Cerita ini menceritakan tentang perang antara Kerajaan Kuncara dengan Kerajaan Purbawesa yang dipicu oleh kesalahpahaman dan tipuan cinta antara Putri Baya dari Kuncara dengan Raden Sura dari Purbawesa. Perang berdarah pun terjadi di medan perang, sementara Putri Baya diliputi rasa benci dan cinta kepada Raden Sura yang telah menipunya.
1. Sura & Baya
Karya: Oki Feri Juniawan
Bila kita menengok sedikit ke belakang, ke masa-masa dimana masih terdapat kerajaan-kerajaan
besar yang bertahta di seluruh Indonesia, tersebutlah sebuah kerajaan besar bernama
Kerajaan Kuncara yang dipimpin oleh raja agung dan bijaksana bernama Raja Baskara. Kerajaan
dengan bangunan-bangunannya yang megah serta pelataran taman-tamannya yang indah, memiliki
seorang putri tunggal yang kecantikannya mengalahkan pesona indahnya taman bunga pada musim
semi. Dialah Putri Baya. Satu-satunya putri Raja Baskara yang memiliki hati selembut mata yang
dipancarkannya, yang dapat membuat semua orang yang menatapnya menjadi terpesona. Namun
dibalik kelembutannya, Putri Baya juga suka berlatih pedang dan menunggang kuda.
Kerajaan Kuncara merupakan kerajaan yang di segani oleh kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan
yang terletak di Jawa Timur ini berbatasan dengan Kerajaan Purbawesa, sebuah kerajaan yang tidak
kalah megahnya dan merupakan musuh bebuyutan kerajaan Kuncara. Dua kerajaan tersebut sering
berperang, namun karena keduanya sangat kuat dan tangguh, maka tidak ada yang menang dan
kalah dalam setiap peperangan tersebut. Hingga pada suatu hari, “Lapor paduka, hamba membawa
kabar penting dari mata-mata kita yang sedang bertugas di Kerajaan Purbawesa”, seorang prajurit
Kerajaan Kuncara tergesah-gesah memasuki aula kerajaan. “Apa kabar penting itu? Cepat katakan!”,
hardik Raja Baskara dengan tidak sabar. “Ampun paduka, saya mendengar kabar, bahwa Kerajaan
Purbawesa sedang menyiapkan pasukannya untuk menyerang kerajaan kita”, jawab prajurit tersebut.
“K urang ajar, berani-beraninya mereka menyerang kerajaan kita lagi. Kalau begitu pertahankan
daerah perbatasan kita. Perang kali ini kita harus menang. Kita harus menumpas habis mereka
semua. Jangan sampai ada yang tersisa. Namun, yang aku herankan, mengapa Kerajaan Purbawesa
tiba-tiba hendak menyerang kita? Apa mau mereka? Apa mereka tetap ingin menguasai kerajaan
kita yang subur ini?”, geram Raja Baskara. “Ampun paduka, mata-mata kita mengabarkan bahwa
Kerajaan Purbawesa ingin membalas perbuatan paduka raja yang telah mengusir dengan kasar dan
bahkan hendak menghukum mati putra tunggal dari Raja Cakrabirawa, yakni Raden Sura”. Lapor
prajurit tersebut dengan gemetar. “Apa kamu bilang? Anak dari Cakrabirawa? Melihatnya saja aku
tidak pernah, apalagi mengusir dan bahkan hendak menghukum mati dia? Apa maksud semua ini?”,
Raja Baskara kebingungan akan laporan yang baru ia terima, begitu pula para hadirin yang sedang
berada di aula tersebut, termasuk Putri Baya yang sedang duduk menyimak seksama laporan
prajurit kerajaan. Kemudian prajurit melanjutkan, “Ampun paduka, menurut kabar yang hamba
terima, seorang pelatih kuda yang paduka usir waktu itulah anak dari Raja Cakrabirawa, namanya
Raden Sura”. Begitu gemparnya kabar tersebut sehingga membuat semua orang di aula terkejut.
Dan bahkan Putri Baya yang dikabarkan menjalin hubungan dengan pelatih kudanya yang tak lain
adalah Raden Sura jatuh pingsan di atas kursi indahnya.
***
Sementara di Kerajaan Purbawesa, Raja Cakrabirawa sedang sibuk menyiapkan para prajurit
perang untuk menyerang Kerajaan Kuncara. Penyerangan akan mereka lakukan esok pagi.
Beberapa taktik perang sudah mereka persiapkan. Raja Cakrabirawa yang sombong merasa begitu
yakin akan mendapatkan kemenangan dalam pertempuaran kali ini. Sedangkan Raden Sura yang
memiliki sifat lemah lembut merasa gundah dan gelisah memikirkan dampak yang akan terjadi
akibat pertempuran antara Kerajaaan Purbawesa dan Kerajaan Kuncara kali ini. Dia merasa badai
hitam akan meyelimuti peperangan kali ini. Raden Sura merasakn sesuatu yang tidak biasa. Padahal
sudah beberepa kali Kerajaan Purbawesa dan Kerajaan Kuncara berperang, namun perasaan gelisah
hanya ia rasakan pada peperangan kali ini.
Dengan berat hati, Raden Sura mengutarakan gegelisahannya kepada ayahandanya.
“Ayanhanda, tidakkah engkau merasa gelisah dalam peperangan kita kali ini?”. Kemudian Raja
Carabirawa menjawab dengan begitu tegas, ”Apa yang membuatku gelisah? Prajurit kita sudah siap
2. untuk berperang, dan kemenanagn kita sudah ada di depan mata. Dan Baskara yang biadap itu akan
membalas perbuatannya yang telah lancang mengusir dan bahakan hendak membunuh mati anak
kesayangannku, anak dari Penguasa Purbawesa yang tentunya sebentar lagi akan mengusasi
Kuncara. Hahaha”. Semakin gelisahlah hati Raden Sura mendengar perkataan ayahandanya.
Kemudian ia berkata, ”Tentu kerajaan kita akan menang melawan Kerajaan Kuncara, Ayahanda.
Tetapi yang menjadi permasalahnnya sekarang, bukanlah soal kalah dan menang. Tetapi ayahanda
perlu ingat, kitalah yang memulai kesalahan ini dengan ayanhanda mengutusku untuk memata-matai
kerajaan Kuncara dan menyuruhku untuk mendekati Putri Baya dengan menyamar sebagai
pelatih kudanya hanya agar aku bisa memilikinya dan mendapat tahta di Kerajaan Kuncara.
Bukankah tidak salah jika Raja Baskara mengusirku, dan bahkan sedikitpun dia tidak bersalah
ketika hendak menghukum mati putra kesayanganmu ini karena telah lancang mendektai putri
kesayangannya?”. Raja Cakrabirawa geram mendengar penuturan putra kesaynagnya, ia merasa
seolah-olah ialah yang salah dal hal ini. Kemudian ia berkata, ”Tau apa kau tentang semua ini.
Tidaklah kau malu telah dipermalukan oleh Baskara di hadapan rakyatnya waktu itu. Sebagai
seorang pangeran Purbawesa hendaknya kau menyimpan dendam terhadap orang yang telah
mempermalukanmu. Sekarag ini yang terpenting bukanlah masalah salah atau benar, tetapi martabat
dan kehormatanlah yang harus kita junjung tinggi sebagai bangsawan Purbawesa.” Raja
Cakarabirawa melanjutkan, “Persiapkanlah dirimu untuk perang esok pagi, semua prajurit kita telah
kupersiapkan dan taktik perang pun sudah matang. Dan kini Sura anakku, persiapkan dirimu untuk
membalaskan dendam kita. Karena sekali kau dipermalukan, kerajaan kita termasuk aku pun juga
ikut malu”. Tanpa mengurangi hormatnya sebagai seorang anak yang berbakti kepada ayahandanya,
Raden Sura mengutarakan maksud hatinya, “Ayahandaku, bukannya aku ingin menolak dan
mengingkari perintah ayahanda. Tetapi hatiku merasa menolak untuk ikut bergabung dalam perang
kali ini. Aku merasa akan ada badai yang akan menyelimuti peperangan ini. Aku merasa gelisah
dan takut. Biarlah aku disini saja menantikan dan mendoa’kan keselamatan Ayahanda”. Raja
Cakrabira menjawab dengan tertawa lebar, “Hahaha.. Jika itu maumu anakku, maka tunggulah
disini tanpa rasa gelisah sedikitpun. Karena aku yakin, kemengan akan berpihak pada Purbawesa
kali ini. Siapkanlah pesta kemenagan dengan meriah. Sambutlah ayahandamu ini sebagai Raja
penakluk Kerajaan Kuncara.” Bertambah gelisahlah hati Raden Sura mendengar kata-kata dari
ayahandanya. Ia bukan hanya melihat kabut hitam yang akan meyelimuti kedua krajaan yang
sedang bersiteru, ia juga melihat adanaya petanda buruk yang akan menimpa dirinya kelak.
***
Pagi berdarah pun tiba. Pertempuran dua kerajaan besar di mulai. Dimana-mana darah
mengalir dari ujung pedang dan anak panah. Warnanya yang merah menyala megalahkan nyala
merah mentari di pagi hari. Lolongan kesakitan prajurit yang mati terluka menutupi lolongan ayam
jago milik para petani, membangunkan tidur bayi dalam dekapan ibu mereka yang sedang ketakutan.
Lolongan kematian pajurit yang menggema terasa pula di dalam batin Putri Baya. Ia yang
hanya bisa menanti kedatangan ayahandanya, tidak dapat melakukan apa-apa kecuali berdo’a di
dalam kamarnya. Kamar yang biasanya terasa nyaman dan hangat menjadi dingin dan mencekam.
Ia merasa cemas dan takut akan keselamtan kerajaan terutama Ayahandanya yang sekarang sedang
pergi berperang.
Putri Baya tetap tidak menyangka. Ia merasa, semua ini seperti mimpi. Ia teringat kembali
bayang-bayang waktu itu. Ketika ia lalai dalam mengontrol diri sebagai seorang putri sehingga ia
jatuh cinta kepada pelatih kudanya dan menjalin hubungannya sembunyi-sembunyi. Ia merasa
dibodohi dan ditipu oleh Raden Sura. Ia kesal dan marah pada dirinya sendiri. Mengapa waktu itu ia
menghentikan ayahnya untuk menghukum mati Raden Sura. Padahal jelas-jelas Raden Sura adalah
anak dari Raja Cakrabirawa, musuh bebuyutan ayahnya. Tetapi cintalah yang membuatnya ia
memohon dan merengek pada ayanhnya untuk melepaskan Raden Sura yang pada waktu itu masih
tidak ada yang tahu bahwa ia Raden Sura.
3. Kebenciannya kini pada Raden Sura menjalari hati Putri Baya. Ia kesal padanya karena telah
lancang menipu dan mendekatinya. Bahkan saat pertama kali bertemu, Raden Sura telah berani
menggoda Putri Baya karena ia terpikat oleh kecantikan Putri Kuncara tersebut. Namun dibalik
kebenciannya, Putri Baya masih menyimpan sedikit rasa cinta kepada Raden Sura. Karena pada
kenyataannya, Putri Baya memang terpikat dengan godaan yang dilakukan oleh Raden Sura pada
saat mereka pertama kali bertemu. Putri Baya pun mulai menyukai kelembutan dan kesabaran
Raden Sura ketika ia berlatih berkuda bersamanya. Ia teringat kembali saat-saat ia dan Raden Sura
tengah asik bermadu kasih di hamparan padang rumput di belakang istana Kuncara. Mereka berdua
sering melakukannya secara tersembunyi. “Alangkah indahnya waktu itu”, gumam Putri Baya.
“Tapi cintamu padaku hanya sebatas tipuan saja, Sura. Aku yakin, kau mendekatiku hanya untuk
memnafaatkan posisiku sebagai putri tuggal kerajaan ini. Kau melamarku waktu itu, ha nya untuk
mendapatkan tahta ayahku. O h.. Betapa bodohnya aku. Tertipu oleh cintamu yang palsu”, terisak
Putri Baya mengingatnya.
Kemudian ia teringat kembali kepada ayahandanya. Kekhawatiran pada ayahanda
tercintanya belumlah reda. Ia takut ayahandanya tewas dalam peperangan. Ia terus memikikannya.
Hingga beberapa jam kemudian ketika langit sore sudah mulai menampakan cahayanya, datanglah
seorang prajurit pembawa pesan. Ia berlari- lari memasuki aula kerajaan dengan berlumuran darah.
“Ampun paduka Putri, hamba hendak melaporkan pesan dari Raja Baskara untuk tuan Putri”.
Mendengar ayahandanya mengirimkan pesan kepadanya, Putri Baya terlonjak gembira. “Ayahanda
mengirimkanku pesan padaku? Bararti ia selamat? Kerajaan kita menang?”. Tanya Putri Baya
dengan tidak sabar. “Ampun paduka putri, Paduka Raja Baskara selamat dalam perang, tetapi
kerajaan kita belum sepenuhnya menang”. Kebingungan Putri Baya mendengar hal tersebut. “Apa
maksudmu? Cepat jelaskan!”. Gertak Putri Baya dengan tidak sabar. “Ampun paduka putri, Paduka
Raja Baskara memang telah mengalahkan Raja Cakrabirawa dengan berhasil membunuhnya. Tetapi
Raja Baskara berkata pada kami semua bahwa ini bukanlah kemenangan seutuhnya, karena
kemenagan yang seseungguhnya ialah dengan terbunuhnya Raden Sura, orang yang telah berani
mendekati putri. Oleh karena itu Paduka Raja Baskara berpesan pada Tuan Putri agar tetap berdiam
diri di istana sampai Raden Sura terbunuh dan kita semua pulang membawa kemenagan yang
sesunggunya”.
Putri Baya terdiam setelah mendengar penuturan parajuritnya. Ia bepikir sejenak. Kemudian
dengan tegas ia berkata, “Bawa aku ke medan perang”. Terkejutlah prajurit tersebut.”Ampun
Paduka Putri, bukankah perintah Paduka Raja Baskara sudah jelas agar Paduka Putri tetAp berdiam
di istana sampai perang ini uasai”. Putri Baya menjawab, “Aku ingin melihat sendiri bagaimana
ayahandaku menumpas habis Sura. Dan jika memang nanti ayahandakulah yang akan tewas di
tangan Sura, maka hanya akulah yang kemudian berhak menbunuh Sura”. Ujar Putri Baya dengan
tegas sambil menahan air matanya.
Maka berangkatlah Putri Baya ke medan peperangan dengan menunggangi kuda
kesayanagnnya. Detak jantungnya semkain menjadi-jadi selama di perjalanan. Dan ketika ia sampai,
betapa terkejutnya ia melihat banyak sekali korban perang yang begelimpanagan di hadapanya. Ia
melihat dari kejauhan ayahandanya sedang berduel dengan orang yang ia kenal, Raden Sura.
Rupanya Raden Sura tidak tahan ketika mendengar kabar akan kematian ayahandanya. Niat untuk
tidak mengukuti peperangan sudah tidak lagi ia indahkan. Yang ia pikiran sekarang adalah
keselamatan kerajaannya.
Mereka berduel berjam- jam lamanya. Keduanya masing-masing sangat tangkas dalam
berperang. Walaupun tubuh Raden Sura lebih kecil daripada Raja Baskara, ia tetap dapat menangkis
serangan-serangan mematikan yang diluncurkan Raja Baskara. Semangat juang Raden Sura dan
rasa sayangnya kepada ayahandanya yang kini sudah jadi mayat menjadikannya tidak henti-hentinya
terus meyerang Raja Baskara dengan pedangnya. Sedangkan Raja Baskara yang sudah
kelelahan akibat seharian berperang mulai kewalaha menagkis serangan Raden Sura. Lama-
4. kelamaan Raja Baskara kehabisan energi, dan ia pun dapat dipojokan oleh Raden Sura. Dan
akhirnya pedang yang dari tadi masih bersih mengkilap mulai berlumuran oleh darah Raja Baskara.
Dengan sangat gagah berani Raden Sura menusukkan pedangnya tepat di perut Raja Baskara.
Lolongan kematian keluar dari mulut Raja Baskara. Sejenak semua orang terdiam hening. Pasukan
Kerajaan Purbawesa menatap denga takjub peristiwa yang baru saja terjadi. Sedaangkan pasukan
Kerajaan Kuncara berdiri lemas. Pedang dan panah mereka mulai jatuh lemas ke tanah.
Raden Sura tersenyum puas. Sedangkan dari kejauhan Putri Baya menjerit histeris, ia berlari
ke tempat ayahandanya terbaring mati. Ia kemudian memeluk tubuh yang kini sudah menjadi mayat.
Menangis ia di atas mayat ayahandanya. Raden Sura terpaku melihat Putri Baya menangis. Rasa
penyesalan mulai tumbuh di dalam hatinya. Ia tak mampu brkata-kata. Ia hanya bisa bergumam,
“Baya? Kau kah itu?”. Putri Baya kemudian menghentikan tangisannya, ia berdiri menatap Raden
Sura. ”Sudah puaskah kau setelah membunuh ayahandaku? Sudah tuntaskah niatmu untuk
menguasai kerajaanku?”. Putri Baya tidak kuat menahan kemarahannya. “Kau orang yang keji Sura,
setelah kau berhasil menipuku dengan cintamu yang palsu, sekarang kau membunuh orang yang
begitu akau sayangi, dan sebentar lagi kau bahkan akan menguasai kerajaan yang aku cintai.
Sungguh kau orang yang keji”. Raden Sura menatap Putri Baya dan berkata. “Tiada maksud aku
untuk menguasai kerajaanmu Baya. Awalnya aku mendapat titah dari ayahku untuk menjadi mata-mata
di kerajaanmu, kemudian ayahku juga memberiku tugas untuk mendekatimu, tapi itu semua
bukan kehendakku, itu semua bukan kemauanku, tapi sebagai seorang anak yang berbakti aku harus
melakukannya walaupun dengan berat hati”. Tetap dengan menatap Putri Baya, Raden Sura
melanjutkan. “Tetapi, setelah melihat dan mengenalmu Baya, aku mulai memutuskan untuk
mengakui semuanya pada waktu itu. Aku ingin kau tau bahwa cintaku tulus padamu. Tetapi kau tau
sendiri hubungan kita terbongkar sebelum aku sempat menjelaskan kebenaran hatiku kepadamu.
Maafkan aku Baya, telah menipumu waktu itu. Aku telah menyamar dan telah mencintaimu sebagai
seorang pelatih kudamu, bukan sebagai diriku sendiri. Maafkan aku Baya. Tapi aku tulus
mencintaimu”. Mendengar semua itu, Putri Baya semakin geram. “Begitu? Itukah cintamu padaku
Sura? Kau bohong. Kau mencitaikau tetapi kau telah tega membunuh ayhandaku. Itukah bentuk
cintamu padaku?”. Air mata mulai menetes kembali di mata Puri Baya. Kemudian berkatalah Raden
Sura “Aku menyesal Baya, maafkan aku. Aku rela melakukan apapun untuk menebus semua ini”.
Putri Baya kemudian membalasnya dengan menahan amarahnya, “Baik. Jika kau berkata sepeti itu,
apakah kau juga rela mati seperti ayahku? Apa kau rela mati ditanganku, Sura? ”. Kemudian suasana
menjadi hening. Tak lama setelahnya Raden Sura berkata lirih “Lakukan, Baya!”
Putri Baya mengambil pedang yang tertancap di perut ayahandanya, dan menusukannya
kepada perut Raden Sura. Raden Sura hanya diam tanpa melawan. Ia rela dibunuh oleh Putri Baya.
Dan sebelum ia benar-benar mati, ia berbisik pada Putri Baya, “Maafkan aku Baya. Aku
mencintaimu”. Kata-kata tersebut menjadi kata-kata terakhir Raden Sura. Kemudian ia hembuskan
nafas terakhirnya. Pergi menyusul ayahandanya.
Kembali Putri Baya menangis. Kali ini tangisanya semakin menjadi-jadi. Ia telah kehilangan
ayah tercintanya. Dan sekarang di hadapanya, terbaring pula orang yang begitu mencintainya.
Orang yang tulus menintai Putri Baya sehingga ia rela mati di tangannya.
“O h.. Gusti. Mengapa begini? Apa yang harus kulakukan?”. Seru Putri Baya diantara
keheningan. Para prajurit Kuncara dan Purbawesa hanya bisa terdiam menyaksikan kejadian di
hadapan mereka. Kemudian Putri Baya kembali menatap tubuh Raden Sura yang sudah tidak
bernyawa. Air matanya terus mengalir tanpa henti membasahi pipinya yang merona. Ia tak kuasa
menghadapi semua ini. Ia berkata dengan lantang. “Sura, kau sudah membuktikan cintamu padaku
dengan rela menghakhiri nyawamu di tanganku. Sekarang giliranku untuk membuktikan bahwa
akupun masih cinta padamu”. Kemudian ia cabut pedang yang terancap di perut Raden Sura. Dan ia
hunuskan pedang tersebut ke dalam perutnya sendiri. Jerit kesakitannya mengalahkan jeritan
5. histeris prajurit di sekitaranya. Darahpun mengucur deras keluar dari perutnya. Dan Matilah ia
diatas mayat Raden Sura.
Maka orang-orang menyebut medan pertempuran yang menewaskan Raden Sura dan Putri
Baya dengan nama Surabaya.