Siau-hong diundang makan malam oleh seekor anjing hitam yang berjalan di depannya sambil membawa surat undangan. Di perjalanan, Siau-hong mendengar suara yang mengaku sebagai hantu si jenggot biru yang dibunuhnya. Ternyata suara itu berasal dari anjing tersebut. Anjing itu kemudian menyerang Siau-hong dengan pisau yang keluar dari perutnya. Siau-hong berhasil menangkis ser
1. Perkampungan HANTU
Oleh : Hiu Khu
Bag 6
Siau-hong tidak sempat berpikir, sebab didengarnya di luar ada suara kaki yang
sangat perlahan. Hanya telapak kaki yang berkulit tebal seperti harimau atau
singa saja yang dapat berjalan tanpa menimbulkan suara keras.
Biasanya juga cuma orang Kangouw ulung yang punya Ginkang tinggi saja yang
dapat berjalan seringan binatang buas semacam ini. Di perkampungan hantu ini
masa juga terdapat tokoh sehebat ini?
Selagi Siau-hong tercengang, segera terdengar suara pintu diketuk, sungguh ia
ingin tahu siapakah pendatang ini, bagaimana bentuknya? Maka cepat ia
membuka pintu.
Sesudah pintu terbuka, ia jadi melongo.
Yang mengetuk pintu ternyata memang bukan manusia melainkan benar-benar
seekor binatang yang bertelapak kaki tebal. Seekor anjing.
Anjing hitam mulus, hitam gilap sehingga di tengah malam gelap serupa seekor
harimau kumbang.
Namun anjing ini tidak buas terhadap manusia, jelas anjing yang telah terlatih
dengan baik sehingga sudah lenyap rasa permusuhannya terhadap manusia.
Anjing ini tidak menyalak, sebab pada mulutnya menggigit sehelai kertas. Di
atas kertas hanya tertulis empat huruf yang berbunyi; “Silakan ikut padaku!”
Kiranya anjing inilah yang datang mengundang Liok Siau-hong makan malam.
Siau-hong tertawa. Apapun juga, kalau dapat makan nasi kan juga urusan yang
menggembirakan. Lebih-lebih sekarang, sungguh dia sangat menghendaki
makan malam yang enak.
Ang-sio-ti-te, bebek Peking, udang cah kailan ....
Bilamana teringat nama-nama santapan yang disebut Yu-hun tadi, hampir saja ia
menitikkan air liur.
2. Anjing itu sedang menggoyang ekor padanya, ia pun membelai kepala anjing
itu, katanya dengan tersenyum, “Kau tahu, aku lebih suka mendapatkan
petunjuk jalan seperti kau, sebab anjing di sini sesungguhnya lebih
menyenangkan daripada manusianya.”
Malam tambah gelap, kabut juga tebal, meski di tengah kabut terkadang juga
nampak beberapa titik cahaya api, tapi makin menambah seram suasana yang
gelap.
Anjing hitam berjalan di depan dan Siau-hong mengikut dari belakang. Waktu
pandangannya sudah terbiasa dalam kegelapan baru diketahui dirinya sedang
berjalan di suatu jalan kecil yang berliku-liku.
Pada kedua tepi jalan tumbuh beraneka macam pohon, ada juga bunga dan
rumput yang tidak dikenal namanya.
Pada waktu sang surya memancarkan cahayanya dengan gemilang, lembah
pegunungan ini pasti sangat permai.
Akan tetapi di lembah pegunungan ini apakah juga pernah disinari oleh cahaya
matahari?
Tiba-tiba Siau-hong merasakan yang benar-benar sangat ingin dilihatnya
bukanlah Ang-sio-ti-te yang lezat, melainkan cahaya matahari. Cahaya yang
dapat menghangatkan badan dan membangkitkan semangat.
Seperti orang lain umumnya, dia juga pernah mengutuki smai matahari, yaitu
bilamana sinar sang surya sedang memancar dengan teriknya sehingga dia
mandi keringat dengan napas terengah, maka dia lantas mencaci-maki sinar
matahari yang tidak kenal ampun itu
Akan tetapi yang sangat diharapkannya sekarang justru sinar matahari semacam
itu.
Banyak urusan di dunia memang begitu, hanya pada waktu engkau kehilangan
dia barulah kau tahu betapa berharganya dia.
Tanpa terasa Siau-hong menghela napas, tiba-tiba didengarnya di tempat dekat
juga ada orang menghela napas, malahan seorang lantas berkata, “Liok Siau-
hong, kutahu akan kedatanganmu, maka sudah kutunggu kedatanganmu di
sini.”
3. Tempat ini adalah Yu-leng-san-ceng, perkampungan arwah, dalam kegelapan
entah bersembunyi betapa banyak badan halus, suara orang ini juga serupa
hantu yang mengambang dan sukar dilihat. Tangan Siau-hong sampai
berkeringat dingin. Jelas didengarnya orang yang bicara itu berada di dekatnya,
tapi justru tidak terlihat sesosok bayangan apapun.
“Tak dapat kau lihat diriku,” suara tadi bergema pula, “bilamana setan hendak
menagih nyawa betapapun takkan dapat dilihat ofang.”
“Memangnya aku berhutang jiwa padamu?” Siau-hong coba bertanya.
“Ya,” sahut suara itu.
“Jiwa siapa?”
“Jiwaku.”
“Siapa engkau?”
“Aku si jenggot biru yang mati di tanganmu itu.”
Siau-hong tertawa, bergelak tertawa.
Seorang kalau kelewat tegang, terkadang juga bisa tertawa secara aneh.
Meski keras suara tertawa Siau-hong, tapi sangat singkat. Sebab tiba-tiba
diketahuinya yang bicara padanya bukanlah manusia, juga bukan setan, tapi
anjing hitam tadi.
Anjing hitam yang semula berjalan di depan sekarang telah berpaling ke sini dan
sedang melotot padanya dengan sinar mata
“Akulah si jenggot biru yang mati di tanganmu.” ucapan ini juga keluar dari
mulutanjing itu.
Sungguh aneh, anjing masa bisa bicara? Apakah roh si jenggot biru telah
hinggap di badan anjing hitam ini?
Betapa besar nyali Liok Siau-hong tidak urung juga merinding. Pada saat itulah
anjing hitam lantas meraung dan menubruknya.
4. Selagi Siau-hong hendak mencengkeram kaki anjing, siapa tahu dari perut anjing
mendadak terjulur sebuah tangan. Tangan manusia yang berpisau, sekali
bergerak, pisau menyambar ke depan, mengincar perut Siau-hong.
Serangan ini sungguh jauh di luar dugaan, berapa orang yang sanggup
menghindarkan serangan tak terduga ini.
Tapi sedikitnya ada satu orang. Mendadak perut Siau-hong mendekuk, secepat
kilat kedua jarinya menjepit dan tepat mata pisau terjepit olehnya.
Pada saat itu juga anjing hitam tadi lantas melompat ke udara lantas melayang
jauh ke belakang, hanya sekejap saja lantas menghilang dalam kegelapan.
Siau-hong memandang kegelapan di kejauhan sana, lalu memandang pisau yang
masih dipegangnya dan menyengir sendiri.
Sungguh rasanya seperti dalam mimpi, tapi justru kejadian nyata. Di Yu-leng-
san-ceng yang serupa alam mimpi ini, sesuatu peristiwa memang sukar
dibedakan dengan jelas apakah terjadi dalam mimpi atau terjadi benar-benar.
Cuma satu hal lantas dimengerti lagi oleh Liok Siau-hong, yaitu: “Anjing di sini
toh tidak lebih menyenangkan daripada manusia.”