SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 95
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

ANALISIS KERUGIAN EKONOMI PENCEMARAN AIR
TERHADAP PERIKANAN BUDIDAYA SISTEM KERAMBA
JARING APUNG (KJA) DI WADUK CIRATA,
KABUPATEN BANDUNG BARAT
Radityo, Rizky1), Benny Osta Nababan2) dan Tridoyo Kusumastanto3)
1) Alumni Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM, IPB
2) Dosen Pengajar Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: S.Pi, M.Si
3) Dosen Pengajar Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: Prof. Dr. Ir, MS

ABSTRACT
This research aims to analyze the economic impact of water pollution on
aquaculture in Cirata.The impact of water pollution in Cirata is declining fish
productivity of float cage aquaculture. Based on the data analysis, there are 8 factors
that could explain the presence of contamination in the last 5 years which has
exceeded the threshold of category C i.e. Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu, Cd, and Nitrite.
Furthermore, multiple regression analysis of water quality impact on the productivity
of float cage is conducted. Based on the results of the regression analysis, a variable
which statistically significant effect on productivity float cage is DO levels. The loss
value due to water pollution on aquaculture is calculated based on productivity
decline of KJA perceived in the last 5 years; with the total is Rp 985.485.382.718 in
2011. This is calculated from the 2 dominant species farmed fish commodities. While
the results of the economic loss in the last 5 years is reach Rp 4.219.702.954.280.
Based on the field observations and discussions with relevant stakeholders, there are
5 policies to handling water pollution. The policies include restrictions on the amount
of float cage with progressive taxation, tax collection at each float cage aquaculture
for environmental improvement costs (Rp 10/kg harvest), installation of filter waste,
biological cleaners with restocking fish that eat dirt and moss, and disallow
unfriendly float cage environment (Styrofoam float cage) and discard the unused.
From the AHP analysis, the first policy prioritized is the installation of filter waste
policy.
Keyword : Economic Loss, Water Pollution, Float Cage Aquaculture, Cirata Reservoir,
West Bandung.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak ekonomi dari pencemaran air
pada budidaya di Cirata. Dampak dari pencemaran air di Cirata adalah
menurunnya produktivitas ikan mengapung kandang budidaya. Berdasarkan
analisis data yang ada 8 faktor yang dapat menjelaskan adanya kontaminasi dalam
5 tahun terakhir yang telah melampaui ambang kategori C adalah Pb, Zn, Cl2,
H2S, DO, Cu, Cd, dan nitrit. Analisis regresi ganda lebih lanjut dari dampak
1
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

kualitas air terhadap produktivitas mengapung kandang. Berdasarkan hasil
analisis regresi dilakukan, hanya variabel signifikan secara statistik tingkat DO
berpengaruh signifikan terhadap produktivitas mengambang kandang. Nilai
kerugian pencemaran air pada budidaya dihitung penurunan produktivitas
berbasis KJA dirasakan dalam 5 tahun terakhir, sebesar Rp 985.485.382.718 pada
tahun 2011 . Ini dihitung dari 2 spesies yang dominan bertani komoditi ikan.
Sedangkan hasil perhitungan Kerugian Ekonomi dalam 5 tahun terakhir sebesar
Rp 4.219.702.954.280 . Berdasarkan pengamatan lapangan dan diskusi dengan
stakeholder terkait, diperoleh 5 penanganan kebijakan polusi air. Kebijakan
mencakup pembatasan jumlah pelampung kandang dengan pajak progresif,
pengumpulan pajak pada setiap budidaya mengambang kandang untuk biaya
perbaikan lingkungan ( tanaman Rp 10/kg ), instalasi limbah filter, pembersih
biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut , dan penarikan
tidak ramah lingkungan mengambang kandang (float yang terbuat dari styrofoam)
dan tidak terpakai. Hasil analisis AHP diperoleh dari prioritas kebijakan pertama
adalah pemasangan kebijakan limbah filter.
Kata Kunci:
Economic Loss, Water Pollution, Float Cage Aquaculture, Cirata
Reservoir, West Bandung.
PENDAHULUAN
Waduk Cirata merupakan salah
satu dari tiga waduk yang dialiri oleh
Sungai Citarum dengan total luas
6.603,14 ha. Waduk Cirata memiliki
fungsi sebagai pembangkit tenaga
listrik tenaga air terbesar di Pulau
Jawa dengan kapasitas listrik 1.008
MW (8×126 MW). Selain fungsi
utamanya sebagai sumber air PLTA,
pembangunan
Waduk
Cirata
membuka peluang usaha budidaya
ikan sistem Keramba Jaring Apung
(KJA) dan aktivitas penangkapan ikan
bagi masyarakat yang kehilangan
mata
pencaharian
akibat
pembangunan Waduk Cirata. Kini
Waduk Cirata juga dimanfaatkan
untuk lalu lintas air, reservoir atau
penyediaan air, dan aktivitas ekonomi
lainnya, termasuk pariwisata.
Pencemaran air di Waduk Cirata
bukan
hanya
disebabkan
berlebihannya KJA, pencemaran juga
disebabkan karena air dari Sungai

Citarum yang masuk ke dalam Waduk
Cirata sudah tercemar. Pencemaran
Sungai Citarum disebabkan karena
Sungai
Citarum
dijadikan
pembuangan limbah kotoran sapi,
penggunaan pupuk dan pestisida
kimia pada pertanian di hulu
Citarum, tempat pembuangan limbah
pemukiman,
serta
pembuangan
limbah industri.
Dampak pencemaran air pada
Waduk Cirata dirasakan pada sektor
perikanan
yaitu
menurunnya
produktivitas
ikan
pada
KJA.
Penurunan
produktivitas
KJA
dirasakan oleh pembudidaya ikan
dengan meningkatnya FCR (Feed
Convertion Ratio) dari 1,5 menjadi 2.
Peningkatan
FCR
menyebabkan
penurunan keuntungan budidaya
ikan
sistem
KJA
sehingga
memberikan dampak secara ekonomi
pada sektor perikanan. Permasalahan
pencemaran tersebut belum dapat
diselesaikan
dengan
kebijakan
2
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

pengelolaan waduk yang ada. Dengan
demikian perlu adanya penelitian
mengenai
dampak
ekonomi
pencemaran air terhadap budidaya
ikan
sistem
KJA
serta
solusi
kebijakan penanganan pencemaran
air untuk pengelolaan Waduk Cirata
yang lebih baik.
Berdasarkan uraian tersebut
maka penelitian berupaya untuk
memecahkan permasalahan tersebut
dengan tujuan: (1) mengidentifikasi
faktor-faktor pencemaran air apa saja
yang
mempengaruhi
kegiatan
perikanan budidaya, (2) menganalisis
pengaruh pencemaran air terhadap
kegiatan perikanan budidaya, (3)
mengestimasi nilai kerugian akibat
pencemaran air terhadap kegiatan
perikanan budidaya di Waduk Cirata,
(4) mengkaji perbaikan kebijakan
pengelolaan air di Waduk Cirata
secara lestari.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Waduk
Cirata, Kabupaten Bandung Barat,
Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi
ini dilakukan dengan pertimbangan
bahwa di kondisi air di Waduk Cirata
sudah tercemar oleh beberapa faktor
kualitas air yang telah melebihi
ambang batas golongan C yang
berpengaruh
pada
perikanan
budidaya (BPWC, 2012). Waktu
penelitian dilakukan dari bulan Maret
2012 hingga Mei 2013.
Metode Penelitian
Penelitian
yang
dilakukan
merupakan
penelitian
survei.
Pengertian
surveidibatasi
pada
pengertian survei sample, informasi
dikumpulkan dari sebagian populasi
untuk mewakili seluruh populasi.

Dalam penelitian survei, informasi
dikumpulkan dari responden dengan
menggunakan
kuesioner
dan
wawancara.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dengan wawancara
kepada masyarakat yang bekerja pada
KJA Waduk Cirata untuk mengetahui
perubahan output setelah terjadinya
pencemaran melalui kuesioner.
Data
mengenai
kebijakan
penanganan
didapatkan
melalui
wawancara dengan stakeholder yang
dapat
mempengaruhi
kebijakan
pengelolaan Waduk Cirata yaitu Ketua
ASPINDAC, Kepala Dinas Peternakan
dan Perikanan, Kabupaten Bandung
Barat, Kepala BPWC, dan Kepala UP
Cirata.Data sekunder yang diperlukan
dalam penelitian ini yaitu data time
series produksi ikan perbulan, data
kualitas air per bulan, serta data time
series jumlah KJA setiap tahun. Data
sekunder diperoleh dari instansi
terkait, buku-buku, internet, dan
informasi lainnya yang mendukung.
Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel
dilakukan
dengan
metode
nonprobability samplingyaitu purposive
sampling, pengambilan sampel tidak
dilakukan secara acak melainkan
dengan pertimbangan tertentu dan
secara sengaja sesuai dengan tujuan
penelitian.
Pertimbangan
tertentu
yang dimaksud adalah responden
yang merupakan pembudidaya ikan
yang
telah
berprofesi
sebagai
pembudidaya ikan di Waduk Cirata
minimal 5 tahun dengan asumsi
kondisi sebelum pencemaran adalah 5
3
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

tahun yang lalu. Responden yang
diwawancara untuk melihat dampak
pencemaran
terhadap
perikanan
budidaya sebanyak 30 responden
yang diambil dari pembudidaya ikan
di Waduk Cirata wilayah kabupaten
Bandung Barat. Responden yang
diwawancara untuk memilih alternatif
kebijakan dilakukan dengan purposive
(sengaja)
yaitu
para
pembuat
kebijakan (policy maker).

𝑌 = 𝑎 + 𝑏1 𝑋1 + 𝑏2 𝑋2 + 𝑏3 𝑋3 + 𝑏4 𝑋4 + 𝑏5 𝑋5
+ 𝑏6 𝑋6 + 𝑏7 𝑋7 + 𝑏8 𝑋8
+ 𝜀 … (1)
Keterangan:
Y = Produktivitas KJA
(kg/petak/bulan)
a = Intercept
X1 = Pb (mg/l)
X5 = DO (mg/l)
X2 = Zn (mg/l)
X6 = Cu (mg/l)
X3 = Cl2 (mg/l)
X7 = Cd (mg/l)
X4 = H2S (mg/l)
X8 = Nitrit (mg/l)

Metode Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan
kemudian diolah secara kualitatif dan
kuantitatif.Data diolah dengan
program komputer software SPSS 15
dan program Microsoft Office Excel.

Valuasi Kerusakan Air
Nilai ekonomi total merupakan
konsep
yang
sesuai
untuk
memperhitungkan
biaya
atau
kerusakan yang ditimbulkan oleh
suatu
kegiatan
(Yunus
dan
Dharmawan, 2005). Nilai kerusakan
pada perikanan budidaya sistem KJA
diestimasi
dengan
menggunakan
metode pendekatan produktivitas dan
Economic Loss.

Analisis Deskriptif
Identifikasi
faktor-faktor
pencemaran dan persepsi terhadap
perikanan
budidaya
dilakukan
dengan
menggunakan
analisis
deskriptif. Tujuannya adalah untuk
membuat deskripsi, gambaran secara
sistematis,
faktual
dan
akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang
diselidiki.
Analisis Regresi Berganda
Analisis
regresi
berganda
menggunakan variabel produktivitas
KJA dan indikator pencemaran air.
Analisis model regresi berganda akan
dilakukan dengan program SPSS.
Data yang digunakan pada semua
variabel
ditransformasi
dengan
menjadi √𝑋. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan model terbaik, yang
meminimumkan berbagai masalah
seperti
multikolinearitas
dan
autokorelasi. Model dugaan sebagai
berikut:

Pendekatan Produktivitas
Kehilangan sumberdaya air yang
bersih berdampak pada kerugian
ekonomi pengguna air tersebut.
Kerugian tersebut dapat dilihat dari
jumlah produksi yang dihasilkan
(produktivitas) yang berkurang akibat
pencemaran air. Nilai kerugian dari
perubahan
produktivitas
dapat
dihitung dengan rumus:
Penurunan Produksi .................. =
VP x L x hx Nt+1 ................... (2)
Penurunan Frekuensi Panen
=
(Nt – Nt+1) x Pt x h x L ........... (3)
Kerugian Ekonomi
=
Penurunan Produksi +
Penurunan Frekuensi Panen..(4)
Keterangan:
Penurunan Produksi
=
Kerugian Penurunan produksi
(Rp/tahun)

Penurunan Frekuensi Panen

=
4
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

Kerugian Penurunan frekuensi
panen (Rp/tahun)
VP = Perubahan produktivitas
(kg/panen/petak)
Pt = Produktivitas KJA sebelum
pencemaran (kg/panen/petak)
Pt+1 = Produktivitas KJA setelah
pencemaran (kg/panen/petak)
Nt = Frekuensi panen per tahun
sebelum pencemaran
(panen/tahun)
Nt+1 = Frekuensi panen per tahun
setelah pencemaran
(panen/tahun)
L = Jumlah KJA (petak)
h = Harga ikan (Rp/kg)
Kerugian = Nilai kerugian KJA
(Rp/tahun)

1 Petak KJA Ikan Mas
7m x 7m x 3m

=

(panjang x lebar x kedalaman)

1 Petak KJA Ikan Nila
7m x 14m x 6m

=

(panjang x lebar x kedalaman)

Analisis Economic Loss
Pengaruh pencemaran air akan
berdampak pada keberlangsungan
hidup ikan budidaya dalam jangka
panjang sehingga penting untuk
mengetahui
kerugian
yang
ditimbulkan dimasa depan. Kerugian
ekonomi
terhadap
perikanan
budidaya dapat dihitung dengan
rumus :
K E = ∑5 [Pbtp i hbtp i ] − [Pbp i hbp i ] … … . (5)
𝑖−1
Keterangan :
KE
: Kerugian
Ekonomi
(Rp/5
tahun)
Pbtp i : Produksi
budidaya
saat
situasi
tanpa
polusi
(kg/tahun)
hbtp i : Harga hasil budidaya saat
situasi tanpa polusi (Rp/kg)

Pbp i

hbp i

i

: Produksi
budidaya
saat
situasi polusi karena adanya
pencemaran (kg/tahun)
: Harga hasil budidaya saat
situasi polusi karena adanya
pencemaran (Rp/kg)
: 5 tahun

Pemilihan Alternatif Kebijakan
Penanganan Pencemaran
Kondisi Waduk Cirata yang
sudah tercemar memerlukan sebuah
kebijakan untuk penanganan kualitas
air agar kondisi air membaik. Hasil
dari observasi lapang dan diskusi
dengan stakeholder terkait terdapat
lima
kebijakan
penanganan
pencemaran yaitu : (A) Pembatasan
jumlah KJA dengan pajak progresif,
(B) Pemungutan pajak pada setiap
KJA
untuk
biaya
perbaikan
lingkungan (Rp 10/kg hasil panen),
(C) Pemasangan penyaring sampah,
(D)
Pembersih
biologis
dengan
restocking
ikan
yang
memakan
kotoran dan lumut, dan (E) Penarikan
KJA yang tidak ramah lingkungan
(pelampung terbuat dari styrofoam)
dan KJA yang sudah tidak terpakai.
Alternatif kebijakan tersebut
akan dinilai berdasarkan beberapa
kriteria yaitu kriteria sosial ekonomi
dan
kriteria
lingkungan.
Setiap
kriteria memiliki atribut yang akan
menjadi bahan penilaian kelima
kebijakan tersebut. Atribut dari
kriteria sosial ekonomi meliputi: (T1)
kemudahan kebijakan diterima oleh
masyarakat
(acceptance),
(T2)
kemudahan kebijakan dilaksanakan
(aksesibilitas), (T3) besarnya biaya
yang dikeluarkan, (T4) ketersediaan
infrastruktur untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, dan (T5) distribusi
pengetahuan terhadap masyarakat.
5
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

Atribut dari kriteria lingkungan
meliputi hasil dari kebijakan tersebut
yaitu: (T6) pengurangan sampah, (T7)
peningkatan
kualitas
air,
(T8)
pengurangan
sedimentasi,
(T9)
penurunan penyakit ikan, dan (T10)
pemulihan habitat ikan.
Tahapan-tahapan pengambilan
keputusan
dalam
metode
AHP
menurut Mora (2009) adalah:
1. Mendefinisikan masalah dan
menetukan
solusi
yang
diinginkan.
2. Membuat struktur hirarki yang
diawali
tujuan
umum,
dilanjutkan dengan kriteriakriteria
alternatif-alternatif
pilihan yang ingin dirangking.
Bentuk struktur hirarki dapat
dilihat pada Gambar 1.
3. Membentuk
matriks
perbandingan
berpasangan
yang
menggambarkan
kontribusi
relatif
atau
pengaruh
setiap
elemen
terhadap
masing-masing
tujuan atau kriteria yang
setingkat
di
atasnya.

4.

5.

6.
7.

Perbandingan
dilakukan
berdasarkan
pilihan
atau
judgement
dari
pembuat
keputusan
dengan
menilai
tingkat-tingkat
kepentingan
suatu elemen dibandingkan
elemen lainnya.
Menormalkan
data
yaitu
dengan membagi nilai dari
setiap elemen di dalam matriks
yang berpasangan dengan nilai
total dari setiap kolom.
Menghitung nilai eigen vector
dan menguji konsistensinya,
jika tidak konsisten maka
pengambilan data (preferensi)
perlu diulangi. Nilai eigen vector
yang dimaksud adalah nilai
eigen vector maksimum yang
diperoleh
dengan
menggunakan matlab maupun
dengan manual.
Mengulangi langkah 3,4, dan 5
untuk seluruh tingkat hirarki.
Menghitung eigen vector dari
setiap matriks perbandingan
berpasangan. Nilai eigen vector
merupakan bobot dari setiap

Tujuan

T1

T2

T3

A

T4

T5

B

T6

T7

C

T8

D

T9

T10

E

Gambar 1. Struktur Hirarki
Keterangan :
Tingkat pertama
Tingkat kedua
Tingkat ketiga

: Tujuan Keputusan
: Kriteria-kriteria
: Alternatif-alternatif
6
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

elemen.
Langkah
tersebut
untuk
mensintesis
pilihan
dalam
penentuan
prioritas
elemen-elemen pada tingkat
hirarki
terendah
sampai
pencapaian tujuan.
8. Menguji konsistensi hirarki.
Jika tidak memenuhi kriteria
CR < 0,1 maka penilaian harus
diulangi kembali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fator-faktor Pencemaran yang
Mempengaruhi Perikanan
Tercemarnya kualitas air dapat
ditentukan dari kondisi fisika, kimia,
serta
biologi.
Faktor
yang
mempengaruhi kondisi fisika antara
lain temperatur, residu terlarut, zat
tersuspensi, transparansi, kekeruhan,
kedalaman,
dsb.
Faktor
yang
mempengaruhi kondisi kimia perairan
antara lain pH, H2S, amonia, oksigen
terlarut, COD, BOD, logam berat, dsb.
Faktor
yang
mempengaruhi
kondisi biologi perairan merupakan
jumlah bakteri, virus, atau plankton
yang hidup diperairan seperti bakteri
E. coli, Coliform, dan lain-lain.
Pencemaran air terjadi apabila kadar
dari faktor-faktor tersebut melebihi
ambang batas yang ditentukan.
Terdapat 8 faktor yang
dapat
menjelaskan
adanya
pencemaran
dalam 5 tahun terakhir yang telah
melebihi ambang batas golongan C.
Faktor tersebut yaitu Pb, Zn, Cl2, H2S,
DO, Cu, Cd, dan Nitrit. Data
parameter tersebut dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Berdasarkan data parameter
kualitas air, dari tahun ke tahun
terdapat
parameter
yang
tidak
memenuhi standar. Namun terdapat

perbedaan antara kualitas air tahun
2004 dengan kualitas air 5 tahun
terakhir. Pada 5 tahun terakhir,
kualitas
air
memburuk
dengan
ditandai lebih banyak parameter yang
tidak memenuhi standar.
Kualitas air terburuk terjadi
pada tahun 2011 caturwulan pertama
dengan adanya 7 parameter kualitas
air yang melebihi baku mutu golongan
C. Kualitas air terburuk selanjutnya
pada tahun 2007 caturwulan 2, tahun
2008 caturwulan 3, tahun 2011
caturwulan 2, serta tahun 2011
caturwulan 3 dengan 6 parameter
kualitas air yang tidak sesuai dengan
baku mutu golongan C. Pada tahun
2012 awal, kualitas air kembali
membaik dengan hanya 3 parameter
kualitas air yang tidak memenuhi
standar golongan C yaitu H2S, DO,
dan Nitrit.
Parameter
yang
merupakan
logam berat adalah Pb, Zn, Cu, dan
Cd. Menurut BPWC (2009), toksisitas
logam-logam berat yang melukai
insang dan struktur jaringan luar
lainnya,
dapat
menimbulkan
kematian
terhadap
ikan
yang
disebabkan oleh proses anoxemia,
yaitu
terhambatnya
fungsi
pernapasan yakni sirkulasi dan
eksresi
dari
insang.
Oksigen
diperlukan ikan untuk melakukan
pernapasan yang digunakan sebagai
bahan bakar pembakaran makanan
untuk menghasilkan energi. Oleh
karena itu ketersediaan oksigen akan
menentukan aktivitas ikan. Menurut
Ghufran dan Kordi (2010), ikan akan
tumbuh baik pada perairan dengan
kadar DO 6-7 ppm (mg/l). Pada
konsentrasi DO kurang dari 4 ppm
(mg/l), ikan masih dapat hidup
namun nafsu makannya berkurang.
7
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

H2S berpengaruh terhadap ikan.
Menurut Ghufran dan Kordi (2010),
ikan biasa keracunan (kehilangan
keseimbangan pada konsentrasi H2S
0,1-0,2
ppm
(mg/l)
dan
pada
konsentrasi 0,25 ppm (mg/l) kematian
massal umumnya terjadi. Menurut
Alfiansyah (2011), nitrit merupakan
mineral yang diasimilasikan oleh
tumbuh-tumbuhan
hijau
untuk
menyusun asam amino kembali
dalam tubuhnya, untuk menbentuk
protoplasma
itu
selanjutnya
tergantung pada nitrit, phitoplankton
itu
selanjutnya
menjadi
bahan
makanan bagi organisme yang lebih
tinggi. Nitrit tersebut pada suatu saat
dapat dibongkar lebih lanjut oleh
bakteri denitrifikasi (yang terkenal
yaitu
Micrococcus
denitrifikan),
bakterium nitroxus menjadi nitrogennitrogen
bebas.
Bila
hasil
pembongkaran bahan organik terhenti
sehingga
tidak
terbentuk
nitrat
sebagai hasil akhir, maka air tersebut

disebut sedang mengalami pengotoran
(Pollution) (Alfiansyah, 2011). Cl2
merupakan
bahan
kimia.
Berlebihannya Cl2 dapat menjadi
racun terhadap ikan. Keberadaan ion
Cl2 dalam air akan berpengaruh
terhadap
tingkat
keasinan
air.
Semakin tinggi konsentrasi Cl2,
berarti semakin asin air dan semakin
rendah kualitasnya (Suwito, 2011).
Pengaruh Pencemaran Air Terhadap
Perikanan Budidaya
Pengaruh pencemaran dilihat dari
model pengaruh pencemaran air
terhadap produktivitas KJA. Hasil
pengolahan
data
dari
fungsi
produktivitas KJA didapat sebagai
berikut :
Y = 4,838 + 1,470 X1 + 2,977 X2 +
0,775 X3 + 0,512 X4 + 2,746 X5 +
2,669 X6 - 10,582 X7 + 0,537 X8 +
ε ........................................ (6)

Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Kualitas Air Terhadap Produktivitas
Budidaya
Dependent Variabel: Y
Variabel
Coefficient
t-statistic
Probabilitas
VIF
C
4,838
1,597
0,154
X1
1,470
0,476
0,648
2,458
X2
2,977
0,971
0,364
1,859
X3
0,775
0,438
0,675
1,645
X4
0,512
0,331
0,750
1,942
X5
2,746
2,896
0,023**
3,906
X6
2,669
0,548
0,601
2,867
X7
-10,582
-1,462
0,187
1,919
X8
0,537
0,174
0,867
2,019
R-squared
0,793
Adj R-squared
0,556
DW stat
1,428
Prob (F-stat)
0,065*
Sumber: Hasil Analisis Data, 2012
Keterangan:
**
: Signifikan pada taraf nyata 5%
*
: Signifikan pada taraf nyata 10%
8
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

Pada
persamaan
pengaruh
kualitas air terhadap produktivitas
memiliki nilai probabilitas (F-stat)
nyata pada taraf 5 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel bebas
dalam model secara bersama-sama
memiliki
pengaruh
yang
nyata
terhadap variabel tak bebas. Variabel
bebas yang mempunyai pengaruh
nyata pada taraf nyata 5 persen (Prob
< 0,05) adalah DO. Artinya, jika kadar
DO dalam perairan waduk meningkat
sebesar
satu
mg/liter,
maka
diperkirakan produktivitas KJA akan
meningkat sebesar 2,746 kg/KJA/
bulan.
Batas peningkatan produktivitas
KJA karena adanya peningkatan
kadar DO adalah 7 mg/l (7 ppm). Hal
tersebut didasarkan pada Ghufran
dan Kordi (2010), ikan akan tumbuh
baik pada perairan dengan kadar DO
6-7 mg/l. Pada konsentrasi DO
kurang dari 4 mg/l, ikan masih dapat
hidup
namun
nafsu
makannya
berkurang
yang
menyebabkan
pertumbuhan
menjadi
melambat.
Kadar DO pada perairan Waduk
Cirata berdasarkan data kualitas air
tahun 2012 triwulan pertama sebesar
4,2 mg/l. Jika kadar DO meningkat
ke batas kondisi optimum yaitu 7
mg/l maka akan terjadi peningkatan
produktivitas KJA sebesar 21,112
kg/KJA/bulan. Dengan kata lain
batas
peningkatan
maksimum
produktivitas KJA karena peningkatan
kadar DO adalah sebesar 21,112
kg/KJA/bulan
jika
dilihat
berdasarkan kadar DO tahun 2012
triwulan pertama.
Suhu
air
Waduk
Cirata
pengukuran tahun 2012 triwulan
pertama yaitu sebesar 30,6o C.
Berdasarkan Cole (1983) dalam Efendi

(2003), kadar DO jenuh pada perairan
tawar dengan suhu 31o C adalah
sebesar
7,43
mg/l.Persamaan
pengaruh
kualitas
air
terhadap
produktivitas KJA memiliki nilai
koefisien determinasi sebesar 0,556.
Artinya, persamaan model pengaruh
kualitas air terhadap produktivitas
KJA dapat dijelaskan oleh variabelvariabel yang terdapat di dalam model
tersebut sebesar 55,6 persen, sisanya
sebesar 44,4 persen dijelaskan oleh
variabel lain diluar model pengaruh
kualitas air terhadap produktivitas
KJA.
Penilaian
Kerusakan
Akibat
Pencemaran
Penurunan Produktivitas Budidaya
Ikan
Terdapat penurunan rata-rata
hasil panen ikan mas per petak
dengan ukuran satu petak sebesar 7m
x 7m x 3m. Penurunan yang terjadi
sebesar 290,3 kg/panen/ petak (VP)
dengan kondisi sebelum pencemaran
rata-rata hasil panen sejumlah 1.092
kg/panen/petak (Pt) menjadi 801,7
kg/panen/petak (Pt+1). Jika diketahui
harga ikan mas pada tahun 2012
adalah Rp 15.000/kg, maka harga
ikan mas tahun 2011 berdasarkan
IHK bahan makanan Provinsi Jawa
Barat adalah Rp 14.795/kg (h).
Jumlah kolam ikan mas sebanyak
21.754
petak
(L).
Sebelum
pencemaran dapat 4 kali panen (Nt),
sedangkan setelah pencemaran hanya
3 kali panen (Nt+1). maka:
Penurunan produksi
= VP x L x h x Nt+1
= 290,3 kg/panen/petak x
21.754 petak x Rp 14.795/kg x
3 panen/thn
9
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

= Rp 0.315.031.564/thn….....(7)
Penurunan frekuensi panen
= (Nt – Nt+1) x Pt x h x L
= (4 panen – 3 panen) x 1.092
kg/petak/panen/thn x
14.795/kg x 21.754 petak
= Rp 351.480.094.693/thn….(8)
Kerugian ekonomi (ikan mas)
= Penurunan produksi ikan mas
+ Penurunan frekuensi panen
ikan mas
= Rp 280.315.031.564/thn +
Rp 351.480.094.693/thn
= Rp 631.795.126.258/thn... (9)
Terdapat penurunan rata-rata
hasil panen ikan nila per petak
dengan ukuran satu petak sebesar 7m
x 14m x 6m. Penurunan yang terjadi
sebesar 515 kg/panen/petak (VP)
dengan kondisi sebelum pencemaran
rata-rata
hasil
panen
sejumlah
1.133,3 kg/panen/petak (Pt) menjadi
618,3 kg/panen/petak (Pt+1). Jika
diketahui harga ikan nila pada tahun
2012 adalah Rp 10.000/kg, maka
harga
ikan
nila
tahun
2011
berdasarkan IHK bahan makanan
Provinsi Jawa Barat adalah Rp
9.864/kg (h). Jumlah kolam ikan nila
sebanyak 10.877 petak (L). Sebelum
pencemaran dapat 4 kali panen (Nt),
sedangkan setelah pencemaran hanya
2 kali panen (Nt+1). maka:
Penurunan produksi
= VP x L x h x Nt+1
= 515 kg/panen/petak x 10.877
petak x Rp 9.864/kg x 2
panen/tahun
= Rp 110.508.088.380/thn..(10)
Penurunan frekuensi panen
= (Nt – Nt+1) x Pt x h x L
= (4 panen – 2 panen) x 1.133,3

kg/petak/panen/tahun x
9.864/kg x 10.877 petak
= Rp243.182.168.080/thn...(11)
Kerugian ekonomi (ikan nila)
= Penurunan produksi ikan nila
+ Penurunan frekuensi panen
ikan nila
= Rp 110.508.088.380/thn +
Rp 243.182.168.080/thn
= Rp 353.690.256.461/thn..(12)
Kerugian ekonomi total
= Kerugian ekonomi (ikan mas)
+ Kerugian ekonomi(ikan nila)
= Rp 631.795.126.258/thn +
Rp 353.690.256.461/thn
= Rp 985.485.382.718/thn..(13)
Jadi berdasarkan perhitungan
kerusakan
dengan
metode
pendekatan produktivitas, didapatkan
nilai
kerugian
dari
perikanan
budidaya dalam satu tahun sebesar
Rp 985.485.382.718. Nilai tersebut
dihitung dari 2 jenis komoditas ikan
yang dominan dibudidayakan.
Analisis Economic Loss
Economic
Loss
dinilai
dari
kerusakan perikanan budidaya yang
dialami pembudidaya ikan selama 5
tahun terakhir. Hasil perhitungan
analisis Economic Loss dari komoditas
ikan mas dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, hasil
perhitungan Economic Loss komoditas
ikan
mas
didapatkan
kerugian
ekonomi
sebesar
Rp
2.463.829.350.157
dalam
jangka
waktu
5
tahun.Perbedaan
nilai
Economic Loss antara tahun 20072011 didasarkan pada perbedaan
harga ikan mas yang dilihat dari IHK
dan perbedaan jumlah KJA setiap
tahunnya dengan nilai penurunan
produktivitas
yang
tetap
setiap
10
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

tahunnya.
Selain
berdasarkan
komoditas ikan mas, perhitungan
Economic Loss juga didasarkan pada
komoditas ikan nila yang disajikan
pada Tabel 3.

mas dan ikan nila adalah sebesar Rp
4.219.702.954.280. Hasil tersebut
menunjukan kerugian yang sangat
besar pada sektor perikanan budidaya
sistem KJA.

Tabel 2. Hasil Perhitungan Economic Lossikan Mas Tahun 2007-2011
Kerugian Ikan Mas

Harga
(Rp)

Junlah
KJA
(petak)

Penurunan
Produksi (Rp)

Tahun

IHK

∆
rasio

2011

146,04

1,00

14.796

21.754

280.315.031.564

351.480.094.693

631.795.126.258

2010

141,06

0,97

14.291

20.705

257.701.106.647

323.125.052.771

580.826.159.417

2009

120,87

0,83

12.246

19.655

209.625.079.741

262.843.710.044

472.468.789.785

2008

116,11

0,80

11.764

18.605

190.611.516.898

239.003.073.203

429.614.590.101

2007

100,00

0,68

10.132

17.555

154.899.733.972

Penurunan
Frekuensi Panen
(Rp)

194.224.950.623
Economic Loss

Kerugian Ekonomi
Ikan Mas (Rp)

349.124.684.595
2.463.829.350.157

Sumber: Hasil Analisis Data, 2012
Berdasarkan Tabel 2, hasil
perhitungan Economic Loss komoditas
ikan
nila
didapatkan
kerugian
ekonomi
sebesar
Rp
1.379.242.690.236
dalam
jangka
waktu
5
tahun.Perbedaan
nilai
Economic Loss antara tahun 20072011 didasarkan pada perbedaan
harga ikan nila yang dilihat dari IHK
dan perbedaan jumlah KJA setiap
tahunnya dengan nilai penurunan
produktivitas
yang
tetap
setiap
tahunnya. Total kerugian perikanan
budidaya berdasarkan perhitungan
Economic Loss selama 5 tahun di
kawasan Waduk Cirata Kabupaten
Bandung Barat dari komoditas ikan

Pemilihan Alternatif Kebijakan
Kondisi Waduk Cirata yang
sudah tercemar memerlukan sebuah
kebijakan untuk penanganan kualitas
air agar kondisi air membaik. Hasil
dari observasi lapang dan diskusi
dengan stakeholder terkait (Disnakan
Bandung Barat, BPWC, UP Cirata,
dan
ASPINDAC)
terdapat
lima
kebijakan penanganan pencemaran
yaitu :
A. Pembatasan jumlah KJA dengan
pajak progresif.
B. Pemungutan pajak pada setiap
KJA untuk perbaikan lingkungan
(Rp 10/kg hasil panen).

Tabel 3. Hasil perhitungan Economic Lossikan nila dari tahun 2007-2011
Kerugian Ikan Nila
Tahun

IHK

∆
rasio

Harga
(Rp)

Junlah
KJA
(petak)

2011

146,04

1,00

9.864

10.877

110.508.088.380

243.182.168.080

353.690.256.461

2010

141,06

0,97

9.528

10.352

101.588.134.931

223.553.074.402

325.141.209.333

2009

120,87

0,83

8.164

9.827

82.635.911.872

181.847.143.542

264.483.055.414

2008

116,11

0,80

7.843

9.302

75.140.394.945

165.352.639.983

240.493.034.92811

2007

100,00

0,68

6.754

8.777

61.062.363.685

134.372.770.415

195.435.134.100

Penurunan
Produksi (Rp)

Penurunan
Frekuensi Panen
(Rp)

Economic Loss

Sumber: Hasil Analisis Data, 2012

Kerugian Ekonomi
Ikan Nila (Rp)

1.379.242.690.236
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

C. Pemasangan penyaring sampah.
D. Pembersih
biologis
dengan
restocking ikan yang memakan
kotoran dan lumut.
E. Penarikan KJA yang tidak ramah
lingkungan (pelampung terbuat
dari styrofoam) dan KJA yang
sudah tidak terpakai.
Alternatif kebijakan tersebut
akan dinilai berdasarkan kriteria
sosial
ekonomi
dan
kriteria
lingkungan. Setiap kriteria memiliki
atribut yang akan menjadi bahan
penilaian kelima kebijakan tersebut.
Atribut dari kriteria sosial ekonomi
meliputi: (T1) kemudahan kebijakan
diterima
oleh
masyarakat
(acceptance),
(T2)
kemudahan
kebijakan
dilaksanakan
(aksesibilitas), (T3) besarnya biaya
yang dikeluarkan, (T4) ketersediaan
infrastruktur untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, dan (T5) distribusi
pengetahuan terhadap masyarakat.
Atribut dari kriteria lingkungan
meliputi hasil dari kebijakan tersebut
yaitu: (T6) pengurangan sampah, (T7)
peningkatan
kualitas
air,
(T8)
pengurangan
sedimentasi,
(T9)
penurunan penyakit ikan, dan (T10)
pemulihan habitat ikan. Berdasarkan
hasil analisis AHP yang dilakukan
maka dapat dilihat kebijakan yang
paling relevan untuk penanganan
pencemaran air di Waduk Cirata
Kabupaten Bandung Barat. Secara
detail prioritas pemilihan alternatif
kebijakan berdasarkan analisis AHP
dapat
dilihat
pada
Tabel
4.
Berdasarkan hasil perhitungan Tabel
4 diperoleh urutan prioritas global
yaitu:
1. Alternatif
kebijakan
C
(Pemasangan penyaring sampah)

menjadi
prioritas
pertama
dengan nilai bobot 0,323 atau
32,3%.
2. Alternatif
kebijakan
D
(Pembersih
biologis
dengan
restocking ikan yang memakan
kotoran dan lumut) dengan nilai
bobot 0,247 atau 24,7 %.
3. Alternatif
kebijakan
A
(Pembatasan jumlah KJA dengan
pajak progresif) dengan nilai
bobot 0,175 atau 17,5%.
4. Alternatif kebijakan E (Penarikan
KJA
yang
tidak
ramah
lingkungan (pelampung terbuat
dari styrofoam) dan KJA yang
sudah tidak terpakai) dengan
nilai bobot 0,157 atau 15,7%.
5. Alternatif
kebijakan
B
(Pemungutan pajak pada setiap
KJA
untuk
perbaikan
lingkungan (Rp 10/kg hasil
panen)) dengan nilai bobot 0,099
atau 9,9%.
Berdasarkan
hasil
yang
diperoleh, dihitung nilai CR untuk
menguji konsistensi dari preferensi
penilaian.
Berdasarkan
hasil
perhitungan, nilai CR yang diperoleh
dari seluruh matriks penilaian < 0,1
yang artinya preferensi penilaian
konsisten.
Kebijakan pemungutan pajak
lingkungan pada setiap KJA untuk
perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil
panen) (kebijakan B) memiliki nilai
terendah karena tiga dari empat
stakeholder tidak setuju dengan
adanya kebijakan ini karena tidak ada
payung hukum yang melandasi
kebijakan ini. Selain itu belum adanya
badan yang menampung pajak dan
menggunakannya untuk perbaikan
lingkungan.

12
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

Tabel 4. Prioritas Pemilihan Alternatif Kebijakan Berdasarkan Analisis AHP
Kriteria

T1

T2

T3

T4

T5

T6

T7

T8

T9

T10

Bobot

0,225

0,089

0,089

0,034

0,034

0,225

0,089

0,089

0,089

0,034

A

0,044

0,040

0,379

0,049

0,146

0,105

0,158

0,484

0,405

B

0,070

0,086

0,379

0,076

0,058

0,063

0,089

0,079

0,059

C

0,335

0,468

0,056

0,502

0,352

0,459

0,298

0,222

D

0,480

0,321

0,056

0,254

0,352

0,063

0,298

E

0,070

0,086

0,130

0,119

0,091

0,310

0,158

Prioritas Global

Ranking

0,099

0,175

3

0,062

0,099

5

0,144

0,262

0,323

1

0,079

0,248

0,416

0,247

2

0,136

0,144

0,161

0,157

4

Sumber : Hasil Analisis Data, 2012
Kebijakan penarikan KJA yang
sudah
tidak
terpakaimudah
dilaksanakan, namun penarikan KJA
yang
tidak
ramah
lingkungan
(pelampung terbuat dari styrofoam)
cukup sulit dilaksanakan karena
terjadi penolakan dari pemilik KJA.
Penarikan KJA memerlukan biaya
yang cukup besar. Kebijakan ini telah
dilakukan
oleh
BPWC
namun
terkendala dari sisi biaya.
Kebijakan pembatasan jumlah
KJA dengan pajak progresif (kebijakan
A) sulit dilakukan dan sulit diterima
oleh masyarakat. Kebijakan tersebut
sulit dilakukan karena belum ada
payung hukum yang melandasi
kebijakan ini. Namun jika kebijakan
tersebut dilaksanakan dengan asumsi
terjadi
penurunan
jumlah
KJA
dimungkinkan peningkatan kualitas
air akan terjadi.
Kebijakan
penanaman
pembersih biologis dengan restocking
ikan
(kebijakan
D)
mudah
dilaksanakan
dan
diterima
masyarakat
namun
memerlukan
biaya yang besar. Kebijakan ini sudah
dilakukan oleh Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Bandung Barat
bekerjasama dengan
ASPINDAC
yangsetiap tahunnya telah melakukan
restocking sebanyak 2 juta ekor ikan
nila dengan ukuran 3,5 cm.
Berdasarkan hasil perhitungan
Tabel 4 diperoleh urutan ranking 1

yaitu
alternatif
kebijakan
C
(Pemasangan
penyaring
sampah)
menjadi ranking pertama dengan nilai
bobot 0,323 atau 32,3%. Kebijakan
pemasangan
penyaring
sampah
mudah dilaksanakan dan diterima
masyarakat,
namun
memerlukan
biaya yang besar. Hasil dari kebijakan
pun
terlihat
nyata
dari
sisi
pengurangan sampah di Waduk
Cirata.
Pemasangan penyaring sampah
telah dilakukan oleh BPWC sebanyak
3 penyaring sampah di Waduk Cirata.
Hasil pemasangan penyaring sampah
pun sudah terlihat namun masih
banyak sampah yang mengapung di
Waduk Cirata karena tidak semua
tempat memiliki penyaring sampah.
Pemasangan penyaring sampah
secara
tidak
langsung
dapat
mempengaruhi kadar DO dalam
perairan karena sampah yang berada
di Waduk Cirata selain sampah
anorganik juga terdapat sampah
organik yaitu tanaman eceng gondok
yang mati. Selain itu, sampah
anorganik (plastik, karet, styrofoam,
dan lain-lain) pada kenyataannya
tidak
murni
sampah
anorganik
karena sering kali di dalam sampah
anorganik menempel sampah organik.
Menurut Efendi (2003), penurunan
kadar oksigen di perairan diakibatkan
oleh keberadaan limbah organik yang
membutuhkan oksigen untuk proses
13
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

perombakan
(dekomposisi).
Oleh
karena
itu,
dengan
adanya
pemasangan
penyaring
sampah
secara
tidak
langsung
dapat
meningkatkan kadar DO dalam
perairan Waduk Cirata.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah:
1. Waduk
Cirata
Kabupaten
Bandung Barat telah mengalami
pencemaran air yang dibuktikan
dengan peningkatan parameter
kualitas air yang melebihi ambang
batas standar mutu Golongan C
yaitu Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu,
Cd, dan nitrit.
2. Pembudidaya
ikan
telah
mengalami dampak pencemaran
air berupa penurunan hasil panen
dan frekuensi panen. Seluruh
parameter yang telah melebihi
ambang batas memiliki pengaruh
terhadap
produktivitas
KJA,
namun berdasarkan hasil analisis
regresi hanyakadar DO yang
secara
statistik
mempunyai
pengaruh
nyata
terhadap
produktivitas KJA.
3. Nilai kerugian pembudidaya ikan
karena adanya pencemaran air
yang menyebabkan penurunan
hasil
panen
sebesar
Rp
985.485.382.718
pada
tahun
2011 dan economic loss yang
terjadi pada sektor perikanan
budidaya selama 5 tahun terakhir
sebesar Rp 4.219.702.954.280.
4. Berdasarkan
analisis
AHP
prioritas
kebijakan
yang
direkomendasikan
adalah
(1)
kebijakan pemasangan penyaring
sampah, (2) kebijakan pembersih

biologis dengan restocking ikan
yang memakan kotoran dan
lumut, (3) kebijakan pembatasan
jumlah
KJA
dengan
pajak
progresif, (4) kebijakan penarikan
KJA yang tidak ramah lingkungan
(pelampung
terbuat
dari
styrofoam) yang sudah tidak
terpakai, dan (5) Pemungutan
pajak pada setiap KJA untuk
biaya perbaikan lingkungan (Rp
10/kg hasil panen).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini
disarankan:
1. Perlu diupayakan penyelesaian
permasalahan kualitas air di
Waduk Cirata dengan menambah
jumlah penyaring sampah pada
titik-titik sebelum area KJA dan
meningkatkan
efektivitas
pengangkutan dan pengolahan
sampah pada setiap penyaring
sampah di Waduk Cirata.
2. Pembentukan
payung
hukum
yang
melandasi
pemungutan
pajak progresif oleh BPWC dalam
membatasi jumlah KJA serta
dilakukan pengawasan secara
berkala.
3. Pembentukan
peraturan
yang
melarang penggunaan pelampung
KJA yang terbuat dari styrofoam
serta
dilakukan
pengawasan
secara berkala.
4. Sosialisasi penggunaan kincir air
pada
setiap
KJA
untuk
meningkatkan kadar DO perairan
Waduk Cirata.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiansyah, M. 2011. Nitrogen Dalam
Air & Pengaruhnya Pada Ikan.
http://www.sentra14
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

edukasi.com/2011/06/nitrogendalam-air-pengaruhnyapada.html. Diakses Pada Tanggal
5 Juli 2012.
BPWC. 2009. Laporan Pemeriksaan
Kadar Logam Berat pada Ikan,
Pakan dan Sedimen di Waduk
Cirata. Badan Pengelola Waduk
Cirata.

Sub DAS Segara Anakan Jawa
Tengah). Project Working Paper
Series No. 5. Pusat Studi
Pembangunan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor

Badan Pengelola Waduk Cirata. 2012.
Data Parameter Kualitas Air
2004-2012. Badan Pengelola
Waduk Cirata.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air
Bagi Pengelolaan Sumberdaya
dan
Lingkungan
Perairan.
Kanisius. Yogyakarta.
Ghufran H, M dan K. Kordi. 2010.
Nikmat
Rasanya,
Nikmat
Untungnya - Pintar Budidaya
Ikan di Tambak Secara Intensif.
Andi Publisher. Bukukita.com
Mora, M. 2009. Analisis Sensitivitas
dan
Pengaruhnya
Terhadap
Urutan Prioritas dalam Metode
Analytic Hierarchy Process (AHP)
[Skripsi].
Medan:
Fakultas
Matematika
dan
Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas
Sumatera Utara.
Suwito, V. A. 2011. Penentuan Kadar
Klorin
(Cl2)
Dalam
Cairan
Pemutih Menggunakan Titrasi
Iodometri.
Paper.
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Riau. Pekanbaru.
Yunus, L dan A. H. Dharmawan.
2005. Kerusakan Hulu Daerah
Aliran Sungai Citanduy dan
Akibatnya
Di
Hilir
(Studi
penilaian ekonomi di sub DAS
Citanduy Hulu Jawa Barat dan
15
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16

Lampiran 1. Perbandingan kualitas air tahun 2004, 2007-2012 pada pengujian stasiun 4 (tengah danau)
Tahun
Baku
Parameter
2004
2007
2008
2009
Mutu
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
Pb
0,03
M M M M M M M M M T M M M M M T T
Zn
0,02
M T M T M T M M T M T M M M T T M

2010
2 3
M M
M M

4
M
M

1
T
T

2011
2 3
T T
T T

4
T
T

2012
1
M
M

Cl2

0,003

M

M

M

M

T

M

T

T

M

M

M

M

M

T

M

T

M

M

T

T

T

M

T

T

M

H2S

0,002

T

T

T

T

M

T

T

T

T

M

T

T

T

M

M

T

M

M

T

T

T

T

T

T

T

DO
3
M M T M T T T
Cu
0,02
M T T M M T M
Cd
0,01
M M M M M T M
Nitrit
0,259 M M M M T T T
Sumber: BPWC Diolah Tahun (2012)
Keterangan:
M
: Memenuhi standar kualitas Golongan C
T
: Tidak memenuhi standar kualitas Golongan C

T
M
M
T

M
M
M
T

M
M
M
M

T
T
T
T

M
T
M
T

M
M
M
T

T
T
M
T

M
T
T
M

T
M
M
M

T
T
M
T

T
T
M
M

M
T
M
T

T
T
M
M

T
T
M
T

T
T
T
M

M
T
T
M

M
M
M
M

T
M
M
T

16
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

ANALISIS PERAN EKONOMI KELEMBAGAAN LOKAL
TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN DALAM
PENGELOLAAN IKAN LARANGAN KOTA PARIAMAN PROVINSI
SUMATERA BARAT
(Studi Kasus Desa Sungai Pasak Kecamatan Pariaman Timur)
Rizal Bahtiar 1), Fajriyah, Iftitahul
1)

2)

Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Gelar: S.Pi, M.Si.
2) Alumni Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM-IPB.

ABSTRACT
This research based onfisheries resources management by community in Desa
Sungai Pasak, West Sumatera. The management of this fisheries resources is known
as ikan larangan. Ikan larangan is a kind of fisheries management system that
applies closing seasons to fishing in some part of river or canal for a certain period.
The purpose of this study was to indentify the institutional aspects of fisheries
management, transaction cost, and describe the benefit from management of ikan
larangan in Desa Sungai Pasak. The sampling method used were purposive and
snowball sampling. The methods in supporting the result of interview are
observations and documentation. The result of research showed that Ikan larangan
areas are under the management of community from local government and local
comunity representative. Management cost for ikan larangan include operational cost
(IDR 12 000 000) and transaction cost (IDR 8 000 000 anually). Field observation
shows that the management of the ikan larangan areas has a positive impact to the
local community. Some of the benefits from the system are fisheries resources in the
open waters are kept sustainable, facilitating brotherhood among the local
community, and generating income.
Keywords : fisheries management, ikan larangan, local institution, management
cost.
ABSTRAK
Penelitian ini didasarkan pada pengelolaan sumber daya perikanan oleh
masyarakat di Desa Sungai Pasak Provinsi Sumatera Barat. Pengelolaan sumber
daya perikanan yang dilakukan adalah ikan Larangan. Ikan Larangan adalah
semacam sistem pengelolaan perikanan yang berlaku penutupan musim untuk
memancing di sebagian sungai atau kanal untuk jangka waktu tertentu. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengelolaan perikanan
kelembagaan, biaya transaksi, dan menjelaskan manfaat dari pengelolaan Ikan
Larangan di Desa Sungai Pasak. Metode penelitian adalah purposive sampling dan
snowball sampling. Metode lainnya yang mendukung adalah hasil wawancara,

17
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

pengamatan dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah Ikan
Larangan berada di bawah pengelolaan masyarakat dari pemerintah desa dan
perwakilan komonitas lokal. Biaya manajemen untuk Ikan Larangan termasuk
biaya operasional (Rp 12 000 000) dan biaya transaksi (Rp 8 000 000 per tahun).
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pengelolaan daerah Ikan Larangan
memiliki dampak positif pada penduduk desa. Beberapa manfaat dari sistem
tersebut adalah sumber daya perikanan di perairan terbuka dilakukan secara
berkelanjutan, memfasilitasi silaturahmi antara warga desa, dan menghasilkan
pendapatan bagi penduduk desa.
Kata kunci : Pengelolaan Perikanan, ikan larangan, Kelembagaan Lokal, Biaya
Pengelolaan.
PENDAHULUAN
Berdasarkan
sejarahnya,
pengelolaan perikanan di Indonesia
sesungguhnya
dimulai
dari
masyarakat
lokal
dengan
menggunakan pemahaman lokal (local
knowledge)
yang
kemudian
dilembagakan menggunakan sistem
hukum adat. Pengelolaan perikanan
yang dilakukan oleh masyarakat lokal
telah mampu bertahan lama melewati
berbagai
perubahan
sistem
pemerintahan. Pengelolaan perikanan
yang
sebelumnya
bersifat
tersentralisasi
berubah
menjadi
desentralisasi sebagaimana tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Dalam pasal 3 UU No.
22/1999 disebutkan bahwa wilayah
daerah provinsi terdiri atas wilayah
darat dan wilayah laut sejauh 12 mil
laut yang diukur dari garis pantai.
Lebih lanjut, pasal 10 UU No.
22/1999 menyebutkan kewenangan
daerah
kabupaten/kota
sejauh
sepertiga dari batas laut provinsi.
Kenyataannya kebijakan pengelolaan
perikanan yang telah dilakukan oleh
pemerintah saat ini masih memiliki
beberapa kelemahan.

Kelemahannya
diantara
lain
adalah belum mampunya pemerintah
dalam
mengatasi
permasalahan
overfishing dan overcapacity. Hal ini
mengakibatkan permasalahan dalam
pengelolaan perikanan yang menjadi
tidak efisien, baik secara ekonomi,
sosial
dan
teknis.
Berdasarkan
kelemahan
tersebut,
pemerintah
menyadari
bahwa
keterlibatan
masyarakat tradisional merupakan
suatu
rumusan
yang
perlu
dikembangkan
terutama
dalam
rangka
pengelolaan
sumberdaya
perikanan. Pengelolaan sumberdaya
perikanan ada baiknya dilakukan
dengan memandang situasi dan
kondisi lokal daerah yang di kelola.
Banyak studi yang menunjukan
bahwa masyarakat adat di Indonesia
secara tradisional berhasil mengelola
sumberdaya perikanan, seperti sasi
yang dilakukan oleh masyarakat
pesisir
di
Provinsi
Maluku.
Keberhasilan pengelolaan perikanan
juga telah ditunjukan oleh komunitas
masyarakat beberapa daerah di
Sumatera Barat dalam pengelolaan
perikanan sungai. Pola pengelolaan
perikanan sungai yang dipraktikan
masyarakat Sumatera Barat ini
dikenal dengan istilah ikan larangan.

18
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Menurut
Dinas
Perikanan
Propinsi Sumatera Barat (1998) dalam
Pahlevi (2002), jumlah daerah ikan
larangan telah menurun selama
beberapa tahun terakhir. Namun
tradisi ini bangkit lagi sejalan dengan
kembalinya Propinsi Sumatera Barat
menerapkan bentuk pemerintahan
nagari setelah diberlakukannya UU
No 32 tahun 2004. Di sisi lain, daerah
ikan larangan telah meningkat karena
kepala desa/nagari bersedia untuk
membudidayakan ikan mas (Cyprinus
carpio) di daerah ikan larangan. Selain
itu, mengelola daerah ikan larangan
jauh lebih mudah karena pemerintah
daerah
memberikan
dukungan
dengan
memberikan
bantuan
pemberian benih ikan dan ikut
membantu
melestarikan
tradisi
tersebut.
Konsep
ini
yang
tetap
dipertahankan masyarakat di Desa
Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman
Timur, Kota Pariaman. Namun,
seiring
perkembangan
zaman
masyarakat di
desa ini
mulai
mengubah pola ikan larangan yang
dahulunya di uduah dan diniatkan
dengan pengelolaan ikan larangan
dengan pengelolaan budidaya ikan.
Dalam
perkembangannya
ikan
larangan yang terdapat di Kota
Pariaman dan sekitarnya yang ada
saat ini adalah ikan larangan seperti
budidaya
ikan
dimana
adanya
kegiatan
penebaran
benih,
pemeliharaan dalam beberapa waktu
kemudian dipanen.
Sejauh
ini,
sangat
sedikit
informasi
mengenai
peran
kelembagaan
lokal
terhadap
pemanfaatan
perairan
yang
digunakan untuk kegiatan ikan
larangan. Informasi yang ada lebih

banyak kepada manfaat ekologis saja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian
yaitu
1. Bagaimana
kelembagaan
ikan
larangan di Desa Sungai Pasak,
Kecamatan Pariaman Timur?
2. Bagaimana kinerja kelembagaan
ikan larangan di Desa Sungai
Pasak,
Kecamatan
Pariaman
Timur?
3. Bagaimana persepsi masyarakat
mengenai manfaat yang terdapat
dalam pengelolaan ikan larangan di
Desa Sungai Pasak, Kecamatan
Pariaman Timur?
4. Berapakah biaya pengelolaan ikan
larangan di Desa Sungai Pasak,
Kecamatan Pariaman Timur?
Berdasarkan latar belakang dan
perumusan masalah, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi
kelembagaan
pengelolaan ikan larangan yang
terdapat di Desa Sungai Pasak,
Kecamatan Pariaman Timur.
2. Menganalisis kinerja kelembagaan
pengelolaan ikan larangan yang
terdapat di Desa Sungai Pasak,
Kecamatan Pariaman Timur.
3. Menganalisis biaya pengelolaan
ikan larangan di Desa Sungai
Pasak, Kecamatan Pariaman Timur
melalui
pendekatan
biaya
transaksi.
4. Mendeskripsikan
persepsi
masyarakat
mengenai
manfaat
yang terdapat dalam pengelolaan
ikan larangan di Desa Sungai
Pasak, Kecamatan Pariaman Timur.
Adapun ruang lingkup sebagai
batasan-batasan dari penelitian ini
adalah:
1. Studi Kasus yang dilakukan untuk
mengetahui bentuk pengelolaan

19
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

sumberdaya
perikanan
melalui
sistem ikan larangan di Desa
Sungai
Pasak,
Kecamatan
Pariaman Timur.
2. Kelembagaan yang diidentifikasi
merupakan
kelembagaan
lokal
pengelola ikan larangan di Desa
Sungai
Pasak,
Kecamatan
Pariaman Timur.
3. Analisis kinerja kelembagaan ikan
larangan terkait dengan kejelasan
kelembagaan dan efektifitas dalam
mencapai tujuan kelembagaan.
4. Manfaat pengelolaan ikan larangan
pada penelitian ini hanya bersifat
deskriptif yang bertujuan untuk
mengetahui manfaat yang diperoleh
dari
pengelolaan
sumberdaya
perikanan melalui sistem ikan
larangan.
KERANGKA PENELITIAN
Ikan larangan di Sumatera
Barat merupakan tradisi budidaya
ikan yang dilakukan di perairan
umum yang dikelola bersama oleh
masyarakat. Ikan larangan adalah
sebuah komitmen bersama untuk
memelihara sungai sebagai pusat
kegiatan
masyarakat.
Komitmen
bersama
masyarakat
untuk
memelihara sungai tersebutlah yang
menjadikan ikan larangan terus
berkembang hingga saat ini. Hal
terpenting yang bisa dipelajari dari
tradisi
ini
adalah
kemampuan
masyarakat sebuah jorong (wilayah
hunian di bawah nagari) dalam
menjaga nilai-nilai musyawarah dan
keajegan
ekosistem
perairan
di

wilayah mereka. Sebab dalam proses
pembukaan ikan larangan, mufakat
dan kesediaan mematuhi aturan
nagari merupakan unsur yang utama.
Dengan menggunakan analisis
aktor, penelitian ini akan mencoba
untuk menggambarkan bagaimana
posisi tokoh pengelola berdasarkan
pengaruh dan kepentingan yang
dimiliki,
penelitian
ini
juga
mendeskripsikan bentuk aturan main
(rule)
yang
terdapat
dalam
pengelolaan sumberdaya ikan dalam
ikan larangan di Desa Sungai Pasak.
Selain
itu,
penelitian
ini
juga
menganalisis
biaya
transaksi
pengelolaan ikan larangan serta
manfaat pengelolaan ikan larangan
tersebut sehingga ikan larangan dapat
dijadikan
salah
satu
alternatif
pengelolaan
sumberdaya
ikan.
Kerangka operasional dari penelitian
ini disajikan pada Gambar 1.
METODOLOGI
Penelitian ini akan dilakukan di
Desa Sungai Pasak, Kecamatan
Pariaman Timur, Kota Pariaman,
Provinsi Sumatera Barat. Lokasi
penelitian ini ditentukan secara
sengaja karena Desa Sungai pasak
memiliki kawasan ikan larangan.
Masyarakat Desa Sungai pasak masih
memelihara
kultur
pengelolaan
sumberdaya ikan dengan sistem ikan
larangan. Waktu yang digunakan
untuk pengambilan data primer
dilaksanakan pada bulan Februari
dan Maret 2013.

20
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Memanfaatkan dan mengembangkan
sumberdaya perairan umum melalui perikanan

Pengelolaan sumberdaya perikanan melalui
kearifan lokal

Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak

Pengelola ikan larangan
Desa Sungai Pasak

Aturan pengelolaan ikan
larangan

Identifikasi aktor

Biaya
transaksi

Kepentingan dan
pengaruh aktor

Kinerja kelembagaan
pengelolaan ikan larangan

Manfaat ikan larangan

Rekomendasi alternatif pengelolaan sumberdaya perikanan

Gambar 1. Kerangka Operasional Penelitian

Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer dalam
penelitian ini diperoleh langsung dari
informan kunci (key informant) dan
responden
dengan
menggunakan
panduan wawancara dengan daftar
pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya dan hasil pengamatan
langsung di lapangan (observasi).
Data sekunder, yang dikumpulkan
dari kantor desa dan Dinas Kelautan
Perikanan Sumatera Barat berupa
laporan-laporan,
arsip
dan

dokumentasi yang terkait dengan
permasalahan penelitian.
Penelitian ini menggunakan
informan dan responden sebagai
sumber
data
primer.
Teknik
pengambilan sampel yang digunakan
adalah
non-probability
sampling.
Informan adalah pihak-pihak yang
berpotensi memberikan informasi
mengenai objek penelitian. Teknik
pemilihan informan menggunakan
snowball sampling sebanyak 7 orang.
Sedangkan
responden
adalah
masyarakat Desa Sungai Pasak.

21
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Selain
itu,
teknik
pemilihan
responden dengan teknik purposive
sampling dengan responden sebanyak
40 responden. Responden berasal
dari masyarakat yang tinggal dekat
dengan area ikan larangan.
Data yang diperoleh dalam
penelitian antara lain adalah data
kualitatif
dan
kuantitatif
yang
menggunakan kuesioner. Pengolahan
data
dengan
terlebih
dahulu
melakukan pengkodean. Kegiatan ini
bertujuan untuk penyeragaman data.
Setelah
pengkodean,
tahap
selanjutnya
adalah
perhitungan
persentase jawaban responden dan
dipresentasikan
dalam
bentuk
analisis deskriptif berupa tabel
frekuensi, grafik, ukuran pemusatan,
dan ukuran penyebaran. Pengolahan
dan analisis data dilakukan secara
manual dan menggunakan komputer
dengan program Microsoft Excel 2007.
Berikut matriks keterkaitan antara
tujuan penelitian, sumber data dan
metode analisis data yang digunakan.

Analisis
Kelembagaan
Pengelolaan Ikan Larangan

Beberapa
atribut
yang
digunakan
dalam
menganalisis
kelembagaan ikan larangan adalah:
Pertama, aktor dalam kelembagaan
dianalisis dengan mengidentifikasi
struktur kelembagaan yang ada pada
ikan larangan Desa Sungai Pasak.
Kemudian
masing-masing
aktor
tersebut
diidentifikasikan
peran
dimiliki
dalam
kelembagaan
bedasarkan
kepentingan
dan
pengaruh.
Kedua,
aturan
kelembagaan diklasifikasikan dalam
empat bagian yaitu: (1) boundary rule
mengenai tata aturan yang terdapat
dalam kelembagaan; (2) aturan akses
terhadap sumberdaya yang dikelola
bersama-sama; (3) monitoring dan
sanksi dalam setiap pelanggaran
yang dilakukan; serta (4) aturan
dalam setiap penyelesaian konflik
yang
terjadi
dalam
lingkup
kelembagaan.

Tabel 1. Matriks keterkaitan tujuan penelitian,
analisis data
No Tujuan Penelitian
Sumber Data
1
Mengidentifikasi
Data primer
kelembagaan pengelolaan
dan data
ikan larangan
sekunder
2

3

4

Menganalisis kinerja
kelembagaan pengelolaan
ikan larangan
Mendeskripsikan manfaat
dari pengelolaan ikan
larangan
Menganalisis biaya
tansaksi pada pengelolaan
ikan larangan

dalam

Data primer
dan data
sekunder
Data primer

Data Primer
dan data
sekunder

sumber data, dan metode
Metode Analisis Data
Analisis aktor dan analisis
mengenai aturan (boundary
rules, sanksi dan
monitoring)
Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dan
Skala Likert
Analisis biaya transaksi

22
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Analisis Kinerja Kelembagaan
Kinerja
kelembagaan
didefinisikan sebagai kemampuan
suatu
kelembagaan
untuk
menggunakan
sumberdaya
yang
dimilikinya
secara
efisien
dan
menghasilkan output yang sesuai
dengan
tujuannya
dan
relevan
dengan
kebutuhan
pengguna
(Peterson, 2003) dalam Syahyuti

(2004). Analisis kenerja kelembagaan
yang digunakan adalah teori Mackay
(1999) dalam Syahyuti (2004) yang
dalam penelitian ini terdapat dua hal
sebagai parameter analisis yaitu
kejelasan
kelembagaan
dalam
mencapai
outcome
yaitu
keberlanjutan
pengelolaan
ikan
larangan Desa Sungai Pasak dan
efektivitas kinerja kelembagaan.

Tabel 2. Matriks Analisis Kinerja Kelembagaan
Parameter
Indikator
1. Kejelasan
Kelembagaan:
Struktur

1. Struktur kelembagaan meliputi:
a. Kelengkapan susunan pengurus
b. Memahami peran dari susunan pengurus
c. Keteraturan waktu pergantian atau
penyempurnaan pengurus kelembagaan
2. Kejelasan aturan merupakan analisis untuk
mengetahui aturan informal yang dibuat secara
tertulis atau lisan.
3. Pengetahuan masyarakat terhadap kelembagaan
merupakan analisis untuk mengetahui seberapa
besar tingkat pengetahuan masyarakat mengenai
aktor yang terlibat beserta interaksi dan aturan
yang berlaku.

2. Efektivitas Kinerja
Kelembagaan
dalam mencapai
tujuan

1. Partisipatif, indikatornya adalah:
Memberikan
kesempatan
kepada
anggotanya
untuk
mengemukakan pendapat dalam
merencanakan
kegiatan atau membuat keputusan
2. Transparansi

(keterbukaan),
indikatornya
adalah menyampaikan informasi mengenai
pengelolaan
ikan
larangan
dari
segi
keuntungan dan penggunaan dari hasil yang di
dapat.
3. Efektifitas kelembagaan adalah tercapainya
tujuan
kelembagaan
yang
dihubungkan
besarnya kepuasan anggota dalam mencapai
tujuan kelembagaan melalui indikator sebagai
berikut:
a. Penerimaan yang diterima dari pengelolaan ikan
larangan
b. b. Manfaat pengelolaan ikan larangan yang
dirasakan masyarakat
Sumber : Data primer (2013)

23
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Analisis kinerja kelembagaan
dalam penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif melalui persepsi
masyarakat
mengenai
kinerja
kelembagaan ikan larangan. Berikut
parameter
dan
indikator
yang
digunakan dalam analisis kinerja
kelembagaan ikan larangan.
Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan
Larangan
Secara umum metode analisis
yang
digunakan
dalam
menilai
manfaat
dari
pengelolaan
ikan
larangan
merupakan
analisis
deskriptif,
yaitu
menggambarkan
manfaat
yang
dirasakan
oleh
masyarakat di Desa Sungai Pasak
yang
telah
sejak
tahun
1970
melakukan pengelolaan ikan dengan
sistem ikan larangan. Berdasarkan
Suhana (2008a), lubuk larangan
memiliki
dampak
terhadap
masyarakat, seperti dampak ekologis,
ekonomi dan sosial budaya. Data yang
digunakan
untuk
menganalisis
manfaat
ekonomi,
sosial
dan
lingkungan dari pengelolaan ikan
larangan adalah data primer melalui
observasi dan wawancara. Analisis ini
menggunakan
skala
pengukuran
instrumen yaitu skala likert.
Skala Likert merupakan metode
untuk
mengukur
luas/dalamnya
persepsi
dan
pendapat
dari
responden.
Dalam
metode
ini
sebagian
besar
pertanyaan
dikumpulkan,
setiap
pertanyaan
disusun sedemikian rupa sehingga
bisa dijawab dalam lima tingkatan
jawaban (Gumilar, 2012). Urutan
untuk skala Likert menggunakan lima
angka penilaian, yaitu (1) sangat
setuju (SS, bobot 5), (2) setuju (S,
bobot 4), (3) netral/ abstain (A, bobot

3), (4) tidak setuju (TS, bobot 2), dan
(5) sangat tidak setuju (STS, bobot 1).
Menurut Riduwan dan Sunarto (2007)
cara menghitung skor dari pernyataan
yang dinilai menggunakan skala likert
adalah setiap skor jawaban yang
dijawab responden dikalikan dengan
jumlah responden yang menjawab
pernyataan tersebut. Misalkan dari 70
responden yang digunakan dalam
menilai
suatu
aspek,
berikut
rangkuman hasil penilaian menjawab
(5) = 2 orang, menjawab (4) = 8 orang,
menjawab (3) = 15 orang, menjawab
(2) = 25 orang, dan menjawab (1) = 20
orang. Maka jumlah skor untuk yang
menjawab (5) = 2 x 5 = 10, skor yang
menjawab (4) = 8 x 4 = 32, dan
seterusnya hingga jawaban skala 1.
Interpretasi skor perhitungan
dilakukan dengan menghitung skor
ideal yaitu 5 x 70 = 350 dan skor
terrendah 1 x 70 = 70. Jadi, jika total
skor penilaian di peroleh angka 157,
maka penilaian responden adalah :
(157/350) x 100% = 44.86%, atau
bisa dikategorikan sebagai cukup.
Berikut kriteria interpretasi skor :






0 % – 20%
21% – 40%
41% – 60%
61% – 80%
81% – 100%

=
=
=
=
=

Sangat lemah
Lemah
Cukup
Kuat
Sangat kuat

Analisis Biaya Transaksi
Persamaan
yang
digunakan
untuk
biaya
transaksi
dalam
kelembagaan ikan larangan Desa
Sungai Pasak adalah:
TrC= ∑ Sij………………….………(1)
Keterangan:
TrC :Total Biaya Transaksi
Sij :Komponen Biaya Transaksi

24
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Analisis biaya transaksi pada
penelitian ini lebih difokuskan pada
biaya menjalankan organisasi seperti
biaya pengambilan keputusan (biaya
investasi) dan biaya operasional
bersama
yang
meliputi
biaya
penetapan lokasi ikan larangan serta
biaya pada waktu ikan larangan
dibuka atau dipanen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelembagaan dan Tata Aturan
Aktor Kelembagaan Ikan Larangan
Desa Sungai Pasak
Apabila dikaji dari perspektif
kelembagaan, keberadaan masyarakat
di sekitar aliran Sungai Pasak serta
adanya
kegiatan
pemanfaatan
sumberdaya ikan, maka interaksi
yang dilakukan masyarakat terhadap
sumberdaya ikan di sungai tersebut
adalah sebuah arena aksi (action
arena). Arena aksi ini terdiri dari dua
komponen, yaitu situasi aksi (action
situation) dan aktor (actor).
Situasi aksi yaitu interaksi
masyarakat Desa Sungai Pasak
terhadap sumberdaya ikan. Aktor
sendiri meliputi partisipan , yaitu
semua pihak yang terlibat dalam
situasi
aksi
antara
masyarakat
disekitar Sungai Pasak
dengan
sumberdaya ikan yang dimanfaatkan,
posisi yang ditempati partisipan, dan

aksi yang dilakukan oleh partisipan
tersebut.
Secara
struktural,
posisi
pengelola ikan larangan terdiri dari
Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak
Pandai,
Bundo
Kanduang,
dan
pemuda. Kelima unsur ini merupakan
tokoh
penting
pengelola
ikan
larangan. Jika salah satu dari lima
unsur tersebut tidak menyetujui
kesepatan
yang
dibuat
maka
kesepakatan tersebut batal. Pada
tahun 2010 keberadaan ikan larangan
Desa Sungai Pasak yang dahulunya
dikelola oleh Ninik Mamak bersama
masyarakat desa dibentuk menjadi
kelompok
masyarakat
pengawas
(Pokmaswas) ikan larangan. Setelah
terbentuknya
Pokmaswas
posisi
pengelolaan ikan larangan tidak
banyak berubah.
Keberadaan
Pokmaswas
ini
melengkapi pengelolaan ikan larangan
Desa Sungai Pasak. Selain untuk
membantu pengawasan ikan yang
terdapat dalam wilayah ikan larangan,
pokmaswas
juga
membantu
memberikan
pengetahuan
baru
kepada
masyarakat
bagaimana
kegiatan yang telah dilakukan selama
ini (pengelolaan ikan larangan) tidak
hanya bermanfaat sebagai pendanaan
desa tetapi juga bermanfaat menjaga
lingkungan. Adapun peranan tokoh
pengelola ikan larangan disajikan
pada Tabel 3.

25
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Tabel 3 Identifikasi Aktor Dan Peranan
No
Aktor
Peranan
1
Ninik Mamak - Unsur pimpinan (adat istiadat) dalam masyarakat adat
di Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di
Desa Sungai Pasak.
- Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan
lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan
2
Alim Ulama
- Unsur pimpinan (agama) masyarakat adat di
(Labai)
Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di
Desa Sungai Pasak.
- Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan
lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan
3
Cadiak
- Unsur pimpinan masyarakat adat di Minangkabau
Pandai
dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai
Pasak (cendekiawan).
- Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan
lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan
4
Bundo
- Unsur kepemimpinan perempuan yang ikut mengelola
kanduang
ikan larangan
5
Pemuda
- Pengelola harian ikan larangan.
- Mengawasi keadaan area ikan larangan.
6
Kepala Desa
- Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai
sosial budaya dan adat istiadat.
- Mengembangkan potensi sumberdaya alam dan
melestarikan lingkungan hidup.
- Pengawas kegiatan ikan larangan.
- Membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas Ikan
Larangan untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi
dari lubuk dan banda larangan yang terdapat di Desa
Sungai Pasak
7
Pokmaswas
- Mengawasi
pengelolaan
ikan
larangan
dari
penangkapan ikan yang menggunakan bahan terlarang
dari oknum masyarakat.
8
Masyarakat
- Memanfaatkan sungai pasak dan banda irigasi serta
Desa Sungai
ikut mengawasi pengelolaan ikan larangan yang
Pasak
terdapat di sungai maupun di banda tersebut.
- Menjaga keamanan pengelolaan ikan larangan.
9
Pawang
- Memiliki
kemampuan
untuk
mengamankan
keberadaan ikan yang terdapat pada area ikan
larangan.
- Keberadaaan pawang dalam pengelolaan ikan larangan
Desa Sungai Pasak bersifat sementara karena untuk
kegiatan yang ikan larangan saat ini telah tidak
menggunakan jampi.
Sumber: Data primer diolah (2013)

26
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Aktor pengelola ikan larangan
memiliki pengaruh dan kepentingan
yang telah teridentifikasi melalui
peranan yang dimiliki masing-masing.
Berdasarkan
pengaruh
dan
kepentingan yang dimiliki oleh para
aktor maka dapat digambarkan pada
aktor grid. Hasil pemetaan aktor
berdasarkan derajat kepentingan dan
pengaruhnya dalam memanfaatkan
dan mengelola sumberdaya ikan
larangan dapat dilihat pada Gambar
2.
Hasil
pemetaan
aktor
berdasarkan derajat kepentingan dan

kanduang memiliki kepentingan tinggi
terhadap sumberdaya ikan larangan
desa sungai Pasak namun kurang
terlibat dalam merumuskan berbagai
kebijakan pengelolaan sumberdaya
tersebut.
Kuadran II (pemain)
ditempati oleh Labai, Ninik Mamak,
Kepala Desa, Cadiak Pandai dan
Pemuda.
Kelompok ini memiliki
tingkat kepentingan dan pengaruh
yang tinggi dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan di
Lubuk Larangan dan Banda Larangan
Desa Sungai Pasak. Pengaruh dalam
pengelolaan
dan
pemanfaatan

Gambar 2. Pemetaan Aktor Pengelola Ikan Larangan Desa Sungai Pasak
Sumber : Hasil analisis (2013)
Keterangan :
1. Labai (alim ulama), 2. Ninik Mamak, 3. Kepala Desa, 4. Cadiak Pandai 5.
Pemuda, 6. Bundo Kanduang, 7. Pokmaswas, 8. Pawang dan 9 Warga Desa
Sungai Pasak

pengaruhnya dalam memanfaatkan
dan mengelola sumberdaya ikan
larangan baik di sungai maupun
banda irigasi terlihat pada gambar
diatas. Pada kuadran I (subjek)
ditempati bundo kanduang. Bundo

sumberdaya ikan pada wilaya ikan
larangan tersebut terkait dengan
perumusan peraturan mengenai ikan
larangan baik formal maupun non
formal.

27
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Kuadaran
III
(penonton)
ditempati
oleh
Pokmaswas
dan
Pawang/tukang jampi. Keberadaan
mereka
dinilai
tidak
terlalu
bergantung terhadap sumberdaya
ikan di wilayah ikan larangan Desa
Sungai Pasak. Selain itu posisi
mereka tidak terlalu berpengaruh
terhadap pengelolaan sumberdaya
ikan di wilayah ikan larangan Desa
Sungai Pasak. Hal ini terlihat dari
tingkat pengaruh dari kedua aktor
tersebut.
Kuadran IV (Aktor) ditempati
oleh masyarakat Desa Sungai Pasak.
Kelompok masyarakat Desa Sungai
Pasak memiliki pengaruh yang tinggi
dengan sedikit kepentingan terhadap
sumberdaya ikan di wilayah ikan
larangan desa. Hal ini dikarenakan
masyarakat
memiliki
peran
memanfaatkan sungai pasak dan
banda irigasi serta ikut mengawasi
pengelolaan ikan larangan yang
terdapat di sungai maupun di banda
tersebut. Pengaruh yang dimiliki oleh
kelompok masyarakat merupakan
suatu proses pengontrolan proses dan
hasil dari kegiatan ikan larangan yang
terdapat di wilayah tempat tinggal
mereka.
Berdasarkan pemetaan aktor
pengelolaan ikan larangan di Desa
Sungai Pasak dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok aktor, yaitu
kelompok formal
dan
kelompok
informal. Aktor-aktor yang berperan
ditingkat kelompok formal yaitu
kepala
desa
sebagai
pemimpin
pemerintahan
administrasi
dan
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
(Pokmaswas)
yang
dibentuk
berdasarkan surat keputusan kepala
desa. Kelompok informal terdiri dari
Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak

Pandai,
Bundo
Kanduang
dan
pemuda serta pawang. Kelompok ini
merupakan komunitas lokal yang
berperan mengelola ikan larangan
Desa Sungai Pasak selama ini.
Walaupun keberadaan pawang
sudah tidak digunakan saat ini,
kepercayaan
masyarakat
akan
larangan mengambil ikan tidak sesuai
waktu tetap berlangsung hingga saat
ini.
Pembagian
kelompok ini
disebabkan karena pengaruh dari
Ninik Mamak, Alim, Ulama, Cadiak
Pandai
merupakan
orang
yang
dituakan dan dihormati di Desa
Sungai Pasak. Keberadaan pawang
dalam pengelolaan ikan larangan
merupakan unsur dimensi spiritual
yang berkembang di masyarakat.
Adapun
hubungan
aktor-aktor
pengelola Ikan Larangan Desa Sungai
Pasak disajikan pada Gambar 3.

28
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Kepala Desa Sungai
Pasak
Ninik Mamak, Alim
Ulama, Cadiak Pandai

Collective Level

BUNDO
KANDUANG,PEMUDA,
MASYARAKAT
POKMASWAS SEIPA
LESTARI

Operational Choice
Level

FORMULASI
ATURAN

ATURAN

IKAN LARANGAN

Gambar 3. Hubungan Antar Aktor Pengelola Ikan Larangan Desa Sungai
Pasak
Sumber : Hasil analisis (2013)
Ostrom (1990) dalam Suhana
(2008b) menyatakan bahwa dalam
menganalisis hubungan antar aktor
dalam sistem kelembagaan perlu
dibedakan berdasarkan tingkatannya
(level), yaitu pertama, level konstitusi
(constitutional), yaitu lembaga yang
berperan dalam menyusun aturan
main untuk level collective choice.
Kedua, level pilihan kolektif (collective
choice), yaitu lembaga yang berperan
dalam menyusun peraturan untuk
dilaksanakan
oleh
lembaga
operasional.
Ketiga,
lembaga
operasional
(operational),
yaitu
lembaga
yang
secara
langsung
melaksanakan kebijakan di lapangan.
Berdasarkan teori Ostrom (1990)
dalam Suhana (2008b) maka aktoraktor pengelolaan dan pemanfaatan
ikan larangan di Desa Sungai Pasak
yang tergolong kedalam level penentu

aturan (collective choice level) adalah
Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak
Pandai (tungku tigo sajarangan) dan
Kepala Desa Sungai Pasak. Kelompok
ini berperan dalam menyusun dan
menetukan
aturan
main
dalam
pengelolaan ikan larangan Desa
Sungai Pasak. Sementara itu, yang
termasuk
level
operasional
(operational level) adalah kelompok
Bundo
Kanduang,
Pemuda,
Masyarakat Desa Sungai Pasak dan
Kelompok Masyarakat Pengawas ikan
larangan Desa Sungai Pasak.
Boundary
Rule,
Sanksi,
Monitoring terhadap Aturan

dan

Secara
umum,
aturan
mengenai ikan larangan masyarakat
Desa Sungai Pasak ini berisi aturanaturan
dalam
pemanfaatan
(appropriation
problems)
dan

29
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

pemeliharaan (provision problems)
sumberdaya ikan di lubuk larangan
dan banda larangan. Adapun aturanaturan tersebut antara lain aturan
batas wilayah ikan larangan, aturan
akses pemanfaatan sumberdaya ikan,
aturan sanksi, dan monitoring.
Wilayah ikan larangan desa
Sungai Pasak terdiri dari sungai dan
banda irigasi. Wilayah sungai yang
menjadi wilayah ikan larangan adalah
wilayah
lubuk
larangan.
Batas
wilayah lubuk larangan dengan bukan
lubuk
larangan
ditandai
oleh
jembatan. Jembatan ini yang jalan
membatasi satu desa dengan desa
lain. Sedangkan batas banda larangan
adalah sepanjang aliran irigasi yang
melewati desa Sungai Pasak.
Ikan hanya boleh ditangkap
ketika telah ada pemberitahuan
bahwa lubuk larangan dan banda
larangan telah dibuka oleh ninik
mamak dengan waktu yang telah
ditetapkan. Dalam mengambil ikan
hanya boleh menggunakan
alat
pancing, tidak boleh mengunakan
racun, menyentrum ikan dan tidak
boleh menggunakan jala. Aturan
mengenai sanksi untuk wilayah ikan
larangan di desa Sungai Pasak secara
formal tidak ada. Namun, sanksi
tersebut
akan
terlihat
dengan
sendirinya jika mereka melanggar
ketentuan yang telah dibuat bersama.
Pengelolaan ikan larangan di
Desa Sungai Pasak masih semi
tradisional. Sanksi yang dirasakan
bagi pelanggar bersifat alamiah.
Berdasarkan penuturan tokoh agama
desa (Labai), apapun yang terdapat di
daerah yang sifatnya milik bersama
pasti akan ada saja yang ingin
berbuat curang. Terkadang kita tidak
dapat menyalahkan sehingga kita

hanya dapat memohon pada yang
Maha Kuasa agar kesalahannya
menghianati kesepakatan yang ada
diampuni.
Ikan larangan Desa Sungai
Pasak dahulu pernah di jampi,
namun penggunaan jampi telah
dibuka karena pada saat itu membuat
ikan yang berada di kawasan tersebut
tidak berkembang dengan baik.
Namun, kepercayaaan terhadap ikan
yang terdapat di lubuk dan banda
yang ada larangan untuk tidak
diambil masih dianut sampai saat ini.
Walau tidak menggunakan jampi
lagi masyarakat masih percaya bahwa
sesuatu yang telah disepakati untuk
tidak
diambil
sebelum
masa
diperbolehkan maka akan mendapat
bala.
Menurut
kepercayaan
masyarakat setempat, bagi yang
mengambil ikan yang terdapat di
wilayah berlarangan tersebut akan
mendapat penyakit yang tidak dapat
disembuhkan secara medis. Untuk
menghilangkan penyakit tersebut,
maka seseorang harus mengingat
kesalahan yang telah diperbuat dan
memohon
kepada
Allah
agar
kesalahannya diampuni.
Dahulu saat masih di jampi,
orang yang mengambil ikan di wilayah
ikan
larangan
akan
mengaku
ditempat ia mengambil ikan tersebut.
Hal ini membuat seseorang merasa
bersalah dan mendapat sanksi sosial
karena diperlihatkan secara langsung.
Mengingat
akibat
dari
perilaku
tersebut
yang
berdampak
bagi
psikologi seseorang maka untuk
menghindari permasalahan yang akan
muncul dari perilaku buruk tersebut,
ninik mamak bersama alim ulama
dan cadiak pandai desa Sungai Pasak

30
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Tabel 4. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai
Kelengkapan Pengurus Kelembagaan
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Kelengkapan Kelembagaan
Jumlah
Persentase (%)
Tinggi
37
92,5
Kurang
3
7,5
Rendah
0
0
Jumlah
40
100
Sumber: Data primer diolah (2013)
memutuskan
untuk
tidak
menggunakan jampi lagi.
Hal ini membuat tidak adanya
monitoring
yang
jelas
dalam
pengelolaan ikan larangan tersebut.
Menurut penuturan pemuka agama
desa (Labai) dan Kepala Desa Sungai
Pasak yang mengawasi tindakan
pelanggaran adalah pribadi masingmasing. Hal ini diharapkan agar tidak
menimbulkan
permasalahan
di
masyarakat dan menegaskan bahwa
melalui kesepakatan yang telah
dibentuk harus dibuat atas dasar
kepercayaan satu sama lain. Karena
percaya dengan sesama maka dapat
mewujudkan kebaikan dari apa yang
diperbuat sehingga ikan larangan
dapat menghasilkan manfaat bagi
seluruh masyarakat desa.
4.1 Analisis Kinerja Kelembagaan
4.2.1 Kejelasan Kelembagaan Ikan
Larangan
Analisis mengenai kejelasan
kelembagaan ikan larangan dalam
mencapai
tujuan
tersebut
yang
meliputi:
(1)
kejelasan
struktur
kelembagaan
dan
(2)
kejelasan
aturan.
Kejelasan Struktur Kelembagaan
Kelengkapan Pengurus Kelembagaan

Menurut
masyarakat
Desa
Sungai Pasak, kelembagaan ikan
larangan yang ada telah lengkap. Hal
tersebut diperkuat dengan hasil
penelitian yaitu sekitar 92,5 persen
sebanyak
37
orang
responden
menyatakan
telah
lengkap
dan
sisanya 7,5 persen
(3 orang)
menyatakan
kurang
lengkap.
Responden
yang
menyatakan
kelembagaan
kurang
lengkap
dikarenakan mereka tidak terlalu
mengerti
tentang
kepengurusan
kelembagaan
tersebut
dan
kelembagaan yang ada telah ada sejak
turun temurun. Sebaran persepsi
masyarakat Desa Sungai Pasak
mengenai kelengkapan pengurus ikan
larangan yang ada dapat dilihat pada
(Tabel 4).
Pengetahuan
Angota
Susunan Kelembagaan

Terhadap

Pengetahuan masyarakat Desa
Sungai Pasak terhadap kelembagaan
dinilai
berdasarkan
tingkat
pemahaman
mereka
terhadap
susunan
kelembagaan
tersebut.
Gambaran
mengenai
sebaran
pengetahuan masyarakat terhadap
susunan kelembagaan dapat dilihat
pada Tabel 5. Sebagian besar
masyarakat
desa sudah
paham
mengenai susunan kelembagaan yang

31
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Tabel 5. Sebaran Pengetahuan Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai
Peran Dari Susunan Kelembagaan
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Pengetahuan Terhadap Kelembagaan
Jumlah
Persentase (%)
Paham
39
97,5
Kurang Paham
1
2,5
Tidak Paham
0
0
Jumlah
40
100
Sumber: Data primer diolah (2013)
ada pada kelembagaan ikan larangan
Desa Sungai Pasak yaitu sekitar
97,5% (39 orang). Sedangkan sisanya
2,5% (1 orang) kurang paham karena
responden
hanya
mengetahui
pengelola harian saja yaitu pemuda.
Periode Pergantian Kepengurusan
Untuk kepengurusan lembaga
adat (komunal) dalam pengelolaan
ikan larangan pergantian tidak begitu
tinggi dirasakan oleh masyarakat. Hal
ini terkait dengan pola kepemimpinan
yang turun temurun dan berdasarkan
penilaian masyarakat sekitar. Untuk
kepengurusan inti seperti ninik
mamak tidak ada proses untuk
pergantian
karena
kepengurusan
tersebut
bersifat
alami.
Proses
pergantian
kepengurusan
terlihat
pada kelembagaan pemuda yang
merupakan
kepengurusan
harian
dalam ikan larangan sebelum adanya
kelompok masyarakat pengawas ikan

larangan.
Sebaran persepsi masyarakat
tentang
periode
pergantian
kepengurusan tersaji pada Tabel 6.
Masyarakat Desa Sungai Pasak
mengetahui pengurus ikan larangan
secara
umum,
namun
untuk
pergantian pengurus harian tidak
terlalu dirasakan oleh masyarakat.
Sebagian
besar
responden
menyatakan
tidak teratur
yaitu
sekitar 40 persen (16 orang). Hal ini
disebabkan karena kepengurusan
yang ada diganti hanya berdasar
kesepakatan
saja
dan
biasanya
pengurus yang diganti hanya bertukar
peran.
Kejelasan Aturan Kelembagaan
Kelembagaan Ikan Larangan
Desa Sungai Pasak secara umum
yang terlihat adalah kelembagaan
adat (komunal) yang telah ada sejak
dahulu.
Sedangkan
dalam

Tabel 6. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Periode
Pergantian Pengurus
Periode Pergantian Pengurus
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Kelembagaan
Jumlah
Persentase (%)
Teratur
9
22,5
Kurang Teratur
15
37,5
Tidak Teratur
16
40,0
Jumlah
40
100
Sumber: Data primer diolah, 2013
32
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

perkembangannya,
kelembagaan
komunal menyepakati dibentuknya
kelembagaan baru yang disebut
kelompok pengawas (POKMASWAS)
ikan larangan. Hal ini menjelaskan
bahwa aturan pengelolaan ikan
larangan dapat berupa lisan, tertulis,
atau keduanya. Oleh karena itu,
diperlukan analisis untuk mengetahui
kejelasan
aturan
tersebut.

kepemimipinan yang berkonsultasi
dengan bawahan dan mengunakan
ide serta saran mereka dalam
mengambil keputusan. Sebesar 87,5
persen
(35
orang)
responden
menyatakan bahwa kelembagaan ikan
larangan
Desa
Sungai
Pasak
pastisipatif.
Ninik Mamak sebagai orang yang
dituakan di desa dapat memberikan

Tabel 7. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai
Partisipasi Dalam Kelembagaan
Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Kelembagaan
Jumlah
Persentase
Tinggi
35
87,5
Sedang
5
12,5
Rendah
0
0
Jumlah
40
100
Sumber : Data primer diolah (2013)
Berdasarkan data dilapangan,
seluruh
responden
(100%)
menyatakan
bahwa
aturan
kelembagaan ikan larangan bersifat
lisan karena aturan tersebut telah
dikenal
secara
turun
temurun.
Kekuatan aturan lisan lebih dipercaya
masyarakat desa, karena merupakan
tradisi dan modal terbentuknya
kelembagaan baru seperti kelompok
masyarakat pengawas ikan larangan.
Keefektifan Kinerja Kelembagaan
Ikan Larangan
Partisipasi dalam Kelembagaan
Kelembagaan ikan larangan
dipimpin oleh Ninik Mamak, Alim
Ulama, dan Cadiak Pandai sebagai
pihak dihormati atau “dituakan” oleh
masyarakat desa setempat. Prinsip
kepemimpinan yang terdapat diantara
ketiganya adalah prinsip partisipatif.
Partisipatif
adalah
gaya

motivasi kepada masyarakat atau
anggotanya
untuk
bersama-sama
mengembangkan potensi yang dimiliki
desa mereka. Motivasi yang diberikan
oleh pemimpin kelembagaan ikan
larangan ini tergambar dari kegiatan
yang mereka lakukan. Mulai dari
waktu yang tepat ikan larangan di
buka dan ditutup semua berdasarkan
suara dari masyarakat dan hasilnya
juga dirasakan masyarakat secara
bersama.
Transparansi dalam Kelembagaan
Secara umum kelembagaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak sangat
transparan dalam pengelolaan potensi
desa mereka. Masyarakat menyatakan
bahwa
hasil
pengelolaan
ikan
larangan diketahui oleh masyarakat
desa. Hal ini terbukti dari sebaran
persepsi masyarakat sebesar 100
persen
(Tabel
8)
menyatakan

33
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Tabel 8. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai
Transparansi Kelembagaan Ikan Larangan
Transparansi Kelembagaan Terhadap
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Hasil dari Kegiatan yang dilakukan
Jumlah
Persentase (%)
Tinggi
40
100
Sedang
0
0
Rendah
0
0
Jumlah
40
100
Sumber : Data primer diolah (2013)
kelembagaan ini bersifat terbuka
(transparan).
Menurut
penuturan
salah satu narasumber, pengelolaan
ikan larangan tidak boleh sembunyisembunyi, harus diberitahu kepada
semua
masyarakat
karena
sumberdaya ikan tersebut hidup di
perairan
desa
yang
tentunya
diketahui oleh masyarakat.
Efektifitas Kelembagaan Ikan
Larangan
Efektifitas kelembagaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak diukur
melalui perubahan hasil panen ikan
dan perubahan perilaku masyarakat
sejak
dikembangkannya
ikan
larangan di desa tersebut. Indikator
perubahan perilaku tersebut terlihat
dari
manfaat
yang
diterima
masyarakat desa ketika musim panen
ikan dilaksanakan. Melalui kegiatan
ikan larangan tersebut memberikan
dampak positif terhadap masyarakat

menuju kemandirian ekonomi. Hal ini
terlihat beberapa warga desa yang
memiliki
warung
mendapat
penerimaan yang lebih dari biasanya.
Sebanyak 95 persen (38 orang)
reponden menjawab tinggi (Tabel 9).
Hal ini menggambarkan bahwa hasil
panen meningkat setiap periode
musim buka. Meningkatnya hasil
panen menandakan bahwa peserta
pemancingan pada musim buka ikan
larangan desa banyak sehingga Desa
Sungai Pasak ramai dikunjungi.
Banyaknya
pengunjung
pemancingan
tentunya
membawa
dampak bagi pendapatan masyarakat
desa.
Selain
memancing
para
pengunjung juga berbelanja sehingga
memberikan
dampak
tambahan
pendapatan bagi masyarakat sekitar.
Sebanyak 100 persen responden
menyatakan
bahwa
kegiatan
pemancingan saat musim buka

Tabel 9. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Terhadap Hasil
Panen
Hasil panen
Tinggi
Sedang
Rendah
Jumlah
Sumber : Data primer diolah (2013)

Masyarakat Desa Sungai Pasak
Jumlah
Persentase (%)
38
95
2
5
0
0
40
100

34
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

bermanfaat (Tabel 10). Jawaban
tersebut dipilih oleh responden karena
selain
menambah
pendapatan
masyarakat,
kegiatan
ini
juga
bermanfaat bagi orang-orang yang
gemar memancing sehingga ikut
meramaikan kegiatan yang dilakukan
Desa Sungai Pasak.
Persepsi
Masyarakat
Mengenai
Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan
Manfaat
pengelolaan
ikan
larangan Desa Sungai Pasak yang
dirasakan masyarakat paling besar
adalah sebagai sumber pendanaan
pembangungan desa. Terlihat dari
sebaran persepsi responden sebesar
94 persen (Gambar 4) memilih
indikator tersebut dari parameter
aspek ekonomi. Sedangkan manfaat
yang kurang dirasakan masyarakat
adalah sebagai alternatif wisata atau
hiburan desa sebesar 65 persen.
Secara keseluruhan pengelolaan ikan
melalui sistem ikan larangan sangat
baik untuk dilakukan. Mencermati
keberadaan ikan larangan terdapat
tiga aspek manfaat yaitu manfaat
ekologi/lingkungan, aspek ekonomi,
dan aspek sosial.
Berdasarkan
persepsi
masyarakat diperoleh hasil bahwa
manfaat
dari
aspek
ekologi
/

lingkungan yang lebih menonjol. Hal
ini terlihat pada Gambar 3, dimana
pernyataan mengenai manfaat ekologi
terdapat pada urutan atas. Manfaat
kelestarian
lingkungan,
menjaga
keberadaan sungai dan banda irigasi
dari pencemaran menjadi manfaat
utama yang dapat diterima oleh
masyarakat.
Sedangkan,
manfaat
sosial merupakan manfaat kedua
yang dirasakan oleh masyarakat.
Keberadaan
ikan
larangan
juga
meningkatkan kerukunan masyarakat
Desa Sungai Pasak karena sikap
saling percaya dalam mengelola
sumberdaya ikan baik yang berada di
sungai
maupun
banda
irigasi.
Manfaat ekonomi bukan menjadi
manfaat utama pengelolaan ikan
larangan.
Analisis Biaya Tansaksi
Kelembagaan Ikan Larangan
Biaya
transaksi
yang
dikeluarkan masyarakat Sungai Pasak
dalam kegiatan kelembagaan meliputi
(1) Biaya transaksi yang merupakan
biaya yang akan dikeluarkan saat
pelaksanaan kegiatan pembukaan
lubuk dan banda larangan. Dalam
biaya transaksi termasuk biaya
pertemuan membahas bagaimana
pelaksanaan kegiatan dan kapan

Tabel 10. Sebaran Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Dari Kegiatan
Pemancingan Musim Buka Ikan Larangan
Manfaat dari kegiatan pemancingan
Bermanfaat
Kurang Bermanfaat
Tidak Bermanfaat
Jumlah
Sumber : Data primer diolah (2013)

Masyarakat Desa Sungai Pasak
Jumlah
Persentase (%)
40
100
0
0
0
0
40
100

35
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

akan
dilaksanakan.
Biasanya
pertemuan ini dilakukan di masjid
pada hari Jumat setiap enam bulan
sekali. Pertemuan ini di buka oleh
ninik mamak dan diikuti oleh
perwakilan masyarakat dari setiap
dusun, (2) Biaya Operasional Ikan
Larangan yang meliputi biaya rutin
yang harus dikeluarkan seperti biaya
pakan ikan. Besaran pengelolaan ikan
larangan terdapat pada Tabel 11.
Total
biaya
yang
wajib
dikeluarkan Desa Sungai Pasak setiap
tahunnya sekitar Rp. 20 000 000.
Biaya terbesar dikeluarkan adalah
biaya operasional. Hal ini dikarenakan
adanya biaya penebaran kembali ikan
dan pembelian pakan. Hasil dari
pemancingan ikan larangan menurut
kesepakatan bersama dibagi menjadi
beberapa
pos
seperti
perbaikan

sarana ibadah, kas pemuda, sarana
umum berupa jalan desa dan
kebutuhan lain yang sesuai dengan
kesepakatan
tokoh-tokoh
ikan
larangan dengan masyarakat desa.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Desa Sungai Pasak merupakan
salah satu desa di Kecamatan
Pariaman Timur, Kota Pariaman
yang
masih
menerapkan
pengelolaan
sumberdaya
ikan
melalui sistem ikan larangan.
Kelembagaan ikan larangan ini
memiliki
aktor
dan
aturan
didalamnya.
Meskipun
kelembagaan
tersebut
bersifat
informal, tetapi bersifat mengikat
bagi seluruh masyarakat desa.

menjaga keberadaan ikan garing

79

Salah satu cara untuk melestarikan…

91

menjaga sumber air bersih

90

Membuat lingkungan bersih (sungai dan…

81

Mencegah kerusakan lingkungan

86.5

mendorong terwujudnya kemandirian…

77.5

pewarisan budaya

85.5

kedisiplinan di masyarakat

86

Terbinanya Kerukunan Sosial

91

sebagai alternatif wisata atau hiburan di…

65.5

sumber pendanaan pembangunan desa

94

menjaga ketersediaan produksi ikan

77

meningkatkan pendapatan

85
0

20

40

60

80

100

persentase

Gambar 4. Persentase Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak
Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan
Sumber : Data primer diolah (2013)
36
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Tabel 11. Analisis Biaya Dan Penerimaan Pengelolaan Ikan Larangan Desa
Sungai Pasak
No Uraian
Nilai (Rupiah)
Keterangan
1
Penerimaan musim
47 400 000
Hasil pendapatan dari biaya
buka (pemancingan)
masuk
pemancingan
ikan
larangan dengan biaya biaya
masuk Rp 40 000/ orang.
Total hasil penjualan tiket
Total
pendapatan dari
masuk pemancingan ikan saat
47 400 000
pemancingan
musim buka selama tahun
2012
2
Biaya
pengelolaan
ikan larangan
a. Biaya operasional
Dikeluarkan
setiap
musim
berupa :
tutup dimulai untuk restocking
wilayah ikan larangan.
- Bibit ikan
7 000 000
5 000 000
- Pakan
b. Biaya transaksi
Dikeluarkan
untuk
pelaksanaan
musyawarah
- Biaya
untuk
menetapkan
musim
musyawarah
1 Musim tutup
500 000
tutup dan musim buka wilayah
500 000
ikan larangan.
2 Musim buka
- Biaya
informasi
kegiatan
pemancingan saat
musim buka
Total biaya pengelolaan
ikan larangan
Manfaat bersih
ikan larangan

dari

7 000 000

20 000 000
27 400 000

Biaya pembuatan pamflet, surat
undangan,
iklan
elektronik
untuk
menginformasikan
kegiatan
pemancingan
ikan
larangan Desa Sungai Pasak.
Biaya yang dikeluarkan untuk
pengelolaan
wilayah
ikan
larangan selama setahun
Total
pendapatan
dari
pemancingan dikurangi total
biaya pengelolaan

Sumber : Data primer diolah (2013)
2. Pengelolaan
kelembagaan
ikan
larangan telah menjadi tradisi
dalam
kehidupan
masyarakat
hingga saat ini. Pengelolaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak secara
teknis
sepenuhnya
diserahkan
kepada
masyarakat
setempat.
Meskipun
telah
dibentuk

POKMASWAS, pengelolaan ikan
larangan melalui kelembagaan adat
yang dipimpin ninik mamak masih
berperan sebagai pengontrol dan
pengawas dari setiap kegiatan yang
berkaitan
pengelolaan
ikan
larangan.

37
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

3. Biaya pengelolaan ikan larangan
setiap tahunnya mencapai Rp 20
000 000 biaya tersebut terbagi
menjadi dua bagian yaitu biaya
operasional sebesar Rp 12 000 000
dan biaya transaksi sebesar Rp 8
000 000.
4. Kelembagaan pengelolaan sumber
daya ikan melalui ikan larangan
merupakan salah satu upaya
untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial,
dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin
keutuhan
lingkungan
hidup
generasi masa kini dan generasi
masa depan.
Saran
1. Sistem ikan larangan merupakan
kearifan lokal yang patut dijaga
dan dikembangkan sesuai dengan
perkembangan
zaman
seperti
halnya
memperkuat
aturan
pengelolaan ikan larangan dari
yang tidak tertulis menjadi aturan
tertulis. Aturan dapat ditingkatkan
menjadi aturan tertulis seperti
dimasukan
kedalam
peraturan
desa atau surat keputusan kepala
desa
dimana
isinya
tetap
bersumber pada aturan terdahulu.
2. Struktur pengelola harian ikan
larangan Desa Sungai Pasak yang
ada perlu dilakukan pergantian
secara berkala dan pembaharuan
peran
serta
tanggung
jawab
pengurus. Hal ini bertujuan agar
pengelolaan ikan larangan Desa
Sungai Pasak lebih terorganisasi
dan terstruktur. Pada kelembagaan
baru pengelola ikan larangan yaitu
Pokmaswas perlu lebih diaktifkan
peranannya,
selain
itu
perlu

diperkuat dengan mendaftarkan
kepada Dinas Perikanan Kota
Pariaman agar tercatat dan bersifat
legal.
3. Dalam mewujudkan pemanfaatan
sumberdaya alam berkelanjutan,
termasuk sumberdaya perikanan
perairan
umum,
diperlukan
pengelolaan
menyeluruh
yang
melibatkan semua pihak terutama
komunitas masyarakat lokal yang
tinggal
disekitar
sumberdaya
tersebut.
4. Peran serta masyarakat dalam
pengelolaan kawasan konservasi
diharapkan
dapat
mengurangi
biaya
pengawasan
yang
dibebankan
pada
pemerintah.
Selain
itu,
pembentukan
kelembagaan formal (Pokmaswas)
dapat
dijalankan
lebih
baik
sehingga pengelolaan ikan larangan
memiliki struktur organisasi yang
jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Gumilar, Iwang. 2012. Partisipasi
Masyarakat dalam Pengelolaan
Ekosistem
Hutan
Mangrove
Berkelanjutan
di
Kabupaten
Indramayu. Jurnal Akuatika
Vol.III no2./September 2012
(198-211). ISSN 0853-2523
Pahlevi, Reza Shah. 2002. Ikan
Diniatkan and Ikan Larangan:
Areas
of
Tradisional
Fish
Cultivation in the Districts of
Pasaman and Padang Pariaman,
West
Sumatera
Province
[Internet]. [diakses 29 Desember
2012].
Tersedia
pada
:
www.konservasi.org
Riduwan,

Sunarto.2007.

Pengantar

38
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39

Statistika
untuk
Penelitian
Pendidikan, Sosial, Komunikasi,
Ekonomi, dan Bisnis. Akdon,
editor. Bandung (ID): ALFABETA
Suhana.
2008a.
Pengakuan
Keberadaan
Kearifan
Lokal
Lubuk
Larangan
Indarung,
Kabupaten
Kuantan
Singingi
Provinsi Riau dalam Pengelolaan
dan Perlindungan Lingkungan
Hidup. COMIT [Internet].[diakses
2012 Nov 15]. Tersedia pada:
http://suhanaocean.blogspot.com
______. 2008b. Analisis Ekonomi
Kelembagaan dalam Pengelolaan
Sumberdaya
Ikan
Teluk
Pelabuhan
Ratu
Kabupaten
Sukabumi [tesis]. Bogor. (ID):
Institut Pertanian Bogor
Syahyuti. 2004. Model Kelembagaan
Penunjang
Pengembangan
Pertanian di Lahan Lebak. Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

39
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53

PERHITUNGAN PDRB HIJAU SEBAGAI INSTRUMEN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN
ASMAT, PROVINSI PAPUA1
Yugi Setyarko2
2) Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Budi Luhur, Jakarta dan Peneliti pada Lembaga Penelitian
dan Pelatihan Ekonomi Lingkungan (LPPEL) Wacana Mulia, Jakarta.

ABSTRACT
Asmat regency, Papua province is the eastern area of Indonesia, which still
has abundant natural resources. Positive steps taken by the Asmat Government
related to the Asmat management of natural resources and the environment is the
application of the Green PDRB calculation. Furthermore, the results of the
calculation and the concept are socialized to Asmat local government in order to
perform the development activities which focus on the sustainability of natural
resources and the quality of environmental services. Green PRDB calculation
results show that Asmat regency still has abundant natural resources in good
condition. It is more due to development activities that run relatively slow, because
many constraints and obstacles in the economic development in Asmat regency,
such as the quality of human resources, science and technology, and/or the
availability of infrastructure, especially the transportations. Therefore, the final
result of the application of Green PDRB calculation indicates present depletion of
natural resources and environmental degradation in the Asmat regency is still
relatively low. It is expected that the implementation of the Green PDRB calculation
on the policy decision for development activities, especially when the economy will
be driven, more accurately and rights on target while also maintaining the balance
of the carrying capacity of natural resources and environmental services.

Key words: Green PDRB, natural resource, environmental services, depletion,
degradation
ABSTRAK
Kabupaten Asmat, Provinsi Papua merupakan daerah di ujung timur Indonesia
yang masih memiliki sumber daya alam yang melimpah. Langkah positif yang
ditempuh oleh Pemda Asmat dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA dan
lingkungan adalah melakukan penerapan penghitungan PDRB Hijau. Selanjutnya
hasil dan konsep perhitungan disosialisasikan kepada aparat pemda Kab. Asmat
dengan tujuan agar kegiatan pembangunan tetap memperhatikan ketersediaan
Disarikan dari hasil penelitian M. Suparmoko, Yugi Setyarko, Haryo Setyo Wibowo bekerjasama dengan
PT Portal Engineering Perkasa dan Bappeda Kab Asmat, Penyusunan PDRB Hijau Kabupaten Asmat 2011,
Prov. Papua. Telah dipresentasikan di Kantor Bappeda Kab. Asmat pada tanggal 9 Desember 2011.
1

40
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53

SDA dan kualitas jasa lingkungan. Hasil penghitungan PDRB Hijau menunjukkan
bahwa Kab. Asmat memang masih memiliki SDA yang melimpah dalam kondisi
masih baik. Hal ini lebih disebabkan kegiatan pembangunan yang berjalan relatif
lambat, karena banyak kendala dan hambatan dalam perkembangan ekonomi Kab
Asmat, baik dari sisi kualitas SDM, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun
ketersediaan sarana prasarana khususnya transportasi pada kondisi lapangan
yang cukup ekstrim. Oleh karena itu hasil akhir dari aplikasi perhitungan PDRB
Hijau menunjukkan, hingga saat ini deplesi SDA dan degradasi lingkungan di
Kabupaten Asmat masih relatif rendah. Diharapkan dengan diterapkannya
perhitungan PDRB Hijau, pengambilan kebijakan dalam kegiatan pembangunan
khususnya saat perekonomian dipacu nantinya akan lebih tepat sasaran dengan
tetap menjaga keseimbangan terhadap daya dukung SDA dan jasa lingkungan.
Kata kunci : PDRB Hijau, sumberdaya alam, jasa lingkungan, deplesi, degradasi
Latar Belakang
Paradigma pembangunan saat
ini mengarah pada pembangunan
yang
berkelanjutan,
untuk
itu
perubahan
pada
indikator
pembangunan
sudah
semestinya
dilakukan, tidak lagi menggunakan
PDRB yang dihitung atas dasar
System of National Account (SNA),
tetapi didasarkan pada PDRB Hijau
(Green
Gross
Regional
Domestic
Product atau Green GRDP) yang
dihitung atas dasar konsep Sistem
Penghitungan
Terpadu
antara
Lingkungan dan Ekonomi (System of
Integrated
Environmental
and
3
Economic Account).
Keberhasilan kinerja ekonomi
dan pembangunan di suatu daerah
selama ini ditinjau berdasarkan
Laporan Produk Domestik Regional
Hijau (PDRB) yang rutin setiap tahun
disusun oleh Bapeda bekerja sama
dengan BPS dan instansi terkait
lainnya. Dari angka-angka laporan
PDRB kita
memperoleh informasi
3

United Nation Statistical Division, Handbook of
Integrated
Environmental
and
Economic
Accounting, New York, 1993

tingkat keberhasilan pembangunan di
suatu daerah, dengan memperhatikan
sektor yang dominan dan sektor
perekonomian yang masih dirasakan
berjalan lamban. Namun hingga saat
ini aspek yang dirasakan vital dan
tidak
pernah
dilibatkan
dalam
penghitungan
PDRB
adalah
depresiasi/penggunaan sumber daya
alam dan lingkungan sebagai modal
alami dalam kegiatan pembangunan.
Kegiatan pembangunan yang gencar
dilakukan
dalam
rangka
meningkatkan
perekonomian
di
berbagai daerah telah mendeplesi dan
mengeksploitasi sumber daya alam
secara
besar-besaran
yang
mengakibatkan terjadinya degradasi
lingkungan. Hilangnya modal sumber
daya
alam
tidak
pernah
diperhitungkan
sehingga
laporan
PDRB
seolah-olah
hanya
menampilkan kinerja perekonomian
yang biasanya terus meningkat dalam
periode tertentu.
Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
menjadi landasan hukum disusunnya
Laporan
PDRB
Hijau
sebagai

41
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53

instrumen
perencanaan
pembangunan
di
masing-masing
daerah.
Pasal
43
ayat
1b
mengamanatkan untuk disusunnya
PDB (nasional) dan PDRB (regional)
dengan menginternalkan nilai deplesi
sumber daya alam dan degradasi
lingkungan, sehingga laporan tersebut
akan
mencerminkan
kinerja
perekonomian yang lebih riil. Laporan
PDRB yang melibatkan dimensi
lingkungan inilah yang selanjutnya
dikenal dengan istilah PDRB Hijau.
Bappeda
Kabupaten
Asmat,
Provinsi Papua pada tahun 2011
menginisiasi dilakukannya aplikasi
perhitungan PDRB Hijau sebagai tolok
ukur kegiatan pembangunan di
Kabupaten Asmat.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan dilakukannya penyusunan
Laporan PDRB Hijau Kabupaten
Asmat adalah:
a) Untuk
mengetahui
kinerja
seluruh perekonomian secara
neto dengan memperhitungkan
semua nilai penyusutan modal
alami (sumber daya alam dan
lingkungan) dan penyusutan
modal buatan manusia.
b) Untuk
meningkatkan
kesadaran
para
pembuat
kebijakan
dan
masyarakat
akan
perlunya
konservasi
sumber daya alam baik yang
terbarukan
maupun
yang
tidak
terbarukan
sebagai
sumber bahan mentah dan
sumber
jasa
lingkungan
termasuk
keberadaan
keanekaragaman hayati.
c) Digunakan
sebagai
dasar
pengambilan keputusan dalam
penyusunan
rencana

pembangunan
Kabupaten
Asmat yang berkelanjutan.
Adapun manfaat disusunnya PDRB
Hijau Kab. Asmat adalah:
a) Peningkatan
kapasitas
pemerintah
daerah
dalam
menyusun
rencana
pembangunan daerah dengan
mengacu pada PDRB Hijau.
b) Laporan PDRB Hijau dapat
digunakan
sebagai
acuan
penentuan
nilai
pungutan
(pajak lingkungan, retribusi
lingkungan dan PNBP) maupun
nilai ganti rugi kerusakan
lingkungan yang timbul akibat
kegiatan individu, pengusaha
swasta, maupun pemerintah
atas penggunaan sumber daya
alam yang ada berdasarkan
hasil
perhitungan
rente
ekonomi sumber daya alam.
c) Sebagai salah satu instrumen
untuk
mengapresiasi
keberadaan sumber daya alam
dan
lingkungan
serta
keanekaragaman hayati yang
ada sebagai aset daerah.
d) Laporan
PDRB
Hijau
digunakan sebagai salah satu
langkah
antipasi
dalam
menjaga
keseimbangan
keberadaan sumber daya alam
yang masih cukup melimpah
dan kondisi lingkungan yang
masih cukup baik
terhadap
kegiatan
pembangunan
di
Kabupaten Asmat
Gambaran
Perekonomian
Kab.
Asmat
PDRB Kabupaten Asmat atas dasar
harga berlaku dan atas dasar harga
konstan disajikan pada Tabel 1.

42
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53

Tabel 1. PDRB Kabupaten Asmat Tahun 2007-2009
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku PDRB Atas Dasar Harga Konstan
Tahun
(Rp juta)
(Rp juta)
Pertumbuhan
Pertumbuhan
(1)
(2)
(3)
(%)
(%)
2007
356.633,05
180.616.91
2008
441.225,50
24
200.779,77
11
2009
520.378,07
18
218.759,13
9
Sumber: PDRB Kabupaten Asmat Tahun 2009

Penyusunan PDRB Hijau Kabupaten
Asmat
Perhitungan PDRB Kabupaten
Asmat
dilakukan
dengan
mengidentifikasi kegiatan deplesi SDA
dan
degradasi
lingkungan
yang
terjadi.

Sektor-sektor lainnya seperti sektor
pertanian pangan, sektor industri,
sektor listrik dan air bersih, sektor
perdagangan, sektor transportasi,
sektor
keuangan,
dan
sektor
pemerintahan, relatif tidak melakukan
ekstraksi sumber daya alam.

Deplesi SDA

Deplesi sumber daya hutan

Berdasarkan hasil observasi dan
pengumpulan data, diketahui sumber
daya alam yang terdeplesi di masingmasing sektor dan sub-sektor dalam
perekonomian
Kabupaten
Asmat
hanya terjadi pada sub sektor
kehutanan dan sub sektor perikanan.

Perhitungan deplesi sumber daya
hutan di Kabupaten Asmat diuraikan
berdasarkan pelaku deplesi produk
hutan
yaitu
masyarakat
dan
perusahaan/kontraktor.
Deplesi sumber daya hutan oleh
masyarakat

Tabel 2. Jenis dan Nilai Ekonomi Kayu Hutan di Kabupaten Asmat, 2009
Rata-rata
Unit
Nilai Ekonomi
Harga
Produksi
Rent
Kayu di hutan
Jenis kayu hutan
(Rp
(Ha/tahun)
(Rp /m3)
(Rp juta/ha/th)
/m3/th)
(1)
(2)
(3)
(4)
a. Kayu merbau/besi
22,83
2.000.000
624.717
14,26
b. Kayu damar
20,33
1.500.000
468.538
9,53
c. Kayu cina
8,17
1.500.000
468.538
3,83
d. Kayu bus merah
1,50
1.200.000
374.830
0,56
e. Kayu bus putih
1,67
1.200.000
374.830
0,62
f. Kayu meranti
1,00
1.000.000
312.358
0,31
g. Rotan
0,17
20.000
6.247
0,00
h. Bintongur
1,17
1.200.000
374.830
0,44
Rata-rata tertimbang
1.664.697
375.611
29,56
Sumber: HCVF , WWF, 2009
43
Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53

Tabel 3. Jenis makanan pokok yang diproduksi Masyarakat Kampung Sample
di Kabupaten Asmat, Akhir 2009

Jenis

a. Batang sagu (batang)
b. Ubi kayu (tumpuk)
c. Talas (tumpuk)
d. Pisang (tandan)
Rata-rata tertimbang

Rata-rata
Produksi

Rata-rata
Harga

Unit Rent

(Unit/Ha/tahun)
(1)
17
60
48
21
-

(Rp /unit)
(2)
300.000
10.000
10.000
100.000
56.712

(Rp/unit/th)
(3)
93.708
3.124
3.124
31.236
17.715

Nilai Ekonomi
SDA &
lingkungan
hutan
(Rp juta/ha/th)
(4)
1,59
0,19
0,15
0,66
2,59

Sumber : WWF, NKT hutan, 2009
Deplesi produk kayu bangunan

Deplesi sumber daya pangan
Jenis bahan makan pokok yang
dimanfaatkan dari hutan antara lain
sagu, ubi kayu, talas, dan pisang.

ekonomi tumbuhan obat yang diambil
dari hutan di Kabupaten Asmat tidak
begitu
besar
dan
diperkirakan
seluruhnya hanya berjumlah Rp 0,45
juta/Ha/tahun. Oleh karena itu jenis
tumbuhan
obat-obatan
tersebut
dinilai sangat rendah atau tidak ada
nilainya sama sekali. Belum ada
proses pengolahan obat-obatan dari
hasil hutan.

Deplesi tumbuhan obat

Deplesi Sumber Hewan Buruan

Tabel 2 menyajikan data volume
dan
nilai
kayu
hutan
yang
dimanfaatkan oleh masyarakat di
Kabupaten Asmat.

Jumlah

produksi

dan

nilai

Pada Tabel 5 disajikan data produksi

Tabel 4. Jumlah dan Nilai Rente Ekonomi Tumbuhan Obat dari Hutan,
Kabupaten Asmat, 2009

a. Dambor/mengkudu
(tumpuk)
b. Akar pandan (ikat)
c. Buah pala besar
(tumpuk)
d. Buah pala kecil
(tumpuk)
e. Buah bintang (tumpuk)
f. Daun gatal (ikat)
g. Daun sirih (ikat)
h. Jahe (tumpuk)
Jumlah nilai (Rupiah)

Rata-rata
Harga

(unit/Ha/tahun)

Jenis

Rata-rata
Produksi

Unit
Rent
(Rp
/unit/th)

Nilai Obatobatan
(Rp
juta/ha/th)

(Rp /unit)

5,2

20.000

6.247

0,10

1,8

5.000

1.562

0,01

4,8

5.000

1.562

0,02

5,8

5.000

1.562

0,03

2,4
33,6
18,2
0,5

5.000
5.000
5.000
20.000
6.183

1.562
1.562
1.562
6.247
2.327

0,01
0,17
0,09
0,01
0,45

Sumber: HCVF, Kabupaten Amat, WWF, 2009 (n = 119)
44
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI
KERUGIAN EKONOMI

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

keseimbangan IS-LM
keseimbangan IS-LMkeseimbangan IS-LM
keseimbangan IS-LMmas karebet
 
Mutual Exclusive Alternative Project (Analisis Proyek BAB 5)
Mutual Exclusive Alternative Project (Analisis Proyek BAB 5)Mutual Exclusive Alternative Project (Analisis Proyek BAB 5)
Mutual Exclusive Alternative Project (Analisis Proyek BAB 5)Bagus Cahyo Jaya Pratama Pratama
 
Pasar Oligopolistik dan Monopolistik
Pasar Oligopolistik dan MonopolistikPasar Oligopolistik dan Monopolistik
Pasar Oligopolistik dan MonopolistikFisa Tiana
 
Pert 9-pemodelan-ekonometrika
Pert 9-pemodelan-ekonometrikaPert 9-pemodelan-ekonometrika
Pert 9-pemodelan-ekonometrikawuri septi
 
Harga dan Output di Pasar Monopolistis dan Oligopoly
Harga dan Output di Pasar Monopolistis dan OligopolyHarga dan Output di Pasar Monopolistis dan Oligopoly
Harga dan Output di Pasar Monopolistis dan OligopolyL N
 
Keseimbangan 4 sektor
Keseimbangan 4 sektorKeseimbangan 4 sektor
Keseimbangan 4 sektorSudirman Jie
 
BAB7.TEORI PERILAKU PRODUSEN.pptx
BAB7.TEORI PERILAKU PRODUSEN.pptxBAB7.TEORI PERILAKU PRODUSEN.pptx
BAB7.TEORI PERILAKU PRODUSEN.pptxBisnisIklan
 
(Pert. 2) teori konsumsi dan investasi
(Pert. 2) teori konsumsi dan investasi(Pert. 2) teori konsumsi dan investasi
(Pert. 2) teori konsumsi dan investasimanajemenmagister
 
Konsumsi dan Pengeluaran Konsumen
Konsumsi dan Pengeluaran KonsumenKonsumsi dan Pengeluaran Konsumen
Konsumsi dan Pengeluaran KonsumenTrisnadi Wijaya
 
Keseimbangan umum dan efisiensi ekonomi ii
Keseimbangan umum dan efisiensi ekonomi iiKeseimbangan umum dan efisiensi ekonomi ii
Keseimbangan umum dan efisiensi ekonomi iiQuinta Nursabrina
 
Ekonomi internasional ( makalah fix )
Ekonomi internasional ( makalah fix )Ekonomi internasional ( makalah fix )
Ekonomi internasional ( makalah fix )Yasri Purwani II
 
Mankiew chapter 10 Eksternalitas indonesian version
Mankiew chapter 10 Eksternalitas indonesian versionMankiew chapter 10 Eksternalitas indonesian version
Mankiew chapter 10 Eksternalitas indonesian versionRista airen
 
Barang publik dan barang privat
Barang publik dan barang privatBarang publik dan barang privat
Barang publik dan barang privatAriee Moeslim
 
Bab 10 keseimbangan pasar uang
Bab 10   keseimbangan pasar uangBab 10   keseimbangan pasar uang
Bab 10 keseimbangan pasar uangYusron Blacklist
 

Mais procurados (20)

keseimbangan IS-LM
keseimbangan IS-LMkeseimbangan IS-LM
keseimbangan IS-LM
 
Mutual Exclusive Alternative Project (Analisis Proyek BAB 5)
Mutual Exclusive Alternative Project (Analisis Proyek BAB 5)Mutual Exclusive Alternative Project (Analisis Proyek BAB 5)
Mutual Exclusive Alternative Project (Analisis Proyek BAB 5)
 
Pasar Oligopolistik dan Monopolistik
Pasar Oligopolistik dan MonopolistikPasar Oligopolistik dan Monopolistik
Pasar Oligopolistik dan Monopolistik
 
Pert 9-pemodelan-ekonometrika
Pert 9-pemodelan-ekonometrikaPert 9-pemodelan-ekonometrika
Pert 9-pemodelan-ekonometrika
 
Harga dan Output di Pasar Monopolistis dan Oligopoly
Harga dan Output di Pasar Monopolistis dan OligopolyHarga dan Output di Pasar Monopolistis dan Oligopoly
Harga dan Output di Pasar Monopolistis dan Oligopoly
 
Materi 8 (perilaku produsen)
Materi 8 (perilaku produsen)Materi 8 (perilaku produsen)
Materi 8 (perilaku produsen)
 
Keseimbangan 4 sektor
Keseimbangan 4 sektorKeseimbangan 4 sektor
Keseimbangan 4 sektor
 
Penerapan fungsi non linier
Penerapan fungsi non linierPenerapan fungsi non linier
Penerapan fungsi non linier
 
BAB7.TEORI PERILAKU PRODUSEN.pptx
BAB7.TEORI PERILAKU PRODUSEN.pptxBAB7.TEORI PERILAKU PRODUSEN.pptx
BAB7.TEORI PERILAKU PRODUSEN.pptx
 
(Pert. 2) teori konsumsi dan investasi
(Pert. 2) teori konsumsi dan investasi(Pert. 2) teori konsumsi dan investasi
(Pert. 2) teori konsumsi dan investasi
 
Konsumsi dan Pengeluaran Konsumen
Konsumsi dan Pengeluaran KonsumenKonsumsi dan Pengeluaran Konsumen
Konsumsi dan Pengeluaran Konsumen
 
Keseimbangan umum dan efisiensi ekonomi ii
Keseimbangan umum dan efisiensi ekonomi iiKeseimbangan umum dan efisiensi ekonomi ii
Keseimbangan umum dan efisiensi ekonomi ii
 
Kebijakan moneter
Kebijakan moneterKebijakan moneter
Kebijakan moneter
 
SIstem Ekonomi 3 Sektor
SIstem Ekonomi 3 SektorSIstem Ekonomi 3 Sektor
SIstem Ekonomi 3 Sektor
 
Ekonomi internasional ( makalah fix )
Ekonomi internasional ( makalah fix )Ekonomi internasional ( makalah fix )
Ekonomi internasional ( makalah fix )
 
analisis input output
 analisis input output analisis input output
analisis input output
 
The Time Value Of Money (Analisis Proyek BAB 2)
The Time Value Of Money (Analisis Proyek BAB 2)The Time Value Of Money (Analisis Proyek BAB 2)
The Time Value Of Money (Analisis Proyek BAB 2)
 
Mankiew chapter 10 Eksternalitas indonesian version
Mankiew chapter 10 Eksternalitas indonesian versionMankiew chapter 10 Eksternalitas indonesian version
Mankiew chapter 10 Eksternalitas indonesian version
 
Barang publik dan barang privat
Barang publik dan barang privatBarang publik dan barang privat
Barang publik dan barang privat
 
Bab 10 keseimbangan pasar uang
Bab 10   keseimbangan pasar uangBab 10   keseimbangan pasar uang
Bab 10 keseimbangan pasar uang
 

Destaque

PENGARUH SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI
PENGARUH SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PENGARUH SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI
PENGARUH SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI Umi Pujiati
 
Pembahasan Jurnal Ekonometrika
Pembahasan Jurnal Ekonometrika Pembahasan Jurnal Ekonometrika
Pembahasan Jurnal Ekonometrika Rasyid Abdillah
 
Analisis ekonomi sumber daya pada tanah
Analisis ekonomi sumber daya pada tanahAnalisis ekonomi sumber daya pada tanah
Analisis ekonomi sumber daya pada tanahCut Ajja Hani
 
Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pendapatan irlan fery
Pengaruh pertumbuhan ekonomi  terhadap pendapatan irlan feryPengaruh pertumbuhan ekonomi  terhadap pendapatan irlan fery
Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pendapatan irlan feryirlan_fery81
 
Pengaruh perbedaan substrat terhadap pertumbuhan
Pengaruh perbedaan substrat terhadap pertumbuhanPengaruh perbedaan substrat terhadap pertumbuhan
Pengaruh perbedaan substrat terhadap pertumbuhanSteven Steven
 
1 business &amp; economics
1 business &amp; economics1 business &amp; economics
1 business &amp; economicsmudey001
 
Laporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamun
Laporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamunLaporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamun
Laporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamunmuhammad halim
 
Kelangkaan sumber daya alam
Kelangkaan sumber daya alamKelangkaan sumber daya alam
Kelangkaan sumber daya alamUmi Pujiati
 
Dasar dasar perlindungan tanaman - penyakit tanaman ( virus,bakteri,jamur)
Dasar dasar perlindungan tanaman - penyakit tanaman ( virus,bakteri,jamur)Dasar dasar perlindungan tanaman - penyakit tanaman ( virus,bakteri,jamur)
Dasar dasar perlindungan tanaman - penyakit tanaman ( virus,bakteri,jamur)Fadloli Akhmad
 
PENGARUH PENCEMARAN AIR LAUT TERHADAP KAUM NELAYAN DAN LINGKUNGAN SEKITAR PANTAI
PENGARUH PENCEMARAN AIR LAUT TERHADAP KAUM NELAYAN DAN LINGKUNGAN SEKITAR PANTAIPENGARUH PENCEMARAN AIR LAUT TERHADAP KAUM NELAYAN DAN LINGKUNGAN SEKITAR PANTAI
PENGARUH PENCEMARAN AIR LAUT TERHADAP KAUM NELAYAN DAN LINGKUNGAN SEKITAR PANTAIyohananda eka putri
 
Fungsi dan peran sumber daya alam dalam pembangunan
Fungsi dan peran sumber daya alam dalam pembangunanFungsi dan peran sumber daya alam dalam pembangunan
Fungsi dan peran sumber daya alam dalam pembangunanArinda Budi Lestari
 
Pedoman Teknis Sukses Wirausaha Budidaya Ikan Gurame
Pedoman Teknis Sukses Wirausaha Budidaya Ikan GuramePedoman Teknis Sukses Wirausaha Budidaya Ikan Gurame
Pedoman Teknis Sukses Wirausaha Budidaya Ikan GurameWarta Wirausaha
 
Materi kuliah-tata-ruang-dan-perencanaan-lingkungan1
Materi kuliah-tata-ruang-dan-perencanaan-lingkungan1Materi kuliah-tata-ruang-dan-perencanaan-lingkungan1
Materi kuliah-tata-ruang-dan-perencanaan-lingkungan1laboratorium pwkuinam
 
Pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan
Pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan Pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan
Pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan Muhammad Basir
 

Destaque (20)

Ekonomi lingkungan
Ekonomi lingkunganEkonomi lingkungan
Ekonomi lingkungan
 
PENGARUH SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI
PENGARUH SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PENGARUH SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI
PENGARUH SUMBER DAYA ALAM TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI
 
Pembahasan Jurnal Ekonometrika
Pembahasan Jurnal Ekonometrika Pembahasan Jurnal Ekonometrika
Pembahasan Jurnal Ekonometrika
 
Analisis ekonomi sumber daya pada tanah
Analisis ekonomi sumber daya pada tanahAnalisis ekonomi sumber daya pada tanah
Analisis ekonomi sumber daya pada tanah
 
Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pendapatan irlan fery
Pengaruh pertumbuhan ekonomi  terhadap pendapatan irlan feryPengaruh pertumbuhan ekonomi  terhadap pendapatan irlan fery
Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pendapatan irlan fery
 
Pengaruh perbedaan substrat terhadap pertumbuhan
Pengaruh perbedaan substrat terhadap pertumbuhanPengaruh perbedaan substrat terhadap pertumbuhan
Pengaruh perbedaan substrat terhadap pertumbuhan
 
1 business &amp; economics
1 business &amp; economics1 business &amp; economics
1 business &amp; economics
 
Laporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamun
Laporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamunLaporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamun
Laporan hasil magang muhammad halim 120254241031 tekn ik transplantasi lamun
 
Kelangkaan sumber daya alam
Kelangkaan sumber daya alamKelangkaan sumber daya alam
Kelangkaan sumber daya alam
 
Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)
Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)
Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)
 
Budidaya Ikan Nila
Budidaya Ikan NilaBudidaya Ikan Nila
Budidaya Ikan Nila
 
Dasar dasar perlindungan tanaman - penyakit tanaman ( virus,bakteri,jamur)
Dasar dasar perlindungan tanaman - penyakit tanaman ( virus,bakteri,jamur)Dasar dasar perlindungan tanaman - penyakit tanaman ( virus,bakteri,jamur)
Dasar dasar perlindungan tanaman - penyakit tanaman ( virus,bakteri,jamur)
 
Dampak lingkungan pada kegiatan budidaya perikanan di china
Dampak lingkungan pada kegiatan budidaya perikanan di chinaDampak lingkungan pada kegiatan budidaya perikanan di china
Dampak lingkungan pada kegiatan budidaya perikanan di china
 
Makalah ekonometrika -ECM
Makalah ekonometrika -ECMMakalah ekonometrika -ECM
Makalah ekonometrika -ECM
 
PENGARUH PENCEMARAN AIR LAUT TERHADAP KAUM NELAYAN DAN LINGKUNGAN SEKITAR PANTAI
PENGARUH PENCEMARAN AIR LAUT TERHADAP KAUM NELAYAN DAN LINGKUNGAN SEKITAR PANTAIPENGARUH PENCEMARAN AIR LAUT TERHADAP KAUM NELAYAN DAN LINGKUNGAN SEKITAR PANTAI
PENGARUH PENCEMARAN AIR LAUT TERHADAP KAUM NELAYAN DAN LINGKUNGAN SEKITAR PANTAI
 
Fungsi dan peran sumber daya alam dalam pembangunan
Fungsi dan peran sumber daya alam dalam pembangunanFungsi dan peran sumber daya alam dalam pembangunan
Fungsi dan peran sumber daya alam dalam pembangunan
 
Skripsi - Abstrak
Skripsi - AbstrakSkripsi - Abstrak
Skripsi - Abstrak
 
Pedoman Teknis Sukses Wirausaha Budidaya Ikan Gurame
Pedoman Teknis Sukses Wirausaha Budidaya Ikan GuramePedoman Teknis Sukses Wirausaha Budidaya Ikan Gurame
Pedoman Teknis Sukses Wirausaha Budidaya Ikan Gurame
 
Materi kuliah-tata-ruang-dan-perencanaan-lingkungan1
Materi kuliah-tata-ruang-dan-perencanaan-lingkungan1Materi kuliah-tata-ruang-dan-perencanaan-lingkungan1
Materi kuliah-tata-ruang-dan-perencanaan-lingkungan1
 
Pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan
Pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan Pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan
Pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan
 

Semelhante a KERUGIAN EKONOMI

BIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDA
BIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDABIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDA
BIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDARepository Ipb
 
KETIDAKBERDAYAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA (1).pptxKETIDAKBERDAYAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA (1).pptxDiahNySulaiman
 
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...Riza Magfirah
 
Analisis prospek-budidaya-tambak-udang (1)
Analisis prospek-budidaya-tambak-udang (1)Analisis prospek-budidaya-tambak-udang (1)
Analisis prospek-budidaya-tambak-udang (1)Ilham saleh Lubis
 
Pengomposan Daun Cemara Udang Sebagai Upaya Menciptakan Kawasan Zero Waste di...
Pengomposan Daun Cemara Udang Sebagai Upaya Menciptakan Kawasan Zero Waste di...Pengomposan Daun Cemara Udang Sebagai Upaya Menciptakan Kawasan Zero Waste di...
Pengomposan Daun Cemara Udang Sebagai Upaya Menciptakan Kawasan Zero Waste di...SMTI Pontianak
 
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...Asramid Yasin
 
Profil Perubahan Iklim dan Strategi Terpadu Perublim Kota Blitar
Profil Perubahan Iklim dan Strategi Terpadu Perublim Kota BlitarProfil Perubahan Iklim dan Strategi Terpadu Perublim Kota Blitar
Profil Perubahan Iklim dan Strategi Terpadu Perublim Kota BlitarElly Ratni
 
MANAJEMEN LIMBAH PABRIK KARET DALAM RANGKA PENURUNAN KADAR BOD (BIOLOGICAL OX...
MANAJEMEN LIMBAH PABRIK KARET DALAM RANGKA PENURUNAN KADAR BOD (BIOLOGICAL OX...MANAJEMEN LIMBAH PABRIK KARET DALAM RANGKA PENURUNAN KADAR BOD (BIOLOGICAL OX...
MANAJEMEN LIMBAH PABRIK KARET DALAM RANGKA PENURUNAN KADAR BOD (BIOLOGICAL OX...Asramid Yasin
 
RUSAKNYA EKOSISTEM TAMBAK AKIBAT BANJIR ROB DI KAWASAN MINAPOLITAN KECAMATAN ...
RUSAKNYA EKOSISTEM TAMBAK AKIBAT BANJIR ROB DI KAWASAN MINAPOLITAN KECAMATAN ...RUSAKNYA EKOSISTEM TAMBAK AKIBAT BANJIR ROB DI KAWASAN MINAPOLITAN KECAMATAN ...
RUSAKNYA EKOSISTEM TAMBAK AKIBAT BANJIR ROB DI KAWASAN MINAPOLITAN KECAMATAN ...Analyst of Water Resources Management
 
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdfMuammar39
 
Pelayanan publik-di-pdam
Pelayanan publik-di-pdamPelayanan publik-di-pdam
Pelayanan publik-di-pdamYuhanna Maurits
 
115-443-1-PB.pdf
115-443-1-PB.pdf115-443-1-PB.pdf
115-443-1-PB.pdfTaufikLawB
 
Pengelolaan Sumber Daya Air dalam menghadapi dampak perubahan iklim global
Pengelolaan Sumber Daya Air dalam menghadapi dampak perubahan iklim globalPengelolaan Sumber Daya Air dalam menghadapi dampak perubahan iklim global
Pengelolaan Sumber Daya Air dalam menghadapi dampak perubahan iklim globalpariatmono
 
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan newPengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan newEdiSuryadi12
 
ekologi pangan, kerentanan pangan, diversifikasi pangan dan daya dukung lingk...
ekologi pangan, kerentanan pangan, diversifikasi pangan dan daya dukung lingk...ekologi pangan, kerentanan pangan, diversifikasi pangan dan daya dukung lingk...
ekologi pangan, kerentanan pangan, diversifikasi pangan dan daya dukung lingk...Analyst of Water Resources Management
 

Semelhante a KERUGIAN EKONOMI (20)

Tambak udang
Tambak udangTambak udang
Tambak udang
 
BIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDA
BIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDABIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDA
BIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDA
 
Naskah publikasi
Naskah publikasiNaskah publikasi
Naskah publikasi
 
KETIDAKBERDAYAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA (1).pptxKETIDAKBERDAYAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA (1).pptx
 
Cover dalam
Cover dalamCover dalam
Cover dalam
 
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
Analisis Kualitas Air dan Beban Pencemaran Berdasarkan Penggunaan Lahan di Su...
 
Analisis prospek-budidaya-tambak-udang (1)
Analisis prospek-budidaya-tambak-udang (1)Analisis prospek-budidaya-tambak-udang (1)
Analisis prospek-budidaya-tambak-udang (1)
 
Identifikasi kualitas lingkungan dan keragaan budidaya di desa tanjung banon,...
Identifikasi kualitas lingkungan dan keragaan budidaya di desa tanjung banon,...Identifikasi kualitas lingkungan dan keragaan budidaya di desa tanjung banon,...
Identifikasi kualitas lingkungan dan keragaan budidaya di desa tanjung banon,...
 
Pengomposan Daun Cemara Udang Sebagai Upaya Menciptakan Kawasan Zero Waste di...
Pengomposan Daun Cemara Udang Sebagai Upaya Menciptakan Kawasan Zero Waste di...Pengomposan Daun Cemara Udang Sebagai Upaya Menciptakan Kawasan Zero Waste di...
Pengomposan Daun Cemara Udang Sebagai Upaya Menciptakan Kawasan Zero Waste di...
 
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
 
Profil Perubahan Iklim dan Strategi Terpadu Perublim Kota Blitar
Profil Perubahan Iklim dan Strategi Terpadu Perublim Kota BlitarProfil Perubahan Iklim dan Strategi Terpadu Perublim Kota Blitar
Profil Perubahan Iklim dan Strategi Terpadu Perublim Kota Blitar
 
Ringkasan eksekutif dikplhd
Ringkasan eksekutif dikplhdRingkasan eksekutif dikplhd
Ringkasan eksekutif dikplhd
 
MANAJEMEN LIMBAH PABRIK KARET DALAM RANGKA PENURUNAN KADAR BOD (BIOLOGICAL OX...
MANAJEMEN LIMBAH PABRIK KARET DALAM RANGKA PENURUNAN KADAR BOD (BIOLOGICAL OX...MANAJEMEN LIMBAH PABRIK KARET DALAM RANGKA PENURUNAN KADAR BOD (BIOLOGICAL OX...
MANAJEMEN LIMBAH PABRIK KARET DALAM RANGKA PENURUNAN KADAR BOD (BIOLOGICAL OX...
 
RUSAKNYA EKOSISTEM TAMBAK AKIBAT BANJIR ROB DI KAWASAN MINAPOLITAN KECAMATAN ...
RUSAKNYA EKOSISTEM TAMBAK AKIBAT BANJIR ROB DI KAWASAN MINAPOLITAN KECAMATAN ...RUSAKNYA EKOSISTEM TAMBAK AKIBAT BANJIR ROB DI KAWASAN MINAPOLITAN KECAMATAN ...
RUSAKNYA EKOSISTEM TAMBAK AKIBAT BANJIR ROB DI KAWASAN MINAPOLITAN KECAMATAN ...
 
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
32-Article Text-253-2-10-20170811.pdf
 
Pelayanan publik-di-pdam
Pelayanan publik-di-pdamPelayanan publik-di-pdam
Pelayanan publik-di-pdam
 
115-443-1-PB.pdf
115-443-1-PB.pdf115-443-1-PB.pdf
115-443-1-PB.pdf
 
Pengelolaan Sumber Daya Air dalam menghadapi dampak perubahan iklim global
Pengelolaan Sumber Daya Air dalam menghadapi dampak perubahan iklim globalPengelolaan Sumber Daya Air dalam menghadapi dampak perubahan iklim global
Pengelolaan Sumber Daya Air dalam menghadapi dampak perubahan iklim global
 
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan newPengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
Pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam perspektif pendidikan new
 
ekologi pangan, kerentanan pangan, diversifikasi pangan dan daya dukung lingk...
ekologi pangan, kerentanan pangan, diversifikasi pangan dan daya dukung lingk...ekologi pangan, kerentanan pangan, diversifikasi pangan dan daya dukung lingk...
ekologi pangan, kerentanan pangan, diversifikasi pangan dan daya dukung lingk...
 

Último

Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfcicovendra
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfandriasyulianto57
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasAZakariaAmien1
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2noviamaiyanti
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptxKonflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptxintansidauruk2
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxHeruFebrianto3
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptAcemediadotkoM1
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxg66527130
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdfMMeizaFachri
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxrahmaamaw03
 

Último (20)

Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdfMA Kelas XII  Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
 
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
PRESENTASI PEMBELAJARAN IPA PGSD UT MODUL 2
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptxKonflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian Bagian 1.pptx
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
 
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docxSILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
SILABUS MATEMATIKA SMP kurikulum K13.docx
 

KERUGIAN EKONOMI

  • 1. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 ANALISIS KERUGIAN EKONOMI PENCEMARAN AIR TERHADAP PERIKANAN BUDIDAYA SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK CIRATA, KABUPATEN BANDUNG BARAT Radityo, Rizky1), Benny Osta Nababan2) dan Tridoyo Kusumastanto3) 1) Alumni Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM, IPB 2) Dosen Pengajar Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: S.Pi, M.Si 3) Dosen Pengajar Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: Prof. Dr. Ir, MS ABSTRACT This research aims to analyze the economic impact of water pollution on aquaculture in Cirata.The impact of water pollution in Cirata is declining fish productivity of float cage aquaculture. Based on the data analysis, there are 8 factors that could explain the presence of contamination in the last 5 years which has exceeded the threshold of category C i.e. Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu, Cd, and Nitrite. Furthermore, multiple regression analysis of water quality impact on the productivity of float cage is conducted. Based on the results of the regression analysis, a variable which statistically significant effect on productivity float cage is DO levels. The loss value due to water pollution on aquaculture is calculated based on productivity decline of KJA perceived in the last 5 years; with the total is Rp 985.485.382.718 in 2011. This is calculated from the 2 dominant species farmed fish commodities. While the results of the economic loss in the last 5 years is reach Rp 4.219.702.954.280. Based on the field observations and discussions with relevant stakeholders, there are 5 policies to handling water pollution. The policies include restrictions on the amount of float cage with progressive taxation, tax collection at each float cage aquaculture for environmental improvement costs (Rp 10/kg harvest), installation of filter waste, biological cleaners with restocking fish that eat dirt and moss, and disallow unfriendly float cage environment (Styrofoam float cage) and discard the unused. From the AHP analysis, the first policy prioritized is the installation of filter waste policy. Keyword : Economic Loss, Water Pollution, Float Cage Aquaculture, Cirata Reservoir, West Bandung. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak ekonomi dari pencemaran air pada budidaya di Cirata. Dampak dari pencemaran air di Cirata adalah menurunnya produktivitas ikan mengapung kandang budidaya. Berdasarkan analisis data yang ada 8 faktor yang dapat menjelaskan adanya kontaminasi dalam 5 tahun terakhir yang telah melampaui ambang kategori C adalah Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu, Cd, dan nitrit. Analisis regresi ganda lebih lanjut dari dampak 1
  • 2. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 kualitas air terhadap produktivitas mengapung kandang. Berdasarkan hasil analisis regresi dilakukan, hanya variabel signifikan secara statistik tingkat DO berpengaruh signifikan terhadap produktivitas mengambang kandang. Nilai kerugian pencemaran air pada budidaya dihitung penurunan produktivitas berbasis KJA dirasakan dalam 5 tahun terakhir, sebesar Rp 985.485.382.718 pada tahun 2011 . Ini dihitung dari 2 spesies yang dominan bertani komoditi ikan. Sedangkan hasil perhitungan Kerugian Ekonomi dalam 5 tahun terakhir sebesar Rp 4.219.702.954.280 . Berdasarkan pengamatan lapangan dan diskusi dengan stakeholder terkait, diperoleh 5 penanganan kebijakan polusi air. Kebijakan mencakup pembatasan jumlah pelampung kandang dengan pajak progresif, pengumpulan pajak pada setiap budidaya mengambang kandang untuk biaya perbaikan lingkungan ( tanaman Rp 10/kg ), instalasi limbah filter, pembersih biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut , dan penarikan tidak ramah lingkungan mengambang kandang (float yang terbuat dari styrofoam) dan tidak terpakai. Hasil analisis AHP diperoleh dari prioritas kebijakan pertama adalah pemasangan kebijakan limbah filter. Kata Kunci: Economic Loss, Water Pollution, Float Cage Aquaculture, Cirata Reservoir, West Bandung. PENDAHULUAN Waduk Cirata merupakan salah satu dari tiga waduk yang dialiri oleh Sungai Citarum dengan total luas 6.603,14 ha. Waduk Cirata memiliki fungsi sebagai pembangkit tenaga listrik tenaga air terbesar di Pulau Jawa dengan kapasitas listrik 1.008 MW (8×126 MW). Selain fungsi utamanya sebagai sumber air PLTA, pembangunan Waduk Cirata membuka peluang usaha budidaya ikan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) dan aktivitas penangkapan ikan bagi masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat pembangunan Waduk Cirata. Kini Waduk Cirata juga dimanfaatkan untuk lalu lintas air, reservoir atau penyediaan air, dan aktivitas ekonomi lainnya, termasuk pariwisata. Pencemaran air di Waduk Cirata bukan hanya disebabkan berlebihannya KJA, pencemaran juga disebabkan karena air dari Sungai Citarum yang masuk ke dalam Waduk Cirata sudah tercemar. Pencemaran Sungai Citarum disebabkan karena Sungai Citarum dijadikan pembuangan limbah kotoran sapi, penggunaan pupuk dan pestisida kimia pada pertanian di hulu Citarum, tempat pembuangan limbah pemukiman, serta pembuangan limbah industri. Dampak pencemaran air pada Waduk Cirata dirasakan pada sektor perikanan yaitu menurunnya produktivitas ikan pada KJA. Penurunan produktivitas KJA dirasakan oleh pembudidaya ikan dengan meningkatnya FCR (Feed Convertion Ratio) dari 1,5 menjadi 2. Peningkatan FCR menyebabkan penurunan keuntungan budidaya ikan sistem KJA sehingga memberikan dampak secara ekonomi pada sektor perikanan. Permasalahan pencemaran tersebut belum dapat diselesaikan dengan kebijakan 2
  • 3. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 pengelolaan waduk yang ada. Dengan demikian perlu adanya penelitian mengenai dampak ekonomi pencemaran air terhadap budidaya ikan sistem KJA serta solusi kebijakan penanganan pencemaran air untuk pengelolaan Waduk Cirata yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian berupaya untuk memecahkan permasalahan tersebut dengan tujuan: (1) mengidentifikasi faktor-faktor pencemaran air apa saja yang mempengaruhi kegiatan perikanan budidaya, (2) menganalisis pengaruh pencemaran air terhadap kegiatan perikanan budidaya, (3) mengestimasi nilai kerugian akibat pencemaran air terhadap kegiatan perikanan budidaya di Waduk Cirata, (4) mengkaji perbaikan kebijakan pengelolaan air di Waduk Cirata secara lestari. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa di kondisi air di Waduk Cirata sudah tercemar oleh beberapa faktor kualitas air yang telah melebihi ambang batas golongan C yang berpengaruh pada perikanan budidaya (BPWC, 2012). Waktu penelitian dilakukan dari bulan Maret 2012 hingga Mei 2013. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian survei. Pengertian surveidibatasi pada pengertian survei sample, informasi dikumpulkan dari sebagian populasi untuk mewakili seluruh populasi. Dalam penelitian survei, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara kepada masyarakat yang bekerja pada KJA Waduk Cirata untuk mengetahui perubahan output setelah terjadinya pencemaran melalui kuesioner. Data mengenai kebijakan penanganan didapatkan melalui wawancara dengan stakeholder yang dapat mempengaruhi kebijakan pengelolaan Waduk Cirata yaitu Ketua ASPINDAC, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Bandung Barat, Kepala BPWC, dan Kepala UP Cirata.Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data time series produksi ikan perbulan, data kualitas air per bulan, serta data time series jumlah KJA setiap tahun. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, buku-buku, internet, dan informasi lainnya yang mendukung. Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode nonprobability samplingyaitu purposive sampling, pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak melainkan dengan pertimbangan tertentu dan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian. Pertimbangan tertentu yang dimaksud adalah responden yang merupakan pembudidaya ikan yang telah berprofesi sebagai pembudidaya ikan di Waduk Cirata minimal 5 tahun dengan asumsi kondisi sebelum pencemaran adalah 5 3
  • 4. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 tahun yang lalu. Responden yang diwawancara untuk melihat dampak pencemaran terhadap perikanan budidaya sebanyak 30 responden yang diambil dari pembudidaya ikan di Waduk Cirata wilayah kabupaten Bandung Barat. Responden yang diwawancara untuk memilih alternatif kebijakan dilakukan dengan purposive (sengaja) yaitu para pembuat kebijakan (policy maker). 𝑌 = 𝑎 + 𝑏1 𝑋1 + 𝑏2 𝑋2 + 𝑏3 𝑋3 + 𝑏4 𝑋4 + 𝑏5 𝑋5 + 𝑏6 𝑋6 + 𝑏7 𝑋7 + 𝑏8 𝑋8 + 𝜀 … (1) Keterangan: Y = Produktivitas KJA (kg/petak/bulan) a = Intercept X1 = Pb (mg/l) X5 = DO (mg/l) X2 = Zn (mg/l) X6 = Cu (mg/l) X3 = Cl2 (mg/l) X7 = Cd (mg/l) X4 = H2S (mg/l) X8 = Nitrit (mg/l) Metode Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara kualitatif dan kuantitatif.Data diolah dengan program komputer software SPSS 15 dan program Microsoft Office Excel. Valuasi Kerusakan Air Nilai ekonomi total merupakan konsep yang sesuai untuk memperhitungkan biaya atau kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan (Yunus dan Dharmawan, 2005). Nilai kerusakan pada perikanan budidaya sistem KJA diestimasi dengan menggunakan metode pendekatan produktivitas dan Economic Loss. Analisis Deskriptif Identifikasi faktor-faktor pencemaran dan persepsi terhadap perikanan budidaya dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda menggunakan variabel produktivitas KJA dan indikator pencemaran air. Analisis model regresi berganda akan dilakukan dengan program SPSS. Data yang digunakan pada semua variabel ditransformasi dengan menjadi √𝑋. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan model terbaik, yang meminimumkan berbagai masalah seperti multikolinearitas dan autokorelasi. Model dugaan sebagai berikut: Pendekatan Produktivitas Kehilangan sumberdaya air yang bersih berdampak pada kerugian ekonomi pengguna air tersebut. Kerugian tersebut dapat dilihat dari jumlah produksi yang dihasilkan (produktivitas) yang berkurang akibat pencemaran air. Nilai kerugian dari perubahan produktivitas dapat dihitung dengan rumus: Penurunan Produksi .................. = VP x L x hx Nt+1 ................... (2) Penurunan Frekuensi Panen = (Nt – Nt+1) x Pt x h x L ........... (3) Kerugian Ekonomi = Penurunan Produksi + Penurunan Frekuensi Panen..(4) Keterangan: Penurunan Produksi = Kerugian Penurunan produksi (Rp/tahun) Penurunan Frekuensi Panen = 4
  • 5. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 Kerugian Penurunan frekuensi panen (Rp/tahun) VP = Perubahan produktivitas (kg/panen/petak) Pt = Produktivitas KJA sebelum pencemaran (kg/panen/petak) Pt+1 = Produktivitas KJA setelah pencemaran (kg/panen/petak) Nt = Frekuensi panen per tahun sebelum pencemaran (panen/tahun) Nt+1 = Frekuensi panen per tahun setelah pencemaran (panen/tahun) L = Jumlah KJA (petak) h = Harga ikan (Rp/kg) Kerugian = Nilai kerugian KJA (Rp/tahun) 1 Petak KJA Ikan Mas 7m x 7m x 3m = (panjang x lebar x kedalaman) 1 Petak KJA Ikan Nila 7m x 14m x 6m = (panjang x lebar x kedalaman) Analisis Economic Loss Pengaruh pencemaran air akan berdampak pada keberlangsungan hidup ikan budidaya dalam jangka panjang sehingga penting untuk mengetahui kerugian yang ditimbulkan dimasa depan. Kerugian ekonomi terhadap perikanan budidaya dapat dihitung dengan rumus : K E = ∑5 [Pbtp i hbtp i ] − [Pbp i hbp i ] … … . (5) 𝑖−1 Keterangan : KE : Kerugian Ekonomi (Rp/5 tahun) Pbtp i : Produksi budidaya saat situasi tanpa polusi (kg/tahun) hbtp i : Harga hasil budidaya saat situasi tanpa polusi (Rp/kg) Pbp i hbp i i : Produksi budidaya saat situasi polusi karena adanya pencemaran (kg/tahun) : Harga hasil budidaya saat situasi polusi karena adanya pencemaran (Rp/kg) : 5 tahun Pemilihan Alternatif Kebijakan Penanganan Pencemaran Kondisi Waduk Cirata yang sudah tercemar memerlukan sebuah kebijakan untuk penanganan kualitas air agar kondisi air membaik. Hasil dari observasi lapang dan diskusi dengan stakeholder terkait terdapat lima kebijakan penanganan pencemaran yaitu : (A) Pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif, (B) Pemungutan pajak pada setiap KJA untuk biaya perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen), (C) Pemasangan penyaring sampah, (D) Pembersih biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut, dan (E) Penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) dan KJA yang sudah tidak terpakai. Alternatif kebijakan tersebut akan dinilai berdasarkan beberapa kriteria yaitu kriteria sosial ekonomi dan kriteria lingkungan. Setiap kriteria memiliki atribut yang akan menjadi bahan penilaian kelima kebijakan tersebut. Atribut dari kriteria sosial ekonomi meliputi: (T1) kemudahan kebijakan diterima oleh masyarakat (acceptance), (T2) kemudahan kebijakan dilaksanakan (aksesibilitas), (T3) besarnya biaya yang dikeluarkan, (T4) ketersediaan infrastruktur untuk melaksanakan kebijakan tersebut, dan (T5) distribusi pengetahuan terhadap masyarakat. 5
  • 6. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 Atribut dari kriteria lingkungan meliputi hasil dari kebijakan tersebut yaitu: (T6) pengurangan sampah, (T7) peningkatan kualitas air, (T8) pengurangan sedimentasi, (T9) penurunan penyakit ikan, dan (T10) pemulihan habitat ikan. Tahapan-tahapan pengambilan keputusan dalam metode AHP menurut Mora (2009) adalah: 1. Mendefinisikan masalah dan menetukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteriakriteria alternatif-alternatif pilihan yang ingin dirangking. Bentuk struktur hirarki dapat dilihat pada Gambar 1. 3. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. 4. 5. 6. 7. Perbandingan dilakukan berdasarkan pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat-tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vector yang dimaksud adalah nilai eigen vector maksimum yang diperoleh dengan menggunakan matlab maupun dengan manual. Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki. Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai eigen vector merupakan bobot dari setiap Tujuan T1 T2 T3 A T4 T5 B T6 T7 C T8 D T9 T10 E Gambar 1. Struktur Hirarki Keterangan : Tingkat pertama Tingkat kedua Tingkat ketiga : Tujuan Keputusan : Kriteria-kriteria : Alternatif-alternatif 6
  • 7. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 elemen. Langkah tersebut untuk mensintesis pilihan dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan. 8. Menguji konsistensi hirarki. Jika tidak memenuhi kriteria CR < 0,1 maka penilaian harus diulangi kembali. HASIL DAN PEMBAHASAN Fator-faktor Pencemaran yang Mempengaruhi Perikanan Tercemarnya kualitas air dapat ditentukan dari kondisi fisika, kimia, serta biologi. Faktor yang mempengaruhi kondisi fisika antara lain temperatur, residu terlarut, zat tersuspensi, transparansi, kekeruhan, kedalaman, dsb. Faktor yang mempengaruhi kondisi kimia perairan antara lain pH, H2S, amonia, oksigen terlarut, COD, BOD, logam berat, dsb. Faktor yang mempengaruhi kondisi biologi perairan merupakan jumlah bakteri, virus, atau plankton yang hidup diperairan seperti bakteri E. coli, Coliform, dan lain-lain. Pencemaran air terjadi apabila kadar dari faktor-faktor tersebut melebihi ambang batas yang ditentukan. Terdapat 8 faktor yang dapat menjelaskan adanya pencemaran dalam 5 tahun terakhir yang telah melebihi ambang batas golongan C. Faktor tersebut yaitu Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu, Cd, dan Nitrit. Data parameter tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data parameter kualitas air, dari tahun ke tahun terdapat parameter yang tidak memenuhi standar. Namun terdapat perbedaan antara kualitas air tahun 2004 dengan kualitas air 5 tahun terakhir. Pada 5 tahun terakhir, kualitas air memburuk dengan ditandai lebih banyak parameter yang tidak memenuhi standar. Kualitas air terburuk terjadi pada tahun 2011 caturwulan pertama dengan adanya 7 parameter kualitas air yang melebihi baku mutu golongan C. Kualitas air terburuk selanjutnya pada tahun 2007 caturwulan 2, tahun 2008 caturwulan 3, tahun 2011 caturwulan 2, serta tahun 2011 caturwulan 3 dengan 6 parameter kualitas air yang tidak sesuai dengan baku mutu golongan C. Pada tahun 2012 awal, kualitas air kembali membaik dengan hanya 3 parameter kualitas air yang tidak memenuhi standar golongan C yaitu H2S, DO, dan Nitrit. Parameter yang merupakan logam berat adalah Pb, Zn, Cu, dan Cd. Menurut BPWC (2009), toksisitas logam-logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernapasan yakni sirkulasi dan eksresi dari insang. Oksigen diperlukan ikan untuk melakukan pernapasan yang digunakan sebagai bahan bakar pembakaran makanan untuk menghasilkan energi. Oleh karena itu ketersediaan oksigen akan menentukan aktivitas ikan. Menurut Ghufran dan Kordi (2010), ikan akan tumbuh baik pada perairan dengan kadar DO 6-7 ppm (mg/l). Pada konsentrasi DO kurang dari 4 ppm (mg/l), ikan masih dapat hidup namun nafsu makannya berkurang. 7
  • 8. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 H2S berpengaruh terhadap ikan. Menurut Ghufran dan Kordi (2010), ikan biasa keracunan (kehilangan keseimbangan pada konsentrasi H2S 0,1-0,2 ppm (mg/l) dan pada konsentrasi 0,25 ppm (mg/l) kematian massal umumnya terjadi. Menurut Alfiansyah (2011), nitrit merupakan mineral yang diasimilasikan oleh tumbuh-tumbuhan hijau untuk menyusun asam amino kembali dalam tubuhnya, untuk menbentuk protoplasma itu selanjutnya tergantung pada nitrit, phitoplankton itu selanjutnya menjadi bahan makanan bagi organisme yang lebih tinggi. Nitrit tersebut pada suatu saat dapat dibongkar lebih lanjut oleh bakteri denitrifikasi (yang terkenal yaitu Micrococcus denitrifikan), bakterium nitroxus menjadi nitrogennitrogen bebas. Bila hasil pembongkaran bahan organik terhenti sehingga tidak terbentuk nitrat sebagai hasil akhir, maka air tersebut disebut sedang mengalami pengotoran (Pollution) (Alfiansyah, 2011). Cl2 merupakan bahan kimia. Berlebihannya Cl2 dapat menjadi racun terhadap ikan. Keberadaan ion Cl2 dalam air akan berpengaruh terhadap tingkat keasinan air. Semakin tinggi konsentrasi Cl2, berarti semakin asin air dan semakin rendah kualitasnya (Suwito, 2011). Pengaruh Pencemaran Air Terhadap Perikanan Budidaya Pengaruh pencemaran dilihat dari model pengaruh pencemaran air terhadap produktivitas KJA. Hasil pengolahan data dari fungsi produktivitas KJA didapat sebagai berikut : Y = 4,838 + 1,470 X1 + 2,977 X2 + 0,775 X3 + 0,512 X4 + 2,746 X5 + 2,669 X6 - 10,582 X7 + 0,537 X8 + ε ........................................ (6) Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Kualitas Air Terhadap Produktivitas Budidaya Dependent Variabel: Y Variabel Coefficient t-statistic Probabilitas VIF C 4,838 1,597 0,154 X1 1,470 0,476 0,648 2,458 X2 2,977 0,971 0,364 1,859 X3 0,775 0,438 0,675 1,645 X4 0,512 0,331 0,750 1,942 X5 2,746 2,896 0,023** 3,906 X6 2,669 0,548 0,601 2,867 X7 -10,582 -1,462 0,187 1,919 X8 0,537 0,174 0,867 2,019 R-squared 0,793 Adj R-squared 0,556 DW stat 1,428 Prob (F-stat) 0,065* Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 Keterangan: ** : Signifikan pada taraf nyata 5% * : Signifikan pada taraf nyata 10% 8
  • 9. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 Pada persamaan pengaruh kualitas air terhadap produktivitas memiliki nilai probabilitas (F-stat) nyata pada taraf 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas dalam model secara bersama-sama memiliki pengaruh yang nyata terhadap variabel tak bebas. Variabel bebas yang mempunyai pengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen (Prob < 0,05) adalah DO. Artinya, jika kadar DO dalam perairan waduk meningkat sebesar satu mg/liter, maka diperkirakan produktivitas KJA akan meningkat sebesar 2,746 kg/KJA/ bulan. Batas peningkatan produktivitas KJA karena adanya peningkatan kadar DO adalah 7 mg/l (7 ppm). Hal tersebut didasarkan pada Ghufran dan Kordi (2010), ikan akan tumbuh baik pada perairan dengan kadar DO 6-7 mg/l. Pada konsentrasi DO kurang dari 4 mg/l, ikan masih dapat hidup namun nafsu makannya berkurang yang menyebabkan pertumbuhan menjadi melambat. Kadar DO pada perairan Waduk Cirata berdasarkan data kualitas air tahun 2012 triwulan pertama sebesar 4,2 mg/l. Jika kadar DO meningkat ke batas kondisi optimum yaitu 7 mg/l maka akan terjadi peningkatan produktivitas KJA sebesar 21,112 kg/KJA/bulan. Dengan kata lain batas peningkatan maksimum produktivitas KJA karena peningkatan kadar DO adalah sebesar 21,112 kg/KJA/bulan jika dilihat berdasarkan kadar DO tahun 2012 triwulan pertama. Suhu air Waduk Cirata pengukuran tahun 2012 triwulan pertama yaitu sebesar 30,6o C. Berdasarkan Cole (1983) dalam Efendi (2003), kadar DO jenuh pada perairan tawar dengan suhu 31o C adalah sebesar 7,43 mg/l.Persamaan pengaruh kualitas air terhadap produktivitas KJA memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 0,556. Artinya, persamaan model pengaruh kualitas air terhadap produktivitas KJA dapat dijelaskan oleh variabelvariabel yang terdapat di dalam model tersebut sebesar 55,6 persen, sisanya sebesar 44,4 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model pengaruh kualitas air terhadap produktivitas KJA. Penilaian Kerusakan Akibat Pencemaran Penurunan Produktivitas Budidaya Ikan Terdapat penurunan rata-rata hasil panen ikan mas per petak dengan ukuran satu petak sebesar 7m x 7m x 3m. Penurunan yang terjadi sebesar 290,3 kg/panen/ petak (VP) dengan kondisi sebelum pencemaran rata-rata hasil panen sejumlah 1.092 kg/panen/petak (Pt) menjadi 801,7 kg/panen/petak (Pt+1). Jika diketahui harga ikan mas pada tahun 2012 adalah Rp 15.000/kg, maka harga ikan mas tahun 2011 berdasarkan IHK bahan makanan Provinsi Jawa Barat adalah Rp 14.795/kg (h). Jumlah kolam ikan mas sebanyak 21.754 petak (L). Sebelum pencemaran dapat 4 kali panen (Nt), sedangkan setelah pencemaran hanya 3 kali panen (Nt+1). maka: Penurunan produksi = VP x L x h x Nt+1 = 290,3 kg/panen/petak x 21.754 petak x Rp 14.795/kg x 3 panen/thn 9
  • 10. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 = Rp 0.315.031.564/thn….....(7) Penurunan frekuensi panen = (Nt – Nt+1) x Pt x h x L = (4 panen – 3 panen) x 1.092 kg/petak/panen/thn x 14.795/kg x 21.754 petak = Rp 351.480.094.693/thn….(8) Kerugian ekonomi (ikan mas) = Penurunan produksi ikan mas + Penurunan frekuensi panen ikan mas = Rp 280.315.031.564/thn + Rp 351.480.094.693/thn = Rp 631.795.126.258/thn... (9) Terdapat penurunan rata-rata hasil panen ikan nila per petak dengan ukuran satu petak sebesar 7m x 14m x 6m. Penurunan yang terjadi sebesar 515 kg/panen/petak (VP) dengan kondisi sebelum pencemaran rata-rata hasil panen sejumlah 1.133,3 kg/panen/petak (Pt) menjadi 618,3 kg/panen/petak (Pt+1). Jika diketahui harga ikan nila pada tahun 2012 adalah Rp 10.000/kg, maka harga ikan nila tahun 2011 berdasarkan IHK bahan makanan Provinsi Jawa Barat adalah Rp 9.864/kg (h). Jumlah kolam ikan nila sebanyak 10.877 petak (L). Sebelum pencemaran dapat 4 kali panen (Nt), sedangkan setelah pencemaran hanya 2 kali panen (Nt+1). maka: Penurunan produksi = VP x L x h x Nt+1 = 515 kg/panen/petak x 10.877 petak x Rp 9.864/kg x 2 panen/tahun = Rp 110.508.088.380/thn..(10) Penurunan frekuensi panen = (Nt – Nt+1) x Pt x h x L = (4 panen – 2 panen) x 1.133,3 kg/petak/panen/tahun x 9.864/kg x 10.877 petak = Rp243.182.168.080/thn...(11) Kerugian ekonomi (ikan nila) = Penurunan produksi ikan nila + Penurunan frekuensi panen ikan nila = Rp 110.508.088.380/thn + Rp 243.182.168.080/thn = Rp 353.690.256.461/thn..(12) Kerugian ekonomi total = Kerugian ekonomi (ikan mas) + Kerugian ekonomi(ikan nila) = Rp 631.795.126.258/thn + Rp 353.690.256.461/thn = Rp 985.485.382.718/thn..(13) Jadi berdasarkan perhitungan kerusakan dengan metode pendekatan produktivitas, didapatkan nilai kerugian dari perikanan budidaya dalam satu tahun sebesar Rp 985.485.382.718. Nilai tersebut dihitung dari 2 jenis komoditas ikan yang dominan dibudidayakan. Analisis Economic Loss Economic Loss dinilai dari kerusakan perikanan budidaya yang dialami pembudidaya ikan selama 5 tahun terakhir. Hasil perhitungan analisis Economic Loss dari komoditas ikan mas dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, hasil perhitungan Economic Loss komoditas ikan mas didapatkan kerugian ekonomi sebesar Rp 2.463.829.350.157 dalam jangka waktu 5 tahun.Perbedaan nilai Economic Loss antara tahun 20072011 didasarkan pada perbedaan harga ikan mas yang dilihat dari IHK dan perbedaan jumlah KJA setiap tahunnya dengan nilai penurunan produktivitas yang tetap setiap 10
  • 11. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 tahunnya. Selain berdasarkan komoditas ikan mas, perhitungan Economic Loss juga didasarkan pada komoditas ikan nila yang disajikan pada Tabel 3. mas dan ikan nila adalah sebesar Rp 4.219.702.954.280. Hasil tersebut menunjukan kerugian yang sangat besar pada sektor perikanan budidaya sistem KJA. Tabel 2. Hasil Perhitungan Economic Lossikan Mas Tahun 2007-2011 Kerugian Ikan Mas Harga (Rp) Junlah KJA (petak) Penurunan Produksi (Rp) Tahun IHK ∆ rasio 2011 146,04 1,00 14.796 21.754 280.315.031.564 351.480.094.693 631.795.126.258 2010 141,06 0,97 14.291 20.705 257.701.106.647 323.125.052.771 580.826.159.417 2009 120,87 0,83 12.246 19.655 209.625.079.741 262.843.710.044 472.468.789.785 2008 116,11 0,80 11.764 18.605 190.611.516.898 239.003.073.203 429.614.590.101 2007 100,00 0,68 10.132 17.555 154.899.733.972 Penurunan Frekuensi Panen (Rp) 194.224.950.623 Economic Loss Kerugian Ekonomi Ikan Mas (Rp) 349.124.684.595 2.463.829.350.157 Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan Tabel 2, hasil perhitungan Economic Loss komoditas ikan nila didapatkan kerugian ekonomi sebesar Rp 1.379.242.690.236 dalam jangka waktu 5 tahun.Perbedaan nilai Economic Loss antara tahun 20072011 didasarkan pada perbedaan harga ikan nila yang dilihat dari IHK dan perbedaan jumlah KJA setiap tahunnya dengan nilai penurunan produktivitas yang tetap setiap tahunnya. Total kerugian perikanan budidaya berdasarkan perhitungan Economic Loss selama 5 tahun di kawasan Waduk Cirata Kabupaten Bandung Barat dari komoditas ikan Pemilihan Alternatif Kebijakan Kondisi Waduk Cirata yang sudah tercemar memerlukan sebuah kebijakan untuk penanganan kualitas air agar kondisi air membaik. Hasil dari observasi lapang dan diskusi dengan stakeholder terkait (Disnakan Bandung Barat, BPWC, UP Cirata, dan ASPINDAC) terdapat lima kebijakan penanganan pencemaran yaitu : A. Pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif. B. Pemungutan pajak pada setiap KJA untuk perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen). Tabel 3. Hasil perhitungan Economic Lossikan nila dari tahun 2007-2011 Kerugian Ikan Nila Tahun IHK ∆ rasio Harga (Rp) Junlah KJA (petak) 2011 146,04 1,00 9.864 10.877 110.508.088.380 243.182.168.080 353.690.256.461 2010 141,06 0,97 9.528 10.352 101.588.134.931 223.553.074.402 325.141.209.333 2009 120,87 0,83 8.164 9.827 82.635.911.872 181.847.143.542 264.483.055.414 2008 116,11 0,80 7.843 9.302 75.140.394.945 165.352.639.983 240.493.034.92811 2007 100,00 0,68 6.754 8.777 61.062.363.685 134.372.770.415 195.435.134.100 Penurunan Produksi (Rp) Penurunan Frekuensi Panen (Rp) Economic Loss Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 Kerugian Ekonomi Ikan Nila (Rp) 1.379.242.690.236
  • 12. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 C. Pemasangan penyaring sampah. D. Pembersih biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut. E. Penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) dan KJA yang sudah tidak terpakai. Alternatif kebijakan tersebut akan dinilai berdasarkan kriteria sosial ekonomi dan kriteria lingkungan. Setiap kriteria memiliki atribut yang akan menjadi bahan penilaian kelima kebijakan tersebut. Atribut dari kriteria sosial ekonomi meliputi: (T1) kemudahan kebijakan diterima oleh masyarakat (acceptance), (T2) kemudahan kebijakan dilaksanakan (aksesibilitas), (T3) besarnya biaya yang dikeluarkan, (T4) ketersediaan infrastruktur untuk melaksanakan kebijakan tersebut, dan (T5) distribusi pengetahuan terhadap masyarakat. Atribut dari kriteria lingkungan meliputi hasil dari kebijakan tersebut yaitu: (T6) pengurangan sampah, (T7) peningkatan kualitas air, (T8) pengurangan sedimentasi, (T9) penurunan penyakit ikan, dan (T10) pemulihan habitat ikan. Berdasarkan hasil analisis AHP yang dilakukan maka dapat dilihat kebijakan yang paling relevan untuk penanganan pencemaran air di Waduk Cirata Kabupaten Bandung Barat. Secara detail prioritas pemilihan alternatif kebijakan berdasarkan analisis AHP dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 4 diperoleh urutan prioritas global yaitu: 1. Alternatif kebijakan C (Pemasangan penyaring sampah) menjadi prioritas pertama dengan nilai bobot 0,323 atau 32,3%. 2. Alternatif kebijakan D (Pembersih biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut) dengan nilai bobot 0,247 atau 24,7 %. 3. Alternatif kebijakan A (Pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif) dengan nilai bobot 0,175 atau 17,5%. 4. Alternatif kebijakan E (Penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) dan KJA yang sudah tidak terpakai) dengan nilai bobot 0,157 atau 15,7%. 5. Alternatif kebijakan B (Pemungutan pajak pada setiap KJA untuk perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen)) dengan nilai bobot 0,099 atau 9,9%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dihitung nilai CR untuk menguji konsistensi dari preferensi penilaian. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai CR yang diperoleh dari seluruh matriks penilaian < 0,1 yang artinya preferensi penilaian konsisten. Kebijakan pemungutan pajak lingkungan pada setiap KJA untuk perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen) (kebijakan B) memiliki nilai terendah karena tiga dari empat stakeholder tidak setuju dengan adanya kebijakan ini karena tidak ada payung hukum yang melandasi kebijakan ini. Selain itu belum adanya badan yang menampung pajak dan menggunakannya untuk perbaikan lingkungan. 12
  • 13. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 Tabel 4. Prioritas Pemilihan Alternatif Kebijakan Berdasarkan Analisis AHP Kriteria T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 Bobot 0,225 0,089 0,089 0,034 0,034 0,225 0,089 0,089 0,089 0,034 A 0,044 0,040 0,379 0,049 0,146 0,105 0,158 0,484 0,405 B 0,070 0,086 0,379 0,076 0,058 0,063 0,089 0,079 0,059 C 0,335 0,468 0,056 0,502 0,352 0,459 0,298 0,222 D 0,480 0,321 0,056 0,254 0,352 0,063 0,298 E 0,070 0,086 0,130 0,119 0,091 0,310 0,158 Prioritas Global Ranking 0,099 0,175 3 0,062 0,099 5 0,144 0,262 0,323 1 0,079 0,248 0,416 0,247 2 0,136 0,144 0,161 0,157 4 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Kebijakan penarikan KJA yang sudah tidak terpakaimudah dilaksanakan, namun penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) cukup sulit dilaksanakan karena terjadi penolakan dari pemilik KJA. Penarikan KJA memerlukan biaya yang cukup besar. Kebijakan ini telah dilakukan oleh BPWC namun terkendala dari sisi biaya. Kebijakan pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif (kebijakan A) sulit dilakukan dan sulit diterima oleh masyarakat. Kebijakan tersebut sulit dilakukan karena belum ada payung hukum yang melandasi kebijakan ini. Namun jika kebijakan tersebut dilaksanakan dengan asumsi terjadi penurunan jumlah KJA dimungkinkan peningkatan kualitas air akan terjadi. Kebijakan penanaman pembersih biologis dengan restocking ikan (kebijakan D) mudah dilaksanakan dan diterima masyarakat namun memerlukan biaya yang besar. Kebijakan ini sudah dilakukan oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat bekerjasama dengan ASPINDAC yangsetiap tahunnya telah melakukan restocking sebanyak 2 juta ekor ikan nila dengan ukuran 3,5 cm. Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 4 diperoleh urutan ranking 1 yaitu alternatif kebijakan C (Pemasangan penyaring sampah) menjadi ranking pertama dengan nilai bobot 0,323 atau 32,3%. Kebijakan pemasangan penyaring sampah mudah dilaksanakan dan diterima masyarakat, namun memerlukan biaya yang besar. Hasil dari kebijakan pun terlihat nyata dari sisi pengurangan sampah di Waduk Cirata. Pemasangan penyaring sampah telah dilakukan oleh BPWC sebanyak 3 penyaring sampah di Waduk Cirata. Hasil pemasangan penyaring sampah pun sudah terlihat namun masih banyak sampah yang mengapung di Waduk Cirata karena tidak semua tempat memiliki penyaring sampah. Pemasangan penyaring sampah secara tidak langsung dapat mempengaruhi kadar DO dalam perairan karena sampah yang berada di Waduk Cirata selain sampah anorganik juga terdapat sampah organik yaitu tanaman eceng gondok yang mati. Selain itu, sampah anorganik (plastik, karet, styrofoam, dan lain-lain) pada kenyataannya tidak murni sampah anorganik karena sering kali di dalam sampah anorganik menempel sampah organik. Menurut Efendi (2003), penurunan kadar oksigen di perairan diakibatkan oleh keberadaan limbah organik yang membutuhkan oksigen untuk proses 13
  • 14. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 perombakan (dekomposisi). Oleh karena itu, dengan adanya pemasangan penyaring sampah secara tidak langsung dapat meningkatkan kadar DO dalam perairan Waduk Cirata. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Waduk Cirata Kabupaten Bandung Barat telah mengalami pencemaran air yang dibuktikan dengan peningkatan parameter kualitas air yang melebihi ambang batas standar mutu Golongan C yaitu Pb, Zn, Cl2, H2S, DO, Cu, Cd, dan nitrit. 2. Pembudidaya ikan telah mengalami dampak pencemaran air berupa penurunan hasil panen dan frekuensi panen. Seluruh parameter yang telah melebihi ambang batas memiliki pengaruh terhadap produktivitas KJA, namun berdasarkan hasil analisis regresi hanyakadar DO yang secara statistik mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas KJA. 3. Nilai kerugian pembudidaya ikan karena adanya pencemaran air yang menyebabkan penurunan hasil panen sebesar Rp 985.485.382.718 pada tahun 2011 dan economic loss yang terjadi pada sektor perikanan budidaya selama 5 tahun terakhir sebesar Rp 4.219.702.954.280. 4. Berdasarkan analisis AHP prioritas kebijakan yang direkomendasikan adalah (1) kebijakan pemasangan penyaring sampah, (2) kebijakan pembersih biologis dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut, (3) kebijakan pembatasan jumlah KJA dengan pajak progresif, (4) kebijakan penarikan KJA yang tidak ramah lingkungan (pelampung terbuat dari styrofoam) yang sudah tidak terpakai, dan (5) Pemungutan pajak pada setiap KJA untuk biaya perbaikan lingkungan (Rp 10/kg hasil panen). Saran Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan: 1. Perlu diupayakan penyelesaian permasalahan kualitas air di Waduk Cirata dengan menambah jumlah penyaring sampah pada titik-titik sebelum area KJA dan meningkatkan efektivitas pengangkutan dan pengolahan sampah pada setiap penyaring sampah di Waduk Cirata. 2. Pembentukan payung hukum yang melandasi pemungutan pajak progresif oleh BPWC dalam membatasi jumlah KJA serta dilakukan pengawasan secara berkala. 3. Pembentukan peraturan yang melarang penggunaan pelampung KJA yang terbuat dari styrofoam serta dilakukan pengawasan secara berkala. 4. Sosialisasi penggunaan kincir air pada setiap KJA untuk meningkatkan kadar DO perairan Waduk Cirata. DAFTAR PUSTAKA Alfiansyah, M. 2011. Nitrogen Dalam Air & Pengaruhnya Pada Ikan. http://www.sentra14
  • 15. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 edukasi.com/2011/06/nitrogendalam-air-pengaruhnyapada.html. Diakses Pada Tanggal 5 Juli 2012. BPWC. 2009. Laporan Pemeriksaan Kadar Logam Berat pada Ikan, Pakan dan Sedimen di Waduk Cirata. Badan Pengelola Waduk Cirata. Sub DAS Segara Anakan Jawa Tengah). Project Working Paper Series No. 5. Pusat Studi Pembangunan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Badan Pengelola Waduk Cirata. 2012. Data Parameter Kualitas Air 2004-2012. Badan Pengelola Waduk Cirata. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Ghufran H, M dan K. Kordi. 2010. Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya - Pintar Budidaya Ikan di Tambak Secara Intensif. Andi Publisher. Bukukita.com Mora, M. 2009. Analisis Sensitivitas dan Pengaruhnya Terhadap Urutan Prioritas dalam Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) [Skripsi]. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Suwito, V. A. 2011. Penentuan Kadar Klorin (Cl2) Dalam Cairan Pemutih Menggunakan Titrasi Iodometri. Paper. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. Pekanbaru. Yunus, L dan A. H. Dharmawan. 2005. Kerusakan Hulu Daerah Aliran Sungai Citanduy dan Akibatnya Di Hilir (Studi penilaian ekonomi di sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat dan 15
  • 16. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 1-16 Lampiran 1. Perbandingan kualitas air tahun 2004, 2007-2012 pada pengujian stasiun 4 (tengah danau) Tahun Baku Parameter 2004 2007 2008 2009 Mutu 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 Pb 0,03 M M M M M M M M M T M M M M M T T Zn 0,02 M T M T M T M M T M T M M M T T M 2010 2 3 M M M M 4 M M 1 T T 2011 2 3 T T T T 4 T T 2012 1 M M Cl2 0,003 M M M M T M T T M M M M M T M T M M T T T M T T M H2S 0,002 T T T T M T T T T M T T T M M T M M T T T T T T T DO 3 M M T M T T T Cu 0,02 M T T M M T M Cd 0,01 M M M M M T M Nitrit 0,259 M M M M T T T Sumber: BPWC Diolah Tahun (2012) Keterangan: M : Memenuhi standar kualitas Golongan C T : Tidak memenuhi standar kualitas Golongan C T M M T M M M T M M M M T T T T M T M T M M M T T T M T M T T M T M M M T T M T T T M M M T M T T T M M T T M T T T T M M T T M M M M M T M M T 16
  • 17. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 ANALISIS PERAN EKONOMI KELEMBAGAAN LOKAL TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN DALAM PENGELOLAAN IKAN LARANGAN KOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT (Studi Kasus Desa Sungai Pasak Kecamatan Pariaman Timur) Rizal Bahtiar 1), Fajriyah, Iftitahul 1) 2) Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Gelar: S.Pi, M.Si. 2) Alumni Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM-IPB. ABSTRACT This research based onfisheries resources management by community in Desa Sungai Pasak, West Sumatera. The management of this fisheries resources is known as ikan larangan. Ikan larangan is a kind of fisheries management system that applies closing seasons to fishing in some part of river or canal for a certain period. The purpose of this study was to indentify the institutional aspects of fisheries management, transaction cost, and describe the benefit from management of ikan larangan in Desa Sungai Pasak. The sampling method used were purposive and snowball sampling. The methods in supporting the result of interview are observations and documentation. The result of research showed that Ikan larangan areas are under the management of community from local government and local comunity representative. Management cost for ikan larangan include operational cost (IDR 12 000 000) and transaction cost (IDR 8 000 000 anually). Field observation shows that the management of the ikan larangan areas has a positive impact to the local community. Some of the benefits from the system are fisheries resources in the open waters are kept sustainable, facilitating brotherhood among the local community, and generating income. Keywords : fisheries management, ikan larangan, local institution, management cost. ABSTRAK Penelitian ini didasarkan pada pengelolaan sumber daya perikanan oleh masyarakat di Desa Sungai Pasak Provinsi Sumatera Barat. Pengelolaan sumber daya perikanan yang dilakukan adalah ikan Larangan. Ikan Larangan adalah semacam sistem pengelolaan perikanan yang berlaku penutupan musim untuk memancing di sebagian sungai atau kanal untuk jangka waktu tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengelolaan perikanan kelembagaan, biaya transaksi, dan menjelaskan manfaat dari pengelolaan Ikan Larangan di Desa Sungai Pasak. Metode penelitian adalah purposive sampling dan snowball sampling. Metode lainnya yang mendukung adalah hasil wawancara, 17
  • 18. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 pengamatan dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah Ikan Larangan berada di bawah pengelolaan masyarakat dari pemerintah desa dan perwakilan komonitas lokal. Biaya manajemen untuk Ikan Larangan termasuk biaya operasional (Rp 12 000 000) dan biaya transaksi (Rp 8 000 000 per tahun). Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pengelolaan daerah Ikan Larangan memiliki dampak positif pada penduduk desa. Beberapa manfaat dari sistem tersebut adalah sumber daya perikanan di perairan terbuka dilakukan secara berkelanjutan, memfasilitasi silaturahmi antara warga desa, dan menghasilkan pendapatan bagi penduduk desa. Kata kunci : Pengelolaan Perikanan, ikan larangan, Kelembagaan Lokal, Biaya Pengelolaan. PENDAHULUAN Berdasarkan sejarahnya, pengelolaan perikanan di Indonesia sesungguhnya dimulai dari masyarakat lokal dengan menggunakan pemahaman lokal (local knowledge) yang kemudian dilembagakan menggunakan sistem hukum adat. Pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh masyarakat lokal telah mampu bertahan lama melewati berbagai perubahan sistem pemerintahan. Pengelolaan perikanan yang sebelumnya bersifat tersentralisasi berubah menjadi desentralisasi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 3 UU No. 22/1999 disebutkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai. Lebih lanjut, pasal 10 UU No. 22/1999 menyebutkan kewenangan daerah kabupaten/kota sejauh sepertiga dari batas laut provinsi. Kenyataannya kebijakan pengelolaan perikanan yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahannya diantara lain adalah belum mampunya pemerintah dalam mengatasi permasalahan overfishing dan overcapacity. Hal ini mengakibatkan permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang menjadi tidak efisien, baik secara ekonomi, sosial dan teknis. Berdasarkan kelemahan tersebut, pemerintah menyadari bahwa keterlibatan masyarakat tradisional merupakan suatu rumusan yang perlu dikembangkan terutama dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan ada baiknya dilakukan dengan memandang situasi dan kondisi lokal daerah yang di kelola. Banyak studi yang menunjukan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil mengelola sumberdaya perikanan, seperti sasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Provinsi Maluku. Keberhasilan pengelolaan perikanan juga telah ditunjukan oleh komunitas masyarakat beberapa daerah di Sumatera Barat dalam pengelolaan perikanan sungai. Pola pengelolaan perikanan sungai yang dipraktikan masyarakat Sumatera Barat ini dikenal dengan istilah ikan larangan. 18
  • 19. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Menurut Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat (1998) dalam Pahlevi (2002), jumlah daerah ikan larangan telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Namun tradisi ini bangkit lagi sejalan dengan kembalinya Propinsi Sumatera Barat menerapkan bentuk pemerintahan nagari setelah diberlakukannya UU No 32 tahun 2004. Di sisi lain, daerah ikan larangan telah meningkat karena kepala desa/nagari bersedia untuk membudidayakan ikan mas (Cyprinus carpio) di daerah ikan larangan. Selain itu, mengelola daerah ikan larangan jauh lebih mudah karena pemerintah daerah memberikan dukungan dengan memberikan bantuan pemberian benih ikan dan ikut membantu melestarikan tradisi tersebut. Konsep ini yang tetap dipertahankan masyarakat di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman. Namun, seiring perkembangan zaman masyarakat di desa ini mulai mengubah pola ikan larangan yang dahulunya di uduah dan diniatkan dengan pengelolaan ikan larangan dengan pengelolaan budidaya ikan. Dalam perkembangannya ikan larangan yang terdapat di Kota Pariaman dan sekitarnya yang ada saat ini adalah ikan larangan seperti budidaya ikan dimana adanya kegiatan penebaran benih, pemeliharaan dalam beberapa waktu kemudian dipanen. Sejauh ini, sangat sedikit informasi mengenai peran kelembagaan lokal terhadap pemanfaatan perairan yang digunakan untuk kegiatan ikan larangan. Informasi yang ada lebih banyak kepada manfaat ekologis saja. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu 1. Bagaimana kelembagaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur? 2. Bagaimana kinerja kelembagaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur? 3. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai manfaat yang terdapat dalam pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur? 4. Berapakah biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur? Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan ikan larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. 2. Menganalisis kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. 3. Menganalisis biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur melalui pendekatan biaya transaksi. 4. Mendeskripsikan persepsi masyarakat mengenai manfaat yang terdapat dalam pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. Adapun ruang lingkup sebagai batasan-batasan dari penelitian ini adalah: 1. Studi Kasus yang dilakukan untuk mengetahui bentuk pengelolaan 19
  • 20. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 sumberdaya perikanan melalui sistem ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. 2. Kelembagaan yang diidentifikasi merupakan kelembagaan lokal pengelola ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. 3. Analisis kinerja kelembagaan ikan larangan terkait dengan kejelasan kelembagaan dan efektifitas dalam mencapai tujuan kelembagaan. 4. Manfaat pengelolaan ikan larangan pada penelitian ini hanya bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya perikanan melalui sistem ikan larangan. KERANGKA PENELITIAN Ikan larangan di Sumatera Barat merupakan tradisi budidaya ikan yang dilakukan di perairan umum yang dikelola bersama oleh masyarakat. Ikan larangan adalah sebuah komitmen bersama untuk memelihara sungai sebagai pusat kegiatan masyarakat. Komitmen bersama masyarakat untuk memelihara sungai tersebutlah yang menjadikan ikan larangan terus berkembang hingga saat ini. Hal terpenting yang bisa dipelajari dari tradisi ini adalah kemampuan masyarakat sebuah jorong (wilayah hunian di bawah nagari) dalam menjaga nilai-nilai musyawarah dan keajegan ekosistem perairan di wilayah mereka. Sebab dalam proses pembukaan ikan larangan, mufakat dan kesediaan mematuhi aturan nagari merupakan unsur yang utama. Dengan menggunakan analisis aktor, penelitian ini akan mencoba untuk menggambarkan bagaimana posisi tokoh pengelola berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimiliki, penelitian ini juga mendeskripsikan bentuk aturan main (rule) yang terdapat dalam pengelolaan sumberdaya ikan dalam ikan larangan di Desa Sungai Pasak. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis biaya transaksi pengelolaan ikan larangan serta manfaat pengelolaan ikan larangan tersebut sehingga ikan larangan dapat dijadikan salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya ikan. Kerangka operasional dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1. METODOLOGI Penelitian ini akan dilakukan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja karena Desa Sungai pasak memiliki kawasan ikan larangan. Masyarakat Desa Sungai pasak masih memelihara kultur pengelolaan sumberdaya ikan dengan sistem ikan larangan. Waktu yang digunakan untuk pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2013. 20
  • 21. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya perairan umum melalui perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan melalui kearifan lokal Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak Pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak Aturan pengelolaan ikan larangan Identifikasi aktor Biaya transaksi Kepentingan dan pengaruh aktor Kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan Manfaat ikan larangan Rekomendasi alternatif pengelolaan sumberdaya perikanan Gambar 1. Kerangka Operasional Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan kunci (key informant) dan responden dengan menggunakan panduan wawancara dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan hasil pengamatan langsung di lapangan (observasi). Data sekunder, yang dikumpulkan dari kantor desa dan Dinas Kelautan Perikanan Sumatera Barat berupa laporan-laporan, arsip dan dokumentasi yang terkait dengan permasalahan penelitian. Penelitian ini menggunakan informan dan responden sebagai sumber data primer. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi memberikan informasi mengenai objek penelitian. Teknik pemilihan informan menggunakan snowball sampling sebanyak 7 orang. Sedangkan responden adalah masyarakat Desa Sungai Pasak. 21
  • 22. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Selain itu, teknik pemilihan responden dengan teknik purposive sampling dengan responden sebanyak 40 responden. Responden berasal dari masyarakat yang tinggal dekat dengan area ikan larangan. Data yang diperoleh dalam penelitian antara lain adalah data kualitatif dan kuantitatif yang menggunakan kuesioner. Pengolahan data dengan terlebih dahulu melakukan pengkodean. Kegiatan ini bertujuan untuk penyeragaman data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden dan dipresentasikan dalam bentuk analisis deskriptif berupa tabel frekuensi, grafik, ukuran pemusatan, dan ukuran penyebaran. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Excel 2007. Berikut matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode analisis data yang digunakan. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Ikan Larangan Beberapa atribut yang digunakan dalam menganalisis kelembagaan ikan larangan adalah: Pertama, aktor dalam kelembagaan dianalisis dengan mengidentifikasi struktur kelembagaan yang ada pada ikan larangan Desa Sungai Pasak. Kemudian masing-masing aktor tersebut diidentifikasikan peran dimiliki dalam kelembagaan bedasarkan kepentingan dan pengaruh. Kedua, aturan kelembagaan diklasifikasikan dalam empat bagian yaitu: (1) boundary rule mengenai tata aturan yang terdapat dalam kelembagaan; (2) aturan akses terhadap sumberdaya yang dikelola bersama-sama; (3) monitoring dan sanksi dalam setiap pelanggaran yang dilakukan; serta (4) aturan dalam setiap penyelesaian konflik yang terjadi dalam lingkup kelembagaan. Tabel 1. Matriks keterkaitan tujuan penelitian, analisis data No Tujuan Penelitian Sumber Data 1 Mengidentifikasi Data primer kelembagaan pengelolaan dan data ikan larangan sekunder 2 3 4 Menganalisis kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan Mendeskripsikan manfaat dari pengelolaan ikan larangan Menganalisis biaya tansaksi pada pengelolaan ikan larangan dalam Data primer dan data sekunder Data primer Data Primer dan data sekunder sumber data, dan metode Metode Analisis Data Analisis aktor dan analisis mengenai aturan (boundary rules, sanksi dan monitoring) Analisis deskriptif Analisis deskriptif dan Skala Likert Analisis biaya transaksi 22
  • 23. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Analisis Kinerja Kelembagaan Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson, 2003) dalam Syahyuti (2004). Analisis kenerja kelembagaan yang digunakan adalah teori Mackay (1999) dalam Syahyuti (2004) yang dalam penelitian ini terdapat dua hal sebagai parameter analisis yaitu kejelasan kelembagaan dalam mencapai outcome yaitu keberlanjutan pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak dan efektivitas kinerja kelembagaan. Tabel 2. Matriks Analisis Kinerja Kelembagaan Parameter Indikator 1. Kejelasan Kelembagaan: Struktur 1. Struktur kelembagaan meliputi: a. Kelengkapan susunan pengurus b. Memahami peran dari susunan pengurus c. Keteraturan waktu pergantian atau penyempurnaan pengurus kelembagaan 2. Kejelasan aturan merupakan analisis untuk mengetahui aturan informal yang dibuat secara tertulis atau lisan. 3. Pengetahuan masyarakat terhadap kelembagaan merupakan analisis untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan masyarakat mengenai aktor yang terlibat beserta interaksi dan aturan yang berlaku. 2. Efektivitas Kinerja Kelembagaan dalam mencapai tujuan 1. Partisipatif, indikatornya adalah: Memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk mengemukakan pendapat dalam merencanakan kegiatan atau membuat keputusan 2. Transparansi (keterbukaan), indikatornya adalah menyampaikan informasi mengenai pengelolaan ikan larangan dari segi keuntungan dan penggunaan dari hasil yang di dapat. 3. Efektifitas kelembagaan adalah tercapainya tujuan kelembagaan yang dihubungkan besarnya kepuasan anggota dalam mencapai tujuan kelembagaan melalui indikator sebagai berikut: a. Penerimaan yang diterima dari pengelolaan ikan larangan b. b. Manfaat pengelolaan ikan larangan yang dirasakan masyarakat Sumber : Data primer (2013) 23
  • 24. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Analisis kinerja kelembagaan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif melalui persepsi masyarakat mengenai kinerja kelembagaan ikan larangan. Berikut parameter dan indikator yang digunakan dalam analisis kinerja kelembagaan ikan larangan. Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Secara umum metode analisis yang digunakan dalam menilai manfaat dari pengelolaan ikan larangan merupakan analisis deskriptif, yaitu menggambarkan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Sungai Pasak yang telah sejak tahun 1970 melakukan pengelolaan ikan dengan sistem ikan larangan. Berdasarkan Suhana (2008a), lubuk larangan memiliki dampak terhadap masyarakat, seperti dampak ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Data yang digunakan untuk menganalisis manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari pengelolaan ikan larangan adalah data primer melalui observasi dan wawancara. Analisis ini menggunakan skala pengukuran instrumen yaitu skala likert. Skala Likert merupakan metode untuk mengukur luas/dalamnya persepsi dan pendapat dari responden. Dalam metode ini sebagian besar pertanyaan dikumpulkan, setiap pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga bisa dijawab dalam lima tingkatan jawaban (Gumilar, 2012). Urutan untuk skala Likert menggunakan lima angka penilaian, yaitu (1) sangat setuju (SS, bobot 5), (2) setuju (S, bobot 4), (3) netral/ abstain (A, bobot 3), (4) tidak setuju (TS, bobot 2), dan (5) sangat tidak setuju (STS, bobot 1). Menurut Riduwan dan Sunarto (2007) cara menghitung skor dari pernyataan yang dinilai menggunakan skala likert adalah setiap skor jawaban yang dijawab responden dikalikan dengan jumlah responden yang menjawab pernyataan tersebut. Misalkan dari 70 responden yang digunakan dalam menilai suatu aspek, berikut rangkuman hasil penilaian menjawab (5) = 2 orang, menjawab (4) = 8 orang, menjawab (3) = 15 orang, menjawab (2) = 25 orang, dan menjawab (1) = 20 orang. Maka jumlah skor untuk yang menjawab (5) = 2 x 5 = 10, skor yang menjawab (4) = 8 x 4 = 32, dan seterusnya hingga jawaban skala 1. Interpretasi skor perhitungan dilakukan dengan menghitung skor ideal yaitu 5 x 70 = 350 dan skor terrendah 1 x 70 = 70. Jadi, jika total skor penilaian di peroleh angka 157, maka penilaian responden adalah : (157/350) x 100% = 44.86%, atau bisa dikategorikan sebagai cukup. Berikut kriteria interpretasi skor :      0 % – 20% 21% – 40% 41% – 60% 61% – 80% 81% – 100% = = = = = Sangat lemah Lemah Cukup Kuat Sangat kuat Analisis Biaya Transaksi Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi dalam kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak adalah: TrC= ∑ Sij………………….………(1) Keterangan: TrC :Total Biaya Transaksi Sij :Komponen Biaya Transaksi 24
  • 25. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Analisis biaya transaksi pada penelitian ini lebih difokuskan pada biaya menjalankan organisasi seperti biaya pengambilan keputusan (biaya investasi) dan biaya operasional bersama yang meliputi biaya penetapan lokasi ikan larangan serta biaya pada waktu ikan larangan dibuka atau dipanen. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelembagaan dan Tata Aturan Aktor Kelembagaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Apabila dikaji dari perspektif kelembagaan, keberadaan masyarakat di sekitar aliran Sungai Pasak serta adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan, maka interaksi yang dilakukan masyarakat terhadap sumberdaya ikan di sungai tersebut adalah sebuah arena aksi (action arena). Arena aksi ini terdiri dari dua komponen, yaitu situasi aksi (action situation) dan aktor (actor). Situasi aksi yaitu interaksi masyarakat Desa Sungai Pasak terhadap sumberdaya ikan. Aktor sendiri meliputi partisipan , yaitu semua pihak yang terlibat dalam situasi aksi antara masyarakat disekitar Sungai Pasak dengan sumberdaya ikan yang dimanfaatkan, posisi yang ditempati partisipan, dan aksi yang dilakukan oleh partisipan tersebut. Secara struktural, posisi pengelola ikan larangan terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, dan pemuda. Kelima unsur ini merupakan tokoh penting pengelola ikan larangan. Jika salah satu dari lima unsur tersebut tidak menyetujui kesepatan yang dibuat maka kesepakatan tersebut batal. Pada tahun 2010 keberadaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yang dahulunya dikelola oleh Ninik Mamak bersama masyarakat desa dibentuk menjadi kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) ikan larangan. Setelah terbentuknya Pokmaswas posisi pengelolaan ikan larangan tidak banyak berubah. Keberadaan Pokmaswas ini melengkapi pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Selain untuk membantu pengawasan ikan yang terdapat dalam wilayah ikan larangan, pokmaswas juga membantu memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat bagaimana kegiatan yang telah dilakukan selama ini (pengelolaan ikan larangan) tidak hanya bermanfaat sebagai pendanaan desa tetapi juga bermanfaat menjaga lingkungan. Adapun peranan tokoh pengelola ikan larangan disajikan pada Tabel 3. 25
  • 26. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Tabel 3 Identifikasi Aktor Dan Peranan No Aktor Peranan 1 Ninik Mamak - Unsur pimpinan (adat istiadat) dalam masyarakat adat di Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak. - Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan 2 Alim Ulama - Unsur pimpinan (agama) masyarakat adat di (Labai) Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak. - Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan 3 Cadiak - Unsur pimpinan masyarakat adat di Minangkabau Pandai dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak (cendekiawan). - Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan 4 Bundo - Unsur kepemimpinan perempuan yang ikut mengelola kanduang ikan larangan 5 Pemuda - Pengelola harian ikan larangan. - Mengawasi keadaan area ikan larangan. 6 Kepala Desa - Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. - Mengembangkan potensi sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup. - Pengawas kegiatan ikan larangan. - Membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas Ikan Larangan untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi dari lubuk dan banda larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak 7 Pokmaswas - Mengawasi pengelolaan ikan larangan dari penangkapan ikan yang menggunakan bahan terlarang dari oknum masyarakat. 8 Masyarakat - Memanfaatkan sungai pasak dan banda irigasi serta Desa Sungai ikut mengawasi pengelolaan ikan larangan yang Pasak terdapat di sungai maupun di banda tersebut. - Menjaga keamanan pengelolaan ikan larangan. 9 Pawang - Memiliki kemampuan untuk mengamankan keberadaan ikan yang terdapat pada area ikan larangan. - Keberadaaan pawang dalam pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak bersifat sementara karena untuk kegiatan yang ikan larangan saat ini telah tidak menggunakan jampi. Sumber: Data primer diolah (2013) 26
  • 27. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Aktor pengelola ikan larangan memiliki pengaruh dan kepentingan yang telah teridentifikasi melalui peranan yang dimiliki masing-masing. Berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimiliki oleh para aktor maka dapat digambarkan pada aktor grid. Hasil pemetaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan larangan dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil pemetaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dan kanduang memiliki kepentingan tinggi terhadap sumberdaya ikan larangan desa sungai Pasak namun kurang terlibat dalam merumuskan berbagai kebijakan pengelolaan sumberdaya tersebut. Kuadran II (pemain) ditempati oleh Labai, Ninik Mamak, Kepala Desa, Cadiak Pandai dan Pemuda. Kelompok ini memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Lubuk Larangan dan Banda Larangan Desa Sungai Pasak. Pengaruh dalam pengelolaan dan pemanfaatan Gambar 2. Pemetaan Aktor Pengelola Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Sumber : Hasil analisis (2013) Keterangan : 1. Labai (alim ulama), 2. Ninik Mamak, 3. Kepala Desa, 4. Cadiak Pandai 5. Pemuda, 6. Bundo Kanduang, 7. Pokmaswas, 8. Pawang dan 9 Warga Desa Sungai Pasak pengaruhnya dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan larangan baik di sungai maupun banda irigasi terlihat pada gambar diatas. Pada kuadran I (subjek) ditempati bundo kanduang. Bundo sumberdaya ikan pada wilaya ikan larangan tersebut terkait dengan perumusan peraturan mengenai ikan larangan baik formal maupun non formal. 27
  • 28. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Kuadaran III (penonton) ditempati oleh Pokmaswas dan Pawang/tukang jampi. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu bergantung terhadap sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan Desa Sungai Pasak. Selain itu posisi mereka tidak terlalu berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan Desa Sungai Pasak. Hal ini terlihat dari tingkat pengaruh dari kedua aktor tersebut. Kuadran IV (Aktor) ditempati oleh masyarakat Desa Sungai Pasak. Kelompok masyarakat Desa Sungai Pasak memiliki pengaruh yang tinggi dengan sedikit kepentingan terhadap sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan desa. Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki peran memanfaatkan sungai pasak dan banda irigasi serta ikut mengawasi pengelolaan ikan larangan yang terdapat di sungai maupun di banda tersebut. Pengaruh yang dimiliki oleh kelompok masyarakat merupakan suatu proses pengontrolan proses dan hasil dari kegiatan ikan larangan yang terdapat di wilayah tempat tinggal mereka. Berdasarkan pemetaan aktor pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok aktor, yaitu kelompok formal dan kelompok informal. Aktor-aktor yang berperan ditingkat kelompok formal yaitu kepala desa sebagai pemimpin pemerintahan administrasi dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang dibentuk berdasarkan surat keputusan kepala desa. Kelompok informal terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan pemuda serta pawang. Kelompok ini merupakan komunitas lokal yang berperan mengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak selama ini. Walaupun keberadaan pawang sudah tidak digunakan saat ini, kepercayaan masyarakat akan larangan mengambil ikan tidak sesuai waktu tetap berlangsung hingga saat ini. Pembagian kelompok ini disebabkan karena pengaruh dari Ninik Mamak, Alim, Ulama, Cadiak Pandai merupakan orang yang dituakan dan dihormati di Desa Sungai Pasak. Keberadaan pawang dalam pengelolaan ikan larangan merupakan unsur dimensi spiritual yang berkembang di masyarakat. Adapun hubungan aktor-aktor pengelola Ikan Larangan Desa Sungai Pasak disajikan pada Gambar 3. 28
  • 29. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Kepala Desa Sungai Pasak Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai Collective Level BUNDO KANDUANG,PEMUDA, MASYARAKAT POKMASWAS SEIPA LESTARI Operational Choice Level FORMULASI ATURAN ATURAN IKAN LARANGAN Gambar 3. Hubungan Antar Aktor Pengelola Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Sumber : Hasil analisis (2013) Ostrom (1990) dalam Suhana (2008b) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelembagaan perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya (level), yaitu pertama, level konstitusi (constitutional), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan. Berdasarkan teori Ostrom (1990) dalam Suhana (2008b) maka aktoraktor pengelolaan dan pemanfaatan ikan larangan di Desa Sungai Pasak yang tergolong kedalam level penentu aturan (collective choice level) adalah Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai (tungku tigo sajarangan) dan Kepala Desa Sungai Pasak. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menetukan aturan main dalam pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Sementara itu, yang termasuk level operasional (operational level) adalah kelompok Bundo Kanduang, Pemuda, Masyarakat Desa Sungai Pasak dan Kelompok Masyarakat Pengawas ikan larangan Desa Sungai Pasak. Boundary Rule, Sanksi, Monitoring terhadap Aturan dan Secara umum, aturan mengenai ikan larangan masyarakat Desa Sungai Pasak ini berisi aturanaturan dalam pemanfaatan (appropriation problems) dan 29
  • 30. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 pemeliharaan (provision problems) sumberdaya ikan di lubuk larangan dan banda larangan. Adapun aturanaturan tersebut antara lain aturan batas wilayah ikan larangan, aturan akses pemanfaatan sumberdaya ikan, aturan sanksi, dan monitoring. Wilayah ikan larangan desa Sungai Pasak terdiri dari sungai dan banda irigasi. Wilayah sungai yang menjadi wilayah ikan larangan adalah wilayah lubuk larangan. Batas wilayah lubuk larangan dengan bukan lubuk larangan ditandai oleh jembatan. Jembatan ini yang jalan membatasi satu desa dengan desa lain. Sedangkan batas banda larangan adalah sepanjang aliran irigasi yang melewati desa Sungai Pasak. Ikan hanya boleh ditangkap ketika telah ada pemberitahuan bahwa lubuk larangan dan banda larangan telah dibuka oleh ninik mamak dengan waktu yang telah ditetapkan. Dalam mengambil ikan hanya boleh menggunakan alat pancing, tidak boleh mengunakan racun, menyentrum ikan dan tidak boleh menggunakan jala. Aturan mengenai sanksi untuk wilayah ikan larangan di desa Sungai Pasak secara formal tidak ada. Namun, sanksi tersebut akan terlihat dengan sendirinya jika mereka melanggar ketentuan yang telah dibuat bersama. Pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak masih semi tradisional. Sanksi yang dirasakan bagi pelanggar bersifat alamiah. Berdasarkan penuturan tokoh agama desa (Labai), apapun yang terdapat di daerah yang sifatnya milik bersama pasti akan ada saja yang ingin berbuat curang. Terkadang kita tidak dapat menyalahkan sehingga kita hanya dapat memohon pada yang Maha Kuasa agar kesalahannya menghianati kesepakatan yang ada diampuni. Ikan larangan Desa Sungai Pasak dahulu pernah di jampi, namun penggunaan jampi telah dibuka karena pada saat itu membuat ikan yang berada di kawasan tersebut tidak berkembang dengan baik. Namun, kepercayaaan terhadap ikan yang terdapat di lubuk dan banda yang ada larangan untuk tidak diambil masih dianut sampai saat ini. Walau tidak menggunakan jampi lagi masyarakat masih percaya bahwa sesuatu yang telah disepakati untuk tidak diambil sebelum masa diperbolehkan maka akan mendapat bala. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bagi yang mengambil ikan yang terdapat di wilayah berlarangan tersebut akan mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Untuk menghilangkan penyakit tersebut, maka seseorang harus mengingat kesalahan yang telah diperbuat dan memohon kepada Allah agar kesalahannya diampuni. Dahulu saat masih di jampi, orang yang mengambil ikan di wilayah ikan larangan akan mengaku ditempat ia mengambil ikan tersebut. Hal ini membuat seseorang merasa bersalah dan mendapat sanksi sosial karena diperlihatkan secara langsung. Mengingat akibat dari perilaku tersebut yang berdampak bagi psikologi seseorang maka untuk menghindari permasalahan yang akan muncul dari perilaku buruk tersebut, ninik mamak bersama alim ulama dan cadiak pandai desa Sungai Pasak 30
  • 31. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Tabel 4. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Kelengkapan Pengurus Kelembagaan Masyarakat Desa Sungai Pasak Kelengkapan Kelembagaan Jumlah Persentase (%) Tinggi 37 92,5 Kurang 3 7,5 Rendah 0 0 Jumlah 40 100 Sumber: Data primer diolah (2013) memutuskan untuk tidak menggunakan jampi lagi. Hal ini membuat tidak adanya monitoring yang jelas dalam pengelolaan ikan larangan tersebut. Menurut penuturan pemuka agama desa (Labai) dan Kepala Desa Sungai Pasak yang mengawasi tindakan pelanggaran adalah pribadi masingmasing. Hal ini diharapkan agar tidak menimbulkan permasalahan di masyarakat dan menegaskan bahwa melalui kesepakatan yang telah dibentuk harus dibuat atas dasar kepercayaan satu sama lain. Karena percaya dengan sesama maka dapat mewujudkan kebaikan dari apa yang diperbuat sehingga ikan larangan dapat menghasilkan manfaat bagi seluruh masyarakat desa. 4.1 Analisis Kinerja Kelembagaan 4.2.1 Kejelasan Kelembagaan Ikan Larangan Analisis mengenai kejelasan kelembagaan ikan larangan dalam mencapai tujuan tersebut yang meliputi: (1) kejelasan struktur kelembagaan dan (2) kejelasan aturan. Kejelasan Struktur Kelembagaan Kelengkapan Pengurus Kelembagaan Menurut masyarakat Desa Sungai Pasak, kelembagaan ikan larangan yang ada telah lengkap. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yaitu sekitar 92,5 persen sebanyak 37 orang responden menyatakan telah lengkap dan sisanya 7,5 persen (3 orang) menyatakan kurang lengkap. Responden yang menyatakan kelembagaan kurang lengkap dikarenakan mereka tidak terlalu mengerti tentang kepengurusan kelembagaan tersebut dan kelembagaan yang ada telah ada sejak turun temurun. Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai kelengkapan pengurus ikan larangan yang ada dapat dilihat pada (Tabel 4). Pengetahuan Angota Susunan Kelembagaan Terhadap Pengetahuan masyarakat Desa Sungai Pasak terhadap kelembagaan dinilai berdasarkan tingkat pemahaman mereka terhadap susunan kelembagaan tersebut. Gambaran mengenai sebaran pengetahuan masyarakat terhadap susunan kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 5. Sebagian besar masyarakat desa sudah paham mengenai susunan kelembagaan yang 31
  • 32. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Tabel 5. Sebaran Pengetahuan Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Peran Dari Susunan Kelembagaan Masyarakat Desa Sungai Pasak Pengetahuan Terhadap Kelembagaan Jumlah Persentase (%) Paham 39 97,5 Kurang Paham 1 2,5 Tidak Paham 0 0 Jumlah 40 100 Sumber: Data primer diolah (2013) ada pada kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yaitu sekitar 97,5% (39 orang). Sedangkan sisanya 2,5% (1 orang) kurang paham karena responden hanya mengetahui pengelola harian saja yaitu pemuda. Periode Pergantian Kepengurusan Untuk kepengurusan lembaga adat (komunal) dalam pengelolaan ikan larangan pergantian tidak begitu tinggi dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan pola kepemimpinan yang turun temurun dan berdasarkan penilaian masyarakat sekitar. Untuk kepengurusan inti seperti ninik mamak tidak ada proses untuk pergantian karena kepengurusan tersebut bersifat alami. Proses pergantian kepengurusan terlihat pada kelembagaan pemuda yang merupakan kepengurusan harian dalam ikan larangan sebelum adanya kelompok masyarakat pengawas ikan larangan. Sebaran persepsi masyarakat tentang periode pergantian kepengurusan tersaji pada Tabel 6. Masyarakat Desa Sungai Pasak mengetahui pengurus ikan larangan secara umum, namun untuk pergantian pengurus harian tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat. Sebagian besar responden menyatakan tidak teratur yaitu sekitar 40 persen (16 orang). Hal ini disebabkan karena kepengurusan yang ada diganti hanya berdasar kesepakatan saja dan biasanya pengurus yang diganti hanya bertukar peran. Kejelasan Aturan Kelembagaan Kelembagaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak secara umum yang terlihat adalah kelembagaan adat (komunal) yang telah ada sejak dahulu. Sedangkan dalam Tabel 6. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Periode Pergantian Pengurus Periode Pergantian Pengurus Masyarakat Desa Sungai Pasak Kelembagaan Jumlah Persentase (%) Teratur 9 22,5 Kurang Teratur 15 37,5 Tidak Teratur 16 40,0 Jumlah 40 100 Sumber: Data primer diolah, 2013 32
  • 33. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 perkembangannya, kelembagaan komunal menyepakati dibentuknya kelembagaan baru yang disebut kelompok pengawas (POKMASWAS) ikan larangan. Hal ini menjelaskan bahwa aturan pengelolaan ikan larangan dapat berupa lisan, tertulis, atau keduanya. Oleh karena itu, diperlukan analisis untuk mengetahui kejelasan aturan tersebut. kepemimipinan yang berkonsultasi dengan bawahan dan mengunakan ide serta saran mereka dalam mengambil keputusan. Sebesar 87,5 persen (35 orang) responden menyatakan bahwa kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak pastisipatif. Ninik Mamak sebagai orang yang dituakan di desa dapat memberikan Tabel 7. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Partisipasi Dalam Kelembagaan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Masyarakat Desa Sungai Pasak Kelembagaan Jumlah Persentase Tinggi 35 87,5 Sedang 5 12,5 Rendah 0 0 Jumlah 40 100 Sumber : Data primer diolah (2013) Berdasarkan data dilapangan, seluruh responden (100%) menyatakan bahwa aturan kelembagaan ikan larangan bersifat lisan karena aturan tersebut telah dikenal secara turun temurun. Kekuatan aturan lisan lebih dipercaya masyarakat desa, karena merupakan tradisi dan modal terbentuknya kelembagaan baru seperti kelompok masyarakat pengawas ikan larangan. Keefektifan Kinerja Kelembagaan Ikan Larangan Partisipasi dalam Kelembagaan Kelembagaan ikan larangan dipimpin oleh Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai sebagai pihak dihormati atau “dituakan” oleh masyarakat desa setempat. Prinsip kepemimpinan yang terdapat diantara ketiganya adalah prinsip partisipatif. Partisipatif adalah gaya motivasi kepada masyarakat atau anggotanya untuk bersama-sama mengembangkan potensi yang dimiliki desa mereka. Motivasi yang diberikan oleh pemimpin kelembagaan ikan larangan ini tergambar dari kegiatan yang mereka lakukan. Mulai dari waktu yang tepat ikan larangan di buka dan ditutup semua berdasarkan suara dari masyarakat dan hasilnya juga dirasakan masyarakat secara bersama. Transparansi dalam Kelembagaan Secara umum kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak sangat transparan dalam pengelolaan potensi desa mereka. Masyarakat menyatakan bahwa hasil pengelolaan ikan larangan diketahui oleh masyarakat desa. Hal ini terbukti dari sebaran persepsi masyarakat sebesar 100 persen (Tabel 8) menyatakan 33
  • 34. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Tabel 8. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Transparansi Kelembagaan Ikan Larangan Transparansi Kelembagaan Terhadap Masyarakat Desa Sungai Pasak Hasil dari Kegiatan yang dilakukan Jumlah Persentase (%) Tinggi 40 100 Sedang 0 0 Rendah 0 0 Jumlah 40 100 Sumber : Data primer diolah (2013) kelembagaan ini bersifat terbuka (transparan). Menurut penuturan salah satu narasumber, pengelolaan ikan larangan tidak boleh sembunyisembunyi, harus diberitahu kepada semua masyarakat karena sumberdaya ikan tersebut hidup di perairan desa yang tentunya diketahui oleh masyarakat. Efektifitas Kelembagaan Ikan Larangan Efektifitas kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak diukur melalui perubahan hasil panen ikan dan perubahan perilaku masyarakat sejak dikembangkannya ikan larangan di desa tersebut. Indikator perubahan perilaku tersebut terlihat dari manfaat yang diterima masyarakat desa ketika musim panen ikan dilaksanakan. Melalui kegiatan ikan larangan tersebut memberikan dampak positif terhadap masyarakat menuju kemandirian ekonomi. Hal ini terlihat beberapa warga desa yang memiliki warung mendapat penerimaan yang lebih dari biasanya. Sebanyak 95 persen (38 orang) reponden menjawab tinggi (Tabel 9). Hal ini menggambarkan bahwa hasil panen meningkat setiap periode musim buka. Meningkatnya hasil panen menandakan bahwa peserta pemancingan pada musim buka ikan larangan desa banyak sehingga Desa Sungai Pasak ramai dikunjungi. Banyaknya pengunjung pemancingan tentunya membawa dampak bagi pendapatan masyarakat desa. Selain memancing para pengunjung juga berbelanja sehingga memberikan dampak tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar. Sebanyak 100 persen responden menyatakan bahwa kegiatan pemancingan saat musim buka Tabel 9. Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Terhadap Hasil Panen Hasil panen Tinggi Sedang Rendah Jumlah Sumber : Data primer diolah (2013) Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 38 95 2 5 0 0 40 100 34
  • 35. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 bermanfaat (Tabel 10). Jawaban tersebut dipilih oleh responden karena selain menambah pendapatan masyarakat, kegiatan ini juga bermanfaat bagi orang-orang yang gemar memancing sehingga ikut meramaikan kegiatan yang dilakukan Desa Sungai Pasak. Persepsi Masyarakat Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Manfaat pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yang dirasakan masyarakat paling besar adalah sebagai sumber pendanaan pembangungan desa. Terlihat dari sebaran persepsi responden sebesar 94 persen (Gambar 4) memilih indikator tersebut dari parameter aspek ekonomi. Sedangkan manfaat yang kurang dirasakan masyarakat adalah sebagai alternatif wisata atau hiburan desa sebesar 65 persen. Secara keseluruhan pengelolaan ikan melalui sistem ikan larangan sangat baik untuk dilakukan. Mencermati keberadaan ikan larangan terdapat tiga aspek manfaat yaitu manfaat ekologi/lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Berdasarkan persepsi masyarakat diperoleh hasil bahwa manfaat dari aspek ekologi / lingkungan yang lebih menonjol. Hal ini terlihat pada Gambar 3, dimana pernyataan mengenai manfaat ekologi terdapat pada urutan atas. Manfaat kelestarian lingkungan, menjaga keberadaan sungai dan banda irigasi dari pencemaran menjadi manfaat utama yang dapat diterima oleh masyarakat. Sedangkan, manfaat sosial merupakan manfaat kedua yang dirasakan oleh masyarakat. Keberadaan ikan larangan juga meningkatkan kerukunan masyarakat Desa Sungai Pasak karena sikap saling percaya dalam mengelola sumberdaya ikan baik yang berada di sungai maupun banda irigasi. Manfaat ekonomi bukan menjadi manfaat utama pengelolaan ikan larangan. Analisis Biaya Tansaksi Kelembagaan Ikan Larangan Biaya transaksi yang dikeluarkan masyarakat Sungai Pasak dalam kegiatan kelembagaan meliputi (1) Biaya transaksi yang merupakan biaya yang akan dikeluarkan saat pelaksanaan kegiatan pembukaan lubuk dan banda larangan. Dalam biaya transaksi termasuk biaya pertemuan membahas bagaimana pelaksanaan kegiatan dan kapan Tabel 10. Sebaran Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Dari Kegiatan Pemancingan Musim Buka Ikan Larangan Manfaat dari kegiatan pemancingan Bermanfaat Kurang Bermanfaat Tidak Bermanfaat Jumlah Sumber : Data primer diolah (2013) Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 40 100 0 0 0 0 40 100 35
  • 36. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 akan dilaksanakan. Biasanya pertemuan ini dilakukan di masjid pada hari Jumat setiap enam bulan sekali. Pertemuan ini di buka oleh ninik mamak dan diikuti oleh perwakilan masyarakat dari setiap dusun, (2) Biaya Operasional Ikan Larangan yang meliputi biaya rutin yang harus dikeluarkan seperti biaya pakan ikan. Besaran pengelolaan ikan larangan terdapat pada Tabel 11. Total biaya yang wajib dikeluarkan Desa Sungai Pasak setiap tahunnya sekitar Rp. 20 000 000. Biaya terbesar dikeluarkan adalah biaya operasional. Hal ini dikarenakan adanya biaya penebaran kembali ikan dan pembelian pakan. Hasil dari pemancingan ikan larangan menurut kesepakatan bersama dibagi menjadi beberapa pos seperti perbaikan sarana ibadah, kas pemuda, sarana umum berupa jalan desa dan kebutuhan lain yang sesuai dengan kesepakatan tokoh-tokoh ikan larangan dengan masyarakat desa. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa di Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman yang masih menerapkan pengelolaan sumberdaya ikan melalui sistem ikan larangan. Kelembagaan ikan larangan ini memiliki aktor dan aturan didalamnya. Meskipun kelembagaan tersebut bersifat informal, tetapi bersifat mengikat bagi seluruh masyarakat desa. menjaga keberadaan ikan garing 79 Salah satu cara untuk melestarikan… 91 menjaga sumber air bersih 90 Membuat lingkungan bersih (sungai dan… 81 Mencegah kerusakan lingkungan 86.5 mendorong terwujudnya kemandirian… 77.5 pewarisan budaya 85.5 kedisiplinan di masyarakat 86 Terbinanya Kerukunan Sosial 91 sebagai alternatif wisata atau hiburan di… 65.5 sumber pendanaan pembangunan desa 94 menjaga ketersediaan produksi ikan 77 meningkatkan pendapatan 85 0 20 40 60 80 100 persentase Gambar 4. Persentase Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Sumber : Data primer diolah (2013) 36
  • 37. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Tabel 11. Analisis Biaya Dan Penerimaan Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak No Uraian Nilai (Rupiah) Keterangan 1 Penerimaan musim 47 400 000 Hasil pendapatan dari biaya buka (pemancingan) masuk pemancingan ikan larangan dengan biaya biaya masuk Rp 40 000/ orang. Total hasil penjualan tiket Total pendapatan dari masuk pemancingan ikan saat 47 400 000 pemancingan musim buka selama tahun 2012 2 Biaya pengelolaan ikan larangan a. Biaya operasional Dikeluarkan setiap musim berupa : tutup dimulai untuk restocking wilayah ikan larangan. - Bibit ikan 7 000 000 5 000 000 - Pakan b. Biaya transaksi Dikeluarkan untuk pelaksanaan musyawarah - Biaya untuk menetapkan musim musyawarah 1 Musim tutup 500 000 tutup dan musim buka wilayah 500 000 ikan larangan. 2 Musim buka - Biaya informasi kegiatan pemancingan saat musim buka Total biaya pengelolaan ikan larangan Manfaat bersih ikan larangan dari 7 000 000 20 000 000 27 400 000 Biaya pembuatan pamflet, surat undangan, iklan elektronik untuk menginformasikan kegiatan pemancingan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan wilayah ikan larangan selama setahun Total pendapatan dari pemancingan dikurangi total biaya pengelolaan Sumber : Data primer diolah (2013) 2. Pengelolaan kelembagaan ikan larangan telah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak secara teknis sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat setempat. Meskipun telah dibentuk POKMASWAS, pengelolaan ikan larangan melalui kelembagaan adat yang dipimpin ninik mamak masih berperan sebagai pengontrol dan pengawas dari setiap kegiatan yang berkaitan pengelolaan ikan larangan. 37
  • 38. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 3. Biaya pengelolaan ikan larangan setiap tahunnya mencapai Rp 20 000 000 biaya tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu biaya operasional sebesar Rp 12 000 000 dan biaya transaksi sebesar Rp 8 000 000. 4. Kelembagaan pengelolaan sumber daya ikan melalui ikan larangan merupakan salah satu upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Saran 1. Sistem ikan larangan merupakan kearifan lokal yang patut dijaga dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman seperti halnya memperkuat aturan pengelolaan ikan larangan dari yang tidak tertulis menjadi aturan tertulis. Aturan dapat ditingkatkan menjadi aturan tertulis seperti dimasukan kedalam peraturan desa atau surat keputusan kepala desa dimana isinya tetap bersumber pada aturan terdahulu. 2. Struktur pengelola harian ikan larangan Desa Sungai Pasak yang ada perlu dilakukan pergantian secara berkala dan pembaharuan peran serta tanggung jawab pengurus. Hal ini bertujuan agar pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak lebih terorganisasi dan terstruktur. Pada kelembagaan baru pengelola ikan larangan yaitu Pokmaswas perlu lebih diaktifkan peranannya, selain itu perlu diperkuat dengan mendaftarkan kepada Dinas Perikanan Kota Pariaman agar tercatat dan bersifat legal. 3. Dalam mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan, termasuk sumberdaya perikanan perairan umum, diperlukan pengelolaan menyeluruh yang melibatkan semua pihak terutama komunitas masyarakat lokal yang tinggal disekitar sumberdaya tersebut. 4. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi diharapkan dapat mengurangi biaya pengawasan yang dibebankan pada pemerintah. Selain itu, pembentukan kelembagaan formal (Pokmaswas) dapat dijalankan lebih baik sehingga pengelolaan ikan larangan memiliki struktur organisasi yang jelas. DAFTAR PUSTAKA Gumilar, Iwang. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika Vol.III no2./September 2012 (198-211). ISSN 0853-2523 Pahlevi, Reza Shah. 2002. Ikan Diniatkan and Ikan Larangan: Areas of Tradisional Fish Cultivation in the Districts of Pasaman and Padang Pariaman, West Sumatera Province [Internet]. [diakses 29 Desember 2012]. Tersedia pada : www.konservasi.org Riduwan, Sunarto.2007. Pengantar 38
  • 39. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 17-39 Statistika untuk Penelitian Pendidikan, Sosial, Komunikasi, Ekonomi, dan Bisnis. Akdon, editor. Bandung (ID): ALFABETA Suhana. 2008a. Pengakuan Keberadaan Kearifan Lokal Lubuk Larangan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. COMIT [Internet].[diakses 2012 Nov 15]. Tersedia pada: http://suhanaocean.blogspot.com ______. 2008b. Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi [tesis]. Bogor. (ID): Institut Pertanian Bogor Syahyuti. 2004. Model Kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian di Lahan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor 39
  • 40. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53 PERHITUNGAN PDRB HIJAU SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN ASMAT, PROVINSI PAPUA1 Yugi Setyarko2 2) Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Budi Luhur, Jakarta dan Peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pelatihan Ekonomi Lingkungan (LPPEL) Wacana Mulia, Jakarta. ABSTRACT Asmat regency, Papua province is the eastern area of Indonesia, which still has abundant natural resources. Positive steps taken by the Asmat Government related to the Asmat management of natural resources and the environment is the application of the Green PDRB calculation. Furthermore, the results of the calculation and the concept are socialized to Asmat local government in order to perform the development activities which focus on the sustainability of natural resources and the quality of environmental services. Green PRDB calculation results show that Asmat regency still has abundant natural resources in good condition. It is more due to development activities that run relatively slow, because many constraints and obstacles in the economic development in Asmat regency, such as the quality of human resources, science and technology, and/or the availability of infrastructure, especially the transportations. Therefore, the final result of the application of Green PDRB calculation indicates present depletion of natural resources and environmental degradation in the Asmat regency is still relatively low. It is expected that the implementation of the Green PDRB calculation on the policy decision for development activities, especially when the economy will be driven, more accurately and rights on target while also maintaining the balance of the carrying capacity of natural resources and environmental services. Key words: Green PDRB, natural resource, environmental services, depletion, degradation ABSTRAK Kabupaten Asmat, Provinsi Papua merupakan daerah di ujung timur Indonesia yang masih memiliki sumber daya alam yang melimpah. Langkah positif yang ditempuh oleh Pemda Asmat dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA dan lingkungan adalah melakukan penerapan penghitungan PDRB Hijau. Selanjutnya hasil dan konsep perhitungan disosialisasikan kepada aparat pemda Kab. Asmat dengan tujuan agar kegiatan pembangunan tetap memperhatikan ketersediaan Disarikan dari hasil penelitian M. Suparmoko, Yugi Setyarko, Haryo Setyo Wibowo bekerjasama dengan PT Portal Engineering Perkasa dan Bappeda Kab Asmat, Penyusunan PDRB Hijau Kabupaten Asmat 2011, Prov. Papua. Telah dipresentasikan di Kantor Bappeda Kab. Asmat pada tanggal 9 Desember 2011. 1 40
  • 41. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53 SDA dan kualitas jasa lingkungan. Hasil penghitungan PDRB Hijau menunjukkan bahwa Kab. Asmat memang masih memiliki SDA yang melimpah dalam kondisi masih baik. Hal ini lebih disebabkan kegiatan pembangunan yang berjalan relatif lambat, karena banyak kendala dan hambatan dalam perkembangan ekonomi Kab Asmat, baik dari sisi kualitas SDM, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun ketersediaan sarana prasarana khususnya transportasi pada kondisi lapangan yang cukup ekstrim. Oleh karena itu hasil akhir dari aplikasi perhitungan PDRB Hijau menunjukkan, hingga saat ini deplesi SDA dan degradasi lingkungan di Kabupaten Asmat masih relatif rendah. Diharapkan dengan diterapkannya perhitungan PDRB Hijau, pengambilan kebijakan dalam kegiatan pembangunan khususnya saat perekonomian dipacu nantinya akan lebih tepat sasaran dengan tetap menjaga keseimbangan terhadap daya dukung SDA dan jasa lingkungan. Kata kunci : PDRB Hijau, sumberdaya alam, jasa lingkungan, deplesi, degradasi Latar Belakang Paradigma pembangunan saat ini mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan, untuk itu perubahan pada indikator pembangunan sudah semestinya dilakukan, tidak lagi menggunakan PDRB yang dihitung atas dasar System of National Account (SNA), tetapi didasarkan pada PDRB Hijau (Green Gross Regional Domestic Product atau Green GRDP) yang dihitung atas dasar konsep Sistem Penghitungan Terpadu antara Lingkungan dan Ekonomi (System of Integrated Environmental and 3 Economic Account). Keberhasilan kinerja ekonomi dan pembangunan di suatu daerah selama ini ditinjau berdasarkan Laporan Produk Domestik Regional Hijau (PDRB) yang rutin setiap tahun disusun oleh Bapeda bekerja sama dengan BPS dan instansi terkait lainnya. Dari angka-angka laporan PDRB kita memperoleh informasi 3 United Nation Statistical Division, Handbook of Integrated Environmental and Economic Accounting, New York, 1993 tingkat keberhasilan pembangunan di suatu daerah, dengan memperhatikan sektor yang dominan dan sektor perekonomian yang masih dirasakan berjalan lamban. Namun hingga saat ini aspek yang dirasakan vital dan tidak pernah dilibatkan dalam penghitungan PDRB adalah depresiasi/penggunaan sumber daya alam dan lingkungan sebagai modal alami dalam kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan yang gencar dilakukan dalam rangka meningkatkan perekonomian di berbagai daerah telah mendeplesi dan mengeksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan. Hilangnya modal sumber daya alam tidak pernah diperhitungkan sehingga laporan PDRB seolah-olah hanya menampilkan kinerja perekonomian yang biasanya terus meningkat dalam periode tertentu. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi landasan hukum disusunnya Laporan PDRB Hijau sebagai 41
  • 42. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53 instrumen perencanaan pembangunan di masing-masing daerah. Pasal 43 ayat 1b mengamanatkan untuk disusunnya PDB (nasional) dan PDRB (regional) dengan menginternalkan nilai deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan, sehingga laporan tersebut akan mencerminkan kinerja perekonomian yang lebih riil. Laporan PDRB yang melibatkan dimensi lingkungan inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah PDRB Hijau. Bappeda Kabupaten Asmat, Provinsi Papua pada tahun 2011 menginisiasi dilakukannya aplikasi perhitungan PDRB Hijau sebagai tolok ukur kegiatan pembangunan di Kabupaten Asmat. Tujuan dan Manfaat Tujuan dilakukannya penyusunan Laporan PDRB Hijau Kabupaten Asmat adalah: a) Untuk mengetahui kinerja seluruh perekonomian secara neto dengan memperhitungkan semua nilai penyusutan modal alami (sumber daya alam dan lingkungan) dan penyusutan modal buatan manusia. b) Untuk meningkatkan kesadaran para pembuat kebijakan dan masyarakat akan perlunya konservasi sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan sebagai sumber bahan mentah dan sumber jasa lingkungan termasuk keberadaan keanekaragaman hayati. c) Digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam penyusunan rencana pembangunan Kabupaten Asmat yang berkelanjutan. Adapun manfaat disusunnya PDRB Hijau Kab. Asmat adalah: a) Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun rencana pembangunan daerah dengan mengacu pada PDRB Hijau. b) Laporan PDRB Hijau dapat digunakan sebagai acuan penentuan nilai pungutan (pajak lingkungan, retribusi lingkungan dan PNBP) maupun nilai ganti rugi kerusakan lingkungan yang timbul akibat kegiatan individu, pengusaha swasta, maupun pemerintah atas penggunaan sumber daya alam yang ada berdasarkan hasil perhitungan rente ekonomi sumber daya alam. c) Sebagai salah satu instrumen untuk mengapresiasi keberadaan sumber daya alam dan lingkungan serta keanekaragaman hayati yang ada sebagai aset daerah. d) Laporan PDRB Hijau digunakan sebagai salah satu langkah antipasi dalam menjaga keseimbangan keberadaan sumber daya alam yang masih cukup melimpah dan kondisi lingkungan yang masih cukup baik terhadap kegiatan pembangunan di Kabupaten Asmat Gambaran Perekonomian Kab. Asmat PDRB Kabupaten Asmat atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan disajikan pada Tabel 1. 42
  • 43. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53 Tabel 1. PDRB Kabupaten Asmat Tahun 2007-2009 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun (Rp juta) (Rp juta) Pertumbuhan Pertumbuhan (1) (2) (3) (%) (%) 2007 356.633,05 180.616.91 2008 441.225,50 24 200.779,77 11 2009 520.378,07 18 218.759,13 9 Sumber: PDRB Kabupaten Asmat Tahun 2009 Penyusunan PDRB Hijau Kabupaten Asmat Perhitungan PDRB Kabupaten Asmat dilakukan dengan mengidentifikasi kegiatan deplesi SDA dan degradasi lingkungan yang terjadi. Sektor-sektor lainnya seperti sektor pertanian pangan, sektor industri, sektor listrik dan air bersih, sektor perdagangan, sektor transportasi, sektor keuangan, dan sektor pemerintahan, relatif tidak melakukan ekstraksi sumber daya alam. Deplesi SDA Deplesi sumber daya hutan Berdasarkan hasil observasi dan pengumpulan data, diketahui sumber daya alam yang terdeplesi di masingmasing sektor dan sub-sektor dalam perekonomian Kabupaten Asmat hanya terjadi pada sub sektor kehutanan dan sub sektor perikanan. Perhitungan deplesi sumber daya hutan di Kabupaten Asmat diuraikan berdasarkan pelaku deplesi produk hutan yaitu masyarakat dan perusahaan/kontraktor. Deplesi sumber daya hutan oleh masyarakat Tabel 2. Jenis dan Nilai Ekonomi Kayu Hutan di Kabupaten Asmat, 2009 Rata-rata Unit Nilai Ekonomi Harga Produksi Rent Kayu di hutan Jenis kayu hutan (Rp (Ha/tahun) (Rp /m3) (Rp juta/ha/th) /m3/th) (1) (2) (3) (4) a. Kayu merbau/besi 22,83 2.000.000 624.717 14,26 b. Kayu damar 20,33 1.500.000 468.538 9,53 c. Kayu cina 8,17 1.500.000 468.538 3,83 d. Kayu bus merah 1,50 1.200.000 374.830 0,56 e. Kayu bus putih 1,67 1.200.000 374.830 0,62 f. Kayu meranti 1,00 1.000.000 312.358 0,31 g. Rotan 0,17 20.000 6.247 0,00 h. Bintongur 1,17 1.200.000 374.830 0,44 Rata-rata tertimbang 1.664.697 375.611 29,56 Sumber: HCVF , WWF, 2009 43
  • 44. Jurnal Ekonomi Lingkungan, Vol 17, No 1, Juni 2013, Hal 40-53 Tabel 3. Jenis makanan pokok yang diproduksi Masyarakat Kampung Sample di Kabupaten Asmat, Akhir 2009 Jenis a. Batang sagu (batang) b. Ubi kayu (tumpuk) c. Talas (tumpuk) d. Pisang (tandan) Rata-rata tertimbang Rata-rata Produksi Rata-rata Harga Unit Rent (Unit/Ha/tahun) (1) 17 60 48 21 - (Rp /unit) (2) 300.000 10.000 10.000 100.000 56.712 (Rp/unit/th) (3) 93.708 3.124 3.124 31.236 17.715 Nilai Ekonomi SDA & lingkungan hutan (Rp juta/ha/th) (4) 1,59 0,19 0,15 0,66 2,59 Sumber : WWF, NKT hutan, 2009 Deplesi produk kayu bangunan Deplesi sumber daya pangan Jenis bahan makan pokok yang dimanfaatkan dari hutan antara lain sagu, ubi kayu, talas, dan pisang. ekonomi tumbuhan obat yang diambil dari hutan di Kabupaten Asmat tidak begitu besar dan diperkirakan seluruhnya hanya berjumlah Rp 0,45 juta/Ha/tahun. Oleh karena itu jenis tumbuhan obat-obatan tersebut dinilai sangat rendah atau tidak ada nilainya sama sekali. Belum ada proses pengolahan obat-obatan dari hasil hutan. Deplesi tumbuhan obat Deplesi Sumber Hewan Buruan Tabel 2 menyajikan data volume dan nilai kayu hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Asmat. Jumlah produksi dan nilai Pada Tabel 5 disajikan data produksi Tabel 4. Jumlah dan Nilai Rente Ekonomi Tumbuhan Obat dari Hutan, Kabupaten Asmat, 2009 a. Dambor/mengkudu (tumpuk) b. Akar pandan (ikat) c. Buah pala besar (tumpuk) d. Buah pala kecil (tumpuk) e. Buah bintang (tumpuk) f. Daun gatal (ikat) g. Daun sirih (ikat) h. Jahe (tumpuk) Jumlah nilai (Rupiah) Rata-rata Harga (unit/Ha/tahun) Jenis Rata-rata Produksi Unit Rent (Rp /unit/th) Nilai Obatobatan (Rp juta/ha/th) (Rp /unit) 5,2 20.000 6.247 0,10 1,8 5.000 1.562 0,01 4,8 5.000 1.562 0,02 5,8 5.000 1.562 0,03 2,4 33,6 18,2 0,5 5.000 5.000 5.000 20.000 6.183 1.562 1.562 1.562 6.247 2.327 0,01 0,17 0,09 0,01 0,45 Sumber: HCVF, Kabupaten Amat, WWF, 2009 (n = 119) 44