1. Danau Napabale
Danau Napabale. Danau pemandian air asin ini terletak diantara Desa Wabintinggi
dan Lohia, sekitar lima belas kilo meter di selatan Kota Raha, Kabupaten Muna,
Sulawesi Tenggara. Air danau sedalam satu setengah meter di saat surut, amat
jernih dan berwarna kehijauan. Berada dibalik sebuah dinding perbukitan kapur,
Danau Napabale dihubungkan dengan laut terbuka oleh sebuah terowongan alam.
Terowongan ini bisa ditelusuri dengan perahu pincara, ketika air laut surut.
Terowongan sepanjang tiga puluh meter dengan lebar sembilan meter ini, menjadi
jalur tetap para nelayan, saat berangkat atau pulang melaut. Konon pada abad
kelima belas, seorang gadis yang amat cantik, ditemukan di dalam terowongan ini,
tanpa diketahui asal usulnya. Dia akhirnya dijadikan permaisuri oleh raja. Nama
Napabale sendiri berasal dari kata tempat pelabuhan perahu-perahu yang
mengangkut daun pandan duri.
Beberapa kilometer dari Napabale, ada sebuah situs purba yang terletak di
ketinggian bukit kapur. Untuk menuju ketempat ini dibutuhkan usaha dan fisik
yang kuat. Jalan setapak sepanjang lima kilo meter, tebing-tebing curam dan
pucuk-pucuk karang yang tajam, menjadi tantangan, yang sungguh menggelitik
untuk dicoba. Diatas sana, pada ketinggian dua ratus delapan puluh enam meter
di atas permukaan laut, Gua Layang-layang tersembunyi dalam celah yang sepi.
Gua yang lebih menyerupai ceruk ini masih menyimpan lukisan karya manusia
purba ribuan tahun lalu.Beberapa meter diatas Gua Layang-layang, ada satu buah
batu peta. Peta ini ditemukan enam tahun lalu oleh penjaga situs Gua Leang
Kabori. Peta yang dipahat di atas batu berwarna abu-abu ini, menunjukkan jalan
setapak ke beberapa lokasi, termasuk perbukitan kapur disekitar Leang Kabori.
Arah, yang mengacu pada jalan setapak, yang hingga kini masih dilalui penduduk
desa sekitar. Rute yang ribuan tahun ternyata tidak berubah.
Napabale dan gua prasejarah memang menarik. Namun menurut orang Muna,
perjalanan belum afdol, jika tidak mengunjungi Kota Muna tua. Yang disebut Kota
Muna tua ini, hanyalah sebuah desa dilembah yang dikelilingi perbukitan. Desa
yang terkesan ditinggalkan ini, terletak sekitar tiga puluh kilo meter dari Kota
Raha, yang menjadi ibu kota Kabupaten Muna sekarang. Seperti sebagian besar
wilayah di Pulau Muna, kota tua ini tidak memiliki sumber mata air, sehingga
tampak kering dan tanahnya merah.
Bicara Kota Muna tua, orang tidak bisa lepas dari cerita rakyat mengenai kapal
Saweri Gading. Dari ketinggian batu Saweri Gading yang berada delapan puluh
meter dari atas tanah, tersedia pemandangan indah dengan Kota Muna tua di
kejauhan. Bongkahan batu besar ini terdiri dari dua bagian yang dipercaya
sebagai bekas palka, dan satunya lagi bekas haluan. Dari atas terdapat jalan
sempit yang menuju ke lorong-lorong di dalam batu, yang ternyata berongga.
2. Orang Muna percaya, rongga yang terbagi-bagi atas beberapa ruang sempit itu,
merupakan bekas kamar-kamar yang kini telah membatu.Menurut cerita orang
Muna, kapal Saweri Gading terdampar di tempat sekarang berada. Dikisahkan
hanya ada tiga puluh orang awaknya yang selamat. Ketiga puluh orang ini
dipercaya sebagai manusia pertama yang menghuni Pulau Muna. Lima ratus meter
dari kapal Saweri Gading, ada tiga bongkahan batu yang disebut Kontu Kowuna.
Atau batu berbunga. Konon dari sinilah nama Kota Muna berasal. Muna semula
berasal dari kata Wuna yang artinya bunga.
Seperti namanya, bongkahan batu padas ini memang dipenuhi oleh sejenis rumput
berwarna putih tulang, sehingga dari jauh bongkahan padas tersebut terkesan
berbunga.
Konon batu berbunga ini dipercaya memiliki kesaktian, sehingga setiap prajurit
Muna yang hendak berangkat berperang, selalu datang mengambil sebongkah
sebagai jimat.
Konon dengan membawa bongkahan padas berumput ini dan menyebut nama Kontu
Kowuna, para prajurit ini pasti selamat dan selalu kembali. Kini setelah ratusan
tahun berlalu, orang Muna masih tetap mempercayai kesaktian Kontu Kowuna.
Banyak kisah indah di balik benda-benda diam ini. Terbawa oleh jaman, tanpa
perubahan. Tersembunyi diantara semak dan dinding-dinding batu kapur Pulau
Muna. Keindahan yang hanya dapat didekati oleh mereka, para penggali masa lalu.
Petualang-petualang dengan rasa ingin tahu dan kemauan yang sama kuatnya.(Idh)
Gua Liang Kobori
Liang Kobori yang berarti “Gua Bertulis” merupakan sebuah gua dengan lebar 30
meter dan tinggi bervarisi antara 2 sampai dengan 5 meter serta memiliki total
kedalaman sekitar 50 meter. Gua ini menyimpan berbagai misteri kehidupan
masyarakat prasejarah suku Muna yang tergambar pada 130 situs aneka goresan
berwarna merah pada dinding gua bagian dalam. Goresan-goresan tersebut masih
tetap terjaga keasliannya, terutama bentuk dan kecermelangan warnanya yang
hingga saat ini masih merupakan sebuah misteri tentang bahan tinta yang
digunakan. Misteri peninggalan sejarah ini menanti kedatangan wisatawan yang
gemar terhadap penelitian kepurbakalaan serta penjelajahan keaslian alam.
Atraksi Adu Kuda
Mungkin Pulau Muna adalah satu-satunya tempat di dunia di mana anda dapat
menyaksikan adu kuda jantan yang memperebutkan kuda betina yang sangat seru
dan memukau yang sering dilakukan pada setiap perayaan yang melibatkan
masyarakat. Pertarungan diawali dengan menukarkan betina dari masing-masing
kuda jantan oleh seorang pawang guna membangkitkan emosi dari masing-masing
3. kuda jantan. Seiring dengan bangkitnya emosi, kedua kuda jantan tersebut saling
menerjang dengan kaki depan terangkat, leher tegak, geraham gemeretak dan
moncong saling memagut mencari sasaran serangan. Suatu atraksi yang cukup
mendebarkan, mencekam, menantang sekaligus menyenangkan. Dalam filosofi
suku Muna, atraksi kuda mengandung makna bahwa hak dan tanggung jawab
adalah segala-galanya, walaupun nyawa jadi taruhannya. Filosofi inilah yang dianut
dalam kehidupan masyarakat suku Muna yang secara formal diabadikan pada
lambang Daerah Kabupaten Muna.
Tenunan Tradisional di Desa Masalili
Desa Masalili terletak ± 8 km dari Kota Raha. Sebagian besar penduduknya hidup
dari usaha menenun kain secara tradisional. Cara menenun ini telah diwariskan
sejak ratusan tahun yang lalu secara turun temurun. Kain tenunan ini terdiri atas
berbagai macam corak dan warna yang memiliki seni dan budaya Muna. Sehelai
kain dapat digunakan sebagai sarung adat atau dimodifikasi menjadi stelan
busana dan berbagai macan souvenir.
Layangan Tradisional “Kaghati”
Kabupaten Muna terkenal dengan layangan tradisionalnya. Layangan ini terbuat
dari bahan-bahan alami yaitu dari daun kolope (ubi hutan), bamboo rami dan
benang dari serat daun nenas hutan. Untuk menghubungkan bahan satu dengan
lainnya digunakan bahan penisik dari kulit bambu yang diruncingkan. Sebagai
penyeimbang layangan, digunakan dua bandulan pada kiri kanan sayap layanan
menggunakan kayu berukuran kecil. Layangan tradisional Muna ini telah mendapat
peringkat sebagai layangan paling alami. Di tahun 1996 dan 1997, layangan
tradisional Muna ikut serta sebagai salah satu peserta pada kompetisi layangan
bertaraf internasional.
Tradisi Karia
Dalam adat suku Wuna (Muna), setiap anak perempuan yang akan memasuki usia
remaja diwajibkan menjalani tradisi pingitan (Karia) selama empat hari empat
malam atau dua hari dua malam, tergantung kesepakatan antara penyelenggara
Karia dengan pomantoto. Tradisi ini bertujuan untuk membekali anak-anak
perempuan dengan nilai-nilai etika, moral dan spiritual, baik statusnya sebagai
seorang anak, ibu, istri maupun sebagai anggota masyarakat. Sesuai proses
pingitan, diadakanlah selamatan dengan mengundang sanak keluarga, kerabat dan
handai taulan. Dalam prosesi selamatan ini digelar Tari Linda yang
menggambarkan tahap-tahap kehidupan seorang perempuan mulai dari
4. melepaskan masa kanak-kanak lalu memasuki masa remaja, kemudian masa
dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah