Pertanian adalah kegiatan bercocok tanam, peternakan, perikanan dan kehutanan yang penting bagi perekonomian dan mata pencaharian masyarakat Indonesia. Terdapat beberapa bentuk pertanian di Indonesia seperti sawah, tegalan, pekarangan, dan ladang berpindah. Upaya meningkatkan hasil pertanian dapat dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi."
1. Definisi/Pengertian Pertanian, Bentuk & Hasil Pertanian Petani - Ilmu Geografi
Secara umum pengertian dari pertanian adalah suatu kegiatan manusia yang termasuk di
dalamnya yaitu bercocok tanam, peternakan, perikanan dan juga kehutanan. Sebagian
besar mata pencaharian masyarakat di Negeri Indonesia adalah sebagai petani, sehingga sektor
pertanian sangat penting untuk dikembangkan di negara kita.
Bentuk-Bentuk Pertanian Di Indonesia :
1. Sawah
Sawah adalah suatu bentuk pertanian yang dilakukan di lahan basah dan memerlukan banyak air baik
sawah irigasi, sawah lebak, sawah tadah hujan maupun sawah pasang surut.
2. Tegalan
Tegalan adalah suatu daerah dengan lahan kering yang bergantung pada pengairan air hujan, ditanami
tanaman musiman atau tahunan dan terpisah dari lingkungan dalam sekitar rumah. Lahan tegalan tanahnya
sulit untuk dibuat pengairan irigasi karena permukaan yang tidak rata. Pada saat musim kemarau lahan
tegalan akan kering dan sulit untuk ditubuhi tanaman pertanian.
3. Pekarangan
Perkarangan adalah suatu lahan yang berada di lingkungan dalam rumah (biasanya dipagari dan masuk ke
wilayah rumah) yang dimanfaatkan / digunakan untuk ditanami tanaman pertanian.
4. Ladang Berpindah
Ladang berpindah adalah suatu kegiatan pertanian yang dilakukan di banyak lahan hasil pembukaan hutan
atau semak di mana setelah beberapa kali panen / ditanami, maka tanah sudah tidak subur sehingga perlu
pindah ke lahan lain yang subur atau lahan yang sudah lama tidak digarap.
.Beberapa Hasil-Hasil Pertanian Di Indonesia :
1. Pertanian Tanaman Pangan
- Padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar, ketela pohon.
2. Pertanian Tanaman Perdagangan
- Kopi, the, kelapa, karet, kina , cengkeh, kapas, tembakau, kelapa sawit, dan tebu.
Pertanian adalah proses menghasilkan bahan pangan, ternak, serta produk-produk agroindustri dengan
cara memanfaatkan sumber daya tumbuhan dan hewan. Pemanfaatan sumber daya ini terutama berarti budi
daya bahasa Inggris: cultivation, atau untuk ternak: raising). Namun demikian, pada sejumlah kasus —
yang sering dianggap bagian dari pertanian — dapat berarti ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau
eksploitasi hutan agroforestri).
1. Usaha pertanian memiliki dua ciri penting: selalu melibatkan barang dalam volume besar dan
2. proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi.
Dua ciri khas ini muncul karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya
dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Beberapa
2. bentuk pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah dapat mengurangkan ciri-ciri ini
tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia masih tetap demikian.
Terkait dengan pertanian, usaha tani (farming) adalah sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budi
daya (tumbuhan maupun hewan). Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani,
sebagai contoh ―petani tembakau‖ atau ―petani ikan‖. Khusus untuk pembudidaya hewan ternak (livestock)
disebut sebagai peternak. Ilmuwan serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam perbaikan metode pertanian
dan aplikasinya juga dianggap terlibat dalam pertanian.
Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun
pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia.
Sejarah indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan
perkebunan, karena sektor – sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan
berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Sebagian besar mata
pencaharian masyarakat di Indonesia adalah sebagai petani dan perkebunan, sehingga sektor – sektor ini
sangat penting untuk dikembangkan di negara kita. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di
Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar
17,3% dari total pendapatan domestik bruto.
Cakupan obyek pertanian yang dianut di Indonesia meliputi budidaya tanaman (termasuk tanaman pangan,
hortikultura, dan perkebunan), kehutanan, peternakan, dan perikanan. Sebagaimana dapat dilihat,
penggolongan ini dilakukan berdasarkan objek budidayanya:
budidaya tanaman, dengan obyek tumbuhan dan diusahakan pada lahan yang diolah secara
intensif,
kehutanan, dengan obyek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah
liar,
peternakan, dengan obyek hewan darat kering (khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan
amfibia),
perikanan, dengan obyek hewan perairan (ikan, amfibia dan semua non-vertebrata).
Pembagian dalam pendidikan tinggi sedikit banyak mengikuti pembagian ini, meskipun dalam kenyataan
suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai objek ini bersama-sama sebagai bentuk efisiensi dan
peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek
konservasi sumber daya alam juga dipelajari dalam ilmu-ilmu pertanian.
Dari sudut keilmuan, semua objek pertanian sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sama karena pada
dasarnya usaha pertanian adalah kegiatan ekonomi:
pengelolaan tempat usaha,
pemilihan bibit,
metode budidaya,
pengumpulan hasil,
distribusi,
pengolahan dan pengemasan,
pemasaran.
Sebagai kegiatan ekonomi, pertanian dapat dipandang sebagai suatu sistem yang dinamakan agribisnis.
Dalam kerangka berpikir sistem ini, pengelolaan tempat usaha dan pemilihan bibit (varietas, galur, dan
sebagainya) biasa diistilahkan sebagai aspek ―hulu‖ dari pertanian, sementara distribusi, pengolahan, dan
pemasaran dimasukkan dalam aspek ―hilir‖. Budidaya dan pengumpulan hasil merupakan bagian dari aspek
3. proses produksi. Semua aspek ini penting dan bagaimana investasi diarahkan ke setiap aspek menjadi
pertimbangan strategis.
Bentuk – Bentuk Pertanian di Indonesia
1. Sawah adalah suatu bentuk pertanian yang dilakukan di lahan basah dan memerlukan banyak air
baik sawah irigasi, sawah lebak, sawah tadah hujan maupun sawah pasang surut.
2. Tegalan adalah suatu daerah dengan lahan kering yang bergantung pada pengairan air hujan,
ditanami tanaman musiman atau tahunan dan terpisah dari lingkungan dalam sekitar rumah. Lahan
tegalan tanahnya sulit untuk dibuat pengairan irigasi karena permukaan yang tidak rata. Pada saat
musim kemarau lahan tegalan akan kering dan sulit untuk ditubuhi tanaman pertanian.
3. Pekarangan
Pekarangan adalah suatu lahan yang berada di lingkungan dalam rumah (biasanya dipagari dan masuk ke
wilayah rumah) yang dimanfaatkan untuk ditanami tanaman pertanian.
Upaya meningkatkan hasil pertanian dapat dilakukan dengan cara:
Ekstensifikasi (pada daerah pertanian luar Pulau Jawa)
Intensifikasi
Diversifikasi
Rehabilitasi
Sejarah singkat pertanian dunia
Daerah "bulan sabit yang subur" di Timur Tengah. Di tempat ini ditemukan bukti-bukti awal pertanian,
seperti biji-bijian dan alat-alat pengolahnya.
Domestikasi anjing diduga telah dilakukan bahkan pada saat manusia belum mengenal budidaya
(masyarakat berburu dan peramu) dan merupakan kegiatan peternakan yang pertama kali.
Kegiatan pertanian (budidaya tanaman dan ternak) merupakan salah satu kegiatan yang paling awal dikenal
peradaban manusia dan mengubah total bentuk kebudayaan. Para ahli prasejarah umumnya bersepakat
bahwa pertanian pertama kali berkembang sekitar 12.000 tahun yang lalu dari kebudayaan di daerah "bulan
sabit yang subur" di Timur Tengah, yang meliputi daerah lembah Sungai Tigris dan Eufrat terus
memanjang ke barat hingga daerah Suriah dan Yordania sekarang. Bukti-bukti yang pertama kali dijumpai
menunjukkan adanya budidaya tanaman biji-bijian (serealia, terutama gandum kuna seperti emmer) dan
polong-polongan di daerah tersebut. Pada saat itu, 2000 tahun setelah berakhirnya Zaman Es terakhir di era
Pleistosen, di dearah ini banyak dijumpai hutan dan padang yang sangat cocok bagi mulainya pertanian.
Pertanian telah dikenal oleh masyarakat yang telah mencapai kebudayaan batu muda (neolitikum),
4. perunggu dan megalitikum. Pertanian mengubah bentuk-bentuk kepercayaan, dari pemujaan terhadap
dewa-dewa perburuan menjadi pemujaan terhadap dewa-dewa perlambang kesuburan dan ketersediaan
pangan.
Teknik budidaya tanaman lalu meluas ke barat (Eropa dan Afrika Utara, pada saat itu Sahara belum
sepenuhnya menjadi gurun) dan ke timur (hingga Asia Timur dan Asia Tenggara). Bukti-bukti di Tiongkok
menunjukkan adanya budidaya jewawut (millet) dan padi sejak 6000 tahun sebelum Masehi. Masyarakat
Asia Tenggara telah mengenal budidaya padi sawah paling tidak pada saat 3000 tahun SM dan Jepang serta
Korea sejak 1000 tahun SM. Sementara itu, masyarakat benua Amerika mengembangkan tanaman dan
hewan budidaya yang sejak awal sama sekali berbeda.
Hewan ternak yang pertama kali didomestikasi adalah kambing/domba (7000 tahun SM) serta babi (6000
tahun SM), bersama-sama dengan domestikasi kucing. Sapi, kuda, kerbau, yak mulai dikembangkan antara
6000 hingga 3000 tahun SM. Unggas mulai dibudidayakan lebih kemudian. Ulat sutera diketahui telah
diternakkan 2000 tahun SM. Budidaya ikan air tawar baru dikenal semenjak 2000 tahun yang lalu di daerah
Tiongkok dan Jepang. Budidaya ikan laut bahkan baru dikenal manusia pada abad ke-20 ini.
Budidaya sayur-sayuran dan buah-buahan juga dikenal manusia telah lama. Masyarakat Mesir Kuna (4000
tahun SM) dan Yunani Kuna (3000 tahun SM) telah mengenal baik budidaya anggur dan zaitun.
Sejarah pertanian
Sejarah pertanian adalah bagian dari sejarah kebudayaan manusia. Pertanian muncul ketika suatu
masyarakat mampu untuk menjaga ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Pertanian memaksa suatu
kelompok orang untuk menetap dan dengan demikian mendorong kemunculan peradaban. Terjadi
perubahan dalam sistem kepercayaan, pengembangan alat-alat pendukung kehidupan, dan juga kesenian
akibat diadopsinya teknologi pertanian. Kebudayaan masyarakat yang tergantung pada aspek pertanian
diistilahkan sebagai kebudayaan agraris.
Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, pertanian telah membawa revolusi yang besar dalam kehidupan
manusia sebelum revolusi industri. Bahkan dapat dikatakan, revolusi pertanian adalah revolusi kebudayaan
pertama yang dialami manusia.
Agak sulit membuat suatu garis sejarah pertanian dunia, karena setiap bagian dunia memiliki
perkembangan penguasaan teknologi pertanian yang berbeda-beda. Di beberapa bagian Afrika atau
Amerika masih dijumpai masyarakat yang semi-nomaden (setengah pengembara), yang telah mampu
melakukan kegiatan peternakan atau bercocok tanam, namun tetap berpindah-pindah demi menjaga
pasokan pangan. Sementara itu, di Amerika Utara dan Eropa traktor-traktor besar yang ditangani oleh satu
orang telah mampu mendukung penyediaan pangan ratusan orang.
Asal-mula pertanian
Pada awal abad ke-20 didatangkan sapi penghasil susu Fries-Holland ke Jawa.
Berakhirnya zaman es sekitar 11.000 tahun sebelum Masehi (SM) menjadikan bumi lebih hangat dan
mengalami musim kering yang lebih panjang. Kondisi ini menguntungkan bagi perkembangan tanaman
semusim, yang dalam waktu relatif singkat memberikan hasil dan biji atau umbinya dapat disimpan.
Ketersediaan biji-bijian dan polong-polongan dalam jumlah memadai memunculkan perkampungan untuk
pertama kalinya, karena kegiatan perburuan dan peramuan tidak perlu dilakukan setiap saat. Contoh budaya
semacam ini masih terlihat pada masyarakat yang menerapkan sistem perladangan berpindah (slash and
burn) di Kalimantan dan Papua.
5. Berdasarkan bukti-bukti peninggalan artefak, para ahli prasejarah saat ini bersepakat bahwa praktik
pertanian pertama kali berawal di daerah "bulan sabit yang subur" di Mesopotamia sekitar 8000 SM. Pada
waktu itu daerah ini masih lebih hijau daripada keadaan sekarang. Berdasarkan suatu kajian, 32 dari 56
spesies biji-bijian budidaya berasal dari daerah ini. Daerah ini juga menjadi satu dari pusat keanekaragaman
tanaman budidaya (center of origin) menurut Vavilov. Jenis-jenis tanaman yang pertama kali
dibudidayakan di sini adalah gandum, jelai (barley), buncis (pea), kacang arab (chickpea), dan flax (Linum
usitatissimum).
Di daerah lain yang berjauhan lokasinya dikembangkan jenis tanaman lain sesuai keadaan topografi dan
iklim. Di Tiongkok, padi (Oryza sativa) dan jewawut (dalam pengertian umum sebagai padanan millet)
mulai didomestikasi sejak 7500 SM dan diikuti dengan kedelai, kacang hijau, dan kacang azuki. Padi
(Oryza glaberrima) dan sorgum dikembangkan di daerah Sahel, Afrika 5000 SM. Tanaman lokal yang
berbeda mungkin telah dibudidayakan juga secara tersendiri di Afrika Barat, Ethiopia, dan Papua. Tiga
daerah yang terpisah di Amerika (yaitu Amerika Tengah, daerah Peru-Bolivia, dan hulu Amazon) secara
terpisah mulai membudidayakan jagung, labu, kentang, dan bunga matahari.
Kondisi tropika di Afrika dan Asia Tropik, termasuk Nusantara, cenderung mengembangkan masyarakat
yang tetap mempertahankan perburuan dan peramuan karena relatif mudahnya memperoleh bahan pangan.
Migrasi masyarakat Austronesia yang telah mengenal pertanian ke wilayah Nusantara membawa serta
teknologi budidaya padi sawah serta perladangan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pertanian bermula sebagai dampak perubahan iklim dunia dan
adaptasi oleh tanaman terhadap perubahan ini.
sejarah pertanian Indonesia
Era Orde Baru (1967-1997)
1974: dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979 menetapkan bahwa Badan Litbang
Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi 12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat
Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat
Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian
Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan,
Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan).
198… : berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu golongan petani lemah di luar
Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan
ekonomi yang mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa
membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah kekurangan modal,
manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang perantara. Koperasi
dirasakan sebagai ―paksaan‖ sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD.
1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di Badan Litbang Pertanian sehingga
terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-
Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Hortikultura, Puslitbang
Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.
1993: sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu
juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan No.
633/Kpts/OT.140/12/2003).
6. Era 1945-1967
1960: lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24
September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari
pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia Soewahjo"
(1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo"
(1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang
kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan
bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai
penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas
susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan
meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata
untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani,
dalam menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan
UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan
kekejaman hukum agraria kolonial.
Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945)
1918: berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian (Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang
kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan Penyelidikan Pertanian, lalu 1952 menjadi Balai Besar
Penyelidikan Pertanian / General Agriculture Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den
Landbouw). Selanjutnya tahun 1966 menjadi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980 berubah lagi
menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor (Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi
Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)
Era abad ke-19
1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap
kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah
oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan.
Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
1830-1870: era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan
setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi,
tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan
dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus
bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib
ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang
digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan
pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah era paling
eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini
harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan
kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan
menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember 1839.
1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan ini
dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk
7. menggunakan Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai
agunan kredit. Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal
swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel,
mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani
Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.
1890: dimulainya ―Politik Etnik‖, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian
berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan
umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa
yang lebih besar.
Era Orde Baru (1967-1997)
1974: dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979 menetapkan bahwa Badan Litbang
Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi 12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat
Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat
Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian
Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan,
Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan).
198… : berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu golongan petani lemah di luar
Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan
ekonomi yang mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa
membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah kekurangan modal,
manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang perantara. Koperasi
dirasakan sebagai ―paksaan‖ sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD.
1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di Badan Litbang Pertanian sehingga
terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-
Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Hortikultura, Puslitbang
Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.
1993: sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu
juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan No.
633/Kpts/OT.140/12/2003).
Era 1945-1967
1960: lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24
September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari
pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia Soewahjo"
(1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo"
(1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang
kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan
bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai
penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas
susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan
meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata
untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani,
dalam menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan
UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan
kekejaman hukum agraria kolonial.
8. Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945)
1918: berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian (Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang
kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan Penyelidikan Pertanian, lalu 1952 menjadi Balai Besar
Penyelidikan Pertanian / General Agriculture Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den
Landbouw). Selanjutnya tahun 1966 menjadi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980 berubah lagi
menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor (Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi
Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)
Era abad ke-19
1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap
kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah
oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan.
Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
1830-1870: era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan
setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi,
tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan
dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus
bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib
ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang
digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan
pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah era paling
eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini
harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan
kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan
menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember 1839.
1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan ini
dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk
menggunakan Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai
agunan kredit. Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal
swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel,
mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani
Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.
1890: dimulainya ―Politik Etnik‖, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian
berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan
umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa
yang lebih besar.
Era Orde Baru (1967-1997)
1974: dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979 menetapkan bahwa Badan Litbang
Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi 12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat
Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat
Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian
Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan,
Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan).
9. 198… : berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu golongan petani lemah di luar
Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan
ekonomi yang mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa
membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah kekurangan modal,
manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang perantara. Koperasi
dirasakan sebagai ―paksaan‖ sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD.
1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di Badan Litbang Pertanian sehingga
terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-
Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Hortikultura, Puslitbang
Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.
1993: sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu
juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan No.
633/Kpts/OT.140/12/2003).
Era 1945-1967
1960: lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24
September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari
pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia Soewahjo"
(1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo"
(1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang
kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan
bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai
penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas
susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan
meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata
untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani,
dalam menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan
UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan
kekejaman hukum agraria kolonial.
Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945)
1918: berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian (Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang
kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan Penyelidikan Pertanian, lalu 1952 menjadi Balai Besar
Penyelidikan Pertanian / General Agriculture Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den
Landbouw). Selanjutnya tahun 1966 menjadi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980 berubah lagi
menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor (Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi
Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)
Era abad ke-19
1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap
kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah
oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan.
Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
1830-1870: era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan
setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi,
10. tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan
dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus
bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib
ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang
digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan
pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah era paling
eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini
harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan
kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan
menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember 1839.
1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan ini
dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk
menggunakan Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai
agunan kredit. Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal
swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel,
mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani
Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.
1890: dimulainya ―Politik Etnik‖, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian
berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan
umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa
yang lebih besar.
Era Orde Baru (1967-1997)
1974: dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979 menetapkan bahwa Badan Litbang
Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi 12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat
Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat
Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian
Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan,
Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan).
198… : berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu golongan petani lemah di luar
Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan
ekonomi yang mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa
membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah kekurangan modal,
manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang perantara. Koperasi
dirasakan sebagai ―paksaan‖ sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD.
1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di Badan Litbang Pertanian sehingga
terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit Agro-
Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Hortikultura, Puslitbang
Peternakan, dan Puslitbang Perikanan.
1993: sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu
juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan No.
633/Kpts/OT.140/12/2003).
11. Era 1945-1967
1960: lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24
September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari
pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia Soewahjo"
(1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo"
(1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang
kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan
bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai
penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas
susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan
meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata
untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani,
dalam menuju masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan
UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan
kekejaman hukum agraria kolonial.
Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945)
1918: berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian (Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang
kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan Penyelidikan Pertanian, lalu 1952 menjadi Balai Besar
Penyelidikan Pertanian / General Agriculture Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den
Landbouw). Selanjutnya tahun 1966 menjadi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980 berubah lagi
menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor (Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi
Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)
Era abad ke-19
1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap
kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah
oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan.
Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
1830-1870: era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan
setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi,
tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan
dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus
bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib
ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang
digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan
pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah era paling
eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini
harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan
kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan
menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember 1839.
1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870.
12. Dalam aturan ini dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan menjamin
pemegang hak itu untuk menggunakan Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada
mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai agunan kredit. Lahirnya Agrarische Wet
1870 dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk
berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel,
mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial terhadap
rakyat tani Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan,
keterbelakangan dan penindasan.
1890: dimulainya ―Politik Etnik‖, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di Belanda yang
kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga. Yaitu mulai
diterapkan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan
menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa yang lebih besar.
UNIVERSITAS GRAHA NUSANTARA PADANGSIDIMPUAN
KAMPUS I : BUKIT TOR SIMARSAYANG PADANGSIDIMPUAN
KAMPUS II : JL. DR. SUTOMO GG. IKIP PADANGSIDIMPUAN
KAMPUS III : Ex. ASRAMA HAJI KAB. TAPSEL PALOPAT PIJORKOLING
Telpon. (0634) 25292 Fax. (0634) 28327 Kode Pos 22719
Agronomi dapat diistilahkan sebagai produksi tanaman, dan diartikan suatu usaha pengelolaan
tanaman dan lingkungannya untuk memperoleh hasil sesuai tujuan. Ada dua tujuan, yaitu memaksimalkan
output atau meminimalkan input agar kelestarian lahan tetap terjaga.
Pada awal kehidupan manusia di bumi, hanya hidup dari mencari makan dari hasil hutan secara
langsung. Perkembangan berikutnya, semakin banyak anggota kelompoknya, lalu ada tempat untuk
menetap dan mulai bercocok tanam di lahan sekitar tempat tinggalnya dan mulai memelihara ternak dan
terbentuklah pekarangan. Setelah itu, berkembang untuk membuka lahan di hutan untuk bercocok tanam,
sehingga hanya dapat ditanami beberapa tahun lalu pindah tempat, sering dikenal dengan lahan berpindah.
Semakin bertambahnya penduduk, sistem-sistem tersebut tidak dapat dipertahankan, lalu berusaha untuk
tetap mempertahankan tingkat kesuburan tanahnya dan mulai dikenal teknik budidaya (agronomi).
Ketidakseimbangan penambahan jumlah penduduk dibanding penambahan hasil pangan menjadi persoalan
yang dipelajari oleh bidang Agronomi. Antara lain usahanya dengan perluasan lahan, penggunaan varietas
unggul, peningkatan manajemen dalam berbagai tindak agronomi dan pelaksanaanya.
Pengertian Agronomi
Tanaman adalah tumbuhan yang sudah dibudidayakan. Sedangkan Tanaman Pertanian adalah segala
tanaman yang digunakan manusia untuk tujuan apapun, yang berfaedah yang secara ekonomi cocok dengan
rencana kerja dan eksistensi manusia dan dikelola sampai tingkat tertentu. Produksi tanaman adalah
13. pengelolaan tanaman yang bermanfaat. Ilmu yang mempelajari produksi tanaman adalah Agronomi.
Sehingga Agronomi adalah ilmu yang mempelajari cara pengelolaan tanaman pertanian dan lingkungannya
untuk memperoleh produksi yang maksimum dan lestari. Secara lebih rinci Agronomi adalah ilmu yang
mempelajari pengelolaan sumberdaya nabati dengan melakukan rekayasa terhadap lingkungan tumbuh,
potensi genetik dan potensi fisiologinya dalam kegiatan produksi tanaman dan penanganan hasil dengan
tujuan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, bahan baku industri, obat-obatan dan rempah, serta
kenyamanan hidup. Orientasi agronomi adalah produksi maksimum dan mempertahankan sistem produksi
yang berkelanjutan.
Mata kuliah Agronomi Lanjut membahas sistem produksi tanaman dengan penekanan pada perekayasaan
lingkungan tumbuh dan potensi fisiologi tanaman untuk peningkatan produktivitas dan kelestariannya;
kaitan antara iklim, tanah, lahan dan masyarakat dengan teknologi produksi dalam rangka intensifikasi dan
ektensifikasi pertanian di daerah tropis; pembahasan tentang Revolusi Hijau dan reaksi balik atas
kelemahannya dengan penekanan pada konsep integrated crop management
Agronomi dalam Sistem Agribisnis
Sistem adalah sekumpulan bagian yang mempunyai kaitan satu dengan yang lain, terorganisir,
berinteraksi, yang secara bersama-sama bereaksi menurut pola tertentu terhadap input dengan tujuan
menghasilkan output. Agribisnis adalah keseluruhan rangkaian pertanian komersial yang mencakup
pengadaan dan pendistribusian sumberdaya, sarana produksi dan jasa, kegiatan produksi pertanian,
penanganan, penyimpanan dan transformasi hasil, pemasaran hasil dan hasil olahan. Sedangkan
Agroindustri adalah sub-sistem dari agribisnis yang mencakup kegiatan pasca panen dan pengolahan,
penanganan, sortasi, pengkelasan, pengemasan, pemberian label dan penyimpanan yang terdapat dalam
kegiatan transformasi produk dan pemasaran. Agronomi adalah Subsistem dari Sistem Agribisnis yang
menyangkut pengorganisasian dalam produksi tanaman.
Ada perubahan paradigma dalam memandang sistem produksi tanaman:
• Sistem produksi suatu jenis tanaman bukan hanya sekedar kemampuan untuk ―menghasilkan
sebanyak-banyaknya‖ atau sekedar pencapaian suatu target
• Pilihan tanaman yang akan diusahakan harus memperhatikan dan mengutamakan daya dukung
sumber daya alam, keserasian dan kelestarian
• Prinsip dalam produksi harus berorientasi pasar
Produksi Aktual dan Potensial
Dibandingkan dengan radiasi matahari total yang secara teoritis dapat digunakan untuk
fotosintesis, ternyata produktivitas tanamanan saat ini masih sangat rendah. Efisiensi fotosintesis tanaman-
tanaman yang termasuk sangat produktif hanya berkisar antara 1.4 % untuk kelapa sawit di Malaysia,
sampai 4.3% untuk gula beet di Inggris dan Millet di Northern Teritory Australia. Produktivitas beberapa
tanaman tropis yang produktivitasnya tinggipun efisiensi fotosintesisnya juga rendah (Tabel 1)
Tabel 1. Efisiensi Fotosisntesis Beberapa Tanaman di Daerah Tropika
Tanaman Negara Produktivitas Efisiensi Fotosintesis (%
(g/m2/hari) Radiasi Total)
Tropika
Singkong Malaysia 18 2.0
Padi Tanzania 17 1.7
14. Padi Philiphina 27 2.9
Kelapa sawit Malaysia 11 1.4
Tebu Hawai 37 3.8
Jagung Thailand 31 2.7
Temperate & Sub-tropik
Jagung Kentucky, USA 40 3.4
Jagung California, USA 52 3.0
Sudan Grass California, USA 51 2.9
Pinus Australia 40 2.7
Gula Tebu Texas, USA 31 2.8
Padi Australia 23 1.4
Kentang California, USA 37 2.3
Gula Beet Inggris 31 4.3
Gandum Belanda 18 1.7
Sumber: Coombs et al., 1985
Dari data-data tersebut dapat dilihat bahwa masih sangat besar peluang IPTEK untuk
meningkatkan produktivitas tanaman. Hal ini merupakan tantangan bagi para ahli ekofisiologi tanaman.
Kemampuan untuk melakukan manipulasi lingkungan, aktivitas fisiologi dan tentu saja genetik tanaman
untuk memacu aktivitas fotosintesis tanaman akan menjadi kunci bagi pertanian masa depan. Kemampuan
ini sangat penting mengingat kebutuhan pangan dunia pada masa yang akan datang terus bertambah, seiring
dengan pertambahan penduduk maupun tingkat kemakmuran masyarakat.
Disamping masalah fotosintesis, hala lain yang berpengaruh terhadap produksi adalah distribusi hasil
fotosintesis ke organ bernilai ekonomi dan metabolisme dari fotosintat untuk menghasilkan produk bernilai
ekonomi. Pendalaman dalam pemahaman terhadap apa yang mengatur arah distribusi fotosintat dan
karakter seperti apa yang diperlukan agar lebih banyak fotosintat didistribusikan ke organ bernilai ekonomi
akan sangat membantu program pemuliaan. Demikian pula pemahaman terhadap metabolisme fotosintat
menjadi zat yang diperlukan oleh manusia, akan sangat bermanfaat Sdalam upaya peningkatan produksi
tanaman.
Random Fluctuation
Dalam mengelola suatu sistem produksi, ada hal yang harus mendapat perhatian serius, kalau tidak
ingin usaha tadi gagal. Hal tersebut adalah Random Fluctuation, ialah adanya faktor yang selalu berubah,
tidak diinginkan, tidak bisa/sukar dikendalikan, mempengaruhi secara acak proses produksi, dan seringkali
menyebabkan output bisa berbeda dengan yang diinginkan. Hal ini terjadi karena Lingkungan sangat
berpengaruh terhadap sistem. Contoh random fluctuation antara lain adalah fungsi2 lain dalam organisasi
(fungsi pemasaran, keuangan, personalia dsb), lingkungan di luar perusahaan (Perturan pemerintah,
Hukum, Kondisi sosial politik, Ekonomi, Perubahan selera konsumen, dsb.). Random Fluctuation ini
hampir selalu terjadi, tetapi dapat dikurangi melalui usaha keras manajemen. Tugas mahasiswa adalah
mencari dan menganalisis Random fluctuation pada sistem produksi tanaman, serta mencoba merumuskan
apa yang harus dilakukan manajemen untuk menghadapinya.