ir. Muhammad Nur.
Panitia Pelaksana : Drs. Zulhendri Chaniago
Ir. HM. Roestam Hamsyal, MM
Ir. Ruslan A. Gani
Ir. Elfiwadri C. Tanjung
Drs. Firdaus Effendi
Ir. Erwan
Drs Ambiar Lani
Roosdinal Salim
Andri Nasrun
Revy Nasrun
Zul Fasli, SS
Syafruddin Al
Ridwan (Wan Gondrong)
Tim Advokasi : Ibrani, SH
Yulianto Syahyu, SH. MH
Tim Sekretariat 1. Warni Darwis
2. Andri Sukamto
3. Romi Irwanto, S.Pd.I
4. Zulfahmi, SS
5. Amanda Damayanti
6. Ihsan
7. Evi Anwar
8. Sylvi
9. Edi
10. Mezi Martha Yoga, SH
(Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Bukittinggi)
11. Fitrah Idul Fitri
(Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Bukittinggi)
12. Prima Gusman
(Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Bukittinggi)
13. Hidayatul Ulya
(Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Bukittinggi)
14. A. Haris Syuhada
Sekretariat : Jl. Kayumanis I No.24 RT.002/02 Jakarta Timur 13130
Telp./Faks : 021. 859 03567, 0812 822 0321
22. (Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Bukittinggi)
15. Hayatin Nufus
(Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Bukittinggi)
16. Sri Dzarrah Hayati
(Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Bukittinggi)
17. Chea Monica Besthari
(Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Bukittinggi)
18. Edo Anrefson
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
19. Rila Muspita
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
20. Rahmi Khalida
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
21. Nofri
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
22. Desi Anggraini
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
23. Muspardi
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
24. Muhammad Habibie
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
25. Radigus
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
26. Efriazi
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
27. S. Sibet
(Mahasiswa UNP – Sumbar)
TINGKAT DAERAH
Penasehat
Kelompok Pengarah
Buya Drs H. Hasan Byk Dt. Marajo
H.Syahruji Tanjung
Muhardi Rajab, SH. MH.
Ermen Bachtiar, SH
Drs. Nurmatias Zakaria
Drs. Syafnir Aboe Naim Dt. Kando Marajo.
Boyke Tuan Khatib Kayo, SH
Mairul Marlis, SH.I
Undri
Kelompok Lapangan Armen Zulkarnain
Amir Dian
Syahdan, SH
Heri Roesli
23. Daftar FGD (Focused Group Discussion)
NO HARI/TGL ACARA KETERANGAN
1 Kamis, 4 Februari 2010. FGD di Kampus UNAND
Padang – Fakultas Sastra
- Menjelaskan KKM 2010
kepada para akademisi, alim
ulama, LKAAM Sumbar,
Budayawan, Pemuda
- Dihadiri + 60 Peserta
2 Sabtu, 27 Februari 2010. FGD di Solok
Gd. Nan Indah Koto Baru
Solok
- Menjelaskan KKM 2010
kepada para Wali Nagari dan
KAN di Kotamadya Solok,
Kab. Solok, dan Kab. Solok
Selatan.
- Dihadiri + 120 peserta
3 Sabtu, 6 Maret 2010. FGD di Jakarta.
Balairung Sapta Pesona
Gd. Menbudpar Jakpus
- Menjelaskan KKM 2010
kepada IKM-IKM, BAKOR-
BAKOR se-Jakarta, dan tokoh
masyarakat Minang di rantau.
- Dihadiri + 109 peserta
perwakilan IKM-IKM, BAKOR-
BAKOR se-Jakarta
4 Jum’at, 19 Maret 2010. FGD di FISIP UNAND
Jam 10.00 – 15.00
Tentang Perempuan/Bundo
Kandung
- Menjelaskan KKM 2010
- Dihadiri + 46 Peserta
5 Minggu, 21 Maret 2010. FGD di Payakumbuh
dengan Wali Nagari & KAN
Wilayah : Kodya
Payakumbuh, Kab. 50
Kota, Kab. Tanah Datar
- Menjelaskan KKM 2010
kepada para Wali Nagari dan
KAN
- Dihadiri + 87 Peserta
6 Selasa, 23 Maret 2010. FGD di Bukittinggi
Dengan Wali Nagari & KAN
Wilayah : Kodya
Bukittinggi, Kodya Padang
Panjang, Kab. Agam, Kab.
Pasaman Barat, Kab.
Pasaman Timur
- Menjelaskan KKM 2010
kepada para Wali Nagari dan
KAN
- Dihadiri + 170 Peserta
7 Rabu, 24 Maret 2010. FGD Terkait dengan
Kepemudaan
Di UNP – Sumatera Barat
- Menjelaskan KKM 2010
- Dihadiri + 130 Peserta
(mahasiswa, dan pemuda)
8 Rabu, 24 Maret 2010. Pertemuan dengan
pengurus LKAAM
Sumatera Barat
- Menjelaskan KKM 2010, dan
LKAAM Sumbar meminta
untuk merubaha nama Majelis
Adat dan Syarak (MAS)
menjadi Forum Adat dan
Syarak (FAS)
9 Kamis, 25 Maret 2010. FGD di Sawahlunto - Menjelaskan KKM 2010
24. NO HARI/TGL ACARA KETERANGAN
Sijunjung
Dengan KAN, Kapalo
Nagari
Wilayah : Sawahlunto,
Sawahlunto Sijunjung,
Dharmasraya (3 Daerah)
kepada para Wali Nagari dan
KAN
- Dihadiri + 65 Peserta
10 Jum’at, 26 Maret 2010. FGD Di Kota Padang.
Wilayah : Kota Padang,
Pesisir Selatan, Kab.
Padang Pariaman, Kota
Pariaman.
- Menjelaskan KKM 2010
kepada para Wali Nagari dan
KAN
- Dihadiri + 139 Peserta
11 Jum’at, 26 Maret 2010. Pertemuan ke II dengan
pengurus LKAAM
Sumatera Barat.
Menjelaskan KKM 2010, dengan
kesimpulan menyetujui KKM
2010 sesuai dengan kesepakatan.
12 Selasa, 27 April 2010. FGD di Jakarta dengan
Perwakilan Bakor-Bakor &
IKM-IKM Se-Jabodetabek
Membahas Kerangka Acuan &
Draft Mufakat Kongres
Kebudayaan Minangkabau 2010.
13. Selasa, 11 Mei 2010 FDG di Kampus Lubuk
Lintah IAIN – Bonjol,
Sumatera Barat
Membahas Kerangka Acuan &
Draft Mufakat Kongres
Kebudayaan Minangkabau 2010.
14. Sabtu, 5 Juni 2010 FGD di Kampus STIE
Widya Jayakarta – Jakarta
1. Tentang Ekonomi Syariah
2. Shariah Banking
3. Modern Barter Exchange