Tari Linda berasal dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Tarian ini diciptakan oleh seorang Raja Muna yang memperistri seorang bidadari. Gerakan tari ini dilakukan oleh para gadis Muna untuk menyambut masuknya mereka ke masa dewasa. Cerita asal usul tari ini berkisah tentang seorang bidadari yang ditangkap raja dan tinggal di dunia manusia hingga akhirnya harus kembali ke kayangan.
Paket Substansi_Pengelolaan Kinerja Guru dan KS [19 Dec].pptx
Asal mula tari linda
1. ASAL MULA TARI LINDA
ASAL MULA TARI LINDA Di pulau muna memiliki beberapa tari tradisional , salah
satu diantarany yaitu tari Linda .Tari ini di ciptakan oleh seorang Raja di Pulau
Muna. Raja ini dipercaya pernah menangkap dan memperistri seorang dari tujuh
bidadari kayangan yang turun mandi di sebuah sungai di pulau ini. Kisah tersebut
diapresiasikan dalam gerak dan musik dari tarian ini. Tariannya dilakukan secara
missal oleh para gadis Muna dengan gerakan lemah gemulai mengikuti irama
gendang pogada yang berirama keras.. Tarian ini merupakan peragaan dari
upacara adat karia yakni upacara pingitan gadis-gadis menjelang dewasa dan
memasuki bahtera rumah tangga. Uniknya Tarian ini, ditengah lingkaran di
pertunjukan seni beladiri Balaba atau sejenis silat tradisional. Para pesilat saling
menunjukkan ketangkasan dan keahliannya, mereka memukul dengan keras dan
menendang dengan kekuatan, membentuk gerakan indah bermakna kejantanan
yang mempesona. Jika anda penasaran datanglah ke Pulau Muna yang terkenal
pula dengan pesona sejarahnya Hingga sekarang tarian ini tetap lestari dan kini
umumnya disuguhkan kepada para tamu maupun wisatawan yang berkunjung ke
Sulawesi Tenggara khususnya di Pulau Muna. Menurut Etimologi penamaan
Linda berasal dari bahasa Daerah Muna yang berarti menari berkeliling, laksana
burung yang terbang, berkeliling dengan sayap yang terkembang indah. Tarian ini
adalah salah satu tarian rakyat di daerah muna yang telah lama berkembang di
tengah-tengah masyarakat seiring dengan pertumbuhan tradisi adat di daerah itu.
Tarian Linda lahir di tengah-tengah masyarakat muna di sekitar abad ke-16,yakni
di masa pemerintahan Laposasu (kobang kuduno).Tarian ini di ciptakan sebagai
suatu perwujudan tradisi masyarakat di daerah muna dalam hal pemingitan anak-
anak mereka di kala memasuki alam ke dewasaan. Pertumbuhan tarian tersebut
kemudian meluas sampai kedaearah buton,sehingga sekarang ini telah menjadi
tarian tradisional yang sangat popular daerah tersebut. Pelakunya terdiri dari
wanita yang jumlahnya terbatas sampai enam atau delapan orang saja.pakaian
mereka terdiri dari baju kombo yang bahannya terdiri dari kain polos.leher dan
pinggir bawah dibis dengan warnah merah.seluruh pakain ini di hiasi dengan
manik-manik yang tebuat dari perunggu.sarungnya di buat empat lapis.dimana
lapisan yang paling dalam berwarna merah,kemudian menyusul warna
hijau,putih,dan paling luar berwarna hitam. Kepala mereka dihiasi dengan
beberapa hiasan seperti tiga buah panto(gelang kepala)di pasang pada bagian atas
dari pada konde penari yang telah di lingkar dengan bandol konde dari kain
berwarna merah yang di hiasi pula dengan picing dan manik-manik pada bagian
belakang kepala di pasang kabunsale yang berwarna merah.mereka juga memakai
kalung leher dan beberapa gelang di kedua tangan mereka. Pakaian ini khusus di
gunakan pada saat seorang gadis keluar dari pingitan (kagombo) untuk
melaksanakan tari Linda. cara memakainya yaitu penari-penari keluar dari dua
penjuru dengan gaya lego (berlengang)setelah menghadapi penonton,mulailah
gerakan pertama.keduatangan mengambil selendang yang melilit di leher dan di
2. bawa ke sebelah kiri,laksana orang yang sedang memetik sesuatu bersamaan
dengan gerak kaki yang di gesekan ke kiri sambil mengayunkan kaki kanan ke
arah kanan dengan perhitungan tiga dan di balas dengan kaki kiri dengan
perhitungan empat.selanjutnya kedua tangan di bawa ke sebelah kanan seperti
orang yang sedang memetik sesuatu secara bersamaan dengan gerak kaki kiri ke
samping kiri dengan perhitungan satu di balas dengan kaki kanan pada
perhitungan tiga dan di balas lagi dengan kaki kanan dalam perhitungan empat.
Beberapa fariasi terjadi pada saat pertukaran tempat,mempermainkan selendang
dan sebagainya.keseluruhan gerakan dalam tari ini terdiri dari empat belas
macam gerakan.pada gerakan penutup,kedua tangan di bawa ke sebelah
kiri,seperti orang yang sedang memetik buah.kaki kiri di gerakan ke kiri,kaki
kanan di ayunkan ke kanan,dengan perhitungan satu di balas dengan kiri pada
perhitungan dua,kemudian di ganti dengan kaki kanan dalam hitungan tiga dan
seterusnya sampai mencapai perhitungan empat. Akhirnya kedua tangan
melepaskan lilitan selendang dan di sandang ke bahu sebelah kanan.tangan kiri
memengang sarung (bini-bini) tangan kanan berlengang ( lego-lego ) pengiring
dari tarian ini adalah alat musik gendang,gong,dan dengu-dengu.dengan cara di
tabu di pukul. Dahulunya sebelum alat-alat musik tersebut di kenal oleh
masyarakat,orang-orang sering menggunakan mata tou,dengan nama musik mata
tou. Tarian Linda berfungsi sebagai tarian adat dari daerah kabupaten muna yang
selalu di laksanakan dalam upacara karia,oleh gadis-gadis remaja yang di
upacarakan.pemain tari Linda berjumlah 6 orang putri,sedang di lagukan laggu
kadandio syair lagu berbunyi :Ia memerhatikan para bidadari menaruh
selendangnya di dahan dan ranting sebuah pohon. Dengan sengaja ia menunggu
dari balik kerimbunan. Senja meninggalkan semburat jingga di ufuk barat. Para
bidadari mengakhirkan senda guraunya hari itu. Tapi salah satu diantara mereka
tidak bisa ikut terbang karena tidak bertemu mengambil salah satu selendang
secara diam-diam dan lalu sembunyi selendangnya. Keburu malam, peri malang
itu ditinggal seorang diri.Omputo menyeruak dari balik rerimbunan dan
mengajaknya pulang. Sang Bidadari menolak dengan penjelasan bahwa dirinya
bukan seperti manusia, ia makhluk yang berbeda dari dunia kahyangan dan
memiliki banyak pemali.Tapi Omputon bersikukuh bidadari itu harus diboyong.
Tanpa selendang, sang Bidadari hanya bisa pasrah. Ia pun diajak ke palaminan.
Bidadari selanjutnya diberinama Wa Ode Fari. Ia bersedia diperisteri dengan satu
syarat yaitu tidak boleh membuka penanak nasi ketika dirinya sedang memasak.
Omputo tidak masalah. Hari berganti, musim berubah. Mereka kemudian
dikaruniai seorang putri . Dua tahun berlalu, ada masa panen, ada masa
panceklik. Disaat orang lain mulai mengeluhkan kehabisan stok beras di
lumbung, lumbung Omputo masih berlimpah. Omputo bingung.Teringat
larangan isterinya pantang membuka penanak nasi, Omputo kembali tergugah
penasaran. Ia merasa ada misteri dibalik kelakuan isterinya. Rasa ingin tahunya
kali ini sangat besar. Suatu saat isterinya pergi mencuci usai mendudukan periuk
nasi di tungku, ia nekad melanggar pantangan siterinya. Ia membuka penutup
panci dan terkejut sebab di dalam periuk hanya berisi satu butir beras. Setelah
3. mendidih, periuk secara ajaib penuh berisi nasi.Keesokan harinya, Wa Ode Fari
yang tidak tahu kejadian itu pergi ke dapur hendak menanak nasi. Ia menuang
sebutir beras lalu menunggunya hingga matang. Tapi betapa terkejut setelah
matang periuk tidak penuhseperti biasanya. Ia sadar, suaminya telah melanggar
pantangan. Sejak terbongkarnya rahasia itu, Wa Ode Fari kehilangan kesaktian.
Dan semenja itu Wa Ode Fari harus menumbuk padi seperti layaknya manusia.
Hari demi hari stok beras di lumbung terus berkurang. Pasokan padi di lumbung
semakin tipis. Suatu pagi ketika Fari seperti biasa hendak mengangkat padi
terakhir untuk ditumbuk, ia menemukan selendang di dasar lumbung, yang
bertahun-tahun hilang darinya. Ia gembira sekaligus sedih. Meninggalkan
seorang anak dan sumi yang perlahan-lahan mulai dicintainya. Ia mulai
merasakan keindahan menjadi manusia saat anaknya bermanja-manja penuh
kemesraan. Tapi bagaimanapun, dunianya bukan disini. Maka ia berpamitan pada
anak dan suaminya lalu terbang dengan sebongkah air mata berurai bertebaran di
udara menjadi rintik hujan. Dibawah kelam langit ditengah rinai hujan, anak dan
suaminya menatap pilu kepergian itu dengan kesedihan mendalam. Omputo
mengakui kelalaiannya namun terlambat menyadari mengapa tidak mematuhi
pesan isterinya. Perpisahan seperti hari itu tidak pernah dibayangkan bakal
terjadi. Konon sebelum beranjak terbang ke kahyangan, Wa Ode Fari sempat
menari sambil mendendangkan nasihat dan petuah untuk anaknya dari udara.
Sepeninggal ibunya, sang anak merasakan perbedaan yang mendalam. Ia
kehilangan belai manja ibunya. Bagaimanapun berbeda sentuhan ibu dibanding
ayah, terutama bagi jiwa kecil seorang anak berusia dua tahun. Dan itu membuat
sang anak merindu. Ia sering tampak termenung sendiri. Di bawah pohon tempat
terakhir dibunya masih terlihat. Ia masih mampu mengenang semuanya secara
detail. Suatu hari di siang bolong yang terik. Sang anak tak lagi merasakan
teriknya matahari, rindu yang membakar lebih panas dari matahari di kepalanya.
Di sana, dibawah pohon kenangan, sang anak tiba-tiba mengayunkan tubuhnya,
meliuk-liuk, seperti gerak ibunya saat terakhir. Ia menari, menarikan tarian
ibunya dari mula hingga akhir, tiada yang terlewatkan. Teman bermain yang
menyaksikan belum pernah melihat tarian seindah itu. Takjub dan terpana,
mereka hanya bisa bergerombol sambil terlongo. Sambil menari, sang anak
mendendangkan lagu ibunya. “Dio Lakadandio, dandio lakadandio……..” Konon
itulah asal muasal tari Linda dan nyaniannya. Tarian yang tidak pernah diketahui
siapa penciptanya, dan lagu yang tidak pernah diketahui artinya. Belum ada yang
mampu menerjemahkan bait nyanyian itu hingga kini
4. Dahulunya sebelum alat-alat musik tersebut di kenal oleh masyarakat,orang-orang sering
menggunakan mata tou,dengan nama musik mata tou. Tarian Linda berfungsi sebagai
tarian adat dari daerah kabupaten muna yang selalu di laksanakan dalam upacara
karia,oleh gadis-gadis remaja yang di upacarakan.pemain tari Linda berjumlah 6 orang
putri,sedang di lagukan laggu kadandio syair lagu berbunyi :
YO LAKADANDIO
DANDIO LAKADANDIO
LADADIMAKA
RIMANA LAKADANDIO
KAMBOI NGKUKU
NERURU RONDANO UE
SILONO MATA
NEFOPATI LOSUA