Dokumen tersebut memberikan ringkasan singkat tentang:
1. Lukisan purba ditemukan di gua-gua di Pulau Muna yang dibuat oleh manusia prasejarah.
2. Gua-gua tersebut masih menyimpan lukisan hewan, manusia, dan aktivitas berburu.
3. Danau Napabale di Pulau Muna menyuguhkan pemandangan indah danau air asin yang terhubung dengan laut lewat terowongan alam.
BERKELAS!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Harga Pintu Aluminium Kamar Mandi di...
Keindahan kabupaten muna
1. MENGINTIP SEJARAH, TRADISI & KEINDAHAN PULAU "BATU
BERBUNGA"
LUKISAN PURBA DI DINDING GUA Di pulau yang terbentuk sejak 1,8 juta
tahun silam ini lukisan-lukisan prasejarah masih dapat dilihat di liang-liang
hunian manusia purba pada saat lampau. Metanduno disebut gua bagi kaum
laki-laki karena di dalamnya terdapat lukisan objek-objek bertanduk. Adapun
Kabori disebut gua perempuan karena di dalamnya terdapat lukisan perempuan.
PERJALANAN di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, yang saya lakukan
beberapa waktu lalu itu memang menyimpan `harta terpendam' yang tak pernah
lepas dari ingatan. Salah satunya ialah bukti kehidupan manusia prasejarah yang
masih jelas terlihat di sana, yaitu dalam bentuk lukisanlukisan yang tergurat di
dinding gua-gua batu. Gua-gua prasejarah itu berada di Desa Liangkabori,
Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Desa itu dapat
ditempuh lewat perjalanan darat selama sekitar 50 menit dari Kota Raha, ibu
kota Kabupaten Muna. Dari Raha, perjalanan dilakukan dengan melintasi jalan
poros Raha-Watoputeh sepanjang 17 kilometer hingga tiba di Desa Mabodo.
Dari Desa Mabodo, Desa Liangkabori berjarak sekitar 5 kilometer. Setelah
pengunjung memasuki gerbang desa, dengan spontan masyarakat setempat
mengarahkan wisatawan menuju rumah La Hada, 70. Dia merupakan pemandu
sekaligus penjaga gua. Di rumahnya yang sederhana, La Hada menyambut
sembari mempersilakan saya dan rombongan duduk di teras. Dia lalu
menyodorkan buku lusuh berisi ratusan nama pengunjung yang pernah
bertandang. Beberapa nama berkebangsaan asing tertulis di sana. Dengan
mengenakan kemeja putih bergarisgaris hitam, topi cokelat, dan tas selempang
berwarna-warni, La Hada menuntun kami meneruskan perjalanan. Masih ada 3
kilometer lagi yang harus kami lintasi untuk tiba di lokasi gua-gua peninggalan
prasejarah, di jalan berbatu sempit yang hanya cukup dilewati satu mobil.
Pemandangan bukit karst terhampar sepanjang perjalanan hingga di pintu
2. masuk kompleks gua. Rumah-rumah penduduk setempat yang kami lewati
berpagarkan batubatu kapur yang ditumpuk. Menurut La Hada, hanya sebagian
dari puluhan gua di Desa Liangkabori yang masih dia ingat. Ia cuma mengingat
10 gua dan ceruk yang di dalamnya tertoreh lukisan, juga 23 gua lain yang
tanpa lukisan. “Gua-gua tersebut adalah tempat tinggal mereka,“ ujar La Hada.
Dia lalu menyebut 10 gua yang terdapat lukisan. Ke-10 gua itu ialah Metanduno
yang berisi 310 lukisan, Liangkabori (130), Lakolambu (60), Toko (58),
Wabose (48), La Tanggara (7), Pamisa (300), Lasaba (35), Pinda (50), serta
Sugi Patani (7). Sementara itu, gua-gua tanpa lukisan yang masih diingat La
Hada di antaranya liang Kantinale, Kawe, Kantaweri, Palola, dan Watotoru.
Gua induk Berdasarkan penelitian, gambar-gambar yang dilukis di dalam
dinding-dinding gua di sana dibuat pada abad ke-12. Bahannya, terang La Hada,
campuran tanah liat dan getah pohon. Letak antargua di sana saling berdekatan,
kecuali Sugi Patani. Nama-nama gua pun diciptakan berdasarkan lukisan yang
ditemui di dalamnya dan bentuk gua. Metanduno, misalnya, disebut gua bagi
kaum laki-laki karena di dalamnya terdapat lukisan objek-objek bertanduk.
Adapun Kabori disebut gua perempuan karena di dalamnya terdapat lukisan
perempuan. Metanduno dan Kabori, ungkap La Hada, merupakan liang atau gua
induk karena ukuran mereka paling luas. Gua yang pertama dijumpai saat
pelancong memasuki kompleks gua ialah Metanduno. Langit-langit di dalamnya
mencapai 5 meter dengan lebar mencapai 10 meter. Di dinding dan langit-langit
gua itu tertera lukisan-lukisan hewan dan manusia. Lukisan itu salah satunya
menggambarkan sekawanan manusia yang sedang berburu di kaki gunung. Di
atasnya terlukis tiga matahari. Selintas, saya pun tersentil. Apa benar mitos yang
menyatakan bahwa dulu matahari lebih dari satu? Usil Sementara itu, salah satu
sudut langit-langit dekat mulut gua terlihat berwarna hitam legam, yang berbeda
dari warna dinding gua. Itu, La Hada menjelaskan, diperkirakan merupakan
perapian yang dinyalakan para penghuni gua untuk membunuh dingin yang
menyergap pada malam hari. Di dalam gua pun terdapat mata air. Aliran airnya
3. ditampung pada cekungan batu. Hingga saat saya melihatnya, air masih terus
mengalir memenuhi batu yang berfungsi sebagai bak penampungan. Dengan
jarak sekitar 20 meter dari Metanduno, Liang (gua) Kabori menganga. Di
dalamnya tak beda jauh dari suasana Metanduno. Sayang seribu sayang,
lukisan-lukisan prasejarah di dalam gua itu terusik oleh tangantangan usil
pengunjung lain. Goresan-goresan yang kebanyakan berupa huruf-huruf Latin
tertera di beberapa bagian dinding gua. Para pelaku mungkin tidak paham sama
sekali tentang keberadaan lukisan prasejarah di gua, sampai-sampai enggan
kalah dan ikut-ikut menorehkan gambar dan tulisan di sana. Layang-layang
Berjarak sekitar 2 kilometer dari Metanduno, juga menganga Gua Sugi Patani.
Ia terletak lebih tinggi daripada gua-gua lain. Di dalamnya dapat ditemukan
lukisan manusia bermain layanglayang. La Hada berkisah, Pulau Muna tempat
dia bermukim itu diyakini sebagai tempat lahirnya permainan layang-layang.
Layang-layang konon dibuat oleh salah satu penguasa Muna yang bernama Sugi
Patani sebelum Kerajaan Muna dibentuk sekitar 4.000 tahun silam. La Hada
rupanya punya pangkal dari ceritanya itu. Ia lalu menunjukkan sebuah buku
berjudul Muna, Island of the First Kiteman. Dalam buku itu, si penulis yang
berkebangsaan asing mematahkan perkiraan sebelumnya yang menyatakan
bahwa permainan layang-layang lahir pertama kali di China 2.400 tahun yang
lalu. ----------------------------- MENGINTIP SEJARAH PULAU "BATU
BERBUNGA" PULAU Muna merupakan sebuah pulau kecil di sebelah
tenggara Sulawesi. Ia termasuk Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Awalnya Pulau Muna dikenal dengan nama ‘wuna’, yang dalam bahasa
setempat berarti ‘bunga’. Nama itu diambil dari gugusan batu karang yang
sewaktu-waktu mengeluarkan tunas-tunas baru yang tumbuh seperti bunga
karang. Itu yang kemudian membuat warga Muna menyebutnya ‘kontu
kowuna’, artinya ‘batu berbunga’. Gugusan batu berbunga tersebut terletak di
dekat masjid tua bernama Bahutara (bahtera). Menurut legenda masyarakat, di
tempat itulah kapal Sawerigading Putra Raja Luwu dari Sulawesi Selatan
4. terdampar. Dalam hasil penelitian yang tercatat di Museum Karst Indonesia di
Wonogiri, Jawa Tengah, disebut hampir seluruh kawasan Pulau Muna tersusun
dari batu gamping masa pleistosen--antara 1,8 juta dan 11.500 tahun yang lalu.
Batu gamping itu merupakan terumbu karang yang terangkat dari dasar laut
akibat desakan dari bawah dan membentuk tebingtebing batu gamping alias
karst yang sa ngat luas. Untuk mencapai Pulau Muna, ada dua alternatif
perjalanan. Pertama, menggunakan kapal laut, dan kedua, menggunakan
pesawat perintis. Apabila melalui laut, perjalanan dimulai dari Pelabuhan
Nusantara, Kendari, menuju Pelabuhan Raha di Kota Raha, ibu kota Kabupaten
Muna, dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Jika menggunakan pesawat perintis,
perjalanan dimulai dari Bandara Wolter Monginsidi, Kendari, menuju Bandara
Sugimanuru yang terletak sekitar 25 km dari Raha. ---------------- ADU KUDA,
UNJUK KEJANTANAN DEMI PUJAAN HATI MATAHARI hampir
mencapai ubun-ubun di alun-alun Kota Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara, beberapa waktu lalu. Gulu dan Kaboga, dua kuda jantan, tengah
bertarung sengit. Keduanya saling menggigit dan menendang. Ringkikan
menyelingi saat hantaman lawan mendarat di wajah. Pertarungan dua kuda
jantan itu bukan berlangsung di atas ring, melainkan di lapangan terbuka yang
luas. Puluhan penonton tampak tegang menyaksikan laga sambil sesekali
merekam pertarungan menggunakan telepon seluler. Beberapa penonton
berlarian saat kuda yang tengah berkelahi beranjak ke dekat mereka. Tidak
sedikit pula penonton yang memilih menyaksikan pertandingan dari atas pohon
agar mendapat pemandangan yang bagus sekaligus terhindar dari amukan kuda
yang salah sasaran. Sebenarnya Gulu dan Kaboga bukanlah kuda laga. Mereka
juga bukan kuda balap yang berpostur tinggi tegap dan berotot. Mereka ialah
kuda-kuda yang biasa digunakan dalam keseharian masyarakat Raha. Gulu dan
Kaboga sebetulnya bapak dan anak. Pada awal pertarungan, keduanya
disandingkan berdekatan dengan dua kuda betina. Ringkikan mulai beradu.
Sesaat kemudian, adu jotos pun terjadi. “Ya, enggak binatang, enggak manusia,
5. kalau sudah masalah perempuan pasti berkelahi,“ seru Ode Halili, pemilik salah
satu kuda, sambil tertawa. Agar meriah Adu kuda merupakan tradisi yang sudah
lama digelar di Raha. Dahulu kala, adu kuda, yang dalam bahasa Raha disebut
pogiraha adara, dihelat hanya saat pesta perayaan panen. Namun kini, adu kuda
diselenggarakan untuk penyambutan tamu dan acara-acara tertentu. Sejak lama
kuda sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Raha. Salah satunya berfungsi
sebagai alat transportasi sebelum hadirnya kendaraan bermotor. Setiap hari
kuda-kuda Raha dengan setia mengantar para petani dari rumah ke sawah atau
kebun. Saat tiba masa panen, kuda jualah yang mengangkut hasil-hasil panen
tersebut ke lumbung. Nyatanya kuda menyumbang jasa besar dalam kehidupan
masyarakat setempat. Namun lewat adu kuda, hewan-hewan itu seperti
disodorkan untuk terluka. “Bukannya kami tidak tahu terima kasih dan tidak
sayang kepada kuda-kuda yang telah membantu pekerjaan kami. Kami terpaksa
mengesampingkan rasa sayang kami untuk sesaat agar pesta panen yang hanya
dilaksanakan setahun sekali dapat berlangsung meriah,“ ujar Tiworo, pemilik
kuda lain. Seusai pertandingan, kuda yang terluka diobati dengan racikan
khusus yang terbuat dari campuran arang baterai dan minyak tanah. Setelah
racikan turun-temurun tersebut dioleskan pada bagian kuda yang cedera, dalam
hitungan menit saja, luka-luka tersebut pun mulai mengering. ------------------------ MEMANJAKAN MATA DI NAPABALE HARI sudah gelap saat saya tiba
di tepian Danau Napabale, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara. Tenda-tenda digelar di sana dan saya bersama beberapa rekan pun
bermalam. Sinar mentari pagi pada keesokan hari menyeruak ke dalam tenda
diiringi suara ketinting--perahu bermesin--yang bersahutan menyambut har
baru. Mereka meninggalkan dermaga lalu menembus permukaan laut. Cantik
betul pemandangan pagi di Napabale. Dalam bahasa setempat, Napabale berarti
`pantai janur'. Danau Napabale di Sulawesi Tenggara menyuguhkan pesona
wisata danau berair asin. Sebentang terowongan alam menghubungkannya
dengan Teluk Muna. i Sumber air mengalir langsung dari Teluk Muna yang
6. dihubungkan melalui terowongan alam sepanjang 30 meter dan lebar 9 meter.
Saat laut pasang, terowongan tertutup air. Air di Danau Napabale asin.
Pasalnya, sumber air mengalir langsung dari Teluk Muna yang dihubungkan
melalui terowongan alam sepanjang 30 meter dan lebar 9 meter. Saat laut surut,
terowongan itu dapat dilalui perahu. Namun, ketika laut pasang, terowongan
tertutup air. Pagi itu air danau diselimuti warna hijau lembut. Gugusan batu
karang yang ditumbuhi pepohonan terlihat bak pulau-pulau kecil yang tersebar
di tengah danau. Airnya jernih sehingga dasar danau pun terlihat jelas dari
permukaan. Napabale menyuguhkan dua pesona wisata alam sekaligus, yakni
danau dan pantai. Pelancong bisa berenang atau menyusuri keindahan danau
dengan menggunakan perahu yang disewakan para nelayan. Satu yang perlu
dicoba ialah melintasi terowongan dan berlabuh di pantai yang bersebelahan
dengan danau. Di sana, pelancong bisa bermain ombak atau sekadar bersantai di
tepi pantai. Menurut cerita rakyat setempat, pernah ditemukan seorang gadis
cantik terdampar di dalam terowongan pada abad ke-15. Warga melaporkan
kejadian itu kepada raja di Kerajaan Muna. Raja pun jatuh hati pada sang gadis
dan meminangnya menjadi permaisuri. Danau Napabale bisa dicapai dengan
menggunakan taksi atau ojek motor selama sekitar 20 menit dari Kota Raha, ibu
kota Kabupaten Muna, yang jaraknya hanya sekitar 15 kilometer. Alternatif
lain, Alternatif lain, pelancong bisa menggunakan ketinting dari Pelabuhan
Raha dan tiba di Danau Napabale dalam 15 menit. Di kawasan itu belum ada
fasilitas penginapan. Jadi, pelancong yang ingin bermalam harus membawa
perlengkapan berkemah dan alat-alat memasak. Apabila enggan bermalam ala
petualang di dalam tenda, pelancong bisa menginap di beberapa penginapan di
Kota
Raha
dengan
harga
terjangkau.
http://etalasefotoberita.blogspot.com/2013/03/mengintip-sejarah-tradisikeindahan.html
dar