1. Filsafat dan Matematika, Siapa Lahir Lebih Dahulu?*
Di awal peradaban Yunani, filsafat dianggap sebagai induk dari seluruh ilmu pengetahuan yang
ada. Sampai dengan perkembangannya saat ini, filsafat telah menghasilkan berbagai macam cabang ilmu
pengetahuan seperti : fisika, biologi, kedokteran, kimia, ekonomi, sosiologi, hukum, farmasi, dan lain
sebagainya. Hingga kemudian masing-masing cabang pengetahuan tersebut memisahkan diri dari
filsafat dan berdiri sendiri sebagai bidang studi yang terpisah. Seorang tokoh pembaru dari zaman
renaissance, Francis Bacon (1561-1626) menyebut filsafat sebagai “Ibu agung dari ilmu pengetahuan”.
Jadi, semua cabang ilmu yang ada di dunia dianggap sebagai cabang dari filsafat, matematika pun
dianggap termasuk didalamnya.
Berbagai pendapat muncul mengenai anggapan bahwa matematika lahir juga dari ibu yang
bernama filsafat. Plato, seorang filsuf besar dari Yunani menegaskan hubungan yang amat erat antara
matematika dan filsafat. Ditegaskannya bahwa matematika merupakan pengetahuan ilmiah berdasarkan
akal murni yang menjadi kunci ke arah pengetahuan dan kebenaran filsafati serta bagi pemahaman bagi
sifat alami dari bentuk akhir yang natural. Sejarah juga telah mencatat kehadiran seorang Thales (640-
546 SM) dari Miletus (terletak di pantai barat negara Turki) yang oleh para penulis sejarah filsafat
diakui sebagai “ayah dari filsafat”. Oleh orang-orang Yunani, ia dimasukkan ke dalam golongan Tujuh
Orang Arif Yunani. Dalam sejarah matematika, Thales diakui sebagai penemu geometri abstrak dengan
menemukan cara mengukur ketinggian piramid berdasarkan bayangannya. Ia melakukannya dengan
berdiri di dekat piramid saat siang hari di bawah terik matahari. Saat ia mendapati panjang bayangannya
sama dengan tinggi tubuhnya, seketika ia juga mengukur panjang bayangan piramid yang tentunya juga
sama dengan tinggi piramid pada saat itu. Dari penemuan ini dapat diketahui filsafat tidak mampu
menyelesaikan masalah tersebut, melainkan geometri (matematika) yang dapat menyelesaikannya
melalui bantuan gejala alam.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami kiranya jika matematika bukanlah lahir dari filsafat.
Namun, keduanya sama-sama berkembang dan memberikan persoalan sebagai bahan masuk dan umpan
balik. Hubungan timbal balik antara filsafat dan matematika diperkuat dengan kehadiran Zeno dari Elea.
Dia mengungkapkan paradoks-paradoks yang berkaitan dengan pengertian gerak, waktu, dan ruang yang
sangat membingungkan filsuf dan ahli matematika. Salah satunya adalah argumen Zeno bahwa gerak
tidaklah mungkin terjadi. Untuk menempuh suatu jarak, sebuah benda harus melewati ½ dari jarak
tersebut. Sedangkan untuk menempuk ½ jarak keseluruhan itu, benda tersebut harus menempuh
setengah jarak itu, atau ¼ dari jarak total. Sampai dengan seterusnya, ada ½ jarak yang harus dilewati
secara terus-menerus. Ini berarti jarak yang dapat dibagi ke dalam dikotomi yang jumlahnya tidak
terbatas, maka jarak tersebut tidak akan mungkin ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Dengan
demikian, maka tidak akan terjadi yang dinamakan gerak. Paradoks Zeno ini baru dapat diselesaikan 20
abad kemudian oleh pengertian limit yang diciptakan oleh para ahli matematika. Bila suatu rangkaian
bilangan betapapun banyaknya menjurus pada suatu titik (konvergensi), maka seri itu merupakan sebuah
limit yang merupakan jumlah dari rangkaian tersebut, walaupun banyaknya tak terhingga.
2. Demikianlah adanya sejak permulaan sampai dengan sekarang, filsafat dan matematika akan
terus saling memengaruhi satu sama lain. Filsafat mendorong perkembangan matematika, begitu juga
dengan sebaliknya. Telah dibuktikan diatas jika Zeno mendorong lahirnya konsep-konsep matematika
seperti limit, seri tak hingga, dan konvergensi. Sebaliknya pula, ahli matematika melalui aljabar, teknik
simbolisme, dan teori himpunan telah membuat logika yang semula dikategorikan ke dalam filsafat,
berkembang pesat dengan memperjelas pengertian-pengertian mengenai kebenaran. Interaksi antara
filsafat dan matematika membuat adanya padanan dari konsep dan problem dari masing-masing bidang.
Filsafat berbicara tentang keabadian, kebetulan, atau kuantitas. Sedangkan matematika berbicara tentang
ketidakberhinggan, probabilitas, dan bilangan. Dapat kita lihat masing-masing bahasan dari filsafat dan
matematika adalah banyak memiliki kesejajaran. Pada hakikatnya kedua entitas tersebut adalah
pengetahuan rasional dan eksperimennya hanya menggunakan akal murni yang tidak memerlukan
laboratorium.
Disamping beberapa kesamaan, matematika dan filsafat juga memiliki perbedaan yang
menjadikan keduanya mampu bekerja pada ruang lingkupnya masing-masing. Filsafat dalam kinerjanya,
menerapkan berbagai macam metode yang rasional yang bermacam-macam. Maka, seorang filsuf dapat
merenungkan apa saja sepanjang pengalaman itu pernah dialami. Pembuktian dalam filsafat tidaklah
harus mampu dilakukan. Hasil penelaahan terhadap suatu masalah dalam filsafat dilakukan melalui
penalaran yang dikemukakan dalam kegiatan dialogis yang rasional. Oleh karena itu, tak jarang ditemui
ketidakpastian dan ketegasan dalam kegiatan dialogis yang dilakukan oleh filsafat karena memang
filsafat tidak berminat pada sebuah kesimpulan-kesimpulan yang jauh dan detail, melainkan hanya
melakukan sebuah sangkutpaut terhadap sebuah analisis dan penilaian dari premis-premis yang
dibicarakan. Di pihak lain, matematika memfokuskan diri pada segi-segi tertentu dari berbagai hal yang
ada. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah sebuah besaran, bentuk, ruang, struktur, atau hubungan.
Dan corak yang paling menonjol dari matematika adalah penelaahannya akan sebuah masalah yang
senantiasa menggunakan metode deduktif dan kebenaran dari sebuah penelaahan itu harus mampu
dilakukan dengan serangkaian langkah pembuktian yang sistematis. Kemudian, dalam matematika juga
terjadi sebuah kesimpulan-kesimpulan yang bersifat detail dan pasti. Hubungan matematika dan filsafat
yang demikian erat dengan berbagai persamaan dan perbedaannya telah menumbuhkan sebuah usaha
untuk melengkapi satu sama lain dalam lingkup memperkuat pondasi perkembangan ilmu pengetahuan
yang berlangsung di muka bumi ini.
*Gilang “AgungDzeko” Prabowo
Executive Director Indonesian Nuclear Institute