Dokumen tersebut membahas tentang peran perguruan tinggi dalam industri kreatif khususnya Program Studi Desain Komunikasi Visual Institut Manajemen Telkom. Program studi ini menerapkan kurikulum yang menggabungkan ilmu desain dan manajemen untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan siap diserap oleh industri kreatif baik sebagai entrepreneur ataupun tenaga profesional. Kolaborasi antara dua ilmu yang berbeda ini memunculkan tantangan tersendiri dalam
1. KETIKA DESAIN DAN MANAJEMEN BERSATU
Oleh : Siska Noviaristanti, S.Si., MT
Program Studi Desain Komunikasi Visual
Institut Manajemen Telkom
Kawasan Pendidikan Telkom
Jl. Telekomunikasi, Ters. Buah Batu Bandung
Abstrak
Tulisan ini memuat landasan pemikiran tersusunnya kurikulum prodi DKV IM Telkom. Sesuai
dengan pergeseran industri yang saat ini memasuki era industri kreatif, IM Telkom berusaha
menghasilkan lulusan yang berkualitas dan memenuhi kebutuhan pasar. Kurikulum DKV IM
Telkom mengkolaborasikan keilmuan desain dan manajemen. Keberadaan dua keilmuan yang
berbeda rumpun ini memunculkan kendala tersendiri dalam proses pembelajaran. Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan masukan bagi perguruan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan dengan tujuan menyediakan sumber daya manusia berkualitas bagi industri kreatif
Indonesia.
Keyword : kurikulum DKV, Industri kreatif, kewirausahaan
1. Peran Perguruan Tinggi dalam Industri Kreatif
Saat ini dunia memasuki era keempat dari perkembangan ekonomi, yaitu era ekonomi
kreatif. Setelah era pertanian dimana kita mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari hasil bumi,
dilanjutkan dengan era industri yang telah menciptakan pola kerja, pola produksi dan pola
distribusi yang lebih efisien, hingga era informasi dimana banyak ditemukan teknologi informasi
yang membuat interkoneksi manusia menjadi lebih dekat dan meningkatkan produktifitas
manusia. Pergeseran era informasi ke era kreatif ini berdasarkan fenomena pemanfaatan
teknologi informasi dalam dunia media dan hiburan yang merubah karakter, gaya hidup dan
perilaku masyarakat menjadi lebih global dan membuka potensi pasar yang mendunia.
1
2. Dimulailah era baru yang mengintensifkan informasi dan kreatif, dikenal dengan nama ekonomi
kreatif.
Kegiatan ekonomi dalam industri kreatif merupakan penggerak bagi ekonomi kreatif.
Definisi industri kreatif dari Departemen Perdagangan RI adalah industri yang berasal dari
pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta
lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeskploitasi daya kreasi dan daya cipta
individu tersebut. Sementara ekonomi kreatif didefinisikan sebagai sistem kegiatan manusia
yang berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran serta konsumsi barang dan jasa yang
bernilai kultural, artistik dan hiburan. Nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa di era kreatif
tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem produksi seperti pada era industri, tetapi pada
pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global dengan
hanya mengandalkan harga atau mutu produk saja, tetapi bersaing berbasiskan inovasi,
kreativitas dan imajinasi (Kelompok Kerja Indonesia Design Power – Departemen Perdagangan,
2008).
Berdasarkan data dari Departemen Perdagangan RI, tahun 2002-2010 industri kreatif
memberikan konstribusi sebesar 7,74% terhadap GDP Indonesia, dan penyerapan tenaga kerja
untuk industri ini 7,76%. Diharapkan pada tahun selanjutnya industri kreatif memberikan
kenaikan konstribusi sebesar 10%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan
ekonomi Indonesia secara keseluruhan hanya 6,1% pada 2008. Tetapi nilai ekonomi Industri
Kreatif, yaitu PDB, Tenaga Kerja dan Ekspor, memiliki trend peningkatan. Pada 2008, ketika
krisis melanda, nilai PDB Harga Konstan Industri Kreatif mencapai sebesar Rp. 345 triliun,
kemudian mengalami kenaikan menjadi Rp. 468 triliun pada 2010. Peningkatan nilai ekonomi
juga terjadi pada penyerapan tenaga kerja dan ekspor Industri Kreatif. Data nilai PDB,
penyerapan tenaga kerja dan jumlah ekspor Industri Kreatif yang terus meningkat menunjukkan
bahwa pada dasarnya industri kreatif mampu bertahan terhadap krisis walaupun secara umum
krisis global ini menyebabkan penurunan pada perekonomian (www.indonesiakreatif.net, diakses
17 sep 2012).
Dalam buku Rencana Pengembangan Industri Kreatif 2025 dari Departemen
Perindustrian RI, disebutkan bahwa untuk pengembangan industri ini dibutuhkan peran
pemerintah, pelaku bisnis dan akademisi (triple helix). Pemerintah provinsi Jawa Barat di tahun
2
3. 2011 menambahkan satu item dalam pilar pengembangan industri kreatif sehingga menjadi
quarto helix, yaitu komunitas masyarakat. Salah satu peran akademisi adalah melakukan riset
untuk pengembangan industri ini juga menghasilkan lulusan berkualitas untuk diserap oleh
industri kreatif, baik sebagai entrepreuneur maupun sebagai tenaga professional.
Program studi desain komunikasi visual merupakan program studi yang menghasilkan
sumber daya manusia untuk industri kreatif. Sub sektor industri kreatif yang paling banyak bisa
dimasuki oleh lulusan DKV adalah desain, advertising, penerbitan dan percetakan, game
interaktif, televisi dan radio. Meskipun sub sektor yang paling berkonstribusi terhadap
penerimaan industri kreatif adalah sub sektor fashion dan kerajinan, tapi subsektor periklanan
dan desain menunjukkan potensi yang besar untuk berkembang begitu juga untuk subsektor
permainan interaktif.
Pada tahun 2006 diadakan Creative Enterprise Conference di Birmingham University,
London. Konferensi ini menghasilkan kesepakatan bahwa pentingnya peran pendidikan tinggi
dalam industri kreatif untuk pertumbuhan ekonomi suatu negara. Peran tersebut dengan
memasukan kewirausahaan dan bisnis dalam kurikulum perguruan tinggi yang sasaran kerja
lulusannya di industri kreatif.
Prodi DKV IM Telkom merupakan prodi DKV yang mensasar lulusannya untuk bekerja
di industri kreatif. Kurikulum DKV IM Telkom mengkolaborasikan ilmu desain dan ilmu
manajemen. Keberadaan dua ilmu yang tidak serumpun ini dalam satu kurikulum memiliki
tantangan sendiri dalam penerapannya. Tulisan ini berusaha memaparkan landasan berfikir
kurikulum DKV IM Telkom serta beberapa kendala penerapan kurikulum yang ditemui sejak
tahun 2008 prodi ini berjalan.
2. Kurikulum kewirausahaan untuk mahasiswa industri kreatif
Belum banyak penelitian yang membahas mengenai kurikulu m perguruan tinggi bagi
industri kreatif. Salah satu penelitian yang berhubungan dengan topik tersebut adalah hasil
penelitian Carey dan Naudin (2006) mengenai Enterprise curriculum for creative industries
student. Penelitian ini diadakan di Inggris dan melibatkan peneliti, pembuat undang-undang,
akademisi dan praktisi di bidang seni dan desain serta bisnis. Beberapa kesimpulan dari
penelitian ini adalah :
3
4. a. Peran perguruan tinggi adalah menanamkan “entrepreneurial spirit” bagi mahasiswa
industri kreatif. Hal ini dapat dicapai dengan menyatukan sikap dan aktifitas
kewirausahaan dalam tugas yang berbasis proyek dan mengintegrasikannya dengan
sektor kreatif lokal, mengundang praktisi untuk berbagi ilmu dalam seminar dan
workshop. Dan disarankan untuk mempersiapkan mahasiswa dengan realita pekerjaan
dan kesuksesan di sektor yang sangat kompetitif ini.
b. Pendidikan enterprise atau kewirausahaan perlu diajarkan. Topik yang berhubungan
dengan pendidikan kewirausahaan seperti bagaimana membuat perencanaan bisnis, riset
pasar dan marketing, pengetahuan mengenai hukum/undang-undang di industri kreatif
dan permasalahan keuangan dan sumber-sumber yang bisa dimanfaatkan dalam
keuangan.
c. Pendidikan kewirausahaan perlu melibatkan pihak luar yaitu organisasi di luar PT dan
praktisi di industri kreatif. Selain itu perlu dikembangkan metode bagi dosen untuk
mengajarkan pengetahuan dan keterampilannya dan bekerja sama dengan institusi untuk
memberdayakan sumber daya internal dan eksternal.
Kathryn Best (2006) dalam bukunya Design Management mengatakan bahwa saat ini
dunia desain memerlukan keilmuan manajemen. Manajemen tidak hanya dibutuhkan untuk
pengelolaan proyek desain tapi juga bagaimana desain dapat dimanfaatkan sebagai competitive
advantage dalam perusahaan bisnis. Dalam bukunya tersebut desain dapat berperan dalam tiap
level fungsi perusahaan, yaitu level strategis, operasional maupun implementasi. Pada level
strategis, desainer membutuhkan pengetahuan tentang tools yang digunakan dalam menentukan
strategi perusahaan, seperti analisis SWOT dan product life cycle. Selain itu juga bagaimana
perusahaan men-share visi dan misinya kepada seluruh elemen perusahaan sehingga memiliki
satu tujuan yang sama, yaitu menjadikan desain sebagai elemen penting untuk mendapatkan
profit. Pada level ini dibutuhkan keterampilan komunikasi verbal dan kemampuan membaca
trend pasar.
Selanjutnya pada level operasional. Pada level ini strategi yang sudah dirumuskan dari
awal dibentuk menjadi rangkaian program untuk mewujudkan rencana strategi tersebut. Untuk
itu desainer membutuhkan pemahaman mengenai proses dan metode desain serta skill
komunikasi visual. Yang terakhir adalah level implementasi. Keterampilan dalam pengelolaan
sumber daya dan manajemen proyek sangat dibutuhkan pada level ini.
4
5. Selain itu Kathryn Best (2010) dalam bukunya The Fundamentals of Design
Management, menjabarkan keilmuan khusus yang dapat melengkapi seseorang untuk menjadi
seorang desainer sekaligus manajer atau pengusaha di bidang desain. Seorang desainer selain
memahami teori, skill dan proses desain, mereka perlu menambah pengetahun mengenai system
ekonomi yang berhubungan dengan bisnis dan administrasi perusahaan, manajemen proyek,
keuangan, inovasi, teknologi, regulasi, serta kebutuhan pasar.
Sumbo Tinarbuko dalam diskusi mengenai “Idealisme dan Realita Pendidikan DKV”
yang diadakan oleh Majalah Versus tanggal 29-31 Januari 2009, mengangkat topik “Menghayal
Kurikulum DeKaVe Ideal”. Isi materi yang disampaikan adalah mengenai profil lulusan DKV
yang seharusnya meliputi 4P yaitu: pengaji, penyaji, pengelola dan pengajar. Ternyata kurikulum
DKV yang tersusun lebih terkonsentrasi mengantarkan mahasiswa menjadi penyaji dan
mengesampingkan minat mahasiswa menjadi pengaji, pengelola dan pengajar. Padahal dunia
kerja membuka seluas-luasnya keempat profil lulusan DKV. Sudah saatnya menyusun kurikulum
yang adaptif, fleksibel dan akomodatif agar seluruh profil lulusan DKV terakomodasikan dengan
seimbang. Kurikulum DKV harus ditambahkan dengan ilmu social dan ilmu pendukung lainnya
(http://desaingrafisindonesia.wordpress.com, diakses 17 September 2012).
Jubilee Enterprise (2009) mengatakan bahwa selama industri baik berskala besar ataupun
kecil masih berjalan, maka bisnis desain grafis akan senantiasa memiliki prospek yang bagus.
Artinya akan banyak perusahaan yang membutuhkan jasa desainer grafis untuk merancang
produk, kemasan, logo perusahaan, iklan dan kepentingan promosi lainnya. Rahasia sukses
dalam bisnis desain grafis, seorang pengusaha selain harus memahami ilmu desain grafis itu
sendiri, diperlukan ilmu mengenai perencanaan bisnis, teknik mendapatkan dan mempertahankan
klien, perhitungan tarif proyek, kesepakatan kontrak dan hak cipta serta manajemen proyek.
3. DKV Institut Manajemen Telkom
Prodi DKV IM Telkom, merupakan satu-satunya prodi DKV di Indonesia yang
menerapkan kurikulum bagi mahasiswanya tidak hanya dengan keilmuan DKV tapi juga dengan
keilmuan manajemen. Hal ini merupakan pembeda dikarenakan berada dalam institusi yang
berbasiskan manajemen. Institut Manajemen Telkom, berdiri sejak tahun 1990 dengan nama
5
6. MBA-Bandung. Yaitu penyelenggaran program Master in Business Administration pertama di
Jawa Barat.
Merespon regulasi pemerintah mengenai penertiban penyelenggaraan program MBA di
Indonesia, maka pada tahun 1994, MBA-Bandung mengubah bentuk organisasinya menjadi
Sekolah Tinggi Manajemen Bandung (STMB). Dengan status sekolah tinggi, STMB mengubah
program MBA nya menjadi program Magister Manajemen (MM) dan pada tahun 1997 STMB
memyelenggarakan program strata-1 (S-1/sarjana). STMB berubah menjadi IM Telkom pada
tahun 2008.
Ketika kurikulum prodi DKV akan disusun, IM Telkom melibatkan dosen-dosen dari
DKV ITB, praktisi di bidang desain serta dosen-dosen manajemen IM Telkom untuk
memformulasikan kurikulum yang terbaik bagi industri kreatif. Dengan berangkat dari pemikiran
bahwa lulusan DKV IM Telkom akan menyasar lulusan menjadi manajer atau entrepreneur,
kurikulum DKV IM Telkom mengkolaborasi keilmuan DKV dan manajemen.
Dalam penerapan kurikulum dan aktifitas belajar mengejar, terdapat beberapa kendala
yang berhubungan dengan kolaborasi keilmuan ini. Diantaranya adalah :
1. Paradigm mahasiswa baru yang belum menyadari bahwa DKV IM Telkom tidak
hanya berhubungan dengan desain, tapi juga keilmuan manajemen. Ilmu manajemen
menggunakan data-data kuantitatif dalam pengambilan keputusan yang efektif dan
efisien. Sehingga perlu diajarkan beberapa mata kuliah yang berhubungan dengan
„hitung-menghitung‟. Untuk beberapa mahasiswa baru yang tidak menyadari
perbedaan DKV IM Telkom inilah membutuhkan adaptasi yang lebih terhadap mata
kuliah „hitung-menghitung‟. Beberapa cara yang digunakan untuk mengatasi kendala
ini adalah satu, dengan mengundang entrepreneur/praktisi di bidang dkv yang
mengisi acara kuliah umum bagi mahasiswa. Keberadaan praktisi dalam kuliah umum
diharapkan dapat membuka wawasan mahasiswa mengenai pentingnya manajemen
dalam dunia DKV dan bagaimana penggunaannya di industry. Dua, contoh soal yang
diberikan untuk mata kuliah kuantitatif disesuaikan dengan permasalahan yang sering
terjadi dalam dunia dkv. Tiga, content mata kuliah manajemen menyesuaikan dengan
bab-bab yang berhubungan dengan dkv.
6
7. 2. Diperlukan dosen yang tidak hanya memahami design-thinking tetapi juga bagaimana
tools-tools manajemen digunakan dalam dunia desain komunikasi visual. Dosendosen DKV IM Telkom terdiri dari dosen desain dan dosen manajemen. Beberapa
dosen memiliki dasar keilmuan desain di S1-nya dan manajemen untuk S-2. Dosen
dengan latar belakang seperti ini memiliki poin yang lebih karena dapat memenuhi
kebutuhan kapabilitas design management. Tetapi yang menjadi kendala dalam
pengembangan karir dosennya adalah ketidaklinearan keilmuan yang menjadi dasar
seseorang untuk menjadi guru besar di bidang desain.
3. Belum banyak studi kasus di bidang desain manajemen
Metode studi kasus merupakan salah satu teknik pembelajaran yang banyak
digunakan oleh sekolah manajemen bisnis. Pemilihan metode ini dikarenakan,
memberikan kesempatan kepada mahasiswa pengalaman firsthand dalam menghadapi
berbagai masalah manajerial yang kompleks dan realistik di organisasi, menyajikan
ilustrasi teori dan materi kuliah manajemen, serta mengkaitkan teori dan praktik.
Metode studi kasus juga mampu mengembangkan daya analisis dan sintesis,
mengembangkan self-analysis, sikap, kepercayaan diri, dan tanggungjawab. Dalam
penerapannya
metode
kasus
memberi
kesempatan
bagi
mahasiswa
untuk
berpartisipasi dalam kelas dan mendapatkan pengalaman dalam mempresentasikan
gagasan kepada orang lain sehingga mengembangkan keterampilan interpersonal dan
komunikasi mahasiswa (Corey, 1976).
Kasus-kasus yang dibahas merupakan hal realitas yang terjadi di lapangan. Belum
adanya kasus yang berhubungan desain manajemen terutama di industri kreatif
menjadi kendala dalam pembelajaran.
4. Penutup
Keberadaan prodi DKV IM Telkom berusaha memenuhi kebutuhan akan SDM
berkualitas di industri kreatif. Kurikulum yang dimiliki berusaha mengkolaborasikan keilmuan
DKV dan manajemen, terutama yang berhubungan dengan entrepreneurship. Lulusan yang
dimiliki diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengembangan industri kreatif Indonesia.
7
8. DAFTAR PUSTAKA
Best, K. (2006). Design Management. AVA Publishing, Switzerland.
Best, K. (2010). The Fundamentals of Design Management. AVA Publishing, Switzerland.
Carey, C. Naudin, A. (2006). Enterprise Curriculum for Creative Industries Students: An
Exploration of Current Attitudes and Issues. Emerald Education + Training. Vol. 88 (7). Hal.
518-531.
Corey, E. R. (1976). The use of cases in management education. Harvard Business Review Case
#9-376-240. Harvard Business School Press, Boston.
Enterprise, J. (2009). Rahasia Bisnis Desain Grafis: Strategi Memenangkan Pertempuran Bisnis
Berbasis Kreativitas. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Kelompok Kerja Indonesia Design Power. (2008). Pengebangan Ekonomi Kreatif Indonesia
2025. Departement Perdagangan RI.
8