SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 117
Baixar para ler offline
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
1
FIQIH
MAWARIS
Ahmad Sarwat, Lc
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
3
Judul Buku
Fiqih Mawaris
Penulis
Ahmad Sarwat
Penerbit
DU CENTER
Cetakan
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
5
Istilah
Agar tidak terjadi selip paham dalam membicarakan hal-hal yang
terkait dengan istilah warisan yang ditranslate ke dalam bahasa
Indonesia, mari kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI).
Misalnya kata mewarisi dan mewariskan, orang sering keliru
membedakan keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah
memperoleh warisan. Misalnya kalimat berikut : Amir mewarisi sebidang
tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir memperoleh tanah yang
ditinggalkan oleh pak Ali.
Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta
warisan atau meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain. Misalnya
kalimat berikut : Pak Ali mewariskan sebidang tanah kepada anaknya.
Maksudnya, pak Ali memberikan harta warisan kepada anaknya.
Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang
memberi harta warisan. Contoh dalam kalimat, pak Ali adalah pewaris
dari anak-anaknya. Maksudnya, pak Ali memberi harta warisan kepada
anak-anaknya.
Lawan kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak
menerima warisan (harta pusaka). Contoh dalam kalimat, Amir adalah
ahli waris dari ayahnya. Maksudnya, Amir menerima harta warisan dari
ayahnya.
me·wa·risi v 1 memperoleh warisan dr: krn anak satu-
satunya, dialah yg akan ~ seluruh harta kekayaan orang
tuanya; 2 ki memperoleh sesuatu yg ditinggalkan
oleh orang tuanya dsb: ia tidak saja memperoleh harta
kekayaan, tetapi ia juga ~ utang-utang yg ditinggalkan
almarhum;
me·wa·ris·kan v 1 memberikan harta warisan kpd;
meninggalkan sesuatu kpd: gurunya ~ ilmu silat
kepadanya; 2 menjadikan orang lain menjadi waris;
wa·ris·an n sesuatu yg diwariskan, spt harta, nama baik; harta
ahli waris orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka)
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
7
Daftar Isi
Urgensi dan Pensyariatan 17
1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris 17
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut 18
1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW 19
1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran 19
1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga 20
1.5. Ancaman Akhirat 21
2. Pensyariatan 22
2.1. Dalil Quran 22
2.2. Dalil Sunnah 26
2.3. Dalil Ijma' 27
Pengertian Waris 29
1. Definisi 29
1.1. Bahasa 29
1.2. Pengertian syariah 30
2. Waris, Hibah dan Wasiat 30
2.1. Waktu 31
2.2. Penerima 31
2.3. Nilai 32
2.4. Hukum 32
3. Istilah-istilah dalam ilmu waris 33
3.1. Tarikah 33
3.2. Fardh 33
3.3. Ashhabul Furudh. 33
3.4. Ashabah 34
3.5. Sahm 35
3.6. Nasab 35
3.7. Al-Far'u 35
3.8. Al-Ashl 36
Alokasi Harta 37
1. Menetapkan Kepemilikan Harta 37
2. Pengurusan Jenazah 40
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
8
3. Hutang 41
4. Washiyat 43
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan 45
1. Rukun Waris 45
1.1. Al-Muwarits 45
1.2. Al-Warits 45
1.3. Harta Warisan 46
2. Syarat Waris 46
2.1. Meninggalnya Muwarrits 46
2.2. Hidupnya Ahli Waris 49
2.3. Ahli Waris Diketahui 50
3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris 50
3.1. Kerabat hakiki 50
3.2. Pernikahan 51
3.3. Al-Wala 51
Gugurnya Warisan 53
1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan 53
1.1. Pembunuhan 53
1.2. Perbedaan Agama 54
1.3. Budak 56
2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub 57
Penghalang Warisan (Al-Hujub) 59
1. Definisi 59
2. Macam-macam al-Hujub 60
3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman 61
4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman 62
Ashabul Furudh & Ashabah 63
1. Ashhabul Furudh 63
2. Ashabah 64
2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah 65
2.3. Macam-macam 'Ashabah 67
3.1. 'Ashabah bin nafs 67
3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs 68
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
9
Para Ahli Waris 71
1. Anak Laki-laki (‫)ابن‬ 74
1.1. Bagian 74
1.2. Menghijab 77
1.3. Dihijab oleh : 77
2. Anak Perempuan (‫)بنت‬ 77
2.1. Bagian 78
2.2. Menghijab 79
2.3. Dihijab Oleh : 79
3. Istri (‫)زوجة‬ 80
3.1. Bagian 80
3.2. Menghijab 81
3.3. Dihijab oleh 81
4. Suami 81
4.1. Bagian 82
4.2. Menghijab 82
4.3. Dihijab oleh 82
5. Ayah 83
5.1. Bagian 83
5.2. Menghijab 85
5.3. Dihijab oleh 86
6. Ibu 86
6.1. Bagian 86
6.2. Menghijab 88
6.3. Dihijab oleh 88
7. Kakek (‫أب‬ ‫)أب‬ 89
7.1. Bagian 89
7.2. Menghijab 91
7.3. Dihijab oleh 91
8. Nenek (‫أب‬ ‫)أم‬ 92
8.1. Bagian 92
8.2. Menghijab 92
8.3. Dihijab oleh 92
9. Saudara seayah-ibu (‫شقيق‬ ‫)أخ‬ 92
9.1. Bagian 92
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
10
9.2. Menghijab 93
9.3. Dihijab Oleh : 93
10. Saudari seayah-ibu 94
10.1. Bagian 94
11. Saudara seayah (‫ألب‬ ‫)أخ‬ 95
11.1. Bagian 95
11.2. Menghijab 96
11.3. Dihijab Oleh : 96
12. Saudari seayah (‫ألب‬ ‫)أخت‬ 97
10.1. Bagian 97
13. Keponakan : anak saudara seayah-ibu 98
14. Keponakan : anak saudara seayah 98
15. Paman : saudara ayah seayah-ibu 98
16. Paman : saudara ayah seayah 98
17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu 99
18. Sepupu : anak laki paman seayah 99
19. Cucu Laki-laki (‫ابن‬ ‫)ابن‬ 99
19.1. Bagian 99
19.2. Menghijab 100
19.3. Dihijab oleh : 101
20. Cucu Perempuan 101
21. Nenek Dari Ibu 101
22. Saudara/i Seibu 101
Cara Membagi Warisan 103
1. Langkah Pertama 103
1.1. Hutang 103
1.2. Wasiat 103
1.3. Biaya Pengurusan Jenazah 104
2. Langkah Kedua 104
2.1. Memilah 104
2.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab 105
3. Langkah Ketiga 107
Aul dan radd Error! Bookmark not defined.
1. Aul Error! Bookmark not defined.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
11
2. Radd Error! Bookmark not defined.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
13
Pengantar
5
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung.
Shalawat serta salam tercurah kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut dan
orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam
juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang
sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh
kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki
dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-
hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa
mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek,
ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah
atau seibu.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
14
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama
hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan
ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits
Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit
sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara
detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian
disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di
samping bahwa harta merupakan tonggak penegak
kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah sebuah catatan
kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para ulama
pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid
kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban
Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh
agama manapun yang pernah muncul di muka bumi.
Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat
menikmati warisan itu, salah satunya karena kendala bahasa.
Padahal tak satu pun ayat Al-Quran yang turun dari langit
kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil pun huruf keluar dari
lidah nabi kita SAW, kecuali dalam bahasa Arab.
Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa
Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk mendekatkan
umat ini dengan warisan agamanya. Tentu saja buku ini juga
diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks berbahasa
Arab, agar masih tersisa mana yang merupakan nash asli
dari agama ini.
Buku ini merupakan buku kedelapan dari rangkaian
silsilah pembahasan fiqih. Selain buku ini juga ada buku lain
terkait dengan masalah fiqih seperti fiqih thaharah, shalat,
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
15
puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah, nikah, waris,
hudud dan bab lainnya.
Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj
yang kami gunakan adalah manhaj muqaranah dan
wasathiyah. Kami tidak memberikan satu pendapat saja,
tapi berupaya memberikan beberapa pendapat bila memang
ada khilaf di antara para ulama tentang hukum-hukum
tertentu, dengan usaha untuk menampilkan juga hujjah
masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami serahkan kepada
para pembaca.
Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat
karena bukan sekedar dimengerti isinya, tetapi yang lebih
penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya ikhlas
karena Allah SWT.
Al-Faqir ilallah
Ahmad Sarwat, Lc
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
17
Bab Pertama
Urgensi dan Pensyariatan
1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris
Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah
sudah ada kiyai dan para ulama yang bisa menangani urusan
waris? Bukankah biasanya membagi waris menjadi tugas
dan wewenang Kantor Urusan Agama (KUA)?
Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita
ketika pertama kali melihat buku ini.
Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab
biasanya urusan pembagian waris memang menjadi urusan
para kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak KUA.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
18
Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan ini pakai sok
belajar ilmu waris?
Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa kita
yang awam ini perlu dan harus belajar ilmu waris. Ada
beberapa sebab dan alasan yang melatarbelakangi hal itu.
Antara lain :
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut
Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini
mayoritas muslim, namun kita tahu bahwa agama kita
diperangi lewat berbagai macam bentuk penggerogotan dari
dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan berbagai
produk hukum yang bukan hukum Islam, seperti hukum
barat dan hukum adat, lewat berbagai kurikulum
pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan nasional,
atau dari adat istiadat turun temurun.
Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi muslim
yang rajin shalat 5 waktu, fasih membaca Al-Quran, aktif
mengaji kesana-kemari, gemar menghidupkan amaliyah
sunnah, tetapi sama sekali tidak paham alias merasa asing
dengan hukum waris Islam.
Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini
merupakan kehancuran umat Islam yang sudah diprediksi
oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu.
Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan
perintah untuk mempelajari ilmu waris, sebab ilmu waris itu
setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah
SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang
pertama kali akan diangkat dari muka bumi.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
19
َ‫ع‬َ‫ن‬ََ‫ال‬َ‫ع‬َ‫ر‬َ‫ج‬َََ‫ق‬َ‫ال‬ََ‫ق‬َ‫ال‬ََ‫ر‬َ‫س‬َ‫ول‬ََ‫للا‬َََ‫ي‬َ‫َأ‬‫ا‬َ‫ب‬َ‫َه‬‫ا‬َ‫ر‬َ‫ي‬َ‫ر‬َ‫ة‬ََ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫َالف‬‫ا‬‫و‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬َ
َ‫و‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫و‬َ‫ه‬‫ا‬ََ‫ف‬َ‫إ‬َ‫ن‬َ‫ه‬ََ‫ن‬َ‫ص‬َ‫ف‬ََ‫الع‬َ‫ل‬َ‫م‬ََ‫و‬َ‫إ‬َ‫ن‬َ‫ه‬ََ‫ي‬َ‫ن‬َ‫س‬َ‫ىَو‬َ‫ه‬َ‫و‬ََ‫أ‬َ‫و‬َ‫ل‬ََ‫م‬َ‫اَي‬َ‫ن‬َ‫ز‬َ‫ع‬ََ‫م‬َ‫ن‬ََ‫أ‬َ‫م‬َ‫ت‬َ
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang.
Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku".
(HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW
َ‫ع‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫ب‬َ‫د‬ََ‫للا‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫م‬َ‫س‬َ‫ع‬َ‫ود‬َََ‫ق‬َ‫ال‬ََ‫ق‬َ‫ال‬ََ‫ر‬َ‫س‬َ‫ول‬ََ‫للا‬َََ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫اَالق‬‫و‬َ‫ر‬َ‫آن‬ََ‫و‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫وه‬َ
َ‫الن‬َ‫اس‬ََ‫و‬َ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫َالف‬‫ا‬‫و‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬ََ‫و‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫وه‬ََ‫الن‬َ‫اس‬ََ‫ف‬َ‫إ‬َ‫ن‬َ‫َام‬َ‫ر‬َ‫ؤ‬ََ‫م‬َ‫ق‬َ‫ب‬َ‫و‬َ‫ض‬ََ‫و‬َ‫إ‬َ‫ن‬ََ‫الع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ
َ‫س‬َ‫ي‬َ‫ق‬َ‫ب‬َ‫ض‬ََ‫و‬َ‫ت‬َ‫ظ‬َ‫ه‬َ‫ر‬ََ‫الف‬َ‫ت‬ََ‫ح‬َ‫ّت‬ََََ‫ت‬َ‫ل‬َ‫ف‬ََ‫ال‬َ‫ث‬َ‫ن‬َ‫ان‬ََ‫ف‬ََ‫الف‬َ‫ر‬َ‫ي‬َ‫ض‬َ‫ة‬ََ‫ل‬ََ‫ي‬َ‫د‬َ‫ان‬ََ‫م‬َ‫ن‬َ
َ‫ي‬َ‫ق‬َ‫ض‬َ‫يَب‬‫ا‬َ–َ‫اهَاحلاكم‬‫و‬‫ر‬َ
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-
orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-
orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan
ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai
ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun
tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad-
Daruquthuny dan Al-Hakim)1
1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran
Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu
waris, khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga
secara khusus memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu
1
Al-Mustadrak ala Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman
328
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
20
waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari
ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.
َ‫ع‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫م‬َ‫ر‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫ال‬َ‫ط‬َ‫اب‬َََ‫أ‬َ‫ن‬َ‫ه‬َََ‫ك‬َ‫ان‬ََ‫ي‬َ‫ق‬َ‫ول‬َ:َ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫اَالف‬‫و‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬َََ‫ك‬َ‫م‬َ‫اَت‬َ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫و‬َ‫ن‬َ
َ‫الق‬َ‫ر‬َ‫آن‬َ.
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata,
"Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-
Quran". 2
Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris
ini sangat penting bagi umat Islam. Karena disejajarkan
dengan belajar Al-Quran.
1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga
Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga
adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang terjadi,
umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota
keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum waris
Islam.
Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi Islam
ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah satunya
adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika
orang tua wafat, anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris
itu saling berebut harta disebabkan karena parameter yang
mereka gunakan saling berbeda.
Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum waris
versi adat. Yang lainnya mau versi barat. Sebagiannya mau
pakai hukum Islam.
Seandainya orang tua mereka telah mengjaari dan
mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam,
2
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
21
niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab
selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan
pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu
agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris
sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang
masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama
adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum
waris Islam.
Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga
yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah
mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda,
dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal merea
sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa nanti.
1.5. Ancaman Akhirat
Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah
mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai
dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara
sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah
ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka.
Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa
keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam
neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis
siksaan yang menghinakan.
Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam
Al-Quran Al-Kariem.
َ‫ص‬‫ع‬‫َي‬ ‫ن‬‫م‬‫و‬‫ا‬ً‫د‬‫ال‬‫َخ‬ ‫ا‬ً‫ار‬‫َن‬ ‫ه‬‫ل‬‫خ‬‫د‬‫َي‬ ‫ه‬‫ود‬‫د‬‫َح‬ ‫د‬‫ع‬‫ت‬‫ي‬‫َو‬ ‫ه‬‫ل‬‫و‬‫س‬‫ر‬‫َو‬ ‫اّلل‬َ‫ه‬‫ل‬‫َو‬ ‫ا‬‫يه‬‫ف‬
َ‫ي‬‫ه‬ُّ‫َم‬‫اب‬‫ذ‬‫ع‬َ
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
22
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa'
: 13-14)
Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa
membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah
ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar.
Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api
neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang
tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan
Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya,
karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di
dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan
yang menghinakan.
Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan
buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan
sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini
menjadi peringatan buat mereka yang masih saja
mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman. Jangan
sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi
min zalik.
2. Pensyariatan
Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam syariah
Islam ditetapkan berdasarkan kitabullah dan sunnah
Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.
2.1. Dalil Quran
Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail
menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum
Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu ayat
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
23
11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal
ayat terakhir, yaitu ayat 75.
a. Ayat waris untuk anak
َ‫َاّلل‬‫م‬‫يك‬‫وص‬‫ي‬َ‫ي‬‫ي‬‫نث‬‫َال‬‫ظ‬‫َح‬‫ل‬‫ث‬‫َم‬‫ر‬‫ك‬‫لذ‬‫َل‬‫م‬‫ك‬‫د‬‫ل‬‫و‬‫َأ‬‫ف‬ََ‫ن‬‫نَك‬‫إ‬‫ف‬َ‫ق‬‫و‬‫اءَف‬‫س‬‫ن‬
َ‫ت‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫َو‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫اَم‬‫ث‬‫ل‬‫َث‬‫ن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫ي‬‫ت‬‫ن‬‫اث‬َ‫ف‬‫ص‬‫اَالن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬ً‫ة‬‫د‬‫اح‬‫و‬َ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.
(QS. An-Nisa' : 11)
b. Ayat waris untuk orang tua
‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬‫َم‬‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫َل‬‫ه‬‫ي‬‫و‬‫ب‬‫ل‬‫و‬َ‫ن‬‫ك‬‫َي‬‫نََّل‬‫إ‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫َإ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫س‬‫د‬ُّ‫الس‬
َ‫ه‬‫ل‬َ‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫َف‬‫ث‬‫ُّل‬‫َالث‬‫ه‬‫م‬‫أل‬‫َف‬‫اه‬‫و‬‫ب‬‫َأ‬‫ه‬‫ث‬‫ر‬‫و‬‫َو‬‫د‬‫ل‬‫و‬َ‫ن‬‫َم‬‫س‬‫د‬ُّ‫َالس‬‫ه‬‫م‬‫أل‬‫َف‬‫ة‬‫و‬‫خ‬‫إ‬
َ‫و‬‫اَأ‬‫يَب‬‫وص‬‫َي‬‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫ب‬َ‫َآب‬‫ن‬‫ي‬‫د‬َ‫ب‬‫ر‬‫ق‬‫َأ‬‫م‬‫ه‬ُّ‫ي‬‫َأ‬‫ون‬‫ر‬‫د‬‫َت‬‫َل‬‫م‬‫ك‬‫بناؤ‬‫أ‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫آؤ‬
َ‫م‬‫ك‬‫ل‬‫يما‬‫ل‬‫َع‬‫ان‬‫َك‬‫َاّلل‬‫ن‬‫َإ‬‫َاّلل‬‫ن‬‫َم‬ً‫ة‬‫يض‬‫ر‬‫َف‬ً‫ا‬‫ع‬‫ف‬‫ن‬‫ا‬ً‫يم‬‫ك‬‫ح‬َ
Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
24
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)
c. Ayat waris buat suami dan istri
.َ‫ف‬‫ص‬‫َن‬‫م‬‫ك‬‫ل‬‫و‬َ‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ن‬‫نََّل‬‫ك‬‫َي‬‫نََّل‬‫َإ‬‫م‬‫ك‬‫اج‬‫و‬‫ز‬‫َأ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫م‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ن‬‫َّل‬
َ‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫نَب‬‫َم‬‫ن‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫ع‬‫ب‬ُّ‫َالر‬‫م‬‫ك‬‫ل‬‫ف‬‫ا‬‫َب‬‫ي‬‫وص‬‫ي‬ََ‫ا‬‫َِم‬‫ع‬‫ب‬ُّ‫َالر‬‫ن‬‫َّل‬‫َو‬‫ن‬‫ي‬‫َد‬‫و‬‫أ‬
‫ن‬‫َإ‬‫م‬‫ت‬‫ك‬‫ر‬‫ت‬َ‫ن‬‫ُّم‬‫ث‬‫َال‬‫ن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫نَل‬‫ك‬‫َي‬‫َّل‬َ‫م‬‫ت‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫ِم‬
َ‫ن‬‫ي‬‫َد‬‫و‬‫اَأ‬‫َب‬‫ون‬‫وص‬‫َت‬‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫نَب‬‫م‬َ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-
Nisa' : 12)
d. Ayat waris Kalalah
Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah
dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau
perempuan.
‫ن‬‫إ‬‫و‬َ‫ت‬‫خ‬‫َأ‬‫و‬‫َأ‬‫خ‬‫َأ‬‫ه‬‫ل‬‫َو‬‫ة‬‫أ‬‫ر‬‫َام‬‫و‬‫َأ‬ً‫ة‬‫ل‬‫ال‬‫َك‬‫ث‬‫ور‬‫َي‬‫ل‬‫ج‬‫َر‬‫ان‬‫ك‬َ‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫ل‬‫ف‬
َ‫م‬‫ن‬‫َم‬‫ر‬‫ث‬‫ك‬‫َأ‬‫ا‬‫و‬‫ان‬‫َك‬‫ن‬‫إ‬‫َف‬‫س‬‫د‬ُّ‫َالس‬‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬َ‫ن‬‫َم‬‫ث‬‫ُّل‬‫َالث‬‫َف‬‫اء‬‫ك‬‫ر‬‫َش‬‫م‬‫ه‬‫َف‬‫ك‬‫ل‬‫ذ‬
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
25
‫آ‬‫ىَب‬‫وص‬‫َي‬‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫ب‬َ‫يم‬‫ل‬‫َع‬‫اّلل‬‫َو‬‫َاّلل‬‫ن‬‫َم‬ً‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫آر‬‫ض‬‫َم‬‫ر‬‫ي‬‫َغ‬‫ن‬‫ي‬‫َد‬‫و‬‫أ‬
َ‫يم‬‫ل‬‫ح‬َ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (QS. An-Nisa'
: 12)
e. Ayat waris Kalalah
Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan saudara perempuan.
َ‫ك‬‫ون‬‫ت‬‫ف‬‫ت‬‫س‬‫ي‬َ‫ك‬‫َال‬‫َف‬‫م‬‫يك‬‫ت‬‫ف‬‫َي‬‫َاّلل‬‫ل‬‫ق‬َ‫ه‬‫َل‬‫س‬‫ي‬‫َل‬‫ك‬‫ل‬‫َه‬‫ؤ‬‫ر‬‫َام‬‫ن‬‫َإ‬‫ة‬‫ل‬‫ال‬َ‫ه‬‫ل‬‫َو‬‫د‬‫ل‬‫و‬
َ‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َم‬‫ف‬‫ص‬‫اَن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫ت‬‫خ‬‫أ‬َ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
26
َ‫اب‬‫ت‬‫َك‬‫َف‬‫ض‬‫ع‬‫ب‬‫َب‬‫َل‬‫و‬‫َأ‬‫م‬‫ه‬‫ض‬‫ع‬‫َب‬‫ام‬‫ح‬‫ر‬‫َال‬‫ا‬‫و‬‫ل‬‫و‬‫أ‬‫و‬َ‫ء‬‫ي‬‫َش‬‫ل‬‫ك‬‫َب‬‫َاّلل‬‫ن‬‫َإ‬‫اّلل‬
َ‫يم‬‫ل‬‫ع‬َ
Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam
kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)
2.2. Dalil Sunnah
Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan
pensyariatan hukum waris buat umat Islam. Di antaranya
adalah hadits-hadits berikut ini :
َ‫ن‬‫ع‬َ‫اب‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫ب‬َ‫اس‬َََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫أ‬َ‫حل‬َ‫ق‬‫ا‬‫و‬ََ‫الف‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬ََ‫ب‬َ‫أ‬َ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ه‬‫ا‬ََ‫ف‬َ‫م‬‫ا‬ََ‫ب‬َ‫ق‬َ‫ي‬َ
َ‫ف‬ََ‫أل‬َ‫و‬َ‫َل‬ََ‫ر‬َ‫ج‬َ‫ل‬ََ‫ذ‬َ‫ك‬‫ر‬.َ
Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabdam"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada
yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang
paling utama. " (HR Bukhari)
َ‫ن‬‫ع‬َ‫أ‬َ‫س‬َ‫ام‬َ‫ة‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫ز‬َ‫ي‬َ‫د‬ََََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫ل‬ََ‫ي‬َ‫ر‬َ‫ث‬ََ‫ال‬َ‫س‬َ‫ل‬َ‫م‬ََ‫الكا‬َ‫ف‬َ‫ر‬ََ‫و‬َ‫ل‬َ
َ‫الك‬َ‫اف‬َ‫ر‬ََ‫ال‬َ‫س‬َ‫ل‬َ‫م‬َ
Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat
warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat
warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-
Nasai)3
3
Nailul Authar jilid 6 halaman 55
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
27
َ‫ن‬‫ع‬َ‫ع‬َ‫ب‬َ‫د‬ََ‫للا‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫م‬‫رو‬َََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫ل‬ََ‫ي‬َ‫ت‬َ‫و‬َ‫ار‬َ‫ث‬ََ‫أ‬َ‫ه‬َ‫ل‬ََ‫م‬َ‫ل‬َ‫ت‬َ‫ي‬َ
َ‫ش‬َ‫ّت‬َ
Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Dua orang yang berbeda agama
tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu
Majah)
َ‫ن‬‫ع‬َ‫ع‬َ‫ب‬َ‫اد‬َ‫ة‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫الص‬َ‫ام‬َ‫ت‬َََ‫َأن‬‫ال‬‫ق‬ََ‫الن‬َ‫ب‬َََ‫ق‬َ‫ض‬‫ى‬ََ‫ل‬َ‫ل‬َ‫ج‬َ‫د‬َ‫ت‬َ‫ي‬ََ‫م‬َ‫ن‬ََ‫ال‬َ‫م‬َ‫ا‬‫ري‬َ‫ث‬َ
َ‫ب‬َُّ‫الس‬َ‫د‬َ‫س‬ََ‫ب‬َ‫ي‬َ‫ن‬َ‫ه‬َ‫م‬‫ا‬َ
Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata
bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat dua orang nenek
yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud dan
Ibnu Majah)
‫َا‬‫ن‬‫ع‬َ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫م‬َ‫س‬َ‫ع‬َ‫ود‬َََ‫ق‬َ‫ض‬‫ى‬ََ‫الن‬َُّ‫ب‬َََ‫ل‬َ‫ال‬َ‫ب‬َ‫ن‬َ‫ة‬ََ‫الن‬َ‫ص‬َ‫ف‬ََ‫و‬َ‫ل‬َ‫ب‬َ‫ن‬َ‫ة‬ََ‫ال‬َ‫ب‬َ‫ن‬ََُّ‫الس‬َ‫د‬َ‫س‬َ
َ‫ت‬َ‫ك‬َ‫م‬َ‫ل‬ًَ‫ة‬ََ‫ل‬َُّ‫لث‬َ‫ل‬َ‫ث‬َ‫ي‬ََ‫و‬َ‫م‬‫ا‬ََ‫ب‬َ‫ق‬َ‫ي‬ََ‫ف‬َ‫ل‬َ‫أل‬َ‫خ‬ََ‫ت‬َ
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah
SAW menetapkan bagi anak tunggal perempuan setengah
bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki seperenam
bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat
saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)4
2.3. Dalil Ijma'
Para shahabat, tabiin dan para ulama yang mewarisi nabi
telah berijma' tentang pensyariatan hukum waris ini.
4
Nailul Authar jilid 6 halaman 58
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
29
Bab Kedua
Pengertian Waris
1. Definisi
1.1. Bahasa
Al-miirats ( ‫رثا‬‫ر‬‫)المي‬ dalam bahasa Arab adalah bentuk
mashdar (infinitif) dari kata ( ‫و‬‫ر‬‫ر‬‫ر‬‫ي‬‫ث‬‫إ‬‫ر‬‫ر‬‫ر‬‫ث‬‫و‬ ‫ا‬‫م‬‫ي‬‫ث‬‫ر‬‫ر‬‫اث‬‫ا‬ ) waritsa-
yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah
'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',
atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya
pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup
harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
30
banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah
saw.. Di antaranya Allah berfirman:
َ‫ث‬‫ر‬‫و‬‫و‬َ‫ود‬‫او‬‫َد‬‫ان‬‫م‬‫ي‬‫ل‬‫س‬َ
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
َ‫ي‬‫ث‬‫ار‬‫و‬‫َال‬‫ن‬‫اََن‬‫ن‬‫ك‬‫و‬َ
"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
ََ‫اء‬‫م‬‫ل‬‫الع‬َ‫ر‬‫و‬َ‫ث‬َ‫اء‬‫ي‬‫ب‬‫ن‬‫َال‬‫ة‬
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
1.2. Pengertian syariah
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal
para ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syar'i.
2. Waris, Hibah dan Wasiat
Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan
dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat.
Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali
kesulitan saat membedakannya.
Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel
seperti berikut ini.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
31
WARIS HIBAH WASIAT
Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat
Penerima Ahli waris ahli waris &
bukan ahli waris
bukan ahli waris
Nilai Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3
Hukum wajib Sunnah Sunnah
2.1. Waktu
Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada
para ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar
masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya
(muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian
waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal dunia.
Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki
harta itu.
Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya
dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau
hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak
menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan
washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih
hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat
dia meninggal dunia.
2.2. Penerima
Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang
terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab
hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan
kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang
bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
32
sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka
haram baginya menerima lewat jalur washiat.
Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima
oleh ahli waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh
diserahkan kepada siapa saja.
2.3. Nilai
Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada
ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di
dalam ilmu faraidh.
Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya,
seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Ada juga para
ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu menerima
warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para
ashabul furudh. Dan ada juga yang menerima lewat jalur
furudh dan ashabah sekaligus.
Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan
maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan.
Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum
sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT
untuk membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat
lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang diharamkan.
Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3,
maka kelebihannya itu harus dibatalkan.
2.4. Hukum
Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan
sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu
kewajiban atas harta.
Sedangkan memberikan washiyat hukumnya hanya
sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya
sunnah.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
33
3. Istilah-istilah dalam ilmu waris
Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas,
dimana istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah yang
umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang akan
seringkali muncul dalam mata kuliah ini.
3.1. Tarikah
Tarikah, (‫رة‬‫ر‬‫)تثك‬ kadang dibaca tirkah, adalah segala
sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang)
atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai
peninggalan.
Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok
hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang
piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang
mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar
yang belum diberikan kepada istrinya).
3.2. Fardh
Fardh ( ‫رث‬‫ر‬‫)ف‬ adalah bagian harta yang didapat oleh
seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh nash
Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu adalah
bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3.
Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah
sesuai bilangan fardh.
Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya
sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya,
apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4
bagian bila suaminya tidak punya keturunan.
3.3. Ashhabul Furudh.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
34
Ashabul furudh ( ‫الفثو‬ ‫)أصحاب‬ sesuai dengan namanya,
berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang
mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang
punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya.
Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan
lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh
nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang
istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar
harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya
suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta
suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat
1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya,
sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu
1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri.
Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari
harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak, suami
mendapat 1/2 dari harta istri.
Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang
sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta
muwarristnya.
3.4. Ashabah
Istilah ashabaha (‫)عصرةة‬ berposisi sebagai lawan fardh,
yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris, yang
besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu
hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh
ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh.
Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen.
Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli
waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
35
bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka
sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris
ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah
ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta
suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai
ashabah, atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu
1 – 1/8 = 7/8.
3.5. Sahm
Sahm ( ‫)سرم‬ adalah istilah untuk menyebut bagian harta
yang diberikan kepada setiap ahli waris yang berasal dari
asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka.
Misalnya,
3.6. Nasab
Nasab ( ‫نسر‬‫ب‬ ) adalah hubungan seseorang secara darah,
baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek
kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut
abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah
(keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak
dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut
bunuwwah.
3.7. Al-Far'u
Istilah ( ‫)الفرث‬ bila kita temukan di dalam ilmu waris,
maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari
almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak
dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila
disebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki dan
anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut ke
bawahnya.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
36
3.8. Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl ( ‫)األصر‬ adalah ayah
kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah kandung
atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek). Dan kakek
atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini
disebut juga al-jaddu ash-shahih.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
37
Bab Ketiga
Alokasi Harta
Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan
meninggalkan sejumlah harta, tidak semua harta
peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada
sejumlah pos pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih
dahulu. Tentu saja bila pos-pos pengeluaran itu memang
ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum
waris.
1. Menetapkan Kepemilikan Harta
Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di kitab-
kitab fiqih klasik, namun pada kenyataannya, terutama di
negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari semua urusan
pembagian warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah
memilah dan memilih mana yang merupakan harta
almarhum dan mana yang harta milik orang lain, tetapi
tercampur di dalam harta almarhum.
Mengapa demikian?
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
38
Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta yang
dibagi waris itu harus harta yang 100% dimiliki oleh
almarhum yang meninggal dunia. Padahal kenyataan yang
sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi milik
bersama, baik antara suami istri atau pun dengan pihak lain.
Ada beberapa contoh kasus yang sering terjadi dimana
di dalam harta seseorang masih tercampur hak milik orang
lain, diantaranya :
a. Usaha Bersama Suami Istri
Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun
usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya
mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan
usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan
harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua. Ketika
keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan,
lantran kedua suami istri.
Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia.
Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta berupa
usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami tentu
tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu.
Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak.
Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas
harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.
Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang status
kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar yang
menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri,
seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.
Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka
berapa besar saham istri harus ditetapkan secara jelas. Dan
kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus
ditetapkan secara jelas juga.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
39
Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik
istri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami
tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.
b. Suami Memberi Hadiah Kepada Istri
Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan
anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri.
Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak
mendapat harta warisan berupa kolam pemancingan dari
peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak tidak
punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum tidak
punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang
tidak lain adalah adik-adik almarhum.
Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah menjanda,
kolam pancing ikan yang diributkan itu pada dasarnya
bukan asset harta milik suaminya yang sudah almarhum.
Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan
kolam pancing itu kepada dirinya sebagai hadiah ulang
tahun.
Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama
istri. Maka harta itu tidak bisa dibagi waris, karena statusnya
bukan milik almarhum.
Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing
pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan
menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat bukti
kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa
dilakukan.
c. Pinjam atau Beli
Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada
kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak
sawah digadaikan kepada sang kakak.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
40
Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang
pinjaman ini tidak dikembalikan. Otomatis sawah sebagai
jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.
Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak
dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan.
Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli
waris meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik
mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka,
karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu
semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai
jaminan hutang.
Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan
bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka,
lantaran utang belum pernah dikembalikan.
Anak keturunan si adik akhirnya bersedia
mengembalikan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya
hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya
senilai itu saja. Karuan saja keluarga sang kakak meradang,
karena apa artinya uang segitu di zaman sekarang ini.
Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi
haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu
dikembalikan seharga biaya ONH sekarang, yaitu sekitar
30-an juta.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah
masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih
dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.
2. Pengurusan Jenazah
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris
hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan
tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
41
tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit,
sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya
memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan
sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya
yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah
bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda
tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
3. Hutang
Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung
pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli
warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih
dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga
ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang
bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang
tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum
membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau
belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama
ada sedikit perbedaan pandangan.
Al-Hanafiyah
Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli
warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli
warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan
(harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
42
Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut
merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika
seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka,
pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan
keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh
orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun
kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang
sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada
hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika
masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah
SWT. Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit
tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya.
Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli
waris untuk menunaikannya.
Jumhur Ulama
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib
untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan
bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama
manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan
yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah
mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta
peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Asy-syafi'iyah
Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut
wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan
dengan hak sesama hamba.
Al-Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang
berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli
warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
43
utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama
hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar
mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba
daripada utang kepada Allah.
Al-Hanabilah
Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang
kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah.
Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum
seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap
ahli waris.
4. Washiyat
Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak
melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut
diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak
ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya.
Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah
sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan
pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar
utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari
jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak
wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli
warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika
menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada
waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta
yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "...
Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila
engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
44
Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris
dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-
Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada :
 ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah
bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
 kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang
berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah
ashhabul furudh menerima bagian).
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan
daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan
utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru
kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu,
didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung
hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-
benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang
menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan
menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang
piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan
penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
45
Bab Keempat
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan
1. Rukun Waris
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus
terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini
tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al-
mauruts. Lebih rincinya :
1.1. Al-Muwarits
Al-Muwarrits ( ‫ال‬‫ث‬‫ر‬‫ررر‬‫م‬ ) sering diterjemahkan sebagai
pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan.
Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang
meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli
waris.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan
milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara
bukanlah termasuk pewaris.
1.2. Al-Warits
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
46
Al-Warits ( ‫ار‬‫رر‬‫ر‬‫)ال‬ sering diterjemahkan sebagai ahli
waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta
peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab)
atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
1.3. Harta Warisan
Harta warits ( ‫و‬‫ر‬‫رررر‬‫)الم‬ adalah benda atau hak
kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah,
dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris,
tentu saja tidak boleh diwariskan.
Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami
meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu
untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang
milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris.
Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena
bukan termasuk harta warisan.
2. Syarat Waris
Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi
untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari syarat-
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi
pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:
2.1. Meninggalnya Muwarrits
Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama
ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal
secara hukum.
a. Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis
menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa,
dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
47
b. Meninggal secara hukum
Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh
hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya
tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang,
atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal
dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan
kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah
meninggal dunia.
Bagi Waris Sebelum Meninggal
Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat,
yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya
meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang
membagi-bagi.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli
waris mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits
belum lagi meninggal dunia.
Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta
yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia
masih hidup segar bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa
pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia
terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin seseorang
membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada
keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang
terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan hibah
itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun
pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya
kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
48
Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu
sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah
menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada
hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu
sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila
kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak
berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah
berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk
mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu begitu
dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si
anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah
itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain.
Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang
tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk
memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya
kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya
washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak
tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya
(pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada
washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu dilakukan juga,
hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu
harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya
hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya
warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan
pembagiannya telah baku sesuai dengan nash Al-Quran dan
As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai
pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
49
warisan untuk para ahli warisnya. Semua harus diserahkan
kepada hukum warisan, setelah dia meninggal dunia.
2.2. Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada
waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan
menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki
ketika pewaris meninggal dunia.
Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari
ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu
telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak
mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka.
Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari
kakek.
Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan.
Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek
berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan
menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan
warisan melainkan dengan cara washiat.
Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para
ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan kepada
saudara ipar atau kemenakan mereka.
Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih
hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada
cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada
saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak
mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang
berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --
atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
50
mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka
tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika
masih hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti
orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan
kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha
menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak
dapat saling mewarisi.
2.3. Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk
jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri,
kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui
dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada
masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris
perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan
jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa
seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus
dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara
seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing
mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima
warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena
'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan
warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan
hak waris:
3.1. Kerabat hakiki
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
51
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu,
anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya
seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila
sang ayah meninggal dunia.
Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang
telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua,
lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang
wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak
mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek
lainnya.
3.2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara
seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau
tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak
mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan
mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya
pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan,
meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang
menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya
meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal
dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski
mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil
atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan
hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka
pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara
suami dan istri.
3.3. Al-Wala
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
52
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga
wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab
adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan
seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa
kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai
manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan
kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan,
bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik
adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali
pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah
tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban
manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
53
Bab Kelima
Gugurnya Warisan
Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak
mendapat warisan, ada juga hal-hal yang membuat
seseorang yang seharusnya mendapat warisan, namun
karena satu dan lain hal, haknya menjadi gugur. Sehingga
orang tersebut tidak jadi menerima warisan.
1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan
Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada
tiga:
1.1. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya
seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya
untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak tidak lagi
berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang
dibunuhnya. "
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
54
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan
yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus
dijadikan sebagai kaidah:
‫منَتعجلَبشيءَعوقبَحبرمانه‬
Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum
waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya.
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan
jenis pembunuhan.
 Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang
dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis
pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
 Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan
yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat
menggugurkan hak waris.
 Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan
dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi
penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan
kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam,
atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi
lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati
pada umumnya.
 Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan
yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah
setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya
diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat.
Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
1.2. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi
oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
55
anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari
ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak
beragama Islam.
Dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris,
tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak
mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal
ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
َ‫ر‬‫اف‬‫َالك‬‫ل‬‫َو‬‫ر‬‫اف‬‫َالك‬‫م‬‫ل‬‫س‬‫َال‬‫ث‬‫ر‬‫َي‬ً‫ل‬ََ‫م‬‫ل‬‫س‬‫ال‬"
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan
tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan
Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat
imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada
pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa
seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak
boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka
adalah bahwa Al-islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak
ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi
sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang
telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad.
Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad
termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya
orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan
pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah
dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
56
seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah
murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur
ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka,
orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam
sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir.
Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam
haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat
saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim
dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan
kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan:
"Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan
kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan
dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya.
Nampaknya pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih
(kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta
warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan
kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita
temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf
nasional ataupun internasional.
1.3. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak
mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya.
Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung
menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun
(budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan
merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak
yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
57
tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah
pihak).
Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak
untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka
tidak mempunyai hak milik.
2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub
Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-
mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan
sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu,
ada baiknya juga dijelaskan perbedaan makna antara kedua
istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari
ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti
membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal
dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah
hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya
ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat
kedudukannya.
Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya
ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung.
Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan
bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih
dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah.
Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak
memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung
pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini
disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya
sertakan contoh kasus dari keduanya.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
58
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan
seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini,
anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya
sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta
yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak.
Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada,
menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian
disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja
anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri
seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak
mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang
mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang
ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu,
serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak
mendapatkan warisan dikarenakan ter-mahjub oleh adanya
ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka,
yaitu ayah pewaris.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
59
Bab Keenam
Penghalang Warisan (Al-Hujub)
1. Definisi
Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'.
Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
َ‫ال‬‫ك‬ََ‫م‬‫ه‬‫ن‬‫إ‬َ‫ون‬‫وب‬‫ج‬‫ح‬‫م‬‫َل‬‫ذ‬‫ئ‬‫م‬‫و‬‫َي‬‫م‬‫ب‬‫نَر‬‫ع‬
Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-
benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka" (QS. Al-
Muthaffifin : 15)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang
benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan
mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib
yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu', disebabkan ia
menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa
izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
60
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah
hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka
makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan
al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan
warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama
faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima
waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja
disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk
menerimanya.
2. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi
(sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang
lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub
tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara
keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya
atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau
terhalang.
Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya
hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang
lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi
terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuQShan. Hujub
hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak
waris seseorang.
Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena
adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya
anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
61
saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek
karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu
penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk
mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya,
penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya
mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan
pewaris mempunyai keturunan (anak).
Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang
suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi
seperempat, sang istri dari seperempat menjadi
seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan
seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid
apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya,
maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan
hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub
nuQShan.
3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena
hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan
tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut
adalah :
1. Anak kandung laki-laki
2. Anak kandung perempuan
3. Ayah
4. Ibu
5. Suami
6. Istri
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
62
Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau
bahkan keenamnya, maka mereka ini pasti mendapat
warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka dengan
almarhum yang wafat.
4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Ada 16 orang yang dapat terkena hujub hirman ada enam
belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita.
Mereka ini mungkin mendapat warisan tapi mungkin juga
terhalang sehingga tidak mendapatkan warisan.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
63
Bab Kedelapan
Ashabul Furudh & Ashabah
1. Ashhabul Furudh
Ashabul furudh adalah para ahli waris yang nilai haknya
telah ditetapkan secara langsung dan mendapatkan harta
waris terlebih dahulu, sebelum para ashabah.
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada
enam macam, yaitu :
 setengah (1/2)
 seperempat (1/4)
 seperdelapan (1/8)
 dua per tiga (2/3)
 sepertiga (1/3)
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
64
 seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa
saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan
bagian yang berhak ia terima.
2. Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat
seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan
mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan
melindungi.
Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata
'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat.
Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali
digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:
َ‫ن‬‫ئ‬‫َل‬‫ا‬‫و‬‫ال‬‫ق‬‫ا‬ً‫ذ‬‫اَإ‬‫ن‬‫َإ‬‫ة‬‫ب‬‫ص‬‫َع‬‫ن‬‫َن‬‫َو‬‫ب‬‫ئ‬‫َالذ‬‫ه‬‫ل‬‫ك‬‫أ‬َ‫ون‬‫ر‬‫اس‬‫ل‬َ
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang
kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian
adalah orang-orang yang merugi.'" (QS. Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan
'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan
menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para
fuqaha ialah : ahli waris yang tidak disebutkan
banyaknya bagiannya dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan
anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-
laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah).
Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari
pihak ayah.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
65
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan
ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena
ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima
seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh
menerima dan mengambil bagian masing-masing.
2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak
mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-
Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :
‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬‫َم‬‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫َل‬‫ه‬‫ي‬‫و‬‫ب‬‫ل‬‫و‬َ‫ن‬‫ك‬‫َي‬‫نََّل‬‫إ‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫َإ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫س‬‫د‬ُّ‫الس‬
َ‫ه‬‫ل‬َ‫ث‬‫ُّل‬‫َالث‬‫ه‬‫م‬‫أل‬‫َف‬‫اه‬‫و‬‫ب‬‫َأ‬‫ه‬‫ث‬‫ر‬‫و‬‫َو‬‫د‬‫ل‬‫و‬َ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua
(ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam
(1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila
pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta
peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris
tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian
sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan
berapa bagian ayah.
Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil
bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan
demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah :
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
66
َ‫ه‬‫َل‬‫س‬‫ي‬‫َل‬‫ك‬‫ل‬‫َه‬‫ؤ‬‫ر‬‫َام‬‫ن‬‫إ‬َ‫آ‬‫ه‬‫ث‬‫ر‬‫َي‬‫و‬‫ه‬‫َو‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َم‬‫ف‬‫ص‬‫اَن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫ت‬‫خ‬‫َأ‬‫ه‬‫ل‬‫َو‬‫د‬‫ل‬‫و‬
‫ن‬‫إ‬َ‫د‬‫ل‬‫اَو‬‫نََّل‬‫ك‬‫َي‬‫َّل‬َ
Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An-
Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung.
Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan
menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan
yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi
isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya.
Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang
disabdakan Rasulullah saw.:
َ‫ن‬‫ع‬َ‫اب‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫ب‬َ‫اس‬َََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫أ‬َ‫حل‬َ‫ق‬‫ا‬‫و‬ََ‫الف‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬ََ‫ب‬َ‫أ‬َ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ه‬‫ا‬ََ‫ف‬َ‫م‬‫ا‬ََ‫ب‬َ‫ق‬َ‫ي‬َ
َ‫ف‬ََ‫أل‬َ‫و‬َ‫َل‬ََ‫ر‬َ‫ج‬َ‫ل‬ََ‫ذ‬َ‫ك‬‫ر‬.َ
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak,
dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. "
(HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar
memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih
tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang
paling utama dari 'ashabah.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
67
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata
yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar"
setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas
menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham,
jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang
dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai
seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah
rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan
kata "dzakar".
2.3. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena
nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis
'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak.
Oleh sebab itu, seorang
tuan (pemilik budak)
dapat menjadi ahli waris
bekas budak yang
dimerdekakannya
apabila budak tersebut
tidak mempunyai
keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur
wanita),
 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)
 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama
dengan yang lain).
3.1. 'Ashabah bin nafs
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila lafazh
'ashabah disebutkan tanpa diikuti
kata lainnya (tanpa dibarengi bil
ghair atau ma'al ghair), maka yang
dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
68
'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada
pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat
arah, yaitu:
1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak
laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang
pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak,
ayah dari kakak, dan seterusnya.
3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-
laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan
saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara
laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas
pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk
keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun
saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah
disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah)
kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka,
dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya
sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih
kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada
arah saudara.
3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi
mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya
sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal
(sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
69
dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada.
Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari
ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa
harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila
setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak
ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat
bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan
suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki
seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara
perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara
seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh
telah menghabiskannya.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
71
Bab Ketujuh
Para Ahli Waris
Salah satu kendala terbesar dalam mengerti dan
menghafal siapa saja ahli waris adalah tidak adanya diagram
atau struktur keluarga (family chart).
Apalagi ditambah dengan penyebutan yang relatif antara
satu ahli waris dengan yang lainnya. Seorang ahli waris bisa
saja dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya. Tapi dalam
waktu yang sama, dia adalah 'anak' dari seseorang. Bahkan
dia juga seorang 'kakek', atau 'paman', 'saudara',
'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan begitulah
seterusnya.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
72
Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam memahami
duduk masalah. Maka dengan bantuan diagram struktur
keluarga ini, kita akan dimudahkan.
Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan dalam bahasa
Indonesia sering tidak baku. Katakanlah sebagai contoh,
akh li ab wa li um (‫شرقيق‬ ‫,)أخ‬ sering kita terjemahkan menjadi
saudara kandung. Sebagian orang memahami istilah saudara
kandung adalah saudara yang sama-sama satu kandungan
ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda. Dan itu adalah
saudara seibu (‫ألم‬ ‫.)أخ‬
Untuk itu diagram ini selain berbahasa Indonesia, juga
dilengkapi juga dengan istilah dalam bahasa Arab aslinya.
Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor ahli waris,
yang sepenuhnya merupakan ijtihad penulis sendiri. Sekedar
untuk memastikan identitas seorang ahli waris, agar tidak
tertukar-tukar penyebutannya dengan ahli waris yang lain.
Kira-kira seperti id number kalau dalam sistem database.
Selain itu, diagram ini juga dilengkapi dengan daftar
orang-orang yang terhijab oleh seorang ahli waris. Sehingga
dengan mudah kita bisa memastikan siapa saja dari mereka
yang terhijab, cukup dengan sekali melihat bagan.
Terakhir, diagram ini juga dilengkapi dengan bagian-
bagian yang mungkin akan bisa diterima oleh seorang ahli
waris.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
73
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
74
1. Anak Laki-laki (‫)ابن‬
Kita urutkan pada nomor satu dalam daftar struktur
keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat kedudukan anak
laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris yang
lain. Untuk seterusnya agar memudahkan, kita tinggal
menggunakan nomor urut satu sebagai id buat anak laki-
laki.
1.1. Bagian
 Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali bagian anak
perempuan.
Seorang anak laki-laki mendapat warisan dengan cara
ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli
waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak
pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Terkadang sisanya besar, terkadang sisanya kecil. Bahkan
bisa saja sisanya sama dengan seluruh harta, misalnya
karena almarhum tidak punya ahli waris lain selain anak
laki-laki. Tetapi seorang anak laki-laki tidak mungkin tidak
kebagian harta waris.
Akan lebih tergambar kalau kita masukkan ke dalam
contoh-contoh yang nyata.
Contoh Pertama :
Seseorang meninggal dunia dengan nilai total warisan
sebesar 10 milyar, tanpa memiliki istri atau anak
perempuan. Ahli warisnya hanyalah seorang anak laki-laki
tunggal satu-satunya.
Penyelesaiannya adalah anak laki-laki satu-satunya itu
mewarisi seluruh harta ayahnya, sebesar 10 milyar. Karena
anak laki-laki memang mendapat semua sisa harta, yang
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
75
dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris dari ashabul
furudh yang masih hidup.
Ahli Waris Bagian Nilai
Anak laki-laki 1/1 10 milyar
Contoh Kedua :
Seorang meninggal dunia dengan harta sebesar 7 milyar,
tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya 7
orang anak laki-laki semua.
Penyelesaian sederhana saja, harta itu dibagi rata kepada
lima orang. Jadi masing-masing mendapat 1 milyar.
Ahli Waris Bagian Nilai
Anak laki-laki 1 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 2 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 3 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 4 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 5 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 6 1/7 1 milyar
Anak laki-laki 7 1/7 1 milyar
Contoh Ketiga :
Seorang laki-laki wafat dengan harta 8 milyar,
meninggalkan ahli waris seorang istri dan seorang anak laki-
laki.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
76
Istri adalah ashabul furudh yang
jatahnya sudah ditetapkan, yaitu 1/8
atau 1 milyar. Sisanya adalah 7/8
bagian atau 7 milyar, menjadi hak
oleh anak laki-laki adalah 7/8. Hak
anak laki-laki adalah sisa harta yang
telah diambil terlebih dahulu oleh
istri almarhum.
Kalau kita jabarkan dalam bentuk tabel, hasilnya sebagai
berikut :
Ahli Waris Bagian Nilai
Istri 1/8 1 milyar
Anak laki-laki (ashabah) 7/8 7 milyar
Contoh Keempat :
Harta almarhum sebesar 8 milyar, pada saat wafat beliau
memiliki seorang istri dan 7 orang anak laki-laki. Bagaimana
penyelesaiannya?
Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang anak laki-laki adalah
ashabah, mereka berhak atas sisanya. Dan sisanya yang 7/8
bagian itu dibagi rata kepada 7 orang anak laki-laki. 7/8
dibagi 7 adalah 1/8.
Kita perhatikan bahwa masing-masing ahli waris sama-
sama mendapat 1/8 dari 8 milyar, jadi masing-masing
mendapat 1 milyar.
Ahli Waris Bagian Nilai
Istri 1/8 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 1
7/8
1/8 1 milyar
Anak laki-laki 2 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 3 1/8 1 milyar
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
77
Anak laki-laki 4 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 5 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 6 1/8 1 milyar
Anak laki-laki 7 1/8 1 milyar
1.2. Menghijab
Ahli Waris  id
 saudara seayah-ibu
 saudari seayah-ibu
 saudara seayah
 saudari seayah
 keponakan : anak saudara seayah-ibu
 keponakan : anak saudara seayah
 paman : saudara ayah seayah-ibu
 paman : saudara ayah seayah
 sepupu : anak laki paman seayah-ibu
 sepupu : anak laki paman seayah
 cucu : anak laki dari anak laki
 cucu : anak wanita dari anak laki
 saudara & saudari seibu
 9
 10
 11
 12
 13
 14
 15
 16
 17
 18
 19
 20
 22
1.3. Dihijab oleh :
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak
laki-laki tidak dihijab oleh siapa pun. Karena posisinya yang
langsung berhubungan dengan muwarrits.
* * *
2. Anak Perempuan (‫)بنت‬
Anak perempuan yang dimaksud adalah anak
perempuan dari muwarrits yang telah meninggal dunia. Kita
letakkan pada nomor urut dua, karena posisinya yang
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
78
sangat dekat dengan muwarrits, serta bersisian dengan anak
lak-laki yang berada pada nomor urut satu.
2.1. Bagian
 1/2 = menjadi satu-satunya anak almarhum
 2/3 = dua orang atau lebih dan almarhum tak ada anak
laki
 ashabah = almarhum punya anak lak-laki dengan
ketentuan bagiannya 1/2 dari bagian anak laki-laki
Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam
menerima waris dari orang tuanya.
Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta
warisan. Syaratnya, dia menjadi anak tunggal dari
muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun
baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.
َ‫ت‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫و‬َ‫ف‬‫ص‬‫اَالن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬ً‫ة‬‫د‬‫اح‬‫و‬َ
Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia
mendapat separuh harta warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11)
Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia
tidak sendirian. Dia punya saudara perempuan sehingga
minimal mereka berdua. Dan mereka semua akan mendapat
jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama
semuanya perempuan dan tidak ada saudara laki-laki satu
pun.
َ‫ن‬‫نَك‬‫إ‬‫ف‬َ‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫اَم‬‫ث‬‫ل‬‫َث‬‫ن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫ي‬‫ت‬‫ن‬‫َاث‬‫ق‬‫و‬‫اءَف‬‫س‬‫ن‬َ
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
79
Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS.
An-Nisa': 11)
Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama anak
laki-laki akan mendapat ashabah atau sisa. Harta sisa itu
dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya dengan
ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima
saudara laki-lakinya.
َ‫م‬‫يك‬‫وص‬‫ي‬َ‫لذ‬‫َل‬‫م‬‫ك‬‫د‬‫ل‬‫و‬‫َأ‬‫َف‬‫اّلل‬‫َا‬‫ظ‬‫َح‬‫ل‬‫ث‬‫َم‬‫ر‬‫ك‬َ‫ي‬‫ي‬‫نث‬‫ل‬َ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An-
Nisa : 11)
2.2. Menghijab
 cucu : anak wanita dari anak laki
 saudara & saudari seibu
20
22
Ada 2 orang yang
dihijab oleh anak
perempuan. Pertama,
saudara atau saudari
seibu tidak seayah.
Kedua, cucu perempu-
an almarhum, dengan
syarat jumlah anak
perempuan itu dua
orang atau lebih dan
tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan cucu perempuan
sebagai ashabah bersamanya.
2.3. Dihijab Oleh :
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
80
Seorang anak perempuan tidak pernah dihijab oleh siapa
pun, karena tidak ada penghalang antara dirinya dengan
muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri.
* * *
3. Istri (‫)زوجة‬
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka
dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta
yang sebelumnya milik suaminya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami
istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan
terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak
dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian
suami.
3.1. Bagian
Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima
bagian, yaitu 1/4 atau 1/8 sebagaimana disebutkan di dalam
ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara'
waris5
, maka hak istri adalah 1/4 bagian dari harta
peninggalan almarhum suaminya.
‫ن‬‫َإ‬‫م‬‫ت‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫ع‬‫ب‬ُّ‫َالر‬‫ن‬‫َّل‬‫و‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫نَل‬‫ك‬‫َي‬‫َّل‬َ
"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan
bila kamu tidak mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)
5
Diantara fara' waris antara lain : anak laki-laki, anak
perempuan, juga anak laki-laki atau anak perempuan dari anak laki-
laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan dari anak
perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan
termasuk fara' waris, karena cucu dari anak perempuan tidak
termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
81
Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia punya
keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian istri
adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan suami.
َ‫ن‬‫ُّم‬‫ث‬‫َال‬‫ن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫ف‬َ‫و‬‫اَأ‬‫َب‬‫ون‬‫وص‬‫َت‬‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫نَب‬‫مَم‬‫ت‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫ِم‬
َ‫ن‬‫ي‬‫د‬
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-
utangmu ..." (QS. An-Nisa': 12)
3.2. Menghijab
Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun dari
ahli waris suami. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi
harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi
kehilangan haknya.
3.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka
tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara
mereka. Dengan demikian, istri tidak dihijab oleh siapa pun.
* * *
4. Suami
Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka
dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta
yang sebelumnya milik istrinya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami
istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan
terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak
dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian
istri.
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
82
4.1. Bagian
Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu
1/2 atau 1/4 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11
surat A-Nisa'.
Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara'
waris, maka hak suami 1/2 bagian dari harta peninggalan
almarhumah istrinya.
َ‫ف‬‫ص‬‫َن‬‫م‬‫ك‬‫ل‬‫و‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ن‬‫نََّل‬‫ك‬‫َي‬‫نََّل‬‫َإ‬‫م‬‫ك‬‫اج‬‫و‬‫ز‬‫َأ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫م‬َ
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh dari harta
yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri)
tidak mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya
keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian suami
adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri.
َ‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫ف‬َ‫ن‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫ع‬‫ب‬ُّ‫َالر‬‫م‬‫ك‬‫ل‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ن‬‫َّل‬َ
"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya (QS. An-
Nisa': 12)
4.2. Menghijab
Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun
dari ahli waris istri. Keberadaannya hanya sekedar
mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang
menjadi kehilangan haknya.
4.3. Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka
tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara
mereka. Dengan demikian, suami tidak dihijab oleh siapa
pun.
Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris
83
* * *
5. Ayah
Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik
anak itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang
berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya adalah
ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau
ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu, tidak menjadi
ahli waris.
5.1. Bagian
Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam
menerima hak warisnya.
 1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki
 1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak
punya fara' waris laki-laki
 Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya
yang meninggal. Syaratnya, almarhum anaknya itu punya
fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki
dari anak laki-laki.
‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬‫َم‬‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫َل‬‫ه‬‫ي‬‫و‬‫ب‬‫ل‬‫و‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫َإ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫س‬‫د‬ُّ‫الس‬
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan
sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu
Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc
84
anaknya yang meninggal itu punya fara' waris perempuan6
dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal
ini ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau
lebih dekat kedudukannya kepada almarhum dibandingkan
dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda :
َ‫ن‬‫ع‬َ‫اب‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫ب‬َ‫اس‬َََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫أ‬َ‫حل‬َ‫ق‬‫ا‬‫و‬ََ‫الف‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬ََ‫ب‬َ‫أ‬َ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ه‬‫ا‬ََ‫ف‬َ‫م‬‫ا‬ََ‫ب‬َ‫ق‬َ‫ي‬َ
َ‫ف‬ََ‫أل‬َ‫و‬َ‫َل‬ََ‫ر‬َ‫ج‬َ‫ل‬ََ‫ذ‬َ‫ك‬‫ر‬.َ
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak,
dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. "
(HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak
perempuan dan seorang ayah. Anak perempuan mendapat
1/2 bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana
disebut dalam dalil berikut :
‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬‫َم‬‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫َل‬‫ه‬‫ي‬‫و‬‫ب‬‫ل‬‫و‬ََ‫ن‬‫َإ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫س‬‫د‬ُّ‫الس‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫ك‬َ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu
tentu masih bersisa. Siapakah yang berhak atas harta ini?
Jawabnya adalah ayah.
Mengapa?
Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang
merupakan ashabah juga. Meski pun pada dasarnya ada lagi
6
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki
dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris
Waris

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados (20)

Wasiat dan Hibah
Wasiat dan HibahWasiat dan Hibah
Wasiat dan Hibah
 
CTU231 Assignment (Pemilikan Tidak Sempurna)
CTU231 Assignment (Pemilikan Tidak Sempurna)CTU231 Assignment (Pemilikan Tidak Sempurna)
CTU231 Assignment (Pemilikan Tidak Sempurna)
 
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa MansukhUlumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
 
PPT ALQURAN HADITS KELAS 7 MTS
PPT ALQURAN HADITS KELAS 7 MTSPPT ALQURAN HADITS KELAS 7 MTS
PPT ALQURAN HADITS KELAS 7 MTS
 
Ppt fiqih adzan iqamah
Ppt fiqih adzan iqamahPpt fiqih adzan iqamah
Ppt fiqih adzan iqamah
 
Pillars of contract
Pillars of contractPillars of contract
Pillars of contract
 
Hadist Riwayah dan Diroyah
Hadist Riwayah dan DiroyahHadist Riwayah dan Diroyah
Hadist Riwayah dan Diroyah
 
Aul dan radd (fikih mawaris)
Aul dan radd (fikih mawaris)Aul dan radd (fikih mawaris)
Aul dan radd (fikih mawaris)
 
Hijab dalam Kewarisan
Hijab dalam KewarisanHijab dalam Kewarisan
Hijab dalam Kewarisan
 
Waris KULIAH 2
Waris KULIAH 2Waris KULIAH 2
Waris KULIAH 2
 
Turunnya al quran
Turunnya al quranTurunnya al quran
Turunnya al quran
 
Ghadhdhul bashar
Ghadhdhul basharGhadhdhul bashar
Ghadhdhul bashar
 
Adab menuntut ilmu
Adab menuntut ilmuAdab menuntut ilmu
Adab menuntut ilmu
 
A’ul, rad dan tashiih
A’ul, rad dan tashiihA’ul, rad dan tashiih
A’ul, rad dan tashiih
 
Perbezaan Pelaburan dalam Pasaran Modal Islam dengan Pasaran Modal Konvensional
Perbezaan Pelaburan dalam Pasaran Modal Islam dengan Pasaran Modal KonvensionalPerbezaan Pelaburan dalam Pasaran Modal Islam dengan Pasaran Modal Konvensional
Perbezaan Pelaburan dalam Pasaran Modal Islam dengan Pasaran Modal Konvensional
 
Tata cara penyelenggaraan jenazah lengkap
Tata cara penyelenggaraan jenazah lengkapTata cara penyelenggaraan jenazah lengkap
Tata cara penyelenggaraan jenazah lengkap
 
Sebab nuzul
Sebab nuzulSebab nuzul
Sebab nuzul
 
METODOLOGI MAZHAB ZAHIRI
METODOLOGI MAZHAB ZAHIRIMETODOLOGI MAZHAB ZAHIRI
METODOLOGI MAZHAB ZAHIRI
 
Qawaid fiqh pt 2
Qawaid fiqh  pt 2Qawaid fiqh  pt 2
Qawaid fiqh pt 2
 
Skl sk kd mi fiqih
Skl sk kd mi fiqihSkl sk kd mi fiqih
Skl sk kd mi fiqih
 

Destaque

Draf kesepakatan bersama pembagian harta warisan
Draf kesepakatan bersama pembagian harta warisanDraf kesepakatan bersama pembagian harta warisan
Draf kesepakatan bersama pembagian harta warisanLegal Akses
 
Cara membagi waris menurut kuh perdata
Cara membagi waris menurut kuh perdataCara membagi waris menurut kuh perdata
Cara membagi waris menurut kuh perdataManunggal Amethyst
 
Surat kesepakatan bersama tambang
Surat kesepakatan bersama tambangSurat kesepakatan bersama tambang
Surat kesepakatan bersama tambangRadhinal Muchtar
 
Skema ahli Waris
Skema ahli WarisSkema ahli Waris
Skema ahli Waristpahiday
 

Destaque (7)

Hukum waris
Hukum warisHukum waris
Hukum waris
 
Draf kesepakatan bersama pembagian harta warisan
Draf kesepakatan bersama pembagian harta warisanDraf kesepakatan bersama pembagian harta warisan
Draf kesepakatan bersama pembagian harta warisan
 
Cara membagi waris menurut kuh perdata
Cara membagi waris menurut kuh perdataCara membagi waris menurut kuh perdata
Cara membagi waris menurut kuh perdata
 
Surat kesepakatan bersama tambang
Surat kesepakatan bersama tambangSurat kesepakatan bersama tambang
Surat kesepakatan bersama tambang
 
Waris menurut islam
Waris menurut islamWaris menurut islam
Waris menurut islam
 
Mawaris
MawarisMawaris
Mawaris
 
Skema ahli Waris
Skema ahli WarisSkema ahli Waris
Skema ahli Waris
 

Semelhante a Waris

Makalah mawaris
Makalah mawarisMakalah mawaris
Makalah mawarisjamal din
 
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’isumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’iOppi Ulandari
 
Rangkuman hukum islam tentang mawaris
Rangkuman hukum islam tentang mawarisRangkuman hukum islam tentang mawaris
Rangkuman hukum islam tentang mawarisikafia maulidia
 
Makalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaMakalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaRachman B. Prasetyo
 
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester Genap
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester GenapMakalah Agama Islam Kelas X. Semester Genap
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester GenapLianita Dian
 
Makalah ushul fiqh (qiyas)
Makalah ushul fiqh (qiyas)Makalah ushul fiqh (qiyas)
Makalah ushul fiqh (qiyas)Mawadah Warohmah
 
SEJARAH PERUNDANGAN ISLAM TINGKATAN 4 PSI.pptx
SEJARAH PERUNDANGAN ISLAM TINGKATAN 4 PSI.pptxSEJARAH PERUNDANGAN ISLAM TINGKATAN 4 PSI.pptx
SEJARAH PERUNDANGAN ISLAM TINGKATAN 4 PSI.pptxmarisyakamila
 
Pertemuan 7 sumber hukum islam part.1
Pertemuan 7 sumber hukum islam part.1Pertemuan 7 sumber hukum islam part.1
Pertemuan 7 sumber hukum islam part.1yadilia
 
BUKU DARAS FIQH MAWARIS
BUKU DARAS FIQH MAWARISBUKU DARAS FIQH MAWARIS
BUKU DARAS FIQH MAWARISIkhsan Samba
 
148 Fatwa-fatwa Tentang jenazah
148 Fatwa-fatwa Tentang jenazah148 Fatwa-fatwa Tentang jenazah
148 Fatwa-fatwa Tentang jenazahArdian DP
 
148 fatwa fatwa seputar jenazah
148 fatwa fatwa seputar jenazah148 fatwa fatwa seputar jenazah
148 fatwa fatwa seputar jenazahSlight Hope
 
Genap xii 3.-menggapai-berkah-dengan-mawaris
Genap xii 3.-menggapai-berkah-dengan-mawarisGenap xii 3.-menggapai-berkah-dengan-mawaris
Genap xii 3.-menggapai-berkah-dengan-mawarisWahyu Mulyana
 

Semelhante a Waris (20)

Makalah mawaris
Makalah mawarisMakalah mawaris
Makalah mawaris
 
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’isumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
 
013 waris-sarwat
013 waris-sarwat013 waris-sarwat
013 waris-sarwat
 
013 waris-sarwat
013 waris-sarwat013 waris-sarwat
013 waris-sarwat
 
Fiqih mawaris
Fiqih mawarisFiqih mawaris
Fiqih mawaris
 
Rangkuman hukum islam tentang mawaris
Rangkuman hukum islam tentang mawarisRangkuman hukum islam tentang mawaris
Rangkuman hukum islam tentang mawaris
 
Makalah hukum islam, hukum taklifi dan hukum wadi
Makalah hukum islam, hukum taklifi dan hukum wadiMakalah hukum islam, hukum taklifi dan hukum wadi
Makalah hukum islam, hukum taklifi dan hukum wadi
 
Makalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agamaMakalah hukum pernikahan beda agama
Makalah hukum pernikahan beda agama
 
Kewarisan islam
Kewarisan islamKewarisan islam
Kewarisan islam
 
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester Genap
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester GenapMakalah Agama Islam Kelas X. Semester Genap
Makalah Agama Islam Kelas X. Semester Genap
 
Makalah ushul fiqh (qiyas)
Makalah ushul fiqh (qiyas)Makalah ushul fiqh (qiyas)
Makalah ushul fiqh (qiyas)
 
SEJARAH PERUNDANGAN ISLAM TINGKATAN 4 PSI.pptx
SEJARAH PERUNDANGAN ISLAM TINGKATAN 4 PSI.pptxSEJARAH PERUNDANGAN ISLAM TINGKATAN 4 PSI.pptx
SEJARAH PERUNDANGAN ISLAM TINGKATAN 4 PSI.pptx
 
Pertemuan 7 sumber hukum islam part.1
Pertemuan 7 sumber hukum islam part.1Pertemuan 7 sumber hukum islam part.1
Pertemuan 7 sumber hukum islam part.1
 
pengantar Ilmu mawaris
pengantar  Ilmu mawaris pengantar  Ilmu mawaris
pengantar Ilmu mawaris
 
BUKU DARAS FIQH MAWARIS
BUKU DARAS FIQH MAWARISBUKU DARAS FIQH MAWARIS
BUKU DARAS FIQH MAWARIS
 
148 Fatwa-fatwa Tentang jenazah
148 Fatwa-fatwa Tentang jenazah148 Fatwa-fatwa Tentang jenazah
148 Fatwa-fatwa Tentang jenazah
 
148 fatwa fatwa seputar jenazah
148 fatwa fatwa seputar jenazah148 fatwa fatwa seputar jenazah
148 fatwa fatwa seputar jenazah
 
Genap xii 3.-menggapai-berkah-dengan-mawaris
Genap xii 3.-menggapai-berkah-dengan-mawarisGenap xii 3.-menggapai-berkah-dengan-mawaris
Genap xii 3.-menggapai-berkah-dengan-mawaris
 
Rukun al fahmu pt 7
Rukun al fahmu pt 7Rukun al fahmu pt 7
Rukun al fahmu pt 7
 
Rukun al fahmu pt 8
Rukun al fahmu pt 8Rukun al fahmu pt 8
Rukun al fahmu pt 8
 

Último

Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptxMateri Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptxc9fhbm7gzj
 
MATERI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA.KELOMPOK 5.pptx
MATERI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA.KELOMPOK 5.pptxMATERI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA.KELOMPOK 5.pptx
MATERI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA.KELOMPOK 5.pptxwulandaritirsa
 
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdfJaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdfHendroGunawan8
 
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptxbahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptxvincentptk17
 
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptxhentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptxKalpanaMoorthy3
 
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...Kanaidi ken
 
Materi bab 6 biaya modal manajemen keuangan.pptx
Materi bab 6 biaya modal manajemen keuangan.pptxMateri bab 6 biaya modal manajemen keuangan.pptx
Materi bab 6 biaya modal manajemen keuangan.pptxZadaLiza
 
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.pptSejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.pptssuser940815
 
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docxKISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docxjohan effendi
 
Pelatihan Asesor 2024_KEBIJAKAN DAN MEKANISME AKREDITASI PAUD TAHUN 2024 .pdf
Pelatihan Asesor 2024_KEBIJAKAN DAN  MEKANISME AKREDITASI PAUD TAHUN 2024 .pdfPelatihan Asesor 2024_KEBIJAKAN DAN  MEKANISME AKREDITASI PAUD TAHUN 2024 .pdf
Pelatihan Asesor 2024_KEBIJAKAN DAN MEKANISME AKREDITASI PAUD TAHUN 2024 .pdfEmeldaSpd
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxg66527130
 
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdfPerbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdfAgungNugroho932694
 
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaAbdiera
 
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptxHalomoanHutajulu3
 
Rubrik Praktik Observasi Kelas dan RPP Hasil
Rubrik Praktik Observasi Kelas dan RPP HasilRubrik Praktik Observasi Kelas dan RPP Hasil
Rubrik Praktik Observasi Kelas dan RPP HasilSDN3Sukamukti
 
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 2 Fase A [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 2 Fase A [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 2 Fase A [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 2 Fase A [abdiera.com]Abdiera
 
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdfEstetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdfHendroGunawan8
 
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...Riyan Hidayatullah
 
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaModul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaAbdiera
 
slide presentation bab 2 sain form 2.pdf
slide presentation bab 2 sain form 2.pdfslide presentation bab 2 sain form 2.pdf
slide presentation bab 2 sain form 2.pdfNURAFIFAHBINTIJAMALU
 

Último (20)

Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptxMateri Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
 
MATERI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA.KELOMPOK 5.pptx
MATERI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA.KELOMPOK 5.pptxMATERI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA.KELOMPOK 5.pptx
MATERI PEMBELAJARAN SENI BUDAYA.KELOMPOK 5.pptx
 
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdfJaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
 
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptxbahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
 
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptxhentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
 
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
 
Materi bab 6 biaya modal manajemen keuangan.pptx
Materi bab 6 biaya modal manajemen keuangan.pptxMateri bab 6 biaya modal manajemen keuangan.pptx
Materi bab 6 biaya modal manajemen keuangan.pptx
 
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.pptSejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
Sejarah Perkembangan Teori Manajemen.ppt
 
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docxKISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
 
Pelatihan Asesor 2024_KEBIJAKAN DAN MEKANISME AKREDITASI PAUD TAHUN 2024 .pdf
Pelatihan Asesor 2024_KEBIJAKAN DAN  MEKANISME AKREDITASI PAUD TAHUN 2024 .pdfPelatihan Asesor 2024_KEBIJAKAN DAN  MEKANISME AKREDITASI PAUD TAHUN 2024 .pdf
Pelatihan Asesor 2024_KEBIJAKAN DAN MEKANISME AKREDITASI PAUD TAHUN 2024 .pdf
 
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptxSKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
SKPM Kualiti @ Sekolah 23 Feb 22222023.pptx
 
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdfPerbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
 
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPA Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
 
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
 
Rubrik Praktik Observasi Kelas dan RPP Hasil
Rubrik Praktik Observasi Kelas dan RPP HasilRubrik Praktik Observasi Kelas dan RPP Hasil
Rubrik Praktik Observasi Kelas dan RPP Hasil
 
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 2 Fase A [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 2 Fase A [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 2 Fase A [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 2 Fase A [abdiera.com]
 
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdfEstetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
 
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...Workshop penulisan buku                       (Buku referensi, monograf, BUKU...
Workshop penulisan buku (Buku referensi, monograf, BUKU...
 
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaModul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Informatika Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka
 
slide presentation bab 2 sain form 2.pdf
slide presentation bab 2 sain form 2.pdfslide presentation bab 2 sain form 2.pdf
slide presentation bab 2 sain form 2.pdf
 

Waris

  • 1. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 1 FIQIH MAWARIS Ahmad Sarwat, Lc
  • 2.
  • 3. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 3 Judul Buku Fiqih Mawaris Penulis Ahmad Sarwat Penerbit DU CENTER Cetakan Pertama Kedua Ketiga Keempat
  • 4.
  • 5. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 5 Istilah Agar tidak terjadi selip paham dalam membicarakan hal-hal yang terkait dengan istilah warisan yang ditranslate ke dalam bahasa Indonesia, mari kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Misalnya kata mewarisi dan mewariskan, orang sering keliru membedakan keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah memperoleh warisan. Misalnya kalimat berikut : Amir mewarisi sebidang tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir memperoleh tanah yang ditinggalkan oleh pak Ali. Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta warisan atau meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain. Misalnya kalimat berikut : Pak Ali mewariskan sebidang tanah kepada anaknya. Maksudnya, pak Ali memberikan harta warisan kepada anaknya. Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang memberi harta warisan. Contoh dalam kalimat, pak Ali adalah pewaris dari anak-anaknya. Maksudnya, pak Ali memberi harta warisan kepada anak-anaknya. Lawan kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka). Contoh dalam kalimat, Amir adalah ahli waris dari ayahnya. Maksudnya, Amir menerima harta warisan dari ayahnya. me·wa·risi v 1 memperoleh warisan dr: krn anak satu- satunya, dialah yg akan ~ seluruh harta kekayaan orang tuanya; 2 ki memperoleh sesuatu yg ditinggalkan oleh orang tuanya dsb: ia tidak saja memperoleh harta kekayaan, tetapi ia juga ~ utang-utang yg ditinggalkan almarhum; me·wa·ris·kan v 1 memberikan harta warisan kpd; meninggalkan sesuatu kpd: gurunya ~ ilmu silat kepadanya; 2 menjadikan orang lain menjadi waris; wa·ris·an n sesuatu yg diwariskan, spt harta, nama baik; harta ahli waris orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka)
  • 6.
  • 7. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 7 Daftar Isi Urgensi dan Pensyariatan 17 1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris 17 1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut 18 1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW 19 1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran 19 1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga 20 1.5. Ancaman Akhirat 21 2. Pensyariatan 22 2.1. Dalil Quran 22 2.2. Dalil Sunnah 26 2.3. Dalil Ijma' 27 Pengertian Waris 29 1. Definisi 29 1.1. Bahasa 29 1.2. Pengertian syariah 30 2. Waris, Hibah dan Wasiat 30 2.1. Waktu 31 2.2. Penerima 31 2.3. Nilai 32 2.4. Hukum 32 3. Istilah-istilah dalam ilmu waris 33 3.1. Tarikah 33 3.2. Fardh 33 3.3. Ashhabul Furudh. 33 3.4. Ashabah 34 3.5. Sahm 35 3.6. Nasab 35 3.7. Al-Far'u 35 3.8. Al-Ashl 36 Alokasi Harta 37 1. Menetapkan Kepemilikan Harta 37 2. Pengurusan Jenazah 40
  • 8. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 8 3. Hutang 41 4. Washiyat 43 Rukun, Syarat dan Sebab Warisan 45 1. Rukun Waris 45 1.1. Al-Muwarits 45 1.2. Al-Warits 45 1.3. Harta Warisan 46 2. Syarat Waris 46 2.1. Meninggalnya Muwarrits 46 2.2. Hidupnya Ahli Waris 49 2.3. Ahli Waris Diketahui 50 3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris 50 3.1. Kerabat hakiki 50 3.2. Pernikahan 51 3.3. Al-Wala 51 Gugurnya Warisan 53 1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan 53 1.1. Pembunuhan 53 1.2. Perbedaan Agama 54 1.3. Budak 56 2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub 57 Penghalang Warisan (Al-Hujub) 59 1. Definisi 59 2. Macam-macam al-Hujub 60 3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman 61 4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman 62 Ashabul Furudh & Ashabah 63 1. Ashhabul Furudh 63 2. Ashabah 64 2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah 65 2.3. Macam-macam 'Ashabah 67 3.1. 'Ashabah bin nafs 67 3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs 68
  • 9. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 9 Para Ahli Waris 71 1. Anak Laki-laki (‫)ابن‬ 74 1.1. Bagian 74 1.2. Menghijab 77 1.3. Dihijab oleh : 77 2. Anak Perempuan (‫)بنت‬ 77 2.1. Bagian 78 2.2. Menghijab 79 2.3. Dihijab Oleh : 79 3. Istri (‫)زوجة‬ 80 3.1. Bagian 80 3.2. Menghijab 81 3.3. Dihijab oleh 81 4. Suami 81 4.1. Bagian 82 4.2. Menghijab 82 4.3. Dihijab oleh 82 5. Ayah 83 5.1. Bagian 83 5.2. Menghijab 85 5.3. Dihijab oleh 86 6. Ibu 86 6.1. Bagian 86 6.2. Menghijab 88 6.3. Dihijab oleh 88 7. Kakek (‫أب‬ ‫)أب‬ 89 7.1. Bagian 89 7.2. Menghijab 91 7.3. Dihijab oleh 91 8. Nenek (‫أب‬ ‫)أم‬ 92 8.1. Bagian 92 8.2. Menghijab 92 8.3. Dihijab oleh 92 9. Saudara seayah-ibu (‫شقيق‬ ‫)أخ‬ 92 9.1. Bagian 92
  • 10. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 10 9.2. Menghijab 93 9.3. Dihijab Oleh : 93 10. Saudari seayah-ibu 94 10.1. Bagian 94 11. Saudara seayah (‫ألب‬ ‫)أخ‬ 95 11.1. Bagian 95 11.2. Menghijab 96 11.3. Dihijab Oleh : 96 12. Saudari seayah (‫ألب‬ ‫)أخت‬ 97 10.1. Bagian 97 13. Keponakan : anak saudara seayah-ibu 98 14. Keponakan : anak saudara seayah 98 15. Paman : saudara ayah seayah-ibu 98 16. Paman : saudara ayah seayah 98 17. Sepupu : anak laki paman seayah-ibu 99 18. Sepupu : anak laki paman seayah 99 19. Cucu Laki-laki (‫ابن‬ ‫)ابن‬ 99 19.1. Bagian 99 19.2. Menghijab 100 19.3. Dihijab oleh : 101 20. Cucu Perempuan 101 21. Nenek Dari Ibu 101 22. Saudara/i Seibu 101 Cara Membagi Warisan 103 1. Langkah Pertama 103 1.1. Hutang 103 1.2. Wasiat 103 1.3. Biaya Pengurusan Jenazah 104 2. Langkah Kedua 104 2.1. Memilah 104 2.2. Menghilangkan ahli waris yang terhijab 105 3. Langkah Ketiga 107 Aul dan radd Error! Bookmark not defined. 1. Aul Error! Bookmark not defined.
  • 11. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 11 2. Radd Error! Bookmark not defined.
  • 12.
  • 13. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 13 Pengantar 5 Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Shalawat serta salam tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut dan orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman. Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil. Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum- hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
  • 14. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 14 Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat. Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi. Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat menikmati warisan itu, salah satunya karena kendala bahasa. Padahal tak satu pun ayat Al-Quran yang turun dari langit kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil pun huruf keluar dari lidah nabi kita SAW, kecuali dalam bahasa Arab. Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk mendekatkan umat ini dengan warisan agamanya. Tentu saja buku ini juga diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks berbahasa Arab, agar masih tersisa mana yang merupakan nash asli dari agama ini. Buku ini merupakan buku kedelapan dari rangkaian silsilah pembahasan fiqih. Selain buku ini juga ada buku lain terkait dengan masalah fiqih seperti fiqih thaharah, shalat,
  • 15. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 15 puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah, nikah, waris, hudud dan bab lainnya. Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj yang kami gunakan adalah manhaj muqaranah dan wasathiyah. Kami tidak memberikan satu pendapat saja, tapi berupaya memberikan beberapa pendapat bila memang ada khilaf di antara para ulama tentang hukum-hukum tertentu, dengan usaha untuk menampilkan juga hujjah masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami serahkan kepada para pembaca. Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat karena bukan sekedar dimengerti isinya, tetapi yang lebih penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya ikhlas karena Allah SWT. Al-Faqir ilallah Ahmad Sarwat, Lc
  • 16.
  • 17. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 17 Bab Pertama Urgensi dan Pensyariatan 1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah sudah ada kiyai dan para ulama yang bisa menangani urusan waris? Bukankah biasanya membagi waris menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama (KUA)? Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita ketika pertama kali melihat buku ini. Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab biasanya urusan pembagian waris memang menjadi urusan para kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak KUA.
  • 18. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 18 Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan ini pakai sok belajar ilmu waris? Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa kita yang awam ini perlu dan harus belajar ilmu waris. Ada beberapa sebab dan alasan yang melatarbelakangi hal itu. Antara lain : 1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini mayoritas muslim, namun kita tahu bahwa agama kita diperangi lewat berbagai macam bentuk penggerogotan dari dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan berbagai produk hukum yang bukan hukum Islam, seperti hukum barat dan hukum adat, lewat berbagai kurikulum pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan nasional, atau dari adat istiadat turun temurun. Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi muslim yang rajin shalat 5 waktu, fasih membaca Al-Quran, aktif mengaji kesana-kemari, gemar menghidupkan amaliyah sunnah, tetapi sama sekali tidak paham alias merasa asing dengan hukum waris Islam. Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini merupakan kehancuran umat Islam yang sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu. Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan perintah untuk mempelajari ilmu waris, sebab ilmu waris itu setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang pertama kali akan diangkat dari muka bumi.
  • 19. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 19 َ‫ع‬َ‫ن‬ََ‫ال‬َ‫ع‬َ‫ر‬َ‫ج‬َََ‫ق‬َ‫ال‬ََ‫ق‬َ‫ال‬ََ‫ر‬َ‫س‬َ‫ول‬ََ‫للا‬َََ‫ي‬َ‫َأ‬‫ا‬َ‫ب‬َ‫َه‬‫ا‬َ‫ر‬َ‫ي‬َ‫ر‬َ‫ة‬ََ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫َالف‬‫ا‬‫و‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬َ َ‫و‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫و‬َ‫ه‬‫ا‬ََ‫ف‬َ‫إ‬َ‫ن‬َ‫ه‬ََ‫ن‬َ‫ص‬َ‫ف‬ََ‫الع‬َ‫ل‬َ‫م‬ََ‫و‬َ‫إ‬َ‫ن‬َ‫ه‬ََ‫ي‬َ‫ن‬َ‫س‬َ‫ىَو‬َ‫ه‬َ‫و‬ََ‫أ‬َ‫و‬َ‫ل‬ََ‫م‬َ‫اَي‬َ‫ن‬َ‫ز‬َ‫ع‬ََ‫م‬َ‫ن‬ََ‫أ‬َ‫م‬َ‫ت‬َ Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim) 1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW َ‫ع‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫ب‬َ‫د‬ََ‫للا‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫م‬َ‫س‬َ‫ع‬َ‫ود‬َََ‫ق‬َ‫ال‬ََ‫ق‬َ‫ال‬ََ‫ر‬َ‫س‬َ‫ول‬ََ‫للا‬َََ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫اَالق‬‫و‬َ‫ر‬َ‫آن‬ََ‫و‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫وه‬َ َ‫الن‬َ‫اس‬ََ‫و‬َ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫َالف‬‫ا‬‫و‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬ََ‫و‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫وه‬ََ‫الن‬َ‫اس‬ََ‫ف‬َ‫إ‬َ‫ن‬َ‫َام‬َ‫ر‬َ‫ؤ‬ََ‫م‬َ‫ق‬َ‫ب‬َ‫و‬َ‫ض‬ََ‫و‬َ‫إ‬َ‫ن‬ََ‫الع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ َ‫س‬َ‫ي‬َ‫ق‬َ‫ب‬َ‫ض‬ََ‫و‬َ‫ت‬َ‫ظ‬َ‫ه‬َ‫ر‬ََ‫الف‬َ‫ت‬ََ‫ح‬َ‫ّت‬ََََ‫ت‬َ‫ل‬َ‫ف‬ََ‫ال‬َ‫ث‬َ‫ن‬َ‫ان‬ََ‫ف‬ََ‫الف‬َ‫ر‬َ‫ي‬َ‫ض‬َ‫ة‬ََ‫ل‬ََ‫ي‬َ‫د‬َ‫ان‬ََ‫م‬َ‫ن‬َ َ‫ي‬َ‫ق‬َ‫ض‬َ‫يَب‬‫ا‬َ–َ‫اهَاحلاكم‬‫و‬‫ر‬َ Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang- orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang- orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR. Ad- Daruquthuny dan Al-Hakim)1 1.3. Sejajar Dengan Belajar Al-Quran Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga secara khusus memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu 1 Al-Mustadrak ala Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman 328
  • 20. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 20 waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem. َ‫ع‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫م‬َ‫ر‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫ال‬َ‫ط‬َ‫اب‬َََ‫أ‬َ‫ن‬َ‫ه‬َََ‫ك‬َ‫ان‬ََ‫ي‬َ‫ق‬َ‫ول‬َ:َ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫اَالف‬‫و‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬َََ‫ك‬َ‫م‬َ‫اَت‬َ‫ت‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫م‬َ‫و‬َ‫ن‬َ َ‫الق‬َ‫ر‬َ‫آن‬َ. Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al- Quran". 2 Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris ini sangat penting bagi umat Islam. Karena disejajarkan dengan belajar Al-Quran. 1.4. Menghindari Perpecahan Keluarga Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang terjadi, umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum waris Islam. Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi Islam ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah satunya adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika orang tua wafat, anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris itu saling berebut harta disebabkan karena parameter yang mereka gunakan saling berbeda. Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum waris versi adat. Yang lainnya mau versi barat. Sebagiannya mau pakai hukum Islam. Seandainya orang tua mereka telah mengjaari dan mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam, 2
  • 21. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 21 niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum waris Islam. Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda, dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal merea sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa nanti. 1.5. Ancaman Akhirat Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka. Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan. Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem. َ‫ص‬‫ع‬‫َي‬ ‫ن‬‫م‬‫و‬‫ا‬ً‫د‬‫ال‬‫َخ‬ ‫ا‬ً‫ار‬‫َن‬ ‫ه‬‫ل‬‫خ‬‫د‬‫َي‬ ‫ه‬‫ود‬‫د‬‫َح‬ ‫د‬‫ع‬‫ت‬‫ي‬‫َو‬ ‫ه‬‫ل‬‫و‬‫س‬‫ر‬‫َو‬ ‫اّلل‬َ‫ه‬‫ل‬‫َو‬ ‫ا‬‫يه‬‫ف‬ َ‫ي‬‫ه‬ُّ‫َم‬‫اب‬‫ذ‬‫ع‬َ
  • 22. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 22 Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14) Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan yang menghinakan. Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik. 2. Pensyariatan Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam syariah Islam ditetapkan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama. 2.1. Dalil Quran Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu ayat
  • 23. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 23 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal ayat terakhir, yaitu ayat 75. a. Ayat waris untuk anak َ‫َاّلل‬‫م‬‫يك‬‫وص‬‫ي‬َ‫ي‬‫ي‬‫نث‬‫َال‬‫ظ‬‫َح‬‫ل‬‫ث‬‫َم‬‫ر‬‫ك‬‫لذ‬‫َل‬‫م‬‫ك‬‫د‬‫ل‬‫و‬‫َأ‬‫ف‬ََ‫ن‬‫نَك‬‫إ‬‫ف‬َ‫ق‬‫و‬‫اءَف‬‫س‬‫ن‬ َ‫ت‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫َو‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫اَم‬‫ث‬‫ل‬‫َث‬‫ن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫ي‬‫ت‬‫ن‬‫اث‬َ‫ف‬‫ص‬‫اَالن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬ً‫ة‬‫د‬‫اح‬‫و‬َ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11) b. Ayat waris untuk orang tua ‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬‫َم‬‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫َل‬‫ه‬‫ي‬‫و‬‫ب‬‫ل‬‫و‬َ‫ن‬‫ك‬‫َي‬‫نََّل‬‫إ‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫َإ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫س‬‫د‬ُّ‫الس‬ َ‫ه‬‫ل‬َ‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫َف‬‫ث‬‫ُّل‬‫َالث‬‫ه‬‫م‬‫أل‬‫َف‬‫اه‬‫و‬‫ب‬‫َأ‬‫ه‬‫ث‬‫ر‬‫و‬‫َو‬‫د‬‫ل‬‫و‬َ‫ن‬‫َم‬‫س‬‫د‬ُّ‫َالس‬‫ه‬‫م‬‫أل‬‫َف‬‫ة‬‫و‬‫خ‬‫إ‬ َ‫و‬‫اَأ‬‫يَب‬‫وص‬‫َي‬‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫ب‬َ‫َآب‬‫ن‬‫ي‬‫د‬َ‫ب‬‫ر‬‫ق‬‫َأ‬‫م‬‫ه‬ُّ‫ي‬‫َأ‬‫ون‬‫ر‬‫د‬‫َت‬‫َل‬‫م‬‫ك‬‫بناؤ‬‫أ‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫آؤ‬ َ‫م‬‫ك‬‫ل‬‫يما‬‫ل‬‫َع‬‫ان‬‫َك‬‫َاّلل‬‫ن‬‫َإ‬‫َاّلل‬‫ن‬‫َم‬ً‫ة‬‫يض‬‫ر‬‫َف‬ً‫ا‬‫ع‬‫ف‬‫ن‬‫ا‬ً‫يم‬‫ك‬‫ح‬َ Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
  • 24. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 24 mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11) c. Ayat waris buat suami dan istri .َ‫ف‬‫ص‬‫َن‬‫م‬‫ك‬‫ل‬‫و‬َ‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ن‬‫نََّل‬‫ك‬‫َي‬‫نََّل‬‫َإ‬‫م‬‫ك‬‫اج‬‫و‬‫ز‬‫َأ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫م‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ن‬‫َّل‬ َ‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫نَب‬‫َم‬‫ن‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫ع‬‫ب‬ُّ‫َالر‬‫م‬‫ك‬‫ل‬‫ف‬‫ا‬‫َب‬‫ي‬‫وص‬‫ي‬ََ‫ا‬‫َِم‬‫ع‬‫ب‬ُّ‫َالر‬‫ن‬‫َّل‬‫َو‬‫ن‬‫ي‬‫َد‬‫و‬‫أ‬ ‫ن‬‫َإ‬‫م‬‫ت‬‫ك‬‫ر‬‫ت‬َ‫ن‬‫ُّم‬‫ث‬‫َال‬‫ن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫نَل‬‫ك‬‫َي‬‫َّل‬َ‫م‬‫ت‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫ِم‬ َ‫ن‬‫ي‬‫َد‬‫و‬‫اَأ‬‫َب‬‫ون‬‫وص‬‫َت‬‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫نَب‬‫م‬َ Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An- Nisa' : 12) d. Ayat waris Kalalah Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan. ‫ن‬‫إ‬‫و‬َ‫ت‬‫خ‬‫َأ‬‫و‬‫َأ‬‫خ‬‫َأ‬‫ه‬‫ل‬‫َو‬‫ة‬‫أ‬‫ر‬‫َام‬‫و‬‫َأ‬ً‫ة‬‫ل‬‫ال‬‫َك‬‫ث‬‫ور‬‫َي‬‫ل‬‫ج‬‫َر‬‫ان‬‫ك‬َ‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫ل‬‫ف‬ َ‫م‬‫ن‬‫َم‬‫ر‬‫ث‬‫ك‬‫َأ‬‫ا‬‫و‬‫ان‬‫َك‬‫ن‬‫إ‬‫َف‬‫س‬‫د‬ُّ‫َالس‬‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬َ‫ن‬‫َم‬‫ث‬‫ُّل‬‫َالث‬‫َف‬‫اء‬‫ك‬‫ر‬‫َش‬‫م‬‫ه‬‫َف‬‫ك‬‫ل‬‫ذ‬
  • 25. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 25 ‫آ‬‫ىَب‬‫وص‬‫َي‬‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫ب‬َ‫يم‬‫ل‬‫َع‬‫اّلل‬‫َو‬‫َاّلل‬‫ن‬‫َم‬ً‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫آر‬‫ض‬‫َم‬‫ر‬‫ي‬‫َغ‬‫ن‬‫ي‬‫َد‬‫و‬‫أ‬ َ‫يم‬‫ل‬‫ح‬َ Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (QS. An-Nisa' : 12) e. Ayat waris Kalalah Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan. َ‫ك‬‫ون‬‫ت‬‫ف‬‫ت‬‫س‬‫ي‬َ‫ك‬‫َال‬‫َف‬‫م‬‫يك‬‫ت‬‫ف‬‫َي‬‫َاّلل‬‫ل‬‫ق‬َ‫ه‬‫َل‬‫س‬‫ي‬‫َل‬‫ك‬‫ل‬‫َه‬‫ؤ‬‫ر‬‫َام‬‫ن‬‫َإ‬‫ة‬‫ل‬‫ال‬َ‫ه‬‫ل‬‫َو‬‫د‬‫ل‬‫و‬ َ‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َم‬‫ف‬‫ص‬‫اَن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫ت‬‫خ‬‫أ‬َ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)
  • 26. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 26 َ‫اب‬‫ت‬‫َك‬‫َف‬‫ض‬‫ع‬‫ب‬‫َب‬‫َل‬‫و‬‫َأ‬‫م‬‫ه‬‫ض‬‫ع‬‫َب‬‫ام‬‫ح‬‫ر‬‫َال‬‫ا‬‫و‬‫ل‬‫و‬‫أ‬‫و‬َ‫ء‬‫ي‬‫َش‬‫ل‬‫ك‬‫َب‬‫َاّلل‬‫ن‬‫َإ‬‫اّلل‬ َ‫يم‬‫ل‬‫ع‬َ Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75) 2.2. Dalil Sunnah Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini : َ‫ن‬‫ع‬َ‫اب‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫ب‬َ‫اس‬َََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫أ‬َ‫حل‬َ‫ق‬‫ا‬‫و‬ََ‫الف‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬ََ‫ب‬َ‫أ‬َ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ه‬‫ا‬ََ‫ف‬َ‫م‬‫ا‬ََ‫ب‬َ‫ق‬َ‫ي‬َ َ‫ف‬ََ‫أل‬َ‫و‬َ‫َل‬ََ‫ر‬َ‫ج‬َ‫ل‬ََ‫ذ‬َ‫ك‬‫ر‬.َ Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari) َ‫ن‬‫ع‬َ‫أ‬َ‫س‬َ‫ام‬َ‫ة‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫ز‬َ‫ي‬َ‫د‬ََََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫ل‬ََ‫ي‬َ‫ر‬َ‫ث‬ََ‫ال‬َ‫س‬َ‫ل‬َ‫م‬ََ‫الكا‬َ‫ف‬َ‫ر‬ََ‫و‬َ‫ل‬َ َ‫الك‬َ‫اف‬َ‫ر‬ََ‫ال‬َ‫س‬َ‫ل‬َ‫م‬َ Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An- Nasai)3 3 Nailul Authar jilid 6 halaman 55
  • 27. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 27 َ‫ن‬‫ع‬َ‫ع‬َ‫ب‬َ‫د‬ََ‫للا‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫م‬‫رو‬َََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫ل‬ََ‫ي‬َ‫ت‬َ‫و‬َ‫ار‬َ‫ث‬ََ‫أ‬َ‫ه‬َ‫ل‬ََ‫م‬َ‫ل‬َ‫ت‬َ‫ي‬َ َ‫ش‬َ‫ّت‬َ Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah) َ‫ن‬‫ع‬َ‫ع‬َ‫ب‬َ‫اد‬َ‫ة‬ََ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫الص‬َ‫ام‬َ‫ت‬َََ‫َأن‬‫ال‬‫ق‬ََ‫الن‬َ‫ب‬َََ‫ق‬َ‫ض‬‫ى‬ََ‫ل‬َ‫ل‬َ‫ج‬َ‫د‬َ‫ت‬َ‫ي‬ََ‫م‬َ‫ن‬ََ‫ال‬َ‫م‬َ‫ا‬‫ري‬َ‫ث‬َ َ‫ب‬َُّ‫الس‬َ‫د‬َ‫س‬ََ‫ب‬َ‫ي‬َ‫ن‬َ‫ه‬َ‫م‬‫ا‬َ Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah) ‫َا‬‫ن‬‫ع‬َ‫ب‬َ‫ن‬ََ‫م‬َ‫س‬َ‫ع‬َ‫ود‬َََ‫ق‬َ‫ض‬‫ى‬ََ‫الن‬َُّ‫ب‬َََ‫ل‬َ‫ال‬َ‫ب‬َ‫ن‬َ‫ة‬ََ‫الن‬َ‫ص‬َ‫ف‬ََ‫و‬َ‫ل‬َ‫ب‬َ‫ن‬َ‫ة‬ََ‫ال‬َ‫ب‬َ‫ن‬ََُّ‫الس‬َ‫د‬َ‫س‬َ َ‫ت‬َ‫ك‬َ‫م‬َ‫ل‬ًَ‫ة‬ََ‫ل‬َُّ‫لث‬َ‫ل‬َ‫ث‬َ‫ي‬ََ‫و‬َ‫م‬‫ا‬ََ‫ب‬َ‫ق‬َ‫ي‬ََ‫ف‬َ‫ل‬َ‫أل‬َ‫خ‬ََ‫ت‬َ Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi anak tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)4 2.3. Dalil Ijma' Para shahabat, tabiin dan para ulama yang mewarisi nabi telah berijma' tentang pensyariatan hukum waris ini. 4 Nailul Authar jilid 6 halaman 58
  • 28.
  • 29. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 29 Bab Kedua Pengertian Waris 1. Definisi 1.1. Bahasa Al-miirats ( ‫رثا‬‫ر‬‫)المي‬ dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ( ‫و‬‫ر‬‫ر‬‫ر‬‫ي‬‫ث‬‫إ‬‫ر‬‫ر‬‫ر‬‫ث‬‫و‬ ‫ا‬‫م‬‫ي‬‫ث‬‫ر‬‫ر‬‫اث‬‫ا‬ ) waritsa- yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
  • 30. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 30 banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman: َ‫ث‬‫ر‬‫و‬‫و‬َ‫ود‬‫او‬‫َد‬‫ان‬‫م‬‫ي‬‫ل‬‫س‬َ "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16) َ‫ي‬‫ث‬‫ار‬‫و‬‫َال‬‫ن‬‫اََن‬‫ن‬‫ك‬‫و‬َ "... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58) Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.: ََ‫اء‬‫م‬‫ل‬‫الع‬َ‫ر‬‫و‬َ‫ث‬َ‫اء‬‫ي‬‫ب‬‫ن‬‫َال‬‫ة‬ 'Ulama adalah ahli waris para nabi'. 1.2. Pengertian syariah Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i. 2. Waris, Hibah dan Wasiat Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali kesulitan saat membedakannya. Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.
  • 31. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 31 WARIS HIBAH WASIAT Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat Penerima Ahli waris ahli waris & bukan ahli waris bukan ahli waris Nilai Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3 Hukum wajib Sunnah Sunnah 2.1. Waktu Dari segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta itu. Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia meninggal dunia. 2.2. Penerima Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur. Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris
  • 32. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 32 sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima lewat jalur washiat. Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja. 2.3. Nilai Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh. Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Ada juga para ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh. Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus. Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang diharamkan. Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus dibatalkan. 2.4. Hukum Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu kewajiban atas harta. Sedangkan memberikan washiyat hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya sunnah.
  • 33. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 33 3. Istilah-istilah dalam ilmu waris Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas, dimana istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah yang umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang akan seringkali muncul dalam mata kuliah ini. 3.1. Tarikah Tarikah, (‫رة‬‫ر‬‫)تثك‬ kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya). 3.2. Fardh Fardh ( ‫رث‬‫ر‬‫)ف‬ adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh. Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian bila suaminya tidak punya keturunan. 3.3. Ashhabul Furudh.
  • 34. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 34 Ashabul furudh ( ‫الفثو‬ ‫)أصحاب‬ sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya. Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami. Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri. Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta muwarristnya. 3.4. Ashabah Istilah ashabaha (‫)عصرةة‬ berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh. Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka
  • 35. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 35 bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar. Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8. 3.5. Sahm Sahm ( ‫)سرم‬ adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan kepada setiap ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka. Misalnya, 3.6. Nasab Nasab ( ‫نسر‬‫ب‬ ) adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut bunuwwah. 3.7. Al-Far'u Istilah ( ‫)الفرث‬ bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut ke bawahnya.
  • 36. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 36 3.8. Al-Ashl Yang dimaksud dengan istilah al-ashl ( ‫)األصر‬ adalah ayah kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek). Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.
  • 37. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 37 Bab Ketiga Alokasi Harta Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta, tidak semua harta peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada sejumlah pos pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Tentu saja bila pos-pos pengeluaran itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum waris. 1. Menetapkan Kepemilikan Harta Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di kitab- kitab fiqih klasik, namun pada kenyataannya, terutama di negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari semua urusan pembagian warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah memilah dan memilih mana yang merupakan harta almarhum dan mana yang harta milik orang lain, tetapi tercampur di dalam harta almarhum. Mengapa demikian?
  • 38. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 38 Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta yang dibagi waris itu harus harta yang 100% dimiliki oleh almarhum yang meninggal dunia. Padahal kenyataan yang sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi milik bersama, baik antara suami istri atau pun dengan pihak lain. Ada beberapa contoh kasus yang sering terjadi dimana di dalam harta seseorang masih tercampur hak milik orang lain, diantaranya : a. Usaha Bersama Suami Istri Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua. Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan, lantran kedua suami istri. Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta berupa usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami tentu tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu. Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka. Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang status kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu. Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham istri harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus ditetapkan secara jelas juga.
  • 39. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 39 Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik istri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup. b. Suami Memberi Hadiah Kepada Istri Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak mendapat harta warisan berupa kolam pemancingan dari peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak tidak punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum tidak punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah adik-adik almarhum. Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah menjanda, kolam pancing ikan yang diributkan itu pada dasarnya bukan asset harta milik suaminya yang sudah almarhum. Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan kolam pancing itu kepada dirinya sebagai hadiah ulang tahun. Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama istri. Maka harta itu tidak bisa dibagi waris, karena statusnya bukan milik almarhum. Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat bukti kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa dilakukan. c. Pinjam atau Beli Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.
  • 40. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 40 Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang pinjaman ini tidak dikembalikan. Otomatis sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak. Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli waris meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka, karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang. Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan. Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembalikan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu saja. Karuan saja keluarga sang kakak meradang, karena apa artinya uang segitu di zaman sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH sekarang, yaitu sekitar 30-an juta. Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum. 2. Pengurusan Jenazah Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman
  • 41. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 41 tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya. 3. Hutang Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: "Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan." Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Al-Hanafiyah Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
  • 42. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 42 Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya. Jumhur Ulama Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak. Asy-syafi'iyah Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Al-Malikiyah Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan
  • 43. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 43 utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Al-Hanabilah Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris. 4. Washiyat Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya. Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
  • 44. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 44 Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al- Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada :  ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),  kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian). Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar- benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
  • 45. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 45 Bab Keempat Rukun, Syarat dan Sebab Warisan 1. Rukun Waris Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al- mauruts. Lebih rincinya : 1.1. Al-Muwarits Al-Muwarrits ( ‫ال‬‫ث‬‫ر‬‫ررر‬‫م‬ ) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris. Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris. 1.2. Al-Warits
  • 46. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 46 Al-Warits ( ‫ار‬‫رر‬‫ر‬‫)ال‬ sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya. 1.3. Harta Warisan Harta warits ( ‫و‬‫ر‬‫رررر‬‫)الم‬ adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan. Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan. 2. Syarat Waris Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari syarat- syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga: 2.1. Meninggalnya Muwarrits Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal secara hukum. a. Meninggal secara hakiki Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
  • 47. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 47 b. Meninggal secara hukum Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan. Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia. Bagi Waris Sebelum Meninggal Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang membagi-bagi. Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia. Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar bugar. Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada keturunannya. Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
  • 48. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 48 Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya. Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain. Meski si ayah masih hidup. Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya washiyat. Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram. Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta
  • 49. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 49 warisan untuk para ahli warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal dunia. 2.2. Hidupnya Ahli Waris Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia. Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia. Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek. Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan. Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan warisan melainkan dengan cara washiat. Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan mereka. Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa. Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa -- atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui
  • 50. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 50 mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi. 2.3. Ahli Waris Diketahui Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang. 3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris: 3.1. Kerabat hakiki
  • 51. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 51 Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia. Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya. 3.2. Pernikahan Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia. Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri. 3.3. Al-Wala
  • 52. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 52 Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan. Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.
  • 53. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 53 Bab Kelima Gugurnya Warisan Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak mendapat warisan, ada juga hal-hal yang membuat seseorang yang seharusnya mendapat warisan, namun karena satu dan lain hal, haknya menjadi gugur. Sehingga orang tersebut tidak jadi menerima warisan. 1. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada tiga: 1.1. Pembunuhan Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: "Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
  • 54. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 54 Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: ‫منَتعجلَبشيءَعوقبَحبرمانه‬ Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya. Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan.  Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.  Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.  Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.  Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris. 1.2. Perbedaan Agama Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang
  • 55. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 55 anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam. Dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya: َ‫ر‬‫اف‬‫َالك‬‫ل‬‫َو‬‫ر‬‫اف‬‫َالك‬‫م‬‫ل‬‫س‬‫َال‬‫ث‬‫ر‬‫َي‬ً‫ل‬ََ‫م‬‫ل‬‫س‬‫ال‬" Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim) Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Al-islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya). Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam. Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah
  • 56. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 56 seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad? Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Nampaknya pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional. 1.3. Budak Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan
  • 57. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 57 tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik. 2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al- mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya juga dijelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut. Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub. Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
  • 58. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 58 Contoh Pertama Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah. Contoh Kedua Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter-mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
  • 59. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 59 Bab Keenam Penghalang Warisan (Al-Hujub) 1. Definisi Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman: َ‫ال‬‫ك‬ََ‫م‬‫ه‬‫ن‬‫إ‬َ‫ون‬‫وب‬‫ج‬‫ح‬‫م‬‫َل‬‫ذ‬‫ئ‬‫م‬‫و‬‫َي‬‫م‬‫ب‬‫نَر‬‫ع‬ Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar- benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka" (QS. Al- Muthaffifin : 15) Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti. Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.
  • 60. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 60 Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan. Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya. 2. Macam-macam al-Hujub Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain). Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang. Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuQShan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya
  • 61. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 61 saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya. Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya. Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuQShan. 3. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah : 1. Anak kandung laki-laki 2. Anak kandung perempuan 3. Ayah 4. Ibu 5. Suami 6. Istri
  • 62. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 62 Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka dengan almarhum yang wafat. 4. Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman Ada 16 orang yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita. Mereka ini mungkin mendapat warisan tapi mungkin juga terhalang sehingga tidak mendapatkan warisan.
  • 63. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 63 Bab Kedelapan Ashabul Furudh & Ashabah 1. Ashhabul Furudh Ashabul furudh adalah para ahli waris yang nilai haknya telah ditetapkan secara langsung dan mendapatkan harta waris terlebih dahulu, sebelum para ashabah. Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu :  setengah (1/2)  seperempat (1/4)  seperdelapan (1/8)  dua per tiga (2/3)  sepertiga (1/3)
  • 64. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 64  seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima. 2. Ashabah Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut: َ‫ن‬‫ئ‬‫َل‬‫ا‬‫و‬‫ال‬‫ق‬‫ا‬ً‫ذ‬‫اَإ‬‫ن‬‫َإ‬‫ة‬‫ب‬‫ص‬‫َع‬‫ن‬‫َن‬‫َو‬‫ب‬‫ئ‬‫َالذ‬‫ه‬‫ل‬‫ك‬‫أ‬َ‫ون‬‫ر‬‫اس‬‫ل‬َ "Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (QS. Yusuf: 14) Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa. Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah : ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagiannya dengan tegas. Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki- laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
  • 65. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 65 Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing. 2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As- Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah : ‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬‫َم‬‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫َل‬‫ه‬‫ي‬‫و‬‫ب‬‫ل‬‫و‬َ‫ن‬‫ك‬‫َي‬‫نََّل‬‫إ‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫َإ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫س‬‫د‬ُّ‫الس‬ َ‫ه‬‫ل‬َ‫ث‬‫ُّل‬‫َالث‬‫ه‬‫م‬‫أل‬‫َف‬‫اه‬‫و‬‫ب‬‫َأ‬‫ه‬‫ث‬‫ر‬‫و‬‫َو‬‫د‬‫ل‬‫و‬َ Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11). Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah. Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah :
  • 66. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 66 َ‫ه‬‫َل‬‫س‬‫ي‬‫َل‬‫ك‬‫ل‬‫َه‬‫ؤ‬‫ر‬‫َام‬‫ن‬‫إ‬َ‫آ‬‫ه‬‫ث‬‫ر‬‫َي‬‫و‬‫ه‬‫َو‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َم‬‫ف‬‫ص‬‫اَن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫ت‬‫خ‬‫َأ‬‫ه‬‫ل‬‫َو‬‫د‬‫ل‬‫و‬ ‫ن‬‫إ‬َ‫د‬‫ل‬‫اَو‬‫نََّل‬‫ك‬‫َي‬‫َّل‬َ Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An- Nisa': 176). Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah. Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.: َ‫ن‬‫ع‬َ‫اب‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫ب‬َ‫اس‬َََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫أ‬َ‫حل‬َ‫ق‬‫ا‬‫و‬ََ‫الف‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬ََ‫ب‬َ‫أ‬َ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ه‬‫ا‬ََ‫ف‬َ‫م‬‫ا‬ََ‫ب‬َ‫ق‬َ‫ي‬َ َ‫ف‬ََ‫أل‬َ‫و‬َ‫َل‬ََ‫ر‬َ‫ج‬َ‫ل‬ََ‫ذ‬َ‫ك‬‫ر‬.َ "Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari) Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah.
  • 67. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 67 Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar". 2.3. Macam-macam 'Ashabah 'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan. Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:  'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),  'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)  'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain). 3.1. 'Ashabah bin nafs Catatan Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
  • 68. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 68 'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu: 1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya. 2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya. 3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki- laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh. 4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya. Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara. 3.3.Hukum 'Ashabah bin nafs Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal
  • 69. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 69 dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah. Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
  • 70.
  • 71. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 71 Bab Ketujuh Para Ahli Waris Salah satu kendala terbesar dalam mengerti dan menghafal siapa saja ahli waris adalah tidak adanya diagram atau struktur keluarga (family chart). Apalagi ditambah dengan penyebutan yang relatif antara satu ahli waris dengan yang lainnya. Seorang ahli waris bisa saja dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya. Tapi dalam waktu yang sama, dia adalah 'anak' dari seseorang. Bahkan dia juga seorang 'kakek', atau 'paman', 'saudara', 'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan begitulah seterusnya.
  • 72. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 72 Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam memahami duduk masalah. Maka dengan bantuan diagram struktur keluarga ini, kita akan dimudahkan. Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia sering tidak baku. Katakanlah sebagai contoh, akh li ab wa li um (‫شرقيق‬ ‫,)أخ‬ sering kita terjemahkan menjadi saudara kandung. Sebagian orang memahami istilah saudara kandung adalah saudara yang sama-sama satu kandungan ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda. Dan itu adalah saudara seibu (‫ألم‬ ‫.)أخ‬ Untuk itu diagram ini selain berbahasa Indonesia, juga dilengkapi juga dengan istilah dalam bahasa Arab aslinya. Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor ahli waris, yang sepenuhnya merupakan ijtihad penulis sendiri. Sekedar untuk memastikan identitas seorang ahli waris, agar tidak tertukar-tukar penyebutannya dengan ahli waris yang lain. Kira-kira seperti id number kalau dalam sistem database. Selain itu, diagram ini juga dilengkapi dengan daftar orang-orang yang terhijab oleh seorang ahli waris. Sehingga dengan mudah kita bisa memastikan siapa saja dari mereka yang terhijab, cukup dengan sekali melihat bagan. Terakhir, diagram ini juga dilengkapi dengan bagian- bagian yang mungkin akan bisa diterima oleh seorang ahli waris.
  • 73. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 73
  • 74. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 74 1. Anak Laki-laki (‫)ابن‬ Kita urutkan pada nomor satu dalam daftar struktur keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat kedudukan anak laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris yang lain. Untuk seterusnya agar memudahkan, kita tinggal menggunakan nomor urut satu sebagai id buat anak laki- laki. 1.1. Bagian  Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali bagian anak perempuan. Seorang anak laki-laki mendapat warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada. Terkadang sisanya besar, terkadang sisanya kecil. Bahkan bisa saja sisanya sama dengan seluruh harta, misalnya karena almarhum tidak punya ahli waris lain selain anak laki-laki. Tetapi seorang anak laki-laki tidak mungkin tidak kebagian harta waris. Akan lebih tergambar kalau kita masukkan ke dalam contoh-contoh yang nyata. Contoh Pertama : Seseorang meninggal dunia dengan nilai total warisan sebesar 10 milyar, tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya hanyalah seorang anak laki-laki tunggal satu-satunya. Penyelesaiannya adalah anak laki-laki satu-satunya itu mewarisi seluruh harta ayahnya, sebesar 10 milyar. Karena anak laki-laki memang mendapat semua sisa harta, yang
  • 75. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 75 dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris dari ashabul furudh yang masih hidup. Ahli Waris Bagian Nilai Anak laki-laki 1/1 10 milyar Contoh Kedua : Seorang meninggal dunia dengan harta sebesar 7 milyar, tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya 7 orang anak laki-laki semua. Penyelesaian sederhana saja, harta itu dibagi rata kepada lima orang. Jadi masing-masing mendapat 1 milyar. Ahli Waris Bagian Nilai Anak laki-laki 1 1/7 1 milyar Anak laki-laki 2 1/7 1 milyar Anak laki-laki 3 1/7 1 milyar Anak laki-laki 4 1/7 1 milyar Anak laki-laki 5 1/7 1 milyar Anak laki-laki 6 1/7 1 milyar Anak laki-laki 7 1/7 1 milyar Contoh Ketiga : Seorang laki-laki wafat dengan harta 8 milyar, meninggalkan ahli waris seorang istri dan seorang anak laki- laki.
  • 76. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 76 Istri adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan, yaitu 1/8 atau 1 milyar. Sisanya adalah 7/8 bagian atau 7 milyar, menjadi hak oleh anak laki-laki adalah 7/8. Hak anak laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh istri almarhum. Kalau kita jabarkan dalam bentuk tabel, hasilnya sebagai berikut : Ahli Waris Bagian Nilai Istri 1/8 1 milyar Anak laki-laki (ashabah) 7/8 7 milyar Contoh Keempat : Harta almarhum sebesar 8 milyar, pada saat wafat beliau memiliki seorang istri dan 7 orang anak laki-laki. Bagaimana penyelesaiannya? Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang anak laki-laki adalah ashabah, mereka berhak atas sisanya. Dan sisanya yang 7/8 bagian itu dibagi rata kepada 7 orang anak laki-laki. 7/8 dibagi 7 adalah 1/8. Kita perhatikan bahwa masing-masing ahli waris sama- sama mendapat 1/8 dari 8 milyar, jadi masing-masing mendapat 1 milyar. Ahli Waris Bagian Nilai Istri 1/8 1/8 1 milyar Anak laki-laki 1 7/8 1/8 1 milyar Anak laki-laki 2 1/8 1 milyar Anak laki-laki 3 1/8 1 milyar
  • 77. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 77 Anak laki-laki 4 1/8 1 milyar Anak laki-laki 5 1/8 1 milyar Anak laki-laki 6 1/8 1 milyar Anak laki-laki 7 1/8 1 milyar 1.2. Menghijab Ahli Waris  id  saudara seayah-ibu  saudari seayah-ibu  saudara seayah  saudari seayah  keponakan : anak saudara seayah-ibu  keponakan : anak saudara seayah  paman : saudara ayah seayah-ibu  paman : saudara ayah seayah  sepupu : anak laki paman seayah-ibu  sepupu : anak laki paman seayah  cucu : anak laki dari anak laki  cucu : anak wanita dari anak laki  saudara & saudari seibu  9  10  11  12  13  14  15  16  17  18  19  20  22 1.3. Dihijab oleh : Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak laki-laki tidak dihijab oleh siapa pun. Karena posisinya yang langsung berhubungan dengan muwarrits. * * * 2. Anak Perempuan (‫)بنت‬ Anak perempuan yang dimaksud adalah anak perempuan dari muwarrits yang telah meninggal dunia. Kita letakkan pada nomor urut dua, karena posisinya yang
  • 78. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 78 sangat dekat dengan muwarrits, serta bersisian dengan anak lak-laki yang berada pada nomor urut satu. 2.1. Bagian  1/2 = menjadi satu-satunya anak almarhum  2/3 = dua orang atau lebih dan almarhum tak ada anak laki  ashabah = almarhum punya anak lak-laki dengan ketentuan bagiannya 1/2 dari bagian anak laki-laki Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam menerima waris dari orang tuanya. Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta warisan. Syaratnya, dia menjadi anak tunggal dari muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan. َ‫ت‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫و‬َ‫ف‬‫ص‬‫اَالن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬ً‫ة‬‫د‬‫اح‬‫و‬َ Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh harta warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11) Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia tidak sendirian. Dia punya saudara perempuan sehingga minimal mereka berdua. Dan mereka semua akan mendapat jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama semuanya perempuan dan tidak ada saudara laki-laki satu pun. َ‫ن‬‫نَك‬‫إ‬‫ف‬َ‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫اَم‬‫ث‬‫ل‬‫َث‬‫ن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫ي‬‫ت‬‫ن‬‫َاث‬‫ق‬‫و‬‫اءَف‬‫س‬‫ن‬َ
  • 79. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 79 Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS. An-Nisa': 11) Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama anak laki-laki akan mendapat ashabah atau sisa. Harta sisa itu dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima saudara laki-lakinya. َ‫م‬‫يك‬‫وص‬‫ي‬َ‫لذ‬‫َل‬‫م‬‫ك‬‫د‬‫ل‬‫و‬‫َأ‬‫َف‬‫اّلل‬‫َا‬‫ظ‬‫َح‬‫ل‬‫ث‬‫َم‬‫ر‬‫ك‬َ‫ي‬‫ي‬‫نث‬‫ل‬َ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An- Nisa : 11) 2.2. Menghijab  cucu : anak wanita dari anak laki  saudara & saudari seibu 20 22 Ada 2 orang yang dihijab oleh anak perempuan. Pertama, saudara atau saudari seibu tidak seayah. Kedua, cucu perempu- an almarhum, dengan syarat jumlah anak perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan cucu perempuan sebagai ashabah bersamanya. 2.3. Dihijab Oleh :
  • 80. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 80 Seorang anak perempuan tidak pernah dihijab oleh siapa pun, karena tidak ada penghalang antara dirinya dengan muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri. * * * 3. Istri (‫)زوجة‬ Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik suaminya. Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian suami. 3.1. Bagian Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima bagian, yaitu 1/4 atau 1/8 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'. Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara' waris5 , maka hak istri adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya. ‫ن‬‫َإ‬‫م‬‫ت‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫ع‬‫ب‬ُّ‫َالر‬‫ن‬‫َّل‬‫و‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫نَل‬‫ك‬‫َي‬‫َّل‬َ "Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan bila kamu tidak mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12) 5 Diantara fara' waris antara lain : anak laki-laki, anak perempuan, juga anak laki-laki atau anak perempuan dari anak laki- laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan dari anak perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan termasuk fara' waris, karena cucu dari anak perempuan tidak termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.
  • 81. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 81 Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan suami. َ‫ن‬‫ُّم‬‫ث‬‫َال‬‫ن‬‫ه‬‫ل‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫م‬‫ك‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫ف‬َ‫و‬‫اَأ‬‫َب‬‫ون‬‫وص‬‫َت‬‫ة‬‫ي‬‫ص‬‫َو‬‫د‬‫ع‬‫نَب‬‫مَم‬‫ت‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫ِم‬ َ‫ن‬‫ي‬‫د‬ "... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang- utangmu ..." (QS. An-Nisa': 12) 3.2. Menghijab Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun dari ahli waris suami. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi kehilangan haknya. 3.3. Dihijab oleh Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, istri tidak dihijab oleh siapa pun. * * * 4. Suami Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik istrinya. Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian istri.
  • 82. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 82 4.1. Bagian Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu 1/2 atau 1/4 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'. Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara' waris, maka hak suami 1/2 bagian dari harta peninggalan almarhumah istrinya. َ‫ف‬‫ص‬‫َن‬‫م‬‫ك‬‫ل‬‫و‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ن‬‫نََّل‬‫ك‬‫َي‬‫نََّل‬‫َإ‬‫م‬‫ك‬‫اج‬‫و‬‫ز‬‫َأ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫م‬َ "... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12) Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian suami adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri. َ‫ان‬‫نَك‬‫إ‬‫ف‬َ‫ن‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫ع‬‫ب‬ُّ‫َالر‬‫م‬‫ك‬‫ل‬‫َف‬‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ن‬‫َّل‬َ "... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya (QS. An- Nisa': 12) 4.2. Menghijab Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun dari ahli waris istri. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi kehilangan haknya. 4.3. Dihijab oleh Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, suami tidak dihijab oleh siapa pun.
  • 83. Ahmad Sarwat, Lc Fiqih Mawaris 83 * * * 5. Ayah Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik anak itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya adalah ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu, tidak menjadi ahli waris. 5.1. Bagian Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.  1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki  1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki  Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya, almarhum anaknya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. ‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬‫َم‬‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫َل‬‫ه‬‫ي‬‫و‬‫ب‬‫ل‬‫و‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫نَك‬‫َإ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫س‬‫د‬ُّ‫الس‬ Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11) Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu
  • 84. Fiqih Mawaris Ahmad Sarwat,Lc 84 anaknya yang meninggal itu punya fara' waris perempuan6 dan tidak punya fara' waris laki-laki. Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal ini ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda : َ‫ن‬‫ع‬َ‫اب‬َ‫ن‬ََ‫ع‬َ‫ب‬َ‫اس‬َََ‫َللا‬‫ول‬‫س‬‫َر‬‫ال‬‫َق‬‫ال‬‫ق‬ََ‫أ‬َ‫حل‬َ‫ق‬‫ا‬‫و‬ََ‫الف‬َ‫ر‬َ‫ائ‬َ‫ض‬ََ‫ب‬َ‫أ‬َ‫ه‬َ‫ل‬َ‫ه‬‫ا‬ََ‫ف‬َ‫م‬‫ا‬ََ‫ب‬َ‫ق‬َ‫ي‬َ َ‫ف‬ََ‫أل‬َ‫و‬َ‫َل‬ََ‫ر‬َ‫ج‬َ‫ل‬ََ‫ذ‬َ‫ك‬‫ر‬.َ "Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari) Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut : ‫ا‬‫م‬‫ه‬‫ن‬‫َم‬‫د‬‫اح‬‫َو‬‫ل‬‫ك‬‫َل‬‫ه‬‫ي‬‫و‬‫ب‬‫ل‬‫و‬ََ‫ن‬‫َإ‬‫ك‬‫ر‬‫اَت‬‫َِم‬‫س‬‫د‬ُّ‫الس‬َ‫د‬‫ل‬‫َو‬‫ه‬‫َل‬‫ان‬‫ك‬َ Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11) Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu tentu masih bersisa. Siapakah yang berhak atas harta ini? Jawabnya adalah ayah. Mengapa? Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang merupakan ashabah juga. Meski pun pada dasarnya ada lagi 6 Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.