1. Menyelami Makna Syair Orang Wuna
Ketiadaan ilmu pengetahuan menjadikan manusia tidak sadar melakukan
pembangkangan terhadap Allah. Namun kelimpahan ilmu pengetahuan juga
tidak menjamin manusia untuk tidak membangkang pada Allah. Dalam hal ini,
manusia bodoh membangkang karena ketidakmampuan menemukan hakekat
hidup, sementara manusia berilmu justru membangkang karena mengingkari
hakikat hidupnya, akibat banyaknya ilmu pengetahuan yang mencocoki akal
pikiran mereka tanpa satu alat pengendali, yakni kesadaran akan eksistensi ilmu
pengetahuan, sebagai rahmat terbesar manusia yang diberikan Allah untuk
memakmurkan bumi dan mensejahterakan sesama manusia. Kondisi tersebut
berakibat pada kadar kehancuran yang ditimbulkan manusia pembangkang
karena tidak bertemu hakekat hidup, serta pembangkang karena ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Kehancuran oleh orang yang tidak menemukan
hakikat hidup tidak sebesar kehancuran yang disebabkan orang berilmu. Dan
fenomena yang seringkali terjadi dalam peradaban manusia, orang-orang
berilmu pengetahuan akan memanfaatkan golongan manusia tak berilmu untuk
mengumpulkan keuntungan pribadi.
Jauh sebelum ketersesatan manusia karena mengikuti ilmu pengetahuan yang
telah dicemari dengan kaidah-kaidah iblis, leluhur orang Wuna yang kini
diklaim masih jauh dari pola pikir modern, telah memberikan gambaran
bagaimana kondisi sosial anak cucu mereka. Seperti halnya makna tersirat dari
salah satu syair berikut ini :
Masangia natipake nipakeno kamokula ini
(artinya : semoga diamalkan amalan orang ini)
Medam panatipake aitu nandomo lalo
(artinya : kalaupun tidak diamalkan itu terserah kemauan hati)
Tama koe ndososo rato namada kaawu
(artinya : namun jangan menyesal pada saatnya nanti)
2. Dhamani sorumatono, dhamani o kasikola
(artinya : zaman yang akan datang, zaman terpelajar)
Dasipande-pandeham mieno dhunia ini
(artinya : semua penghuni dunia akan pintar)
Anahi bhe kamokula kesenom somandeno
(artinya : anak-anak dan orang tua masing-masing pintar)
Sada sipande-pandeha dhunia nabale ronggamo
(artinya : saat semuanya pintar dunia akan gonjang-ganjing)
Nabharim soniwura, nabharim sonifetingke
(artinya : banyak yang akan dilihat, banyak yang akan didengar)
Anahi hende bughou tadamangka-damangkamo
(artinya : generasi muda akan mengikut sembarang)
Damangkafi powurando, damangkafi pofetingkendo
(artinya : mengikut apa yang dilihat, mengikut apa yang didengarkan)
Nipakeno kamokula paem natikona hae
(artinya : amalan orang tua terdahulu tidak akan dipedulikan lagi)
Amano bhe anano dapogai nsoririmo
(artinya : ayah dan anak saling membelakangi)
Isano bhe aino dapogati kundomo
(artinya : kakak dan adik saling bertolak belakang)
Pae amangka ihintu apandemo dua
(artinya : saya tidak mengikutimu, saya juga sudah pintar)
Menurut informan yang pernah diajak berdiskusi oleh penulis, syair ini
diciptakan oleh Muhammad Saadidun pada tahun 1931, dan mulai saat itu turun
temurun dijadikan pedoman dalam melihat fenomena perjalanan bangsa dan
negara bahkan dunia hingga kini. Secara akademis, makna dari bait-bait syair di
atas tidak dapat dipungkiri kebenarannya saat ini, terlebih pasca reformasi
digulirkan dan demokrasi diagungkan-agungkan melebihi agama. Semua orang
bersuara atas nama kebebasan dalam bingkai hak asasi manusia. Sayangnya,
3. kebebasan yang di agung-agungkan itu ternyata kebebasan tanpa batas dan
memberi ruang tak terhingga pada siapapun untuk berbuat apapun. Demikian
kebebasan yang dilandasi ilmu pengetahuan manusia yang telah disesatkan iblis
menjadi penyebab keruntuhan sifat serta prilaku sosial manusia. Antara anak
dan orang tua saling berselisih hanya karena perbedaan dukungan atas salah
satu figur calon pemimpin politik tertentu. Si adik dan si kakak terpaksa
bermusuhan satu sama lain karena alasan ekonomi maupun politik. Semuanya
bersikukuh mengaku lebih tahu akan semua hal meskipun sebenarnya itu sedikit
atau tidak sama sekali selain kebohongan.
Di pihak lain, kewibawaan pemerintah dan agama semakin pudar di mata rakyat
serta manusia pada umumnya. Pada kondisi seperti ini, ketersesatan manusia ke
jalan iblis akibat ilmu pengetahuan manusia itu sendiri semakin terbuka lebar.
Pemerintah yang seharusnya berkewajiban membuat regulasi berlandaskan pada
nilai-nilai ketuhanan serta kemanusiaan, akhirnya melahirkan produk-produk
hukum yang mengajak manusia untuk membangkang kepada Allah. Hasilnya
korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela sebagai salah satu ciri hawa nafsu para
penguasa sejak zaman era prasejarah hingga abad modern. Di kalangan rakyat
jelata, berkembang nafsu tidak beradab dalam wujud pembunuhan, penjarahan,
pemerkosaan, serta berbagai tindak kriminalitas kasat mata lainnya. Baik
penguasa korup, kolutif dan nepotis sebagai bentuk kejahatan halus maupun
prilaku barbarisme di kalangan rakyat jelata, keduanya merupakan bentuk
pembangkangan manusia terhadap Allah.
Namun satu hal yang penulis ingin garis bawahi terkait prilaku kejahatan
penguasa dan rakyat jelata adalah, nafsu hewaniah rakyat jelata muncul akibat
kegagalan pemerintah menciptakan suasana nyaman untuk rakyat. Nafsu
hewaniah kaum jelata berbanding lurus dengan nafsu para pejabat pemerintah
yang menuhankan harta, jabatan dan kepuasan seksual. Sederhananya,
pemerintah pasti bisa memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya bila mampu
menanggulangi prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme para pejabat
4. pemerintahan. Namun keadaan sekarang semakin tidak terkendali seiring
meningkatnya harga kebutuhan hidup yang berpadanan dengan tingkat
kewibawaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Korupsi, kolusi dan
nepotisme semakin sulit diberantas karena prilaku rakyat seolah telah berubah,
dengan melegitimasi KKN sebagai salah satu kewajaran. Dalam penerimaan
pegawai negeri sipil, misalnya, pejabat pemerintah aliran makelar PNS tidak
perlu bersusah-bersusah lagi mencari mangsa calon PNS karena masyarakat
sendiri akan mencari para makelar tersebut, lalu membayar uang berapapun
asalkan lulus menjadi PNS.
Perselingkungan para makelar dan calon PNS tersebut akhirnya berujung pada
menguatnya virus KKN yang terus berputar dalam roda kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana tidak, biaya (cost) yang
mahal ketika mendaftar menjadi pegawai negeri sipil, kemudian akan
menyebabkan seseorang mencari pengembalian modal ketika lulus PNS, dengan
memanfaatkan jabatan untuk melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme.
Selain PNS, biaya mahal juga harus dikeluarkan para calon anggota legislatif,
kepala daerah ataupun presiden ketika mengikuti pemilihan umum sebagai
syarat utama terlibat dalam kancah demokrasi. Miliayaran bahkan triliunan
rupiah harus dikeluarkan para politisi, mulai dari membayar pintu di salah satu
partai hingga berakhir pada pembayaran massa saat kampanye dan menjelang
pemilihan umum atau lebih dikenal dengan istilah serangan fajar. Sama seperti
halnya calon PNS yang kemudian lulus dan menjabat, para politisi pun akan
bertindak mencari pengembalian modal selama pemilihan umum melalui KKN.
Demikian siklus tersebut akan kembali berulang pada generasi berikutnya dan
seterusnya.
Memang, bila kita menggunakan rumus hidup kaum Machiavelian yang
mengesahkan apapun tindakan manusia demi meraih tujuan hidupnya, segala
macam cara bisa dilakukan bahkan termasuk membunuh. Namun perlu diingat,
konsep manusia sebagai makhluk sosial menuntut setiap orang terlibat secara
5. aktif dalam kegiatan saling memberi dan menerima kepada sesama manusia dan
alam semesta. Masing-masing telah ditakar oleh Allah berdasarkan kadar
keikhlasan berusaha tiap-tiap manusia. Berangkat dari konsep berpikir tersebut,
maka Sangat tidak adil rasanya bila ada golongan manusia yang tega merampas
lahan rezeki orang yang sudah ikhlas bekerja keras untuk menghidupi diri
beserta keluarganya. Prilaku tega ini hanya dimiliki oleh golongan manusia
bermental koruptif, kolutif dan nepotis.
Di kalangan pejabat politis dan birokrasi sengaja memelihar hubungan gelap
dengan para pengusaha kapitalis sebagai sumber pengembalian modal ketika
mendaftar menjadi pegawai negeri sipil mapun pejabat politik di pemerintahan.
Berbagai peraturan perundangan-undangan ditelorkan atas dasar melindungi
kepentingan korporasi. Kawasan hutan yang menjadi tempat bermukim satu
komunitas masyarakat adat dijual secara diam-diam kepada pengusaha swasta.
Pemukiman-pemukiman kumuh digusur dengan alasan ketertiban kawasan,
setelah itu dijual kepada pengusaha untuk kemudian dibangun pusat-pusat
perbelanjaan modern maupun kompleks perumahan elit. Selanjutnya yang
terjadi adalah konflik antara masyarakat dan pekerja perusahaan yang tidak tahu
apa-apa. Saat konflik terjadi, pemerintah melalui dalih menciptakan ketertiban
di masyarakat kemudian mengerahkan satuan-satuan keamanan, baik Polisi
Pamong Praja ataupun personil Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Akhirnya aparat keamanan terlibat bentrokan fisik dengan masyarakat yang
seharusnya dilindungi. Mekanisme seperti ini sudah lumrah terjadi pada negara
miskin yang memaksakan menganut paham demokrasi.***