Program Jamkesmas yang memberikan layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin diakui telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp2 triliun namun masih mengalami berbagai kendala pelaksanaannya di lapangan seperti proses pendaftaran yang rumit dan ketidakseragaman perlindungan kesehatan antara pemerintah pusat dan daerah.
1. P
rogram ini dianggap sebagai
sebuah keseriusan pemerintah
pusat dalam mewujudkan hak fun-
damental rakyat miskin untuk se-
hat. Sebelumnya, pemerintah hanya me-
nyediakan dana dan menyerahkan
pegelolaannya kepada PT Askes dalam
bentuk Asuransi Kesehatan untuk Ma-
syarakat Miskin (Askeskin).
Banyak pihak yang memuji keber-
hasilan Departemen Kesehatan me-
ngelola sendiri dana sebesar 4,6 triliun
rupiah (2008). Berikut wawancara war-
tawan Koran Jakarta Henry Agrahadi
dengan Menteri Kesehatan Siti Fadil-
lah Supari.
Apa indikator kesuksesan pro-
gram Jamkesmas 2008?
Indikatornya adalah komplain
masyarakat miskin yang jauh
berkurang dan kemampuan De-
partemen Kesehatan untuk bisa
menyelamatkan uang negara
kira-kira dua triliun rupiah. Dua triliun itu terdi-
ri dari ketiadaan tunggakan Depkes pada tahun
sebelumnya di berbagai rumah sakit sebesar 1,24
triliun rupiah karena telah dilunasi serta sisa uang
yang masih tersimpan di berbagai rumah sakit se-
kitar 800 juta rupiah.
Bisa dijelaskan soal tunggakan tersebut?
Ketika itu, tepatnya akhir 2007, rumah sakit da-
erah tidak memiliki uang dan saya masih memi-
liki tanggungan utang sebesar 1,2 triliun rupiah
untuk tagihan sebelum 2007. Hal ini menyebab-
kan sepanjang periode Januari hingga Maret 2008
tidak ada dana tersedia di berbagai rumah sakit.
Kasus ini sempat menjadi berita nasional. Pada-
hal saat itu saya sudah memperbaiki manajemen-
nya. Seiring berjalannya waktu, setiap rumah sakit
itu membutuhkan dana operasional. Saya tidak bi-
ngung untuk mencari dana operasional. Pada ak-
hir 2007 itu juga, Depkes berutang sebesar 1,2 tri-
liun rupiah pada Askes. Berikutnya, utang Askes
sebesar 1,2 triliun rupiah pada rumah sakit dan
apotek yang menerima Askeskin telah dilunasi
melalui surplus anggaran tahun 2008. Jadi ini me-
rupakan sebuah kemajuan luar biasa.
Banyak yang mengeluhkan soal proses
Jamkesmas yang memakan waktu yang lama.
Bagaimana Anda melihatnya?
Itu sama sekali tidak benar. Tidak ada pro-
ses apa pun. Proses otomatis, jadi harus dibeda-
kan antara Jamkesmas dan Gakin atau SKTM. Itu
(Gakin SKTM) bukan tanggung jawab saya. Saya
kasihan dengan orang Jakarta yang miskin. Seha-
rusnya mereka menuntut karena sistemnya seca-
ra logika tidak adil. Rakyat Jakarta yang miskin ti-
dak mendapatkan jaminan kesehatan yang sama
seperti provinsi yang lain. Baru-baru ini kami
membantu orang-orang telantar yang bertem-
pat tinggal di Tanah Merah (Jakarta Utara). Me-
reka mendapatkan bantuan dari kita (Depkes)
secara full, dana semua dari kita, karena me-
reka tidak punya KTP DKI.
Maka dari itu, seharusnya rakyat miskin
pemilik KTP DKI menuntut dan bila warga
itu memiliki KTP, (tanggungan) Jamkes-
mas pasti full. Saya ulangi, bila KTP DKI
alatnya (kesehatan) beli, pembayaran
separo, kalau Jamkesmas semua di-
bayar oleh pemerintah.
Berapa besar bantuan yang di-
berikan oleh Depkes kepada me-
reka yang mengalami sakit parah?
Seratus persen. Walau operasi
jantung menghabiskan seratus juta
rupiah pun, akan kami ganti seratus
juta rupiah. Bahkan untuk yang harus
cuci darah seumur hidup pun akan
kami bayar. Permasalahannya, ha-
nya Pemerintah Provinsi DKI Jakar-
ta yang tidak menutup seratus persen karena me-
reka tidak ikut Jamkesmas. Seharusnya keuangan
Provinsi DKI Jakarta untuk kesehatan itu harus di-
audit secara jelas dan dipertanyakan, ke mana saja
uang untuk orang miskin tersebut? Untuk asuransi
sosial kepada rakyat miskin, mereka (Pemprov
DKI Jakarta) sekarang menyewa sebuah perusaha-
an asuransi.
Bagaimana dengan warga Jakarta yang masih
menggunakan SKTM dan kartu Gakin?
Itu bukan urusan saya. Saya Jamkesmas. Sebe-
narnya target Depkes adalah seluruh Indonesia,
termasuk Jakarta dapat menggunakan Kartu Jam-
kesmas. Tapi mereka (Pemprov DKI Jakarta) ti-
dak mau. Apalagi bila menilik kasus di Rumah Sa-
kit Cipto Mangunkusumo. Utang pemprov DKI
Jakarta terhadap RSCM sangat besar. Untuk peng-
gunaan SKTM, utang tertanggung oleh Pemprov
DKI Jakarta sebesar 36 miliar sampai 60 miliar ru-
piah dan belum dibayar. Berbeda dengan Depkes,
RSCM surplus 25 miliar rupiah, tapi kami anggap
itu sebagai uang muka untuk 2009.
Bagaimana dengan target 2009 yang
dicanangkan oleh Anda pengobatan gratis
untuk semua yang membutuhkan dana APBN
sekitar 14 triliun rupiah?
Tidak tercapai.
Berapa anggaran yang diproyeksikan untuk
2009?
Saya tidak dapat mengatakan jumlah pastinya
sekarang, namun dana yang dikucurkan kurang le-
bih sama dengan 2008.
Bagaimana pendapat Anda tentang pungutan
liar dalam proses pembuatan Jamkesmas?
Itu bukan urusan saya. Kalau bisa tangkap saja.
Laporkan polisi (tertawa).
Menurut beberapa pakar sosial dan kesehat-
an, Jamkesmas hanya mengatasi setengah ma-
salah sakit masyarakat miskin. Bagaimana me-
nurut pendapat Anda?
Para ahli itu ngawur karena mereka tidak mela-
kukan pengukuran dan parameter yang jelas.
Perbaikan apa yang akan dilaksanakan
oleh Depkes pada 2009 terkait kesehatan
masyarakat?
Yang pasti Jamkesmas akan terus berjalan sam-
pai 2009 walau tidak ada yang berani mempredik-
sikan jangka panjangnya. Selain itu, akan ada apo-
tek rakyat, obat generik bersubsidi, perbaikan gizi
anak, ketenagaan dokter spesialis, membangun
sistem pelayanan transfusi darah nasional, akan
dibangun pula Pusat Surveilans Nasional, pemba-
ngunan pusat penelitian dan rumah sakit riset di
Universitas Airlangga, dan program pengawasan
obat dan makanan. hag/L-1
◆
18 Rabu, 14 Januari 2009
®KORAN JAKARTA
«Saya kasihan dengan orang Jakarta yang miskin.
Seharusnya mereka menuntut karena sistemnya secara
logika tidak adil. »
K
eberadaan Jaminan Kesehat-
an Masyarakat (Jamkesmas)
untuk rakyat miskin ibarat
seberkas cahaya di awan mendung.
Dana yang digelontorkan pemerin-
tah sedikit “menerangi” jalan bagi
masyarakat miskin menuju pintu la-
yanan kesehatan. Namun, tetap saja
sewaktu-waktu awan gelap kembali
menutup.
Bagi Sudjatmiko, 60 tahun, se-
orang penjaga malam di sebuah
perusahaan swasta di Jakarta Utara,
Jamkesmas merupakan bantuan
yang mampu meringankan beban
keluarganya perihal kesehatan. “Ka-
rena kami orang miskin, jadi sangat
membutuhkan kartu bantuan ter-
sebut,” kata dia bersyukur.
Sebelum ada Jamkesmas, pria
yang bertempat tinggal di Depok,
Jawa Barat, itu juga memiliki su-
rat Asuransi Kesehatan Masyarakat
Miskin (Askeskin). Namun, pada ak-
hir 2008, saat ia mengalami sebuah
kecelakaan, Kartu Askeskin yang di-
milikinya sudah tidak dapat digu-
nakan lagi. Kartu bantuan sosial
yang diakui rumah sakit telah beru-
bah menjadi Jamkesmas. Nama kar-
tu yang berubah ternyata mengubah
pula syarat dasar dan fungsional
dari kartu tersebut walaupun esensi
dasar dan penjamin dananya sama.
Hal itu memaksa istri Sudjatmiko
mengurus kembali surat permohon-
an keringanan biaya pengobatan.
Prosesnya dimulai dari rukun te-
tangga (RT), rukun warga (RW),
kantor kelurahan, puskesmas, kan-
tor kecamatan, Departemen Sosial,
dan terakhir menembus Departe-
men Kesehatan.
Menurut pengakuan Sudjatmiko,
kerumitan pengurusan kartu berada
pada instansi terakhir, yaitu Depar-
temen Kesehatan. “Di instansi lain
selesai dalam satu hari. Untuk De-
partemen Kesehatan dua hari. Itu
pun setelah diketahui besar peng-
hasilan, masih harus menunggu pe-
tugas melakukan survei ke rumah,”
tambahnya.
Akibat kecelakaan yang dialami-
nya, Sudjatmiko harus dirawat inap
selama sepuluh hari di Rumah Sa-
kit Kramatjati, Jakarta Timur. Selama
rawat inap, diketahui bahwa luka
yang dideritanya mengharuskan
Sudjatmiko dioperasi. Namun, atas
berbagai pertimbangan, Sudjatmiko
kemudian hanya memilih terapi.
“Masalah waktu penyembuhan yang
sampai enam bulan membuat saya
memutuskan untuk terapi saja,” pa-
parnya mengungkap alasan pekerja-
an dan beban tanggungannya.
Apalagi Sudjatmiko mendapat-
kan biaya pembelian obat hanya di
awal perawatan. Belakangan, bantu-
an membeli obat dan alat bantu di-
hentikan sehingga semua dana ha-
rus dicari sendiri.
Berbeda dengan Sudjatmiko,
Pudin, 32 tahun, seorang penjual
pisang yang mengurus surat Jamkes-
mas di Desa Hambaro, Kecamatan
Nanggung, Bogor, mengakui peng-
urusan surat-surat tersebut berbelit
dan susah. “Untuk mendapatkannya
saya harus menunggu hingga tiga
bulan,” ungkapnya.
Setengah Hati
Kepala Divisi Advokasi Serikat
Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Ro-
berto Manurung menyatakan rakyat
miskin terus bertambah dan penye-
baran kartu Jamkesmas tidak merata
sehingga banyak rakyat miskin yang
tidak masuk penjaminan. Dalam
skenarionya, mereka semestinya
masuk tanggungan pemerintah da-
erah. “Namun, selama ini pemerin-
tah daerah hanya mengakomodasi
setengah hati. Apabila ada sidak (in-
speksi mendadak) Menteri Kesehat-
an, baru pelayanan diperbaiki. Ka-
lau tidak ada, pelayanan kembali
buruk,” tambahnya.
Keluhan mengenai rumitnya re-
alitas di lapangan juga tersirat dari
ungkapan Kepala Operasional Unit
Pelayanan Pasien Jaminan RSCM
Eka Yoshida. Menurut Eka, yang
menyusahkan adalah pasien mis-
kin daerah yang memakai Jamkesda,
sebab belum ada petunjuk teknis
penanganan pasien Jamkesda. Pa-
dahal RSCM menjadi rujukan 471
kabupaten dari 33 provinsi. Men-
teri Kesehatan memang mewajib-
kan setiap pemda melakukan ikat-
an kerja sama (IKS) dengan RSCM.
“Ini mempersulit RSCM menagih ke
daerah-daerah penjamin pasien.”
Kini, dalam sehari, RSCM me-
layani 1.000 hingga 1.500 pasien
miskin. Diakuinya, dari dana yang
diberikan Depkes ke RSCM sebe-
sar 51 miliar rupiah per bulan sejak
Januari 2008, RSCM hanya meng-
gunakan sebesar 1,5 miliar rupiah.
“Tentu saja dana itu surplus apabi-
la hanya melihat pada pemakai Jam-
kesmas saja.”
Bila esensi dasar dari kartu ban-
tuan sosial sama, lalu mengapa ter-
dapat berbagai kartu berbeda dari
pemerintah pusat maupun peme-
rintah provinsi? Menurut Kepala
Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien
Emawati, ada beberapa klausul dan
ketentuan yang membatasi perihal
penyatuan anggaran antara pusat
dan daerah. “Sehingga harus dibuat
MoU (nota kesepahaman) yang di-
sepakati bersama,” tegasnya. Dan,
untuk menyepakatinya, Dien meng-
aku pemerintah provinsi masih ga-
mang. hag/L-1
Bantuan yang Terus Dikeluhkan
Program Jamkesmas dari Departemen Kesehatan dimulai Januari 2008 dan
diperpanjang pada tahun ini. Layanan kesehatan yang dibiayai APBN ini meng-
cover 76,4 juta jiwa rakyat miskin di seluruh Indonesia.
“Seharusnya Mereka Menuntut!”
KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG
KORAN JAKARTA/BRAM SELO AGUNG
Siti Fadillah Supari