Tulisan ini membahas rencana pendidikan karakter antikorupsi di Indonesia. Ada yang mendukung dan menolak rencana ini. Yang menolak berargumentasi bahwa pendidikan karakter antikorupsi bukan solusi tepat untuk menangani korupsi, dapat mengaburkan tujuan pendidikan, dan pelaksanaannya di sekolah akan sulit. Tulisan ini juga menjelaskan tujuan dan pendekatan pendidikan karakter antikorupsi serta masalah korupsi di
1. Pendidikan Karakter Antikorupsi:
Upaya Menyikapi Realita
Oleh I Putu Mas Dewantara
1. Pendahuluan
Korupsi merupakan sebuah masalah pelik yang tiada habisnya
diperbincangkan di negeri rupiah ini. Mulai dari pemahaman mengenai apa itu
korupsi, bentuk-bentuk tindakan korupsi sampai pada sanksi hukum tindakan
korupsi. Namun, perbincangan dari waktu ke waktu itu belum berbuah maksimal.
Masih sangat mudah dijumpai praktek-praktek korupsi di sekitar kita. Bahkan jika
mau jujur, korupsi sudah dilakukan secara terang-terangan (masyarakat menyebutnya
“rahasia umum [?]”). Mengadili orang-orang yang terlibat korupsi ternyata juga tidak
mudah. Sebab para koruptor ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Betapa
terkejutnya publik saat seorang koruptor bisa ke luar tahanan dan menonton
pertandingan olah raga di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah melanda
tempat-tempat yang diharapkan mampu memberi efek jera pada para koruptor.
Begitu besar kekuatan uang untuk membeli kebebasan para koruptor. Sebelum kasus
ke luarnya koruptor dari balik jeruji besi, negari ini juga pernah dihebohkan dengan
ruang tahanan yang disulap bak hotel berbintang. AC, TV, DVD, dan perlengkapan
lain menghiasi ruangan yang semestinya menciptakan renungan atas perbuatan yang
telah dilakukan.
Sebelum berbicara lebih jauh menyangkut korupsi di negeri ini, penting
rasanya untuk mengetahui apa korupsi itu agar dapat dilakukan ‘pelabelan’ tindakan
mana yang tergolong korupsi dan mana tindakan yang bukan korupsi. Kata korupsi
berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Menurut Tegar (2010) timbulnya korupsi disebabkan oleh berbagai hal, salah
satunya budaya lokal. Budaya yang dianut dan diyakini masyarakat kita telah sedikit
1
2. banyak menimbulkan dan membudayakan terjadinya korupsi. Pada masyarakat Jawa
dikenal budaya Patron-Klien. Dalam budaya Patron-Klien, diyakini bahwa Patron
memiliki kebesaran hak dan kekuasaan, sedangkan Klien terbatas pada kekecilan hak
dan kebesaran kewajiban terhadap Patron. Klien selalu berupaya meniru apa yang
dilakukan Patron, serta membenarkan setiap tindakan Patronnya. Hal tersebut
didasari karena adanya pandangan bahwa semua yang berasal dari Patron dianggap
memiliki nilai budaya luhur. Keadaan ini mengakibatkan Patron memiliki kebebasan
dalam bertindak, termasuk tindakan yang tidak terpuji, anti-manusiawi, merugikan
orang lain yang kemudian disebut korupsi. Umunya Klien sering memberikan
barang-barang tertentu kepada Patronnya, dengan harapan mereka akan diberikan
pekerjaan ataupun upah lebih tinggi. Klien juga memberikan penghormatan yang
berlebihan kepada Patronnya. Korupsi kecil tersebut lambat laun meluas kepada
kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Proses penyebaran korupsi tersebut
disebut dengan continous imitation (peniruan korupsi berkelanjutan). Proses ini bisa
terjadi tanpa disadari oleh masyarakat. Dalam keluarga misalnya, seringkali orang
tua tanpa sengaja telah mengajarkan perilaku korupsi kepada anaknya. Meskipun
sebenarnya orang tua tidak bermaksud demikian, namun kita tidak boleh lupa bahwa
anak adalah peniru terbaik, mereka meniru apapun yang dilakukan oleh orang-orang
dewasa di sekitarnya.
Di era reformasi seperti sekarang ini, masih jarang dijumpai masyarakat
secara individual yang memiliki keberanian mengungkap kasus korupsi. Korupsi
yang sudah dilakukan secara sistematis dan terorganisir mungkin adalah salah satu
penyebab ketakutan setiap orang untuk membedah tindak korupsi. Siapa yang
‘berontak’ akan sangat mungkin malah tersisihkan. Hal ini tentunya akan berujung
pada keterbatasan ruang gerak si pembedah korupsi. Salah satu contoh praktek
korupsi yang licin untuk dibuktikan adalah saat penerimaan calon pegawai negeri.
Praktek-praktek korupsi terdengar di mana-mana, namun, begitu sulit untuk
dibuktikan di meja hijau. Bahkan kasusnyapun jarang sampai ke gerbang kantor
penegak hukum. Tidak ada seorangpun yang nampaknya berani mengungkap kasus
ini. Ironisnya, pelajar yang dalam hal ini dikategorikan sebagai orang terdidik tidak
mampu berbuat banyak. Bahkan terkesan mengikuti arus permainan. Ketakutan dan
kecemasan tentunya muncul ketika seseorang dihadapkan pada sebuah sistem yang
2
3. kukuh. Ketakutan dan kecemasan itu muncul karena adanya ancaman terhadap nilai
eksistensi dasar manusia (Teori Rollo May dalam Friedman dan Schustack, 2006).
Siapa yang patut dipersalahkan? Pemerintah, lembaga hukum, ataukah dunia
pendidikan yang belum mampu memberikan bekal ‘keberanian’ dan ‘kesetiaan’ akan
kejujuran? Di sini pendidikan sering menjadi komponen yang paling disoroti.
Jika tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak
mulia, terampil dan seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan atau
alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada jenjang tertentu
masih menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana dirumuskan dalam
tujuan, maka apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Apa
yang telah terjadi sudah selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitas
pendidikan di negeri ini.
Menyikapi fenomena korupsi yang marak terjadi. Pendidikan pun melakukan
pembenahan-pembenahan untuk menjawab tantangan derasnya arus korupsi. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang
gencar dibicarakan belakangan ini adalah masuknya pendidikan karakter antikorupsi
pada tingkat pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi pada tahun ajaran 2011.
Kurikulum tersebut, menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, nantinya akan masuk
dalam silabus-silabus mata pelajaran. Sedangkan pengajarnya adalah guru-guru yang
telah diberi training bagaimana mengajarkan pendidikan karakter antikorupsi.
Penyebaran pendidikan antikorupsi ini pun akan dilakukan secara bertahap.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter antikorupsi tidak berdiri sendiri
sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi dengan memberikan penguatan pada masing-
masing mata pelajaran yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Mendiknas
menganalogikan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai zat oksigen yang
menjadi bagian dari manusia hidup. Manusia tidak akan hidup tanpa oksigen. Begitu
juga dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, kita seakan mati jika tidak
berlaku sesuai dengan budaya dan karakter bangsa. Karakter dan budaya bangsa itu
begitu melekat dalam diri seseorang.
Pendidikan antikorupsi sesungguhnya abstrak, bukan melalui logika saja.
Pendidikan ini memerlukan tahap penalaran, internalisasi nilai dan moral, sehingga
mata pelajarannya didesain tidak hanya menekankan aspek kognitif, melainkan lebih
3
4. pada aspek afektif dan psikomotorik (http://www.riaumandiri.net). Menekankan
bagaimana agar anak didik melakukan sesuatu, atau menghindari sesuatu untuk
mendapat pengharagaan sosial dari orang lain. Bagi anak-anak, proses penalaran
moral berkembang sejalan dengan proses belajar sendiri dan belajar dari lingkungan.
Melalui pendidikan antikorupsi yang terarah dan efektif, terbuka kemungkinan
internalisasi nilai-nilai. Peran guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar menjadi
kunci. Mereka harus memberi teladan berperilaku antikorupsi, terutama berperilaku
jujur sebagai dasar pembentukan karakter secara dini.
Pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan karakter antikorupsi
mengambil pengalaman-pengalaman berupa best practices masyarakat transparansi
internasional dan pengalaman kita dengan pendidikan P4. Hal yang harus dihindari
adalah adanya indoktrinasi, pembelajaran yang menekankan pada aspek hafalan
semata-mata. Pendidikan karakter antikorupsi haruslah bermakna belajar dengan
mengalami atau experiential lerning jadi tidak sekadar mengkondisikan para peserta
didik hanya untuk tahu, namun juga diberi kesempatan untuk membuat keputusan
dan pilihan untuk dirinya sendiri. Peserta didik kita seringkali hanya diberi
pengetahuan normatif sesuatu hal namun tidak diberi kesempatan untuk menentukan
pilihannya sendiri mengapa siswa harus mengambil keputusan tertentu dan
bertanggung jawab atas keputusan yang telah siswa ambil.
Program pendidikan karakter antikorupsi bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang sama dan terpadu serta terbimbing dalam rangka menekan
kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan korupsi. Kemudian harapannya
berdampak pada adanya respon atau tanggapan balik dari rakyat untuk bisa
menyuarakan kearifannya mengenai penyimpangan korupsi. Di samping itu juga
bertujuan untuk membentuk kesadaran publik terhadap setiap kegiatan yang
mengarah kepada adanya tindakan korupsi oleh para penguasa atau pengambil
kebijakan yang tidak mempedulika rakyat (Tim MCW dalam
http://niamw.wordpress.com).
Korupsi adalah masalah bersama yang penuntasannya tidak dapat dilakukan
seketika. Kekuatan hukum dalam menimbulkan efek jera pun terkesan belum
maksimal. Banyak pelaku tindak korupsi yang mendapat hukuman minim dan
bahkan lolos dari jerat hukum. Untuk itu, jalur pendidikan ditilik sebagai wahana
4
5. terbaik untuk memutus arus korupsi dengan peningkatan moral generasi penerusnya.
Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum tentunya
mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang pro dan ada juga yang
kontra terhadap pelaksanaan program ini. Untuk itu perlu rasanya dilakukan suatu
pengkajian mengenai kelemahan dan keunggulan pendidikan karakter antikorupsi
yang hangat dibicarakan sekarang ini.
2. Pembahasan
A. Pendidikan Karakter Antikorupsi: Bukan Solusi
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, arah pendidikan nasional
dinyatakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kata “cerdas” sering kali
dianggap tidak mencakup aspek moralitas, sehingga dirasa tidak mencukupi.
Dikotomi ini senantiasa muncul dalam tujuan pendidikan nasional sehingga
rumusannya tidak pernah simpel.
Sejatinya istilah mencerdaskan meliputi penyempurnaan akal budi, nalar,
watak, dan bahkan fisik. Perkembangan psikologi kognitif dewasa ini menunjukkan
bahwa ranah kecerdasan yang sebelumnya seolah sebatas intelegensi (intelligence
quotient/IQ), kini meluas hingga pada kecerdasan emosional (emotional
quotient/EQ) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Malah Howard
Gardner dalam bukunya yang berjudul ‘Multiple Intelligence’ memperkenalkan
kecerdasan majemuk yang terdiri atas tujuh jenis intelegensi, yaitu intelegensi musik,
kinestik, logis-matematis, linguistik, spasial, interpersonal, dan intrapensonal (dalam
Tilaar, 2000).
Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum
dengan tujuan mengatasi krisis moral yang terjadi memunculkan sikap pesimis
masyarakat. Mereka beranggapan bahwa menggagas pendidikan karakter antikorupsi
bukanlah solusi yang tepat mengatasi masalah korupsi yang melanda negeri ini. Ada
beberapa alasan yang dilontarkan guna menolak gagasan pendidikan karakter
antikorupsi masuk kurikulum.
Pertama, akan menyamarkan arah pendidikan nasional. Mengutamakan
pendidikan karakter melalui sekolah akan menggiring proses pendidikan kita
semakin masuk ke lorong sempit konservatisme dan fundamentalisme pendidikan,
5
6. yang ditandai oleh indoktrinasi nilai-nilai yang cenderung membelenggu akal sehat.
Akibatnya, bangsa ini akan menjadi semakin irasional dan tidak kreatif. Dengan
demikian tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan pernah tercapai.
Kedua, pelaksanaannya di tingkat sekolah akan sulit dihindari korelasinya
dengan mata pelajaran tertentu yang disangka berpengaruh besar pada pembentukan
karakter, seperti pendidikan agama, moral, budi pekerti, kewarganegaraan, dan
pendidikan nilai lainnya. Padahal berbagai nilai kebajikan telah diajarkan sejak dulu
melalui bidang studi tersebut. Namun kenyataannya masyarakat kita pada hari ini
bagai tidak beranjak dari “Manusia Indonesia”, seperti digambarkan oleh Mochtar
Lubis pada 1977: hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal,
percaya tahayul, artistik, dan berwatak lemah.
Ketiga, lembaga pendidikan dalam sebuah negara merupakan sebuah
subsistem sosial-politik, sehingga apa yang terjadi di dalamnya adalah turunan dari
induk sistemnya. Mengharapkan tumbuhnya karakter dari sebuah sistem pendidikan
yang telah gagal tanpa didahului oleh reformasi yang menyeluruh adalah kesia-siaan.
Prioritas utama bangsa Indonesia sekarang ini adalah penataan kembali bidang
pendidikan dalam sebuah kerangka strategi pembangunan ekonomi dan strategi
kebudayaan, bukan tambal sulam seperti yang diusulkan dan terjadi selama ini.
Hampir mirib dengan alasan ketiga, alasan keempat untuk menyatakan
ketidaksetujuan masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum
adalah karena dunia pendidikan kita masih dibelit oleh beragam masalah.
Penambahan atau penyisipan pengetahuan melalui mata pelajaran-mata pelajaran
yang ada ditakutkan hanya akan menjadi penumpukan teori yang tidak pernah
mendapat ruang untuk realisasinya. Tirtaraharja dan La Sulo (2005:250) berpendapat
bahwa hambatan yang dialami sekolah adalah sulitnya memerogram pendidikan
afektif secara eksplisit karena dianggap menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi
(hiden curriculum) yang keterlaksanaanya sangat tergantung kepada kemahiran dan
pengalaman guru. Menilai hasil pendidikan afektif juga dirasa tidak mudah dan
memakan waktu, sehingga memerlukan ketekunan dan kesabaran pendidik. Inilah
yang menjadi alasan kepesimisan beberapa kalangan akan keberhasilannya
pencapaian sasaran yang diharapkan. Pendidikan karakter antikorupsi tidak harus
6
7. masuk dalam kurikulum. Sebab, beban kurikulum di sekolah sudah berat. Jika
ditambah kurikulum antikorupsi, beban siswa dan guru pun semakin berat.
Selain masalah tersebut, pendidikan karakter antikorupsi juga dibayangi oleh
tindak korupsi di tengah institusi pendidikan. Banyak tindak korupsi yang kita
temukan di institusi pendidikan, seperti penyelewengan dana BOS, korupsi waktu
mengajar, korupsi nilai (katrol nilai), dan lain sebagainya. Padahal pendidikan
karakter antikorupsi baru akan berjalan kena sasaran dan efektif bila didukung oleh
kondisi termasuk lingkungan sekolah dan masyarakat yang tidak korup. Hal pertama
yang harus dilakukan pemerintah adalah mengatasi korupsi di dalam institusi
pendidikan. Akan sia-sia jika pendidikan karakter antikorupsi ada dalam lingkungan
yang penuh tindakan korupsi.
B. Pendidikan Karakter Antikorupsi Sangat Dibutuhkan
Selain mendapat respons negatif seperti yang telah dipaparkan di atas, ide
memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum juga mendapat respons positif dari
masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden
pada 27 Mei 2010 menunjukkan sebanyak 87% responden beranggapan perlunya
memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga
relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan
antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia
(Djabbar, 2009).
Sejumlah alasan pun dilontarkan untuk menunjukkan dibutuhkannya
pendidikan karakter antikorupsi untuk menyikapi realita. Pertama, pendidikan lebih
dominan berorientasi pada penguasaan iptek, sedangkan sesuatu yang menyangkut
budaya dan perilaku (karakter) relatif masih terabaikan. Artinya, integrasi antara
pendidikan iptek dan seni dengan moral dan etika belum dapat dilakukan secara
serasi dan seimbang. Oleh karena itu, hadirnya pendidikan karakter antikorupsi
dipandang sebagai pembaharuan yang tepat bagi pendidikan di Indonesia.
Pendidikan antikorupsi bagi siswa mengarah pada pendidikan nilai, yaitu
nilai-nilai kebaikan. Suseno (dalam Djabbar, 2009) berpendapat bahwa pendidikan
yang mendukung orientasi nilai adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu
apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.
7
8. Menurut Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membuat orang
menjadi kebal terhadap godaan korupsi. Ketiga sikap moral fundamental tersebut
adalah kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab.
Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi, menunjukkan siapa
dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran
jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar bahwa berlaku
tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.
Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang
mengikat diri sendiri. Magnis (dalam Djabbar, 2009) mengatakan bahwa bersikap
baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju
kebaikan. Sikap moral yang selanjutnya dibutuhkan adalah rasa tanggung jawab.
Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan
kewajiban sampai tuntas. Misalnya, siswa diberi tanggung jawab mengelola dana
kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana
dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga.
Alasan kedua yang dilontarkan untuk mendukung pendidikan karakter
antikorupsi masuk kurikulum adalah melaui pendidikan karakter antikorupsi para
siswa sejak usia dini sudah mengetahui tentang seluk-beluk praktek korupsi
sekaligus konsekuensi yang akan diterima oleh para pelaku. Ketiga, memberikan
proses pembelajaran tentang kepakaan terhadap praktek-praktek korupsi yang ada
disekitar kita. Keempat, mendidik para siswa dari usia dini tentang akhlak atau moral
yang sesuai dengan ajaran-ajaran sosial keagamaan. Kelima, menciptakan generasi
penerus yang bersih dari perilaku penyimpangan, dan keenam, membantu seluruh
cita-cita warga bangsa dalam menciptakan clean and good-goverment demi masa
depan yang lebih baik dan beradab.
C. Menyikapi Realita
Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari
sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan
koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga
pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi
Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977,
8
9. hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak
membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan bagai jamur di musim
hujan.
Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau
PERC menyebutkan Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati peringkat
pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini
naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam,
Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang,
Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling
bersih (www.bisniskeuangan.kompas.com).
Upaya pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) yang bekerja sama dengan KPK menyikapi realita korupsi yang
menjamur di negeri ini patutlah kita apresiasi positif. Pendidikan sebagai usaha sadar
yang sistematis dan sistemis memang harus selalu bertolak dari sejumlah landasan
atau azas-azas tertentu guna mewujudkan masa depan yang lebih baik (Tirtaraharja
dan La Sulo, 2005). Lembaga pendidikan pun ditilik sebagai tempat terbaik
menyiapkap SDM yang bermoralitas tinggi. Hal ini sejalan dengan pandangan
Socrates (469-399 SM) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling
mendasar adalah membentuk individu menjadi lebih baik dan cerdas. Dengan kata
lain, pendidikan hendaknya diarahkan kepada kebajikan atau nilai individu yang
mencakup dua aspek, yaitu intelektual dan moral (Aristoteles dalam
http://www.insistnet.com).
Lembaga pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis dalam
menanamkan mental antikorupsi. Masyarakat terdidik inilah yang nantinya memiliki
peranan yang cukup dominan dalam masyarakat. Pendidikan karakter antikorupsi
diharapkan mampu membentuk kesadaran publik terhadap kegiatan yang mengarah
ke tindakan korupsi, memberikan bekal pemahaman mengenai efek tindak korupsi
bagi kehidupan bangsa dan negara, serta mampu memberikan pemahaman
penggunaan ilmu pengetahuan dengan cara-cara yang benar tanpa ikut andil dalam
tindakan korupsi. Penanaman mental antikorupsi sejak usia dini diharapkan dapat
melahirkan generasi penerus yang siap berperang melawan korupsi.
9
10. Memang sudah saatnya pendidikan kita disentuh oleh masalah-masalah real
yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ketika korupsi menjalar bagai akar
di setiap bidang kehidupan, maka sudah sepatutnya peserta didik yang akan menjadi
penerus kehidupan bangsa diperkenalkan dengan permasalahan korupsi. Agar mereka
tahu betapa bahayanya tindakan korupsi bagi kelangsungan hidup bangsa sehingga
mereka memiliki sikap tidak tergoda dengan tindak korupsi.
Penanaman nilai-nilai luhur sejak dini diharapkan mampu menjadi pondasi
yang kokoh bagi peserta didik dalam menyikapi realita kemerosotan moral yang
terjadi di tengah masyarakat. Melalui pendidikan karakter antikorupsi juga
diharapkan munculnya rasa tanggung jawab untuk memberantas korupsi dan
memberikan contoh pada masyarakat luas tidak hanya dari tuturan, tetapi juga
melalui perbuatan yang mencerminkan karakter yang ulet, jujur, toleran, dan lain
sebagainya.
Selama ini pendidikan mengenai nilai-nilai luhur sebenarnya telah terangkum
dalam mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun, hasil yang
digapai hanya sebatas kemampuan kognitif yang berfokuskan pada pencapaian nilai
dalam selembar kertas. Pemahaman mengenai nilai luhur tersebut akan hilang ketika
anak didik ke luar dari pagar sekolah. Banyak kejadian dalam masyarakat yang
mereka jumpai tidak sejalan dengan teori-teori yang ditanamkan sekolah, dan anak
didik tidak mampu menyumbangkan pemikirannya dalam mengatasi persoalan itu.
J.H. Gunning (dalam Tirtaraharja dan La Sulo, 2005) berpendapat bahwa seharusnya
pendidikan yang sehat mampu menunjukan titik temu atau menjembatani antara teori
dan praktek.
Abduhzen (2010) berpendapat bahwa strategi pendidikan kita pada berbagai
tingkatannya sangat kurang menghiraukan pengembangan nalar sebagai basis sikap
dan perilaku. Pembelajaran di sekolah kita lebih cenderung pada mengisi atau
mengindoktrinasi pikiran. Akibatnya, apa yang diperoleh di sekolah seperti tidak
berkorelasi dengan kehidupan nyata. Pendidikan harus mampu menciptakan
keseimbangan dalam kehidupan peserta didiknya. Hal ini sejalan dengan ajaran
filsafat I Ching (kristalisasi marxisme di Tiongkok) yang memandang bahwa nilai
yang paling tinggi dalam kehidupan manusia adalah keseimbangan (Artadi, 2004).
10
11. Agar pendidikan karakter antikorupsi dapat mencapai sasaran, beberapa
langkah dapat dilakukan pemerintah dan Kemendiknas, seperti pelatihan-pelatihan
kepribadian kepada guru-guru untuk menanamkan sikap antikorupsi. Hasilnya nanti
terlihat dalam sikap keseharian guru dalam menjalankan tugasnya. Sikap-sikap
antikorupsi yang ditunjukkan oleh guru tentu akan lebih ‘tajam’ pemikiran siswa
mengenai korupsi dibandingkan dengan teori-teori hapalan mengenai tindak korupsi.
Langkah lain yang dapat diambil untuk memaksimalkan tujuan pendidikan karakter
antikorupsi adalah memberikan sanksi tegas kepada guru dan pegawai-pegawai dinas
pendidikan yang melakukan tindakan korupsi. Sehingga dunia pendidikan terlepas
dari tindakan korupsi yang akan berdampak pada penciptaan kondisi yang
mendukung pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi.
Melihat berbagai kendala yang membentang dalam pelaksanaan pendidikan
karakter antikorupsi ini, maka sudah sepatutnyalah dilakukan perbaikan dalam tubuh
institusi pendidikan terlebih dahulu. Agar jangan sampai rencana manis hanya
berbuah tawar atau tiada berguna. Guru sebagai ujung tombak pendidikan karakter
antikorupsi haruslah merefleksi diri. Penanaman sikap luhur ini akan tercapai apabila
guru sanggup menjadi contoh sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil bagi
siswanya. Bukan hanya pemberian teori mengenai ciri-ciri sikap jujur, baik,
bertanggung jawab, dan adil yang sasaranya hanya hapalan semata. Edith Wharton
(dalam Lewis, 2004) mengatakan bahwa ada dua cara untuk menyebarkan terang:
menjadi lilinnya atau menjadi cermin yang memantulkannya. Lewis (2004)
menyebut pemberian contoh-contoh sikap luhur itu sebagai kepemimpinan lewat
teladan. Dalam kepemimpinan ini, seorang guru akan menjadi tolak ukur di mana
peserta didik akan mengukur diri mereka sendiri. Guru akan menjadi inspirasi bagi
peserta didiknya.
Untuk dapat menjadi pemimpin yang mampu menerangi jalan peserta
didiknya, seorah guru hendaknya kembali memegang teguh trilogi kepemimpinan
yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, dan tut wuri handayani. Artinya, ‘di depan guru sebagai pemimpin
mesti memberi teladan’, ‘di tengah-tengah peserta didik, guru membangun semangat
serta menciptakan peluang untuk berswakarsa’, ‘dari belakang guru mendorong dan
11
12. mengarahkan peserta didiknya’. Trilogi inilah yang mungkin terlupakan dalam
sistem pendidikan penanaman nilai di negeri ini.
Selain penerapan Trilogi pendidikan, sebelas prinsip yang dikemukakan
Lickona dkk (http://diksia.com) agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif juga
patut kita jadikan rujukan untuk menuju ke arah perbaikan sistem pendidikan
nasional. Kesebelas prinsip itu adalah (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-
nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan
'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3)
gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam
pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5)
beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum
akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik,
mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan
mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas
pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter
dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan
siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan
jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota
masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter
sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa
memanifestasikan karakter yang baik.
D. Perubahan Kerangka Pendidikan Menuju Pendidikan Holistik
Pendidikan dikatakan holistik apabila pendidikan itu menyeluruh. Artinya,
pembangunan manusia bukan hanya dari dimensi kognitif saja. Pendidikan harus
mampu menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri. Hal inilah yang
sebenarnya perlu diperhatikan dalam pendidikan karena selama ini, hanya otak kiri
saja (hafalan) yang lebih banyak ditekankan. Inilah penyebab tujuan pendidikan
menciptakan manusia seutuhnya jauh dari kenyataan.
Dalam bahasa Inggris holistik itu berasal dari kata holy dan healty. Orang
bijak biasanya disebut holinan. Harus diakui bahwa ada sesuatu yang kurang dalam
sistem pendidikan kita selama ini. Manusia melalui pendidikan haruslah
12
13. dikembangkan secara holistik dari emosinya, kretifitasnya, kemampuannya, interaksi
sosialnya, kognitif motorik dan afektifnya.
Perdebatan mengenai wacana pendidikan karakter antikorupsi signifikan atau
tidak jika diterapkan dalam kurikulum menjadi berkepanjangan tanpa kata akhir,
sebelum hasil penelitian mengemukakan data yang valid dan representatif yang
memenuhi syarat normatif yang berlaku secara universal. Apapun itu hasilnya nanti,
tujuan sebenarnya dimasukkannya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum
merupakan kerangka dalam rangka menciptakan manusia yang utuh (holistik), kokoh
dan tangguh.
Dalam perkembangan selanjutnya, mengingat Indonesia adalah negara yang
multikultur, sagat memungkinkan pendidikan karakter antikorupsi akan berbasis
multikultural. Dalam model multikulturalisme, masyarakat dilihat sebagai sebuah
kepingan unik dari sebuah mozaik besar. Konsep multikulturalisme tidak sama
dengan pluralisme. Pluralisme menekankan pengakuan dan penghormatan kepada
adanya keragaman budaya dan suku bangsa, juga agama. Multikulturalisme
menekankan keanekaragaman dalam persamaan derajat.
Pendidikan antikorupsi berbasis multikultural mengandaikan domain bangsa
sebagai arena yang dipenuhi bermacam tipe manusia. Pendidikan karakter
antikorupsi berbasis multikultur didasari konsep perbedaan yang unik pada tiap
orang. Setiap orang memperoleh peluang pembelajaran sesuai keunikannya.
Pendidikan ini dikelola sebagai sebuah dialog, sehingga tumbuh kesadaran dari
setiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Sampai
tingkat lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif, untuk secara bersama memberantas
korupsi.
3. Penutup
Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum
menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Ada kepesimisan akan keberhasilan
program ini memotong arus korupsi yang begitu deras di negeri ini. Apalagi, korupsi
telah dilakukan secara terorganisir dan sistematis. Penembahan pendidikan karakter
antikorupsi juga dipandang hanya akan menambah beban kurikulum yang sudah
sarat muatan. Di samping itu, guru-guru sebagai ujung tombak pelaksanaan
13
14. pendidikan karakter antikorupsi dipandang belum memiliki kompetensi yang
memadai untuk menanmkan nilai-nilai antikorupsi yang hendak ditanamkan. Hal ini
akan semakin sulit dengan banyaknya kasus korupsi yang membelit instansi
pendidikan. Selain itu masih banyak lagi alasan lain diberikan guna menunjukkan
ketidaksetujuan masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum.
Terlepas dari banyaknya kendala pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi
semenjak usia dini, banyak masyarakat yang menyambut positif rancangan
perubahan yang dilakukan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa semua masalah
yang ada tentunya akan dapat diatasi jika ada kerjasama dari semua pihak untuk
mengatasi masalah tersebut. Pendidikan karakter antikorupsi selain di sekolah, juga
harus ditanamkan mulai dari lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga adalah
tempat pertama penanaman nilai pada seorang anak.
Upaya pemerintah untuk memperbaiki moral bangsa ini patutlah kita
apresiasi positif agar bangsa yang kita cintai ini dapat melepaskan diri dari jeratan
korupsi. Sebagai generasi penerus bangsa, usaha yang dapat kita lakukan adalah
memulai sikap antikorupsi dari hal-hal kecil. Contohnya berusaha melakukan sesuatu
dengan tepat waktu. Bukankah bangsa ini juga terkenal dengan ‘jam karetnya?’. Oleh
karena itu, marilah lakukan perubahan dari hal kecil. Jangan hanya berteori tanpa ada
praktek nyata. Jika kita mau berusaha dan bekerja sama, niscaya apa yang kita
lakukan akan ditiru oleh orang lain dan begitu seterusnya sehingga lambat laun
negeri ini akan menggapai atmosfer berbeda. Atmosfer kehidupan yang bebas
korupsi.
4. Daftar Pustaka
Abduhzen, Mohammad. 2010. Perdidikan Karakter, Perlukah?. Dalam
http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/12/13/pendidikan-karakter-
perlukah/. Diakses 1 Desember 2010.
Artadi, I Ketut. 2004. Nilai, Makna, dan Martabat Kebudayaan: Kebudayaan
Bangsa-bangsa dan Posmoderen. Denpasar: Sinay.
Djabbar, Faisal. 2009. Tentang Kurikulum Antikorupsi dalam
http://smk3ae.wordpress.com/2009/02/02/tentang-kurikulum-antikorupsi-2/.
Diakses 5 Desember 2010.
14
15. Friedman, Howard S. dan Mariam W. Schustrack. 2006. Kepribadian: Teori Klasik
dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga.
http://diksia.com/kemendiknas-siapkan-kurikulum-pendidikan-budaya-dan-karakter-
bangsa/. Diakses 10 Desember 2010.
http://niamw.wordpress.com/2010/04/30/pendidikan-anti-korupsi-pak-salah-satu-
model-pendidikan-karakter/. Diakses 1 Desember 2010.
http www.bisniskeuangan.kompas.com. Diakses 10 Desember 2010.
http://www.insistnet.com. Diakses 1 Desember 2010.
http://www.riaumandiri.net/rm/index.php?
option=com_content&view=article&id=14543%3Acegah-korupsi-butuh-
pendidikan-budi-pekerti-&catid=60%3Atajuk&Itemid=1. Diakses 5
Desember 2010.
Lewis, Barbara A. 2004. Character Building untuk Remaja. Batam: Karisma.
Tegar, Ahaddian. 2010. Korupsi dan Pengertiannya. Dalam
http://soloraya.net/blog/2010/01/11/korupsi-dan-pengertiannya/. Diakses 1
Desember 2010.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradikma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Tirtarahardja, Umar dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
15