Dampak ujian nasional terhadap kualitas pendidikan
1. DAMPAK UJIAN NASIONAL TERHADAP KUALITAS PENDIDIKAN
Berbagai keberatan yang dilontarkan oleh stakeholders terhadap penyelenggaraan UN bukan
tanpa alasan. Kepeduliannya terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan menjadi
perhatiannya yang serius. Berdasarkan kajian teoritik dan fakta empirik tampak jelas bahwa
UN berdampak negarif terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Apabila kondisi ini
terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan kita akan semakin merosot dan tujuan
pendidikan nasional kita akan sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat
dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan.
Berbagai dampak negatif yang nyata terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di
sekolah, diantaranya:
☺ Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah
Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran. Pada tiga tahun terakhir pada
tingkat SMP dan SMA, hanya mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa
Inggris. Memang untuk tahun 2008 direncanakan untuk tingkat SMA akan ada penambahan
mata pelajaran dan berbeda antara jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Untuk SMA jurusan IPA,
akan ditambah mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi; Untuk jurusan IPS akan ditambah
mata pelajaran Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi, dan untuk jurusan Bahasa akan ditambah
mata pelajaran Sastra Indonesia, Bahasa asing lain, dan Antropologi/Sejarah Budaya. Selain
itu, pada tahun 2008 juga akan dilaksanakan UN untuk tingkat SD, dengan mata pelajaran
yang diuji adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA.
Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses
pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut,
sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan
terjadinya diskriminasi dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa dan bahkan
orang tua lebih memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang akan di UN-kan,
terutama pada siswa kelas akhir.
Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Dengan
adanya UN, maka pembelajaran cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada
penguasaan pengetahuan, dan mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah
pentingnya untuk menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah
afektif dan psikomotorik.
☺ Proses pembelajaran yang tidak bermakna
Untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru
biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk
mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru
mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian, dan menguasai teknik-teknik dan
trik mengerjakan soal yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna,
karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial.
Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam
memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan
dicapai melalui pembelajaran.
2. ☺ Upaya-upaya yang tidak fair
Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan lulus,
maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan
berbagai upaya untuk mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada
terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah. Sekolah yang mampu meluluskan siswanya
dengan prosentase yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah yang
berkualitas dan unggul. Setiap sekolah menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk
mencapai posisi tersebut. Namun sayang, tidak sedikit oknum guru dan kepala sekolah
melakukan upaya-upaya yang tidak terpuji. Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya
yang tidak fair dilakukan oleh oknum guru dan kepala sekolah untuk mencapai target
kelulusan yang setinggi-tingginya. Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk mendapatkan
kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan (SPM
Kepmendiknas 053/U/2001) (Salamudin, 2005); Guru memberi ‘contekkan’ kepada siswa
adalah suatu upaya yang sering dilakukan untuk mendongkrak nilai para siswanya dan
prosentase kelulusan di sekolah. Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata
pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi,
dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat
penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan
(mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan
jawaban-jawaban siswa. (Ade Irawan, Kontroversi Ujian Nasional.
http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod= publisher&op= viewarticle&artid=3764) Kondisi
seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang seharusnya menjadi
bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah. Bila ini berlanjut, bisa
dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal)
kita. Manusia yang berkembang dalam suasana yang serba tidak jujur.
☺ Hanya ranah kognitif yang terukur
UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar
pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang
mampu terukur melalui bentuk soal MC hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi
seperti ini mendorong para siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan
psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur
ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan menggunakan UN,
yang sifatnya masal dan dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini
akan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan
intelektual, sementara kecerdasan lainnya (multiple intelegence Gardner) akan tidak
mendapatkan perhatian yang memadai.
☺ Keputusan yang tidak fair
Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang
dilakukan siswa selama 3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian
yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena
faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental
(mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran
yang biasa terjadi pada setiap tes (false negative).
3. Ketidak adilan juga bisa dilihat dari proses pembelajaran yang dialami siswa di satu sekolah
dengan sekolah lainnya yang jauh berbeda. Para siswa yang mengikuti proses pembelajaran
dengan situasi dan kondisi yang sangat jauh berbeda diuji dengan cara dan alat yang sama. Di
satu sisi, siswa belajar di sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap dan dilayani oleh
SDM yang jumlah dan kualitasnya sangat memadai. Jelas, hasil belajar siswa yang belajar di
sekolah seperti ini, sangat mungkin mencapai hasil yang optimal. Namun di sisi lain, di
sekolah ‘nan jauh di sana’, sebagian besar siswanya menjalani proses pembelajaran yang
serba seadanya. Bahkan gedungnya pun hampir roboh. Bagaimana mungkin para siswanya
dapat belajar dengan baik untuk mendapatkan hasil belajar dengan nilai yang baik dengan
kondisi seperti itu. Tanpa dilakukan pengujian secara nasional pun, yang memakan biaya
puluhan milyar (untuk tahun 2008, UN SD saja akan memakan biaya sebesar Rp 96 milyar),
sudah dapat dibaca kualitas macam apa yang bisa dihasilkan dari model sekolah seperti itu.
☺ Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin
Di samping sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang berkualitas
dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para siswa, yang berakibat pada terjadinya persaingan yang
ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN
yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan
karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa berusaha menambah waktu belajar
tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang
selama ini dianggap tepat. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu,
karena upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit. Siswa miskin hanya bisa berusaha
keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan
kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas.