SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 14
Pengertian PPh Pasal 24
     Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat diperhitungkan atas
     pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1
     dan 2 Pasal 24 UU PPh :

1.    Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima
      atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
      berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

2. Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang
      dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang
      berdasarkan Undang-undang ini.
     Penghasilan yang boleh diperhitungkan/ dikreditkan tersebut antara lain penghasilan dari luar negeri
     berupa :

a.    penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas
      lainnya;

b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak;

c.    penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak;

d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e.    Penghasilan BUT luar negeri;

f.    penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam
      pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

g.    keuntungan karena pengalihan harta tetap;

h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap.
     Hal yang paling mendasar PPh Pasal 24 ini adalah adanya batas maksimumyang boleh dikreditkan
     seperti yang tercantum dalam ayat 2 Pasal 24 UU PPH seperti tersebut di atas.
     Contoh kasus PPh Pasal 24
     PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut :

1.    di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 100.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp.
      40.000.000,00);

2. di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 750.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 10% (Rp.
      75.000.000,00);

3. Penghasilan usaha di dalam negeri Rp. 400.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :



Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :

1. Penghasilan Luar negeri :

   a.     laba di negara X          = Rp. 100.000.000,00

   b.     laba di negara Y          = Rp. 750.000.000,00
                                    = Rp. 850.000.000,00
   c.     Jumlah penghasilan luar

          negeri



2. Penghasilan dalam negeri         = Rp. 400.000.000,00

3. Jumlah penghasilan neto adalah :

   Rp. 850.000.000,00 + Rp. 400.000.000,00 = Rp. 1.250.000.000,00

4. PPh terutang (menurut tarif Pasal 17 dengan fasilitas ) = Rp. 156.250.000,00

5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :

   a. Untuk negara X =

        Rp.   100.000.000,00
                                 X Rp. 156.250.000,00 = Rp. 12.500.000,00
        Rp. 1.250.000.000,00



        Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp. 40.000.000,00, namun maksimum kredit pajak

        yang dapat dikreditkan adalah Rp. 12.500.000,00.

   b. Untuk negara Y =

        Rp.   750.000.000,00
                                 X Rp. 156.250.000,00 = Rp.93.750.000 ,00
        Rp.1.250.000.000,00



        Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp. 75.000.000,00, maka maksimum kredit pajak

        yang dapat dikreditkan adalah Rp.75.000.000,00.

        Jumlah PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah :

        Rp. 12.500.000,00 + Rp. 75.000.000,00 = Rp. 87.500.000,00
1.   Wajib Pajak Orang Pribadi Tertentu (WP OPPT) adalah Wajib Pajak (WP) yang melakukan kegiatan usaha
     di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet)
     yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.
2.   WP yang memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah kerja KPP, harus mendaftarkan masing-
     masing tempat usahanya di KPP yang bersangkutan.
3.   WP yang memiliki beberapa tempat usaha di lebih dari 1 wilayah kerja KPP, harus mendaftarkan setiap
     tempat usahanya di KPP Lokasi masing-masing tempat usaha WP berada.
4.   Terhadap WP OPPT tersebut di atas wajib membayar angsuran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25)
     sebesar 2 % dari jumlah peredaran bruto berdasarkan pembukuan atau pencatatan setiap bulan dari
     masing-masing tempat usaha/gerai (outlet) WP.
5.   WP OP yang memberikan pernyataan semata-mata hanya memiliki satu tempat usaha/gerai(outlet) tidak
     boleh dikukuhkan menjadi WP OPPT oleh KPP Lokasi. WP yang bersangkutan hanya wajib mendaftarkan
     diri untuk memperoleh NPWP ke KPP Domisili. KPP lokasi hanya bisa memberitahukan ke WP dan KPP
     domisili agar terhadap WP yang bersangkutan dilakukan pendaftaran/pemberian NPWP ( lihat S -
     58/PJ.311/2004 )

6.   PPh Pasal 25 tersebut harus dilunasi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan harus dilaporkan ke
     KPP terkait paling lambat tanggal 20 bulan tersebut dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 25 seperti
     contoh pada lampiran II KEP - 171/PJ./2002.

7.   SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut hanya disampaikan di KPP tempat domisili Wajib
     Pajak terdaftar dengan melampirkan formulir daftar jumlah penghasilan dan pembayaran PPh Pasal 25 dari
     masing-masing tempat usaha/gerai (outlet). Formulir yng digunakan seperti contoh pada lampiran I KEP -
     171/PJ./2002.

8.   Hal-hal penting sehubungan dengan pembayaran dan pelaporan PPh pasal 25 untuk WP Orang Pribadi
     tertentu :

     a. KPP lokasi adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha/gerai (outlet).
     b. KPP Domisili adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal WP Orang
        Pribadi yang bersangkutan.
     c. Jika WP Orang Pribadi tertentu menerima atau memperoleh penghasilan lain yang
        dikenakan PPh yang bersifat tidak final maka :
          - PPh Pasal 25 yang dibayar oleh masing-masing tempat usaha/gerai (outlet) dapat
            dikreditkan dalam penghitungan PPh terutang untuk tahunn pajak yang bersangkutan
          - Jika ada kompensasi kerugian tahun pajak sebelumnya, kompensasi kerugian dapat
            diperhitungkan dengan penghasilan WP Orang Pribadi tertentu sepanjang belum
            habis masa kompensasinya
          - Besarnya angsuran PPh pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh
            WP untuk bulan-bulan setelah batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh, sama
            dengan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
- Besarnya angsuran PPh pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh
     WP untuk bulan-bulan setelah batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh adalah
     sbb =
      Penghasilan lain
      neto                       besar angsuran yang terutang berdasarkan SPT tahunan
                             X
      Total penghasilan          PPh tahun pajak sebelumnya.
      neto

   - Contoh penghitungan PPh Pasal 25 untuk WP Orang Pribadi tertentu menerima atau
     memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final :
                                           Perdagangan       Penghasilan
                    Uraian                                                 Jumlah (Rp)
                                               (Rp)           Lain (Rp)

      Peredaran Bruto                     600.000.000    200.000.000       800.000.000

      Harga Pokok dan Biaya lain          (500.000.000) (120.000.000)      (620.000.000)

      Penghasilan Neto                    100.000.000    80.000.000        180.000.000

      PTKP ( misal K/2)                   -              -                 (7.200.000)

      PKP                                 -              -                 172.800.000

      PPh Terutang ( tarif Psl 17)        -              -                 29.450.000

      PPh Pasal 25 ayat (7) yang telah
                                          -              -                 (6.000.000)
      dibayar

      PPh Kurang Bayar                    -              -                 23.450.000

      Besar Angsuran ( 1/12 X
                                          -              -                 1.954.167
      17.450.000 )

      Besar Angsuran untuk Penghasilan lain = (80.000.000/180.000.000)
                                                                       868.518
      X 1.954.167

d. Jika WP Orang Pribadi tertentu tidak memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh
   yang bersifat final maka :
   - PPh Pasal 25 yang dibayar oleh masing-masing tempat usaha/gerai (outlet)
     merupakan pelunasan PPh terutang.
   - Jika ada kompensasi kerugian tahun pajak sebelumnya, kompensasi kerugian tidak
     dapat diperhitungkan.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam ketentuan Pajak
Penghasilan di Indonesia. Ya, berdasarkan azas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang
dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya
adalah dengan sistem witholding tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984.

Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis PPh Pasal 26 yaitu
PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh
Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri.

PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar
negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong
pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima
penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26
ayat (1) ini sedangkan tulisan tentang PPh Pasal 26 ayat (2), ayat (2a) dan ayat (4) sudah saya buat di
tautan berikut ini :


        PPh   Pasal   26   Premi Asuransi (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
        PPh   Pasal   26   Penghasilan Penjualan Saham (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
        PPh   Pasal   26   Penghasilan Penjualan Harta (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
        PPh   Pasal   26   Penghasilan Penjualan Saham Antara (berdasarkan Pasal 26 ayat (2a)), dan
        PPh   Pasal   26   Penghasilan Kena Pajak BUT (berdasarkan Pasal 26 ayat (4))

Istilah PPh Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-
undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama selain yang sudah saya tuliskan dalam
tautan di atas.

Pemotong PPh Pasal 26


Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984),
pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1) adalah :


a.   Badan Pemerintah

Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun
demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah
Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di
bawahnya.


b.   Subjek Pajak Badan dalam negeri

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam
negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung
arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah
bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di
mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.

Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap
c.    Penyelenggara kegiatan

Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan
suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang
mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.


d.    Bentuk Usaha Tetap (BUT)

BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima
atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri,
pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam
negeri.

Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan
manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.


e.    Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya

Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh
Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

Fihak Yang Dipotong PPh Pasal 26


Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap Wajib Pajak luar
negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.

Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan
kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT
Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat.

Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib
Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan.

Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26


Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-
undang Pajak Penghasilan adalah :

     1.   dividen;
     2.   bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
          utang;
     3.   royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;
     4.   imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5.   hadiah dan penghargaan;
          6.   pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
          7.   premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
          8.   keuntungan karena pembebasan utang

      Perhatikan bahwa objek PPh Pasal 26 ayat (1) ini adalah mirip dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan
      PPh Pasal 23. Yang membedakannya dengan PPh Pasal 26 adalah bahwa penerima penghasilan yang
      dipotong PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri, sedangkan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah
      Wajib Pajak dalam negeri.

      Tarif dan Dasar Pengenaan


      Tarif PPh Pasal 26 adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah bruto yang
      dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada
      Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta
      = Rp20 Juta.

      Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara lain. Biasanya
      dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti
      dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan
      ketentuan domestik berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.

      Penutup


      Demikianlah, tulisan ini merupakan tulisan penutup dari seri tulisan PPh Pasal 26. Semoga bermanfaat bagi
      Anda yang sedang mempelajari perpajakan Indonesia. Nantikan seri tulisan berikutnya tentang PPh Pasal
      22.


      arif Pajak PPh Pasal 25/29 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi adalah berdasarkan pasal
      17 Undang-undang No.36 Tahun 2008 tentang PajakPenghasilan dengan perincian
      sebagai berikut :

                    Lapisan Penghasilan Kena Pajak                                  Tarif Pajak
      sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta                                   5%
      rupiah)                                                                     (lima persen)
      di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)                                15%
      sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima                           (lima belas persen)
      puluh juta rupiah)
      di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta                           25%
      rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus                    (dua puluh lima persen)
      juta rupiah)
      di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)                                30%
                                                                               (tiga puluh persen)

      Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00.
      Pajak Penghasilan yang terutang :
      5 %       x Rp    50.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
15 % x Rp. 200.000.000,-         =   Rp. 30.000.000,-
  25 % x Rp. 250.000.000,-         =   Rp. 62.500.000,-
  30 % x Rp. 100.000.000,-         =   Rp. 30.000.000,- +
  Jumlah PPh terutang              =   Rp. 125.000.000,-

   Dasar Hukum :
a. UU no. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)




  inflasi dan pengangguran
  Inflasi
  Definisi Inflasi :
  Secara umum inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga barang dan jasa secara umum dan
  terus menerus selama waktu tertentu .

  Komponen Inflasi
  Ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi, Prathama dan
  Mandala (2001:203)
  1. Kenaikan harga
  Harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi darpada harga periode sebelumnya.
  2. Bersifat umum
  Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika kenaikan tersebut tidak
  menyebabkan harga secara umum naik.
  3. Berlangsung terus menerus
  Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan memunculkan inflasi, jika terjadi sesaat, karena
  itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan

  Tingkat Inflasi
  Kondisi inflasi menurut Samuelson (1998:581), berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi tiga bagian
  yaitu
  1) Merayap {Creeping Inflation)
  Laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% pertahun), kenaikan harga berjalan lambat dengan persentase
  yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.
  2) Inflasi menengah {Galloping Inflation)
  Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang
  relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi yang arrinya harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi
  dari minggu/bulan lalu dan seterusnya.
  3) Inflasi Tinggi {Hyper Inflation)
  Inflasi yang paling parah dengan dtandai dengan kenaikan harga sampai 5 atau 6 kali dan nilai uang
  merosot dengan tajam. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran
  belanja.

  Metode Pengukuran Inflasi
  Suatu kenaiikan harga dalam inflasi dapat diukur dengan menggunakan indeks harga. Ada beberapa
  indeks harga yang dapat digunakan untuk mengukur laju inflasi (Nopirin,1987:25) antara lain:
a) ConsumerPriceIndex (CPI)
Indeks yang digunakan untuk mengukur biaya atau pengeluaran rumah tangga dalam membeli sejumlah
barang bagi keperluan kebuthan hidup:

CPI= (Cost of marketbasket ingiven year : Cost of marketbasket in base year) x 100%

b) Produsen PriceIndex dikenal dengan Whosale Price Index
Index yang lebih menitikberatkan pada perdagangan besar seperti harga bahan mentah (raw material),
bahan baku atau barang setengah jadi. Indeks PPI ini sejalan dengan indeks CPI.
c) GNP Deflator
GNP deflator ini merupakan jenis indeks yang berbeda dengan indeks CPI dan PPI, dimana indeks ini
mencangkup jumlah barang dan jasa yang termasuk dalam hitungan GNP, sehingga jumlahnya lebih
banyak dibanding dengan kedua indeks diatas:

GNP Deflator = (GNP Nominal : GNP Riil) x 100%

Faktor - faktor yang mempengaruhi Inflasi
Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998:587), ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
inflasi:
a. DemandPull Inflation
Timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif
perekonomian, menarik harga ke atas untuk menyeimbangkan penawaran dan pennintaan agregat.
b. Cost Push Inflation or Supply Shock Inflation
Inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan biaya selama periode pengangguran tinggi dan penggunaan
sumber daya yang kurang efektif.

Sedangkan faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh Demand
Pull Inflation dan Cost Push Inflation tetapi juga dipengaruhi oleh :
a) Domestic Inflation
Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga barang secara
umum di dalam negeri.
b) ImportedInflation
Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang
import secara umum




Penyebab inflasi
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar)
dan yang kedua adalah desakan(tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or
service) dan/atau juga termasuk kurangnya distribusi).[rujukan?] Untuk sebab pertama lebih
dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua
lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh
Pemerintah (Government) seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan
pembangunan infrastruktur, regulasi, dll.
Inflasi tarikan permintaan (Ingg: demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang
berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan
yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas
yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan
terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu
kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan
dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment
dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan.
Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya
kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral,
sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
Inflasi desakan biaya (Ingg: cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau
juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang
meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi
yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan
berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian
yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi
sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik,
perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb,
aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di
pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor
infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.
Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal,yaitu
kenaikan harga,misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji,misalnya kenaikan gaji PNS akan
mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.




Penggolongan inflasi
Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang berasal dari dalam
negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari dalam negeri misalnya terjadi akibat
terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar
yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah
inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya
produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga
yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup
(Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka
inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi demikian
hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat
menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali
(Hiperinflasi).
Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan :
1. Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
2. Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
3. Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
4. Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)
Mengukur inflasi
Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga. Indeks
harga tersebut di antaranya:
• Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga
rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.
• Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI).
• Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang
dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan tingkat
IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang kemudian
akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.
• Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.
• Indeks harga barang-barang modal
• Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal,
barang jadi, dan jasa.

Dampak
Pekerja dengan gaji tetap sangat dirugikan dengan adanya Inflasi.
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila
inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian
lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja,
menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat
terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian
dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan
produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai
negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi
harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
• Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh
seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli
uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan,
seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai
yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
• Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun.
Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja
menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena,
untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
• Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat
pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam.
Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang
pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.
• Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada
kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan
produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya
produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan
produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak
sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada
pengusaha kecil).
• Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong
kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan
pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan
dan kesejahteraan masyarakat.

Pengangguran
• Pengertian Pengangguran
• Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang
mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya
seperti ibu rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya
yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.
B. Rumus Menghitung Tingkat Pengangguran
Untuk mengukur tingkat pengangguran pada suatu wilayah bisa didapat dar prosentase membagi jumlah
pengangguran dengan jumlah angkaran kerja.
Tingkat Pengangguran = Jml Yang Nganggur / Jml Angkatan Kerja x 100%
C. Jenis & Macam Pengangguran
1. Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala
waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerjaan.
2. Pengangguran Struktural / Structural Unemployment
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak
mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu
perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki
kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
3. Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment
Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka
pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim
tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.
4. Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi
sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.

Pengangguran juga dapat dibedakan atas pengangguran sukarela (voluntary unemployment) dan
dukalara (involuntary unemployment). Pengangguran suka rela adalah pengangguran yang menganggur
untuk sementara waktu karna ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Sedangkan pengangguran
duka lara adalah pengengguran yang menganggur karena sudah berusaha mencari pekerjaan namun
belum berhasil mendapatkan kerja.
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita
dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental
dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan
ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar
proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu
perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional[1]. Suatu negara
dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut.
Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif,
yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan,
sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi
juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor
perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.
Faktor

Sumber daya alam yang dimiliki mempengaruhi pembangunan ekonomi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada
hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor
nonekonomi.
Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah
sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan.
Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan
iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu
negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan
kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki
nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi).
Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan
kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-
hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.
Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut.
Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya
modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan
ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.
Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik,
kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku.

Hubungan inflasi, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi

Ada suatu hubungan terbalik antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam suatu
perekonomian. Semakin banyak pengusaha memperluas kesempatan kerja semakin dia harus membayar
dengan faktor tertentu produksi dan pembayaran lebih banyak faktor produksi peningkatan biaya
produksi unit akan diamati dan dalam rangka mempertahankan profitabilitas produk pengusaha akan
mengembang harga produk tersebut.. Sebuah proses serupa akan diamati di seluruh perekonomian
ketika pemerintah bermaksud untuk menciptakan pekerjaan. Harga produk atau jasa, di mana tenaga
kerja terinstal, akan meningkat sehingga kenaikan tingkat inflasi akan terlihat melalui ekonomi luar.
Dapat disimpulkan dari penjelasan tersebut di atas bahwa ketika pemerintah berniat untuk menurunkan
menurunkan tingkat pengangguran yang harus menanggung kenaikan tingkat inflasi dalam
perekonomian nasional.
yang berbeda antara inflasi dan pengangguran….
jumlah orang yang menganggur adalah jumlah orang di negara yang tidak memiliki pekerjaan dan yang
tersedia untuk bekerja pada tingkat upah pasar saat ini. Ini dengan mudah dapat diubah menjadi
persentase dengan mengaitkan jumlah pengangguran, dengan jumlah orang dalam angkatan kerja.
Inflasi adalah kenaikan harga secara umum selama 12 bulan. Ini diukur dengan mengambil rata-rata
tertimbang semua produk konsumen (tertimbang pada frquency pembelian) dan menganalisis tren
harga keseluruhan. Hal ini sering disebut Indeks Harga Konsumen (CPI) atau Harmonised Indeks Harga
Konsumen (HICP). Hal ini menunjukkan berapa banyak, sebagai persentase, tingkat harga umum dari
semua barang-barang konsumsi telah berubah sepanjang tahun.
Kedua telah dianalisis bersama-sama dengan kurva Phillips yang menunjukkan tingkat inflasi diplot
terhadap tingkat pengangguran.

sumber: www.wikipedia.com
buku analisis ekonomi untuk bisnis

nama: iin napisa, 2eb08,25209732

Diposkan oleh napisa di 02:15

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

makalah pajak (pph 24)
makalah pajak (pph 24)makalah pajak (pph 24)
makalah pajak (pph 24)Eka Esti
 
Pajak Berganda dalam Pajak Internasional
Pajak Berganda dalam Pajak InternasionalPajak Berganda dalam Pajak Internasional
Pajak Berganda dalam Pajak InternasionalIlham Sousuke
 
Pajak Internasional atas Dividen
Pajak Internasional atas DividenPajak Internasional atas Dividen
Pajak Internasional atas DividenIlham Sousuke
 
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki ArdoniPajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki ArdoniRiki Ardoni
 
Group 9 perpajakan
Group 9 perpajakanGroup 9 perpajakan
Group 9 perpajakanhaningtia
 
Pencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajakPencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajakkaromah95
 
PPN pengkreditan pajak masukan
PPN   pengkreditan pajak masukanPPN   pengkreditan pajak masukan
PPN pengkreditan pajak masukankaromah95
 
Modul rekonsiliasi-fiskal
Modul rekonsiliasi-fiskalModul rekonsiliasi-fiskal
Modul rekonsiliasi-fiskalYABES HULU
 
Saat dan tempat terutang pajak
Saat dan tempat terutang pajakSaat dan tempat terutang pajak
Saat dan tempat terutang pajakrereee
 
Akuntansi Pajak, Alfia Oktaviani, Suryanih, Institut STIAMI
Akuntansi Pajak, Alfia Oktaviani, Suryanih, Institut STIAMI Akuntansi Pajak, Alfia Oktaviani, Suryanih, Institut STIAMI
Akuntansi Pajak, Alfia Oktaviani, Suryanih, Institut STIAMI Alfia Oktaviani
 
Bab 5 pajak penghasilan pasal 22 & pasal 24
Bab 5 pajak penghasilan pasal 22 & pasal 24Bab 5 pajak penghasilan pasal 22 & pasal 24
Bab 5 pajak penghasilan pasal 22 & pasal 24Sidik Abdullah
 
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki ArdoniPPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki ArdoniRiki Ardoni
 
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26Sidik Abdullah
 

Mais procurados (17)

makalah pajak (pph 24)
makalah pajak (pph 24)makalah pajak (pph 24)
makalah pajak (pph 24)
 
P ph pasal 25
P ph pasal 25P ph pasal 25
P ph pasal 25
 
Pajak Berganda dalam Pajak Internasional
Pajak Berganda dalam Pajak InternasionalPajak Berganda dalam Pajak Internasional
Pajak Berganda dalam Pajak Internasional
 
Pajak Internasional atas Dividen
Pajak Internasional atas DividenPajak Internasional atas Dividen
Pajak Internasional atas Dividen
 
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki ArdoniPajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
 
P ph badan oleh pm
P ph badan oleh pmP ph badan oleh pm
P ph badan oleh pm
 
Group 9 perpajakan
Group 9 perpajakanGroup 9 perpajakan
Group 9 perpajakan
 
Pencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajakPencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajak
 
PPN pengkreditan pajak masukan
PPN   pengkreditan pajak masukanPPN   pengkreditan pajak masukan
PPN pengkreditan pajak masukan
 
2016 ak2 a_kelompok2_pph24
2016 ak2 a_kelompok2_pph242016 ak2 a_kelompok2_pph24
2016 ak2 a_kelompok2_pph24
 
Pajak Penghasilan Pasal 26
Pajak Penghasilan Pasal 26Pajak Penghasilan Pasal 26
Pajak Penghasilan Pasal 26
 
Modul rekonsiliasi-fiskal
Modul rekonsiliasi-fiskalModul rekonsiliasi-fiskal
Modul rekonsiliasi-fiskal
 
Saat dan tempat terutang pajak
Saat dan tempat terutang pajakSaat dan tempat terutang pajak
Saat dan tempat terutang pajak
 
Akuntansi Pajak, Alfia Oktaviani, Suryanih, Institut STIAMI
Akuntansi Pajak, Alfia Oktaviani, Suryanih, Institut STIAMI Akuntansi Pajak, Alfia Oktaviani, Suryanih, Institut STIAMI
Akuntansi Pajak, Alfia Oktaviani, Suryanih, Institut STIAMI
 
Bab 5 pajak penghasilan pasal 22 & pasal 24
Bab 5 pajak penghasilan pasal 22 & pasal 24Bab 5 pajak penghasilan pasal 22 & pasal 24
Bab 5 pajak penghasilan pasal 22 & pasal 24
 
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki ArdoniPPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
 
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
 

Destaque

Mengenalallahlewatakal 090319115500-phpapp02
Mengenalallahlewatakal 090319115500-phpapp02Mengenalallahlewatakal 090319115500-phpapp02
Mengenalallahlewatakal 090319115500-phpapp02irfanrauf93
 
Makalah penciptaan alam semesta
Makalah penciptaan alam semestaMakalah penciptaan alam semesta
Makalah penciptaan alam semestaPP. Inayatullah
 
Tafsir ayat alquran tentang alam
Tafsir  ayat alquran tentang alamTafsir  ayat alquran tentang alam
Tafsir ayat alquran tentang alamAhmad Budi Nurhamid
 
Learn BEM: CSS Naming Convention
Learn BEM: CSS Naming ConventionLearn BEM: CSS Naming Convention
Learn BEM: CSS Naming ConventionIn a Rocket
 
How to Build a Dynamic Social Media Plan
How to Build a Dynamic Social Media PlanHow to Build a Dynamic Social Media Plan
How to Build a Dynamic Social Media PlanPost Planner
 
Lightning Talk #9: How UX and Data Storytelling Can Shape Policy by Mika Aldaba
Lightning Talk #9: How UX and Data Storytelling Can Shape Policy by Mika AldabaLightning Talk #9: How UX and Data Storytelling Can Shape Policy by Mika Aldaba
Lightning Talk #9: How UX and Data Storytelling Can Shape Policy by Mika Aldabaux singapore
 
SEO: Getting Personal
SEO: Getting PersonalSEO: Getting Personal
SEO: Getting PersonalKirsty Hulse
 

Destaque (8)

Pajak
PajakPajak
Pajak
 
Mengenalallahlewatakal 090319115500-phpapp02
Mengenalallahlewatakal 090319115500-phpapp02Mengenalallahlewatakal 090319115500-phpapp02
Mengenalallahlewatakal 090319115500-phpapp02
 
Makalah penciptaan alam semesta
Makalah penciptaan alam semestaMakalah penciptaan alam semesta
Makalah penciptaan alam semesta
 
Tafsir ayat alquran tentang alam
Tafsir  ayat alquran tentang alamTafsir  ayat alquran tentang alam
Tafsir ayat alquran tentang alam
 
Learn BEM: CSS Naming Convention
Learn BEM: CSS Naming ConventionLearn BEM: CSS Naming Convention
Learn BEM: CSS Naming Convention
 
How to Build a Dynamic Social Media Plan
How to Build a Dynamic Social Media PlanHow to Build a Dynamic Social Media Plan
How to Build a Dynamic Social Media Plan
 
Lightning Talk #9: How UX and Data Storytelling Can Shape Policy by Mika Aldaba
Lightning Talk #9: How UX and Data Storytelling Can Shape Policy by Mika AldabaLightning Talk #9: How UX and Data Storytelling Can Shape Policy by Mika Aldaba
Lightning Talk #9: How UX and Data Storytelling Can Shape Policy by Mika Aldaba
 
SEO: Getting Personal
SEO: Getting PersonalSEO: Getting Personal
SEO: Getting Personal
 

Semelhante a Pajak

PERTEMUAN 4-5 PPH 24 DAN 25 .ppt
PERTEMUAN 4-5 PPH 24 DAN 25 .pptPERTEMUAN 4-5 PPH 24 DAN 25 .ppt
PERTEMUAN 4-5 PPH 24 DAN 25 .pptAtomeFinance
 
Contoh kasus p_ph_25_dan_ppn
Contoh kasus p_ph_25_dan_ppnContoh kasus p_ph_25_dan_ppn
Contoh kasus p_ph_25_dan_ppnanisa93
 
PPh Pasal 24 (Umiatul Azizah)
PPh Pasal 24 (Umiatul Azizah) PPh Pasal 24 (Umiatul Azizah)
PPh Pasal 24 (Umiatul Azizah) Umiatulazizah
 
Pajak Penghasilan Pasal 25 - Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 25 - Riki ArdoniPajak Penghasilan Pasal 25 - Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 25 - Riki ArdoniRiki Ardoni
 
pph26-220907180602-daa3750b (1).pptx
pph26-220907180602-daa3750b (1).pptxpph26-220907180602-daa3750b (1).pptx
pph26-220907180602-daa3750b (1).pptxIputuEka
 
Taxation 2 Seasin 2.pptx
Taxation 2 Seasin 2.pptxTaxation 2 Seasin 2.pptx
Taxation 2 Seasin 2.pptxTirthaSyaputra1
 
Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun Berjalan
Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun BerjalanPerhitungan Pajak Pada Akhir Tahun Berjalan
Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun BerjalanBbe Mee
 
Kredit Pajak - Riki ardoni
Kredit Pajak - Riki ardoniKredit Pajak - Riki ardoni
Kredit Pajak - Riki ardoniRiki Ardoni
 
Perpajakan ii 12042012
Perpajakan ii 12042012Perpajakan ii 12042012
Perpajakan ii 12042012dionisiusal
 
Perpajakan pph pasal 21 dan atau 26
Perpajakan pph pasal 21 dan atau 26Perpajakan pph pasal 21 dan atau 26
Perpajakan pph pasal 21 dan atau 26Nova Ardila
 
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptmSidik Abdullah
 
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptmSidik Abdullah
 
Corporate Tax.pptx
Corporate Tax.pptxCorporate Tax.pptx
Corporate Tax.pptxAdnan475038
 
Perpajakan by bu meika riba'ati
Perpajakan by bu meika riba'atiPerpajakan by bu meika riba'ati
Perpajakan by bu meika riba'atiRatri Indah
 
Tugas 1 kristina perpajakan
Tugas 1 kristina perpajakanTugas 1 kristina perpajakan
Tugas 1 kristina perpajakankristina105
 

Semelhante a Pajak (20)

PERTEMUAN 4-5 PPH 24 DAN 25 .ppt
PERTEMUAN 4-5 PPH 24 DAN 25 .pptPERTEMUAN 4-5 PPH 24 DAN 25 .ppt
PERTEMUAN 4-5 PPH 24 DAN 25 .ppt
 
Contoh kasus p_ph_25_dan_ppn
Contoh kasus p_ph_25_dan_ppnContoh kasus p_ph_25_dan_ppn
Contoh kasus p_ph_25_dan_ppn
 
PPh Pasal 24 (Umiatul Azizah)
PPh Pasal 24 (Umiatul Azizah) PPh Pasal 24 (Umiatul Azizah)
PPh Pasal 24 (Umiatul Azizah)
 
Pajak Penghasilan Pasal 25 - Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 25 - Riki ArdoniPajak Penghasilan Pasal 25 - Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 25 - Riki Ardoni
 
2
22
2
 
pph26-220907180602-daa3750b (1).pptx
pph26-220907180602-daa3750b (1).pptxpph26-220907180602-daa3750b (1).pptx
pph26-220907180602-daa3750b (1).pptx
 
Taxation 2 Seasin 2.pptx
Taxation 2 Seasin 2.pptxTaxation 2 Seasin 2.pptx
Taxation 2 Seasin 2.pptx
 
Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun Berjalan
Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun BerjalanPerhitungan Pajak Pada Akhir Tahun Berjalan
Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun Berjalan
 
PERTEMUAN 4-pasal-23.ppt
PERTEMUAN 4-pasal-23.pptPERTEMUAN 4-pasal-23.ppt
PERTEMUAN 4-pasal-23.ppt
 
Kredit Pajak - Riki ardoni
Kredit Pajak - Riki ardoniKredit Pajak - Riki ardoni
Kredit Pajak - Riki ardoni
 
PPh 26.pdf
PPh 26.pdfPPh 26.pdf
PPh 26.pdf
 
Bab3 pph
Bab3 pphBab3 pph
Bab3 pph
 
Perpajakan ii 12042012
Perpajakan ii 12042012Perpajakan ii 12042012
Perpajakan ii 12042012
 
Psak 46-pajak-penghasilan
Psak 46-pajak-penghasilanPsak 46-pajak-penghasilan
Psak 46-pajak-penghasilan
 
Perpajakan pph pasal 21 dan atau 26
Perpajakan pph pasal 21 dan atau 26Perpajakan pph pasal 21 dan atau 26
Perpajakan pph pasal 21 dan atau 26
 
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
 
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
1.1 penyuluhan spt p ph badan_ptm
 
Corporate Tax.pptx
Corporate Tax.pptxCorporate Tax.pptx
Corporate Tax.pptx
 
Perpajakan by bu meika riba'ati
Perpajakan by bu meika riba'atiPerpajakan by bu meika riba'ati
Perpajakan by bu meika riba'ati
 
Tugas 1 kristina perpajakan
Tugas 1 kristina perpajakanTugas 1 kristina perpajakan
Tugas 1 kristina perpajakan
 

Pajak

  • 1. Pengertian PPh Pasal 24 Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh : 1. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama. 2. Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini. Penghasilan yang boleh diperhitungkan/ dikreditkan tersebut antara lain penghasilan dari luar negeri berupa : a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya; b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak; c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak; d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. Penghasilan BUT luar negeri; f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; g. keuntungan karena pengalihan harta tetap; h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap. Hal yang paling mendasar PPh Pasal 24 ini adalah adanya batas maksimumyang boleh dikreditkan seperti yang tercantum dalam ayat 2 Pasal 24 UU PPH seperti tersebut di atas. Contoh kasus PPh Pasal 24 PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut : 1. di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 100.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp. 40.000.000,00); 2. di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 750.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 10% (Rp. 75.000.000,00); 3. Penghasilan usaha di dalam negeri Rp. 400.000.000,00.
  • 2. Penghitungan PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut : Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut : 1. Penghasilan Luar negeri : a. laba di negara X = Rp. 100.000.000,00 b. laba di negara Y = Rp. 750.000.000,00 = Rp. 850.000.000,00 c. Jumlah penghasilan luar negeri 2. Penghasilan dalam negeri = Rp. 400.000.000,00 3. Jumlah penghasilan neto adalah : Rp. 850.000.000,00 + Rp. 400.000.000,00 = Rp. 1.250.000.000,00 4. PPh terutang (menurut tarif Pasal 17 dengan fasilitas ) = Rp. 156.250.000,00 5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah : a. Untuk negara X = Rp. 100.000.000,00 X Rp. 156.250.000,00 = Rp. 12.500.000,00 Rp. 1.250.000.000,00 Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp. 40.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp. 12.500.000,00. b. Untuk negara Y = Rp. 750.000.000,00 X Rp. 156.250.000,00 = Rp.93.750.000 ,00 Rp.1.250.000.000,00 Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp. 75.000.000,00, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.75.000.000,00. Jumlah PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah : Rp. 12.500.000,00 + Rp. 75.000.000,00 = Rp. 87.500.000,00
  • 3. 1. Wajib Pajak Orang Pribadi Tertentu (WP OPPT) adalah Wajib Pajak (WP) yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran. 2. WP yang memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah kerja KPP, harus mendaftarkan masing- masing tempat usahanya di KPP yang bersangkutan. 3. WP yang memiliki beberapa tempat usaha di lebih dari 1 wilayah kerja KPP, harus mendaftarkan setiap tempat usahanya di KPP Lokasi masing-masing tempat usaha WP berada. 4. Terhadap WP OPPT tersebut di atas wajib membayar angsuran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25) sebesar 2 % dari jumlah peredaran bruto berdasarkan pembukuan atau pencatatan setiap bulan dari masing-masing tempat usaha/gerai (outlet) WP. 5. WP OP yang memberikan pernyataan semata-mata hanya memiliki satu tempat usaha/gerai(outlet) tidak boleh dikukuhkan menjadi WP OPPT oleh KPP Lokasi. WP yang bersangkutan hanya wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ke KPP Domisili. KPP lokasi hanya bisa memberitahukan ke WP dan KPP domisili agar terhadap WP yang bersangkutan dilakukan pendaftaran/pemberian NPWP ( lihat S - 58/PJ.311/2004 ) 6. PPh Pasal 25 tersebut harus dilunasi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan harus dilaporkan ke KPP terkait paling lambat tanggal 20 bulan tersebut dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 25 seperti contoh pada lampiran II KEP - 171/PJ./2002. 7. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut hanya disampaikan di KPP tempat domisili Wajib Pajak terdaftar dengan melampirkan formulir daftar jumlah penghasilan dan pembayaran PPh Pasal 25 dari masing-masing tempat usaha/gerai (outlet). Formulir yng digunakan seperti contoh pada lampiran I KEP - 171/PJ./2002. 8. Hal-hal penting sehubungan dengan pembayaran dan pelaporan PPh pasal 25 untuk WP Orang Pribadi tertentu : a. KPP lokasi adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha/gerai (outlet). b. KPP Domisili adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal WP Orang Pribadi yang bersangkutan. c. Jika WP Orang Pribadi tertentu menerima atau memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final maka : - PPh Pasal 25 yang dibayar oleh masing-masing tempat usaha/gerai (outlet) dapat dikreditkan dalam penghitungan PPh terutang untuk tahunn pajak yang bersangkutan - Jika ada kompensasi kerugian tahun pajak sebelumnya, kompensasi kerugian dapat diperhitungkan dengan penghasilan WP Orang Pribadi tertentu sepanjang belum habis masa kompensasinya - Besarnya angsuran PPh pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh WP untuk bulan-bulan setelah batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh, sama dengan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
  • 4. - Besarnya angsuran PPh pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau diperoleh WP untuk bulan-bulan setelah batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh adalah sbb = Penghasilan lain neto besar angsuran yang terutang berdasarkan SPT tahunan X Total penghasilan PPh tahun pajak sebelumnya. neto - Contoh penghitungan PPh Pasal 25 untuk WP Orang Pribadi tertentu menerima atau memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final : Perdagangan Penghasilan Uraian Jumlah (Rp) (Rp) Lain (Rp) Peredaran Bruto 600.000.000 200.000.000 800.000.000 Harga Pokok dan Biaya lain (500.000.000) (120.000.000) (620.000.000) Penghasilan Neto 100.000.000 80.000.000 180.000.000 PTKP ( misal K/2) - - (7.200.000) PKP - - 172.800.000 PPh Terutang ( tarif Psl 17) - - 29.450.000 PPh Pasal 25 ayat (7) yang telah - - (6.000.000) dibayar PPh Kurang Bayar - - 23.450.000 Besar Angsuran ( 1/12 X - - 1.954.167 17.450.000 ) Besar Angsuran untuk Penghasilan lain = (80.000.000/180.000.000) 868.518 X 1.954.167 d. Jika WP Orang Pribadi tertentu tidak memperoleh penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat final maka : - PPh Pasal 25 yang dibayar oleh masing-masing tempat usaha/gerai (outlet) merupakan pelunasan PPh terutang. - Jika ada kompensasi kerugian tahun pajak sebelumnya, kompensasi kerugian tidak dapat diperhitungkan.
  • 5. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Ya, berdasarkan azas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri. PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26 ayat (1) ini sedangkan tulisan tentang PPh Pasal 26 ayat (2), ayat (2a) dan ayat (4) sudah saya buat di tautan berikut ini : PPh Pasal 26 Premi Asuransi (berdasarkan Pasal 26 ayat (2)) PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham (berdasarkan Pasal 26 ayat (2)) PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Harta (berdasarkan Pasal 26 ayat (2)) PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham Antara (berdasarkan Pasal 26 ayat (2a)), dan PPh Pasal 26 Penghasilan Kena Pajak BUT (berdasarkan Pasal 26 ayat (4)) Istilah PPh Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang- undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama selain yang sudah saya tuliskan dalam tautan di atas. Pemotong PPh Pasal 26 Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1) adalah : a. Badan Pemerintah Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. b. Subjek Pajak Badan dalam negeri Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia. Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
  • 6. c. Penyelenggara kegiatan Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain. d. Bentuk Usaha Tetap (BUT) BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri. Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain. e. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing. Fihak Yang Dipotong PPh Pasal 26 Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap. Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat. Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26 Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang- undang Pajak Penghasilan adalah : 1. dividen; 2. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; 3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai; 4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  • 7. 5. hadiah dan penghargaan; 6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya; 7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau 8. keuntungan karena pembebasan utang Perhatikan bahwa objek PPh Pasal 26 ayat (1) ini adalah mirip dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Yang membedakannya dengan PPh Pasal 26 adalah bahwa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri, sedangkan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri. Tarif dan Dasar Pengenaan Tarif PPh Pasal 26 adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta = Rp20 Juta. Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia. Penutup Demikianlah, tulisan ini merupakan tulisan penutup dari seri tulisan PPh Pasal 26. Semoga bermanfaat bagi Anda yang sedang mempelajari perpajakan Indonesia. Nantikan seri tulisan berikutnya tentang PPh Pasal 22. arif Pajak PPh Pasal 25/29 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi adalah berdasarkan pasal 17 Undang-undang No.36 Tahun 2008 tentang PajakPenghasilan dengan perincian sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta 5% rupiah) (lima persen) di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 15% sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima (lima belas persen) puluh juta rupiah) di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta 25% rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus (dua puluh lima persen) juta rupiah) di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30% (tiga puluh persen) Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi: Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00. Pajak Penghasilan yang terutang : 5 % x Rp 50.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
  • 8. 15 % x Rp. 200.000.000,- = Rp. 30.000.000,- 25 % x Rp. 250.000.000,- = Rp. 62.500.000,- 30 % x Rp. 100.000.000,- = Rp. 30.000.000,- + Jumlah PPh terutang = Rp. 125.000.000,- Dasar Hukum : a. UU no. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) inflasi dan pengangguran Inflasi Definisi Inflasi : Secara umum inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus selama waktu tertentu . Komponen Inflasi Ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi, Prathama dan Mandala (2001:203) 1. Kenaikan harga Harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi darpada harga periode sebelumnya. 2. Bersifat umum Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga secara umum naik. 3. Berlangsung terus menerus Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan memunculkan inflasi, jika terjadi sesaat, karena itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan Tingkat Inflasi Kondisi inflasi menurut Samuelson (1998:581), berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu 1) Merayap {Creeping Inflation) Laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% pertahun), kenaikan harga berjalan lambat dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama. 2) Inflasi menengah {Galloping Inflation) Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi yang arrinya harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya. 3) Inflasi Tinggi {Hyper Inflation) Inflasi yang paling parah dengan dtandai dengan kenaikan harga sampai 5 atau 6 kali dan nilai uang merosot dengan tajam. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja. Metode Pengukuran Inflasi Suatu kenaiikan harga dalam inflasi dapat diukur dengan menggunakan indeks harga. Ada beberapa indeks harga yang dapat digunakan untuk mengukur laju inflasi (Nopirin,1987:25) antara lain:
  • 9. a) ConsumerPriceIndex (CPI) Indeks yang digunakan untuk mengukur biaya atau pengeluaran rumah tangga dalam membeli sejumlah barang bagi keperluan kebuthan hidup: CPI= (Cost of marketbasket ingiven year : Cost of marketbasket in base year) x 100% b) Produsen PriceIndex dikenal dengan Whosale Price Index Index yang lebih menitikberatkan pada perdagangan besar seperti harga bahan mentah (raw material), bahan baku atau barang setengah jadi. Indeks PPI ini sejalan dengan indeks CPI. c) GNP Deflator GNP deflator ini merupakan jenis indeks yang berbeda dengan indeks CPI dan PPI, dimana indeks ini mencangkup jumlah barang dan jasa yang termasuk dalam hitungan GNP, sehingga jumlahnya lebih banyak dibanding dengan kedua indeks diatas: GNP Deflator = (GNP Nominal : GNP Riil) x 100% Faktor - faktor yang mempengaruhi Inflasi Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998:587), ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi: a. DemandPull Inflation Timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian, menarik harga ke atas untuk menyeimbangkan penawaran dan pennintaan agregat. b. Cost Push Inflation or Supply Shock Inflation Inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan biaya selama periode pengangguran tinggi dan penggunaan sumber daya yang kurang efektif. Sedangkan faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh Demand Pull Inflation dan Cost Push Inflation tetapi juga dipengaruhi oleh : a) Domestic Inflation Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga barang secara umum di dalam negeri. b) ImportedInflation Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang import secara umum Penyebab inflasi Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan(tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga termasuk kurangnya distribusi).[rujukan?] Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dll.
  • 10. Inflasi tarikan permintaan (Ingg: demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan. Inflasi desakan biaya (Ingg: cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting. Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal,yaitu kenaikan harga,misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji,misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang. Penggolongan inflasi Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari dalam negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang. Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi). Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan : 1. Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun) 2. Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun) 3. Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun) 4. Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun) Mengukur inflasi
  • 11. Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga. Indeks harga tersebut di antaranya: • Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen. • Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI). • Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan tingkat IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi. • Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu. • Indeks harga barang-barang modal • Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa. Dampak Pekerja dengan gaji tetap sangat dirugikan dengan adanya Inflasi. Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu. • Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi. • Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat. • Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman. • Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil). • Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong
  • 12. kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Pengangguran • Pengertian Pengangguran • Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan. B. Rumus Menghitung Tingkat Pengangguran Untuk mengukur tingkat pengangguran pada suatu wilayah bisa didapat dar prosentase membagi jumlah pengangguran dengan jumlah angkaran kerja. Tingkat Pengangguran = Jml Yang Nganggur / Jml Angkatan Kerja x 100% C. Jenis & Macam Pengangguran 1. Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerjaan. 2. Pengangguran Struktural / Structural Unemployment Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya. 3. Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian. 4. Pengangguran Siklikal Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja. Pengangguran juga dapat dibedakan atas pengangguran sukarela (voluntary unemployment) dan dukalara (involuntary unemployment). Pengangguran suka rela adalah pengangguran yang menganggur untuk sementara waktu karna ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Sedangkan pengangguran duka lara adalah pengengguran yang menganggur karena sudah berusaha mencari pekerjaan namun belum berhasil mendapatkan kerja. PERTUMBUHAN EKONOMI Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional[1]. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif,
  • 13. yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik. Faktor Sumber daya alam yang dimiliki mempengaruhi pembangunan ekonomi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi). Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil- hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada. Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas. Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku. Hubungan inflasi, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi Ada suatu hubungan terbalik antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam suatu perekonomian. Semakin banyak pengusaha memperluas kesempatan kerja semakin dia harus membayar dengan faktor tertentu produksi dan pembayaran lebih banyak faktor produksi peningkatan biaya produksi unit akan diamati dan dalam rangka mempertahankan profitabilitas produk pengusaha akan mengembang harga produk tersebut.. Sebuah proses serupa akan diamati di seluruh perekonomian ketika pemerintah bermaksud untuk menciptakan pekerjaan. Harga produk atau jasa, di mana tenaga kerja terinstal, akan meningkat sehingga kenaikan tingkat inflasi akan terlihat melalui ekonomi luar. Dapat disimpulkan dari penjelasan tersebut di atas bahwa ketika pemerintah berniat untuk menurunkan menurunkan tingkat pengangguran yang harus menanggung kenaikan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional. yang berbeda antara inflasi dan pengangguran…. jumlah orang yang menganggur adalah jumlah orang di negara yang tidak memiliki pekerjaan dan yang tersedia untuk bekerja pada tingkat upah pasar saat ini. Ini dengan mudah dapat diubah menjadi persentase dengan mengaitkan jumlah pengangguran, dengan jumlah orang dalam angkatan kerja. Inflasi adalah kenaikan harga secara umum selama 12 bulan. Ini diukur dengan mengambil rata-rata tertimbang semua produk konsumen (tertimbang pada frquency pembelian) dan menganalisis tren harga keseluruhan. Hal ini sering disebut Indeks Harga Konsumen (CPI) atau Harmonised Indeks Harga Konsumen (HICP). Hal ini menunjukkan berapa banyak, sebagai persentase, tingkat harga umum dari semua barang-barang konsumsi telah berubah sepanjang tahun.
  • 14. Kedua telah dianalisis bersama-sama dengan kurva Phillips yang menunjukkan tingkat inflasi diplot terhadap tingkat pengangguran. sumber: www.wikipedia.com buku analisis ekonomi untuk bisnis nama: iin napisa, 2eb08,25209732 Diposkan oleh napisa di 02:15 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook