Skripsi ini membahas mengenai peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa melalui pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan di kelas VIII SMP Negeri 1 Cicalengka dengan tujuan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika sis
1. MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
(Penelitian Tindakan Kelas Terhadap Siswa Kelas VIII
SMP Negeri 1 Cicalengka Kabupaten Bandung )
Skripsi
“Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Matematika”
oleh:
Ida Rufaida
08513058
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
GARUT
2009
2. Persembahan
Kepada semua insan yang berkhidmah menyiapkan generasi
yang teguh berakidah, patuh bersyariah dan berakhlakul karimah serta berbakti
kepada orang tua, menghargai ilmu dan menghormati guru
3. Moto
All the children are our future
Teach them well
And let them lead the way
(Semua anak adalah masa depan kita
Didiklah mereka dengan baik
Biarkan mereka memimpin)
Whitney Houston(1991):
The greatest Love of all
I love how you reach Without to touch
I love how you teach without to rush
(Aku suka caramu anda meraih tanpa menyentuh
Aku suka cara anda mendidik tanpa menghardik)
Odia coates (1982):
The Woman Song
4. PERNYATAN
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
“MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA”
(Penelitian Tindakan Kelas di Kelas VIII SMP Negeri 1 Cicalengka)
Ini benar-benar karya saya sendiri. Pengutipan dari sumber-sumber lain,
telah saya lakukan berdasarkan kaidah-kaidah pengutipan yang sesuai dengan
etika keilmuan yang berlaku sehingga isi skripsi serta semua kelengkapannya ini
merupakan karya asli. Apabila kemudian ditemukan hal-hal yang tidak sesuai
dengan isi pernyataan saya ini, saya bersedia menerima resiko atau sanksi apa
pun.
Garut,1 Aguntus 2009
Yang membuat pernyataan
IDA RUFAIDA
5. Lembar Pengesahan Skripsi
oleh:
IDA RUFAIDA
NIM: 08513058
Disetujui dan disahkan oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Deddy Sofyan, M.Pd. Drs. Sukanto Sukandar M.
NIP: 132057541 NIP: 131 793 696
Diketahui oleh:
Ketua STKIP Garut Ketua Jurusan Matematika
Drs. H. Imid Hamid, M.Pd. Drs. Moersetyo Rahadi, M.Pd.
NIP: 130 143 743 NIP: 131 793 701
6. ABSTRAK
Kemampuan matematika adalah kemampuan bagi kehidupan sehari-hari,
oleh sebab itu seyogyanya setiap manusia memiliki kemampuan matematika.
Stigma bahwa matematika pelajaran yang sulit menyebabkan hasrat belajar
rendah, akibatnya kemampuan matematika siswa tidak seperti yang diharapkan.
Rendahnya hasrat belajar metematika menyebabkan siswa menghindar dari proses
penyelesaian masalah matematika, akibatnya kemampuan menyelesaikan masalah
matematika tidak terlatih dengan baik. Untuk meningkatkan kemampuan
matematika perlu motivasi belajar yang kuat dan untuk memotivasi siswa perlu
diterapkan pendekatan yang menimbulkan kesan bahwa matematika tidak sesulit
yang diduga. Lingkungan keseharian adalah sumber belajar yang kaya dan murah.
Menghadirkan matematika dalam format keseharian yang dekat dengan kehidupan
siswa ternyata menyadarkan siswa bahwa matematika memang rumit, tetapi tetap
dapat diselesaikan dengan baik. Pembelajaran kontekstual merupakan proses
pembelajaran yang mengajak siswa aktif mengamati keseharian dan kaitannya
dengan matematika. Keterlibatan siswa dalam menemukan dan menyelesaikan
masalah telah meningkatkan motivasi belajar. Kelas merupakan laboratorium
pembelajaran yang sebenarnya, maka penelitian mengenai pembelajaran yang
paling otentik adalah penelitian yang dilakukan di kelas. Salah satu penelitian
tersebut adalah Penelitian Tindakan Kelas. Hasil penelitian tindakan kelas di kelas
VIII SMP Negeri I Cicalengka, menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
siswa dalam pemecahan masalah matematika. Peningkatan tersebut antara lain
adanya perbedaan antara nilai awal dengan nilai akhir. Pada tes awal nilai
minimum 10, nilai tertinggi 80 dan nilai rata-rata 46,67. Setelah perlakuan dengan
menerapkan pembelajaran kontekstual, terjadi peningkatan. Pada tes akhir, nilai
minimum 35, nilai tertinggi 100 dan nilai rata-rata 80,46.
7. Kata Pengantar
Segala puji adalah milik Ilahi yang Maha Tinggi. Syukur berbinar terujar
bagi yang Akbar, seraya memijar shabar menjalani alur yang tidak sepanjangnya
datar.
Terima kasih tiada tara dan apresiasi dari lubuk hati dihaturkan dengan
tawadlu kepada segenap insan yang berkenan mendorong, mendukung dan
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah mencatatkan segala
kebaikan tersebut sebagai jariyah dengan pahala menggelagah tiada henti.
Ada banyak alasan mengapa sebuah karya ditulis: Karena subyeknya
sedang menjadi topik yang hangat; Karena materinya enak untuk dijadikan bahan
polemik; Karena topiknya menarik untuk diselidik dan alasan-alasan lainnya.
Alasan penulis memilih tema dan mengangkat problema sebagaimana disebut
pada sampul, karena masalahnya adalah bagian tidak terpisahkan dari diri dan
keseharian penulis.
Siapapun tentu berkehendak melahirkan karya yang sempurna. Tetapi ada
pepatah bahwa bila menunggu kesempurnaan, sebuah buku tidak akan pernah
terbit, karena setiap selesai menulis satu paragrap informasi ada ribuan paragrap
baru yang harus ditulis untuk menyajikan informasi mutakhir. Maka tanpa
menunggu sempurna skripsi ini disajikan apa adanya. Lebih dari itu, skripsi yang
baik adalah skripsi yang selesai, maka dengan disajikannya skripsi maka skripsi
dapat dinyatakan selesai.
Selesainya skripsi sudah tentu berkat dukungan berbagai pihak, untuk itu
sekali lagi disampaikan terimakasih dan penghargaan kepada siapa saja yang
berkenan membantu, diantaranya sosok-sosok tersebut di bawah ini.
8. Siswa-siswi tercinta yang telah bersedia berperanserta menggiati
pembelajaran baik dalam putaran-putaran penelitian kelas maupun dalam
wawancara serta observasi. Terima kasih tidak sekadar atas perannya dalam
proses penyusunan skripsi, tetapi secara nyata telah menunjukkan sekaligus
menyadarkan mengenai pentingnya perubahan pandangan mengenai eksistensi
peserta didik sebagai subyek pembelajaran yang sangat menentukan berhasil
tidaknya proses pembelajaran.
Guru, Kepala dan staf pimpinan SMP Negeri 1 Cicalengka yang dengan
penuh kesetiakawanan, di tengah kesibukannya menjalankan tugas,
menyempatkan diri memberi dorongan dan sumbang saran serta membagi
pengalaman baiknya dalam mendukung proses penelitian tindakan kelas sampai
penyusunan laporan menjadi skripsi,
Pimpinan STKIP Garut, khususnya, Ketua jurusan Matematika beserta staf
yang memberikan kemudahan-kemudahan dan arahan baik dalam konteks
akademik maupun administratif.
Dosen Pembimbing yang dengan sabar dan telaten memberikan arahan
dalam merapihkan pola pikir dan penulisan buah pikir menjadi skripsi. Serta
dosen STKIP yang memperluas wawasan akademik sebagai bekal menjalani
program belajar maupun membangun suasana belajar.
Sekali lagi atas segala kabajikan dan kebijakan yang telah terpancar,
mendapat balasan dari Allah dan menjadi barokah bagi kita semua. Penulis juga
memohon maaf apabila ada hal-hal yang tidak semestinya dikemukakan ternyata
termuat dalam skripsi ini.
Terakhir, penulis bermunajat, semoga semua yang telah berjariah ilmu
baik disampaikan langsung kepada penulis atau penulis kutip pendapatnya dari
9. buku dan buah tulisan lainnya, diberikan ganjaran yang pantas. Semoga kebaikan
yang telah mereka lakukan dapat penulis teladani.
Garut, 1 Agustus 2009
Penulis
10. DAPTAR ISI
ABSTRAK vii
KATA PENANGTAR viii
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan Masalah 6
C. Rumusan Masalah 7
D. Tujuan penelitian 7
E. Manfaat Penelitian 7
F. Asumsi 8
G. Hipotesis 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 10
A. Pembelajaran Berbasis Kecerdasan 10
B. Matematika Sebagai Pelajaran Kehidupan Sehari-hari 14
C. Kesulitan Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika 15
D. Pergeseran Konsep Pembelajaran 20
E. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and 27
Learning)
BAB III METODE PENELITIAN 37
A. Penelitian Tindakan Kelas 37
B. Variabel Penelitian 47
C. Definisi Operasional
D. Tehnik Pengumpulan Data 51
BAB IV LAPORAN HASIL TINDAKAN KELAS 52
A. Gambaran Penelitian 52
B. Penjelasan Siklus Pertama 54
C. Penjelasan Siklus Kedua 68
D. Penjelasan Siklus Ketiga 86
E. Post Test 97
F. Pembahasan dan Pengambilan Keputusan 106
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 117
DAFTAR PUSTAKA 120
LAMPIRAN-LAMPIRAN 123
11. DAFTAR TABEL
No Judul Tabel Hal.
1.1 Standar Kelulusan SMP Tahun Pelajaran 2008/2009 2
2.1 Perbedaan Pembelajaran kontekstual dengan Konvensional 28
4.1 Deskripsi Kelompok 57
4.2 Nilai Kumulatif Tes Prasyarat 60
4.3 Siswa yang benar menurut butir soal 61
4.4 Siswa yang benar dalam prosedur dan perhitungan 62
4.5 Siswa yang benar prosedurnya tetapi salah dalam operasi 63
perhitungan
4.6 Siswa yang benar dalam operasi perhitungan tetapi salah dalam 63
menetapkan ukuran
4.7 Siswa yang benar dalam mengukur dan menghitung 77
4.8 Hasil pengukuran dan penghitungan kelompok 78
4.9 Kebutuhan porselin untuk bak air 80
4.10 Nilai Tes Siklus Ketiga per butir soal 93
4.11 Perbandingan Nilai soal nomor 1 dan nomor 2 94
4.12 Daftar hasil kwadrat 96
4.13 Perolehan nilai kumulatif Post Test 99
4.14 Perolehan nilai post test per butir soal 100
4.15 Perolehan nilai penerapan per butir soal 103
4.16 Rekapitulasi nilai penerapan per butir soal 106
4.17 Tingkat kenaikan nilai Tes prasyarat-Post test 107
4.18 Sikap siswa terhadap pembelajaran 110
4.19 Pandangan siswa mengenai pembelajaran 111
L.1 Validitas Instrumen, Data hasil uji coba 123
L.2 Validitas butir soal 124
L.3 Reliabilitas Instrumen 126
L.4 Indeks Kesukaran 128
L.5 Daya Pembeda 129
12. DAFTAR GAMBAR
No Nama Gambar Hal.
1 Siklus Penelitian Tindakan Kelas 45
2 Kuis Matematik, Denah Tanah 69
3 Kuis Matematik Segitiga bertumpuk 87
4 Segitiga samasisi 88
5 Kuis Matematik, 4 segitiga samasisi 89
6 Limas 93
7 Prisma 93
8 Persegi & Persegi Panjang 136
9 Segitiga Siku-siku, Samasisi dan Samakaki 136
10 Balok dan Kubus 148
13. DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A: Uji Validitas Instrumen 123
1 Data hasil uji coba 124
2 Validitas butir soal 125
3 Reliabilitas instrumen 127
4 Indeks Kesukaran 129
5 Daya Pembeda 130
6 Analisis validitas 131
Lampiran B: Instrumen Penelitian 134
1 Tes prasarat 135
a Soal tes prasarat 135
b Pedoman penilaian 136
c Lembar jawab prasarat 137
d Kunci jawaban 138
2 Tugas Kelompok 141
a Lembar tes keelompok 141
b Lembar jawab/pelaporan tes kelompok 149
3 Post Test 150
a Soal post test 150
b Lembar jawab post test 153
c Pedoman penilaian 154
d Kunci jawaban post test 155
4 Kuisioner 1 158
5 Kuisioner 2 160
6 Lembar pengamatan dinamika kelompok 162
Lampiran C: Distribusi Hasil Tes 163
1 Nilai Tes Prasarat 164
a Nilai kumulatif 164
b Nilai Gambar nomor 1 dan 2 165
c Nilai Gambar nomor 3 166
d Nilai Gambar nomor 4 167
e Nilai Gambar nomor 5 168
2 Nilai Tes Siklus 3 169
a Nilai kumulatif 169
b Nilai soal nomor 1 170
c Nilai soal nomor 2 171
3 Nilai Post Test 172
a Nilai Kumulatif 172
b Nilai soal nomor 1 173
c Nilai soal nomor 2 174
d Nilai soal nomor 3 175
e Nilai soal nomor 4 176
LAMPIRAN D: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN 177
1 Silabus 178
2 RPP Balok dan Kubus 179
3 RPP Limas dan Pisma 182
4 Materi Pelajaran 185
LAMPIRAN E: SURAT-SURAT PENELITIAN 197
14. 1 Surat Keputusan Pengangkatan Dosen Pembimbing 198
2 Surat Permohonan Izin Penelitian 199
3 Surat Keterangan Telah melaksanakan Penelitian 200
4 Keterangan Supervisi Kepala SMP N 1 Cicalengka 201
5 Kartu Bimbingan 202
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 203
15. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran di SMP adalah upaya untuk mengembangkan potensi,
kecakapan dan kepribadian siswa. Perkembangan aspek-aspek pada siswa tersebut
tidak diberikan oleh guru, tetapi siswa sendiri yang berusaha mengembangkan
dirinya. Fungsi guru hanyalah menciptakaan situasi, memberikan dorongan,
arahan, bimbingan dan kemudahan agar siswa dapat belajar dan mengembangkan
dirinya. Dalam proses pembelajaran, interaksi siswa dipengaruhi berbagai faktor,
antara lain: Karakteristik dan perkembangan siswa; Intelektual dalam belajar;
Transfer dalam belajar dan Penyesuaian pembelajaran dengan perbedaan
intelektual.
Sejak awal millennium III telah terjadi upaya-upaya peningkatan kualitas,
baik pada tataran konsep dan strategi pendidikan; kompetensi Pendidik dan
Tenaga Kependidikan; Manajemen; Sarana & Prasarana; Buku dan teknologi
pembelajaran; Anggaran pendidikan dan kebijakan lain yang mendukung.
Sekolah Gratis yang dikampanyekan, antara lain oleh Utomo Danandjaya, pada
tahun 2008 telah terealisasi sampai tingkat SMP.
Peningkatan mutu tersebut diikuti dengan terus meningkatnya standar
kelulusan sekolah sejak SD hingga SMA/SMK. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 78 Tahun 2008, menetapkan Standar Kompetensi Lulusan dan
Kemampuan yang di uji sebagai mana dipresentasikan pada tabel di bawah.
Tabel 1.1
16. Kisi-kisi Soal Ujian Nasional SMP & Madrasah Tsanawiyah
Standar Kompetensi
No Kemampuan yang diuji
Lulusan
Menghitung hasil operasi tambah, kurang, kali
dan bagi pada bilangan bulat.
Menggunakan
konsep operasi Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
hitung dan sifat- bilangan pecahan.
sifat bilangan, Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
perbandingan, skala dan perbandingan.
1. aritmetika Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
sosial,barisan jual beli.
bilangan, serta Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
penggunaannya perbankan dan koperasi.
dalam pemecahan Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
masalah . barisan bilangan.
Mengalikan bentuk aljabar.
Memahami operasi Menghitung operasi tambah, kurang, kali, bagi
bentuk aljabar, atau kuadrat bentuk aljabar.
konsep persamaan Menyederhanakan bentuk aljabar dengan
dan pertidaksamaan memfaktorkan.
linier, persamaan Menentukan penyelesaian persamaan linier satu
garis, himpunan, variabel.
2 relasi, fungsi, sistem Menentukan irisan atau gabungan dua himpunan
persamaan linier dan menyelesaikan masalah yang berkaitan
serta menggunakan- dengan irisan atau gabungan dua himpunan.
nya dalam Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
pemecahan masalah. relasi dan fungsi.
Menentukan gradien, persamaan garis dan
grfiknya.
17. Menentukan penyelesaian sistem persamaan linier
dua variabel.
Menyelesaikan soal dengan menggunakan
teorema Pythagoras.
Menghitung luas bangun datar.
Menghitung keliling bangun datar dan
penggunaan konsep keliling dalam kehidupan
Memahami bangun
sehari-hari.
datar, bangun ruang,
garis sejajar, sudut, Menghitung besar sudut pada bidang datar.
3 serta menggunakan- Menghitung besar sudut yang terbentuk jika dua
nya dalam peme- garis berpotongan atau garis sejajar berpotongan
cahan masalah. dengan garis lain.
Menghitung besar sudut pusat dan sudut keliling
pada lingkaran.
Menyelesaikan masalah dengan menggunakan
konsep kesebangunan.
Menyelesaikan masalah dengan menggunakan
konsep kongruen.
Menentukan unsur-unsur bangun ruang sisi datar.
Menentukan jaring-jaring bangun ruang.
Menghitung volume bangun ruang sisi datar dan
sisi lengkung.
Menghitung luas permukaan bangun ruang sisi
datar dan sisi lengkung.
Memahami konsep Menentukan ukuran pemusatan dan menggunakan
dalam statistika, serta dalam menyelesaikan masalah sehari-hari.
menerapkannya
4
dalam pemecahan Menyajikan dan menafsirkan data.
18. masalah.
Merujuk kepada kisi-kisi di atas, Standar Kompetensi Lulusan dalam mata
pelajaran matematika semuanya berorientasi kepada pemecahan masalah. Oleh
sebab itu guru seyogianya menciptakan suasana pembelajaran yang dinamis dan
ceria sehingga siswa bersemangat melakukan penyelesaiaan soal-soal metematika
sebagai upaya meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. Selain itu guru
juga harus berupaya menghubungkan matematika dengan masalah-masalah
kehidupan nyata. Hal ini penting mengingat matematika merupakan mata
pelajaran yang akan dipergunakan dalam seluruh aspek kehidupan.
Memiliki kemampuan memecahkan soal matematika akan menjadi bekal
bagi siswa untuk melakukan pemecahan maslah dalam menjalani kehidupan saat
ini dan nanti. Masalah adalah kesenjangan antara kenyataan dengan keseharusan
atau harapan. Pemecahan Masalah adalah upaya untuk menemukan alternatif bagi
penyelesaiannya.
Bangun datar adalah bagian paling dasar dalam geometri yang lahir dan
berkembang di Mesir dan Babilonia. Geometri merupakan sebuah temuan yang
didorong oleh ambisi para pemimpin pemerintahan pada masa itu untuk dapat
mendirikan bangunan yang besar dan kokoh serta untuk mengusai tanah bagi
kepentingan pendapatan pajak.
Berbagai fakta tentang Geometri Bangun datar termuat dalam Ahmes
Papirus yang ditulis pada tahun 1650 SM yang ditemukan pada abad ke Sembilan.
Dalam Papyrus terdapat formula tentang perhitungan luas persegi panjang,
segitiga siku-siku, trapezium dengan kaki tegak lurus dan luas lingkaran. Pakar
yang memberikan kontribusi antara lain: Thales (640-546 SM), matematikawan
19. yang selalu ingin melakukan pembuktian atas teori-teori geometri; Pythagoras
(528-507 SM), yang menemukan teori panjang garis miring suatu segitiga siku-
siku sebagai akar dari penjumlahan kuadrat kedua sisi yang lain. Teori-teori
tersebut kemudian dikembangkan oleh Euclid dalam buku Element.
Bangun datar merupakan teori dasar bagi penyelesaian persoalan-persoalan
bangun ruang sebagai kelanjutan atau perkembangan berikutnya. Bangun ruang
merupakan kombinasi dari bangun datar, anatara lain: pasangan-pasangan empat
persegi panjang menjadi balok dan kotak; persegi menjadi kubus; segitiga menjadi
limas; segitiga dan persegi pajang atau persegi menjadi prisma dan sebagainya.
Namun demikian, walaupun siswa telah mengusai masalah bangun datar, ketika
harus menyelesaikan masalah bangun ruang sebaagian bersar siswa menghadapi
kesulitan. Hal ini bukan saja dipengaruhi oleh stigma bahwa matematika pelajaran
yang sangat sulit juga masih kurangnya kesadaran siswa mengenai pentingnya
matematika bagi kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran konsteksual (Teaching Learning consteksual) menurut
Sukmadinata, (2004:196) merupakan suatu sistim atau pendekatan pembelajaran
yang bersifat holistic (menyeluruh). Menurut Johnson (2002:210): pembelajaran
konsteksual sekurang-kurangnya memiliki tiga prinsip, yaitu: interpendence
(kesaling-tergantungan); diferensiasi dan self organization (pengorganisasian
diri). Adapun komponen-komponen pembelajaran konsteksual adalah: hubungan
bermakna, mengerjakan pekerjaan penting, belajar mengatur diri sendiri,
bekerjasama, berpikir kritis, bimbingan individual, pencapaian standar tinggi dan
menggunakan penilaian otentik.
Penulis sangat tertarik untuk mengimplementasikan pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran matematika karena CTL memberikan
20. kesempatan yang sangat luas kepada pembelajar untuk bekerjasama, berfikir kritis
dan mengkaitkan materi ajar dengan latar belakang individual, sosial dan kultural
sehingga pembelajaran lebih bermakna (meaningful).
Dengan latar belakang di atas maka diajukan penelitian tindakan kelas
dengan judul: “Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Melalui Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika “
B. Pembatasan Masalah
Pendidikan adalah upaya mewariskan dan mengembangkan nilai, oleh
sebab itu memiliki komponen dan faktor yang kompleks. Untuk menegaskan arah
dan keluaran hasil yang ingin dicapai, maka penelitian dibatasi pada hal-hal
berikut:
1. Dalam upaya mencapai prestasi terbaik akan selalu ada hambatan yang
dihadapi, termasuk dalam hal prestasi belajar. Dengan demikian siswa
harus melakukan upaya yang dapat mengatasi hambatan belajar,
khususnya matematika, sehingga siswa dapat meraih prestasi terbaik.
2. Guru sebagai fasilitor memberikan dukungan dengan cara antara lain:
membangun suasana belajar yang menyenangkan; menyajikan materi
pelajaran yang berkaitan langsung dengan kehidupan keseharian siswa;
menerapkan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan konteks yang
dihadapi.
3. Suasana belajar yang kondusif dapat menolong siswa melakukan upaya
mengatasi kesulitan/hambatan serta persoalan yang dihadapi berkaitan
dengan belajar matematika. Dalam suasana yang ceria dan partisipatif
siswa tidak merasa tertekan dan dapat melakukan eksplorasi sehingga
21. inspirasi untuk melahirkan solusi bagi penyelesaian masalah mengalir
dengan lancar.
4. Dengan keterlatihannya dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan secara
berkelanjutan, siswa menjadi terlatih dalam melakukan penyelesaian
masalah. Kemampuan melakukan secara terus menerus akan mendorong
siswa meraih prestasi puncak.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam Penelitian Tindakan Kelas adalah: Adakah
peningkatan kemampuan siswa dalam melakukan pemecahan masalah matematika
melalui pembelajaran kontekstual?
D. Tujuan penelitian
Penelitian Tindakan Kelas ini bertujuan untuk:
Mengetahui peningkatan kemampuan siswa dalam melakukan pemecahan
masalah matematika melalui pembelajaran kontekstual.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, antara lain:
1. Bagi penulis sebagai penguatan kompetensi kependidikan dan
pematangan profesi keguruan.
2. Bagi siswa sebagai pengalaman terstruktur dalam mengikuti metode
pembelajaran yang variatif , sehingga siswa termotivasi dan merasa
senang dalam belajar matematik.
22. 3. Bagi guru sebagai bagian dari brainstorming (curah gagasan) dan
sharing pengalaman untuk pengayaan metode pembelajaran.
4. Bagi sekolah sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas
pembelajaran dalam memenuhi standar pelayanan minimum ,
sekurang-kurangnya dalam hal mutu guru dan proses pembelajaran.
5. Bagi STKIP Garut menjadi salah satu data penelitian yang dapat
dimanfaatkan oleh peneliti-peneliti lain untuk lebih didalami atau
dikembangkan lebih luas.
6. Bagi dunia pendidikan menjadi salah satu materi untuk bahan studi
kependidikan dan pengayaan proses pendidikan.
F. Asumsi
Penelitian ini didasarkan atas asumsi bahwa: pembelajaran kontekstual
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam melakukan pemecahan masalah.
G. Hipotesis Tindakan
Hipotesis berasal dari dua kata yaitu hypo (di bawah) dan thesa
(kebenaran). Menurut Rahadi (2003:3), Hipotesis adalah jawaban sementara yang
sifatnya tentatif dari rumusan masalah yang telah disusun dalam suatu penelitian.
Dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis:
Terdapat peningkatan kemampuan siswa dalam melakukan pemecahan
masalah matematika melalui pembelajaran kontekstual.
23.
24. BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Berbasis Kecerdasan
Untuk melahirkan manusia berprestasi ada banyak metode dan
pendekatan, salah satu diantaranya pola dasar system dengan menerapkan lima
disiplin, yaitu: Personal Mastery; Team Learning; Shared Vision; Mental Model
dan System Thinking. (diadaptasi dari Peter M Senge, 1990) dalam The Fifth
Discipline, The Art and Practice of the Learning Organization).
1. Personal Mastery
Personal mastery, adalah upaya melahirkan kader-kader yang memiliki
kompeten dan kompetitif berbasis kecerdasan. Menurut Shepard, (2001):
Kecerdasan tidak dapat diukur dengan angka. kecerdasan adalah Ability to
solve Problem or Fashion Product. Kecerdasan adalah kemampuan
menggunakan keterampilan, menciptakan sesuatu dan mengatasi masalah
sesuai budaya komunitas. Shepard mengidentifikasi kecerdasan sebagai
berikut:
a. Interpersonal intelligence, kecerdasan antarpribadi, kemampuan
memahami orang lain dan tampil dalam kemampuannya berinteraksi
dengan baik dengan orang lain- dapat melakukan komunikasi dengan
orang lain.
b. Logical Intelligence, Kecerdasan Logika/Matematika, kemampuan
kuantitatif, kemampuan memproses sesuatu secara analitis dan
sistematis.
25. c. Spatial Intelligence, Kecerdasan Spatial/Visual, kemampuan
membangun gagasan atau model, membayangkan penerapan dan
mengubahnya yang semua ini dilakukan dalam pikirannya.
d. Musical Intelligence, Kecerdasan Musik, kepekaan terhadap
irama, melodi dan nada baik sebagai pelaku maupun pendengar.
e. Verbal Intelligence, Kecerdasan Verbal berbahasa/berbicara.
Kemampuan mengekspresikan pikiran-pikirannya dengan jernih baik
melalui bahasa lisan maupun bahasa tulisan.
f. Intrapersonal Intelligence, Kecerdasan intrapersonal, kemampuan
berinteraksi dengan diri sendiri, introspeksi, refleksi dan kontemplasi
melalui renungan.
g. Kinesthetic intelligence, Kecerdasan kinestik/tubuh, kemampuan
gerakan fisik, menari, berolah raga, berkelahi, melempar, memotong.
Keterampilan mengubah suatu obyek /memanipulasi obyek dinamakan
Tactile.
Goldman (1997) merumuskan kecerdasan sebagai berikut:
a. Emotional Intelligence, Kecerdasan Emotional, kemampuan
mengenali situasi emosi diri sendiri dan kondisi emosi orang lain.
b. Natural Intelligence, Kecerdasan terhadap Alam, kemampuan
menikmati hidup dan berinteraksi serta menyatu dengan alam.
c. Exisistential Intelligence, Kecerdasan memahami hidup dan
kehidupan.
Sternberg memperkenalkan Triarchic Theory
a. Componential Intelligence, Kemampuan menganalisis,
membandingkan dan mengevaluasi (Analyse, Compare & Evaluate).
26. b. Creative Intelligence, Kemampuan menciptakan, menemukan dan
merancang (Create, Invent & Design).
c. Contextual Intelligence, Kemampuan menggunakan dan
menerapkan (use and apply) secara praktis.
2. Team Learning
Dalam satu kelompok yang aktif setidaknya ada 5 hal yang dapat
dipelajari, yaitu:
a. Learning To Know (Belajar Untuk Mengetahui)
Mengetahui apa yang harus dilakukan dan untuk apa.
b. Learning To Do (Belajar Untuk Bisa Melakukan)
Memahami apa yang harus dilakukan, kemampuan apa yang harus
dimiliki.
c. Learning To Be (Belajar Untuk Dapat Menjadi Seseorang)
Menjadi seseorang yang berkarakter sangatlah penting agar dapat
bersikap dan bertindak dengan nyaman dan mendorong orang lain
untuk menjadi seseorang.
d. Learning How To Learn (Belajar Bagaimana Belajar)
Bisa jadi kita telah cukup banyak belajar tetapi sedikit sekali yang
menjadi pelajaran. Bergegaslah untuk memahami bagaimana mestinya
kita belajar.
e. Learning Live Together (Belajar Hidup Berdampingan)
Belajar berkontribusi dan apresiatif agar orang lain berpartisipasi secara
optimal.
3. Shared Vision
27. Memasyarakatkan visi atau dalam konteks pembelajaran
mengkhalayakkan target yang ingin dicapai dari proses belajar sangatlah
penting. Bila siswa mengetahui apa target yang ingin dicapai dan manfaat apa
yang dapat diperoleh dari pembelajaran maka siswa akan lebih semangat
dalam menjalani pembelajaran.
4. Mental Model
Pembinaan dengan menggunakan pemodelan mental, yaitu bagaimana
seseorang dibiasakan dalam kondisi tertentu sehingga menjadi seperti itu
selama hidupnya. Mental model akan terjadi di lingkungan keluarga, sekolah,
organisasi dan masyarakat secara luas.
5. System of Thinking.
Senge,– (1994) dalam The Leader,s New Work: Building Learning
Organization & Managing Learning menjelaskan adanya 10 tahapan system
berfikir yang dapat menyederhanakan pola kerja, yaitu: Fixes that fail & fight
back fire ( memperbaiki kegagalan); Shifting the Burden (pengalihan beban);
Shifting the burden to the intervenor (pengalihan beban kepada pihak lain);
Eroding goals (pengikisan sasaran); Limits to growth (batas-batas
pertumbuhan); Growth and Underinvestment (pertumbuhan dan investasi yang
rendah); Success to successful (keberhasilan berangkai); Escalation
(Peningkatan); Tragedy of the Commons (nestapa yang merata); Balancing
with delay (penyeimbangan dengan penundaan).
Kelima disiplin di atas pada dasarnya berkehendak melahirkan manusia-
manusia yang memiliki penalaran melalui proses pembelajaran. Belajar
matematika merupakan proses yang paling erat kaitannya karena penalaran atau
kemampuan berfikir logis merupakan inti dari pembelajaran matematika. Berfikir
28. logis dalam matematika merupakan salah satu tujuan matematika yang
dirumuskan dalam Kurikulum 2004.
B. Matematika Sebagai Pelajaran Kehidupan Sehari-hari
Semua ilmu dan pengetahuan berkembang dan dikembangkan dari
pengalaman dan realitas. Karena manusia berkomunikasi menggunakan bahasa
maka dikembangkan teori-teori tenang bahasa. Karena ada yang suka berpidato
maka dikembangkan teori tentang berpidato. Karena ada orang yang suka
menyanyi maka dikembangkan teori-teori seni suara. Karena manusia bercocok
tanam maka dikembangkan ilmu pertanian. Demikian juga dengan teori
konstruksi, perikanan, transportasi, komunikasi dan lain-lain.
Matematika juga sama, ia berkembang karena kebutuhan dalam kehidupan
sehari-hari. Menghitung, mengukur dan menakar telah menjadi bagian kehidupan
sejak zaman Nabi Adam Alaihissalam. Ketika Habil dan Qobil diperintahkan
untuk berqurban. Nabi Adam menyebutkan jumlah dan takaran yang harus
diqurbankan. Demikian juga jarak ke tempat pelaksanaan qurban.
Bilangan adalah materi paling dasar dalam matematika. Pada mulanya
orang membandingkan jumlah dengan istilah lebih banyak dan lebih sedikit.
Tetapi ketika sistem kepemilikan mulai melekat dalam masyarakat maka jumlah
mulai disebut dengan angka-angka. Konsep bilangan pada awalnya hanyalah
untuk kepentingan menghitung dan mengingat jumlah. Lambat laun para ahli
matematika menambahkan perbendaharaan simbol.dan kata-kata yang tepat untuk
mendefinisikan bilangan. Dari bilangan berkembang ilmu yang lain yaitu
aritmetika dan aljabar.
29. Demikian halnya dengan geometri. Karena orang harus mengukur luas
tanah dan benda lainnya maka maka dikembangkan ilmu untuk mengukur bangun
datar. Kemudian ketika manusia mulai menempati bangunan yang dibuat, bukan
lagi di lapangan, pohon atau goa, maka mulai dirasakan kebutuhan menghitung
volume dan hal-hal yang berkaitan dengan bangun ruang.
Cara mengukur luas dan keliling Segiempat merupakan pengetahuan yang
pertama kali dikembangkan, selanjutnya segitiga. Dari teori-teori yang berkaitan
dengan segiempat dan segitiga dikembangkan teori-teori untuk mengukur segi
lainnya, termasuk lingkaran. Dengan dasar pengetahuan bangun datar dua dimensi
maka dikembangkan pengetahuan untuk mengukur bangun ruang tiga dimensi.
C. Kesulitan Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika
Menurut Hudiono (2008), masalah utama yang dihadapi siswa SMP adalah
lemahnya daya representasi dalam menyelesaikan permasalahan matematika.
Padahal sasaran pembelajaran matematika di antaranya adalah mengembangkan
kemampuan siswa dalam berfikir secara matematika (think mathematically).
Pengembangan kemampuan ini sangat diperlukan agar siswa lebih memahami
konsep yang dipelajari dan dapat menerapkannya dalam berbagai situasi.
Ada lima standar yang mendeskripsikan keterkaitan pemahaman
matematika dan kompetensi matematika yang perlu dimiliki siswa yaitu: problem
solving, reasoning and proof, communication, connections, and representation
(National Council of Teachers of Mathematics. (2000) Principles and Standards
for School Mathematics. Reston, VA, NCTM p. 29.
Kemampuan representasi matematika yang dimiliki seseorang, selain
menunjukkan tingkat pemahaman, juga terkait erat dengan kemampuan
30. pemecahan masalah dalam matematika. Suatu masalah yang dianggap rumit dan
kompleks, bisa menjadi lebih sederhana jika strategi dan pemanfaatan representasi
matematika yang digunakan sesuai dengan permasalahan tersebut. Kemampuan
representasi yang pada akhirnya menjadi kemampuan melakukan pemecahan
masalah matematika terkait erat dengan kemampuan berfikir logis.
Salah satu keterampilan matematika yang sangat erat kaitannya dengan
karakteristik matematika adalah berfikir logis, karena matematika dipahami
melalui penalaran atau berfikir logis dan penalaran dipahami serta dilatih melalui
belajar matematika. Kemampuan penalaran atau berfikir logis perlu
dikembangkan karena dapat meningkatkan kemampuan dalam matematika, dari
sekadar mengingat kepada kemampuan pemahaman. Audiblox (2006)
menyatakan, … logical thinking: helping children to become smarter. (berfikir
logis membantu anak menjadi lebih cerdas). Namun demikian di sekolah terdapat
banyak kelainan yang menyebabkan kemampuan siswa dalam hal berfikir logis
masih jauh dari memuaskan.
Menurut Saragih (2008), hasil belajar matematika siswa sampai saat ini
masih menjadi suatu permasalahan yang sering dikumandangkan baik oleh orang
tua siswa maupun oleh pakar pendidikan matematika itu sendiri. Hasil penelitian
yang dilakukan Suyanto dan Somerset di beberapa Propinsi di Indonesia,
menemukan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika siswa SMP sangat rendah,
terutama pada soal aplikasi matematika.
Suryadi (2005) dalam thesisnya menemukan bahwa siswa kelas dua SMP
di Kota dan Kabupaten Bandung mengalami kesulitan dalam mengajukan
argumentasi serta menemukan pola dan pengajuan bentuk umumnya.
31. Priatna (2003) melakukan penelitian di Kota Bandung menemukan
kenyataan sebagai berikut: Setelah mendapat penjelasan mengenai segitiga sama
sisi dan segitiga sama kaki, dimana guru mengungkapkan bahwa semua segitiga
sama sisi adalah segitiga sama kaki. Ketika diberikan soal dengan diketahui
panjang salah satu sisi dan dua buah sudut, banyak siswa yang mempersepsi
segitiga sama kaki semua sisinya sama sehingga menghitung keliling dengan
mengalikan tiga panjang sisinya. Kemampuan Secara umum kesulitan siswa
dalam aspek kemampuan berfikir logis berturut-turut pada kemampuan berfikir
deduktif (aspek silogisma dan aspek kondisional) dan kemampuan berfikir
induktif (aspek generalisasi dan aspek analogi).
Rendahnya hasil belajar di atas merupakan hal yang wajar jika dikaitkan
dengan proses pembelajaran di kelas selama ini menggunakan metode kuliah,
dimana guru sekadar menyampaikan informasi dan siswa sekadar mendengar
serta menyalin. Sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab. Pada akhir
pembelajaran guru menjelaskan cara mengerjakan contoh soal dilanjutkan dengan
memberi soal latihan untuk dikerjakan kemudian guru memberikan penilaian.
Soal latihan umumnya bersipat rutin dan kurang melatih daya nalar. Siswa
menjadi robot yang harus mengikuti aturan dan prosedur dalam kegiatan
pembelajaran yang mekanistik. Rendahnya pemahaman konsep matematika
menyebabkan siswa tidak dapat menggunakannya ketika diberi permasalahan
yang agak kompleks.
Menyikapi permasalahan di atas Cooney menyarankan reformasi
pembelajaran matematika dari pendekatan belajar meniru (menghapal) ke belajar
pemahaman yang berlandaskan pada konsep knowing mathematics is doing
mathematics. Pembelajaran lebih menekankan kepada doing atau proses
32. dibanding knowing that. Perubahan di atas dimaksudkan agar pembelajaran lebih
memfokuskan pada proses yang menggiatkan siswa untuk menemukan kembali
(reinventing) konsep-konsep, melakukan refleksi, abstraksi, formalisasi dan
aplikasi.
Untuk mendukung proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa
diperlukan pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan kepada
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) yang disesuaikan dengan
tingkat kognitif siswa, serta menggunakan metode evaluasi yang terintegrasi pada
proses pembelajaran, tidak hanya tes pada akhir pembelajaran, formatif atau
sumatif. Matematika merupakan kegiatan manusia, oleh karenanya salah satu
alternatif yang sesuai dengan tuntutan perubahan adalah diterapkannya
Pendekatan Matematika Realistik (PMR) yang lebih menekankan aktivitas siswa
untuk mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang
diperlukan.
Ruseffendi (2001) menyatakan bahwa membudayakan berfikir logis atau
kemampuan penalaran serta bersikap kritis dan kreatif, proses pembelajaran dapat
dilakukan dengan Pendekatan Matematika Realistik. PMR secara garis besar
memiliki lima karakteristik, yaitu: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2)
menggunakan model, (3) kontribusi siswa, (4) terjadinya interaksi dalam proses
pembelajaran dan (5) menerapkan berbagai teori pembelajaran yang relevan,
saling terkait dan terintegrasi dengan topik.
Menurut Sabandar (2001), kontekstual memainkan peranan utama dalam
semua aspek pendidikan, yaitu dalam pembentukan konsep, pembentukan model,
aplikasi dan dalam mempraktekkan keterampilan. Dalam pelaksanaan di kelas,
33. konteks digunakan sejak awal dan terus menerus untuk membangun pemahaman
siswa melalui learning trajectory dalam suatu proses pembelajaran.
Proses penyelesaian soal kontekstual dilakukan dengan menggunakan
model. Pemodelan berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan
matematika tidak formal dan metematika formal dari siswa. Siswa
mengembangkan model tersebut dengan model-model matematika (formal dan
tidak formal) yang telah diketahuinya dengan menyelesaikan soal kontekstual dari
situasi nyata (real) yang sudah dikenal siswa sehingga ditemukan model dari
bentuk informal kemudian menemukan model dalam bentuk formal. Akhirnya
siswa mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk matematika yang standar.
Terciptanya keragaman pemodelan dari masalah kontekstual sangat
penting bagi guru untuk mengetahui kemampuan siswa menemukan hubungan
bagian-bagian dari masalah kontekstual melalui penskemaan, perumusan dan
visualisasi sekaligus sebagai pertimbangan untuk memberikan bimbingan.
Menurut Ruseffendi (1979) ada tiga macam model yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran, yaitu: model kongkrit, model diagram dan model abstrak
atau symbol.
D. Pergeseran Konsep Pembelajaran
Adanya kebijakan peningkatan jaminan kualitas lulusan SMP membawa
konsekuensi dalam bidang pendidikan, antara lain perubahan dari model
pembelajaran yang mengajarkan mata-mata pelajaran (subject matter based
program) ke model pembelajaran berbasis kompetensi (competencies based
program). Model pembelajaran berbasis kompetensi bermaksud menuntun proses
pembelajaran secara langsung berorientasi pada kompetensi atau satuan-satuan
34. kemampuan. Pengajaran berbasis kompetensi menuntut perubahan kemasan
kurikulum, dari model lama berbentuk silabus yang berisi uraian mata pelajaran
yang harus diajar ke dalam kemasan yang berbentuk paket-paket kompetensi. Hal
ini membawa konsekuensi bahwa proses pembelajaran harus berorientasi pada
pembentukan seperangkat kompetensi sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal
demikian menuntut kemampuan guru dalam merancang model pembelajaran
yang sesuai dengan karakteristik bidang kajian dan karakteristik siswa agar
mencapai hasil yang maksimal. Oleh kerana itu peran guru dalam konteks
pembelajaran menuntut perubahan, antara lain: (a) peranan guru sebagai penyebar
informasi semakin kecil, tetapi lebih banyak berfungsi sebagai pembimbing,
penasehat, dan pendorong; (b) peserta didik adalah individu-individu yang
kompleks, yang berarti bahwa mereka mempunyai perbedaan cara belajar sesuatu
yang berbeda pula; (c) proses belajar mengajar lebih ditekankan pada belajar
daripada mengajar (Laster, 1985).
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan
pergeseran peran guru dalam pembelajaran, yaitu: (a) Cara pandang guru terhadap
siswa perlu diubah. Siswa bukan lagi sebagai obyek pengajaran, tetapi siswa
sebagai pelaku aktif dalam proses pembelajaran. Dalam diri siswa terdapat
berbagai potensi yang siap dikembangkan. Oleh katena itu dalam konteks
pembelajaran guru diharapkan mampu memberikan dorongan kepada siswa untuk
mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan (b) Guru
diharapkan mampu mengajarkan bagaimana siswa bisa berhubungan dengan
masalah yang dihadapi dan mengatasi persoalan yang muncul di masyarakat.
Antara lain dengan cara memberikan tantangan yang berupa kasus-kasus yang
sering terjadi di masyarakat yang terkait bidang studi. Melalui kegiatan tersebut
35. diharapkan siswa dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya, yang pada
akhirnya dapat digunakan sebagai bekal kemandirian dalam menghadapi berbagai
tantangan di masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi diharapkan bisa ikut ambil bagian
dalam mengembangkan potensi masyarakatnya.
1. Prinsip Pembelajaran Kompetensi
Prinsip pembelajaran yang dikembangkan untuk mencapai keefektifan
dan efisiensi pengelolaan pembelajaran di SMP, antara lain:
a. Pembelajaran berfokus pada siswa (student cenrtered), artinya siswa
menjadi subyek pembelajaran dan kecepatan belajar siswa yang tidak
sama perlu diperhatikan.
b. Pembelajaran terpadu (integrated learning), maksudnya pengelolaan
pembelajaran dilakukan secara integratif. Semua tujuan pembelajaran
yang berupa kemampuan dasar yang ingin dicapai bermuara pada satu
tujuan akhir, yaitu mencapai kemampuan dasar lulusan.
c. Pembelajaran individu (individual learning), artinya siswa memiliki
peluang untuk melakukan pembelajaran secara individual.
d. Belajar tuntas (mastery learning), maksudnya pembelajaran mengacu
pada ketuntasan belajar kemampuan dasar melalui pemecahan masalah.
Setiap individu dan kelompok harus menuntaskan pembelajaran satu
kemampuan dasar baru belajar ke kemampuan dasar berikutnya.
e. Pemecahan masalah (problem solving), artinya proses dan hasil
pembelajaran mengacu pada aktifitas pemecahan masalah yang ada di
masyarakat, yaitu dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual.
36. f. Experience-based learning, yakni pembelajaran dilaksanakan melalui
pengalaman-pengalaman belajar tertentu dalam mencapai kemampuan
belajar tertentu.
g. Selain pemanfaatan prinsi-prinsip tersebut, guru dimungkinkan
menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran lain yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan.
2. Belajar aktif
Winkel (1996) mendefinisikan belajar sebagai suatu aktivitas
mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, nilai, dan sikap. Perubahan itu bersifat tetap dan berbekas.
Belajar dapat dipandang sebagai usaha untuk melakukan proses perubahan
tingkah laku kearah menetap sebagai pengalaman berinteraksi dengan
lingkungannya.
Belajar aktif merupakan perkembangan dari teori Dewey learning by
doing (1859-1952). Dewey sangat tidak setuju pada rote learning “belajar
dengan menghafal”. Dewey merupakan pendiri sekolah Dewey School yang
menerapkan prinsip-prinsip learning by doing, yaitu bahwa siswa perlu
terlibat dalam proses belajar secara spontan. Keingintahuan siswa akan hal-
hal yang belum diketahuinya mendorong keterlibatannya secara aktif dalam
suatu proses belajar. Menurut Dewey, guru berperan untuk menyediakan
sarana bagi siswa untuk dapat belajar. Dengan peran serta siswa dan guru
dalam belajar aktif, akan tercipta suatu pengalaman belajar yang bermakna.
Belajar aktif mengandung berbagai kiat yang berguna untuk
menumbuhkan kemampuan belajar aktif pada diri siswa dan menggali potensi
37. siswa dan guru untuk sama-sama berkembang dan berbagi pengetahuan,
keterampilan, serta pengalaman. Melalui pendekatan belajar aktif, siswa
diharapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas
belajar dan potensi yang dimilikinya.
Belajar aktif menuntut guru bekerja secara profesional, mengajar
secara sistematis, dan berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif
dan efisien. Artinya, guru dapat merekayasa model pembelajaran yang
dilaksanakan secara sistematis dan menjadikan proses pembelajaran sebagai
pengalaman yang bermakna bagi siswa. Untuk itu guru diharapkan memiliki
kemampuan:
a. Memanfaatkan sumber belajar di lingkungannya
secara optimal dalam proses pembelajaran.
b. Berkreasi dan mengembangkan gagasan baru.
c. Mengurangi kesenjangan pengetahuan yang
diperoleh siswa dari sekolah dengan pengetahuan yang diperoleh di
masyarakat.
d. Memperjelas relevansi dan keterkaitan mata
pelajaran bidang ilmu dengan kebutuhan sehari-hari dalam
masyarakat.
e. Mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku siswa secara bertahap dan utuh.
f. Memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat
berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya.
g. Menerapkan prinsip-prinsip belajar aktif.
38. Dengan demikian, belajar aktif diasumsikan sebagai pendekatan
belajar yang efektif untuk dapat membentuk siswa sebagai manusia
seutuhnya yang mempunyai kemampuan untuk belajar mandiri sepanjang
hayatnya, dan untuk membina profesionalisme guru.
3. Pembelajaran Efektif
Pembelajaran efektif adalah pembelajaran dimana siswa memperoleh
keterampilan-keterampilan yang spesifik, pengetahuan dan sikap serta
merupakan pembelajaran yang disenangi siswa. Intinya bahwa pembelajaran
dikatakan efektif apabila terjadi perubahan-perubahan pada aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor (Reiser Robert, 1996).
a. Ciri-ciri pembelajaran efektif:
o Aktif bukan pasif
o Kovert bukan overt
o Kompleks bukan sederhana
o Dipengaruhi perbedaan individual siswa
o Dipengaruhi oleh berbagai konteks belajar
b. Kriteria Pembelajaran Efektif:
o Kecermatan penguasaan
o Kecepatan unjuk kerja
o Tingkat alih belajar
o Tingkat retensi (Reigeluth & Merril, 1989)
4. Perencanaan Pembelajaran
Mengajar atau “teaching” adalah membantu siswa memperoleh
informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk
39. mengekpresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar (Joyce dan
Well, 1996). Pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Secara
implisit dalam pengertian ini terdapat kegiatan memilih, menetapkan,
mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang
diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode ini didasarkan
pada kondisi pembelajaran yang ada.
Kegiatan-kegiatan ini pada dasarnya merupakan inti dari perencanaan
pembelajaran. Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakekat
perencanaan atau perancangan (disain) sebagai upaya untuk membelajarkan
siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, siswa tidak berinteraksi dengan guru
sebagai salah satu sumber belajar, tetapi berinteraksi dengan keseluruhan
sumber belajar yang mungkin dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Oleh karena itu pembelajaran menaruh perhatian pada “bagaimana
membelajarkan siswa”, dan bukan pada “apa yang dipelajari siswa”. Dengan
demikian perlu diperhatikan adalah bagaimana cara mengorganisasi
pembelajaran, bagiaman cara menyampaikan isi pembelajaran, dan
bagaimana menata interaksi antara sumber-sumber belajar yang ada agar
dapat berfungsi secara optimal.
Rancangan Pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Pembelajaran diselenggarakan dengan
pengalaman nyata dan lingkungan otentik, karena hal ini diperlukan
untuk memungkinkan seseorang berproses dalam belajar (belajar
untuk memahami, belajar untuk berkarya, dan melakukan kegiatan
nyata) secara maksimal.
40. b. Isi pembelajaran harus didesain agar relevan
dengan karakteristik siswa karena pembelajaran difungsikan sebagai
mekanisme adaptif dalam proses konstruksi, dekonstruksi dan
rekonstruksi pengetahuan, sikap, dan kemampuan.
c. Menyediakan media dan sumber belajar yang
dibutuhkan. Ketersediaan media dan sumber belajar yang
memungkinkan siswa memperoleh pengalaman belajar secara
konkrit, luas, dan mendalam, adalah hal yang perlu diupayakan oleh
guru yang profesional dan peduli terhadap keberhasilan belajar
siswanya.
d. Penilaian hasil belajar terhadap siswa dilakukan
secara formatif sebagai diagnosis untuk menyediakan pengalaman
belajar secara berkesinambungan dan dalam bingkai belajar
sepanjang hayat (life long contiuning education).
E. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk
kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke
siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
41. Landasan filosofi pembelajaran kontekstual adalah konstruktivisme, yaitu
filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal,
harus dikonstruksikan pengetahuan dalam benak siswa.
Siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa
mereka, dan bagaimana mencapainya. Siswa perlu menyadari bahwa yang mereka
pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan demikian siswa memposisikan
sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka
mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa
mencapai tujuan belajar. Oleh karena itu guru lebih banyak berurusan dengan
strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah
tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota
kelas (siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan, keterampilan) datang dari
menemukan sendiri, bukan dari apa kata guru.
1. Perbedaan pembelajaran kontektual dan konvensional
Pola pembelajaran kontekstual berbeda dengan pembelajaran
konvensional yang selama ini dikenal. Perbedaan tersebut tergambar dalam
tabel berikut.
Tabel 2.1
Perbedaan Pembelajaran kontekstual dengan Konvensional
Pembelajaran Konvensional Pembelajaran Kontektual
• Menyandarkan pada • Menyandarkan pada memori
hafalan. spasial.
• Pemilihan informasi • Pemilihan informasi
ditentukan oleh guru. berdasarkan kebutuhan individu
siswa.
42. • Cenderung terfokus pada • Cenderung
satu bidang tertentu. mengintegrasikan beberapa
bidang.
• Memberikan tumpukan • Selalu mengkaitkan
informasi kepada siswa sampai informasi dengan pengetahuan
pada saatnya diperlukan. awal yang telah dimiliki siswa.
• Penilaian hasil belajar • Menerapkan penilaian
hanya melalui kegiatan auntentik melalui penerapan
akademik berupa ujian ulangan. praktis dalam pemecahan
masalah.
2. Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual.
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika
menerapkan komponennya, dalam pembelajaran Pendekatan kontekstual
memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism),
menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang
sebenarnya (authentic assessment).
a. Konstruktivisme (Constructivism)
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konsteks yang terbatas dan tidak sekonyong-
konyong. (Bukan seperangkat fakta, konsep, kaidah untuk diingat).
b. Menemukan (Inquiry)
Pengetahuan + ketrampilan yang diperoleh siswa bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil menemukan sendiri
melalui: observasi, bertanya, hipotesis, pengumpulan data dan
penyimpulan.
c. Bertanya (Questioning)
43. Bertanya merupakan kegiatan guru untuk mendorong, menimbang
dan menilai kemampuan berfikir siswa.
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama, melalui:
1) Pembentukan kelompok kecil.
2) Pembentukan kelompok besar.
3) Mendatangkan ahli ke kelas.
4) Bekerja dengan kelas sederajat.
5) Kerja kelompok dengan kelas di atasnya.
6) Bekerja dengan masyarakat.
e. Pemodelan (Modelling)
Pembelajaran atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa
ditiru, misalnya cara melempar bola, contoh karya tulis, cara
menghafalkan bahasa Inggris, guru memberi contoh mengerjakan sesuatu,
cara memerlukan kata kunci dalam bacaan. Artinya ada model yang ditiru
dan diambil siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci.
Guru bukan satu-satunya model.
f. Refleksi (Refection)
Cara berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di
masa lalu.
g. Penilaian yang sebenarnya (Autentic Assesment)
3. Langkah-langkah Pembelajaran Kontekstual
Penerapan model pembelajaran kontekstual dalam kelas secara garis
besar mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
44. a. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna
dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
4. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa dalam konteks
bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang
sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual
siswa dan peran guru. Untuk itu guru dalam menggunakan pendekatan
pengajaran konekstual memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan
mental siswa (developmentally appropriate).
b. Membentuk group belajar yang saling ketergantungan
(interdependent learning group).
c. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri
(self regulated learning) yang mempunyai karakteristik: kesadaran
berfikir, penggunaan strategi, dan motivasi berkelanjutan.
d. Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of student).
e. Memperhatikan multi-intelegensi siswa (multiple intelligences),
spasial-verbal, linguistic-verbal, interpersonal, musikal ritmik,
45. naturalis, badan-kinestetika, intrapersonal, dan logismatematis.
(Gardner, 1993).
f. Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan
pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan
keterampilan berfikir tingkat tinggi.
g. Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment).
5. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
a. Adanya kerjasama.
b. Saling menunjang.
c. Menyenangkan, tidak membosankan.
d. Belajar dengan bergairah.
e. Pembelajaran terintegrasi.
f. Menggunakan bebagai sumber.
g. Siswa aktif.
h. Sharing dengan teman.
i. Siswa kritis, guru kreatif.
j. Laporan kepada orang tua bewujud, rapor, hasil karya siswa, laporan
praktikum, dan karangan siswa, dll.
6. Penilaian
Penilaian dilakukan dengan menggunakan penilaian authentik, yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Penilaian dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran
berlangsung.
b. Menggunakan penilaian formatif maupun sumatif.
c. Mengukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta.
46. d. Berkesinambungan.
e. Terintegrasi.
f. Digunakan sebagai umpan balik.
Hal-hal yang digunakan sebagai dasar penilaian prestasi siswa
meliputi:
• Penilaian kinerja (performance assessment).
• Observasi Sistematik (Systematic observation).
• Portofolio (portofolio).
• Jurnal Sain (Journal).
• Penilaian mencakup umpan balik dan berbagai bentuk refleksi
7. Mengembangkan sikap kritis dan kreatif siswa
Sebagai salah satu ciri pembelajaran kontekstual adalah sikap kritis
siswa dan kreatif guru dalam proses pembelajaran. Berfikir kritis dan kreatif
merupakan komponen utama berfikir tingkat tinggi (higher order thinking).
Proses berfikir tingkat tinggi harus dikembangkan pada setiap diri siswa. Hal
ini merupakan tugas guru, karena guru harus megembangkan potensi siswa
semaksimal mungkin hingga mencapai kemampuan yang tinggi pada setiap
diri siswa. Oleh karena itu pembelajaran dituntut dapat mengembangkan sikap
kritis dan kreativitas siswa. Sikap kritis dan kreatifitas siswa dapat
dikembangkan melalui pembelajaran yang berpusat pada otak kanan. Otak
kanan mempunyai kemampuan berfikir kreatif, holistik, spasial. sedangkan
otak kiri mengembangkan kemampuan berfikir rasional, analitis, linier. Otak
kiri mengendalikan wicara dan otak kanan mengendalikan tindakan. Tabel
berikut ditunjukkan perbedaan proses berfikir otak kiri dan kanan.
47. Berfikir Konvergen Berfikir Divergen
(Proses di belahan otak Kiri) (Proses di belahan otak kanan)
1. 1. Tertarik pada proses
Tertarik pada proses penemuan yang pengintegrasian dari bagian-
bersifat bagian-bagian dari suatu bagian suatu komponen menjadi
komponen. satu kesatuan yang bersifat utuh
dan menyeluruh.
2. Proses berfikir yang
2. bersifat relasional,
Proses berfikir analisis. konstruksional, dan membangun
suatu pola.
3. 3. Proses berfikir
Proses berfikir yang mementingkan simultan, dan parallel.
tata urutan secara sekuensial dan 4. Proses berfikir lintas
serial. ruang, tidak terikat pada waktu
4. kini.
Proses berfikir temporal, terikat pada 5. Proses berfikir yang
waktu kini. bersifat visual, lintas ruang dan
5. musikal.
Proses berfikir verbal, matematis,
notasi musikal.
Berikut disajikan berbagai perilaku dan kaitannya dengan berfikir
kreatif dan kritis pada diri siswa.
PERILAKU TERKAIT DENGAN
♦ Bosan dengan tugas rutin; ♦ Kreativitas.
menolak membuat pekerjaan ♦ Toleransi tinggi untuk makna
rumah. ganda.
♦ Tidak berminat terhadap ♦ Berfikir bebas, divergen.
detail dan pekerjaan kotor. ♦ Berani ambil resiko.
♦ Membuat lelucon atau ♦ Imaginatif, sensitive.
komentar pada saat tidak tepat.
♦ Menolak otoritas, tidak Motivasi
48. konformistis, keras kepala. ♦ Tekun dalam bidang yang
♦ Sukar beralih pada topik diminatinya.
lain. ♦ Intens dalam menghayati
♦ Emosional sensitif, perasaan dan nilai.
overacting, cepat marah atau ♦ Bebas.
menangis kalau ada yang salah.
♦ Kecenderungan dominasi. Berfikir kritis
♦ Sering tak setuju ide orang ♦ Dapat melihat kesenjangan antara
lain atau tak setuju ide gurunya. kenyataan dan kebenaran.
♦ Kritis terhadap diri, tak ♦ Mengacu pada hal-hal yang ideal.
sabar menghadapi kegagalan. ♦ Mampu menganalisis dan
♦ Kritis terhadap guru dan evaluasi.
orang lain.
Dengan merujuk kepada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa: (1)
Hasil belajar siswa SMP pada saat ini masih belum memuaskan; (2) Siswa harus
dimotivasi agar lebih bersemangat dalam meningkatkan kemampuannya dalam
hal matematika, karena matematika merupakan pengetahuan yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari; (3) Agar siswa bersemangat maka pembelajaran
harus menarik, dalam arti prosesnya menyenangkan dan materinya tidak terasa
sulit; dan (4) Pendekatan kontekstual menyajikan hal-hal keseharian yang mudah
difahami oleh siswa dan menekankan kepada keceriaan serta berorientasi kepada
peningkatan kemampuan berfikir logis. Dengan demikian pendekatan kontekstual
sangat cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika dan dianggap
dapat meningkatkan kemampuan siswa SMP dalam menyelesaikan masalah
matematika.
49.
50. BAB III
METODE PENELITIAN
A. Penelitian Tindakan Kelas
Dengan melakukan penelitian ilmiah manusia mencoba mempertanyakan,
menemukan, dan memanfaatkan pengetahuan yang benar. Menurut (Musnir &
Gunawan, 1998/1999:12), ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam
penelitian, yaitu:
• Pendekatan positivistik, yang berupaya untuk mengkaji dan menguji
pengetahuan. Bentuknya dapat berupa uji hipotesis, uji teori, uji model, uji
validitas, uji reliabilitas, perbandingan efektivitas/efesiensi, dsb.
• Pendekatan penelitian naturalistik, yang berupaya mencari pengetahuan
dengan cara menggali pengetahuan baru dari kompleksitas suatu tatanan
komunitas ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
keamanan, dsb.
• Pendekatan penelitian tindakan atau action research, yang merupakan
pendekatan penelitian untuk menggunakan/memanfaatkan pengetahuan
dalam dunia nyata.
Penelitian tindakan atau action research merupakan salah satu pendekatan
yang digunakan dalam penelitian untuk memahami realita. Penelitian tindakan
berpijak pada pendekatan yang yang bersifat kualitatif. Pendekatan penelitian
tindakan relatif baru, ia memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendekatan
penelitian konvensional yang biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif.
Pendekatan penelitian tindakan ini mulai banyak digunakan dalam
berbagai profesi, termasuk dalam profesi pendidikan. Penelitian pendidikan
51. memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah. Dalam melakukan penelitian pendidikan terhadap praktek
pembelajaran di persekolahan, dapat digunakan berbagai pendekatan dan model
penelitian. Salah satu model penelitian yang tepat untuk meneliti dan sekaligus
memperbaiki pembelajaran di sekolah adalah model penelitian tindakan kelas
(classroom action research).
Pengertian Penelitian Tindakan Kelas
D. Hopkins (1993:44) memberikan definisi tentang action research
sebagai berikut:
… a form of self-reflective inquiry undertaken by participants in a social
(including educational) situation in order to improve the rationality and
justice of (a) their own social or educational practices, (b) their
understanding of these practices, and (c) the situations in which practices
are carried out.
Secara singkat penelitian tindakan menurut Hopkins dapat
didefinisikan sebagai suatu bentuk pengkajian yang bersifat reflektif oleh
pelaku tindakan (partisipan), dalam suatu situasi sosial (termasuk pendidikan)
dalam upaya untuk meningkatkan kemantapan rasional dan keadilan dari: (a)
praktek sosial atau pendidikan mereka, (b) pemahaman mereka terhadap
praktek tersebut, dan (c) memperbaiki kondisi dimana praktek-praktek
pembelajaran tersebut dilakukan.
Stringer (1996:15) mengemukakan definisi tentang action research
sebagai berikut:
… is a collaborative approach to inquiry or investigation that provides people
with the means to take systematic action to resolve specific problems. This
approach to research favors consensual and participatory procedures that
enable people (a) to investigate systematically their problems and issues, (b) to
formulate powerful and sophisticated accounts of their situations, and (c) to
devise plans to deal with the problems at hand.
52. Jadi menurut Stringer penelitian tindakan merupakan suatu pendekatan
kerja sama (kolaboratif) dalam penelitian atau pengkajian yang menyediakan
sarana bagi seseorang untuk melakukan tindakan sistematis dalam
memecahkan masalah-masalah khusus. Pendekatan penelitian ini lebih
menyenangi prosedur kesepakatan dan partisipatif yang memungkinkan orang
untuk (a) meneliti masalah-masalah mereka secara sistematis, (b) merumuskan
catatan situasi mereka secara berkekuatan dan canggih, dan (c)
mengembangkan rencana untuk mengatasi masalah-masalah yang dekat
tersebut.
Dengan melihat definisi di atas, maka penelitian tindakan bukan
sekedar kegiatan meneliti untuk meneliti, atau sekedar menemukan
pengetahuan baru, melainkan lebih diarahkan pada tindakan praktis, yakni
untuk menentukan suatu tindakan guna memecahkan masalah tertentu.
Penelitian tindakan ini membantu seseorang menemukan masalahnya secara
sistematis sampai kemudian membuat perencanaan untuk mengatasi masalah
tersebut. Penelitian tindakan dapat diterapkan oleh para praktisi di berbagai
bidang seperti praktisi pendidikan, kesehatan, pekerja sosial, pengembang
ekonomi, pembangunan organisasi, dan sebagainya.
Grundy dan Kemmis (Zuber-Skerritt, 1996:5) menyatakan:
Action research is research into practice, by practitioners, for
practitioners…In action research, all actors involved in the research
process are equal participants, and must be involved in every stage of the
research…The kind of involvement required is collaborative involvement.
It requires a special kind of communication…which has bee described as
‘symmetrical communication’…which allows all participants to be
partners of communication on equal terms…Collaborative participation in
theoretical, practical and political discourse is thus a hallmark of action
research and the action researcher.
53. Dalam pandangan ini penelitian tindakan ditekankan sebagai sebuah
kegiatan penelitian untuk keperluan praktis (terapan) yang dapat dilakukan
oleh para praktisi dan untuk para praktisi. Dalam penelitian tindakan, semua
aktor (pelaku) yang terlibat dalam proses penelitian adalah partisipan yang
sederajat, karakteristik utamanya adalah adanya keterlibatan secara kolaboratif
atau kerjasama antara yang meneliti dengan yang diteliti.
Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan (action research) adalah penelitian yang berkaitan
dengan manusia; dengan kata lain, penelitian yang meneliti manusia. Menurut
Guba (Stringer, 1996:ix) suatu penelitian yang meneliti manusia perlu
memenuhi tiga karakteristik, yaitu: desentralisasi, deregulasi, dan kerjasama
dalam pelaksanaannya.
Desentralisasi diartikan sebagai suatu perpindahan dari upaya untuk
menemukan “kebenaran” yang tergeneralisasi ke arah suatu penekanan pada
konteks lokal. Desentralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan
antara hukum-hukum yang umum dengan aplikasi yang khusus. Dengan
pengetahuan yang mendalam tentang konteks lokal, seseorang diharapkan
dapat menemukan pemecahan terhadap masalah-masalah local. Oleh karena
itu penelitian didesentralisasi pada konteks lokal.
Deregulasi merupakan langkah penelitian yang mencoba lepas dari
ketatnya ikatan regulasi penelitian konvensional, seperti: validitas, reliabilitas,
objektivitas, dan generalisasi. Penelitian tindakan mengkaji kehidupan sosial
yang tergantung pada konstruksi mental atau interpretasi mental. Penelitian
tidak menemukan pengetahuan dengan mengamati alam dari satu arah, tetapi
54. penelitian secara langsung diciptakan melalui interaksi antara si peneliti
dengan “objek” (konstruk) yang diteliti.
Kerjasama dalam pelaksanaan diartikan untuk mengindikasikan gaya
penelitian dimana tidak ada perbedaan fungsi antara peneliti dengan yang
diteliti. Keduanya didefinisikan sebagai partisipan yang memiliki kedudukan
sama dalam menentukan pertanyaan apa yang akan ditanyakan, informasi apa
yang akan dianalisis, dan bagaimana kesimpulan dan tindakan yang akan
ditentukan.
Prinsip Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan ini mesti berpijak atas prinsip-prinsip seperti yang
diungkapkan oleh, antara lain, Stringer (1996:38):
a. Prinsip-prinsip hubungan dalam penelitian tindakan, mesti:
- Promote feelings of equality for all people involved (mendorong
perasaan kesederajatan bagi semua orang yang terlibat);
- Maintain harmony (mempertahankan keharmonisan);
- Avoid conflicts, where possible (menghindari konflik jika
mungkin);
- Resolve conflicts that arise, openly and dialogically
(menyelesaikan konflik yang muncul secara terbuka dan dialogis);
- Accept people as they are, not as some people think they ought to
be (menerima orang seperti apa adanya, bukan apa yang mereka
pikir seharusnya);
- Encourage personal, cooperative relationships, rather than
impersonal, competitive, conflictual, or authoritarian
relationships (mendorong hubungan pribadi dan kerja sama,
55. daripada hubungan yang tak mempribadi, kompetitif, penuh
pertentangan atau otoriter);
- Be sensitive to people’s feelings (bersifat sentifi terhadap perasaan
orang).
b. Prinsip dalam komunikasi yang efektif seseorang mesti:
- Listens attentively to people (mendengarkan orang dengan penuh
perhatian);
- Accepts and acts upon what they say (menerima dan bertindak
pada apa yang mereka katakan);
- Can be understood by everyone (dapat difahami oleh setiap
orang);
- Is truthful and sincere (jujur dan tulus);
- Acts in socially and culturally appropriate ways (bertindak dalam
cara yang pantas secara sosial dan budaya);
- Regularly advises others about what is happening (secara teratur
menasehati orang lain tentang apa yang terjadi).
c. Prinsip dalam partisipasi. Pastisipasi sangat efektif bila ia:
- Enables significant levels of active involvement (memungkinkan
keterlibatkan secara aktif pada tingkatan yang bermakna);
- Enables people to perform significant tasks (memungkinkan orang
untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna);
- Provides support for people as they learn to act for themselves
(memberikan dorongan bagi orang lain sebagaimana mereka
belajar bertindak bagi diri mereka sendiri);
56. - Encourages plans and activities that people are able to
accomplish themselves (mendorong rencana dan kegiatan yang
yang mampu dicapai oleh mereka sendiri);
- Deals personally with people rather than with their
representatives or agents (berhubungan dengan orang secara
pribadi dari pada melalui perwakilan atau agen mereka).
d. Prinsip inklusi dalam penelitian tindakan melibatkan:
- Maximization of the involvement of all relevant individuals
(memaksimalkan keterlibatan semua individu yang relevan);
- Inclusion of all groups affected (menyatukan semua kelompok
yang terpengaruhi);
- Inclusion of all relevant issues—social, economic, cultural,
political—rather than a focus on narrow administrative or
political agendas (menyatukan semua masalah yang relevan baik
sosial, ekonomi, budaya, dan politik, dari pada memfokuskan pada
agenda administratif atau politik yang sempit);
- Ensuring cooperation with other groups, agencies, and
organizations (memastikan kerja sama dengan kelompok, agen,
dan organisasi lain);
- Ensuring that all relevant groups benefit from activities
(memastikan bahwa semua kelompok yang relevan memperoleh
keuntungan dari kegiatan).
Siklus Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan memiliki langkah-langkah yang khas dan berbeda
dengan penelitian konvensional. Penelitian tindakan (action research)
57. memiliki langkah-langkah yang bersifat siklus (proses pengkajian berdaur),
yang bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya, tetapi kemudian kembali
pada tahap awal dengan suatu peningkatan. Daur tersebut secara sederhana
digambarkan pada bagan di bawah
RENCANA
MERENCANAK MELAKUKAN
AN TINDAKAN
REFLEKSI
MENGAMATI MEREFLEKSI
TINDAKAN/OBSERVASI
Dengan mengadaptasi model Hopkin, Tim PGSM (199:7)
menggambarkan siklus penelitian tindakan kelas dalam bentuk spiral, seperti
REVISI
berikut:
RENCANA
REFLEKSI
TINDAKAN/OBSERVASI
REVISI
RENCANA
REFLEKSI
TINDAKAN/OBSERVASI
REVISI
58. Sementara itu Stringer (1996:16) mengemukakan langkah-langkah pokok
dalam siklus penelitian tindakan sebagai berikut:
Look : - Gather relevant information (gather data)
- Build a picture: Describe the situation (define and describe)
Think : - Explore and analyzes: What is happening here? (hypothesize)
- Interpret and explain: How/why are things as they are? (theorize)
Act : - Plan (report)
- Implement
- Evaluate
Langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas
Langkah-langkah pelaksanaan penelitian tindakan secara terinci
(Musnir dan Gunawan,1998/1999).
a. Mencari masalah penelitian.
b. Memilih masalah penelitian.
c. Mempertajam masalah penelitian.
d. Mengembangkan rancangan pemecahan masalah putaran pertama.
59. e. Melaksanakan pemecaham masalah putaran pertama.
f. Mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah putaran pertama.
g. Merevisi rancangan pemecahan masalah putaran pertama atau
mengembangkan rancangan pemecahan masalah putaran kedua.
h. Melaksanakan pemecahan masalah putaran kedua.
i. Mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah putaran kedua.
j. Merevisi rancangan pemecahan masalah putaran ketiga atau
mengembangkan rancangan pemecahan masalah putaran ketiga.
k. Melaksanakan pemecahan masalah putaran ke-n.
l. Mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah putaran ke-n.
m. Merevisi rancangan pemecahan masalah putaran ke-n atau
mengembangkan rancangan pemecahan masalah putaran ke-n+1.
n. Melaksanakan pemecahan masalah putaran ke-n+1.
o. Mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah putaran ke-n+1.
p. Membuat laporan hasil pemecahan masalah.
Rencana Penelitian Tindakan Kelas
a. Setting penelitian dan karakteristik subjek penelitian.
b. Variabel yang diselidiki.
c. Rencana tindakan.
d. Data dan cara pengumpulannya.
e. Indikator kinerja.
f. Tim peneliti dan tugasnya.
B. Variabel Penelitian
60. Penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan
dan kegunaan tertentu. Menurut Sugiono (2007:1), penelitian ilmiah didasarkan
pada cirri-ciri keilmuan yaitu, rasional, empiriss dan sistematis. Penelitian ini
dimaksudkan untuk menemukan hubungan antara fakta yang satu dengan fakta
lainnya. Salah satu bentuk hubungan dalam menjelaskan mengapa sesuatu ada
atau terjadi, adalah hubungan kasual.
Namun di sini perlu kiranya jenis-jenis variabel dan hubungan antar
variabel.
1. Hakikat Variabel dan Atribut
Variabel (nampak dari kata vary dan able) berarti "bisa beragam." Artinya,
variabel adalah konsep yang memiliki keragaman nilai.
Variabel adalah pengelompokan logis atribut-atribut, sebagai contoh: laki-
laki dan perempuan adalah atribut, sedangkan jenis kelamin atau gender
adalah variabel.
Atribut adalah ciri-ciri atau kualitas yang memaparkan suatu obyek -
dalam hal ini seseorang, misalnya: perempuan, berkebangsaan Timur,
terasing, konservatif, tak jujur, cerdas, petani, dan sebagainya.
2. Jenis-jenis Variabel
a. variabel diskrit (discrete variable).
b. variabel bersambungan (continuous variable).
Jenis Variabel Diperoleh dari kegiatan Contoh
DISKRIT MENGHITUNG Jumlah anak, jumlah sepeda
motor, jumlah …
BERSAMBUNGAN MENGUKUR Tinggi badan, bobot badan,
jarak rumah dengan tempat
61. kerja, dsb.
3. Sifat Variabel
a. Variabel Dependen (bebas) atau vriabel yang tidak terpengaruh,
disebut juga varibel peubah.
b. Variabel Independen atau variabel yang terpengaruh dan dapat
mengalami perubahan
Dalam Penelitian Tindakan Kelas ini ditetapkan variabel-variabel:
Variabel dependen adalah: Pembelajaran Kontekstual
Variabel Independen adalah: Kemampuan siswa dalam melakukan pemecahan
masalah matematika
C. Definisi Operasional
1. Prestasi Belajar
Prestasi diterjemahkan dari kata achievement yang berarti hasil yang
telah dicapai. Prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai melalui belajar.
Menurut Syaodih (2004:78) prestai belajar ada 10 yaitu: pengetahuan,
pemahaman, keterampilan berpikir, keterampiln umum, penyesuaian diri,
sikap, nilai, minat dan apresiasi. Masih ada banyak definisi dan uraian aspek-
aspeknya mengenai prestasi belajar, akan tetapi pada intinya prestasi belajar
yang terpenting adalah kecerdasan komprehensif. Tugas utama manusia
adalah menyelesaikan masalah, menurut Zohar (2004): dalam melahirkan
solusi, kontribusi kecerdasan spiritual dan emosional adalah 80 % dan
kecerdasan intelektual 20 %. Membina kecerdasan perlu memadukan
neurocortex-otak kiri (kecerdasan rasional/intelektual) dengan system limbic-
otak kanan (kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional).
62. 2. Pemecahan Masalah
Sebagaimana disebut di atas, bahwa tugas manusia adalah melakukan
pemecahan masalah. Suatu masalah adalah suatu situasi yang dirasakan
adanya sejumlah informasi yang hilang (ada kesenjangan). Pemecahan
masalah meliputi mencari pola – pola membuat prediksi, dan pengujian
prediksi .
Penyelesaian Masalah dilakukan ilmiah (Scientific Problem Solving)
atau dengan menggunakan intuisi secara kreatif (Creative Problem Solving).
Dalam konteks matematika Pemecahan Masalah adalah penyelesaian
persoalan-persoalan matematika dengan dengan menggunakan ukuran atau
data yang telah lebih dulu ditemukan atau dibuktikan. Dengan bekal data awal
maka diterapkan rumus yang berkaitan sehingga dapat ditemukan solusi atau
pemecahannya.
3. Pembelajaran Kontekstual
Menurut Dania (2006), Pembelajaran Kontekstual merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa karena
proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Guru matematika
idelanya mengambil peran sebagai mediator, bukan menyuapi siswa. Di dalam
kelas guru adalah instrumen pembelajaran yang utama, bukan sebagai
pengantar materi semata ataupun penyaji utama pelajaran.
63. D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan datanya dilakukan dengan cara :
1. Riset kepustakaan, yaitu pengumpulan data referensi-referensi tertulis,
meliputi buku-buku tentang pendidikan, pembelajaran, perkembangan
siswa, matematika dan dokumen tertulis yang berkaitan dengan topik
penelitian.
2. Pengamatan terlibat (participant observation) yaitu pengamatan langsung
pada obyek penelitian tanpa intervensi eksistensinya dan terjadi interaksi
antara peneliti dan yang diteliti.
3. Wawancara terbuka (open interview) dan mendalam, langkah ini
dilakukan untuk memperoleh jawaban yang tidak dibatasi dari informan.
Interview merupakan proses interaksi antara pewawancara dan responden.
4. Pengujian prestasi belajar melalui tes berkaitan dengan pokok bahasan
mata pelajaran matematika.
5. Kuisioner, yaitu serangkaian pertanyaan tertulis yang disebarkan kepada
siswa untuk mengumpulkan respon atas proses peneliti.
64. BAB IV
HASIL PENELITIAN TINDAKAN KELAS
A. Gambaran Penelitian
1. Perencanaan
Penelitian dilakukan di kelas VIII I SMP Negeri I Cicalengka. Materi
pembelajaran luas permukaan bangun ruang kelas VIII semester genap tahun
pelajaran 2008 – 2009. Materi termaksud meliputi luas permukaan kubus,
balok, limas dan prisma. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan selama bulan
Mei 2008, sebanyak tiga siklus ditambah siklus untuk pos tes. Pelaksanaan
penelitian melibatkan guru dan kepala sekolah terutama dalam pelaksanaan
pengamatan dan refleksi selama penelitian.
Siklus pertama merupakan penjajagan melalui test prasyarat dan
membangun dinamika kelompok. Sesi ini untuk mengondisikan siswa agar
siap mengikuti pembelajaran yang menekankan keperansertaan siswa.
Siklus kedua diawali dengan apersepsi mengenai materi pelajaran
bidang datar, khususnya persegi dan empat persegi panjang. Selanjutnya
dilakukan proses pembelajaran mengenai bangun ruang kubus dan balok.
Setelah proses pembelajaran diberikan tes yang langsung dianalisis.
Siklus ketiga diawali dengan apersepsi mengenai materi pelajaran
bidang datar, khususnya segitiga siku-siku, segitiga sama sisi dan segitiga
sama kaki. Selanjutnya dilakukan proses pembelajaran mengenai bangun
ruang Limas dan Prisma. Setelah proses pembelajaran diberikan tes.
Setelah dilaksanakan ketiga siklus di atas kemudian diberikan post tes
pada waktu tersendiri
65. 2. Tindakan
Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika melalui
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika.
3. Pengamatan
Dilaksanakan bersamaan dengan proses pembelajaran. pengamatan
tersebut meliputi kegiatan guru dan siswa; pengembangan materi
pembelajaran dan capaian hasil belajar siswa. Pengamatan dilakukan oleh
peneliti, guru pamong, wali kelas dan yang ditugasi oleh PKS bidang
kurikulum. Pengamatan dilakukan terhadap proses pembelajaran serta perilaku
guru peneliti dan siswa selama pembelajaran berlangsung.
4. Refleksi
Proses pembelajaran, hasil tes dan capaian hasil belajar pada umumnya
dianalisis untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi sekaligus mengukur
peningkatan kemampuan siswa. Hasil analisis sekaligus dijadikan bahan
pertimbangan untuk menyusun rencana perbaikan siklus berikutnya.
5. Diskusi
Dalam upaya mengidentifikasi masalah dan menghimpun gagasan
perbaikan yang lebih tepat, peneliti melakukan diskusi dengan guru pamong,
wali kelas dan PKS Bidang Kurikulum.
B. Penjelasan Siklus Pertama
66. Sebagaimana disebutkan di atas, siklus pertama merupakan penjajagan
maka pada siklus pertama ini dilasksanakan langkah-langkah pembelajaran
sebagai berikut:
1. Pembukaan
Setelah mengajak siswa membaca basmalah untuk memulai
pembelajaran, peneliti memperkenalkan diri sebagai guru yang akan
membimbing pembelajaran bangun ruang selama empat kali pertemuan.
Selanjutnya kepada siswa disampaikan pertanyaan, Berapa enam kali
delapan (6X8)? Hampir seluruh siswa berteriak menyebutkan empat puluh
delapan dengan keras. Kemudian disampaikan pertanyaan kedua, mengapa
enam kali delapan sama dengan empat puluh delapan? Kali ini semua siswa
bungkam. Lima belas detik pertama hening kemudian terjadi saling bisik
diantara siswa selama lebih dari satu menit.
Kemudian seorang siswa mengangkat tangan. Ketika dipersilahkan, ia
menjawab karena aturannya begitu. Kepada siswa yang lain ditanyakan
apakah setuju dengan jawaban tersebut, ada sebagian siswa.
Seorang siswa menyampaikan pendapatnya: karena enam nya ada
delapan jadi kalau dijumlahkan ada empat puluh delapan.
Kepada siswa dijelaskan, bahwa siswa yang menjawab pertanyaan,
lebih memiliki tingkat keberanian yang lebih tinggi. Menjawab dengan
mengemukakan alasannya lebih baik. Pendahuluan tersebut menghabiskan
waktu 5 menit
2. Test Prasyarat
Siswa mengerjakan tes prasyarat sebanyak 5 soal selama 10 menit.
Materi tes mengenai Persegi, persegi panjang, segitiga siku-siku, segitiga
67. sama kaki dan segitiga sama sisi. Tes prasyarat dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana siswa menguasai kemampuan menyelesaikan penghitungan
keliling dan luas bangun datar dua dimensi. Untuk menguasai bangun ruang
tiga dimensi, siswa terlebih dulu harus menguasai bangun datar.
3. Simulasi Pengakraban
Untuk lebih mengakrabkan antara siswa dengan guru dan di antara
sesama siswa, dilakukan proses perkenalan melalui simulasi:
a. Siswa diminta ke teras kemudian membagi diri menjadi dua kelompok
besar. Semua siswa, 48 orang hadir sehingga satu kelompok 24 orang.
b. Kedua kelompok diminta berjajar berhadap-hadapan, satu baris
membelakangi jendela satu lagi membelakangi halaman kelas. Waktu
yang terpakai dari keluar hingga berjejer dengan rapih selama 5 menit.
c. Selanjutnya siswa diminta berjejer dari kanan ke kiri secara alfabetis,
menurut huruf pertama nama panggilan. Waktu yang terpakai 4 menit.
d. Setelah berjejer rapih kemudian diverifikasi apakah posisinya benar?
Ternyata masih belum selaras karena yang huruf awalnya sama lebih
dari seorang dan urutan menurut huruf kedua belum tersusun.
e. Peserta mengatur kembali posisinya hingga benar-benar rapih. Waktu
yang terpakai 3 menit.
f. Setelah kedua barisan tersusun rapih, siswa diminta mengubah barisan,
kali ini yang paling kanan yang lebih dulu di lahirkan.
g. Seperti halnya pada cara berjejer pertama, terjadi revisi posisi dua kali
pada susunan barisan kedua. Waktu yang terpakai sampai barisan
benar-benar rapih adalah 6 menit.
68. h. Setelah barisan rapih, siswa diminta berjejer berdasarkan tinggi badan.
Kali ini siswa mengatur barisan dengan lebih cepat, hanya 3 menit.
i. Setelah rapih siswa diminta membentuk kelompok.
4. Pembagian kelompok
a. Setiap barisan selanjutnya diminta membagi diri menjadi empat
kelompok, satu kelompok enam orang. Anggotanya terserah selera
masing-masing. Pembentukan kelompok memerlukan waktu
lebih dari 10 menit, karena rebutan anggota.
b. Setelah terbentuk delapan kelompok, siswa dipersilahkan masuk
kembali ke dalam kelas dan duduk menurut kelompoknya masing-
masing. Dilihat dari jenis kelamin, satu kelompok anggotanya laki-laki
semua, dua kelompok perempuan semua, lima kelompok campuran
laki-laki dan perempuan.
c. Siswa kemudian diminta menetapkan pemimpin kelompok dan
memberi nama kelompoknya masing-masing. Nama kelompok bebas.
d. Setelah 5 menit nama kelompok dan pemimpin masing-masing
kelompok semuanya selesai ditetapkan.
Nama dan anggota kelompok dipresentasikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.1
Deskripsi Kelompok (satu kelompok enam siswa)
Nama Jumlah Warga Ketua Yel
Kelompok Lk Pr Kelompok Motto
Naruto 6 0 Laki-laki Narrrutto, Hebat Euy!