Cerita ini menceritakan tentang seorang lelaki yang membawa adik perempuannya, Peni, ke rumah sakit setelah menemukannya dalam keadaan lemah di sebuah klinik aborsi. Lelaki itu merasa bersalah karena gagal menjaga dan mendidik Peni. Ia juga cemas menyampaikan kejadian ini kepada ibunya.
1. Wangi Kaki Ibu
KETIKA bibir dan hidungnya menyentuh punggung kaki yang
cokelat keriput itu, ia merasakan air matanya menetes.
Membasahi permukaan kulit yang kisut. Terguling dari
tonjolan otot menuju lingir telapak kaki, sebagian ke sela
jemari.
"Aku tahu, bukan kamu yang membunuhnya," bisik serak
seorang perempuan tua, yang kedua mata-kaki kanan dan
kirinya sedang ia dekap.
Entah siapa yang memberi kabar indah itu ke telinga yang
mungkin tak sepenuhnya berfungsi. Atau ada yang langsung
membisikkan ke ceruk hatinya? Membuat lelaki itu teringat
perjalanan yang sesungguhnya tak panjang, namun dirasakan
sangat berlarut-larut. Semata oleh pikiran yang kalang-
kabut.
SUBUH retak melahirkan fajar. Takbir menggema di telinga,
dari pelbagai surau, yang terletak jauh maupun dekat.
Dipantulkan oleh bening embun. Membubung ke awan-gemawan
yang parasnya sedang dipulas rona lembayung. Angin reda,
membuat pohonan yang belum menjelaskan warna daunnya
terdiam tunduk, seperti sabar menanti perintah berikutnya.
Di dalam rongga dadanya yang kurus, tampak dari kemejanya
yang terasa demikian longgar, ada sebersit ngilu berdesir.
Ia baru saja meninggalkan stasiun Tugu. Dengan langkah
bimbang, tak ubahnya selembar daun kering yang terseret
angin, ia merasa harus mengenali kembali setiap ruang dan
benda yang dilalui. Toko-toko yang berderet memanjang ke
Malioboro masih menutup pintu. Atau mungkin hari ini tak
akan membuka dagangan, karena tiba Lebaran. Jalan aspal
yang memiliki beberapa lubang akibat genangan air, tak
berbeda dari kota yang ia tinggalkan. Trotoar dengan warna
paving-block yang tak sama antara satu dengan yang lain,
tentu lantaran pernah terbongkar di sana-sini. Dan yang
terhirup ke dalam paru-parunya adalah udara yang menebarkan
aroma tersendiri: sisa malam yang tersangkut dan terlambat
sirna.
2. Ini wajah kota kelahiran, yang pernah memberikan keindahan
masa kanak-kanak. Ketika Janti masih berupa jalan tanah
berbatu. Ketika Hotel Ambarukmo berdiri paling megah dan
bergaya di Jalan Solo. Dan Demangan merupakan pusat jajan
dengan bakso, es buah, sate, dan limun berwarna-warni. Lalu
ia, dulu sekali, mengendarai sepeda ringkih, selalu
menghabiskan hari-hari Ramadan dengan menyewa komik atau
membacanya di kios persewaan itu sambil menunggu magrib.
Terbayang dalam kenangan: Barda Mandrawata sebagai Si Buta
dari Gua Hantu. Pendekar Bambu Kuning. Gundala Putera Petir
karya Hasmi dari kota ini. Peni sudah Mati. Ah, Peni! Itu
tokoh utama dalam komik roman karya Jan Mintaraga. Tokoh
yang sesungguhnya telah mati. Dan seorang perempuan lain
telah menyamar sebagai Peni, seolah-olah masih hidup, tak
berdaya di atas kursi roda, namun sanggup membongkar
kematian Peni yang dilatari ketamakan atas harta warisan...
Dan Peni, seseorang yang seharusnya sangat dicintai, kini
juga telah mati. Sejenak jemari tangan kanannya bergetar
bagai diserang tremor. Ia menggigil bukan oleh dingin pagi
yang mengusap dada kerempengnya. Tapi oleh ingatan yang
membuatnya harus pulang ke kota kelahiran.
Matanya memandang ke segala arah. Ia mencari becak. Ada
beberapa becak teronggok di ruas jalur lambat Jalan
Pangeran Mangkubumi, tapi pemiliknya masih meringkuk dengan
sarung lusuh. Ah, apakah mereka tak mendengar suara takbir
dari pengeras suara masjid di sana-sini? Ini hari Lebaran.
Seharusnya mereka berkumpul dengan istri dan anak di rumah
sumpek masing-masing. Atau jika masih bujangan, boleh juga
sesekali begadang di surau demi hari yang istimewa ini.
Tapi, kadang-kadang, Lebaran memang memberikan ironi kepada
sejumlah orang. Ketika seharusnya sebuah hati digenangi
kebahagiaan, ada sebagian yang mendapati dirinya tenggelam
dalam duka paling dalam. Dia, barangkali, menjadi salah
seorang di antara mereka.
Apakah sebaiknya berjalan kaki ke Janti? Tentu akan tiba
kesiangan di rumah, yang separo dindingnya masih bertahan
dengan papan kayu. Sepanjang perjalanan tentu akan
berpapasan dengan rombongan jamaah shalat Ied. Tentu akan
banyak mata memandangnya dengan raut muka bertanya-tanya.
Siapakah lelaki yang melangkah gontai seperti tanpa tujuan
itu? Sebuah pertanyaan yang tak mungkin terucapkan dari
wajah-wajah gembira, yang bersinar oleh cahaya kemenangan
Ramadan. Sebuah pertanyaan yang lebih baik sembunyi dalam
hati mereka, ketimbang menyinggung perasaan. Ini hari yang
3. akan dipenuhi oleh hati orang-orang sabar, jiwa-jiwa yang
memaafkan. Bukan untuk menyimpan tanda tanya.
Maka ia memberanikan diri untuk menggugah seorang tukang
becak yang kebetulan sedang menggeliat. Orang itu tampak
kaget, serentak mengucek mata, dan memandang langit yang
mulai semburat kuning.
"Antarkan aku ke Janti."
Penarik becak itu sedikit termangu. Memandang lurus ke
wajah tirus.
"Apakah Sampean merasa mengenalku, Mas?"
Penarik becak itu tergesa menggeleng. Kemudian turun untuk
berpindah tempat ke belakang dan mempersilakan calon
penumpangnya naik. Udara pagi mengiringi kayuhan yang masih
berat oleh beban kantuk. Seperti sebuah pena yang menggaris
kertas kosong, becak itu meluncur dalam sunyi. Kesunyian
yang sebentar lagi pecah oleh para jamaah dari banyak gang
perumahan.
Sepanjang jalan, lelaki di dalam becak itu berpikir: apakah
ini keputusan yang benar? Mengunjungi Ibu untuk
menyampaikan kegagalan? Ia gemetar bagai demam, dan ingatan
tentang sebuah malam jahanam melintas begitu keras di
benaknya.
CAHAYA bolam lima belas watt sejenak terhalang bayang,
seperti padam seketika. Membuat matanya mendadak terbuka.
Menyadari ada seseorang masuk ke dalam kamarnya yang tak
pernah dikunci, ia segera bangkit duduk. Waspada.
"Maaf, aku mengganggu. Tapi ini sungguh penting. Aku
menemukan Peni!"
"Oh," lelaki tuan rumah itu mengusap matanya. Kata "Peni"
terdengar sangat penting di telinganya. Ia meraih gelas di
samping tempat tidur dan segera minum air putih yang
tersisa.
"Di mana?"
"Maaf, jangan membuatmu kaget. Di sebuah klinik
tersembunyi, tempat aborsi."
"Astaghfirullah."
"Apa yang harus aku lakukan?"
4. Lelaki itu tampak tercenung. Seperti sedang mengumpulkan
seluruh kesadaran, mengusir sisa-sisa mimpi berkarat.
"Membawanya kemari," ujarnya dengan suara serak.
Si pembawa berita tampak ragu-ragu.
"Aku kakak kandungnya, Bung! Jadi aku berhak memanggilnya."
"Jika dia tak mau?"
"Paksa!"
"Jika dia ternyata punya suami..."
"Masya Allah, aku masih ingat kata-katamu. Dia kaulihat
berganti-ganti lelaki. Kudengar darimu juga, dia pernah
digerebek polisi saat pesta shabu-shabu, dan ditebus oleh
seseorang..."
Mereka berdua terdiam. Waktu merambat menuju saat makan
sahur. Mereka menyadari, suara keras percakapan akan
terdengar di bilik kiri dan kanan.
"Mungkin yang terpenting adalah bahwa kamu tahu, dia lari
dari rumahku, tapi tidak pulang ke Yogya untuk merawat Ibu
yang sudah sepuh. Berbulan-bulan aku mencarinya, tanpa
berani menyampaikan secara jujur kepada Ibu. Aku
mencarinya!"
"Tapi... dia telah membuatmu terusir dari jamaah di Al-
Hidayah, mencoreng namamu sebagai pengurus majelis
ta'lim..."
"Itu tidak penting," Lelaki itu menahan napas. Sebersit
rasa sedih melintas ngilu. "Adalah dosaku jika sampai Peni
terseret ke jurang gelap. Itu sebabnya aku ingin menemuinya
dalam bentuk apa pun."
"Baik, aku akan mencobanya."
"Atau...," Lelaki itu tampak berpikir. "Begitu kamu
mendapatkannya, teleponlah aku. Biar aku yang
mendatanginya."
Sang tamu mengangguk lalu berpamitan. Suara televisi di
bilik sebelah menyiarkan fragmen tematik Kampung Lele.
Terdengar tawa penghuninya yang tergelitik oleh perdebatan
antara Opie, Mali, dan Bolot...
SUASANA begitu tegang saat ia tiba di klinik yang
tersembunyi dalam gang. Perempuan dengan rambut masai
memaksakan diri bangkit dari pembaringan, menyibak gorden
pembatas dan bergegas keluar dari kamar. Langkahnya
tertegun di pintu, tangannya memegang erat kusen kayu,
menahan rasa sakit entah di mana. Dalam pandangan kabur, ia
melihat lelaki yang sangat dikenalnya. Rasa takut membuat
kepalanya berkunang-kunang.
5. Lelaki itu memburunya. Dipeluknya perempuan yang limbung
itu, jatuh memberat ke dadanya. Ia melihat matanya terkatup
rapat, bulu matanya bergetar. Barangkali darah mengaliri
betis, ke lantai, basah dan terasa lengket di telapak kaki
yang terlepas dari sandal.
"Peni...," Lelaki itu panik. Lalu tatapannya mengandung
nyala marah kepada seorang suster yang menciut ketakutan.
"Mana dokternya?!"
Suster itu menggeleng dengan paras seputih kertas.
"Panggil dia! Segera!"
"Dia sudah pergi. Satu jam yang lalu."
"Aku perlu namanya!" Ia memanggil temannya. "Hazri! Tolong
catat, juga alamat praktiknya yang lain."
Hazri merobek bungkus rokok, mencabut pulpen dari sakunya,
dan memandang penuh tuntutan kepada suster yang merapat ke
dinding. Terbata-bata bibir perempuan itu mengucapkan
serangkai nama dan alamat.
"Peni, bertahanlah," lelaki itu berbisik di telinga
perempuan yang begitu lemas dalam pelukan. Lalu ia kembali
meradang. "Suster, kamu pasti tahu cara memanggil ambulans.
Di sini ada telepon, kan? Cepat, minta ambulans sekarang!"
Hazri dengan sigap menuju ke meja yang memiliki kabel
telepon. Ditelusuri jalur kabel itu dan menemukan pesawat
telepon tersembunyi dalam laci. Ia mengangkat gagang
telepon, dan ketika yakin ada nada aktif, diberikannya
kepada suster. "Panggil ambulans!"
Peni dibaringkan di kursi ruang tunggu yang berjajar tiga.
Terkulai tak sadarkan diri. Darah masih mengalir dari sela-
sela paha. Mencemaskan. Sekaligus membuat lelaki itu
menyesal. Seharusnya ia tak perlu selekas itu datang,
sehingga Peni masih punya waktu untuk memulihkan diri.
Rasanya berjam-jam waktu berlalu sampai terdengar sirine
ambulans. Dua orang lelaki membawa tempat tidur beroda
memasuki gang. Hazri menolong sampai Peni naik ke dalam
ambulans. Dan di dalam kabin dilakukan pertolongan pertama,
termasuk memasang jarum infus ke punggung tangan Peni. Dari
tabung plastik yang tergantung, tetes-tetes cairan mengalir
melalui selang mungil.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, lelaki itu tidak
bicara apa-apa. Mulutnya hanya mendesahkan doa. Berulang
kali Hazri memegang lengannya, mencoba menenteramkan.
Sesekali mengucapkan: "Aku berjanji akan mencari dokternya
dan melaporkannya kepada polisi."
6. Ia tertunduk. Jemari tangannya mengusap rambut dan kening
Peni. Matanya basah. Hatinya terguncang. Apa yang harus ia
katakan kepada ibunya? Saat membawa Peni ke Jakarta, ke
rumah kontrakannya, tiga tahun yang lalu, ia berjanji:
"Peni memang susah diatur. Di sini dia hanya akan
merepotkan Ibu. Biar aku yang mengajarnya. Agar dia tahu
bahwa hidup itu berat dan harus dilalui dengan perjuangan.
Agar dia bisa mandiri."
Tapi...apa yang kemudian terjadi? Lelaki itu menggeleng
sendiri dengan rasa sakit, seolah ribuan duri menusuki
setiap permukaan jantungnya. Ia hanya memperoleh kegagalan.
Kini seluruh tenaga yang dicurahkan di tempat kerja, di
pelabuhan yang panas dan keras, dan sisa waktunya yang
dihabiskan untuk mencari keteduhan di lingkungan masjid,
seperti sia-sia saja. Kenyataannya ia tak pernah tahu, apa
yang dilakukan Peni sehari-hari selain menjadi pegawai
administrasi di sebuah pabrik sepatu. Terutama setelah enam
bulan yang lalu bersikeras pindah tempat tinggal, berpisah
dengannya, demi mendekati tempat kerja. Namun tak berapa
lama berita tak pantas itu merebak hingga ke wilayah Al-
Hidayah.
Selanjutnya sungguh perih untuk diceritakan. Hanya Hazri,
sahabatnya yang masih dapat memahami perasaannya.
Lamunannya membuyar saat ambulans berhenti di teras Unit
Gawat Darurat. Semua berjalan lekas, mirip potongan film
yang disunting sembarangan. Apa pun yang dia lakukan
sekarang, termasuk menandatangani perjanjian penggantian
darah dari PMI, seluruhnya demi Peni.
TAPI Peni sudah mati. Tanpa percakapan panjang. Hanya
permohonan maaf, juga kepada Ibu yang wajib disampaikan.
Inilah amanat yang sedang ia bawa ke kampung halaman.
Ia terisak perlahan. Ditahannya agar tak terdengar. Tapi
dadanya penuh oleh benda padat bernama kesedihan. Atau
mungkin rasa sesal.
"Bangunlah," meski desis itu tertangkap lemah, sesungguhnya
begitu tegar. Hanya seorang ibu yang dapat memadukan antara
sakit hati dan kasih sayang dengan nyaris sempurna.
Lelaki yang bersimpuh itu tak bergerak. Sejak
keberangkatannya dari Jakarta, ia berharap ada hukuman
untuknya. Bukan ucapan yang akan membuatnya merasa bersalah
berkepanjangan.
7. "Kamu telah melakukan sesuai dengan kemampuanmu," perempuan
tua itu kembali bicara. Tidak gemetar seperti yang
diharapkan. Kesunyian merambat.
Sesungguhnya hanya tiga tahun dia tak pulang. Sebelumnya,
hampir setiap tahun ia mengunjungi Ibu dan adik satu-
satunya, sejak ayahnya meninggal. Tapi, tak pernah
perasaannya terusik oleh indahnya masa kanak-kanak di kota
ini. Kenangan itu kini memanggilnya. Panggilan yang begitu
deras. Sederas air matanya.
"Maafkan aku, Ibu," bisiknya tanpa berani mengangkat wajah.
Ia merasa amat tenteram di kaki ibunya. Merasa sangat
terlindungi dari segala marabahaya. Tercium harum aroma
kasih sayang dari kaki ibunya, yang mengalahkan seluruh
hawa busuk di luar sana. Dan ia bagai kembali ke masa
kanak-kanak.
"Ibu sudah memaafkan kamu sebelum kamu mengetuk pintu.
Sekarang kamu ambil air wudlu, dan segera berangkat shalat
Ied."
Kedua tangan perempuan tua itu meraih bahu anak lelakinya.
Ketika wajah tirus itu tengadah, dilihatnya penuh air mata.
Perlahan ia mencium dahi lelaki itu, persis di antara kedua
matanya..