SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 10
Baixar para ler offline
MISKONSEPSI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU
DARI FILSAFAT MATEMATIKA
Rezky Agung Herutomo
1. Tinjauan Singkat tentang Miskonsepsi
Leinhardt, Zaslavsky, & Stein (1990) mendefinisikan miskonsepsi sebagai
pemahaman yang salah dalam pengetahuan siswa yang terjadi secara berulang dan
eksplisit. Miskonsepsi siswa dalam pembelajaran matematika disebabkan karena
kurangnya pemahaman konsep matematika. Miskonsepsi tersebut menimbulkan
keprihatinan karena mengarah pada pembentukan konsep dan generalisasi yang
salah yang pada gilirannya menghambat pembelajaran matematika.
Gagasan miskonsepsi merujuk pada garis pemikiran yang menyebabkan
serangkaian kesalahan yang dihasilkan dari kesalahan premis yang mendasari
suatu konsep atau proses tertentu, bukan kesalahan sporadis yang tidak sistematis
(Nesher, 1987). Oleh karena itu, sumber kesalahan dalam matematika adalah
miskonsepsi, meskipun ada sumber lain yang menyebabkan terjadinya kesalahan
seperti kecerobohan atau penggunaan bahasa yang menyesatkan. Adanya
miskonsepsi pengetahuan sebelumnya akan menghambat proses akuisisi
pengetahuan baru dan akan menyebabkan siswa terus membuat kesalahan selama
belajar materi aljabar dan materi terkait lainnya.
Miskonsepsi berbeda dari kesalahan. Olivier (1989) menyatakan bahwa
kesalahan adalah jawaban yang salah karena perencanaan yang tidak tepat dan
tidak sistematis yang diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan matematika,
atau dengan kata lain kesalahan adalah jawaban yang secara aktual salah dalam
menjawab soal (Young & O’Shea, 1981). Di sisi lain miskonsepsi adalah gejala
struktur kognitif yang menyebabkan kesalahan. Hal tersebut juga dipertegas oleh
Resnick & Omanson (1987) yang menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan
alasan yang paling mendasar yang mengakibatkan terjadinya kesalahan.
Penjelasan di atas juga sejalan dengan pendapat Egodawatte (2011) yang
menjelaskan bahwa miskonsepsi bukan merupakan kesalahan acak yang terjadi
karena sifat falibilitas manusia, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan jauh ke
dalam pemikiran dan keyakinan siswa untuk menemukan alasan dibalik kesalahan
yang terjadi. Karena kesalahan siswa berdasarkan keyakinan pada konsep yang
salah dan hal itu bertahan dalam pemikiran siswa, akibatnya terjadi konstruksi
pengetahuan dan pemahaman yang salah (miskonsepsi) selama proses
pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, dengan menyelidiki sistem keyakinan
siswa yang salah pada suatu konsep matematika, maka akan diperoleh penjelasan
tentang alasan sebenarnya di balik keyakinan yang salah tersebut.
Perbedaan lain terkait miskonsepsi dan kesalahan juga dijelaskan oleh Li
(2006), yakni miskonsepsi adalah struktur kognitif yang salah dan lebih stabil
muncul pada konteks masalah yang berbeda, sedangkan kesalahan muncul secara
tidak stabil pada konteks masalah yang berbeda. Hal senada juga dikemukakan
oleh Hammer (1996) bahwa miskonsespi merupakan kesalahan yang terjadi akibat
struktur kognitif yang salah, berbeda dari pemahaman para ahli, mempengaruhi
pemahaman fundamental siswa, dan harus dihindari untuk lebih meningkatkan
pemahaman. Jadi miskonsepsi adalah kesalahan yang muncul secara
berulang/konsisten pada konteks yang berbeda, atau kesalahan yang muncul
secara konsisten dalam item tes yang berbeda sebagai akibat struktur kognitif
yang salah.
Mengacu pada penjelasan di atas, miskonsepsi sendiri dapat ditinjau baik
dari segi teori belajar maupun aliran filsafat matematika. Pada bagian ini lebih
difokuskan pada aliran filsafat matematika. Memang tidak secara eksplisit
menyatakan adanya miskonsepsi, namun secara implisit memberikan gambaran
bagaimana miskonsepsi itu bisa muncul berdasarkan aliran filsafat matematika
dalam pembelajaran.
2. Filsafat Matematika
Filsafat Matematika adalah cabang filsafat yang bertugas untuk merenungkan dan
mempertanggungjawabkan sifat-sifat matematika (Ernest, 1991). Menurut Even
(1990) sifat matematika melampaui batas pengetahuan konseptual dan prosedural
matematika. Lebih lanjut Even (1990) menegaskan bahwa pengetahuan tentang
sifat matematika mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman tentang bagian
tertentu dari matematika. Ini berarti pengetahuan dan pemahaman konsep aljabar
tidak lepas dari pengetahuan tentang sifat-sifat matematika itu sendiri.
Ernest (1991) menyatakan bahwa dasar pengetahuan matematika
merupakan masalah fundamental dari Filsafat Matematika. Ada dua gerakan
utama dalam Filsafat Matematika, pertama, filsafat absolutisme, diantaranya
logisisme, formalisme, intuisionisme, dan Platonisme, yang menyatakan bahwa
matematika adalah tubuh pengetahuan yang bersifat absolut dan pasti. Absolutis
meyakini bahwa kebenaran matematika bersifat universal, independen dari
manusia dan budaya, dan bebas nilai. Kedua, filsafat fallibilisme (juga termasuk
konstruktivisme) yang menyatakan bahwa matematika dapat diperbaiki, bisa
keliru dan produk perubahan sosial. Konstruktivisme adalah sebuah epistemologi
yang memberikan penjelasan tentang sifat pengetahuan dan bagaimana manusia
belajar.
Aliran Filsafat Matematika memiliki pandangan yang berbeda tentang
konsep matematika dan pembelajarannya. Perbedaan tersebut bergantung pada
pandangan atau ide kunci yang mendasari aliran tersebut. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini dipaparkan penjelasan tentang filsafat logisisme, formalisme,
intuisionisme, Platonisme, dan fallibilisme.
2.1 Logisisme
Logisisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa matematika murni adalah
bagian dari logika. Menurut pandangan ini konsep-konsep matematika dapat
direduksi menjadi konsep logis dan semua kebenaran matematika dapat
dibuktikan dari aksioma logika saja (Ernest, 1991). Lebih lanjut Ernest (1991)
berpendapat bahwa perlakuan logika tidak memberikan kontribusi akuisisi
pengetahuan tentang materi pelajaran, pandangan logisisme merupakan bentuk
kontra-produktif dalam pengembangan topik tertentu. Logisisme kurang
mengembangkan struktur kognitif yang berkaitan dengan topik yang dipelajari
siswa, sehingga tidak banyak membantu dalam pembelajaran matematika. Dengan
demikian logisisme mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan itu
merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu
dasar tertentu untuk pengetahuan matematika.
2.2 Formalisme
Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak
bermakna (meaningless) di atas kertas, yang mengikuti aturan tertentu (Ernest,
1991). Formalisme dapat disamakan dengan pola belajar hafalan, belajar tanpa
pemahaman. Jika tujuan pembelajaran menekankan pada pencapaian pemahaman
konseptual aljabar, maka filsafat ini tidak cocok untuk diterapkan karena hanya
membuat siswa mempelajari aturan-aturan dalam aljabar tanpa memahami konsep
dasarnya. Jenis belajar ini mirip dengan pemahaman instrumental, dimana
pembelajaran terjadi tanpa memerlukan pemahaman pengetahuan sebelumnya
(Skemp, 1976). Hafalan memiliki masa retensi yang sangat rendah dibandingkan
dengan pembelajaran dengan pemahaman yang bermakna. Ini berarti filosofi
formalis tidak akan membantu siswa untuk mencapai pemahaman konseptual
pada materi aljabar karena hanya menekankan aturan dan prosedur untuk
memanipulasi simbol yang dipelajari.
2.3 Platonisme
Ernest (1991) menjelaskan bahwa Platonisme adalah pandangan yang menyatakan
bahwa objek matematika memiliki eksistensi objektif yang nyata di beberapa
wilayah yang ideal. Menurut pandangan Platonisme pengetahuan matematika
terdiri dari deskripsi benda-benda dan hubungan dan struktur yang
menghubungkan mereka. Menurut pandangan Platonisme, matematika telah ada
sebelumnya (Zevenbergen, Dole, & Wright, 2004). Platonis menolak gagasan
bahwa manusia adalah pencipta pengetahuan matematika, karena manusia tidak
dapat menciptakan objek-objek dalam matematika (Brown, 2008). Platonis
menekankan bahwa matematika merupakan pengetahuan statis, menolak sifat
dinamis dari pengetahuan matematika. Dengan demikian para Platonis
mengatakan matematika adalah produk dan bukan proses. Pandangan ini, jika
diadopsi oleh seorang guru matematika, maka guru hanya berpatokan pada benar
salahnya jawaban siswa, hal senada diungkapkan oleh Zevenbergen, Dole, &
Wright (2004) bahwa penilaian dalam pandangan Platonis bersifat objektif dan
menguji pengetahuan faktual, dengan kata lain penilaian bersifat benar atau salah.
Dengan demikian adopsi pandangan Platonis akan menyebabkan guru
mengabaikan kesalahan siswa dan tidak melakukan penyelidikan untuk mencari
tahu mengapa siswa melakukan kesalahan.
2.4 Intuisionisme
Ernest (1991) menjelaskan bahwa intuisionisme memberikan suatu dasar untuk
kebenaran matematika menurut versinya, dengan menurunkannya (secara mental)
dari aksioma-aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan metode
yang aman dalam pembuktian. Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang
eksklusif pada keyakinan yang subyektif.
Intuisionisme tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana
matematika bekerja dalam pikiran. Tidak dapat diketahui secara tepat pengetahuan
intuitif bekerja dalam pikiran. Menanggapi hal tersebut Ernest (1991) menyatakan
bahwa kebenaran absolut (yang diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan
pada padangan yang subyektif semata.
Menurut Ernest (1991) intuisi juga memberikan kesan bahwa pengalaman
batin adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang tersedia bagi umat manusia,
intuisi menolak pengaruh pengetahuan eksternal. Oleh karena itu matematika
tidak memiliki akses menuju konstruksi pengetahuan lain selain konstruksi
matematika itu sendiri, sehingga pengetahuan matematika bersifat subyektif.
Berdasarkan hal tersebut, Sumardoyono (2004) menjelaskan pola pikir intuitif
kurang baik dalam pembelajaran. Tidak bisa dibiarkan begitu saja siswa
menemukan jalan penyelesaiannya sendiri atau menggunakan bahasanya sendiri
dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika.
Sumardoyono (2004) menjelaskan pola intuitif hanya mementingkan
hasilnya saja, asalkan benar maka tidak menjadi masalah. Meskipun demikian,
seharusnya siswa diarahkan pada penalaran yang benar dan juga penulisan
lambang formal yang tepat. Simbol-simbol matematika harus digunakan secara
tepat sebab hal tersebut merupakan bagian dari tujuan pembelajaran dalam rangka
mengkomunikasikan ide dengan menggunakan bahasa matematika yang baik dan
benar.
Demikian pula pada materi aljabar yang sarat akan penggunaan simbol,
tidak bisa dibiarkan begitu saja siswa memaknai simbol-simbol dalam aljabar
(misalnya: simbol variabel dan tanda sama dengan). Perlu adanya penekanan
kepada siswa tentang makna simbol dalam aljabar sesuai dengan karakteristik dan
sifat aljabar itu sendiri. Transisi aritmatika ke aljabar menyebabkan perluasan
makna simbol dari aritmatika ke aljabar. Hasil-hasil penelitian terdahulu telah
menunjukkan adanya miskonsepsi siswa dalam memahami makna simbol dalam
aljabar.
2.5 Fallibilisme
Ernest (1998) menjelaskan ada beberapa pandangan tentang fallibilisme, ada
klaim yang menyatakan bahwa fallibilisme adalah tesis tentang (1) manusia dapat
melakukan kesalahan dan bukan sebuah tesis tentang (2) status modalitas (bisa
jadi kekeliruan) dari apa yang dipercayai manusia. Sebaliknya ada pendapat yang
menyatakan bahwa fallibilisme adalah gagasan bahwa setiap pendapat atau
penilaian manusia mungkin bisa keliru. Dari kedua pandangan tersebut maka
semua pengetahuan termasuk pengetahuan matematika dapat dianggap sebagai
pengetahuan yang bisa saja salah sebagai akibat sifat falibilis manusia.
Lebih lanjut Ernest (1991) menjelaskan fallibilisme dalam filsafat
matematika merupakan pandangan yang menyatakan bahwa matematika dapat
diperbaiki, bisa keliru dan produk perubahan sosial. Ernest (2004) menjelaskan
bahwa fallibilisme tidak menolak citra absolut matematika sebagai pengetahuan
yang abstrak, tetapi matematika juga harus dikaitkan dengan serangkaian praktek
sosial dan aplikasinya dalam cabang ilmu lainnya.
Ernest (2004) menjelaskan bahwa manusia dapat menemukan pengetahuan
matematika melalui berbagai cara, sebab konsep-konsep matematika merupakan
konstruksi manusia (tetapi kebenarannya objektif), oleh karena itu perlu
pendekatan yang manusiawi dalam pembelajaran matematika. Epistemologi
fallibilis berpendapat bahwa meskipun pengetahuan matematika adalah konstruksi
sosial manusia, tetapi harus tetap mengacu pada batang tubuh konvensional
pengetahuan matematika dan bisa diterima oleh komunitas matematika, proses
seperti itulah yang harus ditekankan kepada siswa.
Epistemologi falibilis ini memiliki kesejajaran dengan proses
pembelajaran di kelas dan untuk mencapai pemahaman konseptual, manusia perlu
dipandang sebagai pencipta matematika. Pandangan tersebut sebagai dasar
penting metode penemuan dalam pembelajaran matematika. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa meskipun siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri
konsep-konsep matematika (meskipun konsep tersebut telah ada sebelumnya),
tetap perlu dilakukan kontrol terhadap apa yang siswa konstruksi dalam proses itu.
Pengetahuan bawaan siswa sangat menentukan konsep baru yang ditemukan atau
dipelajari oleh siswa, pemahaman yang salah akan membawa dampak negatif
pada pengetahuan konsep baru yang dipelajari siswa.
Referensi
Brown, J. 2008. Philosophy Of Mathematics: A Contemporary Introduction to the
World of Proofs and Pictures. London: Routledge.
Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: Routledge-
Falmer.
Ernest, P. 1998. Social Constructivism as a Philosophy of Mathematics. New
York: Suny Press.
Ernest, P. 2004. What Is The Philosophy of Mathematics Education? In Paul
Ernest (Eds.), Philosophy of Mathematics Education Journal. 18, 1-14.
Even, R. 1990. Subject Matter Knowledge For Teaching and The Case of
Functions. Educational Studies on Mathematics. 21, 521-544.
Egodawatte, G. 2011. Secondary School Students’ Misconceptions In Algebra.
Dissertation. University of Toronto.
Hammer, D. 1996. Misconceptions or P-primes: How May Alternative
Perspectives of Cognitive Structure Influence Instructional Perceptions
and Intentions? The Journal of The Learning Science. 5(2), 97-127.
Leinhardt, G., O. Zaslavsky, & M. K. Stein. 1990. Functions, Graphs, and
Graphing”. Review of Educational Research. 60(1), 1-64.
Li, X. 2006. Cognitive Analysis Of Students’ Errors and Misconceptions In
Variables, Equations, and Functions. Dissertation. Texas A&M
University.
Nesher, P. 1987. Towards an Intructional Theory: The Role Of Student’s
Misconceptions. For the Learning Of Mathematics. 7(3), 33-39.
Olivier, A. 1989. Handling Pupils’ Misconceptions. Pythagoras. 21, 9-19.
Skemp, R. 1976. Relational Understanding and Instrumental Understanding.
Mathematics Teaching. 77, 20-26.
Sumardyono. 2004. Karakterisitik Matematika dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan
Penataran Guru Matematika.
Young, R. & O’Shea, T. 1981. Errors in Children’s Subtraction. Cognitive
Science. 5(2), 153-177.
Zevenbergen, R., Dole, S., & Wright, R. J. 2004. Teaching Mathematics in
Primary Schools. Australia: Allen & Unwin.

Mais conteúdo relacionado

Destaque

Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)
Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)
Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)Habibah Abdullah
 
Miskonsepsi mte 3111
Miskonsepsi mte 3111Miskonsepsi mte 3111
Miskonsepsi mte 3111Salina Lina
 
Inovasi Matematik
Inovasi MatematikInovasi Matematik
Inovasi MatematikSMTSP2
 
Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014
Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014
Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014Norazlin Mohd Rusdin
 
Kertas kerja kursus kepimpinan 2016
Kertas kerja kursus kepimpinan  2016Kertas kerja kursus kepimpinan  2016
Kertas kerja kursus kepimpinan 2016Siti Rahayu
 

Destaque (6)

Problematika matematika
Problematika matematikaProblematika matematika
Problematika matematika
 
Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)
Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)
Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)
 
Miskonsepsi mte 3111
Miskonsepsi mte 3111Miskonsepsi mte 3111
Miskonsepsi mte 3111
 
Inovasi Matematik
Inovasi MatematikInovasi Matematik
Inovasi Matematik
 
Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014
Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014
Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014
 
Kertas kerja kursus kepimpinan 2016
Kertas kerja kursus kepimpinan  2016Kertas kerja kursus kepimpinan  2016
Kertas kerja kursus kepimpinan 2016
 

Último

Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxsdn3jatiblora
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapsefrida3
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSovyOktavianti
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)MustahalMustahal
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptxMiftahunnajahTVIBS
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikaAtiAnggiSupriyati
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxazhari524
 
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarantugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarankeicapmaniez
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfNurulHikmah50658
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMmulyadia43
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 

Último (20)

Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
 
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarantugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 

Miskonsepsi dalam pembelajaran matematika ditinjau dari filsafat matematika

  • 1. MISKONSEPSI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI FILSAFAT MATEMATIKA Rezky Agung Herutomo 1. Tinjauan Singkat tentang Miskonsepsi Leinhardt, Zaslavsky, & Stein (1990) mendefinisikan miskonsepsi sebagai pemahaman yang salah dalam pengetahuan siswa yang terjadi secara berulang dan eksplisit. Miskonsepsi siswa dalam pembelajaran matematika disebabkan karena kurangnya pemahaman konsep matematika. Miskonsepsi tersebut menimbulkan keprihatinan karena mengarah pada pembentukan konsep dan generalisasi yang salah yang pada gilirannya menghambat pembelajaran matematika. Gagasan miskonsepsi merujuk pada garis pemikiran yang menyebabkan serangkaian kesalahan yang dihasilkan dari kesalahan premis yang mendasari suatu konsep atau proses tertentu, bukan kesalahan sporadis yang tidak sistematis (Nesher, 1987). Oleh karena itu, sumber kesalahan dalam matematika adalah miskonsepsi, meskipun ada sumber lain yang menyebabkan terjadinya kesalahan seperti kecerobohan atau penggunaan bahasa yang menyesatkan. Adanya miskonsepsi pengetahuan sebelumnya akan menghambat proses akuisisi pengetahuan baru dan akan menyebabkan siswa terus membuat kesalahan selama belajar materi aljabar dan materi terkait lainnya. Miskonsepsi berbeda dari kesalahan. Olivier (1989) menyatakan bahwa kesalahan adalah jawaban yang salah karena perencanaan yang tidak tepat dan
  • 2. tidak sistematis yang diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan matematika, atau dengan kata lain kesalahan adalah jawaban yang secara aktual salah dalam menjawab soal (Young & O’Shea, 1981). Di sisi lain miskonsepsi adalah gejala struktur kognitif yang menyebabkan kesalahan. Hal tersebut juga dipertegas oleh Resnick & Omanson (1987) yang menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan alasan yang paling mendasar yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Penjelasan di atas juga sejalan dengan pendapat Egodawatte (2011) yang menjelaskan bahwa miskonsepsi bukan merupakan kesalahan acak yang terjadi karena sifat falibilitas manusia, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan jauh ke dalam pemikiran dan keyakinan siswa untuk menemukan alasan dibalik kesalahan yang terjadi. Karena kesalahan siswa berdasarkan keyakinan pada konsep yang salah dan hal itu bertahan dalam pemikiran siswa, akibatnya terjadi konstruksi pengetahuan dan pemahaman yang salah (miskonsepsi) selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, dengan menyelidiki sistem keyakinan siswa yang salah pada suatu konsep matematika, maka akan diperoleh penjelasan tentang alasan sebenarnya di balik keyakinan yang salah tersebut. Perbedaan lain terkait miskonsepsi dan kesalahan juga dijelaskan oleh Li (2006), yakni miskonsepsi adalah struktur kognitif yang salah dan lebih stabil muncul pada konteks masalah yang berbeda, sedangkan kesalahan muncul secara tidak stabil pada konteks masalah yang berbeda. Hal senada juga dikemukakan oleh Hammer (1996) bahwa miskonsespi merupakan kesalahan yang terjadi akibat struktur kognitif yang salah, berbeda dari pemahaman para ahli, mempengaruhi pemahaman fundamental siswa, dan harus dihindari untuk lebih meningkatkan
  • 3. pemahaman. Jadi miskonsepsi adalah kesalahan yang muncul secara berulang/konsisten pada konteks yang berbeda, atau kesalahan yang muncul secara konsisten dalam item tes yang berbeda sebagai akibat struktur kognitif yang salah. Mengacu pada penjelasan di atas, miskonsepsi sendiri dapat ditinjau baik dari segi teori belajar maupun aliran filsafat matematika. Pada bagian ini lebih difokuskan pada aliran filsafat matematika. Memang tidak secara eksplisit menyatakan adanya miskonsepsi, namun secara implisit memberikan gambaran bagaimana miskonsepsi itu bisa muncul berdasarkan aliran filsafat matematika dalam pembelajaran. 2. Filsafat Matematika Filsafat Matematika adalah cabang filsafat yang bertugas untuk merenungkan dan mempertanggungjawabkan sifat-sifat matematika (Ernest, 1991). Menurut Even (1990) sifat matematika melampaui batas pengetahuan konseptual dan prosedural matematika. Lebih lanjut Even (1990) menegaskan bahwa pengetahuan tentang sifat matematika mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman tentang bagian tertentu dari matematika. Ini berarti pengetahuan dan pemahaman konsep aljabar tidak lepas dari pengetahuan tentang sifat-sifat matematika itu sendiri. Ernest (1991) menyatakan bahwa dasar pengetahuan matematika merupakan masalah fundamental dari Filsafat Matematika. Ada dua gerakan utama dalam Filsafat Matematika, pertama, filsafat absolutisme, diantaranya logisisme, formalisme, intuisionisme, dan Platonisme, yang menyatakan bahwa
  • 4. matematika adalah tubuh pengetahuan yang bersifat absolut dan pasti. Absolutis meyakini bahwa kebenaran matematika bersifat universal, independen dari manusia dan budaya, dan bebas nilai. Kedua, filsafat fallibilisme (juga termasuk konstruktivisme) yang menyatakan bahwa matematika dapat diperbaiki, bisa keliru dan produk perubahan sosial. Konstruktivisme adalah sebuah epistemologi yang memberikan penjelasan tentang sifat pengetahuan dan bagaimana manusia belajar. Aliran Filsafat Matematika memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep matematika dan pembelajarannya. Perbedaan tersebut bergantung pada pandangan atau ide kunci yang mendasari aliran tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipaparkan penjelasan tentang filsafat logisisme, formalisme, intuisionisme, Platonisme, dan fallibilisme. 2.1 Logisisme Logisisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa matematika murni adalah bagian dari logika. Menurut pandangan ini konsep-konsep matematika dapat direduksi menjadi konsep logis dan semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma logika saja (Ernest, 1991). Lebih lanjut Ernest (1991) berpendapat bahwa perlakuan logika tidak memberikan kontribusi akuisisi pengetahuan tentang materi pelajaran, pandangan logisisme merupakan bentuk kontra-produktif dalam pengembangan topik tertentu. Logisisme kurang mengembangkan struktur kognitif yang berkaitan dengan topik yang dipelajari siswa, sehingga tidak banyak membantu dalam pembelajaran matematika. Dengan
  • 5. demikian logisisme mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan itu merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar tertentu untuk pengetahuan matematika. 2.2 Formalisme Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless) di atas kertas, yang mengikuti aturan tertentu (Ernest, 1991). Formalisme dapat disamakan dengan pola belajar hafalan, belajar tanpa pemahaman. Jika tujuan pembelajaran menekankan pada pencapaian pemahaman konseptual aljabar, maka filsafat ini tidak cocok untuk diterapkan karena hanya membuat siswa mempelajari aturan-aturan dalam aljabar tanpa memahami konsep dasarnya. Jenis belajar ini mirip dengan pemahaman instrumental, dimana pembelajaran terjadi tanpa memerlukan pemahaman pengetahuan sebelumnya (Skemp, 1976). Hafalan memiliki masa retensi yang sangat rendah dibandingkan dengan pembelajaran dengan pemahaman yang bermakna. Ini berarti filosofi formalis tidak akan membantu siswa untuk mencapai pemahaman konseptual pada materi aljabar karena hanya menekankan aturan dan prosedur untuk memanipulasi simbol yang dipelajari. 2.3 Platonisme Ernest (1991) menjelaskan bahwa Platonisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa objek matematika memiliki eksistensi objektif yang nyata di beberapa wilayah yang ideal. Menurut pandangan Platonisme pengetahuan matematika
  • 6. terdiri dari deskripsi benda-benda dan hubungan dan struktur yang menghubungkan mereka. Menurut pandangan Platonisme, matematika telah ada sebelumnya (Zevenbergen, Dole, & Wright, 2004). Platonis menolak gagasan bahwa manusia adalah pencipta pengetahuan matematika, karena manusia tidak dapat menciptakan objek-objek dalam matematika (Brown, 2008). Platonis menekankan bahwa matematika merupakan pengetahuan statis, menolak sifat dinamis dari pengetahuan matematika. Dengan demikian para Platonis mengatakan matematika adalah produk dan bukan proses. Pandangan ini, jika diadopsi oleh seorang guru matematika, maka guru hanya berpatokan pada benar salahnya jawaban siswa, hal senada diungkapkan oleh Zevenbergen, Dole, & Wright (2004) bahwa penilaian dalam pandangan Platonis bersifat objektif dan menguji pengetahuan faktual, dengan kata lain penilaian bersifat benar atau salah. Dengan demikian adopsi pandangan Platonis akan menyebabkan guru mengabaikan kesalahan siswa dan tidak melakukan penyelidikan untuk mencari tahu mengapa siswa melakukan kesalahan. 2.4 Intuisionisme Ernest (1991) menjelaskan bahwa intuisionisme memberikan suatu dasar untuk kebenaran matematika menurut versinya, dengan menurunkannya (secara mental) dari aksioma-aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan metode yang aman dalam pembuktian. Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang eksklusif pada keyakinan yang subyektif.
  • 7. Intuisionisme tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana matematika bekerja dalam pikiran. Tidak dapat diketahui secara tepat pengetahuan intuitif bekerja dalam pikiran. Menanggapi hal tersebut Ernest (1991) menyatakan bahwa kebenaran absolut (yang diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan pada padangan yang subyektif semata. Menurut Ernest (1991) intuisi juga memberikan kesan bahwa pengalaman batin adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang tersedia bagi umat manusia, intuisi menolak pengaruh pengetahuan eksternal. Oleh karena itu matematika tidak memiliki akses menuju konstruksi pengetahuan lain selain konstruksi matematika itu sendiri, sehingga pengetahuan matematika bersifat subyektif. Berdasarkan hal tersebut, Sumardoyono (2004) menjelaskan pola pikir intuitif kurang baik dalam pembelajaran. Tidak bisa dibiarkan begitu saja siswa menemukan jalan penyelesaiannya sendiri atau menggunakan bahasanya sendiri dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika. Sumardoyono (2004) menjelaskan pola intuitif hanya mementingkan hasilnya saja, asalkan benar maka tidak menjadi masalah. Meskipun demikian, seharusnya siswa diarahkan pada penalaran yang benar dan juga penulisan lambang formal yang tepat. Simbol-simbol matematika harus digunakan secara tepat sebab hal tersebut merupakan bagian dari tujuan pembelajaran dalam rangka mengkomunikasikan ide dengan menggunakan bahasa matematika yang baik dan benar. Demikian pula pada materi aljabar yang sarat akan penggunaan simbol, tidak bisa dibiarkan begitu saja siswa memaknai simbol-simbol dalam aljabar
  • 8. (misalnya: simbol variabel dan tanda sama dengan). Perlu adanya penekanan kepada siswa tentang makna simbol dalam aljabar sesuai dengan karakteristik dan sifat aljabar itu sendiri. Transisi aritmatika ke aljabar menyebabkan perluasan makna simbol dari aritmatika ke aljabar. Hasil-hasil penelitian terdahulu telah menunjukkan adanya miskonsepsi siswa dalam memahami makna simbol dalam aljabar. 2.5 Fallibilisme Ernest (1998) menjelaskan ada beberapa pandangan tentang fallibilisme, ada klaim yang menyatakan bahwa fallibilisme adalah tesis tentang (1) manusia dapat melakukan kesalahan dan bukan sebuah tesis tentang (2) status modalitas (bisa jadi kekeliruan) dari apa yang dipercayai manusia. Sebaliknya ada pendapat yang menyatakan bahwa fallibilisme adalah gagasan bahwa setiap pendapat atau penilaian manusia mungkin bisa keliru. Dari kedua pandangan tersebut maka semua pengetahuan termasuk pengetahuan matematika dapat dianggap sebagai pengetahuan yang bisa saja salah sebagai akibat sifat falibilis manusia. Lebih lanjut Ernest (1991) menjelaskan fallibilisme dalam filsafat matematika merupakan pandangan yang menyatakan bahwa matematika dapat diperbaiki, bisa keliru dan produk perubahan sosial. Ernest (2004) menjelaskan bahwa fallibilisme tidak menolak citra absolut matematika sebagai pengetahuan yang abstrak, tetapi matematika juga harus dikaitkan dengan serangkaian praktek sosial dan aplikasinya dalam cabang ilmu lainnya.
  • 9. Ernest (2004) menjelaskan bahwa manusia dapat menemukan pengetahuan matematika melalui berbagai cara, sebab konsep-konsep matematika merupakan konstruksi manusia (tetapi kebenarannya objektif), oleh karena itu perlu pendekatan yang manusiawi dalam pembelajaran matematika. Epistemologi fallibilis berpendapat bahwa meskipun pengetahuan matematika adalah konstruksi sosial manusia, tetapi harus tetap mengacu pada batang tubuh konvensional pengetahuan matematika dan bisa diterima oleh komunitas matematika, proses seperti itulah yang harus ditekankan kepada siswa. Epistemologi falibilis ini memiliki kesejajaran dengan proses pembelajaran di kelas dan untuk mencapai pemahaman konseptual, manusia perlu dipandang sebagai pencipta matematika. Pandangan tersebut sebagai dasar penting metode penemuan dalam pembelajaran matematika. Tetapi perlu diperhatikan bahwa meskipun siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika (meskipun konsep tersebut telah ada sebelumnya), tetap perlu dilakukan kontrol terhadap apa yang siswa konstruksi dalam proses itu. Pengetahuan bawaan siswa sangat menentukan konsep baru yang ditemukan atau dipelajari oleh siswa, pemahaman yang salah akan membawa dampak negatif pada pengetahuan konsep baru yang dipelajari siswa. Referensi Brown, J. 2008. Philosophy Of Mathematics: A Contemporary Introduction to the World of Proofs and Pictures. London: Routledge. Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: Routledge- Falmer. Ernest, P. 1998. Social Constructivism as a Philosophy of Mathematics. New York: Suny Press.
  • 10. Ernest, P. 2004. What Is The Philosophy of Mathematics Education? In Paul Ernest (Eds.), Philosophy of Mathematics Education Journal. 18, 1-14. Even, R. 1990. Subject Matter Knowledge For Teaching and The Case of Functions. Educational Studies on Mathematics. 21, 521-544. Egodawatte, G. 2011. Secondary School Students’ Misconceptions In Algebra. Dissertation. University of Toronto. Hammer, D. 1996. Misconceptions or P-primes: How May Alternative Perspectives of Cognitive Structure Influence Instructional Perceptions and Intentions? The Journal of The Learning Science. 5(2), 97-127. Leinhardt, G., O. Zaslavsky, & M. K. Stein. 1990. Functions, Graphs, and Graphing”. Review of Educational Research. 60(1), 1-64. Li, X. 2006. Cognitive Analysis Of Students’ Errors and Misconceptions In Variables, Equations, and Functions. Dissertation. Texas A&M University. Nesher, P. 1987. Towards an Intructional Theory: The Role Of Student’s Misconceptions. For the Learning Of Mathematics. 7(3), 33-39. Olivier, A. 1989. Handling Pupils’ Misconceptions. Pythagoras. 21, 9-19. Skemp, R. 1976. Relational Understanding and Instrumental Understanding. Mathematics Teaching. 77, 20-26. Sumardyono. 2004. Karakterisitik Matematika dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika. Young, R. & O’Shea, T. 1981. Errors in Children’s Subtraction. Cognitive Science. 5(2), 153-177. Zevenbergen, R., Dole, S., & Wright, R. J. 2004. Teaching Mathematics in Primary Schools. Australia: Allen & Unwin.