Teks tersebut membahas sistem triase berbasis bukti bernama Emergency Severity Index (ESI) yang dikembangkan di Amerika Serikat. ESI mengelompokkan pasien IGD dalam lima kategori berdasarkan kondisi kesehatan dan sumber daya yang dibutuhkan, berbeda dengan sistem triase konvensional yang hanya memiliki tiga kategori. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa ESI lebih cocok diterapkan di Indonesia karena perawat triase dapat dengan
Emergency Severity Index (ESI): Salah Satu Sistem Triase Berbasis Bukti
1. RAD Journal 2013:10:007
Emergency
Severity
Index
(ESI):
Salah
Satu
Sistem
Triase
Berbasis
Bukti
Robertus
Arian
Datusanantyo
(Kepala
Instalasi
Gawat
Darurat
RS
Panti
Rapih)
Instalasi
gawat
darurat
(IGD)
adalah
salah
satu
pintu
masuk
rumah
sakit.
Di
negara
maju,
IGD
adalah
antar
muka
rumah
sakit
dan
emergency
medical
service
(EMS).
Di
Indonesia,
EMS
hampir
tidak
bekerja
sebagai
sebuah
sistem.
Saat
ini
semakin
terasa
bahwa
IGD
seolah-‐olah
adalah
pintu
masuk
utama
ke
rumah
sakit.
Karena
jumlah
admisi
dari
IGD
tidak
dapat
direncanakan
dengan
tepat,
kerap
terjadi
sumber
daya
yang
tersedia
terbenam
dalam
kepadatan
pasien
yang
masuk
di
IGD
(Christ
et
al.
2010).
Kepadatan
ini
menurut
Institute
of
Medicine
di
Amerika
Serikat
dianggap
sebagai
krisis
nasional.
Kepadatan
pasien
IGD
selain
mengkompromi
keselamatan
pasien,
juga
mengancam
privasi
pasien
dan
membuat
frustasi
staf
IGD
(Oredsson
et
al.
2011).
Kondisi
ini
memerlukan
solusi
sistemik
yang
disebut
sebagai
triase.
Triase
pada
dasarnya
adalah
proses
kategorisasi.
Mace
&
Mayer
(2008)
menulis
bahwa
triase
adalah
prioritisasi
pasien
berdasarkan
penyakit,
keparahan,
prognosis,
dan
ketersediaan
sumber
daya.
Definisi
ini
lebih
tepat
diaplikasi
pada
keadaan
bencana
atau
korban
massal.
Dalam
kegawatdaruratan
sehari-‐hari,
triase
lebih
tepat
dikatakan
sebagai
metode
untuk
secara
cepat
menilai
keparahan
kondisi,
menetapkan
prioritas,
dan
memindahkan
pasien
ke
tempat
yang
paling
tepat
untuk
perawatan
(Christ
et
al.
2010).
Sebagian
besar
rumah
sakit
di
Indonesia
masih
mempergunakan
sistem
triase
“klasik”.
Sistem
triase
ini
sebenarnya
mengadaptasi
sistem
triase
bencana,
dengan
membuat
kategori
cepat
dengan
warna
hitam,
merah,
kuning,
dan
hijau.
Hitam
adalah
pasien
meninggal,
merah
adalah
pasien
gawat
(ada
gangguan
jalan
nafas,
pernafasan,
atau
sirkulasi),
kuning
adalah
pasien
darurat,
dan
sisanya
hijau.
Sistem
tiga
level
ini
tidak
cocok
diaplikasi
pada
IGD
rumah
sakit
modern
yang
perlu
mempertimbangkan
evidence-‐based
medicine
atau
kedokteran
berbasis
bukti.
Sejauh
penelusuran
yang
bisa
dilakukan
penulis,
ada
beberapa
sistem
triase
berbasis
bukti
yang
bisa
diacu.
Sistem
tersebut
antara
lain
CTAS
(Canadian
Triage
and
Acuity
Scale)
dari
Canada,
MTS
(Manchester
Triage
Scale)
dari
Inggris,
ATS
(Australasian
Triage
Scale)
dari
Australia,
dan
ESI
(Emergency
Severity
Index)
dari
Amerika
Serikat.
Berbeda
dengan
sistem
triase
“klasik”,
sistem-‐
sistem
ini
mengelompokkan
pasien
masuk
dalam
lima
level
berjenjang.
Sistem
penjenjangan
lima
level
ini
lebih
terpercaya
dibanding
pengelompokan
tiga
level
seperti
pada
sistem
triase
“klasik”
(Christ
et
al.
2010;
Mace
&
Mayer
2008).
Emergency
Severity
Index
(ESI)
dikembangkan
sejak
akhir
tahun
sembilan
puluhan
di
Amerika
Serikat.
Sistem
ESI
bersandar
pada
perawat
dengan
pelatihan
triase
secara
spesifik.
Pasien
yang
masuk
digolongkan
dalam
ESI
1
sampai
ESI
5
sesuai
pada
kondisi
pasien
dan
sumber
daya
rumah
sakit
yang
diperlukan
oleh
pasien
(Christ
et
al.
2010;
Mace
&
Mayer
2008;
Gilboy
et
al.
2011).
ESI
akan
lebih
mudah
diterapkan
di
Indonesia
karena
tidak
ada
batas
waktu
spesifik
yang
ditentukan
secara
ketat
untuk
masing-‐masing
level.
Selain
itu,
ESI
tidak
secara
spesifik
mempertimbangkan
diagnosis
untuk
penentuan
level
triase.
Menarik
untuk
membahas
ESI
dalam
konteks
IGD
rumah
sakit
di
Indonesia.
Ada
sedikitnya
tiga
alasan
mengapa
ESI
lebih
cocok
diterapkan
di
sebagian
besar
IGD
di
Indonesia.
Perawat
triase
lebih
mudah
melihat
kondisi
dan
keparahan
dibandingkan
bekerja
sama
dengan
dokter
menegakkan
diagnosis.
Perawat
triase
bersama
dokter
jaga
akan
lebih
mudah
melihat
keparahan
kondisi
dan
mempertimbangkan
sumber
daya
apa
saja
yang
akan
digunakan
untuk
menangani
pasien
tersebut.
Menghitung
response
time
juga
merupakan
pekerjaan
sederhana
yang
tidak
mudah
dilakukan
di
IGD.
Ketiadaan
ketentuan
waktu
kapan
pasien
harus
dijumpai
oleh
dokter
menambah
daya
pikat
sistem
triase
ini.
Satu
tambahan
lagi.
Sistem
triase
ESI
mempergunakan
skala
nyeri
1-‐10,
sama
dengan
yang
secara
umum
dipakai
di
Indonesia.
Triase
ESI
bersandar
pada
empat
pertanyaan
dasar
(Gilboy
et
al.
2011).
Pertama:
apakah
pasien
memerlukan
intervensi
penyelamatan
jiwa?
Bila
ya,
maka
pasien
masuk
dalam
ESI
1.
Bila
Emergency Severity Index (ESI): Salah Satu Sistem Triase Berbasis Bukti, Robertus Arian Datusanantyo |
1
3. RAD Journal 2013:10:007
mengenai
triase
pada
anak-‐anak.
Bagian
ini
memberikan
petunjuk
yang
jelas
mengenai
apa
saja
yang
harus
diperiksa
ketika
melakukan
triase
pasien
anak-‐anak.
Inilah
yang
tidak
dijumpai
pada
sistem
triase
yang
lain.
Sebuah
penelitian
di
Eropa
(Elshove-‐Bolk
et
al.
2007)
juga
menambahkan
fakta
menarik
mengenai
ESI
pada
pasien
yang
datang
sendiri
ke
IGD.
Aslinya,
ESI
dibuat
dalam
konteks
IGD
sebagai
antar
muka
EMS
dan
pelayanan
rumah
sakit.
Walau
demikian,
penelitian
ini
menemukan
bahwa
sistem
triase
ESI
ini
juga
dapat
dipercaya
dan
dapat
diandalkan
pada
pasien-‐pasien
yang
datang
sendiri
ke
IGD.
Tidak
ada
modifikasi
yang
perlu
dilakukan
pada
algoritme
sistem
triase
ESI
untuk
pasien-‐pasien
yang
datang
sendiri
ke
IGD.
Di
Indonesia,
seperti
dijelaskan
di
atas,
sebagian
besar
pasien
datang
sendiri
ke
IGD
atau
diantar
keluarga
dan
kerabatnya.
Penelitian
Elshove-‐Bolk
et
al.
(2007)
tersebut
dapat
menjadi
acuan
bahwa
ESI
dapat
diterapkan
dengan
baik
pada
konteks
budaya
dan
sistem
kesehatan
di
Indonesia.
Penelitian
lain
di
Eropa
juga
menemukan
bahwa
perawat
triase
di
Jerman
dapat
dilatih
dengan
cepat
mempergunakan
sistem
ini
hanya
dengan
menerjemahkan
sistem
ke
bahasa
Jerman
tanpa
perlu
menyesuaikan
algoritme
(Christ
et
al.
2010).
Berbagai
uraian
di
atas
memberikan
pelajaran
baru
bagi
kita
mengenai
sistem
triase
ESI.
Sistem
triase
ini
dapat
memberikan
perencanaan
yang
lebih
baik
bagi
pasien
yang
memerlukan
pelayanan
gawat
darurat
lewat
kajian
cepat
terhadap
kondisi
dan
kebutuhan
akan
sumber
daya.
Berbagai
penelitian
juga
telah
dilakukan
untuk
mengetahui
keterandalan
sistem
triase
ESI
ini,
bahkan
untuk
pasien
anak-‐anak
dan
pasien
yang
datang
sendiri
ke
IGD.
Berbagai
bukti
ini
meyakinkan
kita
bahwa
sistem
triase
ESI
berpotensi
diaplikasi
di
IGD
rumah
sakit
di
Indonesia
untuk
meningkatkan
keselamatan
pasien
dan
efisiensi
pelayanan
IGD.
(RAD)
Daftar
Pustaka
Christ,
M.
et
al.,
2010.
Modern
triage
in
the
emergency
department.
Deutsches
Ärzteblatt
international,
107(50),
pp.892–8.
Available
at:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3021905&tool=pmcentrez&rendertype=ab
stract
[Accessed
August
8,
2013].
Elshove-‐Bolk,
J.
et
al.,
2007.
Validation
of
the
Emergency
Severity
Index
(ESI)
in
self-‐referred
patients
in
a
European
emergency
department.
Emergency
medicine
journal :
EMJ,
24(3),
pp.170–4.
Available
at:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2660021&tool=pmcentrez&rendertype=ab
stract
[Accessed
September
12,
2013].
Gilboy,
N.
et
al.,
2011.
Emergency
Severity
Index
(ESI):
A
Triage
Tool
for
Emergency
Department
Care
Version
4
Implementation
Handbook
2012
Edition
AHRQ
Publi.,
Rockville,
MD:
Agency
for
Healthcare
Research
and
Quality.
Mace,
S.E.
&
Mayer,
T.A.,
2008.
Chapter
155
Triage.
In
Jill
M.
Baren
et
al.,
eds.
Pediatric
Emergency
Medicine.
Philadephia:
Elsevier
Health
Sciences,
pp.
1087–1096.
Oredsson,
S.
et
al.,
2011.
A
systematic
review
of
triage-‐related
interventions
to
improve
patient
flow
in
emergency
departments.
Scandinavian
journal
of
trauma,
resuscitation
and
emergency
medicine,
19,
p.43.
Available
at:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3152510&tool=pmcentrez&rendertype=abs
tract
[Accessed
August
16,
2013].
Emergency Severity Index (ESI): Salah Satu Sistem Triase Berbasis Bukti, Robertus Arian Datusanantyo |
3