SlideShare a Scribd company logo
1 of 15
Pendidikan Karakter Antikorupsi:
                          Upaya Menyikapi Realita
                           Oleh I Putu Mas Dewantara


1. Pendahuluan
       Korupsi     merupakan   sebuah    masalah    pelik   yang   tiada   habisnya
diperbincangkan di negeri rupiah ini. Mulai dari pemahaman mengenai apa itu
korupsi, bentuk-bentuk tindakan korupsi sampai pada sanksi hukum tindakan
korupsi. Namun, perbincangan dari waktu ke waktu itu belum berbuah maksimal.
Masih sangat mudah dijumpai praktek-praktek korupsi di sekitar kita. Bahkan jika
mau jujur, korupsi sudah dilakukan secara terang-terangan (masyarakat menyebutnya
“rahasia umum [?]”). Mengadili orang-orang yang terlibat korupsi ternyata juga tidak
mudah. Sebab para koruptor ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Betapa
terkejutnya publik saat seorang koruptor bisa ke luar tahanan dan menonton
pertandingan olah raga di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah melanda
tempat-tempat yang diharapkan mampu memberi efek jera pada para koruptor.
Begitu besar kekuatan uang untuk membeli kebebasan para koruptor. Sebelum kasus
ke luarnya koruptor dari balik jeruji besi, negari ini juga pernah dihebohkan dengan
ruang tahanan yang disulap bak hotel berbintang. AC, TV, DVD, dan perlengkapan
lain menghiasi ruangan yang semestinya menciptakan renungan atas perbuatan yang
telah dilakukan.
       Sebelum berbicara lebih jauh menyangkut korupsi di negeri ini, penting
rasanya untuk mengetahui apa korupsi itu agar dapat dilakukan ‘pelabelan’ tindakan
mana yang tergolong korupsi dan mana tindakan yang bukan korupsi. Kata korupsi
berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
       Menurut Tegar (2010) timbulnya korupsi disebabkan oleh berbagai hal, salah
satunya budaya lokal. Budaya yang dianut dan diyakini masyarakat kita telah sedikit


                                                                                  1
banyak menimbulkan dan membudayakan terjadinya korupsi. Pada masyarakat Jawa
dikenal budaya Patron-Klien. Dalam budaya Patron-Klien, diyakini bahwa Patron
memiliki kebesaran hak dan kekuasaan, sedangkan Klien terbatas pada kekecilan hak
dan kebesaran kewajiban terhadap Patron. Klien selalu berupaya meniru apa yang
dilakukan Patron, serta membenarkan setiap tindakan Patronnya. Hal tersebut
didasari karena adanya pandangan bahwa semua yang berasal dari Patron dianggap
memiliki nilai budaya luhur. Keadaan ini mengakibatkan Patron memiliki kebebasan
dalam bertindak, termasuk tindakan yang tidak terpuji, anti-manusiawi, merugikan
orang lain yang kemudian disebut korupsi. Umunya Klien sering memberikan
barang-barang tertentu kepada Patronnya, dengan harapan mereka akan diberikan
pekerjaan ataupun upah lebih tinggi. Klien juga memberikan penghormatan yang
berlebihan kepada Patronnya. Korupsi kecil tersebut lambat laun meluas kepada
kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Proses penyebaran korupsi tersebut
disebut dengan continous imitation (peniruan korupsi berkelanjutan). Proses ini bisa
terjadi tanpa disadari oleh masyarakat. Dalam keluarga misalnya, seringkali orang
tua tanpa sengaja telah mengajarkan perilaku korupsi kepada anaknya. Meskipun
sebenarnya orang tua tidak bermaksud demikian, namun kita tidak boleh lupa bahwa
anak adalah peniru terbaik, mereka meniru apapun yang dilakukan oleh orang-orang
dewasa di sekitarnya.
       Di era reformasi seperti sekarang ini, masih jarang dijumpai masyarakat
secara individual yang memiliki keberanian mengungkap kasus korupsi. Korupsi
yang sudah dilakukan secara sistematis dan terorganisir mungkin adalah salah satu
penyebab ketakutan setiap orang untuk membedah tindak korupsi. Siapa yang
‘berontak’ akan sangat mungkin malah tersisihkan. Hal ini tentunya akan berujung
pada keterbatasan ruang gerak si pembedah korupsi. Salah satu contoh praktek
korupsi yang licin untuk dibuktikan adalah saat penerimaan calon pegawai negeri.
Praktek-praktek korupsi terdengar di mana-mana, namun, begitu sulit untuk
dibuktikan di meja hijau. Bahkan kasusnyapun jarang sampai ke gerbang kantor
penegak hukum. Tidak ada seorangpun yang nampaknya berani mengungkap kasus
ini. Ironisnya, pelajar yang dalam hal ini dikategorikan sebagai orang terdidik tidak
mampu berbuat banyak. Bahkan terkesan mengikuti arus permainan. Ketakutan dan
kecemasan tentunya muncul ketika seseorang dihadapkan pada sebuah sistem yang



                                                                                   2
kukuh. Ketakutan dan kecemasan itu muncul karena adanya ancaman terhadap nilai
eksistensi dasar manusia (Teori Rollo May dalam Friedman dan Schustack, 2006).
Siapa yang patut dipersalahkan? Pemerintah, lembaga hukum, ataukah dunia
pendidikan yang belum mampu memberikan bekal ‘keberanian’ dan ‘kesetiaan’ akan
kejujuran? Di sini pendidikan sering menjadi komponen yang paling disoroti.
       Jika tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak
mulia, terampil dan seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan atau
alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada jenjang tertentu
masih menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana dirumuskan dalam
tujuan, maka apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Apa
yang telah terjadi sudah selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitas
pendidikan di negeri ini.
       Menyikapi fenomena korupsi yang marak terjadi. Pendidikan pun melakukan
pembenahan-pembenahan untuk menjawab tantangan derasnya arus korupsi. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang
gencar dibicarakan belakangan ini adalah masuknya pendidikan karakter antikorupsi
pada tingkat pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi pada tahun ajaran 2011.
Kurikulum tersebut, menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, nantinya akan masuk
dalam silabus-silabus mata pelajaran. Sedangkan pengajarnya adalah guru-guru yang
telah diberi training bagaimana mengajarkan pendidikan karakter antikorupsi.
Penyebaran pendidikan antikorupsi ini pun akan dilakukan secara bertahap.
       Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter antikorupsi tidak berdiri sendiri
sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi dengan memberikan penguatan pada masing-
masing mata pelajaran yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Mendiknas
menganalogikan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai zat oksigen yang
menjadi bagian dari manusia hidup. Manusia tidak akan hidup tanpa oksigen. Begitu
juga dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, kita seakan mati jika tidak
berlaku sesuai dengan budaya dan karakter bangsa. Karakter dan budaya bangsa itu
begitu melekat dalam diri seseorang.
       Pendidikan antikorupsi sesungguhnya abstrak, bukan melalui logika saja.
Pendidikan ini memerlukan tahap penalaran, internalisasi nilai dan moral, sehingga
mata pelajarannya didesain tidak hanya menekankan aspek kognitif, melainkan lebih



                                                                                   3
pada aspek afektif dan psikomotorik (http://www.riaumandiri.net). Menekankan
bagaimana agar anak didik melakukan sesuatu, atau menghindari sesuatu untuk
mendapat pengharagaan sosial dari orang lain. Bagi anak-anak, proses penalaran
moral berkembang sejalan dengan proses belajar sendiri dan belajar dari lingkungan.
Melalui pendidikan antikorupsi yang terarah dan efektif, terbuka kemungkinan
internalisasi nilai-nilai. Peran guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar menjadi
kunci. Mereka harus memberi teladan berperilaku antikorupsi, terutama berperilaku
jujur sebagai dasar pembentukan karakter secara dini.
       Pendekatan    yang     dilakukan   dalam   pendidikan   karakter   antikorupsi
mengambil pengalaman-pengalaman berupa best practices masyarakat transparansi
internasional dan pengalaman kita dengan pendidikan P4. Hal yang harus dihindari
adalah adanya indoktrinasi, pembelajaran yang menekankan pada aspek hafalan
semata-mata. Pendidikan karakter antikorupsi haruslah bermakna belajar dengan
mengalami atau experiential lerning jadi tidak sekadar mengkondisikan para peserta
didik hanya untuk tahu, namun juga diberi kesempatan untuk membuat keputusan
dan pilihan untuk dirinya sendiri. Peserta didik kita seringkali hanya diberi
pengetahuan normatif sesuatu hal namun tidak diberi kesempatan untuk menentukan
pilihannya sendiri mengapa siswa harus mengambil keputusan tertentu dan
bertanggung jawab atas keputusan yang telah siswa ambil.
       Program pendidikan karakter antikorupsi bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang sama dan terpadu serta terbimbing dalam rangka menekan
kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan korupsi. Kemudian harapannya
berdampak pada adanya respon atau tanggapan balik dari rakyat untuk bisa
menyuarakan kearifannya mengenai penyimpangan korupsi. Di samping itu juga
bertujuan untuk membentuk kesadaran publik terhadap setiap kegiatan yang
mengarah kepada adanya tindakan korupsi oleh para penguasa atau pengambil
kebijakan    yang     tidak     mempedulika       rakyat   (Tim     MCW        dalam
http://niamw.wordpress.com).
       Korupsi adalah masalah bersama yang penuntasannya tidak dapat dilakukan
seketika. Kekuatan hukum dalam menimbulkan efek jera pun terkesan belum
maksimal. Banyak pelaku tindak korupsi yang mendapat hukuman minim dan
bahkan lolos dari jerat hukum. Untuk itu, jalur pendidikan ditilik sebagai wahana



                                                                                   4
terbaik untuk memutus arus korupsi dengan peningkatan moral generasi penerusnya.
Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum tentunya
mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang pro dan ada juga yang
kontra terhadap pelaksanaan program ini. Untuk itu perlu rasanya dilakukan suatu
pengkajian mengenai kelemahan dan keunggulan pendidikan karakter antikorupsi
yang hangat dibicarakan sekarang ini.

2. Pembahasan

A. Pendidikan Karakter Antikorupsi: Bukan Solusi

       Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, arah pendidikan nasional
dinyatakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kata “cerdas” sering kali
dianggap tidak mencakup aspek moralitas, sehingga dirasa tidak mencukupi.
Dikotomi ini senantiasa muncul dalam tujuan pendidikan nasional sehingga
rumusannya tidak pernah simpel.
       Sejatinya istilah mencerdaskan meliputi penyempurnaan akal budi, nalar,
watak, dan bahkan fisik. Perkembangan psikologi kognitif dewasa ini menunjukkan
bahwa ranah kecerdasan yang sebelumnya seolah sebatas intelegensi (intelligence
quotient/IQ),    kini   meluas   hingga   pada   kecerdasan   emosional    (emotional
quotient/EQ) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Malah Howard
Gardner dalam bukunya yang berjudul ‘Multiple Intelligence’ memperkenalkan
kecerdasan majemuk yang terdiri atas tujuh jenis intelegensi, yaitu intelegensi musik,
kinestik, logis-matematis, linguistik, spasial, interpersonal, dan intrapensonal (dalam
Tilaar, 2000).
       Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum
dengan tujuan mengatasi krisis moral yang terjadi memunculkan sikap pesimis
masyarakat. Mereka beranggapan bahwa menggagas pendidikan karakter antikorupsi
bukanlah solusi yang tepat mengatasi masalah korupsi yang melanda negeri ini. Ada
beberapa alasan yang dilontarkan guna menolak gagasan pendidikan karakter
antikorupsi masuk kurikulum.
       Pertama, akan menyamarkan arah pendidikan nasional. Mengutamakan
pendidikan karakter melalui sekolah akan menggiring proses pendidikan kita
semakin masuk ke lorong sempit konservatisme dan fundamentalisme pendidikan,



                                                                                     5
yang ditandai oleh indoktrinasi nilai-nilai yang cenderung membelenggu akal sehat.
Akibatnya, bangsa ini akan menjadi semakin irasional dan tidak kreatif. Dengan
demikian tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan pernah tercapai.
       Kedua, pelaksanaannya di tingkat sekolah akan sulit dihindari korelasinya
dengan mata pelajaran tertentu yang disangka berpengaruh besar pada pembentukan
karakter, seperti pendidikan agama, moral, budi pekerti, kewarganegaraan, dan
pendidikan nilai lainnya. Padahal berbagai nilai kebajikan telah diajarkan sejak dulu
melalui bidang studi tersebut. Namun kenyataannya masyarakat kita pada hari ini
bagai tidak beranjak dari “Manusia Indonesia”, seperti digambarkan oleh Mochtar
Lubis pada 1977: hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal,
percaya tahayul, artistik, dan berwatak lemah.
       Ketiga, lembaga pendidikan dalam sebuah negara merupakan sebuah
subsistem sosial-politik, sehingga apa yang terjadi di dalamnya adalah turunan dari
induk sistemnya. Mengharapkan tumbuhnya karakter dari sebuah sistem pendidikan
yang telah gagal tanpa didahului oleh reformasi yang menyeluruh adalah kesia-siaan.
Prioritas utama bangsa Indonesia sekarang ini adalah penataan kembali bidang
pendidikan dalam sebuah kerangka strategi pembangunan ekonomi dan strategi
kebudayaan, bukan tambal sulam seperti yang diusulkan dan terjadi selama ini.
       Hampir mirib dengan alasan ketiga, alasan keempat untuk menyatakan
ketidaksetujuan masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum
adalah karena dunia pendidikan kita masih dibelit oleh beragam masalah.
Penambahan atau penyisipan pengetahuan melalui mata pelajaran-mata pelajaran
yang ada ditakutkan hanya akan menjadi penumpukan teori yang tidak pernah
mendapat ruang untuk realisasinya. Tirtaraharja dan La Sulo (2005:250) berpendapat
bahwa hambatan yang dialami sekolah adalah sulitnya memerogram pendidikan
afektif secara eksplisit karena dianggap menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi
(hiden curriculum) yang keterlaksanaanya sangat tergantung kepada kemahiran dan
pengalaman guru. Menilai hasil pendidikan afektif juga dirasa tidak mudah dan
memakan waktu, sehingga memerlukan ketekunan dan kesabaran pendidik. Inilah
yang menjadi alasan kepesimisan beberapa kalangan akan keberhasilannya
pencapaian sasaran yang diharapkan. Pendidikan karakter antikorupsi tidak harus




                                                                                   6
masuk dalam kurikulum. Sebab, beban kurikulum di sekolah sudah berat. Jika
ditambah kurikulum antikorupsi, beban siswa dan guru pun semakin berat.
       Selain masalah tersebut, pendidikan karakter antikorupsi juga dibayangi oleh
tindak korupsi di tengah institusi pendidikan. Banyak tindak korupsi yang kita
temukan di institusi pendidikan, seperti penyelewengan dana BOS, korupsi waktu
mengajar, korupsi nilai (katrol nilai), dan lain sebagainya. Padahal pendidikan
karakter antikorupsi baru akan berjalan kena sasaran dan efektif bila didukung oleh
kondisi termasuk lingkungan sekolah dan masyarakat yang tidak korup. Hal pertama
yang harus dilakukan pemerintah adalah mengatasi korupsi di dalam institusi
pendidikan. Akan sia-sia jika pendidikan karakter antikorupsi ada dalam lingkungan
yang penuh tindakan korupsi.

B. Pendidikan Karakter Antikorupsi Sangat Dibutuhkan

       Selain mendapat respons negatif seperti yang telah dipaparkan di atas, ide
memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum juga mendapat respons positif dari
masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden
pada 27 Mei 2010 menunjukkan sebanyak 87% responden beranggapan perlunya
memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga
relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan
antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia
(Djabbar, 2009).
       Sejumlah alasan pun dilontarkan untuk menunjukkan dibutuhkannya
pendidikan karakter antikorupsi untuk menyikapi realita. Pertama, pendidikan lebih
dominan berorientasi pada penguasaan iptek, sedangkan sesuatu yang menyangkut
budaya dan perilaku (karakter) relatif masih terabaikan. Artinya, integrasi antara
pendidikan iptek dan seni dengan moral dan etika belum dapat dilakukan secara
serasi dan seimbang. Oleh karena itu, hadirnya pendidikan karakter antikorupsi
dipandang sebagai pembaharuan yang tepat bagi pendidikan di Indonesia.
       Pendidikan antikorupsi bagi siswa mengarah pada pendidikan nilai, yaitu
nilai-nilai kebaikan. Suseno (dalam Djabbar, 2009) berpendapat bahwa pendidikan
yang mendukung orientasi nilai adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu
apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.



                                                                                 7
Menurut Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membuat orang
menjadi kebal terhadap godaan korupsi. Ketiga sikap moral fundamental tersebut
adalah kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab.
       Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi, menunjukkan siapa
dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran
jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar bahwa berlaku
tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.
       Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang
mengikat diri sendiri. Magnis (dalam Djabbar, 2009) mengatakan bahwa bersikap
baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju
kebaikan. Sikap moral yang selanjutnya dibutuhkan adalah rasa tanggung jawab.
Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan
kewajiban sampai tuntas. Misalnya, siswa diberi tanggung jawab mengelola dana
kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana
dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga.
       Alasan kedua yang dilontarkan untuk mendukung pendidikan karakter
antikorupsi masuk kurikulum adalah melaui pendidikan karakter antikorupsi para
siswa sejak usia dini sudah mengetahui tentang seluk-beluk praktek korupsi
sekaligus konsekuensi yang akan diterima oleh para pelaku. Ketiga, memberikan
proses pembelajaran tentang kepakaan terhadap praktek-praktek korupsi yang ada
disekitar kita. Keempat, mendidik para siswa dari usia dini tentang akhlak atau moral
yang sesuai dengan ajaran-ajaran sosial keagamaan. Kelima, menciptakan generasi
penerus yang bersih dari perilaku penyimpangan, dan keenam, membantu seluruh
cita-cita warga bangsa dalam menciptakan clean and good-goverment demi masa
depan yang lebih baik dan beradab.

C. Menyikapi Realita

       Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari
sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan
koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga
pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi
Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977,



                                                                                   8
hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak
membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan bagai jamur di musim
hujan.
         Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau
PERC menyebutkan Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati peringkat
pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini
naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam,
Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang,
Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling
bersih (www.bisniskeuangan.kompas.com).
         Upaya pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) yang bekerja sama dengan KPK menyikapi realita korupsi yang
menjamur di negeri ini patutlah kita apresiasi positif. Pendidikan sebagai usaha sadar
yang sistematis dan sistemis memang harus selalu bertolak dari sejumlah landasan
atau azas-azas tertentu guna mewujudkan masa depan yang lebih baik (Tirtaraharja
dan La Sulo, 2005). Lembaga pendidikan pun ditilik sebagai tempat terbaik
menyiapkap SDM yang bermoralitas tinggi. Hal ini sejalan dengan pandangan
Socrates (469-399 SM) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling
mendasar adalah membentuk individu menjadi lebih baik dan cerdas. Dengan kata
lain, pendidikan hendaknya diarahkan kepada kebajikan atau nilai individu yang
mencakup      dua   aspek,   yaitu   intelektual   dan   moral   (Aristoteles   dalam
http://www.insistnet.com).
         Lembaga pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis dalam
menanamkan mental antikorupsi. Masyarakat terdidik inilah yang nantinya memiliki
peranan yang cukup dominan dalam masyarakat. Pendidikan karakter antikorupsi
diharapkan mampu membentuk kesadaran publik terhadap kegiatan yang mengarah
ke tindakan korupsi, memberikan bekal pemahaman mengenai efek tindak korupsi
bagi kehidupan bangsa dan negara, serta mampu memberikan pemahaman
penggunaan ilmu pengetahuan dengan cara-cara yang benar tanpa ikut andil dalam
tindakan korupsi. Penanaman mental antikorupsi sejak usia dini diharapkan dapat
melahirkan generasi penerus yang siap berperang melawan korupsi.




                                                                                    9
Memang sudah saatnya pendidikan kita disentuh oleh masalah-masalah real
yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ketika korupsi menjalar bagai akar
di setiap bidang kehidupan, maka sudah sepatutnya peserta didik yang akan menjadi
penerus kehidupan bangsa diperkenalkan dengan permasalahan korupsi. Agar mereka
tahu betapa bahayanya tindakan korupsi bagi kelangsungan hidup bangsa sehingga
mereka memiliki sikap tidak tergoda dengan tindak korupsi.
       Penanaman nilai-nilai luhur sejak dini diharapkan mampu menjadi pondasi
yang kokoh bagi peserta didik dalam menyikapi realita kemerosotan moral yang
terjadi di tengah masyarakat. Melalui pendidikan karakter antikorupsi juga
diharapkan munculnya rasa tanggung jawab untuk memberantas korupsi dan
memberikan contoh pada masyarakat luas tidak hanya dari tuturan, tetapi juga
melalui perbuatan yang mencerminkan karakter yang ulet, jujur, toleran, dan lain
sebagainya.
       Selama ini pendidikan mengenai nilai-nilai luhur sebenarnya telah terangkum
dalam mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun, hasil yang
digapai hanya sebatas kemampuan kognitif yang berfokuskan pada pencapaian nilai
dalam selembar kertas. Pemahaman mengenai nilai luhur tersebut akan hilang ketika
anak didik ke luar dari pagar sekolah. Banyak kejadian dalam masyarakat yang
mereka jumpai tidak sejalan dengan teori-teori yang ditanamkan sekolah, dan anak
didik tidak mampu menyumbangkan pemikirannya dalam mengatasi persoalan itu.
J.H. Gunning (dalam Tirtaraharja dan La Sulo, 2005) berpendapat bahwa seharusnya
pendidikan yang sehat mampu menunjukan titik temu atau menjembatani antara teori
dan praktek.
       Abduhzen (2010) berpendapat bahwa strategi pendidikan kita pada berbagai
tingkatannya sangat kurang menghiraukan pengembangan nalar sebagai basis sikap
dan perilaku. Pembelajaran di sekolah kita lebih cenderung pada mengisi atau
mengindoktrinasi pikiran. Akibatnya, apa yang diperoleh di sekolah seperti tidak
berkorelasi dengan kehidupan nyata. Pendidikan harus mampu menciptakan
keseimbangan dalam kehidupan peserta didiknya. Hal ini sejalan dengan ajaran
filsafat I Ching (kristalisasi marxisme di Tiongkok) yang memandang bahwa nilai
yang paling tinggi dalam kehidupan manusia adalah keseimbangan (Artadi, 2004).




                                                                                 10
Agar pendidikan karakter antikorupsi dapat mencapai sasaran, beberapa
langkah dapat dilakukan pemerintah dan Kemendiknas, seperti pelatihan-pelatihan
kepribadian kepada guru-guru untuk menanamkan sikap antikorupsi. Hasilnya nanti
terlihat dalam sikap keseharian guru dalam menjalankan tugasnya. Sikap-sikap
antikorupsi yang ditunjukkan oleh guru tentu akan lebih ‘tajam’ pemikiran siswa
mengenai korupsi dibandingkan dengan teori-teori hapalan mengenai tindak korupsi.
Langkah lain yang dapat diambil untuk memaksimalkan tujuan pendidikan karakter
antikorupsi adalah memberikan sanksi tegas kepada guru dan pegawai-pegawai dinas
pendidikan yang melakukan tindakan korupsi. Sehingga dunia pendidikan terlepas
dari tindakan korupsi yang akan berdampak pada penciptaan kondisi yang
mendukung pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi.
       Melihat berbagai kendala yang membentang dalam pelaksanaan pendidikan
karakter antikorupsi ini, maka sudah sepatutnyalah dilakukan perbaikan dalam tubuh
institusi pendidikan terlebih dahulu. Agar jangan sampai rencana manis hanya
berbuah tawar atau tiada berguna. Guru sebagai ujung tombak pendidikan karakter
antikorupsi haruslah merefleksi diri. Penanaman sikap luhur ini akan tercapai apabila
guru sanggup menjadi contoh sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil bagi
siswanya. Bukan hanya pemberian teori mengenai ciri-ciri sikap jujur, baik,
bertanggung jawab, dan adil yang sasaranya hanya hapalan semata. Edith Wharton
(dalam Lewis, 2004) mengatakan bahwa ada dua cara untuk menyebarkan terang:
menjadi lilinnya atau menjadi cermin yang memantulkannya. Lewis (2004)
menyebut pemberian contoh-contoh sikap luhur itu sebagai kepemimpinan lewat
teladan. Dalam kepemimpinan ini, seorang guru akan menjadi tolak ukur di mana
peserta didik akan mengukur diri mereka sendiri. Guru akan menjadi inspirasi bagi
peserta didiknya.
       Untuk dapat menjadi pemimpin yang mampu menerangi jalan peserta
didiknya, seorah guru hendaknya kembali memegang teguh trilogi kepemimpinan
yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, dan tut wuri handayani. Artinya, ‘di depan guru sebagai pemimpin
mesti memberi teladan’, ‘di tengah-tengah peserta didik, guru membangun semangat
serta menciptakan peluang untuk berswakarsa’, ‘dari belakang guru mendorong dan




                                                                                  11
mengarahkan peserta didiknya’. Trilogi inilah yang mungkin terlupakan dalam
sistem pendidikan penanaman nilai di negeri ini.
       Selain penerapan Trilogi pendidikan, sebelas prinsip yang dikemukakan
Lickona dkk (http://diksia.com) agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif juga
patut kita jadikan rujukan untuk menuju ke arah perbaikan sistem pendidikan
nasional. Kesebelas prinsip itu adalah (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-
nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan
'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3)
gunakan    pendekatan    yang    komprehensif,     disengaja,   dan   proaktif   dalam
pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5)
beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum
akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik,
mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan
mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas
pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter
dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan
siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan
jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota
masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter
sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa
memanifestasikan karakter yang baik.

D. Perubahan Kerangka Pendidikan Menuju Pendidikan Holistik

       Pendidikan dikatakan holistik apabila pendidikan itu menyeluruh. Artinya,
pembangunan manusia bukan hanya dari dimensi kognitif saja. Pendidikan harus
mampu menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri. Hal inilah yang
sebenarnya perlu diperhatikan dalam pendidikan karena selama ini, hanya otak kiri
saja (hafalan) yang lebih banyak ditekankan. Inilah penyebab tujuan pendidikan
menciptakan manusia seutuhnya jauh dari kenyataan.
       Dalam bahasa Inggris holistik itu berasal dari kata holy dan healty. Orang
bijak biasanya disebut holinan. Harus diakui bahwa ada sesuatu yang kurang dalam
sistem pendidikan kita selama ini. Manusia melalui pendidikan haruslah



                                                                                    12
dikembangkan secara holistik dari emosinya, kretifitasnya, kemampuannya, interaksi
sosialnya, kognitif motorik dan afektifnya.
       Perdebatan mengenai wacana pendidikan karakter antikorupsi signifikan atau
tidak jika diterapkan dalam kurikulum menjadi berkepanjangan tanpa kata akhir,
sebelum hasil penelitian mengemukakan data yang valid dan representatif yang
memenuhi syarat normatif yang berlaku secara universal. Apapun itu hasilnya nanti,
tujuan sebenarnya dimasukkannya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum
merupakan kerangka dalam rangka menciptakan manusia yang utuh (holistik), kokoh
dan tangguh.
       Dalam perkembangan selanjutnya, mengingat Indonesia adalah negara yang
multikultur, sagat memungkinkan pendidikan karakter antikorupsi akan berbasis
multikultural. Dalam model multikulturalisme, masyarakat dilihat sebagai sebuah
kepingan unik dari sebuah mozaik besar. Konsep multikulturalisme tidak sama
dengan pluralisme. Pluralisme menekankan pengakuan dan penghormatan kepada
adanya keragaman budaya dan suku bangsa, juga agama. Multikulturalisme
menekankan keanekaragaman dalam persamaan derajat.
       Pendidikan antikorupsi berbasis multikultural mengandaikan domain bangsa
sebagai arena yang dipenuhi bermacam tipe manusia. Pendidikan karakter
antikorupsi berbasis multikultur didasari konsep perbedaan yang unik pada tiap
orang. Setiap orang memperoleh peluang pembelajaran sesuai keunikannya.
Pendidikan ini dikelola sebagai sebuah dialog, sehingga tumbuh kesadaran dari
setiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Sampai
tingkat lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif, untuk secara bersama memberantas
korupsi.

3. Penutup

       Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum
menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Ada kepesimisan akan keberhasilan
program ini memotong arus korupsi yang begitu deras di negeri ini. Apalagi, korupsi
telah dilakukan secara terorganisir dan sistematis. Penembahan pendidikan karakter
antikorupsi juga dipandang hanya akan menambah beban kurikulum yang sudah
sarat muatan. Di samping itu, guru-guru sebagai ujung tombak pelaksanaan



                                                                                13
pendidikan karakter antikorupsi dipandang belum memiliki kompetensi yang
memadai untuk menanmkan nilai-nilai antikorupsi yang hendak ditanamkan. Hal ini
akan semakin sulit dengan banyaknya kasus korupsi yang membelit instansi
pendidikan. Selain itu masih banyak lagi alasan lain diberikan guna menunjukkan
ketidaksetujuan masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum.
       Terlepas dari banyaknya kendala pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi
semenjak usia dini, banyak masyarakat yang menyambut positif rancangan
perubahan yang dilakukan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa semua masalah
yang ada tentunya akan dapat diatasi jika ada kerjasama dari semua pihak untuk
mengatasi masalah tersebut. Pendidikan karakter antikorupsi selain di sekolah, juga
harus ditanamkan mulai dari lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga adalah
tempat pertama penanaman nilai pada seorang anak.
       Upaya pemerintah untuk memperbaiki moral bangsa ini patutlah kita
apresiasi positif agar bangsa yang kita cintai ini dapat melepaskan diri dari jeratan
korupsi. Sebagai generasi penerus bangsa, usaha yang dapat kita lakukan adalah
memulai sikap antikorupsi dari hal-hal kecil. Contohnya berusaha melakukan sesuatu
dengan tepat waktu. Bukankah bangsa ini juga terkenal dengan ‘jam karetnya?’. Oleh
karena itu, marilah lakukan perubahan dari hal kecil. Jangan hanya berteori tanpa ada
praktek nyata. Jika kita mau berusaha dan bekerja sama, niscaya apa yang kita
lakukan akan ditiru oleh orang lain dan begitu seterusnya sehingga lambat laun
negeri ini akan menggapai atmosfer berbeda. Atmosfer kehidupan yang bebas
korupsi.

4. Daftar Pustaka

Abduhzen, Mohammad. 2010. Perdidikan Karakter, Perlukah?. Dalam
      http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/12/13/pendidikan-karakter-
      perlukah/. Diakses 1 Desember 2010.

Artadi, I Ketut. 2004. Nilai, Makna, dan Martabat Kebudayaan: Kebudayaan
       Bangsa-bangsa dan Posmoderen. Denpasar: Sinay.


Djabbar, Faisal. 2009. Tentang Kurikulum Antikorupsi dalam
      http://smk3ae.wordpress.com/2009/02/02/tentang-kurikulum-antikorupsi-2/.
      Diakses 5 Desember 2010.




                                                                                  14
Friedman, Howard S. dan Mariam W. Schustrack. 2006. Kepribadian: Teori Klasik
      dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga.

http://diksia.com/kemendiknas-siapkan-kurikulum-pendidikan-budaya-dan-karakter-
        bangsa/. Diakses 10 Desember 2010.

http://niamw.wordpress.com/2010/04/30/pendidikan-anti-korupsi-pak-salah-satu-
        model-pendidikan-karakter/. Diakses 1 Desember 2010.

http www.bisniskeuangan.kompas.com. Diakses 10 Desember 2010.

http://www.insistnet.com. Diakses 1 Desember 2010.

http://www.riaumandiri.net/rm/index.php?
        option=com_content&view=article&id=14543%3Acegah-korupsi-butuh-
        pendidikan-budi-pekerti-&catid=60%3Atajuk&Itemid=1. Diakses 5
        Desember 2010.

Lewis, Barbara A. 2004. Character Building untuk Remaja. Batam: Karisma.

Tegar, Ahaddian. 2010. Korupsi dan Pengertiannya. Dalam
       http://soloraya.net/blog/2010/01/11/korupsi-dan-pengertiannya/. Diakses 1
       Desember 2010.

Tilaar, H.A.R. 2000. Paradikma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka
        Cipta.

Tirtarahardja, Umar dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta




                                                                                   15

More Related Content

What's hot

Makalah kel.2 dasar dasar teknologi informasi
Makalah kel.2 dasar dasar teknologi informasiMakalah kel.2 dasar dasar teknologi informasi
Makalah kel.2 dasar dasar teknologi informasiSeptiBarokahSaputri0013
 
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan IlmuPengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan IlmuND Arisanti
 
Kbk 03. pengembangan silabus
Kbk 03. pengembangan silabusKbk 03. pengembangan silabus
Kbk 03. pengembangan silabusJasmin Jasin
 
AIKA "Islam Sebagai Way Of Life"
AIKA "Islam Sebagai Way Of Life"AIKA "Islam Sebagai Way Of Life"
AIKA "Islam Sebagai Way Of Life"Lia Herliana
 
Makalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAH
Makalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAHMakalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAH
Makalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAHSoga Biliyan Jaya
 
Makalah etika profesi cyber bullying fix
Makalah etika profesi cyber bullying fixMakalah etika profesi cyber bullying fix
Makalah etika profesi cyber bullying fixAldila Amalia Saufika
 
Makalah struktur kurikulum 2013
Makalah struktur kurikulum 2013Makalah struktur kurikulum 2013
Makalah struktur kurikulum 2013Bambang Giwank
 
rangkuman buku pengantar pendidikan(Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo)
rangkuman buku pengantar pendidikan(Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo)rangkuman buku pengantar pendidikan(Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo)
rangkuman buku pengantar pendidikan(Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo)setyawatiDK
 
Perkembangan Islam Di Era Modern (indonesia)
Perkembangan Islam Di Era Modern (indonesia)Perkembangan Islam Di Era Modern (indonesia)
Perkembangan Islam Di Era Modern (indonesia)Ripan Nugraha Harahap
 
Manajemen tenaga pendidik dan kependidikan
Manajemen tenaga pendidik dan kependidikanManajemen tenaga pendidik dan kependidikan
Manajemen tenaga pendidik dan kependidikanAnie01
 
Asli manajemen pengelolaan pesantren
Asli manajemen pengelolaan pesantren Asli manajemen pengelolaan pesantren
Asli manajemen pengelolaan pesantren Feni Prasetiya
 
Pengertian dan peranan konsep, teori, generalisasi, fenomena
Pengertian dan peranan konsep, teori, generalisasi, fenomenaPengertian dan peranan konsep, teori, generalisasi, fenomena
Pengertian dan peranan konsep, teori, generalisasi, fenomenaM fazrul
 
Makalah ddip, pendidikan sebagai suatu sistem
Makalah ddip, pendidikan sebagai suatu sistemMakalah ddip, pendidikan sebagai suatu sistem
Makalah ddip, pendidikan sebagai suatu sistemEtdayantiPutri
 
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikanPengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikanSeptian Muna Barakati
 
Adminitrasi pendidikan
Adminitrasi pendidikanAdminitrasi pendidikan
Adminitrasi pendidikandjawa hirul
 
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islam
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islamKonsep pembaharuan dalam pendidikan islam
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islamNizar Syamsi
 
Pemberdayaan identitas nasional
Pemberdayaan identitas nasionalPemberdayaan identitas nasional
Pemberdayaan identitas nasionalfendi_94
 
Studi islam dan isu kontemporer
Studi islam dan isu kontemporerStudi islam dan isu kontemporer
Studi islam dan isu kontemporerAtika Vania
 

What's hot (20)

Makalah kel.2 dasar dasar teknologi informasi
Makalah kel.2 dasar dasar teknologi informasiMakalah kel.2 dasar dasar teknologi informasi
Makalah kel.2 dasar dasar teknologi informasi
 
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan IlmuPengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
 
Kbk 03. pengembangan silabus
Kbk 03. pengembangan silabusKbk 03. pengembangan silabus
Kbk 03. pengembangan silabus
 
AIKA "Islam Sebagai Way Of Life"
AIKA "Islam Sebagai Way Of Life"AIKA "Islam Sebagai Way Of Life"
AIKA "Islam Sebagai Way Of Life"
 
Makalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAH
Makalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAHMakalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAH
Makalah filsafat ilmu ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN ILMIAH
 
Makalah etika profesi cyber bullying fix
Makalah etika profesi cyber bullying fixMakalah etika profesi cyber bullying fix
Makalah etika profesi cyber bullying fix
 
Makalah struktur kurikulum 2013
Makalah struktur kurikulum 2013Makalah struktur kurikulum 2013
Makalah struktur kurikulum 2013
 
rangkuman buku pengantar pendidikan(Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo)
rangkuman buku pengantar pendidikan(Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo)rangkuman buku pengantar pendidikan(Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo)
rangkuman buku pengantar pendidikan(Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo)
 
Perkembangan Islam Di Era Modern (indonesia)
Perkembangan Islam Di Era Modern (indonesia)Perkembangan Islam Di Era Modern (indonesia)
Perkembangan Islam Di Era Modern (indonesia)
 
Manajemen tenaga pendidik dan kependidikan
Manajemen tenaga pendidik dan kependidikanManajemen tenaga pendidik dan kependidikan
Manajemen tenaga pendidik dan kependidikan
 
Asli manajemen pengelolaan pesantren
Asli manajemen pengelolaan pesantren Asli manajemen pengelolaan pesantren
Asli manajemen pengelolaan pesantren
 
Pengertian dan peranan konsep, teori, generalisasi, fenomena
Pengertian dan peranan konsep, teori, generalisasi, fenomenaPengertian dan peranan konsep, teori, generalisasi, fenomena
Pengertian dan peranan konsep, teori, generalisasi, fenomena
 
Makalah ddip, pendidikan sebagai suatu sistem
Makalah ddip, pendidikan sebagai suatu sistemMakalah ddip, pendidikan sebagai suatu sistem
Makalah ddip, pendidikan sebagai suatu sistem
 
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikanPengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
 
Adminitrasi pendidikan
Adminitrasi pendidikanAdminitrasi pendidikan
Adminitrasi pendidikan
 
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islam
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islamKonsep pembaharuan dalam pendidikan islam
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islam
 
Pemberdayaan identitas nasional
Pemberdayaan identitas nasionalPemberdayaan identitas nasional
Pemberdayaan identitas nasional
 
Studi islam dan isu kontemporer
Studi islam dan isu kontemporerStudi islam dan isu kontemporer
Studi islam dan isu kontemporer
 
Islam dan Ruang Lingkupnya
Islam dan Ruang LingkupnyaIslam dan Ruang Lingkupnya
Islam dan Ruang Lingkupnya
 
Makalah pkl
Makalah pklMakalah pkl
Makalah pkl
 

Similar to Membentuk Karakter Antikorupsi

Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02Eccky Eccky
 
Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di IndonesiaMakalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di IndonesiaARY SETIADI
 
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010Fathur Rohman
 
Ternyata korupsi berbudaya dikampus
Ternyata korupsi berbudaya dikampusTernyata korupsi berbudaya dikampus
Ternyata korupsi berbudaya dikampusRifal Fauzi
 
01pendahuluan-konsep dasar.pdf
01pendahuluan-konsep dasar.pdf01pendahuluan-konsep dasar.pdf
01pendahuluan-konsep dasar.pdfSrie Maryati
 
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...Rudy Harland
 
Etik umb tindakan korupsi
Etik umb tindakan korupsiEtik umb tindakan korupsi
Etik umb tindakan korupsiInes Pratiwi
 
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptx
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptxPendidikan_Anti_Korupsi.pptx
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptxmiduwidang
 
Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...
Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...
Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...basrizal82
 
Karangan SPM- Rasuah
Karangan SPM- RasuahKarangan SPM- Rasuah
Karangan SPM- RasuahM D
 
Faktor-faktor lain yang menyebabkan korupsi
Faktor-faktor lain yang menyebabkan korupsiFaktor-faktor lain yang menyebabkan korupsi
Faktor-faktor lain yang menyebabkan korupsiSiti Sahati
 
TOR Anti Korupsi.doc
TOR Anti Korupsi.docTOR Anti Korupsi.doc
TOR Anti Korupsi.docEnaEppirta
 
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptx
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptxPendidikan_Anti_Korupsi.pptx
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptxMuhdAlghazali1
 
Peran mahasiswa nang1
Peran mahasiswa nang1Peran mahasiswa nang1
Peran mahasiswa nang1naratama_nru
 
Materi Lengkap Pendidikan Anti Korupsi.pdf
Materi Lengkap Pendidikan Anti Korupsi.pdfMateri Lengkap Pendidikan Anti Korupsi.pdf
Materi Lengkap Pendidikan Anti Korupsi.pdfFerraEkaRamadhani1
 
Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa
Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian BangsaPengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa
Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian BangsaIstiqomah Aisyiyah
 

Similar to Membentuk Karakter Antikorupsi (20)

Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
 
Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di IndonesiaMakalah Masalah Korupsi Di Indonesia
Makalah Masalah Korupsi Di Indonesia
 
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
 
makalah Korupsi
makalah Korupsimakalah Korupsi
makalah Korupsi
 
Ternyata korupsi berbudaya dikampus
Ternyata korupsi berbudaya dikampusTernyata korupsi berbudaya dikampus
Ternyata korupsi berbudaya dikampus
 
01pendahuluan-konsep dasar.pdf
01pendahuluan-konsep dasar.pdf01pendahuluan-konsep dasar.pdf
01pendahuluan-konsep dasar.pdf
 
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
 
Etik umb tindakan korupsi
Etik umb tindakan korupsiEtik umb tindakan korupsi
Etik umb tindakan korupsi
 
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptx
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptxPendidikan_Anti_Korupsi.pptx
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptx
 
Pendidikan antikorupsi
Pendidikan antikorupsiPendidikan antikorupsi
Pendidikan antikorupsi
 
Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...
Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...
Be gg, basrizal, prof dr ir hapzi ali mm cma, coruption dan froud. univ. merc...
 
Karangan SPM- Rasuah
Karangan SPM- RasuahKarangan SPM- Rasuah
Karangan SPM- Rasuah
 
Faktor-faktor lain yang menyebabkan korupsi
Faktor-faktor lain yang menyebabkan korupsiFaktor-faktor lain yang menyebabkan korupsi
Faktor-faktor lain yang menyebabkan korupsi
 
TOR Anti Korupsi.doc
TOR Anti Korupsi.docTOR Anti Korupsi.doc
TOR Anti Korupsi.doc
 
Soalan 1
Soalan 1Soalan 1
Soalan 1
 
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptx
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptxPendidikan_Anti_Korupsi.pptx
Pendidikan_Anti_Korupsi.pptx
 
Peran mahasiswa nang1
Peran mahasiswa nang1Peran mahasiswa nang1
Peran mahasiswa nang1
 
Materi Lengkap Pendidikan Anti Korupsi.pdf
Materi Lengkap Pendidikan Anti Korupsi.pdfMateri Lengkap Pendidikan Anti Korupsi.pdf
Materi Lengkap Pendidikan Anti Korupsi.pdf
 
Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa
Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian BangsaPengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa
Pengantar Antropologi Korupsi Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa
 

Recently uploaded

RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...Kanaidi ken
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxSlasiWidasmara1
 
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxPPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxssuser8905b3
 
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolikDasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolikThomasAntonWibowo
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxdpp11tya
 
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdfDiskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdfHendroGunawan8
 
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...MetalinaSimanjuntak1
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)MustahalMustahal
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfbibizaenab
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptxMateri IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptxmuhammadkausar1201
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...Kanaidi ken
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
aksi nyata - aksi nyata refleksi diri dalam menyikapi murid.pdf
aksi nyata - aksi nyata refleksi diri dalam menyikapi murid.pdfaksi nyata - aksi nyata refleksi diri dalam menyikapi murid.pdf
aksi nyata - aksi nyata refleksi diri dalam menyikapi murid.pdfwalidumar
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfMAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfChananMfd
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxssuser35630b
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 

Recently uploaded (20)

RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
RENCANA + Link2 Materi Pelatihan/BimTek "PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) &...
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
 
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptxPPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
PPT AKUNTANSI KEUANGAN MENENGAH DUA.pptx
 
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolikDasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdfDiskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
 
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
1.3.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.3 Refleksi 1 Imajinasiku tentang Murid di ...
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptxMateri IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
aksi nyata - aksi nyata refleksi diri dalam menyikapi murid.pdf
aksi nyata - aksi nyata refleksi diri dalam menyikapi murid.pdfaksi nyata - aksi nyata refleksi diri dalam menyikapi murid.pdf
aksi nyata - aksi nyata refleksi diri dalam menyikapi murid.pdf
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfMAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
 
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptxBab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 

Membentuk Karakter Antikorupsi

  • 1. Pendidikan Karakter Antikorupsi: Upaya Menyikapi Realita Oleh I Putu Mas Dewantara 1. Pendahuluan Korupsi merupakan sebuah masalah pelik yang tiada habisnya diperbincangkan di negeri rupiah ini. Mulai dari pemahaman mengenai apa itu korupsi, bentuk-bentuk tindakan korupsi sampai pada sanksi hukum tindakan korupsi. Namun, perbincangan dari waktu ke waktu itu belum berbuah maksimal. Masih sangat mudah dijumpai praktek-praktek korupsi di sekitar kita. Bahkan jika mau jujur, korupsi sudah dilakukan secara terang-terangan (masyarakat menyebutnya “rahasia umum [?]”). Mengadili orang-orang yang terlibat korupsi ternyata juga tidak mudah. Sebab para koruptor ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Betapa terkejutnya publik saat seorang koruptor bisa ke luar tahanan dan menonton pertandingan olah raga di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah melanda tempat-tempat yang diharapkan mampu memberi efek jera pada para koruptor. Begitu besar kekuatan uang untuk membeli kebebasan para koruptor. Sebelum kasus ke luarnya koruptor dari balik jeruji besi, negari ini juga pernah dihebohkan dengan ruang tahanan yang disulap bak hotel berbintang. AC, TV, DVD, dan perlengkapan lain menghiasi ruangan yang semestinya menciptakan renungan atas perbuatan yang telah dilakukan. Sebelum berbicara lebih jauh menyangkut korupsi di negeri ini, penting rasanya untuk mengetahui apa korupsi itu agar dapat dilakukan ‘pelabelan’ tindakan mana yang tergolong korupsi dan mana tindakan yang bukan korupsi. Kata korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Menurut Tegar (2010) timbulnya korupsi disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya budaya lokal. Budaya yang dianut dan diyakini masyarakat kita telah sedikit 1
  • 2. banyak menimbulkan dan membudayakan terjadinya korupsi. Pada masyarakat Jawa dikenal budaya Patron-Klien. Dalam budaya Patron-Klien, diyakini bahwa Patron memiliki kebesaran hak dan kekuasaan, sedangkan Klien terbatas pada kekecilan hak dan kebesaran kewajiban terhadap Patron. Klien selalu berupaya meniru apa yang dilakukan Patron, serta membenarkan setiap tindakan Patronnya. Hal tersebut didasari karena adanya pandangan bahwa semua yang berasal dari Patron dianggap memiliki nilai budaya luhur. Keadaan ini mengakibatkan Patron memiliki kebebasan dalam bertindak, termasuk tindakan yang tidak terpuji, anti-manusiawi, merugikan orang lain yang kemudian disebut korupsi. Umunya Klien sering memberikan barang-barang tertentu kepada Patronnya, dengan harapan mereka akan diberikan pekerjaan ataupun upah lebih tinggi. Klien juga memberikan penghormatan yang berlebihan kepada Patronnya. Korupsi kecil tersebut lambat laun meluas kepada kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Proses penyebaran korupsi tersebut disebut dengan continous imitation (peniruan korupsi berkelanjutan). Proses ini bisa terjadi tanpa disadari oleh masyarakat. Dalam keluarga misalnya, seringkali orang tua tanpa sengaja telah mengajarkan perilaku korupsi kepada anaknya. Meskipun sebenarnya orang tua tidak bermaksud demikian, namun kita tidak boleh lupa bahwa anak adalah peniru terbaik, mereka meniru apapun yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya. Di era reformasi seperti sekarang ini, masih jarang dijumpai masyarakat secara individual yang memiliki keberanian mengungkap kasus korupsi. Korupsi yang sudah dilakukan secara sistematis dan terorganisir mungkin adalah salah satu penyebab ketakutan setiap orang untuk membedah tindak korupsi. Siapa yang ‘berontak’ akan sangat mungkin malah tersisihkan. Hal ini tentunya akan berujung pada keterbatasan ruang gerak si pembedah korupsi. Salah satu contoh praktek korupsi yang licin untuk dibuktikan adalah saat penerimaan calon pegawai negeri. Praktek-praktek korupsi terdengar di mana-mana, namun, begitu sulit untuk dibuktikan di meja hijau. Bahkan kasusnyapun jarang sampai ke gerbang kantor penegak hukum. Tidak ada seorangpun yang nampaknya berani mengungkap kasus ini. Ironisnya, pelajar yang dalam hal ini dikategorikan sebagai orang terdidik tidak mampu berbuat banyak. Bahkan terkesan mengikuti arus permainan. Ketakutan dan kecemasan tentunya muncul ketika seseorang dihadapkan pada sebuah sistem yang 2
  • 3. kukuh. Ketakutan dan kecemasan itu muncul karena adanya ancaman terhadap nilai eksistensi dasar manusia (Teori Rollo May dalam Friedman dan Schustack, 2006). Siapa yang patut dipersalahkan? Pemerintah, lembaga hukum, ataukah dunia pendidikan yang belum mampu memberikan bekal ‘keberanian’ dan ‘kesetiaan’ akan kejujuran? Di sini pendidikan sering menjadi komponen yang paling disoroti. Jika tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak mulia, terampil dan seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan atau alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada jenjang tertentu masih menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana dirumuskan dalam tujuan, maka apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Apa yang telah terjadi sudah selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini. Menyikapi fenomena korupsi yang marak terjadi. Pendidikan pun melakukan pembenahan-pembenahan untuk menjawab tantangan derasnya arus korupsi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang gencar dibicarakan belakangan ini adalah masuknya pendidikan karakter antikorupsi pada tingkat pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi pada tahun ajaran 2011. Kurikulum tersebut, menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, nantinya akan masuk dalam silabus-silabus mata pelajaran. Sedangkan pengajarnya adalah guru-guru yang telah diberi training bagaimana mengajarkan pendidikan karakter antikorupsi. Penyebaran pendidikan antikorupsi ini pun akan dilakukan secara bertahap. Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter antikorupsi tidak berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi dengan memberikan penguatan pada masing- masing mata pelajaran yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Mendiknas menganalogikan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai zat oksigen yang menjadi bagian dari manusia hidup. Manusia tidak akan hidup tanpa oksigen. Begitu juga dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, kita seakan mati jika tidak berlaku sesuai dengan budaya dan karakter bangsa. Karakter dan budaya bangsa itu begitu melekat dalam diri seseorang. Pendidikan antikorupsi sesungguhnya abstrak, bukan melalui logika saja. Pendidikan ini memerlukan tahap penalaran, internalisasi nilai dan moral, sehingga mata pelajarannya didesain tidak hanya menekankan aspek kognitif, melainkan lebih 3
  • 4. pada aspek afektif dan psikomotorik (http://www.riaumandiri.net). Menekankan bagaimana agar anak didik melakukan sesuatu, atau menghindari sesuatu untuk mendapat pengharagaan sosial dari orang lain. Bagi anak-anak, proses penalaran moral berkembang sejalan dengan proses belajar sendiri dan belajar dari lingkungan. Melalui pendidikan antikorupsi yang terarah dan efektif, terbuka kemungkinan internalisasi nilai-nilai. Peran guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar menjadi kunci. Mereka harus memberi teladan berperilaku antikorupsi, terutama berperilaku jujur sebagai dasar pembentukan karakter secara dini. Pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan karakter antikorupsi mengambil pengalaman-pengalaman berupa best practices masyarakat transparansi internasional dan pengalaman kita dengan pendidikan P4. Hal yang harus dihindari adalah adanya indoktrinasi, pembelajaran yang menekankan pada aspek hafalan semata-mata. Pendidikan karakter antikorupsi haruslah bermakna belajar dengan mengalami atau experiential lerning jadi tidak sekadar mengkondisikan para peserta didik hanya untuk tahu, namun juga diberi kesempatan untuk membuat keputusan dan pilihan untuk dirinya sendiri. Peserta didik kita seringkali hanya diberi pengetahuan normatif sesuatu hal namun tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri mengapa siswa harus mengambil keputusan tertentu dan bertanggung jawab atas keputusan yang telah siswa ambil. Program pendidikan karakter antikorupsi bertujuan untuk memberikan pemahaman yang sama dan terpadu serta terbimbing dalam rangka menekan kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan korupsi. Kemudian harapannya berdampak pada adanya respon atau tanggapan balik dari rakyat untuk bisa menyuarakan kearifannya mengenai penyimpangan korupsi. Di samping itu juga bertujuan untuk membentuk kesadaran publik terhadap setiap kegiatan yang mengarah kepada adanya tindakan korupsi oleh para penguasa atau pengambil kebijakan yang tidak mempedulika rakyat (Tim MCW dalam http://niamw.wordpress.com). Korupsi adalah masalah bersama yang penuntasannya tidak dapat dilakukan seketika. Kekuatan hukum dalam menimbulkan efek jera pun terkesan belum maksimal. Banyak pelaku tindak korupsi yang mendapat hukuman minim dan bahkan lolos dari jerat hukum. Untuk itu, jalur pendidikan ditilik sebagai wahana 4
  • 5. terbaik untuk memutus arus korupsi dengan peningkatan moral generasi penerusnya. Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum tentunya mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap pelaksanaan program ini. Untuk itu perlu rasanya dilakukan suatu pengkajian mengenai kelemahan dan keunggulan pendidikan karakter antikorupsi yang hangat dibicarakan sekarang ini. 2. Pembahasan A. Pendidikan Karakter Antikorupsi: Bukan Solusi Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, arah pendidikan nasional dinyatakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kata “cerdas” sering kali dianggap tidak mencakup aspek moralitas, sehingga dirasa tidak mencukupi. Dikotomi ini senantiasa muncul dalam tujuan pendidikan nasional sehingga rumusannya tidak pernah simpel. Sejatinya istilah mencerdaskan meliputi penyempurnaan akal budi, nalar, watak, dan bahkan fisik. Perkembangan psikologi kognitif dewasa ini menunjukkan bahwa ranah kecerdasan yang sebelumnya seolah sebatas intelegensi (intelligence quotient/IQ), kini meluas hingga pada kecerdasan emosional (emotional quotient/EQ) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Malah Howard Gardner dalam bukunya yang berjudul ‘Multiple Intelligence’ memperkenalkan kecerdasan majemuk yang terdiri atas tujuh jenis intelegensi, yaitu intelegensi musik, kinestik, logis-matematis, linguistik, spasial, interpersonal, dan intrapensonal (dalam Tilaar, 2000). Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum dengan tujuan mengatasi krisis moral yang terjadi memunculkan sikap pesimis masyarakat. Mereka beranggapan bahwa menggagas pendidikan karakter antikorupsi bukanlah solusi yang tepat mengatasi masalah korupsi yang melanda negeri ini. Ada beberapa alasan yang dilontarkan guna menolak gagasan pendidikan karakter antikorupsi masuk kurikulum. Pertama, akan menyamarkan arah pendidikan nasional. Mengutamakan pendidikan karakter melalui sekolah akan menggiring proses pendidikan kita semakin masuk ke lorong sempit konservatisme dan fundamentalisme pendidikan, 5
  • 6. yang ditandai oleh indoktrinasi nilai-nilai yang cenderung membelenggu akal sehat. Akibatnya, bangsa ini akan menjadi semakin irasional dan tidak kreatif. Dengan demikian tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan pernah tercapai. Kedua, pelaksanaannya di tingkat sekolah akan sulit dihindari korelasinya dengan mata pelajaran tertentu yang disangka berpengaruh besar pada pembentukan karakter, seperti pendidikan agama, moral, budi pekerti, kewarganegaraan, dan pendidikan nilai lainnya. Padahal berbagai nilai kebajikan telah diajarkan sejak dulu melalui bidang studi tersebut. Namun kenyataannya masyarakat kita pada hari ini bagai tidak beranjak dari “Manusia Indonesia”, seperti digambarkan oleh Mochtar Lubis pada 1977: hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya tahayul, artistik, dan berwatak lemah. Ketiga, lembaga pendidikan dalam sebuah negara merupakan sebuah subsistem sosial-politik, sehingga apa yang terjadi di dalamnya adalah turunan dari induk sistemnya. Mengharapkan tumbuhnya karakter dari sebuah sistem pendidikan yang telah gagal tanpa didahului oleh reformasi yang menyeluruh adalah kesia-siaan. Prioritas utama bangsa Indonesia sekarang ini adalah penataan kembali bidang pendidikan dalam sebuah kerangka strategi pembangunan ekonomi dan strategi kebudayaan, bukan tambal sulam seperti yang diusulkan dan terjadi selama ini. Hampir mirib dengan alasan ketiga, alasan keempat untuk menyatakan ketidaksetujuan masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum adalah karena dunia pendidikan kita masih dibelit oleh beragam masalah. Penambahan atau penyisipan pengetahuan melalui mata pelajaran-mata pelajaran yang ada ditakutkan hanya akan menjadi penumpukan teori yang tidak pernah mendapat ruang untuk realisasinya. Tirtaraharja dan La Sulo (2005:250) berpendapat bahwa hambatan yang dialami sekolah adalah sulitnya memerogram pendidikan afektif secara eksplisit karena dianggap menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi (hiden curriculum) yang keterlaksanaanya sangat tergantung kepada kemahiran dan pengalaman guru. Menilai hasil pendidikan afektif juga dirasa tidak mudah dan memakan waktu, sehingga memerlukan ketekunan dan kesabaran pendidik. Inilah yang menjadi alasan kepesimisan beberapa kalangan akan keberhasilannya pencapaian sasaran yang diharapkan. Pendidikan karakter antikorupsi tidak harus 6
  • 7. masuk dalam kurikulum. Sebab, beban kurikulum di sekolah sudah berat. Jika ditambah kurikulum antikorupsi, beban siswa dan guru pun semakin berat. Selain masalah tersebut, pendidikan karakter antikorupsi juga dibayangi oleh tindak korupsi di tengah institusi pendidikan. Banyak tindak korupsi yang kita temukan di institusi pendidikan, seperti penyelewengan dana BOS, korupsi waktu mengajar, korupsi nilai (katrol nilai), dan lain sebagainya. Padahal pendidikan karakter antikorupsi baru akan berjalan kena sasaran dan efektif bila didukung oleh kondisi termasuk lingkungan sekolah dan masyarakat yang tidak korup. Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengatasi korupsi di dalam institusi pendidikan. Akan sia-sia jika pendidikan karakter antikorupsi ada dalam lingkungan yang penuh tindakan korupsi. B. Pendidikan Karakter Antikorupsi Sangat Dibutuhkan Selain mendapat respons negatif seperti yang telah dipaparkan di atas, ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum juga mendapat respons positif dari masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden pada 27 Mei 2010 menunjukkan sebanyak 87% responden beranggapan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia (Djabbar, 2009). Sejumlah alasan pun dilontarkan untuk menunjukkan dibutuhkannya pendidikan karakter antikorupsi untuk menyikapi realita. Pertama, pendidikan lebih dominan berorientasi pada penguasaan iptek, sedangkan sesuatu yang menyangkut budaya dan perilaku (karakter) relatif masih terabaikan. Artinya, integrasi antara pendidikan iptek dan seni dengan moral dan etika belum dapat dilakukan secara serasi dan seimbang. Oleh karena itu, hadirnya pendidikan karakter antikorupsi dipandang sebagai pembaharuan yang tepat bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan antikorupsi bagi siswa mengarah pada pendidikan nilai, yaitu nilai-nilai kebaikan. Suseno (dalam Djabbar, 2009) berpendapat bahwa pendidikan yang mendukung orientasi nilai adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya. 7
  • 8. Menurut Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membuat orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi. Ketiga sikap moral fundamental tersebut adalah kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi, menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk. Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis (dalam Djabbar, 2009) mengatakan bahwa bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Sikap moral yang selanjutnya dibutuhkan adalah rasa tanggung jawab. Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, siswa diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Alasan kedua yang dilontarkan untuk mendukung pendidikan karakter antikorupsi masuk kurikulum adalah melaui pendidikan karakter antikorupsi para siswa sejak usia dini sudah mengetahui tentang seluk-beluk praktek korupsi sekaligus konsekuensi yang akan diterima oleh para pelaku. Ketiga, memberikan proses pembelajaran tentang kepakaan terhadap praktek-praktek korupsi yang ada disekitar kita. Keempat, mendidik para siswa dari usia dini tentang akhlak atau moral yang sesuai dengan ajaran-ajaran sosial keagamaan. Kelima, menciptakan generasi penerus yang bersih dari perilaku penyimpangan, dan keenam, membantu seluruh cita-cita warga bangsa dalam menciptakan clean and good-goverment demi masa depan yang lebih baik dan beradab. C. Menyikapi Realita Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, 8
  • 9. hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan bagai jamur di musim hujan. Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau PERC menyebutkan Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling bersih (www.bisniskeuangan.kompas.com). Upaya pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang bekerja sama dengan KPK menyikapi realita korupsi yang menjamur di negeri ini patutlah kita apresiasi positif. Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis dan sistemis memang harus selalu bertolak dari sejumlah landasan atau azas-azas tertentu guna mewujudkan masa depan yang lebih baik (Tirtaraharja dan La Sulo, 2005). Lembaga pendidikan pun ditilik sebagai tempat terbaik menyiapkap SDM yang bermoralitas tinggi. Hal ini sejalan dengan pandangan Socrates (469-399 SM) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar adalah membentuk individu menjadi lebih baik dan cerdas. Dengan kata lain, pendidikan hendaknya diarahkan kepada kebajikan atau nilai individu yang mencakup dua aspek, yaitu intelektual dan moral (Aristoteles dalam http://www.insistnet.com). Lembaga pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis dalam menanamkan mental antikorupsi. Masyarakat terdidik inilah yang nantinya memiliki peranan yang cukup dominan dalam masyarakat. Pendidikan karakter antikorupsi diharapkan mampu membentuk kesadaran publik terhadap kegiatan yang mengarah ke tindakan korupsi, memberikan bekal pemahaman mengenai efek tindak korupsi bagi kehidupan bangsa dan negara, serta mampu memberikan pemahaman penggunaan ilmu pengetahuan dengan cara-cara yang benar tanpa ikut andil dalam tindakan korupsi. Penanaman mental antikorupsi sejak usia dini diharapkan dapat melahirkan generasi penerus yang siap berperang melawan korupsi. 9
  • 10. Memang sudah saatnya pendidikan kita disentuh oleh masalah-masalah real yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ketika korupsi menjalar bagai akar di setiap bidang kehidupan, maka sudah sepatutnya peserta didik yang akan menjadi penerus kehidupan bangsa diperkenalkan dengan permasalahan korupsi. Agar mereka tahu betapa bahayanya tindakan korupsi bagi kelangsungan hidup bangsa sehingga mereka memiliki sikap tidak tergoda dengan tindak korupsi. Penanaman nilai-nilai luhur sejak dini diharapkan mampu menjadi pondasi yang kokoh bagi peserta didik dalam menyikapi realita kemerosotan moral yang terjadi di tengah masyarakat. Melalui pendidikan karakter antikorupsi juga diharapkan munculnya rasa tanggung jawab untuk memberantas korupsi dan memberikan contoh pada masyarakat luas tidak hanya dari tuturan, tetapi juga melalui perbuatan yang mencerminkan karakter yang ulet, jujur, toleran, dan lain sebagainya. Selama ini pendidikan mengenai nilai-nilai luhur sebenarnya telah terangkum dalam mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun, hasil yang digapai hanya sebatas kemampuan kognitif yang berfokuskan pada pencapaian nilai dalam selembar kertas. Pemahaman mengenai nilai luhur tersebut akan hilang ketika anak didik ke luar dari pagar sekolah. Banyak kejadian dalam masyarakat yang mereka jumpai tidak sejalan dengan teori-teori yang ditanamkan sekolah, dan anak didik tidak mampu menyumbangkan pemikirannya dalam mengatasi persoalan itu. J.H. Gunning (dalam Tirtaraharja dan La Sulo, 2005) berpendapat bahwa seharusnya pendidikan yang sehat mampu menunjukan titik temu atau menjembatani antara teori dan praktek. Abduhzen (2010) berpendapat bahwa strategi pendidikan kita pada berbagai tingkatannya sangat kurang menghiraukan pengembangan nalar sebagai basis sikap dan perilaku. Pembelajaran di sekolah kita lebih cenderung pada mengisi atau mengindoktrinasi pikiran. Akibatnya, apa yang diperoleh di sekolah seperti tidak berkorelasi dengan kehidupan nyata. Pendidikan harus mampu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan peserta didiknya. Hal ini sejalan dengan ajaran filsafat I Ching (kristalisasi marxisme di Tiongkok) yang memandang bahwa nilai yang paling tinggi dalam kehidupan manusia adalah keseimbangan (Artadi, 2004). 10
  • 11. Agar pendidikan karakter antikorupsi dapat mencapai sasaran, beberapa langkah dapat dilakukan pemerintah dan Kemendiknas, seperti pelatihan-pelatihan kepribadian kepada guru-guru untuk menanamkan sikap antikorupsi. Hasilnya nanti terlihat dalam sikap keseharian guru dalam menjalankan tugasnya. Sikap-sikap antikorupsi yang ditunjukkan oleh guru tentu akan lebih ‘tajam’ pemikiran siswa mengenai korupsi dibandingkan dengan teori-teori hapalan mengenai tindak korupsi. Langkah lain yang dapat diambil untuk memaksimalkan tujuan pendidikan karakter antikorupsi adalah memberikan sanksi tegas kepada guru dan pegawai-pegawai dinas pendidikan yang melakukan tindakan korupsi. Sehingga dunia pendidikan terlepas dari tindakan korupsi yang akan berdampak pada penciptaan kondisi yang mendukung pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi. Melihat berbagai kendala yang membentang dalam pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi ini, maka sudah sepatutnyalah dilakukan perbaikan dalam tubuh institusi pendidikan terlebih dahulu. Agar jangan sampai rencana manis hanya berbuah tawar atau tiada berguna. Guru sebagai ujung tombak pendidikan karakter antikorupsi haruslah merefleksi diri. Penanaman sikap luhur ini akan tercapai apabila guru sanggup menjadi contoh sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil bagi siswanya. Bukan hanya pemberian teori mengenai ciri-ciri sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil yang sasaranya hanya hapalan semata. Edith Wharton (dalam Lewis, 2004) mengatakan bahwa ada dua cara untuk menyebarkan terang: menjadi lilinnya atau menjadi cermin yang memantulkannya. Lewis (2004) menyebut pemberian contoh-contoh sikap luhur itu sebagai kepemimpinan lewat teladan. Dalam kepemimpinan ini, seorang guru akan menjadi tolak ukur di mana peserta didik akan mengukur diri mereka sendiri. Guru akan menjadi inspirasi bagi peserta didiknya. Untuk dapat menjadi pemimpin yang mampu menerangi jalan peserta didiknya, seorah guru hendaknya kembali memegang teguh trilogi kepemimpinan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Artinya, ‘di depan guru sebagai pemimpin mesti memberi teladan’, ‘di tengah-tengah peserta didik, guru membangun semangat serta menciptakan peluang untuk berswakarsa’, ‘dari belakang guru mendorong dan 11
  • 12. mengarahkan peserta didiknya’. Trilogi inilah yang mungkin terlupakan dalam sistem pendidikan penanaman nilai di negeri ini. Selain penerapan Trilogi pendidikan, sebelas prinsip yang dikemukakan Lickona dkk (http://diksia.com) agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif juga patut kita jadikan rujukan untuk menuju ke arah perbaikan sistem pendidikan nasional. Kesebelas prinsip itu adalah (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai- nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik. D. Perubahan Kerangka Pendidikan Menuju Pendidikan Holistik Pendidikan dikatakan holistik apabila pendidikan itu menyeluruh. Artinya, pembangunan manusia bukan hanya dari dimensi kognitif saja. Pendidikan harus mampu menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri. Hal inilah yang sebenarnya perlu diperhatikan dalam pendidikan karena selama ini, hanya otak kiri saja (hafalan) yang lebih banyak ditekankan. Inilah penyebab tujuan pendidikan menciptakan manusia seutuhnya jauh dari kenyataan. Dalam bahasa Inggris holistik itu berasal dari kata holy dan healty. Orang bijak biasanya disebut holinan. Harus diakui bahwa ada sesuatu yang kurang dalam sistem pendidikan kita selama ini. Manusia melalui pendidikan haruslah 12
  • 13. dikembangkan secara holistik dari emosinya, kretifitasnya, kemampuannya, interaksi sosialnya, kognitif motorik dan afektifnya. Perdebatan mengenai wacana pendidikan karakter antikorupsi signifikan atau tidak jika diterapkan dalam kurikulum menjadi berkepanjangan tanpa kata akhir, sebelum hasil penelitian mengemukakan data yang valid dan representatif yang memenuhi syarat normatif yang berlaku secara universal. Apapun itu hasilnya nanti, tujuan sebenarnya dimasukkannya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum merupakan kerangka dalam rangka menciptakan manusia yang utuh (holistik), kokoh dan tangguh. Dalam perkembangan selanjutnya, mengingat Indonesia adalah negara yang multikultur, sagat memungkinkan pendidikan karakter antikorupsi akan berbasis multikultural. Dalam model multikulturalisme, masyarakat dilihat sebagai sebuah kepingan unik dari sebuah mozaik besar. Konsep multikulturalisme tidak sama dengan pluralisme. Pluralisme menekankan pengakuan dan penghormatan kepada adanya keragaman budaya dan suku bangsa, juga agama. Multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam persamaan derajat. Pendidikan antikorupsi berbasis multikultural mengandaikan domain bangsa sebagai arena yang dipenuhi bermacam tipe manusia. Pendidikan karakter antikorupsi berbasis multikultur didasari konsep perbedaan yang unik pada tiap orang. Setiap orang memperoleh peluang pembelajaran sesuai keunikannya. Pendidikan ini dikelola sebagai sebuah dialog, sehingga tumbuh kesadaran dari setiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Sampai tingkat lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif, untuk secara bersama memberantas korupsi. 3. Penutup Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Ada kepesimisan akan keberhasilan program ini memotong arus korupsi yang begitu deras di negeri ini. Apalagi, korupsi telah dilakukan secara terorganisir dan sistematis. Penembahan pendidikan karakter antikorupsi juga dipandang hanya akan menambah beban kurikulum yang sudah sarat muatan. Di samping itu, guru-guru sebagai ujung tombak pelaksanaan 13
  • 14. pendidikan karakter antikorupsi dipandang belum memiliki kompetensi yang memadai untuk menanmkan nilai-nilai antikorupsi yang hendak ditanamkan. Hal ini akan semakin sulit dengan banyaknya kasus korupsi yang membelit instansi pendidikan. Selain itu masih banyak lagi alasan lain diberikan guna menunjukkan ketidaksetujuan masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum. Terlepas dari banyaknya kendala pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi semenjak usia dini, banyak masyarakat yang menyambut positif rancangan perubahan yang dilakukan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa semua masalah yang ada tentunya akan dapat diatasi jika ada kerjasama dari semua pihak untuk mengatasi masalah tersebut. Pendidikan karakter antikorupsi selain di sekolah, juga harus ditanamkan mulai dari lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga adalah tempat pertama penanaman nilai pada seorang anak. Upaya pemerintah untuk memperbaiki moral bangsa ini patutlah kita apresiasi positif agar bangsa yang kita cintai ini dapat melepaskan diri dari jeratan korupsi. Sebagai generasi penerus bangsa, usaha yang dapat kita lakukan adalah memulai sikap antikorupsi dari hal-hal kecil. Contohnya berusaha melakukan sesuatu dengan tepat waktu. Bukankah bangsa ini juga terkenal dengan ‘jam karetnya?’. Oleh karena itu, marilah lakukan perubahan dari hal kecil. Jangan hanya berteori tanpa ada praktek nyata. Jika kita mau berusaha dan bekerja sama, niscaya apa yang kita lakukan akan ditiru oleh orang lain dan begitu seterusnya sehingga lambat laun negeri ini akan menggapai atmosfer berbeda. Atmosfer kehidupan yang bebas korupsi. 4. Daftar Pustaka Abduhzen, Mohammad. 2010. Perdidikan Karakter, Perlukah?. Dalam http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/12/13/pendidikan-karakter- perlukah/. Diakses 1 Desember 2010. Artadi, I Ketut. 2004. Nilai, Makna, dan Martabat Kebudayaan: Kebudayaan Bangsa-bangsa dan Posmoderen. Denpasar: Sinay. Djabbar, Faisal. 2009. Tentang Kurikulum Antikorupsi dalam http://smk3ae.wordpress.com/2009/02/02/tentang-kurikulum-antikorupsi-2/. Diakses 5 Desember 2010. 14
  • 15. Friedman, Howard S. dan Mariam W. Schustrack. 2006. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga. http://diksia.com/kemendiknas-siapkan-kurikulum-pendidikan-budaya-dan-karakter- bangsa/. Diakses 10 Desember 2010. http://niamw.wordpress.com/2010/04/30/pendidikan-anti-korupsi-pak-salah-satu- model-pendidikan-karakter/. Diakses 1 Desember 2010. http www.bisniskeuangan.kompas.com. Diakses 10 Desember 2010. http://www.insistnet.com. Diakses 1 Desember 2010. http://www.riaumandiri.net/rm/index.php? option=com_content&view=article&id=14543%3Acegah-korupsi-butuh- pendidikan-budi-pekerti-&catid=60%3Atajuk&Itemid=1. Diakses 5 Desember 2010. Lewis, Barbara A. 2004. Character Building untuk Remaja. Batam: Karisma. Tegar, Ahaddian. 2010. Korupsi dan Pengertiannya. Dalam http://soloraya.net/blog/2010/01/11/korupsi-dan-pengertiannya/. Diakses 1 Desember 2010. Tilaar, H.A.R. 2000. Paradikma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. Tirtarahardja, Umar dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta 15