Untuk tindakan-tindakan elektif (terencana), informed request dianggap lebih mencerminkan patient-centered care yang menjadi standar mutu sekarang ini. Bagaimanakah perbedaan antara informed request dan informed consent? Temukan jawabannya di sini dan mulailah mengimplementasikannya di rumah sakit anda!
1. RAD Journal 2014:08:014
Informed Request versus Informed Consent?, Robertus Arian Datusanantyo | 1
Informed
Request
versus
Informed
Consent?
Robertus
Arian
Datusanantyo*
“…
consent,
as
it
is
known,
could
be
replaced
by
an
entirely
different
system
altogether:
a
system
whereby
patients
request
treatment
rather
than
consent
to
treatment
…”
(Shokrollahi,
2010)
Tahun
2008
penulis
menemani
seorang
pasien
tumor
hipofisis
berobat
ke
Malaka,
Malaysia.
Waktu
itu,
pasien
dilayani
seorang
ahli
bedah
saraf
asal
India
yang
nampak
sangat
tenang
dan
percaya
diri.
Sambil
sesekali
menerjemahkan
kata
dan
istilah
yang
tidak
dimengerti,
penulis
mengamati
cara
ahli
bedah
saraf
ini
bekerja
di
kliniknya.
Perhatian
penulis
terpusat
pada
penjelasan
rencana
operasi
dan
dampaknya
pada
pasien.
Saat
itulah
pertama
kali
penulis
mengenal
apa
yang
disebut
oleh
sang
ahli
bedah
saraf
sebagai
informed
request.
Berbeda
dengan
informed
consent,
pasien
diminta
untuk
membuat
informed
request.
Inti
dari
dokumen
ini
sebenarnya
sangat
sederhana:
dalam
bentuk
tertulis
meminta
dokter
melakukan
prosedur
tertentu
setelah
pasien
mendapat
penjelasan.
Setelah
era
undang-‐undang
praktek
kedokteran,
pelaksanaan
informed
consent
ini
begitu
bervariasi.
Peraturan
menteri
kesehatan
no.
290
tahun
2008
menjelaskan
bagaimana
informed
consent
harus
dilakukan.
Nampak
bahwa
pemerintah
menyadari
proses
informed
consent
masih
merupakan
“permintaan
persetujuan”
atau
bahkan
“permintaan
tanda
tangan”.
Sementara
banyak
rumah
sakit
mengejar
praktek
informed
consent
yang
baik
dan
sehat,
beberapa
spesialis
dan
rumah
sakit
besar
telah
mulai
melangkah
menuju
apa
yang
disebut
sebagai
informed
request.
Apa
itu
informed
request
dan
apakah
bedanya
dengan
informed
consent?
Gambar
1.
Perbedaan
proses
informed
consent
(kiri)
dan
informed
request
(kanan).
Adalah
tulisan
Kayvan
Shokrollahi,
seorang
ahli
bedah
plastik
dan
rekonstruksi
di
Inggris
yang
menginspirasi
penulis
mengenai
topik
ini.
Judul
tulisannya
adalah
“Request
for
Treatment:
the
evolution
of
consent”.
Sengaja
penulis
memberikan
istilah
informed
request
alih-‐alih
memakai
padan
kata
request
for
treatment
supaya
khalayak
tidak
terjebak
pada
istilah
“APS”
atau
atas
permintaan
pasien.
2. RAD Journal 2014:08:014
Informed Request versus Informed Consent?, Robertus Arian Datusanantyo | 2
Shokrollahi
menulis
bahwa
informed
request
menyelaraskan
asuhan
medis
dengan
kebutuhan
dan
pilihan
pasien.
Keselarasan
ini
terbukti
dapat
membawa
luaran
klinis
yang
lebih
baik.
Lebih
penting
dicatat
bahwa
dengan
informed
request,
prinsip
patient-‐centered
care
dapat
benar-‐benar
diaplikasi.
Informed
consent
mengubah
proses
inti
pengambilan
keputusan
yang
sangat
penting
pada
hubungan
dokter
dan
pasien,
yaitu
persetujuan.
Perbedaan
utama
antara
informed
consent
dan
informed
request
terletak
pada
proses
aktif
dari
pasien.
Pasien
mengisi
sendiri
bagian
dokumen
yang
berisi
prosedur,
manfaat,
risiko,
dan
komplikasi.
Bagian
ini
biasanya
diisi
oleh
dokter,
menyisakan
pasien
secara
pasif
memberikan
persetujuan.
Transformasi
ini
sangat
penting
dan
mendasar
karena
pasien
memerlukan
pemahaman
yang
mendalam
mengenai
rencana
terapi
sebelum
dapat
memberikan
request.
Pemahaman
itu
dapat
dicapai
hanya
dengan
satu
cara,
yaitu
intensitas
hubungan
aktif
antara
dokter
dan
pasien.
Lebih
lanjut
Shokrollahi
menulis
bahwa
informed
request
memerlukan
adanya
pengulangan
proses
diskusi
antara
dokter
dan
pasien
mengenai
rencana
tindakan,
manfaat,
dan
risikonya.
Pasien
kemudian
diminta
menuliskan
sendiri
apa
saja
informasi
yang
telah
diterima
dan
dipahaminya
dalam
pilihan
kalimat,
diksi,
dan
kata
pasien
sendiri.
Informasi
yang
ditulis
pasien
ini
sungguh
berharga
dan
dapat
menjadi
sumber
kekuatan
hukum
yang
kuat
mengenai
hubungan
kontraktual
kedua
belah
pihak.
Dengan
menuliskan
sendiri
pemahaman
mengenai
suatu
rencana
tindakan,
tingkat
pemahaman
pasien
dapat
dinilai
oleh
dokter.
Apabila
tingkat
pemahaman
belum
seperti
yang
diharapkan,
proses
pemberian
informasi
dapat
diulang.
Di
sisi
lain,
informed
consent
cenderung
memaparkan
pasien
dan
keluarga
pada
banyaknya
informasi
dalam
satu
kesempatan
sehingga
terasa
sangat
paternalistik
dan
pasif
dari
sisi
pasien.
Dalam
proses
informed
consent,
sulit
bagi
dokter
untuk
menilai
tingkat
pemahaman
pasien
dan/atau
keluarga
mengenai
informasi
yang
disampaikan.
Besarnya
informasi
yang
disampaikan
dalam
satu
waktu
bisa
sangat
banyak
dan
kompleks
sehingga
mustahil
dapat
dicerna
dengan
baik
oleh
pasien
dan/atau
keluarga.
Untuk
bisa
dimulai
aplikasinya
di
rumah
sakit,
sedikitnya
ada
dua
hal
penting
untuk
dipersiapkan.
Pertama,
informed
request
hanya
dapat
dipakai
untuk
rencana
tindakan
elektif.
Pada
tindakan
cito,
informed
request
tidak
dapat
dipakai
mengingat
panjangnya
proses.
Kedua,
dokter
dan
rumah
sakit
harus
menyediakan
sarana
pendidikan
pasien
dan
keluarga
yang
cukup
banyak
dan
menarik.
Ini
perlu,
mengingat
salah
satu
keunggulan
proses
informed
request
adalah
tingkat
pemahaman
pasien
yang
cukup
tinggi.
Demikian,
dapat
disimpulkan
bahwa
dokumen
informed
request
merupakan
bukti
pelayanan
berpusat
pada
pasien.
Mutu
pelayanan
rumah
sakit
dewasa
ini
diukur
dari
pelayanan
berpusat
pada
pasien.
Dokumen
informed
request,
berpotensi
menggeser
peran
informed
consent
untuk
tindakan
elektif.
Bagian
dokumen
yang
harus
diisi
sendiri
oleh
pasien
dapat
menjadi
indikator
pemahaman
pasien
mengenai
tindakan
yang
dilakukan.
Walau
nampak
sangat
menjanjikan
ditinjau
dari
sisi
pelayanan,
mutu,
dan
hukum,
pelaksanaan
informed
request
di
Indonesia
masih
terasa
jauh.
Memastikan
berjalannya
proses
informed
consent
saja
masih
sulit,
apalagi
informed
request.
Referensi
Utama
Shokrollahi,
K.
(2010).
Request
for
Treatment:
the
evolution
of
consent
.
Ann
R
Coll
Surg
Engl
(92),
93-‐100.
Keterangan
*Penulis
adalah
wakil
ketua
tim
akreditasi
Rumah
Sakit
Panti
Rapih.
Tulisan
ini
adalah
opini
pribadi
dan
telah
diterbitkan
di
Website
Mutu
Pelayanan
Kesehatan
sehingga
dapat
diakses
secara
gratis
di:
http://www.mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/article/1497