Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah tokoh ulama dan pemimpin perlawanan Aceh melawan penjajahan. Ia berjuang untuk menegakkan pemerintahan berdasarkan syariat Islam di Aceh dan membentuk organisasi PUSA serta gerakan Darul Islam. Ia memimpikan pemerintahan Aceh yang sejahtera di bawah kepemimpinan ulama seperti zaman Sultan Iskandar Muda.
Laporan Akulturasi Masjid Agung Kebumen - Sejarah Indonesia
Teungku Muhammad Daud Beureueh
1. Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar Aceh.
Bersama ulama lain pada zamannya, beliau berjuang mengibarkan dan menegakkan
panji-panji Islam di bumi Aceh. Sebagaimana yang pernah dituturkannya kepada Boyd R.
Compton dalam sebuah wawancara, "Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah
impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh
menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan
militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan
semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami
ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd R. Compton, Surat-Surat
Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)
Siapakah Dia?
Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung
bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh
adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang
ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat
dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar
di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat
dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil
dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa
di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah
hidupnya kemudian.
Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan
kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang
diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya
sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa
usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang
dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun
lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa
kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat
anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam
suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat
Aceh.
Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari
tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf,
mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam
dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang
diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.
Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan
kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya
itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan
2. kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar
cepat).
Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah
wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan
"mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-
ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera
pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang
cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar
"Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli
beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa
melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang
pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang
terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita
tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk
membungkam perlawanan tersebut.
Dari PUSA Menuju Darul Islam
Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran
Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat
aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat
para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan
penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku
Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah
Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama,
dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi "Bapak
Orang-Orang Aceh".
Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-
pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah
dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai
dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum
mereka. Menurut catatan Compton, "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara
Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia
meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan
menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara
Islam di Timur Dekat. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara
Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau
mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."
Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah
dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal
kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan
3. Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-
orang sebagai "Bapak Darul Islam".
Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun revolusi.
Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo
dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya --tampaknya
seperti pensiun.
Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji
Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di
Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima
penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada
saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud
Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif
bernada mendukung ide Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan --membuat
takjub penduduk Medan yang sudah maju-- membangun sebuah tembok besar dan masjid
sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan
perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.
Teungku Daud Beureueh adalah "Bapak Orang-Orang Aceh" yang tetap tegar meski
dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta. Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi kuat,
ia adalah tipe manusia ideal. Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari bawah pecinya,
rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan
coklat kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak yang blak-blakan.
Misal: "Saya tanya, apakah pemerintahan seperti itu mampu mengatasi masalah-masalah
Aceh sekarang ini? Ya, ambillah pengairan sebagai contoh. Pada zaman Iskandar Muda,
dibuat saluran dari sungai yang jauhnya sebelas kilometer dari sini menuju laut. Daerah
Pidie menjadi sangat makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh dari yang pertama,
keduanya dikerjakan oleh ulama. Beda dengan ulama zaman sekarang, pemimpin-
pemimpin di masa itu tak takut sarung mereka kena lumpur. Sekarang saluran-saluran itu
sudah rusak, dan hasil panen padi merosot. Sebelum terjadi perang, Aceh biasa
mengekspor beras untuk kebutuhan seluruh wilayah Mardhatillah Sumatera Timur.
Sekarang kita mengimpor beras dari Burma".
Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang sejahtera di bawah pimpinan kelompok
ulama yang ditampilkan kembali. Di masa keemasan itu, hanya orang-orang yang benar-
benar berpengetahuan yang dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern ini,
hampir setiap orang dengan bermodalkan "taplak meja dililitkan di leher" bisa mengaku
berhak untuk disebut ulama.
Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan.
Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan janji-janji
Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati, maka
jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai
"Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun
1964 di gunung-gemunung Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal hebat di mata
4. orang-orang Aceh, namun karena penipuannya terhadap orang Aceh, nama Soekarno
identik dengan berhala yang harus ditumbangkan.
Compton bisa memahami mengapa orang-orang membandingkan Daud Beureueh dengan
Soekarno yang cemerlang sebagai orator massa. Seandainya keduanya berpidato di
sebuah acara yang sama, konon Soekarno akan menjadi juara kedua jika pendengarnya
orang Aceh, terutama kalau sang "Singa Aceh" sudah mulai gusar dan marah.
Sementara ia terus bicara tentang pemerintahan Islam di Aceh, Compton merasa bahwa
aneka kasak-kusuk yang ia bawa dari Medan menjelang Pemilu 1955 telah sangat
menyesatkannya. Ketika Compton menanyakan apakah sikap ini tak mengandung
semacam kontradiksi, Teungku Daud Beureueh menandaskan, sebagai sebuah negara
demokrasi, Indonesia harus tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin
partai-partai Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.
Daud Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum komunis yang
menginginkan negara Marxis-ateistik, umat Islam yang menghendaki Negara Islam, dan
golongan nasionalis tertentu yang mau menghidupkan kembali Hinduisme-Jawa (Negara
Pancasila). Ia cemas bahwa golongan Hindu dan Marxis sedang mengakar, tapi mereka
sendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah. Karena
alasan ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan untuk
menunda-nunda pelaksanaan pemilu. Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap
dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang
merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada
perjuangan fisik. Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan
Partai Islam yang tidak memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.
Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara
sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam
keadaan buta --buta yang disengaja oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi
pemakaman yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang
Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler. R William Liddle yang sempat
menghadiri upacara pemakaman Teungku Daud Beureueh menggambarkan bagaimana
mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di
paruh kedua abad keduapuluh. "Saya hadir di situ, antara lain, sebagai ilmuwan sosial
dan politik untuk mengamati sebuah kejadian yang bersejarah, yang mungkin akan
melambangkan sesuatu yang lebih besar dan penting dari upacara pemakaman biasa.
Namun, --menurut penglihatan Liddle sebagai pengamat asing-- dalam kenyataannya,
meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah "meninggalnya seorang suami dan
ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan seorang pemimpin masyarakat
sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan memang inilah kesimpulan
Liddle waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh telah
berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya "Bapak Orang-Orang Aceh", maka
Aceh kemudian memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang gempita di
mana kemaksiatan dan sekulerisme adalah agama baru yang disambut kalangan terpelajar
perkotaannya secara sangat antusias.
5. Al Chaidar
SEDIKIT MENGUPAS NII-TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH DAN GAM-TEUNGKU
HASAN
MUHAMMAD DI TIRO SERTA HUBUNGANNYA DENGAN NII-SM KARTOSOEWIRJO.
”Pak Ustadz Ahmad Sudirman, saya telah membaca beberapa artikel dan
jawaban2
yang diberikan Pak Ustadz namun saya masih bingung mengenai sejarah
Aceh,
yaitu mengenai : Teungkeu Daud Beureueh pernah memaklumatkan Negara
Islam
Indonesia (NII / TII) di Aceh pada tahun 1953 yang dalam sejarah DI/TII
disebut2 bahwa Aceh merupakan wilayah NII (DI/TII) Kartosuwiryo sejak
1953,
apakah teungku Daud Beureueh memaklumatkan Aceh sebagai bagian dari NII
(DI/TII) Kartosuwiryo di JaBar, hal ini juga dijelaskan oleh bapak
bahwa
Abdul Fatah Wirananggapati (Pejabat DI/TII) tertangkap di Jakarta
setelah
kembali dari Aceh (membaiat teungku Daud Beureueh menjadi Panglima TII
di
Aceh). Lalu yang menjadi pertanyaan saya . 1. Apakah perjuangan GAM
merupakan kelanjutan perjuangan dari Teungku Daud Beureueh. 2.
Bagaimana
hubungan antara GAM dan NII (Kartosuwiryo) yang pada saat ini masih
terus
berjuang membebaskan wilayahnya yang dikuasai RI” (Ibnu Oemar,
[EMAIL PROTECTED] , Fri, 28 Jul 2006 23:05:25 -0700 (PDT))
Terimakasih saudara Ibnu Oemar di Doha, Ad Dawhah, Qatar.
Sebenarnya tentang masalah berdirinya NII di Acheh yang dimaklumatkan
oleh
Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tanggal 20 September 1953 dan
hubungan
antara GAM dan NII-Teungku Muhammad Daud Beureueh telah sering dikupas
di
mimbar bebas ini. Adapun hubungan antara GAM dan NII-Sekarmadji
Maridjan
Kartosoewirjo memang tidak banyak disinggung di mimbar bebas ini.
Walaupun memang sering dikupas tentang masalah NII- Teungku Muhammad
Daud
Beureueh hubungannya dengan GAM-Teungku Hasan Muhammad di Tiro, tetapi
sekarang ini sebagai suatu gambaran singkat akan dikupas secara singkat
saja.
Dimana salah satu yang menjadi akar utama timbulnya maklumat Negara
Islam
Indonesia di Acheh oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tanggal 20
September 1953 adalah ketika Soekarno dengan Republik Indonesia Serikat
(RIS)-nya menetapkan Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950
Tentang
Pembentukan Daerah Propinsi pada tanggal 14 Agustus 1950 dan pembuatan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 tentang
6. pembentukan Propinsi Sumatera-Utara, yang memasukkan wilayah daerah
Acheh
yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten 1. Acheh Besar, 2. Pidie, 3.
Acheh-Utara, 4. Acheh-Timur, 5. Acheh-Tengah, 6. Acheh-Barat, 7.
Acheh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja kedalam lingkungan daerah otonom
Propinsi Sumatera-Utara.
Kemudian disusul dengan ketika Kabinet Ali-Wongso yang dipimpin oleh
Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI dan Wakil PM Wongsonegoro dari
Partai
Indonesia Raya (PIR) yang duduk didalamnya juga wakil dari NU
(Nahdlatul
Ulama), sedangkan dari Masyumi tidak ada wakilnya, dilantik pada
tanggal 1
Agustus 1953, dan menjalankan program Kabinetnya untuk melakukan
serangan
besar-besaran, salah satunya kepada pihak NII Imam Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo.
Nah, pada saat itulah muncul pada tanggal 20 September 1953 Maklumat
Negara
Islam Indonesia oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh di Acheh yang
berada
dibawah NII Imam SM Kartosuwirjo. Yang sebagian isi maklumat itu
berbunyi:
”Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah
sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah
sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.”
Jadi, dengan dimaklumatkannya NII di Acheh oleh Teungku Muhammad Daud
Beureueh bukan menunjukkan sebagai tindakan pemberontakan terhadap RI
atau
melakukan gerakan separatis dari RI, melainkan melakukan penentuan
nasib
sendiri di Acheh, dari pengaruh kekuasaan Negara pancasila RI atau
NKRI.
Karena Negeri Acheh yang tiga tahun sebelumnya telah dianeksasi oleh
Soekarno melalui RIS dan NKRI-nya hasil leburan Republik Indonesia
Serikat
(RIS) pada tanggal 15 Agustus 1950.
Seterusnya, langkah yang ditempuh oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh
adalah
pada tanggal 8 Februari 1960 diputuskan untuk membentuk Republik
Persatuan
Indonesia (RPI) yang berbentuk federasi yang anggota Negaranya adalah
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dipimpin oleh
Sjafruddin Prawiranegara dan M. Natsir Cs, NII Teungku Muhammad Daud
Beureueh, Perjuangan Semesta (Permesta). Dimana RPI ini dipimpin oleh
Sjafruddin Prawiranegara.
Disini kelihatan hubungan antara pihak NII- Teungku Muhammad Daud
Beureueh
dan NII-Imam SM Kartosuwirjo tidak nampak. Sehingga akibatnya terlihat
pihak
Teungku Muhammad Daud Beureueh ikut bersama dalam Republik Persatuan
7. Indonesia (RPI).
Nah, tujuan membangun Negara yang berbentuk federasi RPI ini yang
didalamnya
terdiri dari berbagai aliran yang terdapat dalam setiap Negara bagian
Federasi, yang disponsori oleh M.Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara
adalah
untuk menampung sebanyak mungkin Daerah-Daerah lainnya yang
menginginkan
berdiri sendiri dan bergabung dalam RPI, guna menghadapi pihak RI
dibawah
Soekarno.
Dimana penggalangan RPI ini berjalan sampai tanggal 17 Agustus 1961,
hal ini
disebabkan pihak pimpinan RPI menyerah kepada Soekarno, tetapi Teungku
Muhammad Daud Beureueh dengan NII-nya, sebelum RPI menyerah pada
Soekarno
pada tanggal 17 Agustus 1961, maka NII keluar dari RPI, dan membentuk
Republik Islam Aceh (RIA) pada tanggal 15 Agustus 1961. Hanya pada
bulan
Desember tahun 1962, Teungku Muhammad Daud Beureueh dapat dijerat
dengan
Musyawarah Kerukunan Rakyat Acheh yang diselenggarakan oleh Panglima
Kodam
I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin.
Adapun proses timbulnya Musyawarah Kerukunan Rakyat Acheh adalah ketika
Soekarno memberikan abolisi kepada mereka yang dianggap memberontak
kepada
NKRI dengan batas akhir 5 Oktober 1961.
Diawali pada tanggal 4 Oktober 1961 datang 28 orang delegasi dari
wakil-wakil lapisan masyarakat, para ulama, pemuda, pedagang, tokoh-
tokoh
adat, termasuk wakil pemerintah resmi sipil dan militer menjumpai
Teungku
Muhammad Daud Beureueh di Markasnya dengan misi meminta kepada Teungku
Muhamad Daud Beureueh demi untuk kepentingan masyarakat Acheh
seluruhnya
agar sudi kembali ketengah-tengah masyarakat untuk memimpin mereka.
Batas
waktu tanggal 5 Oktober berakhir, dengan mempertimbangkan harapan
rakyat
Acheh yang tulus dan jaminan-jaminan kebebasan beliau untuk melanjutkan
perjuangan telah membuka pintu untuk perundingan.
Dimana perundingan-perundingan ini berlangsung sampai sepuluh bulan.
Dan
pada 9 Mei 1962 Teungku Muhammad Daud Beureueh bersama stafnya kembali
ketengah-tengah masyarakat. Dan pada bulan Desember tahun 1962 Panglima
Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan
Rakyat Acheh.
Nah, dengan ikutnya Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam Musyawarah
Kerukunan Rakyat Acheh yang diadakan oleh Panglima Kodam I/Iskandar
Muda,
8. Kolonel M.Jasin, maka secara de-jure dan de-facto Republik Islam Acheh
lenyap dari muka bumi ditelan mbah Soekarno dari RI.
Sekarang, mengapa dengan ikutnya Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam
Musyawarah Kerukunan Rakyat Acheh yang diadakan oleh Panglima Kodam
I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin, secara de-jure dan de-facto Republik
Islam
Acheh lenyap dari muka bumi ?
Karena, ketika dalam dialog yang dilakukan pada 4 Oktober 1961 antara
Teungku Muhammad Daud Beureueh dengan 28 orang delegasi dari wakil-
wakil
lapisan masyarakat, para ulama, pemuda, pedagang, tokoh-tokoh adat,
termasuk
wakil pemerintah resmi sipil dan militer, dan dalam dialog selanjutnya
antara pihak RIA dengan pihak Soekarno, tidak dicapai kesepakatan
politik
dalam hal kelangsungan hidup Republik Islam Acheh ini. Melainkan hanya
didasarkan kepada janji demi untuk kepentingan masyarakat Acheh
seluruhnya
agar sudi kembali ketengah-tengah masyarakat untuk memimpin mereka.
Nah, apa yang disepakati itu bukan merupakan hasil kesepakatan politis
yang
mengikat dan menjamin kelangsungan hidup RIA, melainkan merupakan janji
diberi abolisi kemudian bebas dan bisa bersama-sama lagi dengan
masyarakat
lainnya di Acheh.
Dan memang benar, setelah Teungku Muhammad Daud Beureueh kembali dan
mengikuti Musyawarah Kerukunan Rakyat Acheh, maka habislah riwayat RIA
dan
Teungku Muhammad Daud Beureueh tidak bisa lagi bergerak. Semuanya sudah
dikurung oleh Soekarno dengan TNI-nya.
Berbeda dengan perjuangan Teungku Hasan Muhammad di Tiro.
Dimana14 tahun kemudian ketika Teungku Hasan Muhammad di Tiro pertama
kalinya, setelah 25 tahun di exil di Amerika, menginjakkan kakinya di
bumi
Acheh pada tanggal 30 Oktober 1976 mulailah perjuangan rakyat Acheh
kembali
menggelora, sebagai penerus perjuangan para nenek moyangnya dulu yang
telah
menentang penjajah Belanda, dan pada waktu itu menghadapi pihak
penjajah RI
di bawah Jenderal Soeharto penerus Soekarno yang digulingkannya.
Keadaan politik itulah yang terlihat oleh Teungku Hasan Muhammad di
Tiro,
sehingga Teungku Hasan Muhammad di Tiro mendeklarasikan ulang Negara
Acheh
sebagai lanjutan dari Negara Acheh yang telah dinyatakan lenyap
kedaulatannya karena telah dijajah Belanda, Jepang dan RI. Artinya
Deklarasi
Negara Acheh Sumatera pada tanggal 4 Desember 1976 adalah deklarasi
ulangan
9. Negara Acheh Sumatera yang secara de-facto telah diduduki dan dijajah
oleh
Belanda, Jepang dan diteruskan oleh pihak RI.
Deklarasi ulangan Negara Acheh Sumatera pada 4 Desember 1976 ini adalah
sebagai penerus dan pelanjut Negara Acheh Sumatera yang pada waktu itu
dipimpin oleh Panglima Perang Teungku Tjheh Maat yang meninggal dalam
perang
Alue Bhot, Tangse tanggal 3 Desember 1911. Dimana Teungku Tjheh Maat
ini
adalah cucu dari Teungku Tjhik di Tiro atau paman dari Teungku Hasan
Muhammad di Tiro. Sejak gugurnya Panglima Perang Teungku Tjheh Maat
ditembak
serdadu Belanda pada tanggal 3 Desember 1911, berakhirlah secara de-
jure dan
de-facto kekuasaan Panglima Perang Teungku Tjheh Maat yang memimpin
Negara
Acheh Sumatera dan jatuh secara de-facto dan de-jure ke tangan Belanda.
Sebagai pelanjut dari Negara Acheh Sumatera yang telah hilang secara
de-facto dan de-jure pada tanggal 3 Desember 1911 dari tangan Panglima
Perang Teungku Tjheh Maat inilah, Teungku Hasan Muhammad di Tiro pada
tanggal 4 Desember 1976 meneruskan dan menghidupkan kembali Negara
Acheh
Sumatera melalui deklarasi ulangan Negara Acheh Sumatera yang bebas
dari
pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau RI yang telah menduduki dan
menjajah Negeri Acheh dari sejak tanggal 14 Agustus 1950 melalui tangan
Presiden RIS Soekarno dengan menggunakan dasar hukum PP RIS No. 21/1950
dan
PERPPU No.5/1950.
Nah, dari uraian diatas tergambar bahwa adanya perbedaan dasar hukum
lahirnya NII yang dimaklumatkan oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh
dengan
Deklarasi ulang-nya Teungku Hasan Muhammad di Tiro.
NII-Teungku Muhammad Daud Beureueh lahir pada 20 September 1953 karena
usaha
penentuan nasib sendiri akibat pihak Soekarno dengan RIS dan NKRI-nya
menganeksasi Acheh dengan cara ilegal melalui PP RIS No. 21/1950 dan
PERPPU
No.5/1950. Sedangkan Teungku Hasan Muhammad di Tiro mendeklarasikan
ulang
berdirinya Acheh pada tanggal 4 Desember 1976 sebagai kelanjutan dari
Negara
Acheh Sumatera yang diduduki Belanda sejak 3 Desember 1911 ketika
Panglima
Perang Teungku Tjheh Maat menghadapi syahidnya.
Kemudian sejak 15 Agustus 2005 telah ditandatangani kesepakatan politik
perdamaian antara pihak Negara Acheh Sumatra melalui ASNLF (Acheh
Sumatera
National Liberation Front) atau GAM dan Pemerintah Republik Indonesia
(RI)
yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki,
Finlandia.
10. Dimana kesepakatan politik yang tertuang dalam MoU ini bukan merupakan
satu
penyerahan kedaulatan dari pihak ASNLF atau GAM kepada pihak Pemerintah
RI,
melainkan suatu kesepakatan politik yang menjamin kesamaan martabat
kedua
belah pihak. Dimana hak-hak politik, keamanan, ekonomi, sosial pihak
bangsa
Acheh yang ada dibawah Pemerintah Sendiri Acheh atau Self-Government
dijamin
penuh oleh pihak RI.
Disini kelihatan bahwa keberhasilan dari perjuangan Teungku Hasan
Muhammad
di Tiro yang berbeda dengan apa yang telah dijalankan oleh Teungku
Muhammad
Daud Beureueh dengan RIA-nya ketika menghadapi Soekarno.
Jadi, kalau Teungku Muhammad Daud Beureueh dijerat abolisi oleh
Soekarno
sehingga RIA-nya lenyap, sedangkan Teungku Hasan Muhammad di Tiro
menjerat
Susilo Bambang Yudhoyono & Jusuf Kalla dengan tali Self-Government.
Adapun
tentang hubungan antara GAM dan NII-Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
sampai
detik sekarang ini memang tidak ada.
Friday, August 1, 2008
MAKLUMAT NII-DAUD BEUREUEH DAN DEKLARASI NLFAS-
HASAN TIRO
Stockholm, 9 Mei 2000
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
MAKLUMAT NII-DAUD BEUREUEH DAN DEKLARASI NLFAS-HASAN TIRO
Ahmad Sudirman
XaarJet Stockholm - SWEDIA.
TERNYATA KEDUANYA BERAKHIR DALAM PELUKAN NEGARA
PANCASILA
A. AKHIR DARI MAKLUMAT NII-DAUD BEUREUEH
11. Ketika Kabinet Ali-Wongso yang dibentuk pada tanggal 1 Agustus
1953 dibawah Perdana Menteri Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI) dan Wakil PM Mr.
Wongsonegoro (Partai Indonesia Raya, PIR) dimana Masyumi tidak turut serta, tetapi
NU (Nahdlatul Ulama) dapat jatah kursi untuk ikut duduk dalam Kabinet, melancarkan
kebijaksanaan program politik Kabinetnya, maka Daud Beureueh yang pernah memegang
jabatan Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh sewaktu agresi militer pertama Belanda
pada pertengahan tahun 1947 dan 3 tahun setelah RIS (Republik Indonesia Serikat) bubar
dan kembali menjadi RI dengan semangat yang membara pada bulan September 1953
memaklumatkan Negara Islam Indonesia di Aceh di bawah NII-Imam SM Kartosoewirjo.
Dimana bunyi Maklumat NII di Aceh itu sebagai berikut,
MAKLUMAT
Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja,
maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh
pemerintah dari Negara Islam. Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa
asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja.
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi
bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan
sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa,
Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik,
merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat
mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan
dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah
kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka,
jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan
peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti
melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan
masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti
biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
12. MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
Dari sejak Aceh dimaklumatkan sebagai Negara Islam Indonesia
yang berpusat di Aceh, ternyata Soekarno memerlukan waktu 9 tahun untuk memeluk
kembali Daud Beureueh dengan NII-nya. Yaitu setelah Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo Imam NII di Jawa Barat tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di
daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha.
Pada bulan Desember 1962, Kolonel M.Jasin, Panglima Kodam I/Iskandar Muda,
menjalankan prakarsa yang dinamakan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" dengan
tujuan untuk menarik Daud Beureueh (foto) kedalam meja musyawarah yang sebenarnya
merupakan perangkap dengan menggunakan label Kerukunan Rakyat Aceh agar bisa
menarik hati Daud Beureueh. Tanpa disadari konsekuensi jangka panjang dari
musyawarah itu, Daud Beureueh mengulurkan tangan dan menerima hidup rukun
dengan Soekarno. Ternyata musyawarah itu adalah merupakan akhir dari perjalanan
hidup perjuanagn Daud Beureueh dengan NII-di-Aceh-nya. (Sekretariat NRI, 30 Tahun
Indonesia Merdeka 1950-1964, hal. 72-75, 1986).
B. AKHIR DARI DEKLARASI NATIONAL LIBERATION FRONT OF ACHEH
SUMATRA HASAN TIRO 14 tahun setelah Daud Beureueh menyerah kepada
Penguasa Negara Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976
mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Dimana bunyi deklarasi kemerdekaan
Negara Aceh Sumatra yang dikutif dari buku "The Price of Freedom: the unfinished
diary of Tengku Hasan di Tiro" (National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984) yang
menyangkut " Declaration of Independence of Acheh Sumatra" (hal: 15-17) sebagai
berikut,
"To the people of the world: We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of
self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland,
do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign
regime of Jakarta and the alien people of the island of Java....In the name of sovereign
people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National
Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4,
1976". ("Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan
hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang
13. negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol
politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa....Atas nama rakyat Aceh,
Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation
Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976") (The Price of
Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of
Acheh Sumatra,hal : 15, 17, 1984).
Ternyata setelah menelan ratusan ribu korban rakyat Aceh, menurut rencana pada
tanggal 12 Mei 2000 minggu ini akan dilakukan penandatanganan gencatan senjata
selama 3 bulan antara NLFAS yang diwakili Zaini Abdullah, yang menjabat sebagai
Menteri Kesehatan NLFAS dengan Pemerintah RI yang diwakili oleh Noer Hassan
Wirajuda, Duta Besar Indonesia untuk Switzerland di Genewa dan disaksikan oleh pihak
ketiga dari Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue.
Penandatanganan ini merupakan hasil dari beberapa usaha dialog tertutup antara pihak
GAM dengan Pihak Pemerintah Gus Dur yang diwakili oleh Noer Hassan Wirajuda,
Duta Besar Indonesia di Genewa yang disaksikan oleh pihak ketiga dari Henry Dunant
Center for Humanitarian Dialogue pada akhir bulan Januari 2000 yang lalu. Juga
dialog tertutup dan tidak resmi antara Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia
(HAM) Hasballah M Saad dan pihak GAM di Stockholm pada akhir bulan Februari
2000. Kemudian disusul dialog antara utusan Gus Dur Bondan Gunawan sebagai
Sekretaris Negara & Sekretaris Pengendalian Pemerintah RI dengan pihak GAM yang
diwakili oleh Teungku Abdullah Syafi`i sebagai Panglima Angkatan Gerakan Aceh
Merdeka AGAM di Kabupaten Aceh Pidie pada tanggal 16 Maret 2000 yang lalu.
C. REKOMENDASI DAN PERNYATAAN DARI MUSYAWARAH ULAMA DAYAH
SE-ACEH TANGGAL 13-14 SEPTEMBER 1999 DI KOMPLEK MAKAM SYIAH
KUALA BANDA ACEH.
Musyawarah Ulama Dayah se-Aceh yang diadakan tanggal 3-4 Jumadil Akhir 1420
Hijriah bertepatan dengan tanggal 13-14 September 1999 di Banda Aceh. Setelah
membaca firman Allah SWT QS Assyura ayat 38 yang artinya: "Dan orang-orang yang
mengijabah seruan Tuhan mereka, mendirikan shalat, mereka selalu bermusyawarah
dalam urusan mereka, dan berinfaq dari rezeki yang diberikan kepada mereka". Setelah
menerima berbagai macam masukan, serta mempertimbangkan situasi dan keadaan
masyarakat Aceh akhir-akhir ini, maka seluruh peserta musyawarah sepakat dan merasa
berkewajiban mengeluarkan rekomendasi sebagai berikut:
BIDANG REKOMENDASI DAN PERNYATAAN
1. Setelah mengamati dan memperhatikan aspirasi seluruh masyarakat Aceh yang
berkembang dewasa ini dimana ada yang menghendaki otonomi dan ada yang
menghendaki merdeka maka Musyawarah Ulama Dayah se- Aceh mendesak pemerintah
pusat untuk segera melaksanakan Referendum/Jajak Pendapat di bawah pengawasan
masyarakat internasional sesuai dengan permintaan mahasiswa/thaliban dan
masyarakat Aceh lainnya.
2. Apabila pemerintah pusat tidak menanggapi suara rakyat Aceh dimaksud maka
dikhawatirkan akan terjadi gejolak berkelanjutan yang jauh lebih besar dari gejolak
14. yang terjadi saat ini.
3. Menyerukan kepada pihak-pihak yang bertikai agar dapat menciptakan suasana yang
kondusif dan menghentikan segala bentuk kekerasan sehingga tercipta perasaan aman di
kalangan masyarakat Aceh.
Banda Aceh, 14 September 1999
Presidium Sidang:
1. Tgk H Nuruzzahri H Yahya (ketua)
2. Tgk H Syamaun Risyad LC (sekretaris)
3. Drs Tgk HM Daud (anggota)
4. Tgk H Saifuddin Ilyas (anggota)
5. Tgk H Abdul Manan (anggota) ( http://www.dataphone.se/~ahmad/990917.htm ,
http://www.indomedia.com/serambi/image/990916.htm ).
D. LANGKAH GUS DUR APABILA GENCATAN SENJATA 3 BULAN INI
BERHASIL
Dari sekian langkah kebijaksanaan politik Aceh-nya Gus Dur yang akan diterapkan di
Aceh adalah seperti yang sudah dikenal umum yaitu menerapkan undang-undang nomer
22 tentang otonomi daerah, UU nomer 25 tentang perimbangan keuangan dan UU nomer
44 tentang pelaksanaan syariat Islam.
E. PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL DARI DUA KEJADIAN DIATAS
Dari apa yang dimaklumatkan Daud Beureueh tentang NII-di Aceh-nya dan apa yang
telah di deklarasikan Hasan Tiro tentang National Liberation Front of Acheh Sumatra-
nya yang sekular, ternyata keduanya mengalami jalan buntu. Karena itu apapun yang
akan diusahakan kaum muslimin dimanapun berada dalam rangka usaha membangun
kembali Daulah Islam Rasulullah (DIR) harus mencontoh Rasulullah, yaitu dengan
membangun persatuan dengan berlandaskan keadilan, amanah dan perdamaian yang
bertujuan untuk beribadah, bertaqwa dan mengharap ridha Allah SWT, dengan misi
membangun kembali satu masyarakat muslim dan non muslim didalam satu kekuasaan
pemerintahan dimana Allah yang berdaulat, yang menerapkan musyawarah dan
menjalankan hukum-hukum Allah dengan adil, berdasarkan akidah Islam dengan
menghormati agama lain, dengan konstitusi yang bersumberkan dari Al Quran dan
Sunnah, yang tidak mengenal nasionalitas, kebangsaan, kesukuan dan ras.
Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk
membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam
dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP
http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk, amin*.*
Wassalam.
15. Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
Sejarah Islam Nusantara
Serambi Makkah Jantung Indonesia Sejarah perlawanan terhadap berbagai bentuk
penjajahan di daerah yang mendapat julukan “Serambi Makkah” itu adalah sekeping dari
cerita perjalanan anak bangsa
Oleh Natsir Djamil
“Udep sare mate syahid.” Itulah slogan yang pernah hidup dalam sanubari rakyat yang
hidup di Aceh. Sejarah perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan di daerah yang
mendapat julukan “Serambi Makkah” itu adalah sekeping dari cerita perjalanan anak
bangsa muslim yang bernama Indonesia. Islam yang menggelora di dada tercermin dari
sikap patriotik yang mereka tampilkan. Perlawanan demi perlawanan senantiasa
ditampakkan guna mengusung sebuah misi suci yaitu hidup mulia atau mati syahid.
Dalam sejarah perjalanan bangsa, Aceh menjadi kawasan dalam lingkungan besar
Nusantara yang mampu memelihara identitas. Aceh juga memiliki sejarah kepribadian
kolektifnya yang relatif jauh lebih tinggi, lebih kuat, serta paling sedikit “ter-Belanda-
kan” daripada daerah-daerah lain. Dan itulah sebabnya, mengapa orang Belanda sekelas
Van de Vier menyebutkan bahwa “orang Aceh dapat dibunuh, tetapi tak dapat
ditaklukkan” (Aceh Orloog/Perang Aceh).
Kilas balik perlawanan orang Aceh dapat ditelusuri dalam buku-buku sejarah, baik yang
ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, maupun Perancis. Sejarah mencatat
bahwa peperangan melawan kolonialisme dan imperialisme (1873-1942) telah memaksa
Aceh melakukan perlawanan sengit. Bahkan mendongkrak semangat kaum wanitanya
untuk tampil ke garda terdepan. Dengan perkasa membela kehormatan sekaligus
menggencarkan penyerangan terhadap musuh yang datang pada saat bersamaan.
Semangat juang tersebut lahir dari sebuah keyakinan bahwa semua itu pilihan perang
sabilillah. Berperang demi kehormatan bangsa dan agama. Menampik setiap tawaran
kompromi dan hanya mengenal pilihan membunuh atau dibunuh ketika berhadapan
dengan para penjajah.
Babak baru sejarah Aceh dimulai sejak Islam singgah di bumi ujung Barat Sumatera. Saat
itu dikenal adanya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Islam Peureulak (840 M/225
H), Kerajaan Islam Samudera Pasai (560 H/1166 M), Kerajaan Tamiang, Pedir dan
Meureuhom Daya. Kemudian, oleh Sultan Alauddin Johansyah Berdaulat (601 H/1205
M) Aceh disatukan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota Bandar Aceh
Darussalam yang bergelar Kutaraja.
Kerajaan Aceh Darussalam inilah yang memperluas penaklukannya ke negeri-negeri
16. Melayu sampai ke Semenanjung Malaka yang pada abad kelima, Aceh menjadi Kerajaan
Islam terbesar di Nusantara dan kelima terbesar di dunia. Sang penakluk itu bernama
Sultan Alauddin al Kahhar dan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam.
Penaklukan yang dilakukan Aceh bukan untuk menjajah suku bangsa lain, tetapi untuk
melindungi mereka dari penjajahan Portugis (A Hasjmy; Hikayat Perang Sabil Menjiwai
Perang Aceh Melawan Belanda. Jakarta: Bulan Bintang 1997).
Pada masa jayanya, Aceh sudah menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan
negara-negara tetangga, Timur Tengah dan Eropa. Antara lain dengan Kerajaan Demak,
Kerajaan Pattani, Kerajaan Brunei Darussalam, Turki Utsmani, Inggris, Belanda dan
Amerika. Kerajaan Aceh Darussalam memiliki hukum sendiri, yakni “Kaneun Meukuta
Alam” yang berdasarkan Syariah Islam. Dengan hukum tersebut rakyat yang bernaung
dalam Kerajaan Aceh Darussalam mendapat keadilan hukum. Karena itulah, banyak
wilayah penaklukan yang merasa senang bergabung dengan Aceh. Seandainya tidak ada
hasutan dari pihak kolonial, boleh jadi daerah taklukan tidak melepaskan diri dari
Kerajaan Aceh Darussalam.
Ketika kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sudah ditaklukkan kolonial Barat, Aceh
masih berdaulat sampai akhir abad ke-18. Bangsa kolonial, baik Portugis, Inggris,
maupun Belanda bukannya tidak berambisi menaklukkan Aceh, tetapi mereka gentar
kepada keunggulan Angkatan Laut Aceh yang menguasai perairan Selat Malaka dan
Lautan Hindia. Saat itu Angkatan Laut Aceh memiliki armada yang tangguh berkat
bantuan senjata dan kapal perang dari Turki Utsmani. Salah satu yang terkenal itu adalah
Laksamana Malahayati.
Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Muetia, dan Pocut Meurah Intan merupakan deretan
nama yang menjadi simbol perjuangan kaum perempuan (inong) di Aceh. Mereka terdiri
dari kalangan muda, tua maupun janda juga terlibat dalam kancah perjuangan. Begitupun
mereka berusaha sekuat mungkin agar perjuangan tidak menghilangkan kodrat
kewanitaan. Sebagai wanita yang harus mengandung dan melahirkan tetap dijalani dalam
sebuah peperangan. Terkadang harus melaluinya dalam kondisi antara dua peperangan.
Kebanyakan berjuang bersama-sama suaminya. Dengan tangan yang kecil mungil lincah
memainkan kelewang dan rencong menjadi senjata dahsyat di hadapan lawan, di samping
terus menimang bayinya seraya bersenandung semangat perjuangan. Memompakan
semangat jihad dengan syair yang indah:
Allah hai do kudaidang
Seulayang blang kaputoh taloe
Beu rayek sinyak rijang-rijang
Jak meuprang bela nanggroe
timang anakku timang
layang-layang sawah putus benang
cepat besar anakku sayang
pergi berperang bela negara
17. Tidaklah berlebihan apabila H.C. Zentgraaff, seorang penulis dan wartawan Belanda
yang terkenal dan banyak menulis tentang sejarah perang melawan Belanda di Aceh
mengatakan bahwa para wanitalah yang merupakan “de leidster van het verzet”
(pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang yang terkenal tersebut. Bahkan
sejarah Aceh mengenal “Grandes Dames” (wanita-wanita agung) yang memegang
peranan penting dalam politik maupun peperangan baik dalam posisinya menjadi
sultaniah atau sebagai istri orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh. (Sabili)
Pengkhianatan Atas Islam
Tenggelamrrya Kapal van der Wljk (1939), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam
Lembah Kehidupan (1940), dan biografi orang tuanya berjudul Ayahku (1949).
Ia pernah mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-
Azhar, Kairo. Tentang pengaruhnya, Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia
berkata, “ Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga kebanggaan
bangsa-bangsa Asia Tenggara.”
Dalam bidang politik, Hamka menjadi anggota konstituante hasil pemilu pertama
1955. la dicalonkan oleh Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan
Masyumi di JawaTengah. Muhammadiyah waktu itu adalah anggota istimewa
Masyumi. Dalam sidang konstituante di Bandung, ia menyampaikan pidato
penolakan gagasan Soekarno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin.
Setelah Konstituante dibubarkan pada bulan Juli 1959 dan Masyumi dibubarkan
setahun kemudian. Hamka pun memusatkan kegiatannya dalam dakwah. Sebelum
Masyumi di bubarkan, ia mendirikan majalah tengah bulanan bernama Panji
Masyarakat yang menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama
Islam. Majalah ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan
memuat karangan Dr. Muhammad Hatta berjudul Demokrasi Kita yang mengritik
konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde
Lama tumbang, pada 1967, dan HAMKA menjadi pemlmpin umumnya hingga
akhir hayatnya.
Sebelumnya, pada tanggal 27 Januari 1964, ulama dengan jasa yang besar pada
negara ini ditangkap negaranya sendiri. Ia dijebloskan ke dalam penjara selama
Orde Lama. Dalam tahan ini pula ia melahirkan karyanya yang monumental, yakni
tafsir Al Azhar.
Hamka pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1975.
Pada masanya pula, MUI pernah mengeluarkan fatwa yang luar biasa, melarang
perayaan Natal bersama. MUI didesak untuk mencabut kembali fatwa tersebut,
namun Hamka menolakya. Ia lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya
ketimbang harus mengorbankan akidah. Allah SWT memanggilnya pada 24 Juli
1981. Ulama pejuang yang istiqomah ini dimakamkan di Tanah Kusir, diiringi doa
segenap umat Islam yang mencintainya.n
19. yang asli (versi Dekrit). Sebagian lagi ingin mempertahankan UUD yang sudah
diamandemen yaitu UUD 2002, dan ada yang menginginkan UUD yang sudah
diamandemen ini diamandemen kembali untuk kelima kalinya. Untuk yang terakhir ini,
sebagian mengusulkan amandemen terbatas, dan sebagian lagi amandemen overwhole
atau keseluruhan. Tapi dalam kenyataannya jangankan merehabilitasi Piagam Jakarta,
pembahasan amandemen UUD 45 malah sempat menggugat eksistensi Pasal 29 yang
menegaskan landasan ketuhanan bangsa.
Makin liar
Amandemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amandemen 2002 adalah kran
awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Secara umum modus operandi
imperialisme lewat jalur UU dapat dikategorikan dalam beberapa cara (Al Wa'ie No70
Tahun VI, 1-30 Juni 2006).
Pertama, intervensi G2G (government to government), yakni pemerintah asing secara
langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda
dalam perundangannya dan model G2G seperti ini. Contohnya pernyataan bahwa
Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia, maupun Singapura
bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat.
Kedua, intervensi W2G (world to government), yakni lembaga internasional (seperti
PBB, WTO, IMF) yang mengambil peran penekan. Contohnya agenda UU yang terkait
globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU perbankan, UU migas, UU tenaga
listrik, UU sumber daya air).
Ketiga, intervensi B2G (bussines to government). Para pengusaha dan investor menekan
pemerintah agar meluluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang.
Contohnya agenda UU yang terkait dengan investasi, perpajakan, dan perburuhan.
Keempat, intervensi N2G (non government organization to government). Pihak non
government organization ini dapat berupa orang asing atau lokal murni tapi disponsori
asing. Mereka bisa mendatangi para penyusun UU (teror mental) hingga demo besar-
besaran. Contoh pada UU tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga(UU
KDART) dan penolakan RUU antipornogarfi dan pornoaksi.
Kelima, intervensi I2G (intellectual to government). Kaum intelektual, para ilmuwan,
bahkan tokoh agama dapat dipakai untuk menekan pemerintah agar meloloskan suatu
agenda dalam perundangannya. Jenis ini merupakan intervensi paling rapi dan paling
sulit dideteksi. Contohnya terlihat pada agenda penyusunan UU Otonomi Daerah
LSM asing yang terlibat aktif dalam penyusunan UU adalah National Democration
Institute (NDI) yang dalam operasionalnya didukung CETRO. Mereka mempunyai
program constitutional reform. Ditengarai ada dana 4,4 miliar dolar AS dari Amerika
Serikat (AS) untuk membiayai proyek tersebut. Bahkan NDI dan CETRO mendapat
fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR hingga dengan mudah mengikuti rapat-rapat di
MPR.
20. Sebagai konsekuensinya, undang-undang yang berada di bawah UUD 45 Amandemen itu
pun bersifat liberal. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian
dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA), dan UU Kekerasan Dalam Rumah
Tangga(UU KDRT).
Pakar minyak, Qurtubi dalam diskusi bertema 'UUD 1945 vs UUD 2002' di kantor
Institute for Policy Studies Jakarta membenarkan masuknya paham liberalisme dalam UU
Migas dan UU Sumber Daya Air. Belakangan juga disahkan UU Penanaman Modal yang
memberikan karpet merah bagi kekuatan asing untuk menguasai 100 persen kekayaan
Indonesia untuk kemudian melakukan repatriasi.
Dampaknya mulai terasa
Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina, yang
notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus
bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dan
sebagainya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus
kalah melawan Exxon Mobil.
Semua ini adalah merupakan musibah nasional, karena elite politik dan para pemimpin
bangsa ini telah kehilangan rasa kebangsaan dan religiusitas. Mereka terlalu mudah
menggadaikan kepentingan bangsa untuk kepentingan kelompok dan golongan melalui
pendekatan pragmatis. Rasa idealisme dan keagamaan telah tenggelam disapu oleh badai
liberealisme, kapitalisme, dan hindonisme yang materialistis, sehingga tidak ada satu
kekuatan pun di negeri ini yang akan mampu membendung gelombang korupsi dan
manipulasi.
Piagam Jakarta seperti yang termaktub dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 ,
dengan keputusan Presiden No150 tahun 1959, sebagaimana ditempatkan dalam
Lembaran Negara No75/1959 mengakui hak tersebut. Keputusan Presiden ini sah
berlaku, dan tak dapat dibatalkan melainkan harus bertanya dahulu kepada rakyat lewat
referendum (Ridwan Saidi, Piagam Jakarta ,Tinjauan Hukum dan Sejarah, 2007/RioL).
Piagam Jakarta Hak Umat Islam
Syariat Islam kedudukannya sudah sah secara hukum.
JAKARTA -- Piagam Jakarta yang terhapus dari Pembukaan
UUD 1945 merupakan hak umat Islam Indonesia untuk
menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bila
umat Islam mengabaikan Piagam Jakarta sebagai suatu kenyataan
sejarah, sama saja dengan mengabaikan haknya.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB),
Malam Sabat Kaban, dalam diskusi peluncuran buku Piagam
Jakarta menurut Tinjauan Hukum dan Sejarah, karya budayawan
Ridwan Saidi, di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (21/6). Kaban pun
mengingatkan, Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli tahun 1959, juga memuat kata-kata
21. ''kembali ke UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta''.
''Ini bukan ingin membuka luka lama, tapi menyangkut hak umat Islam,'' kata Kaban. Dia
pun menegaskan, pendapat yang menyatakan arti tujuh kata 'dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya' sebagai aturan yang hanya mengatur
kewajiban individu, adalah keliru. ''Piagam Jakarta bukan hak individu, tapi ini peran
pemerintah yang mengatur salah satunya ajaran Islam ditegakkan. Kewajiban ini
dibebankan pada negara yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum Islam tanpa
mengorbankan non-Muslim,'' kata Menteri Kehutanan itu.
Kaban mengingatkan, Piagam Jakarta berbeda dengan Piagam Madinah. Piagam
Madinah adalah kekuatan operasional di Madinah oleh Nabi Muhammad SAW sehingga
non-Muslim terjamin hak-haknya. Sementara Piagam Jakarta adalah hukum yang
mengatur supaya umat Islam mempunyai hak-hak untuk melaksanakan syariat. ''Tak
perlu takut, malu, atau minder perjuangkan syariat Islam karena peluangnya terbuka,''
kata Kaban.
Produk hukum
Ridwan Saidi mengatakan, tujuh kata Piagam Jakarta sudah tercantum dalam Keppres
Nomor 150/1959 dan Lembaran Negara Nomor 75/1959 sebagai konsideran pada Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, dia menganggap Piagam Jakarta sudah menjadi produk
hukum.
''Piagam Jakarta adalah produk hukum, bukan produk sejarah saja. Ini masih berlaku
sampai sekarang. Artinya syariat Islam kedudukannya sudah sah secara hukum,'' kata
Ridwan. Konsekuensinya, segala produk hukum seharusnya mengacu pada Piagam
Jakarta.
Ketika Soekarno mendekritkan berlakunya UUD 1959 dengan merehabilitasi kedudukan
Piagam Jakarta dalam sistem hukum nasional, menurut Ridwan, itu adalah pengakuan
Presiden Pertama RI itu bahwa telah terjadi kesalahan dasar UUD karena terjadi
pencoretan tujuh kata tersebut. Dia pun mengeritik Pancasila yang menurutnya tak pernah
tercantum secara verbal dalam konstitusi.
Pancasila, lanjut Ridwan, adalah opini orang saja yang dikaitkan dengan pembukaan
UUD 1945. ''UUD tak pernah menyebut kata Pancasila,'' tegasnya.
Praktisi hukum, Mahendradatta, menambahkan, Pancasila hanyalah produk penafsiran
yang muncul dalam bentuk Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Padahal sebenarnya aplikasi konstitusi nasional adalah Piagam Jakarta, bukan Pancasila.
''Piagam Jakarta itu konstitusi kita, kita tak pernah punya konstitusi bernama Pancasila.
Karena salah kaprah ini kita punya konstitusi banci,'' kata Mahendradatta.
Munarman, mantan ketua Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
menyatakan, saat ini yang harus dilakukan adalah mengaplikasikan Piagam Jakarta dalam
22. produk hukum, tata pemerintahan, dan tata ekonomi. Sementara Wakil Ketua MPR, AM
Fatwa, menyarankan perjuangan menegakkan syariat Islam sebaiknya ditempuh melalui
jalan politik. ''Kita perkuat lembaga politik untuk masuk parlemen. Sehingga kita akan
lebih mudah mentransformasikan syariat Islam dalam hukum positif,'' kata Fatwa.
Dukungan non-Muslim
Ketua Majelis Ulama Indonesia, KH Kholil Ridwan, mengungkapkan, betapa banyak
usaha berbagai pihak yang ingin menghadang laju penerapan syariat Islam di Indonesia.
Namun ternyata syariat Islam terus berkembang setahap demi setahap. Hingga akhirnya
di Aceh dapat diterapkan syariat Islam menyusul beberapa daerah dengan perda-perda
antimaksiatnya.
Syariat Islam pun ternyata didukung warga non-Muslim. Kholil bercerita bahwa Amir
Majelis Mujahidin Indonesia, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, sewaktu dipenjara di LP
Cipinang, pernah didatangi sekelompok Bhikku dari Kelantan, Malaysia. ''Mereka
meminta Ba'asyir terus berjuang menegakkan syariat Islam karena penerapan syariat
Islam di Kelantan berhasil menekan tingkat kejahatan,'' kata Kholil.
Di Aceh, sambung Kholil, para perempuan Tiong Hoa di depan MUI menyatakan rasa
syukur. Sebab, penerapan syariat Islam membuat suami mereka tak lagi pulang malam
dalam kondisi mabuk dan kehabisan uang karena kalah judi.
Kholil juga bercerita bahwa Amir Majelis Mujahidin Indonesia, Ustadz Abu Bakar
Ba'asyir sewaktu di penjara di LP Cipinang, pernah didatangi sekelompok biksu dari
Kelantan, Malaysia. " Mereka meminta Ba'asyir terus berjuang menegakkan syariat Islam
karena di Kelantan berhasil menekan tingkat kejahatan (rto/RioL)
Menjaga Spirit Piagam Jakarta
M Fuad Nasar Anggota Badan Amil Zakat Nasional
Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada tanggal
itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) tercapai sebuah konsensus nasional dan gentlemen agreement tentang dasar
negara Republik Indonesia. Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh
Mr Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta.
Titik kompromi dimaksud terutama tercermin dalam kalimat, 'negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Kalimat ini merupakan rumusan
pertama lima prinsip falsafah negara yang oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945
dinamakan Pancasila.
Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditandatangani oleh panitia kecil
yang dibentuk oleh BPUPKI. Anggotanya adalah Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr
AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, HA Salim, Mr
Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mr Mohammad Yamin. Waktu itu, Ir Soekarno
23. selaku pimpinan rapat dengan segenap kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta
sebagaimana dapat dibaca dalam risalah sidang BPUPKI.
Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan
Sebuah Proyeksi (1970), menulis, "Timbul sekarang satu historische vraag, satu
pertanyaan sejarah, apa sebab rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah
payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari
bangsa kita, kemudian di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18
Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah."
Dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (diterbitkan 1969), Bung
Hatta menceritakan apa yang dialaminya pada sore hari 17 Agustus 1945 sebagai berikut.
“Pada sore harinya saya menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral
Mayeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut),
karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima
sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya persilakan mereka datang. Opsir itu yang saya
lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-
sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai
oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi 'Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Mereka mengakui bahwa bagian
kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi
tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-
Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika
diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Bung Hatta yang menerima kabar penting itu, masih punya waktu semalam untuk
berpikir. “Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia
Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula semboyan yang selama ini didengung-
dengungkan 'bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh', perkataannya itu berpengaruh
juga atas pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25
tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka
bersatu dan tidak terbagi-bagi. Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18
Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagus
Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan dari
Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya
kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat
yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha
Esa.” ungkap Hatta.
Tetap hidup
Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan kebangsaan serta
golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pada 18
Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret kata-kata, 'dengan kewajiban
menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya', setelah kata 'ke-Tuhanan'. Ini
merupakan cermin sikap kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada
24. bandingnya sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Dalam perkembangan di kemudian hari, sehubungan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dalam konsiderans dekrit,
Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar. Pertanyaan yang mendasar
diajukan oleh dua orang anggota DPR yaitu Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu
(NU) kepada pemerintah yang diwakili Perdana Menteri Juanda menyangkut rencana
kembali ke UUD 1945 serta maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan pengaruhnya
dalam UUD 1945. Jawaban resmi pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri
Juanda adalah bahwa pengaruh Piagam Jakarta tersebut tidak mengenai Pembukaan UUD
1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian perkataan
'Ketuhanan' dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti 'Ketuhanan dengan
kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’atnya sehingga atas dasar itu dapat
diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan
dengan syari’at Islam'.
Tidak dapat dipungkiri bahwa spirit Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis dan
historis tetap terpatri dalam konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali diamandemen UUD
1945 di masa reformasi dan saat ini kembali bergulir usulan amandemen kelima,
diharapkan spirit Piagam Jakarta tetap hidup dalam hati sanubari para pemimpin dan
segenap warga bangsa yang majemuk ini. (RioL)
Piagam Jakarta
Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan
oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan
kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk
oleh BPUPKI.
Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila dari lima butir,
sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan
Muqaddimah (preamble). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh
PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama
diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs.
M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad
Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
25. Naskah Piagam Jakarta Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu jalah hak segala
bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena
tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat jang
berbahagia dengan selamat-sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu
gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan
dengan ini kemerdekaannja.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka
jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan
untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indnesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan
kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar
kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin
oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan
mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.
Djakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno
Mohammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim
Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Muhammad Yamin