SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 41
1



                       LEMBAR KERJA MAHASISWA 1


TOPIK 1 : HAKIKAT KRITIK SASTRA
1.1 KONSEP DASAR KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual :
a. Menuliskan kembali sedikitnya 3 pengertian kritik sastra dilengkapi dengan
   rujukan.
b. Menyusun sendiri pengertian kritik sastra berdasarkan (a)
c. Menyebutkan dan menjelaskan unsur-unsur yang tercakup dalam (b)
Jawaban :
a. Pengertian 3 kritik sastra :
1. Dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, Budi Darma (2004:24) , Kritik sastra
   (Literary Critism) adalah penerapan kaidah-kaidah, rambu-rambu, atau teori-
   teori tertentu dalam analisis karya sastra, misalnya New Critsism,
   strukturalisme, psikoanalisa, dan lain-lain.
2. H.B. Jassin (1959:44, 45) mengemukakan bahwa kritik sastra adalah
   pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra, penerangan, dan
   penghakiman karya sastra.
3. Kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra tertentu,
   melalui kegiatan identifikasi, analisis, klasifikasi, dan evaluasi (judgement)
   serta penafsiran sistematik yang diformulasikan dalam bentuk tertentu.
   (Suwignyo, 2008:5)
b. Pengertian kritik sastra sendiri berdasarkan (a)
Kritik sastra adalah sebuah penilaian terhadap sebuah karya sastra yang
   diidentifikasi, klasifikasi, analisis, dan evaluasi terlebih dahulu yang kemudian
   ditampilkan untuk bisa dibaca semua orang.
c. Menyebutkan dan menjelaskan unsur-unsur yang tercakup dalam (b)
1. Penilaian
2. Karya sastra
3. Identifikasi
4. Klasifikasi
5. Analisis
2



6. Evaluasi
7. Ditampilkan
8. Dibaca semua orang
Penjelasan:
       Kritik sastra lahir karena adanya sebuah karya sastra yang membuat karya
sastra itu merasa mendapat sambutan dari para penikmatnya. Dengan penilaian
tersebut, dapat membuat pembaca, mengerti betapa berharganya karya sastra
tersebut. Dengan penilaian itu, berarti, sebuah karya sastra tersebut telah
mendapat perhatian dari pembaca. Jika tidak ada krtitik yang muncul, maka karya
sastra tersebut tidak ada artinya.


1.2    VARIABEL KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual
a. Menuliskan kembali empat komponen kritik sastra dilengkapi dengan
   penjelasan.
b. Menjelaskan hubungan antarkomponen variable kritik sastra dilengkapi dengan
   contoh.
Jawaban :
a. Empat komponen
       Variabel adalah suatu trait atau attribute yang dimiliki secara bervariasi
oleh subjek. Kritik sastra merupakan sebuah “subjek” atau pusatkajian yang
menunjukkan gejala yang kompleks. Pembicaraan mengenai kritik sastra selalu
terkait dengan komponen-komponen lain, yakni : (1) kritikus, (2) karya sastra, (3)
wilayah studi sastra, dan (4) penikmat, pembaca atau masyarakat sastra pada
umumnya.
(1)Kritikus
        Kritik sastra tidak dapat meninggalkan kritikus. Seperti halnya hubungan
karya sastra dan      pengarang, hubungan kritik sastra dan kritikus bersifat
kausalitas. Kehadiran kritik sastra disebabkan oleh adanya kritikus. Mensitir
pernyataan Descartes, “Karena Aku berfikir maka Aku ada.” Sebagaimana juga,
karena kritikus sastra ada maka karya kritik ada, atau sebaliknya karena kritikus
3



sastra tidak ada maka karya kritik tidak akan ada. Itulah sebabnya dapat dipahami
bahwa kualitas kritik sastra amat ditentukan oleh kualitas pribadi sang kritikus.
       Berkaitan dengan kualitas diri kritikus, Darma (1988) mencandra ciri-ciri
pemikir sastra (termasuk di dalamnya kritikus dan teoretikus) berikut ini.
a) Mencintai sastra
       Ciri ini ditandai dengan keterlibatan kritikus untuk mengikuti terus
menerus karya sastra, pemikiran-pemikiran mengenai sastra, bahkan pekerja-
pekerja sastra. Melalui bacaannya, kritikus mengetahui benar ciri masing-masing
pengarang, kritikus, teoretikus dan ciri-ciri pemikir sastra yang lain. Dengan
demikian, kritikus mengenal kesamaan dan benang-benang halus yang
menghubungkan semua pekerja sastra.
b) Menguasai sastra
       Dengan mengenal sastra secara baik, kritikus menguasai sastra secara baik
pula. Dia menguasai wajah sastra, dan juga peta sastra. Pengetahuannya mengenal
sastra tidak hanya komprehensif tetapi juga terperinci. Kritikus mengetahui
langkah demi langkah masing-masing karya sastra diantara sekian banyak karya
sastra (kolektif). Sementara itu kritikus juga mengetahui dengan baik detail
penting pemikiran setiap pekerja sastra.
c) Mencintai ilmu-ilmu lain dan pengetahuan umum
       Kecuali mencintai sastra, kritikus juga senang menyimak ilmu-ilmu lain,
seperti sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dll. meskipun tidak
mendalam. Paling tidak seorang kritikus sanggup merasakan kelebatan pikiran
banyak ilmuwan secara komprehensif. Seorang kritikus juga senang membaca
majalah dan koran. Perkembangan berita dari waktu ke waktu selalu dia ikuti,
meskipun kalau perlu hanya garis-garis besarnya saja. Dengan demikian seorang
kritikus tidak pernah ketinggalan. Dalam kepalanya selalu tersimpan sekian
banyak informasi. Semua informasi langsung/tidak disadari/tidak dipergunakan
untuk menunjang penguasaannya terhadap sastra. Dalam soal umum kritikus
adalah seorang generalis, dan begitu memasuki sastra kritikus menjadi seorang
spesialis yang menguasai seluk beluk sastra.
4



d) Mempunyai wawasan dan artikulasi
       Kritikus tidak hanya menguasai sastra, tetapi juga memiliki pandangan
terhadap sastra. Pandangan inilah yang disebut wawasan. Kecuali memiliki
wawasan, seorang kritikus juga mampu menjabarkan wawasannya itu dengan
artikulasi yang baik, khususnya dalam bentuk tulis.
e) Mencintai percobaan
       Acapkali    kritikus   membanding-bandingkan,      mengkaji,   mencocok-
cocokkan segala yang dikuasai. Kritikus menganggap sastra sebagai barang hidup,
dan karena itu, sastra selalu menawarkan dimensi baru. Dengan demikian
wawasannya terhadap sastra juga selalu berkembang. Melalui percobaan-
percobaannya, kritikus sanggup menghayati pola-pola pikiran yang terjadi di
dalamnya.
f) Menganggap sastra sebagai proses
       Kritikus sanggup menghayati bahwa sastra serta ilmu lain selalu
berkembang. Baginya, sastra serta ilmu-ilmu lain bukan sekadar kumpulan
pengetahuan, tetapi juga selalu menemukan pemikiran-pemikiran baru, meskipun
objek materinya mungkin masih sama.
g) Menyandarkan objektivitas pada hati nurani
       Karya sastra tidak lain adalah ekspresi nilai-nilai, dan sejak semula sudah
mengandung simpati, antipati, dan empati. Dalam        berhadapan dengan fakta,
seseorang bisa bersifat netral. Apabila sudah berhubungan dengan nilai-nilai,
seperti dalam ilmu-ilmu sosial dan penerapan ilmu eksakta, seseorang tidak
mungkin netral. Kritikus memihak pada nilai-nilai yang berlaku atau diperkiraan
akan berlaku. Dengan wawasannya, seseorang kritikus dapat memperhitungkan
nilai-nilai yang akan berlaku dimasa depan. Juga dengan wawasannya kritikus
sanggup memperhitungkan apa yang akan terjadi.
h) Menjadi pemikir (kritikus) dan mungkin sekaligus menjadi seorang penulis
  kreatif
       Kenyataannya, apa yang sebenarnya terjadi, tidak selamanya sejalan
dengan apa yang seharusnya terjadi. Dalam kenyataannya, banyak pemikir
(kritikus) sastra menjadi penulis kreatif, sebaliknya banyak juga penulis kreatif
yang menjadi pemikir (kritikus) sastra.
5



       Penulis kreatif dapat merangkap sebagai kritikus sastra, karena penulis
kreatif tidak hanya bergerak dalam dunia pemikiran, tetapi juga bergerak dalam
dunia penghayatan. Pengarang dalam melihat sastra tidak semata-mata dari luar
saja tetapi sekaligus menciptakannya. Penulis kreatif juga memiliki kemampuan
menilai setidak-tidaknya menilai karyanya sendiri. Tanpa diberi tahu siapa pun,
penulis kreatif tahu apakah karyanya cukup baik atau tidak, perlu direvisi atau
tidak, perlu diterbitkan atau dimusnahkan. Sebelum karya diterbitkan, pengarang
mempunyai kewenangan untuk menentukan apa yang harus terjadi pada
naskahnya.
       Pendapat lain menyatakan, kedua fungsi, yaitu penulis kreatif dan kritikus,
perlu dipisah. Meskipun tidak mengharap karyanya sendiri, penulis kreatif dapat
menjadi subjektif apabila harus tampil sebagai pemikir (kritikus). Bandingkanlah
bagaimana jika seorang pemain sepak bola harus merangkap wasit. Akan tetapi
sebenarnya titik berat pendapat ini bukan pada kemampuan, melainkan pada
kewenangan.
(2) Karya Sastra
       Kehadiran karya sastra mutlak diperlukan dalam kritik sastra karena pada
hakikatnya kritik sastra bersifat reaktif-rekreatif. Reaktif maksudnya kritik sastra
merupakan reaksi atau tanggapan terhadap dunia karya sastra. Rekreaktif karena
kritik sastra diciptakan berdasarkan karya sastra yang bersifat kreatif. Dengan kata
lain tidak pernah ada kritik yang disusun berdasarkan kreasi kritikus sendiri, tanpa
mendasarkan pada poetika pengarang dalam karyanya. Jika ada, kritik yang
demikian adalah kritik yang terlepas dari konteks objeknya. Kenyataan-kenyataan
tersebut menunjukkan bahwa hubungan kritik sastra dan karya sastra bersifat
determinatif. Maksudnya adalah hubungan yang saling menentukan. Kritik sastra
menentukan dan ditentukan oleh karya sastra yang dikritik.
       Dibandingkan dengan karya sastra, kritik sastra lebih terikat pada
zamannya. Karya sastra yang benar-benar hebat akan mengatasi ruang dan waktu,
sementara perkembangan zaman akan menimbulkan sikap yang berbeda terhadap
dunia karya sastra. Dengan demikian, tanggapan terhadap dunia karya sastra akan
sangat bergantung pada keadaan zaman. Begitu zaman berubah dan dunia sastra
masih hidup, dunia sastra tersebut akan ditanggapi dengan pandangan yang sudah
6



berubah. Dari waktu ke waktu karya sastra yang kokoh akan memancing sekian
banyak kritik sastra yang mungkin tidak terhitung jumlahnya. Hamlet hanya satu,
Divina Comedia hanya satu, Belenggu hanya satu, tetapi kritik atasnya bisa
berlapis-lapis, tidak terbatasi.
        Berkaitan dengan kekokohan karya sastra ini, Soekito (1991) secara
ekstrem berpendapat, bahwa besar atau kecilnya kritikus sastra bergantung kepada
besar kecilnya karya sastra yang dikritik. Kemasyhuran H.B. Jassin sebagai
seorang kritikus sastra bergantung atau ditentukan—meskipun tidak mutlak—oleh
Chairil Anwar sebagai penyair besar seperti tercermin dalam karya-karyanya.
Kemasyhuran Lucas sebagai kritikus sastra, bergantung kepada Thomas Man
(1875—955) sebagai seorang novelis besar (Soekito, 1990:2). Tentu saja hal ini
tidak berarti bahwa setiap kritikus yang mengulas karya sastra yang besar/hebat
dengan sendirinya menjadikan kritikus yang besar atau hebat pula.
(3) Wilayah Studi Sastra : Teori Sastra, Sejarah Sastra, dan Sastra Bandingan
        Wellek membedakan tiga wilayah studi sastra, yakni teori sastra, kritik
sastra, dan sejarah sastra (Wellek, 1989:38). Budi Darma bahkan membuat
taksonomi sastra menjadi dua saja, yaitu karya sastra dan kritik sastra, karena
segala sesuatu yang bersifat evaluasi tidak lain adalah kritik sastra.
        Teori sastra timbul, misalnya karena kritik sastra memerlukan metode.
Misalnya, teori formalis menggarap sebuah karya sastra sebagai bentuk ekspresi
estetis. Sementara itu, teori moral menggarap karya sastra sebagai suatu bentuk
untuk memperjuangkan nilai-nilai etika tertentu. Lalu teori sosiologi sastra
berpendapat, bahwa karya sastra tidak lain adalah kesadaran kolektif suatu
masyarakat. Dengan demikian, semua teori bersifat evaluasi, sedangkan evaluasi
adalah ciri menonjol kritik sastra.
        Pengendapan masalah sastra yang kemudian menjadi sejarah sastra juga
tersaring melalui proses evaluasi. Evaluasi terjadi karena ada serangkaian kritik
sastra. Historiografi mengenai tokoh, aliran pemikiran dalam sejarah sastra
merupakan hasil pengendapan kritik sastra juga.
        Dalam kenyataanya hubungan antara kritik sastra, teori sastra, dan sejarah
sastra, dan sastra bandingan bersifat interdependensi atau saling tergantung. Teori
sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra.
7



Kriteria, kategori, skema teori tidak mungkin diciptakan secara in vacuo/tanpa
pijakan. Sebaliknya tidak mungkin ada kritik sastra atau sejarah sastra tanpa satu
set pertanyaan suatu sistem pemikiran, acuan, dan generalisasi.
        Di sisi lain kegiatan kritik yang berhubungan dengan penilaian, penjelasan,
dan penghakiman karya sastra dapat dekemukakan berikut ini. Bahwa penilaian
hanya dapat dilakukan oleh kritikus yang memiliki konsep tentang nilai baik dan
buruk (etika), indah atau tidak indah/estetika (lingkup teori sastra). Penjelasan
tentang suatu karya sastra hanya dapat dilakukan, jika kritikus mengetahui seluk
beluk karya sastra tersebut. Dan penghakiman terhadap suatu karya sastra hanya
dapat dilakukan oleh kritikus yang mampu memanfaatkan berbagai pengetahuan
tentang nilai dan seluk beluk karya sastra untuk menempatkan kedudukan suatu
karya diantara sekian banyak karya sastra sejenis. Kegiatan tersebut menunjukkan
betapa pentingnya peranan teori dan sejarah sastra dalam studi kritik sastra.
Penerapan teori sastra dalam kerja kritik memang berbeda-beda dalam gaya dan
teknik penyajiannya, misalnya dalam kritik sastra kreatif (kritik yang dibuat oleh
penulis kreatif), dan kritik sastra akademik (ditulis oleh para akademisi). Y.B.
Mangunwijaya misalnya, dalam buku kritiknya Sastra dan Religiusitas tidak
memformulasikan teori sastra yang digunakan secara eksplisit, melainkan
memadukannya dengan intuisi. Antara intuisi aksiomatis dengan intuisi menalar,
antara merasakan sekaligus menjabarkannya. Sebagai pembaca, kita tidak
merasakan bahwa Y.B. Mangunwijaya sedang menjabarkan, menganalisis, dan
membeberkan       argumentasi-argumentasinya.    Yang     dilakukan    oleh   Y.B.
Mangunwijaya ini merupakan karakteristik jiwa kritik kreatif.
(4) Penikmat, Pembaca atau Masyarakat Sastra
        Hubungan antara kritik sastra dengan penikmat, pembaca atau masyarakat
sastra bersifat fungsional. Kehadiran kritik sastra dapat difungsikan sebagi
penghubung antara pengarang dan pembaca, penikmat (Jassin, 1965:84; Shipley,
1962:83). Kritik sastra dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang mungkin timbul dari diri pembaca setelah menikmati suatu karya sastra.
Bagi kalangan pembaca yang masih kurang baik daya apresiasinya, kritik dapat
berfungsi sebagi pembimbing, pengarah, sekaligus pemandu. Dalam fungsinya
yang ideal kritik sastra haruslah inspiratif.
8



        Sehubungan dengan itu Damono berpendapat bahwa kritik yang baik
adalah semacam kesan-kesan pribadi (kritikus) yang memberi isyarat kepada
pembaca lain untuk bangkit ke rak buku yang sedang dibicarakannya itu, untuk
kemudian membacanya, mengualang bacanya. Kritik yang baik tidak berpura-
pura mencampuri percakapan yang mungkin terjadi di antara sebuah karya agar
lebih menyenangkan. Juga tidak mengotorinya. Semacam pembangkit rasa ingin
tahu. Kritik yang baik mampu menggoda pembaca untuk kembali pada karya yang
hilang karena tersapu debu waktu (periksa Damono, 1975;299)


    b. Hubungan antarkomponen variabel kritik sastra dilengkapi dengan contoh
                                   Teori Sastra



       Kritikus                   Karya Sastra         Penikmat, pembaca




      Sejarah Sastra                                     Sastra Bandingan
Bagan 1 : Proses Hubungan Antarkomponen Variabel Kritik Sastra
Keterangan :
                 : hubungan langsung
                 : hubungan tidak langsung
Contoh :
       Misalnya kita membaca novel dengan judul Negeri 5 Menara, setelah
membacanya pasti kita menemukan hal-hal yang menarik yang mampu
memberikan pesan baik kepada kita. Agar kita lebih memahami isi dari novel
tersebut, kita perlu mengadakan pengkajian yang pasti menggunakan teori sastra.
Teori yang kita ambil bisa berupa teori sosiologi sastra dan teori struktural. Hal ini
karena novel tersebut erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat yang cocok
dikaji dengan teori sosiologi sastra.
Selain mengkajinya, kita juga bisa mengkritiknya, karena pasti ada hal yang perlu
dinilai dari sebuah karya sastra tersebut. Mengkritiknya pasti kita juga harus
memahami sejarah sastranya agar kritik kita lebih bernilai. Dengan pengkritikan
tersebut, pembaca akan bisa menikmati hasil kritik itu dan akan lebih memahami
isi dari karya sastra tersebut.
9



                          LEMBAR KERJA MAHASISWA 2


1.3 POSISI KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual :
a. Menuliskan kembali posisi kritik sastra dalam peta sastra Indonesia modern
   dilengkapi dengan contoh.
b. Menuliskan kembali fungsi kritik sastra dilengkapi dengan contoh.
c. Mengklasifikasi        fungsi   kritik   sastra   yang   bersifat   instrumental   dan
   noninstrumental.


Jawaban :
a. Posisi kritik sastra
       Peta dunia sastra secara garis besar dapat dipilah menjadi dua, yakni dunia
kreasi (dunia penciptaan) dan dunia pemikiran (studi, pemikiran, dsb). Kritik
termasuk dalam dunia pemikiran. Jauh sebelum orang memikirkan hakikat, sastra
sudah diciptakan. Kritik sastra baru ada setelah orang mempertanyakan apa dan di
mana nilai hakiki suatu karya sastra (periksa, Semi, 1995:16).
       Hukum sastra membuktikan bahwa kritik sastra berjalan di belakang karya
sastra. Kritik sastra Yunani Purba misalnya, baru bangkit setelah para pengarang
sastra karya sastra runtuh. Sementara itu, diketahui bahwa ada kalanya kejayaan
karya sastra sejajar dengan kekayaan kritik sastra, seperti yang terjadi di Eropa
pada abad XVIII.
       Dalam tahap perkembanganya kritik sastra memang mula-mula sangat
bergantung pada karya sastra. Kritik sastra adalh reaksi terhadap karya sastra
(seperti sinyalemen tehadap ekstensi kritik sastra Indonesia modern dewasa ini).
Padahal sebenarnya kritik sastra lebih bermanfaat apabila sudah dapat melepaskan
diri dari kehadiran karya sastra. Otonomi karya sastra akan menjadikannya
sebagai kegiatan-kegiatan intelektual. Dalam tahap ini, tumpukan kritik sastra
bukan lagi harfiah karya sastra melainkan kritik sastra itu sendiri dan pemikiran
sastra lainnya. Contoh, dalam tahap kesusastraan Inggris misalnya, sudah
ditemukan karya sastra yang berlapis-lapis. Kritik dikritik lagi, kritik atas kritik
10



itu dikritik lagi dan seterusnya sehingga kita menemukan kritik atas kritik , atas
kritik, atas kritik.
          Berkaitan dengan dua posisi kritik sastra tersebut, maka sebenarnya antara
kritk sastra dan sastra khususunya dengan komponen sastra yang lain dapat
bekerja     sama       yang   saling   menguntungkan    atau    semacam      simbiosis
mutualisme.Maksudnya bukan kritik sastra saja yang bergantung pada karya
sastra, tetapi karya sastra juga memerlukan inspirasi dari kritik sastra. Kritik sastra
yang inspiratif akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap perkembangan
karya sastra dan tidak mengerdilkan atau bahkan membunuhnya.


Contoh :
          Kritik berada pada dunia pemikiran, jadi sebuah kritik itu akan
berkembang walau orang hanya menilai suka dan tidak suka saja. Pada kritik atas
buku Atheis yang dilakukan H.B. Jassin, ini merupakan bentuk dari kritik
terhadap sebuah karya sastra.


b. Fungsi Kritik Sastra :
          Kritik sastra menurut Semi (dalam suwignyo, 2009:18), menunjukan ada 3
peranan atau fungsi kritik sastra sebagaimana disebutkan berikut ini :
1. Untuk pembinaan dan pengembangan sastra
          Fungsi utama kritik sasra adalah memlihara dan menyelamatkan, serta
mengembangkan pengalaman manusiawi yang termanifestasi dalam seni sastra.
Contohnya saja kritikus, Kritikus mendudukan sastra sebagai sruktur dunia
imajinatif yang bermakna. Melalui kritiknya, kritikus memberikan penilaian,
menunjukan segi-segi kekuatan dan kelemahan nilai-nilai tertentu yang terdapat
dalam suatu karya sastra. Kritikus juga dapat menunjukan dimensi lain yang
membangun suatu karya sastra agar lebih berkualitas.
2. Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni.
          Dari sisi ini, kritik sastra berfungsi membina tradisi kebudayaan,
memmberikan tempat berpijak, memberikan cita rasa yang benar, melatih
kesadaran, dan secara sadar pula mengarahkan pembaca kepada pembinaan
pengertian dan pembinaan apresiasi makna dan nilai-nilai kehidupan dalam karya
11



sastra. Sebagai contohnya, melalui kritiknya, kritikus menunjukan daerah-daerah
gelap yang terdapat dalam suatu karya sastra sehingga pembaca dapat menikmati
sastra secara lebih intensif dan lebih mendalam. Sasaran akhirnya adalah agar
pembaca meningkat daya apresiasinya.
3. Untuk menunjang ilmu sastra.
        Kritik sastra berguna untuk pembinaan dan teori sastra. Kritik sastra
merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa,
teknik penceritaan, dsb. Dengan demikian kritik sastra memberikan sumbangan
besar terhadap para ahli sastra dalam mengembangkan teori sastra. Tentu tidak
dipungkiri pula bahwa para ahli teori sastra memberikan sumbangan pula pada
kritik sastra. Melalui kritik sastra kritikus juga membuka daerah baru yang belum
dijelajahi oleh posisi pengarang. Dengan demikian, secara nyata kritik sastra
memberikan sumbangan pula dalam meningkatkan mutu karya sastrawan. Mereka
(para sastrawan) dapat belajar melalui kritik sastra untuk meningkatkan
kecakapannya, memperkuas horizon pandangan dan daerah garapan.           Dengan
begitu karya cipta pengarang dpat lebih berkembang, baik gaya, corak ataupun
mutunya. Hal tersebut pada gilirannya akan mengembangkan mutu kritik sastra.
        Sementara itu sumbangan kritik sastra terhadap sejarah sastra k dapat
dikesampingkan. Dalam menyusun sejarah sastra tentu tidak dapat diabaikan
usaha untuk memberikan ciri sastra dan penilaian karya sastra. Tidak semua karya
sastra dapat dimasukan ke dalam rangkaian perkembangan sastra bila tidak
menunjukan nilai sastra, sedangkan aktivitas penilaian merupakan aktivitas kritik
sastra. Oleh sebab itu, sejarah sastra memerlukan bantuan kritik sastra (periksa
Semi; 1985:25—26).
        Sebagai pembanding, fungsi kritik sastra dalam fersi yang lain sebagai
berikut :
1. Memberikan penilaian atas karya sastra tertentu berdasarkan teori dan sejarah
   sastra.
2. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau
   pengembangan teori sastra.
3. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunsejarah
   sastra.
12



4. Memberikanpetunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang
   baik dan tidak baik, yang asli dan tidak asli.
5. Memberikan sumbangan pendapat atau pertimbangan kepada pengarang
   tentang karyanya sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan
   dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya (Yudiono K.
   S., 1986:27)


Contoh :
          Kritik sastra akan menumbuhkan sikap yang kritis terhadap sebuah karya
sastra. Dengan kritik sastra tersebut, orang tidak hanya dapat menilai sebuah karya
itu baik dan jelek saja, namun ia dapat lebih mengetahui lebih mendasar tentang
persoalan yang ada di dalam karya sastra tersebut. Misalnya pada novel Sitti
Nurbaya, orang tidak akan menilai baik dan buruknya saja, namun dapat lebih
memahami persoalan yang terjadi pada karya sastra tersebut.


c. Fungsi kritik sastra yang bersifat instrumental dan noninstrumental.
 Fungsi kritik sastra yang bersifat instrumental :
1. Untuk pembinaan dan pengembangan sastra
          Fungsi utama kritik sastra adalah memelihara dan menyelamatkan, serta
mengembangkan pengalaman manusiawi yang berwujud sebagai karya seni yang
bernama sastra. Kemudian, menjadikannya sebagai suatu proses perkembangan
struktur yang bermakna. Melalui kritiknya, kritikus meberikan penilaian,
menujukan segi-segi kekuatan dan kelemahan yang terdapat dalam suatu karya,
serta memperlihatkan alternatif-alternatif lain yang membangun suatu karya
sastra.
2. Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni.
          Kritik sastra berfungsi pula untuk mmebina tradisi kebudayaan, membantu
kesadaran, dan secara sadar pula mengarahkan pembaca kepada pembinaan
pengertian tentang makna dan nilai-nilai kehidupan. Melalui kritiknya, kritikus
menunjukan daerah-daerah gelap yang terdapat dalam suatu karya sastra sehingga
pembaca dapat menikmati sastra secara lebih baik dan lebih bermakna, yang pada
13



akhirnya dapat meningkatkan apresiasi mereka mereka yang lebih tinggi daripada
sebelumnya.
3. Untuk menunjang ilmu sastra.
       Kritik sastra berguna untuk pembinaan dan teori sastra. Kritik sastra
merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa,
teknik penceritaan, dsb. Dengan demikian, kritik sastra memberikan sumbangan
besar terhadap paara ahli sastra dalam mengembangkan teori sastra. Melalui kritik
sastra kritikus juga membuka daerah baru yangbelum dijelajahi oleh pengarang.
Dengan demikian, secara nyata kriti sastra memberika sumbangan pula dalam
meningkatkan kecakapannya, memperluas horizon pandangan dan daerah
pandangan. Semetara itu, kritik sastra terhadap sejarah sastra tidak dapat
dikesampingkan. Dalam menyusun sejarah sastra tentu tidak dapat diabaikan
usaha untuk memberikan ciri sastra dan penilaian karya sastra. Tidak semua karya
sastra dapat dimasukkan ke dalam rangkaian perkembangan sastra bila tidak
menunjukan aktivitas kritik sastra.


 Fungsi kritik sastra yang bersifat noninstrumental.
1. Memberikan penilaian atas karya sastra tertentu berdasarkan teori dan sejarah
  sastra.
2. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau
  pengembangan teori sastra.
3. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunsejarah
  sastra.
4. Memberikanpetunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang
  baik dan tidak baik, yang asli dan tidak asli.
5. Memberikan sumbangan pendapat atau pertimbangan kepada pengarang
  tentang karyanya sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan
  dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya (Yudiono K.
  S., 1986:27)
14



                      LEMBAR KERJA MAHASISWA 3


TOPIK 11 : PARADIGMA KRITIK SASTRA
2.1 BENTUK KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual :
a. Menuliskan kembali landasan atau dasar yang digunakan untuk menetukan
  bentuk kritik sastra, dilengkapi dengan contoh.
b. Merumuskan dengan kalimat sendiri, bentuk kritik sastra Indonesia modern.
Jawaban :
a. Landasan atau dasar
       Paradigma kritik sastra adalah bentuk, jenis, dan koordinat kritik dalam
empat sumbu pemikiran terhadap karya sastra. Secara sederhana bentuk kritik
sastra dapat dibandingkan dengan bentuk sastra. Sastra selain dalam bentuk tulis
diwujudkan dalam bentuk lisan. Demikian juga kritik sastra, ia dapat berupa
pembicaraan    atau    tulisan   yang   membanding-bandingkan,        menganalisis,
menafsirkan, dan menilai karya sastra (Sudjiman, 1986:44). Nakritik mun,
meskipun kritik sastra dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis, kritik sastra
menuntut artikulasi, formulasi, dan argumentasi serta intuisi (Darma, 1990:8).
Segala pembicaraan mengenai sastra baik lisan maupun tertulis harus terdiri dari 4
komponen, yakni (i) data atau fakta, (ii) analisis, (iii) inference atau kesimpulan,
dan (iv) judgement atau penilaian.
       Dengan lebih kompleks kritik sastra dipandang sebagai suatu kajian
tersendiri yang tidak terbatas hanya kepada penghakiman, penilaian baik dan
buruk, tetapi juga memberikan enterpretasi dan menjelaskannya di dalam
alternatif-alternatif pemikiran berdasarkan suatu sistem dan teori tertentu (periksa
Esten, 1987:13). Mendasarkan diri pada pandangan ini, bahwa bentuk kritik sastra
yang paling sederhana ialah seperti yang dialami oleh pembaca (penikmat) sastra.
Kritikus membaca beberapa halaman dari sebuah karya sastra, kemudian
meletakkannya kembali di atas rak atau di atas meja untuk kemudian tidak
disentuhnya lagi.
       Karya-karya sastra yang dibicarakan berdasarkan norma-norma yang
sudah ada dan pada saat mengulas soal isi lebih banyak dibicarakan (aksentuasi)
15



masalah nilai-nilai susila, moral, serta nilai-nilai pendidikan yang terkandung di
dalam sastra tersebut. Bentuk kritik semacam ini memang lebih bersifat
instrumental sehingga suatu tinjauan yang bertolak dari hakikat karya sastra
jarang dilakukan .
        Dasar penilaian suatu karya sastra tidak semata-mata senang atau tidak
senang atau like and dislike, akan tetapi lebih merupakan upaya untuk
memperoleh pemahaman yang utuh terhadap sebuah cipta sastra. Kritik sastra
yang demikian dilakukan secara sistematis, analisis, dan bertolak dari kerangka
teori tertentu serta diungkapkan secara tertulis.
        Bentuk kritik sastra lahir akibat reaksi atau adanya tanggapan dari
pembaca atau penikmat terhadap karya sastra. Bentuk reaksi tersebut dapat lisan
atau tertulis. Macam-macam bentuk kritik sastra dapat dilihat dari gradasi atau
tingkatannya terhadap karya sastra tertentu tanpa dasar atau kriteria, atau pada
tingkatan reaksi (tanggapan) dalam bentuk studi, penelitian, telaah, bahasan atau
pengkajian suatu karya sastra dengan landasan teori, pendekatan, dan metodologi
tertentu.


Contoh :
        Sebuah kritik sastra terbentuk karena adanya penilaian terhadap karya
sastra. Landasan yang dipakai adalah teori dan acuan tertentu. Misalnya jika kita
ingin mengkritik sebuah novel,maka kita harus tahu teori yang cocok untuk
menganalisis karya tersebut, selain itu, kita juga perlu adanya kritik dari para ahli
yang kita pakai sebagai acuannya.
b. Bentuk kritik sastra Indonesia modern
        Bentuk sastra Indonesia tergantung dari aliran-aliran sastra seperti yang
terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Bentuk kritik sastra yaitu kritik sastra
akademik, kritik sastra kreatif, kritik sastra jurnalistik.
16



                        LEMBAR KERJA MAHASISWA 4


2.2 JENIS KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual
a. Menuliskan kembali 25 jenis kritik sastra, dengan penjelasan seperlunya.
b. Menuliskan kembali dasar penjenisan kritik sastra, dilengkapi dengan contoh.
c. Menuliskan dengan kalimat sendiri jenis kritik judisial, kritik induktif, dan
   kritik impresionistik ditinjau dari objek kritik, teknik mengkritik, dan tujuan
   kritiknya.
d. Menuliskan kembali ciri-ciri kritik (a) formalistik, (b) psikologis, dan (c)
   sosiologis ditinjau dari (i) asumsinya, (ii) objek kritik, (iii) teknik kritik, dan
   (iv) tujuan kritiknya.
e. Memberikan contoh judul hasil kritik sastra Indonesia Modern (i) kritik
   historis-biografis, (ii) kritik moral-filosofis, (iii) kritik sosiologis, dan (iv) kritik
   psikologis masing-masing 3 buah!
Jawaban :
a. 25 jenis kritik sastra
        Jenis kritik sastra memiliki cakupan arti yang lebih luas daripada bentuk
kritik sastra. Guntur Tarigan mencoba mengidentifikasi 25 jenis kritik sastra yang
dirangkum dari 5 sumber, yakni: (1) kritik induktif, (2) kritik judisial, (3)
impresionistik, (4) kritik historis, (5) kritik filosofis, (6) kritik formalis, (7) kritik
sosiokultural, (8) kritik psikologis, (9) kritik mitopoeik, (10) kritik relativistik,
(11) kritik absolutistik, (12) kritik interpretatif, (13) kritik tekstual, (14) kritik
linguistik, (15) kritik biografis, (16) kritik komparatif, (17) kritik etis, (18) kritik
perspektif, (19) kritik pragmatik, (20) kritik elusidatori, (21) kritik praktis, (22)
kritik baru, (23) kritik teoretis, (24) kritik internal, (25) kritik eksternal (Tarigan,
1986:204)


(1) Kritik induktif
        Kritik induktif adalah sejenis kritik yang bertujuan mengumpulkan fakta-
fakta yang ada hubungan atau referensinya dengan sesuatu karya seni, metode-
metodenya, hubungannya dengan waktu penciptaannya, serta menyusunnya
17



menjadi suatu urutan dan susunan yang rapi, dan akhirnya melukiskannya dengan
teratur. Hal ini sesuai dengan metode induksi dalam ilmu pengetahuan yang
mengambil kesimpulan umum dari fakta-fakta yang khusus. (Albert [et al], 1961 :
123) ; jadi kebalikan dari metode deduksi.


(2) Kritik judisial
       Kritik judisial adalah suatu kritik yang berusaha mengemukakan penilaian
atau penghakiman terhadap sesuatu karya sastra, serta menghubungkannya dengan
norma-norma teknik penulisan ataupun standar-standar tujuan penulisan karya
tersebut. (Coulter, 1930: 336). Perlu ditegaskan lagi bahwa norma-norma
penilaian, baik secara implicit maupun secara eksplisit tetap akan terdapat dalam
segala tipe kritik sastra, betapa pun impersonalnya kritik tersebut.
       Dalam kritik judisial ini “pengertian yang jelas dan tuntas mengenai suatu
karya sastra seringkali sangat dibatasi dan dipersempit” (Shipley, 1962: 88). Hal
ini sebenarnya tidak perlu kita herankan. Dalam zaman spesialisasi seperti yang
kita alami kini, orang hanya memilih obyek yang sempit, terbatas, tetapi
diusahakan keterangan serta penjelasan seluas mungkin.
       Selanjutnya Rene Wellek dan Austin Warren menegaskan bahwa “kritik
yudisial menaruh perhatian pada hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang
dianggap sebagai sesuatu yang obyektif. Yang dituntut dari kritik judisial adalah
suatu pengklasifikasian yang begitu terperinci dan tajam terhadap para pengarang
dan karyanya sesuai dengan kutipan dari yang berwenang atau menaruh perhatian
pada sejumlah dogma teori sastra”. (1956: 250).


(3) Kritik Impresionistik
       Kritik Impresionistik adalah sejenis kritik yang muncul sebagai produksi
dari aliran individualisme romantik dan juga dari kesadaran akan diri yang lebih
modern. Kritik impresionistik menghubungkan pengalaman-pengalaman sang
penulis dengan hasil karyanya (Coulter, 1930: 336).
       Kritik impresionistik ini dapat bertindak sebagai penghubung antara para
pembaca yang belum berpengalaman dengan sejumlah karya sastra. Sang kritikus
dalam hal ini dapat bertindak sebagai pembimbing dan penghubung; lebih-lebih
18



lagi kalau kritikus impresionistik ini sangat sensitive terhadap efek-efek sastra,
dan kalau karyanya tersebar luas dibaca oleh masyarakat; apalagi kalau dia
memang seorang penulis kritik yang pintar dan berpengalaman serta mempunyai
gaya yang dapat memikat hati para pembaca. Dengan demikian dia dapat
memperkaya pengalaman para pembaca, terutama pengalaman imajinatif.


(4) Kritik historis
       Secara singkat dapat dikatakan bahwa kritik historis dapat mengikuti
segala sesuatu yang terjadi atas suatu bentuk sastra, ataupun mengadakan survey
terhadap kegiatan sastra pada suatu periode sejarah tertentu, ataupun
menempatkan seorang pengarang dalam kelompoknya serta menunjukkan
hubungannya dengan kelompok tersebut.
       Yang menjadi doktrin utama kritik historis ini adalah tempelakan atau
tuduhan bahwa karya sastra takkan dapat didekati dengan selengkap-lengkapnya,
seperti halnya karya itu sendiri telah lengkap dalam dirinya sendiri. Oleh karena
itu setiap karya sastra haruslah diteliti dan ditelaah dengan bantuan atau acuan
dari keterangan-keterangan yang ada sangkut-pautnya dengan karya tersebut.


(5) Kritik filosofis
       Kritik filosofis adalah sejenis kritik yang berusaha sekuat tenaga untuk
mendapatkan suatu dasar yang paling sesuai bagi penilaian karya sastra melalui
analisis terhadap hakekat dan fungsi sastra sebagai suatu falsafah hidup atau
sebagai suatu cara berfikir mengenai kehidupan.
       Kritik filosofis berusaha menentukan prinsip-prinsip pokok yang dapat
dipergunakan dalam kritik sastra. Kita sama maklum bahwa prinsip-prinsip dasar
ini sangat perlu. Falsafah kritik sastra yang kita anut harus tegas, seperti juga
halnya falsafah hidup yang kita anut harus tegas. Kalau tidak, maka kita tidak
mempunyai dasar yang kuat, mudah diombang-ambingkan.


(6) Kritik formalis
       Baik lawan maupun kawan mengakui bahwa kritik formalis ini
mempunyai pengaruh yang amat besar dan merupakan gerakan kritik yang amat
19



bersemangat dalam abad ke 20 ini baik di Inggris maupun Amerika Serikat. Pada
dasarnya kritik formalis ini berasal dari Aristoteles dan para pengikutnya, dalam
arti bahwa teori dasar estetikanya meletakkan tekanan pada bentuk karya sastra,
strukturnya, gayanya, dan efek psikologisnya, yang biasanya dipertentangkan
dengan Plato yang justru meletakkan tekanan pada isi karya dan pada efek moral
atau pada efek sosialnya.


(7) Kritik sosiokultural
       Menurut Edmund Wilson, kritik sosiokultural adalah interpretasi sastra
dalam aspek-aspek social ekonomi dan politisnya. Yang merupakan pusat
perhatian pokok pada kritik ini adalah interaksi karya sastra dengan kehidupan;
dan interaksi ini tidak hanya mencakup implikasi-implikasi moral dan kulturalnya.
(Grebstein; 1967: 161).
       Kritik sosiokultural ini sebenarnya banyak sekali mendapat pengaruh dari
Matthew Arnold, lebih-lebih dalam hal penekanannya pada aspek-aspek moral,
intelektual, dan aspek social sastra dan kritik sastra. Dan penganut Matthew
Arnold bukan hanya terbatas pada kritik sosiokultural saja, tetapi juga pada semua
jenis kritik. Matthew Arnold member definisi kritik sebagai “suatu upaya bebas
untuk mempelajari serta mempropagandakan segala sesuatu yang terbaik yang
telah diketahui dan dipikirkan di dunia ini” atau “a disinterested endeavor to learn
and propagate the best is known thought in world”. (Grebstein; 1967: 164).


(8) Kritik psikologis
       Kritik psikologis adalah salah satu jenis kritik sastra yang mendalami segi-
segi kejiwaan suatu karya sastra, yang mencakup segi-segi kejiwaan penulis,
karya, dan pembaca. Kita tahu bahwa hubungan antara psikologi dan kritik sastra
adalah sama tuanya dengan usia kedua cabang ilmu tersebut. Dan yang paling
berpengaruh    terhadap     kritik   sastra   adalah   Sigmund     Freud     dengan
psikoanalisisnya.
       Dalam menggarap masalah penulis, kritikus psikologis ini mempunyai
banyak persamaan dengan kritikus historis, yaitu dalam hal mereka mengambil
alih secara langsung ataupun menyesuaikan dengan kepentingannya sendiri
20



metode psikoanalisis, baik dalam mengadakan studi terhadap orang di belakang
karya itu; atau dengan kata lain: karya sebagai suatu refleksi dan proyeksi dari
penulisnya dan dalam mengadakan studi terhadap proses kreatif itu sendiri.
        Dalam menggarap karya itu sendiri, kritikus psikologis lebih erat
berhubungan dengan prosedur-prosedur yang dipergunakan oleh kritikus formalis.
Seperti juga halnya kritikus psikologis dalam studinya mengenai proses kreatif
berusaha mendemonstrasikan bagaimana pribadi penulis menjadi berguna dan
menarik bagi masyarakat ramai, maka begitu dia ingin menelami rahasia daya
tarik karya tersebut pada pembaca perseorangan.


(9) Kritik mitopoeik
        Kata mythopoeic berasal dari bahasa Greek mythopoios yang berarti
“makinh myths” atau “pembuatan mite”. Dengan demikian kritik mitopoeik
adalah sejenis kritik yang ada sangkut-pautnya dengan penciptaan mitos dalam
suatu karya sastra. “Mitos adalah cerita-cerita kuno yang isinya dianggap bertuah
dan dipercayai orang; biasanya menceritakan tentang terjadinya bumi, langit,
manusia, hewan, dewa-dewa dan lain-lain, dan juga tentang berbagai upacara.
Dari mitos inilah manusia bisa ketahui hakekat dari hal-hal tersebut dan dapatlah
dia menetukan sikapnya terhadap gejala-gejala itu”. (Ensiklopedia Indonesia FM:
967).
        Kritik mitopoeik ini adalah kritik yang paling baru dan yang paling
ambisius diantara pendekatan-pendekatan kritik kontemporer dan barangkali juga
yang    paling     provokatif   dalam   tindakan-tindakan    dan    kemungkinan-
kemungkinannya.




(10) Kritik relativistik
        Relativisme adalah suatu ajaran atau doktrin dalam estetika dan kritik yang
mengatakan bahwa keindahan atau nilai estetika suatu karya seni merupakan suatu
“rational property” atau “milik rasional”. Relativisme berpendapat bahwa
pernyataan-pernyataan seperti “pusi ini indah” mengandung suatu referensi
21



implicit pada beberapa orang pendengar sebab sebenarnya artinya yang
sesungguhnya adalah “puisi ini indah bagi si X”, dimana X merupakan orang
tertentu. Demikianlah relativisme yakin benar-benar bahwa nilai estetika tidaklah
inheren atau berhubungan erat dengan karya, tetapi bergantung pada keyakinan
atau pendirian seseorang individu, kelompok social, periode sejarah, atau
kebudayaan. (Shipley, 1962: 338). Dalam kritik sastra yang menjadi argument
kritik relativistic ini adalah bahwa “kritik haruslah memancar dari kepercayaan
atau keyakinan pribadi”.


(11) Kritik absolutistik
        Kritik ini berpendapat bahwa satu-satunya alternatif bagi hokum kritik
adalah anarki; bahwa kalau setiap kritikus menghakimi atau mengadakan
penilaian dan pertimbangan bagi dirinya sendiri, maka mau tak mau muncullah
khaos atau kebingungan. Pengalaman membuktikan bahwa keadaan atau posisi
yang begini salah sama sekali.
        Walaupun setiap kritikus harus menghakimi secara perseorangan, namun
individu-individu kemanusiaan pada umumnya cukup jumlahnya sehingga
komunikasi itu biasanya mungkin saja diadakan, dan demikian juga cukup
persetujuan yang berkembang untuk membuktikan kebenaran critical enterprise
atau upaya kritis itu. (Shipley, 1962: 87).


(12) Kritik interpretatif
        Untuk menghilangkan keragu-raguan serta kesalahpahaman mengenai
semua itu, maka yang khusus dimaksud dengan kritik interpretatif di sini adalah
“Bidang kritik yang memberikan kesempatan untuk memperkenalkan standar-
standar yang secara relatif tidak ada hubungannya dengan orang atau hal tertentu.
Puisi atau drama misalnya ada sebagai suatu dokumen yang actual. Aksi-aksi serta
urutan-urutan dari sejarah masa lalu tidaklah akan berubah atau menjadi berbeda
dengan danya atau munculnya aneka keinginan yang mendesak dari pribadi
tertentu. Dalam menentukan dan menegakkan fakta-fakta yang turut memperjelas
suatu karya seni, maka para ahli atau sarjana sejarah dapat bertindak sebagai
kritikus sastra.” (Shipley, 1962: 87).
22




(13) Kritik tekstual
        Textual criticism atau kritik naskah ini adalah sejenis kritik yang
memusatkan perhatiannya terutama sekali pada teks atau naskah sesuatu karya
sastra. Kritik ini berusaha sekuat daya untuk membawa para pembaca lebih dekat
kepada apa yang sebenarnya telah ditulis secara aktual.


(14) Kritik linguistik
        Kritik linguistik dalam sastra menitikberatkan perhatian kepada masalah-
masalah kebahasaan dalam karya sastra tersebut. Kritik linguistik dapat
menghindarkan kita dari salah pengertian, baik dalam bidang fonologi, morfologi,
sintaksis, maupun dalam bidang semantik.
        Kita tahu bahwa bahasa tetap mengalami perkembangan: dan dalam proses
perkembangan itu banyak terjadi perubahan. Hal ini akan Nampak jelas dalam
karya sastra yang ditulis dalam kurun waktu yang berlainan.


(15) Kritik biografis
        Kritik biografis ini sebenarnya dekat sekali hubungannya dengan kritik
historis: hanya bidangnya lebih sempit dan terarah khususpada biografi atai
riwayat hidup pengarang beserta karyanya.
        Tugas pokok kritik biografis ini adalah “mementukan hubungan yang
signifikan antara pengarang dengan karyanya, menentukan genesis atau asal-usul,
kekuatan yang mendorong, ataupun tujuan yang kongkrit dari suatu karya sastra”
(Shipley, 1962: 87).


(16) Kritik komparatif
        Memang banyak hal dalam kritik komparatif ini yang segar dan menarik
serta member harapan; kritik ini memperoleh polanya bukan dari kejadian-
kejadian yang berhubungan dengan waktu, tetapi justru dari pengelompokan-
pengelompokan jenis yang berguna serta gagasan-gagasan atau ide-ide yang
berpengaruh. Akan tetapi jelas bahwa kritik yang seperti ini membutuhkan suatu
kaidah yang tegas, yakni: hal-hal yang dapat diperbandingkan sajalah yang akan
23



digarap. Hal ini diterapkan pada nada, tujuan, dan cara; bahkan penerapan pada
ketiga hal tersebut lebih daripada terhadap pokok masalah (subject-matter)-nya
sendiri.


(17) Kritik etis
           Seringkali terjadi bahwa kritik yudisial beralih menjadi kritik etis. Kita
tidak usah heran mengenai peralihan tersebut, selama kebanyakan dari karya
sastra itu mengandung unsur-unsur moral. Hanya ada bahayanya, yaitu bila
norma-norma tersebut berubah pula menjadi unsur-unsur tambahan saja. Bila
seprang kritikus moral bertindak secara ideal sebagai seorang kritikus sastra, maka
dia akan menerapkan norma-norma moral yang lainnya yang terdapat di luar
karya itu tidak turut dia terapkan. Dalam tindakan selanjutnya maka dia akan
menerapkan norma-norma yang sesuai serta yang simpatik saja.


(18) Kritik perspektif
           Kritik perspektif ini erat berhubungan dengan kritik biografis. Sebenarnya
kritik perspektif ini merupakan suatu studi terhadap reputasi sang pengarang;
dengan kata lain, dapat dianggap sebagai suatu jenis biografi kesastraan yang
mencakup masalah interpretasi dan evaluasi terhadap pengarang beserta karyanya
seperti yang tercermin dalam kalbu dan hati para pembacanya, baik secara
kontemporer maupun setelah meninggalnya sang pengarang.




(19) Kritik pragmatik
           Kritik pragmatik dalam sastra merupakan sejenis kritik yang mengarahkan
perhatian pada kebergunaan ide-ide, ucapan-ucapan, dalil-dalil, atau teori-teori
yang terdapat dalam suatu hasil sastra, pada masyarakat. Reputasi seorang
pengarang ditentukan oleh keberhasilan, kebergunaan karya sastra ciptaannya bagi
masyarakat.
           Betapapun indahnya suatu karya sastra, betapapun muluknya teori yang
terkandung di dalamnya, apapun temnnya, tetapi kalau ternyata tiada kegunaannya
24



bagi masyarakat dalam praktek kehidupan, maka karya tersebut tetap tidak
berhasil bagi kaum pragmatis.


(20) Kritik elusidatori
       Kritik elusidatori atau kritik penjelasan adalah sejenis kritik sastra yang
sifatnya memberikan penjelasan. Memang sebenarnya semua jenis kritik sastra
bersifat menjelaskan, hanya pengarahan yang agak berbeda. Walaupun antara
kritik penjelasan dan kritik penghakiman terdapat banyak persesuaian, namun
menurut Rene Wellek dan Austin Warren “terkadang pembedaan yang dibuat
antara kritik elusidatori dan kritik yudisial itu hanya sebagai tipe-tipe kritik
alternative saja.” (Wellek & Warren; 1956: 250).


(21) Kritik praktis
       Yang dimaksud dengan kritik praktis atau practical critiscism di sini
adalah sebagi lawan dari kritik teoretis yang lebih cenderung kea rah ilmiah. Jadi
yang menjadi tugas atau tujuan sang kritikus adalah mentukan atau menilai
apakah suatu karya sastra itu bernilai praktis bagi masyarakat atau tidak.
       Sebenarnya kritik praktis ini pada sama saja dengan kritik pragmatik,
sebab segala yang berguna bagi kehidupan masyarakat tentu mempunyai nilai
praktis, tentu bersifat pragmatis. Tujuan sama walaupun nama berbeda.




(22) Kritik baru
       “Barang kali yang paling penting salam kritik modern di Amerika adalah
hasil penyelidikan atau telaah ilmiah bagi suatu cara yang lebih ketat dalam
memberi batasan terhadap nilai-nilai khusus suatu karya seni sastra. Salah satu
dari gerakan yang memperlancar kegiatan ini adalah reaksi                    terhadap
romantikisme, terhadap pandangan romantik yang menyatakan bahwa fungsi
suatu karya seni adalah untuk mengekspresikan pribadi sang pengarang dan fungsi
kritikus adalah untuk mencatat atau merekam response emosinya sendiri terhadap
keberhasilan sang pengarang. Klasikisme yang baru ini melihat karya sastra itu
25



sebagai yang dibedakan oleh kepersisan imajeri dan oleh urutan penyusunan”,
kata David Daiches dalam salah satu tulisannya (VOA: 1).
        Dan menurut Joseph T. Shipley “kecenderungannya yang pertama adalah
memanfaatkan sarana-sarana ilmiah, epigraf, dan statistik” (Shipley, 1962: 84)
yang     sebelumnya     hampir-hampir     tidak   diperhatikan    orang.    Mereka
memperhatikan frekuensi simbol-simbol fonetik, frekuensi nada dan pola-pola
pikiran, frekuensi kata tugas, serta semua ini disertai dengan table-tabel yang
lengkap.


(23) Kritik teoretis
        Kritik sastra teoritis adalah bidang kritik sastra yang berusaha (bekerja)
untuk menetapkan, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah yang tali-
temali, pembedaan-pembedaan, dan kategori-kategori untuk diterapkan pada
pertimbangan dan interpretasi karya-karya sastra ataupun penerapan “kriteria”
(standar-standar, atau norma-norma) yang dengan hal-hal tersebut karya-karya
sastra dan para pengarangnya dinilai.(Pradopo, 1994: 191)


(24) kritik internal
        Pada dasarnya, internal adalah sesuatu yang berada di dalam sesuatu.
Internal dalam arti ini adalah segala sesuatu yang berada di dalam sebuah karya
sastra. Kritik internal adalah kritik yang mengkritik karya sastra di dalam karya
sastra itu.


(25) kritik eksternal
        Pada dasarnya eksternal adalah sesuatu yang berada di luar sesuatu.
Eksternal dalam arti ini adalah segala sesuatu yang berada di luar sebuah karya
sastra. Kritik eksternal adalah kritik yang mengkritik katya sastra di luar karya
sastra itu.


b. Dasar Penjenisan Kritik Sastra
        Jenis kritik sastra memiliki cakupan arti yang lebih luas daripada bentuk
kritik sastra. Penjenisan itu didasarkan atas (1) pendekatan terhadap aspek tertentu
26



dari karya sastra, (2) bentuknya, dan (3) tujuannya. Dasar penjenisan seperti inilah
yang mengakibatkan jenis-jenis kritik sastra semakin rumit. Untuk itu
inventarisasi dari sejumlah sumber agaknya dapat dimanfaatkan.
       Dalam buku A Handbook of Critical Approaches to Literature dibedakan
4 pendekatan terhadap aspek tertentu terhadap karya sastra sehingga
menghasilkan 4 jenis kritik sastra, yakni:
1. Pendekatan Tradisional
       Pendekatan Tradisional ditandai dengan kritik yang mengutamakan
pembicaraan pada aspek-aspek historis-biografis (kesejarahan-riwayat hidup)
serta moral-filosofis.
Contoh kritik dari aspek historis-biografis
   Novel Surabaya karya Idrus
   Senja Di Jakarta karangan Mochtar Lubis
Contoh kritik dari aspek moral-filosofis
   Dibawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka
   Harimau-Hariamau karya Mochtar Lubis
2. Pendekatan Formalistik
       Pendekatan Formalistik ditandai dengan praktik kritik sastra yang
mengutamakan analisisnya pada bentuk dan struktur karya sastra.
Contoh: Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bacri
         Puisi-puisi Chairil Anwar

3. Pendekatan Psikologis
       Pendekatan Psikologis merupakan usaha mengaplikasikan teori-teori
kejiwaan dalam pembicaraan karya sastra.
Contoh: Perwatakan serba aneh dalam kumpulan Cerpen Budi darma Orang-
orang Blamington
4. Pendekatan Sosiologis
       Pendekatan Sosiologis dalam kritik karya sastra memusatkan perhatian
pada aspek-aspek sosiologis sastra, atau membicarakan hubungan timbal balik
antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Contoh: cerpen Topeng Kehidupan
27



        Berdasarkan bentuknya, kritik sastra dipisahkan atas kritik relatif dan
kritik absolut (bandingkan dengan bentuk kritik sastra akademik, kritik kreatif,
dan kritik jurnalistik). Kritik relatif diartikan sebagai bentuk kritik yang
mempunyai aturan-aturan yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam upaya
menguraikan atau menjelaskan tentang hakikat karya sastra. Contoh: kritik
tentang puisi Chairil Anwar dengan mengungkapkan aturan-aturan mengenai puisi
yang baik, seperti, pemilihan diksi, gaya penceritaan, dan lain-lain. Sedangkan
kritik absolut merupakan kritik sastra yang tidak percaya akan adanya suatu
prosedur dan perangkat aturan yang dapat diandalkan untuk dijadikan patokan
dalam melakukan kritik (periksa Semi, 1985: 13). Contoh: kritik sastra yang
ditulis olen Sutan Takdir Alisyahbana.
        Selanjutnya, berdasarkan tujuannya kritik sastra dibedakan menjadi 3
jenis, yaitu:
(1) kritik judicial (judicial criticism)
        Kritik Judisial adalah kritik sastra yang bertujuan memberikan penilaian
atau penghakiman terhadap karya sastra dengan mendasarkan diri pada standar,
norma atau ukuran teknik penulisan atau tujuan penulisan tertentu yang ditetapkan
lebih dahulu.
Contoh: karya sastra yang baik harus menunjukkan kerumitan, ketegangan, dan
keluasaan (intricacy, tension, width), karya sastra yang baik harus menunjukkan
sesutu yang baru, sesuatu yang aneh (making it new, making it strange), sastra
yang baik harus memiliki satu kesatuan, dan keruwetan (unity and complexity).
(2) kritik induktif (inductive criticism)
        Kritik induktif adalah kritik sastra yang bertujuan mengkaji nilai karya
sastra semata.
Contoh: bagaimana karya sastra itu disusun kemudian menyusun patokan atau
pola bahwa karya sastra yang dikaji itu telah disusun dengan metode atau teknik
tertentu atau telah disusun menurut mekanisme tertentu.
(3) kritik impresionistik (impresionistic criticism).
        Kritik Impresionistik adalah kritik sastra yang bertujuan menunjukkan
kualitas suatu karya dan mengungkapkan respon atau impresi atau kesan kritikus
yang muncul secara langsung.
28



Contoh: setelah membaca novel laskar pelangi, kritikus langsung memberikan
kesan bahwa kualitas novel tersebut baik.



c. Jenis kritik judisial, kritik induktif, dan kritik impresionistik ditinjau dari
  objek kritik, teknik mengkritik, dan tujuan kritiknya


1. Kritik judisial (Abrams, 1981: 36) adalah kritik sastra yang berusaha
  menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya,
  organisasi, teknik, dan gayanya, dan mendasarkan pertimbangan-pertimbangan
  individual kritikus atas dasar standard-standard umum tentang kehebatan atau
  keluar biasaan sastra.
       Kritik Judisial ini menggunakan ukuran-ukuran atau prinsip-prinsip yang
       dianggap objektif sehingga sering disebut kritik objektif.
       Teknik mengkritik diukur dari penilaian, misalnya karya sastra yang baik
       harus   menunjukkan kerumitan, ketegangan, dan kekuasaan (intricacy,
       tension, widht), karya sastra yang baik harus menunjukkan sesuatu yang
       baru sesuatu yang aneh (making it new, making it stronge), sastra yang
       baik harus memiliki kesatuan dan keruwetan (unity and complexite).
       Tujuan kritik judisial untuk memberikan penilaian atau penghakiman
       terhdap karya sastra dengan mendasarkan diri pada standar, norma atau
       ukuran teknik penulisan atau tujuan penulisan tertentu yang ditetapkan
       lebih dahulu.


2. Kritik induktif (Hudson, 1955: 270-1) adalah kritik sastra yang menguraikan
  bagian-bagian karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara
  objektif. Kritik induktif meneliti gejala-gejala alam secara objektif, tanpa
  menggunakan standar-standar yang tetap yang berasal dari luar dirinya.
       Objek kritik induktif tidak menggunakan ukuran atau standar penilaian
       tertentu karena kritik jenis ini memang tidak bermaksud memberikan
       penghakiman atau penilaian terhadap karya sastra yang dikaji.
       Kritik induktif dalam karya kerjanya mencontoh metode induksi dalam
       ilmu pengetahuan, yakni dengan mengambil kesimpulan dari bukti atau
29



        fakta-fakta khusus. Kritik induktif disebut juga kritik subjektif (Suwignyo,
        2010:28).
        Kritik induktif adalah kritik sastra yang bertujuan mengkaji nilai karya
        sastra semata.



3. Kritik immpressionik (Abrams, 1981: 360 adalah kritik sastra yang berusaha
   menggambarkan dengan kata-kata sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian
   khusus atau dalam sebuah karya sastra dan menyatakan tanggapan-tanggapan
   (impressi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra.
        Objek kritik Impresionistik menghubungkan pengalaman sastrawan
        dengan hasil karyanya.
        Teknik kritik impresionistik, Tarigan (1986:204-205) menyatakan bahwa
        hasil kritik impresionistik dapat menjadi penghubung antara para pembaca
        yang belum atau kurang berpengalaman dengan sejumlah karya sastra.
        Kritikus dalam hal ini dapat bertindak sebagai pembimbing dan
        penghubung, lebih-lebih lagi kalau kritikus impresionistik ini sangat
        sensitif (peka) terhadap efek-efek sastra. Dengan demikian ia dapat
        memperkaya pengalaman pembaca, terutama pengalaman imajinatif.
        Kritik Impresionistik bertujuan menunjukkan kualitas suatu karya dan
        mengungkapkan respon atau impresi atau kesan kritikus yang muncul
        secara langsung.



d. Ciri-ciri kritik (a) formalistik, (b) psikologis, dan (c) sosiologis ditinjau
   dari (i) asumsinya, (ii) objek kritik, (iii) teknik kritik, dan (iv) tujuan
   kritiknya
(a) Kritik formalistik
Ciri-ciri:
1. Asumsi kritik ini didasrkan kepada gagasan bahwa bentuk (form) merupakan
   sesuatu yang penting bagi pemahaman yang sebenarnya.
30



2. Bagi Jacobson prinsip-prinsip konstruksi (yang bersifat membangun) atau alat-
   alat sastra yang membuat sebuah teks menjadi karya seni, merupakan objek
   yang tepat untuk dikaji oleh kritikus sastra formalis.
3. Teknik menggunakan elemen-elemen atau faktor-faktor dari alat sastra ini
   dapat diabtraksikan dari teks sastra dan kemudian dapat ditelaah secara terpisah
   dari teks dan konteksnya.
4. Tujuan dari kritik formalistik adalah kajian terhadap sastra agar mencapai taraf
   ilmiah (scientific).


(b) Kritik psikologis
Ciri-ciri:
1. Asumsi: psikologis diperlukan suatu maksud-maksud pemahaman mengenai
   tipe-tipe perwatakan dan hukum kausalitas Plato.
2. Teknik, kritikus mempelajari karya sastra tertentu, kritikus mulai mengkaji
   dokumen-dokumen pribadi, riwayat hidup serta segala pendapat dan pikiran
   pengarang lewat tulisan-tulisannya yang bersifat nonliterer.
3. Tujuan: menyelami dan menjelaskan daya tarik suatu karya terhadap pembaca
   perorangan (Tarigan,1986:14).


(c) Kritik sosiologis
Ciri-ciri:
1. Asumsi yang harus dipegang sebagai pangkal tolak kritik sastra aliran sosiologi
   ialah bahwa karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan social.
2. Objek kritik sosiologi, adalah hasil daya khayal atau imajinasi.
3. Teknik kritik sosiologi: dengan mengkaji dan membeberkan bahwa sesuatu
   yang ditulis pengarang ditentukan masyarakat, cara penulisannya, dan tarjet
   pembaca karya sastra, serta maksud dan tujuan penciptaan karya sastra.
4. Kritik ini bertujuan:
 o untuk mengaitkan hubungan antara pengarang sebagai individu atau tipe
     dikaitkan dengan keadaan yang khas dari era kultural tempat pengarang atau
     itu hidup dan menulis dan
31



 o untuk menghubungkan antara karya sastra dengan masyarakat yang
    digambarkannya atau yang dituju.


e. Contoh judul hasil kritik sastra Indonesia Modern (i) kritik historis-
   biografis, (ii) kritik moral-filosofis, (iii) kritik sosiologis, dan (iv) kritik
   psikologis masing-masing 3 buah
(i) kritik historis-biografis
    Pada Titik Kulminasi karangan Styagraha Hoerip Supraba
    Dari sosialisme religius ke eksistensialisme filosofis oleh Subijantoro
    Chairil Anwar : sebuah pertemuan oleh Arif Budiman


(ii) kritik moral-filosofis
    Roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka
    Laut belum pasangnya Abdul Hadi
    Sang kritikus dalam Sajak-Sajak Darmanto Yatman
(iii) kritik sosiologis
    Cerpen sehelai Pakaian Hitam
    Alam, puisi, dan Tuhan dalam sapuan rasa khairan di Horizon
    Sebuah oleh-oleh Taufiq Ismail oleh Subijantoro


(iv) kritik psikologis
    Sebuah buku Merah dan Karbol
    Kritik-kritik Subagio Sastro Wardoyo tentang sajak-sajak Chairil Anwar
    Novel-novel Mochtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung dari sudutu ilmu jiwa
    dalam Freud




                          LEMBAR KERJA MAHASISWA 5


2.3 KOORDINAT KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual:
32



a. Menuliskan kembali aspek referensial atau acuan karya sastra sebagai imitasi
   dari realitas kehidupan untuk memahami karya sastra (pendekatan mimetik)
b. Menuliskan kembali unsur pembangun karya sastra sebagai struktur intrinsik
   yang berdiri sendiri untuk memahami karya sastra (pendekatan objektif)
c. Menuliskan kembali peranan penulis karya sastra sebagai pencipta untuk
   memahami karya sastra (pendekatan ekspresif)
d. Menuliskan kembali peranan pembaca sebagi pemberi makna untuk memahami
   karya sastra (pendekatan reseptif/pragmatik)
Jawaban:
a. Pendekatan mimetik
       Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis, terjemahannya dalam
baha sa Inggris berbeda-beda: imitation, representation, artinya peneladanan,
peniruan atau pembayangan. Konsep tersebut pada mulanya dikemukakan oleh
Plato, kemudian diungkapkan pula oleh Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni
hanyalah tiruan alam (imitasi) yang nilainya jauh lebih rendah daripada kenyataan
serta ide. Secara lebih lengkap jalan pikiran Plato sbb.: dalam kenyataan yang
dapat kita amati setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap
benda mencerminkan ide yang asli (gambar induk); terdapat aneka bentuk ranjang
dan meja, tetapi itu semua berasal dari idea tau gambar induk mengenai sebuah
ranjang dan sebuah meja.
       Akhirnya, dapat dikemukakan bahwa meskipun ada banyaka teori
mimetis, tetapi persoalan utama sebenarnya mempersoalkan hubungan antara
sastra dan kenyataan antara gambar dan apa yang digambarkan. Tolok ukur
estetik pertama ialah sejauh mana gambar itu (sastra) sesuai dengan kenyataan.
Apakah kenyataan itu merupakan dunia ide, dunia yang universal, atau dunia
khas, itu tidak begitu penting.


b. Pendekatan objektif
       Di sekitar tahun 1920 minat dan tekanan secara berangsur-angsur bergeser
kea rah karya sastra sebagai struktur yang otonom, yang harus kita pahami secara
intrinsic, lepas dari latar belakang sejarahnya, lepas pula dari diri dan niat penulis
(the intentional fallacy, Wimsatt and Beardsley, 1946), lepas dari latar belakang
33



sosial dan efeknya pada pembaca (the effective fallacy), Wimsatt and Beardsley,
1949). Pendekatan ini secara singkat dapat dikatakan gerakan otonomi karya
sastra (Maatje, 1970: bab 2) dapat kita liat berkembang di mana-mana, sudah
barang tentu dengan sgala variasinya serta perbedaan penekanan: formalis Rusia
(1915-1930), disusul strukturalisme di Praha dan Eropa Barat, kemudian diimpor
ke Amerika Serikat, antara lain oleh Jacobson dan Wellek; tetapi pendekatan ini
juga terwujud dalam New Criticism sebagai perkembangan di Amerika yang
otokhton, walaupun sebagiannya diilhami dan dipelopori oleh kritikus terkemuka
di Inggris, seperti T.S. Eliot. Di Perancis Claude Levi Strauss dan Roland Barthes
menjadi tokoh terkemuka pendekatan structural, masing-masing dan ciri khasnya.
       Pendekatan structural dari segi tertentu membawa hasil yang gilang-
gemilang; usaha      untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar
strukturnya memaksa peneliti sastra untuk membebaskan diri dari konsep metode
dan teknik yang sebenarnya berada di luar jangkauan sebagai ahli (kritikus sastra,
seperti psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat, paedogogi dan lain-lain; dan
kemudian mengembalikannya pada tugas utamanya, yaitu meneliti sastra).akan
tetapi, hal ini tidak berarti bahwa analisis struktur adalah tugas utama ataupun
tujuan terakhir penelitian sebuah karya sastra.


c. Pendekatan ekspresif
       Dalam abad ke-19 di dunia barat pendekatan ekspresif menjadi dominan,
menguasai ilmu sastra: diri penyair, jiwanya, daya ciptanya, dan lain-lain
ditonjolkan, sesuai dengan aliran romantik yang juga dalam karya kreatifnya
menonjolkan si aku seorang pengarang. Tidaklah kebetulan bahwa dalam sastra
abad ke 19 ini maupun dalam pendekatan ilmiahnya, puisi lirik secara khusus
diperhatikan. Gerakan ini masih bisa kita telusuri bekasnya dalam pendekatan
pada masa Pujangga Bru, baik sebagai penyair maupun sebagai kritikus. Minat
untuk diri si penulis sering digabungkan dengan pendekatan historis: yang diteliti
khususnya asal usul sebuah karya, bentuk purba, terjadinya dan penyebaran motif-
motif, dan lain-lain. Hal ini pun dapat dikaitkan dengan aliran romantik yang juga
sangat tertarik oleh masa lampau, masa purba, manusia asli, primitive, dan lain-
lain (Teeuw, 1983: 60).
34



        Berkaitan dengan pendekatan ekspresif ini, maka beberapa jenis kritik
dapat dimasukkan ke dalamnya, antara lain: kritik historis-biografis, kritik
psikologis terutama perhatian yang berkenaan dengan factor genetic karya sastra,
yaitu kepribadian pengarang dan proses kreatifnya. Jenis kritik yang lain ialah
kritik perspektif, yaitu kritik yang menganggap “author after life” beserta bagian-
bagian yang terpenting dari keberhasilannya yang telah atau patut menerima
penghargaan dan patut diabadikan. Kritik ini erat berhubungan dengan kritik
biografis karena salah satu kajiannya ialah “biografi kesastraan” yang mencakup
masalah interpretasi dan evaluasi terhadap pengarang beserta karyanya, seperti
yang tercermin dalam kalbu dan hati para pembacanya baik secara kontemporer
maupun setelah meninggalnya sang pengarang (Tarigan, 1986: 220).


d. Pendekatan reseptif/pragmatik
        Sejak Perang Dunia Kedua, khususnya sesudah tahun 1960, perkembangan
baru dalam ilmu sastra terjadi pergeseran minat karya sastra sebagai struktur kea
rah peranan pembaca sebagai pemberi makna. Istilah pragmatik menunjukkan
pada efek komunikasi yang sering dirumuskan dalam istilah Horatio: seniman
bertugas untuk docere dan delectere, member ajaran dan kenikmatan, acapkali
ditambahkan movere, menggerakkan pembaca dan kegiatan yang bertanggung
jawab; seni (sastra) menggabungkan sifat utile dan dulce, bermanfaat dan indah.
Pembaca kena, dipengaruhi, digerakkan untuk bertindak oleh karya seni (sastra)
yang baik. Berkaitan dengan pendekatan pragmatik ini berturut-turut dibicarakan
kritik semiotik dan kritik resepsi estetik.
35



                       LEMBAR KERJA MAHASISWA 6


TOPIK : PENILAIAN DALAM KRITIK SASTRA
Melakukan Kegiatan Individual:
a. Menuliakan kembali pengertian penilaian relatif, penilaian absolut, dan
   penilaian perspektif dalam kritik sastra.
b. Memberikan contoh penilaian relatif, absolut, dan perspektif dalam praktik
   kritik sastra Indonesia Modern.
c. Menuliskan kembali kriteria kritik mimetik, kritik objektif, kritik ekspresif, dan
   kriteria kritik pragmatik/reseptif dalam praktik sastra Indonesia Modern.
d. Menuliskan kembali dengan kalimat sendiri apa yang seharusnya dilakukan
   oleh seorang kritikus untuk penulisan karya kritik sastra yang ideal.


Jawaban:


a. Pengertian penilaian relatif, penilaian absolut, dan penilaian perspektif
   dalam kritik sastra.

1. Penilaian relatif
       Penilaian relativisme ialah penilaian yang dilakukan berdasarkan konteks
tempat dan zaman diterbitkannya suatu karya sastra. Asumsi dasar penilaian
relativisme adalah karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada
suatu tempat dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah dianggap
bernilai pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbeda. Penilaian
relativisme memang mengandaikan transferabilitas kualitas suatu karya sastra.
Kaum relativis berkeyakinan bahwa, karya sastra yang dianggap bernilai oleh
suatu masyarakat pada konteks tempat dan zaman tertentu tidak memerlukan
penilaian lagi (Periksa Pradopo, 1988:59).
2. Penilaian absolut
       Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham
atau aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau
berdasarkan ukuran-ukuran yang sifatnya dogmatis. Rene Wellek menunjukkan
contoh golongan humanis baru, Marxis dan Neo Thomis yang memberikan
36



penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan ukuran-ukuran di luar
sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui adanya hukum-hukum tertentu,
standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk memberikan penilaian terhadap
karya sastra tertentu. Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus
judicial menggunakan standar penilaian karya-karya Yunani Klasik serta Sastra
latin terhadap kajian karya sastra tertentu sehingga sifat penilaiannya menjadi
dogmatis dan konvensional. Cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan
penilaian yang sifatnya mutlak atau absolut (periksa Pradopo, 1988:61).
3. Penilaian perspektif
       Paham penilaian perspektivisme menilai karya sastra dari berbagai
perspektif, atau sudut pandang, yakni menilai suatu karya sastra pada waktu
terbitnya, dan bagaimana nilai karya sastra tersebut untuk masa-masa berikutnya,
bahkan menilai karya sastra tersebut pada masa sekarang. Anggapan dasarnya
bahwa karya sastra bersifat abadi dan historisis sekaligus. Abadi artinya
memelihara satu ciri atau konvensi serta sastra Melayu Lama. Historis artinya
karya tersebut telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya,
misalnya suatu karya sastra itu telah mengalami (melewati) masa kesusastraan
romantik, realism, dan sebagainya. Dengan pengertian itu paham perspektivisme
mengakui adanya satu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa,
berkembang, berubah, penuh kemungkinan. Karya sastra itu strukturnya dinamis
melalui penafsirannya sepanjang masa.


b. Contoh penilaian relatif, absolut, dan perspektif dalam praktik kritik
   sastra Indonesia Modern

1. Contoh penilaian relatif
       Dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki nilai
literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk konteks
masyarakat Melayu dan pada saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan
penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer
tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu sekarang atau
masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak bernilai literer sama
sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si
37



Miskin haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan tetap
bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan di mana pun )tempat/lokus). Jadi,
penilaian relativisme yang diberlakukan pada suatu tempat dan zaman tertentu
dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang
berbeda.


2. Contoh penilaian absolut
       Para kritikus modern memakai hukum-hukum drama klasik sebagai
standar penilaian drama-drama modern (yang baru). Misalnya, Addington yang
memakai standar drama klasik untuk menilai drama Shakespeare dan Epic Aeneid
untuk menilai “Paradise Lost” ciptaan Milton. Begitu juga Leo Tolstoy yang
memakai standar agama sebagai penilaian mutlak untuk menilai baik buruknya
karya sastra. Bagi Tolstoy karya seni (sastra) yang baik adalah yang selaras, yang
cocok, yang dekat dengan apa-apa yang diidealkan oleh agama. Sebaliknya karya
seni atau sastra menjadi buruk apabila menjauhkan orang dari nilai-nilai ideal
agama. Padahal, banyak seni atau sastra yang diakui besar tetapi di dalamnya
tidak berhubungan dengan nilai-nilai ideal keagamaan.


3. Contoh penilaian perspektif
       Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektif mengakui adanya
pengaruh zaman dan subjek dalam penilaian karya sastra. Sebagai contoh
beberapa karya sastra yang kini dianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan,
dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare oleh Voltaire dianggap tulisan
seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh tahun kemudian Victor Hugo
menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine
“dewa” drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19
penilaian yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus.


c. Kriteria kritik mimetik, kritik objektif, kritik ekspresif, dan kriteria kritik
   pragmatik/reseptif dalam praktik sastra Indonesia Modern

a. Kriteria kritik mimetik
38



        Kelompok kriteria kedua mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang
ditiru atau tercermin di dalamnya. Kriteria demikian dinamakan kriteria mimetis
atau mimetik. Kaum mimetikus berkeyakinan bahwa sebuah karya sastra bernilai
baik apabila suatu kenyataan, misalnya kenyataan sosial, budaya, alam,
lingkungan hidup dsb. Dinyatakan atau diungkapkan dengan tepat, lengkap atau
secara unik sehingga memiliki daya pesona. Bila seorang kritikus mengharapkan
dari sastra supaya kenyataan diperjelas, maka kriteria inilah yang dipergunakan
atau diutamakan. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan Goenawan Moehamad
bahwa tugas sastrawan dan seniman pada umumnya adalah membuat penghayatan
terhadap kehidupan menjadi lebih intens. Dengan kata lain karya sastra atau karya
seni yang baik hendaknya mempunyai intensitas terhadap realitas, bukan sekadar
meletakkan kembali realitas tersebut (Moehamad, 1988: 53).
b. Kriteria kritik objektif
        Kelompok kriteria ketiga langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus
dan karya sastra. Seorang kritikus dapat mempergunakan kriteria politik, religious
atau moral. Misalnya saja sebuah karya dinilai baik bila karya itu mengambil
sikap yang diharapkan oleh kritikus, atau bila karya itu menyoroti situasi-situasi
yang dianggap penting oleh kritikus, sekalipun itu tidak ditekankan oleh
pengarangnya sendiri. Kriteria itu dijunjung tinggi bila fungsi sastra ditempatkan
dalam pendidikan atau emansipasi, ataupun bila diharapkan agar sastra
mengambil sikap yang tegas terhadap keadaan-keadaan tertentu, melibatkan diri
dalam situasi itu (bandingkan dengan paham sastra terlibat. Rendra pernah
mengkritik para penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan di
tengah-tengah jerit kehidupan).
c. Kriteria kritik ekspresif
        Kembali pada persoalan kriteria dalam penilaian, sering kriteria itu tidak
dikemukakan secara eksplisit, namun kadang-kadang masih dapat dilacak kriteria
penilaian mana yang dipergunakan atau dianut. Penilaian terhadap suatu karya
sastra juga sangat dipengaruhi oleh pandangan seseorang mengenai fungsi sastra.
Fungsi yang berlainan juga menimbulkan kriteria lain atau bahkan mempengaruhi
hirarki criteria,mana yang paling dipentingkan (Lexemburg, 1984: 70).
39



        Terdapat kriteria penilaian yang mengaitkan kualitas karya sastra dari
sudut pengarang, hal itu tampak dalam kriteria ekspresivitas. Suatu karya sastra
dinilai baik apabila ekspresi pribadi dan emosi pengarang diungkapkan dalam
karya sastra dengan nyata. Diukur dari kriteria intense sebuah karya sastra
dinyatakan baik apabila intense (maksud) pengarang atau penyair diungkapkan
dengan baik atau selaras dengan norma-normanya (ingat kembali tentang norma-
norma sastra). Bila fungsi sastra dipusatkan pada pengungkapan emosi
sebagaimana dilakukan oleh kaum romantikus, maka kriteria ekspresivitas akan
dipentingkan dalam menilai kualitas suatu karya sastra.
d. Kriteria kritik pragmatik/reseptif
        Di samping kriteria di atas, masih ada kriteria-kriteria penilaian dalam
studi kritik sastra. Kriteria yang dimaksud adalah kriteria yang di dasarkan atas
teori pragmatis. Tercakup ke dalam teori ini ialah kriteria (a) kesenangan
(pleasure), (b) kemudahan pemahaman (intelligibility), (c) permasalahannya
berada di luar pengetahuan atau pengalaman pembaca (kritikus) yang disebut
novelity,dan familiarity, yaitu permasalahan berada dalam pengetahuan dan
pengalaman sehari-hari pembaca/kritikus.


e. Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kritikus untuk penulisan
   karya kritik sastra yang ideal
        Akhirnya, apat disebut beberapa syarat yang seharusnya dipenuhi oleh
sebuah laporan evaluasi atau karya kritik sastra yang ideal.
1. Kritikus harus menunjukkan dalam kritik dan dalam suatu uraian umum, fungsi
   yang      mana   yang   diharapkan   dari   sastra   dan    kriteria   mana   yang
   dipergunakannya.
2. Kritikus harus menjelaskan kriteria dengan menunjukkan contoh-contohnya.
   Misalnya, kriteria “orisinalitas” harus diperjelas, orisinalitas jika dibandingkan
   dengan apa; sebuah penilaian seperti “memikat” harus ditolak karena tidak
   dapat dikontrol.
3. Kritik harus dapat dibuktikan dengan menunjukkan data dati teks sastra yang
   dikaji.
40



4. Menggunakan kriteria sedapat mungkin sehingga saling melengkapi. Sebuah
  penilaian negative yang menitikberatkan pada moral, seharusnya diperkuat
  dengan argumentasi structural, misalnya dengan mengamati pemakaian
  bahasanya.
5. Kritik harusnya memeperhatikan argumentasi structural: bentuk karya seni
  yang disebut sastra itu menuntut agar isi dengan sadar dituangkan ke dalam
  bentuk tertentu.
6. Kritik terhadap karya hendaknya didukung dengan menempatkan karya itu di
  dalam keseluruhan karya-karya pengarang yang sama, ataupun di dalam suatu
  jenis sastra tertentu aliran tertentu (Lexemburg, 1984: 73).
41



                            DAFTAR RUJUKAN

Rachmat, D. P. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Jogya: Gadjah Mada
       University Press.
Semi, A. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Suwignyo, H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern. Malang: Asih Asah Asuh.

Tarigan, H. G. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

Mais procurados (20)

Performansi dan kompetensi Chomsky
Performansi dan kompetensi ChomskyPerformansi dan kompetensi Chomsky
Performansi dan kompetensi Chomsky
 
Formulasi Bahasa dalam Proposal
Formulasi Bahasa dalam ProposalFormulasi Bahasa dalam Proposal
Formulasi Bahasa dalam Proposal
 
Kritik Sastra
Kritik SastraKritik Sastra
Kritik Sastra
 
Makalah retorika
Makalah retorika Makalah retorika
Makalah retorika
 
1. hakikat kritik sastra
1. hakikat kritik sastra1. hakikat kritik sastra
1. hakikat kritik sastra
 
Kritik sastra prosa
Kritik sastra prosaKritik sastra prosa
Kritik sastra prosa
 
PRINSIP KESANTUNAN
PRINSIP KESANTUNANPRINSIP KESANTUNAN
PRINSIP KESANTUNAN
 
Ringkasan, Abstrak, dan Sintesis
Ringkasan, Abstrak, dan SintesisRingkasan, Abstrak, dan Sintesis
Ringkasan, Abstrak, dan Sintesis
 
Makalah sejarah retorika
Makalah sejarah retorikaMakalah sejarah retorika
Makalah sejarah retorika
 
Makalah semantik
Makalah semantikMakalah semantik
Makalah semantik
 
Bab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporerBab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporer
 
Makalah semantik
Makalah semantikMakalah semantik
Makalah semantik
 
Sastra banding
Sastra bandingSastra banding
Sastra banding
 
Perkembangan Drama
Perkembangan DramaPerkembangan Drama
Perkembangan Drama
 
Filsafat pendidikan idealisme dan filsafat pendidikan realisme
Filsafat pendidikan idealisme dan filsafat pendidikan realismeFilsafat pendidikan idealisme dan filsafat pendidikan realisme
Filsafat pendidikan idealisme dan filsafat pendidikan realisme
 
Cross cultural pragmatics
Cross cultural pragmaticsCross cultural pragmatics
Cross cultural pragmatics
 
Teori mimetik 1
Teori mimetik 1Teori mimetik 1
Teori mimetik 1
 
Referensi
ReferensiReferensi
Referensi
 
An-Naht (Akronim)
An-Naht (Akronim)An-Naht (Akronim)
An-Naht (Akronim)
 
Kritik sastra
Kritik sastraKritik sastra
Kritik sastra
 

Semelhante a KRITIK SASTRA

Kritik sastra prosa(rev 01)
Kritik sastra prosa(rev 01)Kritik sastra prosa(rev 01)
Kritik sastra prosa(rev 01)Nuril anwar
 
KRITIK SASTRA.pptx
KRITIK SASTRA.pptxKRITIK SASTRA.pptx
KRITIK SASTRA.pptxAbiAziz3
 
Kritik sastra
Kritik sastraKritik sastra
Kritik sastraPenulis
 
7. kritik terapan dalam krititik sastra indonesia modern
7. kritik terapan dalam krititik sastra indonesia modern7. kritik terapan dalam krititik sastra indonesia modern
7. kritik terapan dalam krititik sastra indonesia modernCoral Reef
 
Review buku kritik_sastra
Review buku kritik_sastraReview buku kritik_sastra
Review buku kritik_sastraWinda Ayu
 
02 pengantar ke arah kritik sastra
02 pengantar ke arah kritik sastra02 pengantar ke arah kritik sastra
02 pengantar ke arah kritik sastraFandy Cez
 
Materi kuliah pengantar kajian sastra ii, 'pendekatan dalam pengkajian sastra' 1
Materi kuliah pengantar kajian sastra ii, 'pendekatan dalam pengkajian sastra' 1Materi kuliah pengantar kajian sastra ii, 'pendekatan dalam pengkajian sastra' 1
Materi kuliah pengantar kajian sastra ii, 'pendekatan dalam pengkajian sastra' 1Raden Mas Fatah
 
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademikCoral Reef
 
KRITIK DAN ESAI SASTRA
KRITIK DAN ESAI SASTRAKRITIK DAN ESAI SASTRA
KRITIK DAN ESAI SASTRAFaraz Sonia
 
XII-MENGEVALUASI-KARYA-SENI-RUPA-BERDASARKAN-TEMA-JENIS-FUNGSI-TOKOH-DAN-NILA...
XII-MENGEVALUASI-KARYA-SENI-RUPA-BERDASARKAN-TEMA-JENIS-FUNGSI-TOKOH-DAN-NILA...XII-MENGEVALUASI-KARYA-SENI-RUPA-BERDASARKAN-TEMA-JENIS-FUNGSI-TOKOH-DAN-NILA...
XII-MENGEVALUASI-KARYA-SENI-RUPA-BERDASARKAN-TEMA-JENIS-FUNGSI-TOKOH-DAN-NILA...SepakTerjang1
 
PSIKOLOGI SASTRA-SITI NURFAIZAH.pptx
PSIKOLOGI SASTRA-SITI NURFAIZAH.pptxPSIKOLOGI SASTRA-SITI NURFAIZAH.pptx
PSIKOLOGI SASTRA-SITI NURFAIZAH.pptxssuseraba534
 
Mendalami Strukturalisme Genetik dalam Sastra Umum.pptx
Mendalami Strukturalisme Genetik dalam Sastra Umum.pptxMendalami Strukturalisme Genetik dalam Sastra Umum.pptx
Mendalami Strukturalisme Genetik dalam Sastra Umum.pptxAanPriantoro
 

Semelhante a KRITIK SASTRA (20)

Tugas kritik sastra
Tugas kritik sastraTugas kritik sastra
Tugas kritik sastra
 
Kritik satra
Kritik satraKritik satra
Kritik satra
 
Kritik sastra prosa(rev 01)
Kritik sastra prosa(rev 01)Kritik sastra prosa(rev 01)
Kritik sastra prosa(rev 01)
 
Kritik sastra
Kritik sastraKritik sastra
Kritik sastra
 
KRITIK SASTRA.pptx
KRITIK SASTRA.pptxKRITIK SASTRA.pptx
KRITIK SASTRA.pptx
 
Kritik sastra ppt
Kritik sastra pptKritik sastra ppt
Kritik sastra ppt
 
Kritik sastra ppt (2)
Kritik sastra ppt (2)Kritik sastra ppt (2)
Kritik sastra ppt (2)
 
Kritik sastra
Kritik sastraKritik sastra
Kritik sastra
 
7. kritik terapan dalam krititik sastra indonesia modern
7. kritik terapan dalam krititik sastra indonesia modern7. kritik terapan dalam krititik sastra indonesia modern
7. kritik terapan dalam krititik sastra indonesia modern
 
Review buku kritik_sastra
Review buku kritik_sastraReview buku kritik_sastra
Review buku kritik_sastra
 
02 pengantar ke arah kritik sastra
02 pengantar ke arah kritik sastra02 pengantar ke arah kritik sastra
02 pengantar ke arah kritik sastra
 
Materi kuliah pengantar kajian sastra ii, 'pendekatan dalam pengkajian sastra' 1
Materi kuliah pengantar kajian sastra ii, 'pendekatan dalam pengkajian sastra' 1Materi kuliah pengantar kajian sastra ii, 'pendekatan dalam pengkajian sastra' 1
Materi kuliah pengantar kajian sastra ii, 'pendekatan dalam pengkajian sastra' 1
 
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
 
KRITIK DAN ESAI SASTRA
KRITIK DAN ESAI SASTRAKRITIK DAN ESAI SASTRA
KRITIK DAN ESAI SASTRA
 
Bahasa indonesia
Bahasa indonesiaBahasa indonesia
Bahasa indonesia
 
XII-MENGEVALUASI-KARYA-SENI-RUPA-BERDASARKAN-TEMA-JENIS-FUNGSI-TOKOH-DAN-NILA...
XII-MENGEVALUASI-KARYA-SENI-RUPA-BERDASARKAN-TEMA-JENIS-FUNGSI-TOKOH-DAN-NILA...XII-MENGEVALUASI-KARYA-SENI-RUPA-BERDASARKAN-TEMA-JENIS-FUNGSI-TOKOH-DAN-NILA...
XII-MENGEVALUASI-KARYA-SENI-RUPA-BERDASARKAN-TEMA-JENIS-FUNGSI-TOKOH-DAN-NILA...
 
PSIKOLOGI SASTRA-SITI NURFAIZAH.pptx
PSIKOLOGI SASTRA-SITI NURFAIZAH.pptxPSIKOLOGI SASTRA-SITI NURFAIZAH.pptx
PSIKOLOGI SASTRA-SITI NURFAIZAH.pptx
 
SOSIOSASTRA.ppt
SOSIOSASTRA.pptSOSIOSASTRA.ppt
SOSIOSASTRA.ppt
 
A310060126
A310060126A310060126
A310060126
 
Mendalami Strukturalisme Genetik dalam Sastra Umum.pptx
Mendalami Strukturalisme Genetik dalam Sastra Umum.pptxMendalami Strukturalisme Genetik dalam Sastra Umum.pptx
Mendalami Strukturalisme Genetik dalam Sastra Umum.pptx
 

KRITIK SASTRA

  • 1. 1 LEMBAR KERJA MAHASISWA 1 TOPIK 1 : HAKIKAT KRITIK SASTRA 1.1 KONSEP DASAR KRITIK SASTRA Melakukan Kegiatan Individual : a. Menuliskan kembali sedikitnya 3 pengertian kritik sastra dilengkapi dengan rujukan. b. Menyusun sendiri pengertian kritik sastra berdasarkan (a) c. Menyebutkan dan menjelaskan unsur-unsur yang tercakup dalam (b) Jawaban : a. Pengertian 3 kritik sastra : 1. Dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, Budi Darma (2004:24) , Kritik sastra (Literary Critism) adalah penerapan kaidah-kaidah, rambu-rambu, atau teori- teori tertentu dalam analisis karya sastra, misalnya New Critsism, strukturalisme, psikoanalisa, dan lain-lain. 2. H.B. Jassin (1959:44, 45) mengemukakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra, penerangan, dan penghakiman karya sastra. 3. Kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra tertentu, melalui kegiatan identifikasi, analisis, klasifikasi, dan evaluasi (judgement) serta penafsiran sistematik yang diformulasikan dalam bentuk tertentu. (Suwignyo, 2008:5) b. Pengertian kritik sastra sendiri berdasarkan (a) Kritik sastra adalah sebuah penilaian terhadap sebuah karya sastra yang diidentifikasi, klasifikasi, analisis, dan evaluasi terlebih dahulu yang kemudian ditampilkan untuk bisa dibaca semua orang. c. Menyebutkan dan menjelaskan unsur-unsur yang tercakup dalam (b) 1. Penilaian 2. Karya sastra 3. Identifikasi 4. Klasifikasi 5. Analisis
  • 2. 2 6. Evaluasi 7. Ditampilkan 8. Dibaca semua orang Penjelasan: Kritik sastra lahir karena adanya sebuah karya sastra yang membuat karya sastra itu merasa mendapat sambutan dari para penikmatnya. Dengan penilaian tersebut, dapat membuat pembaca, mengerti betapa berharganya karya sastra tersebut. Dengan penilaian itu, berarti, sebuah karya sastra tersebut telah mendapat perhatian dari pembaca. Jika tidak ada krtitik yang muncul, maka karya sastra tersebut tidak ada artinya. 1.2 VARIABEL KRITIK SASTRA Melakukan Kegiatan Individual a. Menuliskan kembali empat komponen kritik sastra dilengkapi dengan penjelasan. b. Menjelaskan hubungan antarkomponen variable kritik sastra dilengkapi dengan contoh. Jawaban : a. Empat komponen Variabel adalah suatu trait atau attribute yang dimiliki secara bervariasi oleh subjek. Kritik sastra merupakan sebuah “subjek” atau pusatkajian yang menunjukkan gejala yang kompleks. Pembicaraan mengenai kritik sastra selalu terkait dengan komponen-komponen lain, yakni : (1) kritikus, (2) karya sastra, (3) wilayah studi sastra, dan (4) penikmat, pembaca atau masyarakat sastra pada umumnya. (1)Kritikus Kritik sastra tidak dapat meninggalkan kritikus. Seperti halnya hubungan karya sastra dan pengarang, hubungan kritik sastra dan kritikus bersifat kausalitas. Kehadiran kritik sastra disebabkan oleh adanya kritikus. Mensitir pernyataan Descartes, “Karena Aku berfikir maka Aku ada.” Sebagaimana juga, karena kritikus sastra ada maka karya kritik ada, atau sebaliknya karena kritikus
  • 3. 3 sastra tidak ada maka karya kritik tidak akan ada. Itulah sebabnya dapat dipahami bahwa kualitas kritik sastra amat ditentukan oleh kualitas pribadi sang kritikus. Berkaitan dengan kualitas diri kritikus, Darma (1988) mencandra ciri-ciri pemikir sastra (termasuk di dalamnya kritikus dan teoretikus) berikut ini. a) Mencintai sastra Ciri ini ditandai dengan keterlibatan kritikus untuk mengikuti terus menerus karya sastra, pemikiran-pemikiran mengenai sastra, bahkan pekerja- pekerja sastra. Melalui bacaannya, kritikus mengetahui benar ciri masing-masing pengarang, kritikus, teoretikus dan ciri-ciri pemikir sastra yang lain. Dengan demikian, kritikus mengenal kesamaan dan benang-benang halus yang menghubungkan semua pekerja sastra. b) Menguasai sastra Dengan mengenal sastra secara baik, kritikus menguasai sastra secara baik pula. Dia menguasai wajah sastra, dan juga peta sastra. Pengetahuannya mengenal sastra tidak hanya komprehensif tetapi juga terperinci. Kritikus mengetahui langkah demi langkah masing-masing karya sastra diantara sekian banyak karya sastra (kolektif). Sementara itu kritikus juga mengetahui dengan baik detail penting pemikiran setiap pekerja sastra. c) Mencintai ilmu-ilmu lain dan pengetahuan umum Kecuali mencintai sastra, kritikus juga senang menyimak ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dll. meskipun tidak mendalam. Paling tidak seorang kritikus sanggup merasakan kelebatan pikiran banyak ilmuwan secara komprehensif. Seorang kritikus juga senang membaca majalah dan koran. Perkembangan berita dari waktu ke waktu selalu dia ikuti, meskipun kalau perlu hanya garis-garis besarnya saja. Dengan demikian seorang kritikus tidak pernah ketinggalan. Dalam kepalanya selalu tersimpan sekian banyak informasi. Semua informasi langsung/tidak disadari/tidak dipergunakan untuk menunjang penguasaannya terhadap sastra. Dalam soal umum kritikus adalah seorang generalis, dan begitu memasuki sastra kritikus menjadi seorang spesialis yang menguasai seluk beluk sastra.
  • 4. 4 d) Mempunyai wawasan dan artikulasi Kritikus tidak hanya menguasai sastra, tetapi juga memiliki pandangan terhadap sastra. Pandangan inilah yang disebut wawasan. Kecuali memiliki wawasan, seorang kritikus juga mampu menjabarkan wawasannya itu dengan artikulasi yang baik, khususnya dalam bentuk tulis. e) Mencintai percobaan Acapkali kritikus membanding-bandingkan, mengkaji, mencocok- cocokkan segala yang dikuasai. Kritikus menganggap sastra sebagai barang hidup, dan karena itu, sastra selalu menawarkan dimensi baru. Dengan demikian wawasannya terhadap sastra juga selalu berkembang. Melalui percobaan- percobaannya, kritikus sanggup menghayati pola-pola pikiran yang terjadi di dalamnya. f) Menganggap sastra sebagai proses Kritikus sanggup menghayati bahwa sastra serta ilmu lain selalu berkembang. Baginya, sastra serta ilmu-ilmu lain bukan sekadar kumpulan pengetahuan, tetapi juga selalu menemukan pemikiran-pemikiran baru, meskipun objek materinya mungkin masih sama. g) Menyandarkan objektivitas pada hati nurani Karya sastra tidak lain adalah ekspresi nilai-nilai, dan sejak semula sudah mengandung simpati, antipati, dan empati. Dalam berhadapan dengan fakta, seseorang bisa bersifat netral. Apabila sudah berhubungan dengan nilai-nilai, seperti dalam ilmu-ilmu sosial dan penerapan ilmu eksakta, seseorang tidak mungkin netral. Kritikus memihak pada nilai-nilai yang berlaku atau diperkiraan akan berlaku. Dengan wawasannya, seseorang kritikus dapat memperhitungkan nilai-nilai yang akan berlaku dimasa depan. Juga dengan wawasannya kritikus sanggup memperhitungkan apa yang akan terjadi. h) Menjadi pemikir (kritikus) dan mungkin sekaligus menjadi seorang penulis kreatif Kenyataannya, apa yang sebenarnya terjadi, tidak selamanya sejalan dengan apa yang seharusnya terjadi. Dalam kenyataannya, banyak pemikir (kritikus) sastra menjadi penulis kreatif, sebaliknya banyak juga penulis kreatif yang menjadi pemikir (kritikus) sastra.
  • 5. 5 Penulis kreatif dapat merangkap sebagai kritikus sastra, karena penulis kreatif tidak hanya bergerak dalam dunia pemikiran, tetapi juga bergerak dalam dunia penghayatan. Pengarang dalam melihat sastra tidak semata-mata dari luar saja tetapi sekaligus menciptakannya. Penulis kreatif juga memiliki kemampuan menilai setidak-tidaknya menilai karyanya sendiri. Tanpa diberi tahu siapa pun, penulis kreatif tahu apakah karyanya cukup baik atau tidak, perlu direvisi atau tidak, perlu diterbitkan atau dimusnahkan. Sebelum karya diterbitkan, pengarang mempunyai kewenangan untuk menentukan apa yang harus terjadi pada naskahnya. Pendapat lain menyatakan, kedua fungsi, yaitu penulis kreatif dan kritikus, perlu dipisah. Meskipun tidak mengharap karyanya sendiri, penulis kreatif dapat menjadi subjektif apabila harus tampil sebagai pemikir (kritikus). Bandingkanlah bagaimana jika seorang pemain sepak bola harus merangkap wasit. Akan tetapi sebenarnya titik berat pendapat ini bukan pada kemampuan, melainkan pada kewenangan. (2) Karya Sastra Kehadiran karya sastra mutlak diperlukan dalam kritik sastra karena pada hakikatnya kritik sastra bersifat reaktif-rekreatif. Reaktif maksudnya kritik sastra merupakan reaksi atau tanggapan terhadap dunia karya sastra. Rekreaktif karena kritik sastra diciptakan berdasarkan karya sastra yang bersifat kreatif. Dengan kata lain tidak pernah ada kritik yang disusun berdasarkan kreasi kritikus sendiri, tanpa mendasarkan pada poetika pengarang dalam karyanya. Jika ada, kritik yang demikian adalah kritik yang terlepas dari konteks objeknya. Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hubungan kritik sastra dan karya sastra bersifat determinatif. Maksudnya adalah hubungan yang saling menentukan. Kritik sastra menentukan dan ditentukan oleh karya sastra yang dikritik. Dibandingkan dengan karya sastra, kritik sastra lebih terikat pada zamannya. Karya sastra yang benar-benar hebat akan mengatasi ruang dan waktu, sementara perkembangan zaman akan menimbulkan sikap yang berbeda terhadap dunia karya sastra. Dengan demikian, tanggapan terhadap dunia karya sastra akan sangat bergantung pada keadaan zaman. Begitu zaman berubah dan dunia sastra masih hidup, dunia sastra tersebut akan ditanggapi dengan pandangan yang sudah
  • 6. 6 berubah. Dari waktu ke waktu karya sastra yang kokoh akan memancing sekian banyak kritik sastra yang mungkin tidak terhitung jumlahnya. Hamlet hanya satu, Divina Comedia hanya satu, Belenggu hanya satu, tetapi kritik atasnya bisa berlapis-lapis, tidak terbatasi. Berkaitan dengan kekokohan karya sastra ini, Soekito (1991) secara ekstrem berpendapat, bahwa besar atau kecilnya kritikus sastra bergantung kepada besar kecilnya karya sastra yang dikritik. Kemasyhuran H.B. Jassin sebagai seorang kritikus sastra bergantung atau ditentukan—meskipun tidak mutlak—oleh Chairil Anwar sebagai penyair besar seperti tercermin dalam karya-karyanya. Kemasyhuran Lucas sebagai kritikus sastra, bergantung kepada Thomas Man (1875—955) sebagai seorang novelis besar (Soekito, 1990:2). Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap kritikus yang mengulas karya sastra yang besar/hebat dengan sendirinya menjadikan kritikus yang besar atau hebat pula. (3) Wilayah Studi Sastra : Teori Sastra, Sejarah Sastra, dan Sastra Bandingan Wellek membedakan tiga wilayah studi sastra, yakni teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra (Wellek, 1989:38). Budi Darma bahkan membuat taksonomi sastra menjadi dua saja, yaitu karya sastra dan kritik sastra, karena segala sesuatu yang bersifat evaluasi tidak lain adalah kritik sastra. Teori sastra timbul, misalnya karena kritik sastra memerlukan metode. Misalnya, teori formalis menggarap sebuah karya sastra sebagai bentuk ekspresi estetis. Sementara itu, teori moral menggarap karya sastra sebagai suatu bentuk untuk memperjuangkan nilai-nilai etika tertentu. Lalu teori sosiologi sastra berpendapat, bahwa karya sastra tidak lain adalah kesadaran kolektif suatu masyarakat. Dengan demikian, semua teori bersifat evaluasi, sedangkan evaluasi adalah ciri menonjol kritik sastra. Pengendapan masalah sastra yang kemudian menjadi sejarah sastra juga tersaring melalui proses evaluasi. Evaluasi terjadi karena ada serangkaian kritik sastra. Historiografi mengenai tokoh, aliran pemikiran dalam sejarah sastra merupakan hasil pengendapan kritik sastra juga. Dalam kenyataanya hubungan antara kritik sastra, teori sastra, dan sejarah sastra, dan sastra bandingan bersifat interdependensi atau saling tergantung. Teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra.
  • 7. 7 Kriteria, kategori, skema teori tidak mungkin diciptakan secara in vacuo/tanpa pijakan. Sebaliknya tidak mungkin ada kritik sastra atau sejarah sastra tanpa satu set pertanyaan suatu sistem pemikiran, acuan, dan generalisasi. Di sisi lain kegiatan kritik yang berhubungan dengan penilaian, penjelasan, dan penghakiman karya sastra dapat dekemukakan berikut ini. Bahwa penilaian hanya dapat dilakukan oleh kritikus yang memiliki konsep tentang nilai baik dan buruk (etika), indah atau tidak indah/estetika (lingkup teori sastra). Penjelasan tentang suatu karya sastra hanya dapat dilakukan, jika kritikus mengetahui seluk beluk karya sastra tersebut. Dan penghakiman terhadap suatu karya sastra hanya dapat dilakukan oleh kritikus yang mampu memanfaatkan berbagai pengetahuan tentang nilai dan seluk beluk karya sastra untuk menempatkan kedudukan suatu karya diantara sekian banyak karya sastra sejenis. Kegiatan tersebut menunjukkan betapa pentingnya peranan teori dan sejarah sastra dalam studi kritik sastra. Penerapan teori sastra dalam kerja kritik memang berbeda-beda dalam gaya dan teknik penyajiannya, misalnya dalam kritik sastra kreatif (kritik yang dibuat oleh penulis kreatif), dan kritik sastra akademik (ditulis oleh para akademisi). Y.B. Mangunwijaya misalnya, dalam buku kritiknya Sastra dan Religiusitas tidak memformulasikan teori sastra yang digunakan secara eksplisit, melainkan memadukannya dengan intuisi. Antara intuisi aksiomatis dengan intuisi menalar, antara merasakan sekaligus menjabarkannya. Sebagai pembaca, kita tidak merasakan bahwa Y.B. Mangunwijaya sedang menjabarkan, menganalisis, dan membeberkan argumentasi-argumentasinya. Yang dilakukan oleh Y.B. Mangunwijaya ini merupakan karakteristik jiwa kritik kreatif. (4) Penikmat, Pembaca atau Masyarakat Sastra Hubungan antara kritik sastra dengan penikmat, pembaca atau masyarakat sastra bersifat fungsional. Kehadiran kritik sastra dapat difungsikan sebagi penghubung antara pengarang dan pembaca, penikmat (Jassin, 1965:84; Shipley, 1962:83). Kritik sastra dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin timbul dari diri pembaca setelah menikmati suatu karya sastra. Bagi kalangan pembaca yang masih kurang baik daya apresiasinya, kritik dapat berfungsi sebagi pembimbing, pengarah, sekaligus pemandu. Dalam fungsinya yang ideal kritik sastra haruslah inspiratif.
  • 8. 8 Sehubungan dengan itu Damono berpendapat bahwa kritik yang baik adalah semacam kesan-kesan pribadi (kritikus) yang memberi isyarat kepada pembaca lain untuk bangkit ke rak buku yang sedang dibicarakannya itu, untuk kemudian membacanya, mengualang bacanya. Kritik yang baik tidak berpura- pura mencampuri percakapan yang mungkin terjadi di antara sebuah karya agar lebih menyenangkan. Juga tidak mengotorinya. Semacam pembangkit rasa ingin tahu. Kritik yang baik mampu menggoda pembaca untuk kembali pada karya yang hilang karena tersapu debu waktu (periksa Damono, 1975;299) b. Hubungan antarkomponen variabel kritik sastra dilengkapi dengan contoh Teori Sastra Kritikus Karya Sastra Penikmat, pembaca Sejarah Sastra Sastra Bandingan Bagan 1 : Proses Hubungan Antarkomponen Variabel Kritik Sastra Keterangan : : hubungan langsung : hubungan tidak langsung Contoh : Misalnya kita membaca novel dengan judul Negeri 5 Menara, setelah membacanya pasti kita menemukan hal-hal yang menarik yang mampu memberikan pesan baik kepada kita. Agar kita lebih memahami isi dari novel tersebut, kita perlu mengadakan pengkajian yang pasti menggunakan teori sastra. Teori yang kita ambil bisa berupa teori sosiologi sastra dan teori struktural. Hal ini karena novel tersebut erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat yang cocok dikaji dengan teori sosiologi sastra. Selain mengkajinya, kita juga bisa mengkritiknya, karena pasti ada hal yang perlu dinilai dari sebuah karya sastra tersebut. Mengkritiknya pasti kita juga harus memahami sejarah sastranya agar kritik kita lebih bernilai. Dengan pengkritikan tersebut, pembaca akan bisa menikmati hasil kritik itu dan akan lebih memahami isi dari karya sastra tersebut.
  • 9. 9 LEMBAR KERJA MAHASISWA 2 1.3 POSISI KRITIK SASTRA Melakukan Kegiatan Individual : a. Menuliskan kembali posisi kritik sastra dalam peta sastra Indonesia modern dilengkapi dengan contoh. b. Menuliskan kembali fungsi kritik sastra dilengkapi dengan contoh. c. Mengklasifikasi fungsi kritik sastra yang bersifat instrumental dan noninstrumental. Jawaban : a. Posisi kritik sastra Peta dunia sastra secara garis besar dapat dipilah menjadi dua, yakni dunia kreasi (dunia penciptaan) dan dunia pemikiran (studi, pemikiran, dsb). Kritik termasuk dalam dunia pemikiran. Jauh sebelum orang memikirkan hakikat, sastra sudah diciptakan. Kritik sastra baru ada setelah orang mempertanyakan apa dan di mana nilai hakiki suatu karya sastra (periksa, Semi, 1995:16). Hukum sastra membuktikan bahwa kritik sastra berjalan di belakang karya sastra. Kritik sastra Yunani Purba misalnya, baru bangkit setelah para pengarang sastra karya sastra runtuh. Sementara itu, diketahui bahwa ada kalanya kejayaan karya sastra sejajar dengan kekayaan kritik sastra, seperti yang terjadi di Eropa pada abad XVIII. Dalam tahap perkembanganya kritik sastra memang mula-mula sangat bergantung pada karya sastra. Kritik sastra adalh reaksi terhadap karya sastra (seperti sinyalemen tehadap ekstensi kritik sastra Indonesia modern dewasa ini). Padahal sebenarnya kritik sastra lebih bermanfaat apabila sudah dapat melepaskan diri dari kehadiran karya sastra. Otonomi karya sastra akan menjadikannya sebagai kegiatan-kegiatan intelektual. Dalam tahap ini, tumpukan kritik sastra bukan lagi harfiah karya sastra melainkan kritik sastra itu sendiri dan pemikiran sastra lainnya. Contoh, dalam tahap kesusastraan Inggris misalnya, sudah ditemukan karya sastra yang berlapis-lapis. Kritik dikritik lagi, kritik atas kritik
  • 10. 10 itu dikritik lagi dan seterusnya sehingga kita menemukan kritik atas kritik , atas kritik, atas kritik. Berkaitan dengan dua posisi kritik sastra tersebut, maka sebenarnya antara kritk sastra dan sastra khususunya dengan komponen sastra yang lain dapat bekerja sama yang saling menguntungkan atau semacam simbiosis mutualisme.Maksudnya bukan kritik sastra saja yang bergantung pada karya sastra, tetapi karya sastra juga memerlukan inspirasi dari kritik sastra. Kritik sastra yang inspiratif akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap perkembangan karya sastra dan tidak mengerdilkan atau bahkan membunuhnya. Contoh : Kritik berada pada dunia pemikiran, jadi sebuah kritik itu akan berkembang walau orang hanya menilai suka dan tidak suka saja. Pada kritik atas buku Atheis yang dilakukan H.B. Jassin, ini merupakan bentuk dari kritik terhadap sebuah karya sastra. b. Fungsi Kritik Sastra : Kritik sastra menurut Semi (dalam suwignyo, 2009:18), menunjukan ada 3 peranan atau fungsi kritik sastra sebagaimana disebutkan berikut ini : 1. Untuk pembinaan dan pengembangan sastra Fungsi utama kritik sasra adalah memlihara dan menyelamatkan, serta mengembangkan pengalaman manusiawi yang termanifestasi dalam seni sastra. Contohnya saja kritikus, Kritikus mendudukan sastra sebagai sruktur dunia imajinatif yang bermakna. Melalui kritiknya, kritikus memberikan penilaian, menunjukan segi-segi kekuatan dan kelemahan nilai-nilai tertentu yang terdapat dalam suatu karya sastra. Kritikus juga dapat menunjukan dimensi lain yang membangun suatu karya sastra agar lebih berkualitas. 2. Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni. Dari sisi ini, kritik sastra berfungsi membina tradisi kebudayaan, memmberikan tempat berpijak, memberikan cita rasa yang benar, melatih kesadaran, dan secara sadar pula mengarahkan pembaca kepada pembinaan pengertian dan pembinaan apresiasi makna dan nilai-nilai kehidupan dalam karya
  • 11. 11 sastra. Sebagai contohnya, melalui kritiknya, kritikus menunjukan daerah-daerah gelap yang terdapat dalam suatu karya sastra sehingga pembaca dapat menikmati sastra secara lebih intensif dan lebih mendalam. Sasaran akhirnya adalah agar pembaca meningkat daya apresiasinya. 3. Untuk menunjang ilmu sastra. Kritik sastra berguna untuk pembinaan dan teori sastra. Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa, teknik penceritaan, dsb. Dengan demikian kritik sastra memberikan sumbangan besar terhadap para ahli sastra dalam mengembangkan teori sastra. Tentu tidak dipungkiri pula bahwa para ahli teori sastra memberikan sumbangan pula pada kritik sastra. Melalui kritik sastra kritikus juga membuka daerah baru yang belum dijelajahi oleh posisi pengarang. Dengan demikian, secara nyata kritik sastra memberikan sumbangan pula dalam meningkatkan mutu karya sastrawan. Mereka (para sastrawan) dapat belajar melalui kritik sastra untuk meningkatkan kecakapannya, memperkuas horizon pandangan dan daerah garapan. Dengan begitu karya cipta pengarang dpat lebih berkembang, baik gaya, corak ataupun mutunya. Hal tersebut pada gilirannya akan mengembangkan mutu kritik sastra. Sementara itu sumbangan kritik sastra terhadap sejarah sastra k dapat dikesampingkan. Dalam menyusun sejarah sastra tentu tidak dapat diabaikan usaha untuk memberikan ciri sastra dan penilaian karya sastra. Tidak semua karya sastra dapat dimasukan ke dalam rangkaian perkembangan sastra bila tidak menunjukan nilai sastra, sedangkan aktivitas penilaian merupakan aktivitas kritik sastra. Oleh sebab itu, sejarah sastra memerlukan bantuan kritik sastra (periksa Semi; 1985:25—26). Sebagai pembanding, fungsi kritik sastra dalam fersi yang lain sebagai berikut : 1. Memberikan penilaian atas karya sastra tertentu berdasarkan teori dan sejarah sastra. 2. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau pengembangan teori sastra. 3. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunsejarah sastra.
  • 12. 12 4. Memberikanpetunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang baik dan tidak baik, yang asli dan tidak asli. 5. Memberikan sumbangan pendapat atau pertimbangan kepada pengarang tentang karyanya sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya (Yudiono K. S., 1986:27) Contoh : Kritik sastra akan menumbuhkan sikap yang kritis terhadap sebuah karya sastra. Dengan kritik sastra tersebut, orang tidak hanya dapat menilai sebuah karya itu baik dan jelek saja, namun ia dapat lebih mengetahui lebih mendasar tentang persoalan yang ada di dalam karya sastra tersebut. Misalnya pada novel Sitti Nurbaya, orang tidak akan menilai baik dan buruknya saja, namun dapat lebih memahami persoalan yang terjadi pada karya sastra tersebut. c. Fungsi kritik sastra yang bersifat instrumental dan noninstrumental.  Fungsi kritik sastra yang bersifat instrumental : 1. Untuk pembinaan dan pengembangan sastra Fungsi utama kritik sastra adalah memelihara dan menyelamatkan, serta mengembangkan pengalaman manusiawi yang berwujud sebagai karya seni yang bernama sastra. Kemudian, menjadikannya sebagai suatu proses perkembangan struktur yang bermakna. Melalui kritiknya, kritikus meberikan penilaian, menujukan segi-segi kekuatan dan kelemahan yang terdapat dalam suatu karya, serta memperlihatkan alternatif-alternatif lain yang membangun suatu karya sastra. 2. Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni. Kritik sastra berfungsi pula untuk mmebina tradisi kebudayaan, membantu kesadaran, dan secara sadar pula mengarahkan pembaca kepada pembinaan pengertian tentang makna dan nilai-nilai kehidupan. Melalui kritiknya, kritikus menunjukan daerah-daerah gelap yang terdapat dalam suatu karya sastra sehingga pembaca dapat menikmati sastra secara lebih baik dan lebih bermakna, yang pada
  • 13. 13 akhirnya dapat meningkatkan apresiasi mereka mereka yang lebih tinggi daripada sebelumnya. 3. Untuk menunjang ilmu sastra. Kritik sastra berguna untuk pembinaan dan teori sastra. Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa, teknik penceritaan, dsb. Dengan demikian, kritik sastra memberikan sumbangan besar terhadap paara ahli sastra dalam mengembangkan teori sastra. Melalui kritik sastra kritikus juga membuka daerah baru yangbelum dijelajahi oleh pengarang. Dengan demikian, secara nyata kriti sastra memberika sumbangan pula dalam meningkatkan kecakapannya, memperluas horizon pandangan dan daerah pandangan. Semetara itu, kritik sastra terhadap sejarah sastra tidak dapat dikesampingkan. Dalam menyusun sejarah sastra tentu tidak dapat diabaikan usaha untuk memberikan ciri sastra dan penilaian karya sastra. Tidak semua karya sastra dapat dimasukkan ke dalam rangkaian perkembangan sastra bila tidak menunjukan aktivitas kritik sastra.  Fungsi kritik sastra yang bersifat noninstrumental. 1. Memberikan penilaian atas karya sastra tertentu berdasarkan teori dan sejarah sastra. 2. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau pengembangan teori sastra. 3. Memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunsejarah sastra. 4. Memberikanpetunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang baik dan tidak baik, yang asli dan tidak asli. 5. Memberikan sumbangan pendapat atau pertimbangan kepada pengarang tentang karyanya sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya (Yudiono K. S., 1986:27)
  • 14. 14 LEMBAR KERJA MAHASISWA 3 TOPIK 11 : PARADIGMA KRITIK SASTRA 2.1 BENTUK KRITIK SASTRA Melakukan Kegiatan Individual : a. Menuliskan kembali landasan atau dasar yang digunakan untuk menetukan bentuk kritik sastra, dilengkapi dengan contoh. b. Merumuskan dengan kalimat sendiri, bentuk kritik sastra Indonesia modern. Jawaban : a. Landasan atau dasar Paradigma kritik sastra adalah bentuk, jenis, dan koordinat kritik dalam empat sumbu pemikiran terhadap karya sastra. Secara sederhana bentuk kritik sastra dapat dibandingkan dengan bentuk sastra. Sastra selain dalam bentuk tulis diwujudkan dalam bentuk lisan. Demikian juga kritik sastra, ia dapat berupa pembicaraan atau tulisan yang membanding-bandingkan, menganalisis, menafsirkan, dan menilai karya sastra (Sudjiman, 1986:44). Nakritik mun, meskipun kritik sastra dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis, kritik sastra menuntut artikulasi, formulasi, dan argumentasi serta intuisi (Darma, 1990:8). Segala pembicaraan mengenai sastra baik lisan maupun tertulis harus terdiri dari 4 komponen, yakni (i) data atau fakta, (ii) analisis, (iii) inference atau kesimpulan, dan (iv) judgement atau penilaian. Dengan lebih kompleks kritik sastra dipandang sebagai suatu kajian tersendiri yang tidak terbatas hanya kepada penghakiman, penilaian baik dan buruk, tetapi juga memberikan enterpretasi dan menjelaskannya di dalam alternatif-alternatif pemikiran berdasarkan suatu sistem dan teori tertentu (periksa Esten, 1987:13). Mendasarkan diri pada pandangan ini, bahwa bentuk kritik sastra yang paling sederhana ialah seperti yang dialami oleh pembaca (penikmat) sastra. Kritikus membaca beberapa halaman dari sebuah karya sastra, kemudian meletakkannya kembali di atas rak atau di atas meja untuk kemudian tidak disentuhnya lagi. Karya-karya sastra yang dibicarakan berdasarkan norma-norma yang sudah ada dan pada saat mengulas soal isi lebih banyak dibicarakan (aksentuasi)
  • 15. 15 masalah nilai-nilai susila, moral, serta nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam sastra tersebut. Bentuk kritik semacam ini memang lebih bersifat instrumental sehingga suatu tinjauan yang bertolak dari hakikat karya sastra jarang dilakukan . Dasar penilaian suatu karya sastra tidak semata-mata senang atau tidak senang atau like and dislike, akan tetapi lebih merupakan upaya untuk memperoleh pemahaman yang utuh terhadap sebuah cipta sastra. Kritik sastra yang demikian dilakukan secara sistematis, analisis, dan bertolak dari kerangka teori tertentu serta diungkapkan secara tertulis. Bentuk kritik sastra lahir akibat reaksi atau adanya tanggapan dari pembaca atau penikmat terhadap karya sastra. Bentuk reaksi tersebut dapat lisan atau tertulis. Macam-macam bentuk kritik sastra dapat dilihat dari gradasi atau tingkatannya terhadap karya sastra tertentu tanpa dasar atau kriteria, atau pada tingkatan reaksi (tanggapan) dalam bentuk studi, penelitian, telaah, bahasan atau pengkajian suatu karya sastra dengan landasan teori, pendekatan, dan metodologi tertentu. Contoh : Sebuah kritik sastra terbentuk karena adanya penilaian terhadap karya sastra. Landasan yang dipakai adalah teori dan acuan tertentu. Misalnya jika kita ingin mengkritik sebuah novel,maka kita harus tahu teori yang cocok untuk menganalisis karya tersebut, selain itu, kita juga perlu adanya kritik dari para ahli yang kita pakai sebagai acuannya. b. Bentuk kritik sastra Indonesia modern Bentuk sastra Indonesia tergantung dari aliran-aliran sastra seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Bentuk kritik sastra yaitu kritik sastra akademik, kritik sastra kreatif, kritik sastra jurnalistik.
  • 16. 16 LEMBAR KERJA MAHASISWA 4 2.2 JENIS KRITIK SASTRA Melakukan Kegiatan Individual a. Menuliskan kembali 25 jenis kritik sastra, dengan penjelasan seperlunya. b. Menuliskan kembali dasar penjenisan kritik sastra, dilengkapi dengan contoh. c. Menuliskan dengan kalimat sendiri jenis kritik judisial, kritik induktif, dan kritik impresionistik ditinjau dari objek kritik, teknik mengkritik, dan tujuan kritiknya. d. Menuliskan kembali ciri-ciri kritik (a) formalistik, (b) psikologis, dan (c) sosiologis ditinjau dari (i) asumsinya, (ii) objek kritik, (iii) teknik kritik, dan (iv) tujuan kritiknya. e. Memberikan contoh judul hasil kritik sastra Indonesia Modern (i) kritik historis-biografis, (ii) kritik moral-filosofis, (iii) kritik sosiologis, dan (iv) kritik psikologis masing-masing 3 buah! Jawaban : a. 25 jenis kritik sastra Jenis kritik sastra memiliki cakupan arti yang lebih luas daripada bentuk kritik sastra. Guntur Tarigan mencoba mengidentifikasi 25 jenis kritik sastra yang dirangkum dari 5 sumber, yakni: (1) kritik induktif, (2) kritik judisial, (3) impresionistik, (4) kritik historis, (5) kritik filosofis, (6) kritik formalis, (7) kritik sosiokultural, (8) kritik psikologis, (9) kritik mitopoeik, (10) kritik relativistik, (11) kritik absolutistik, (12) kritik interpretatif, (13) kritik tekstual, (14) kritik linguistik, (15) kritik biografis, (16) kritik komparatif, (17) kritik etis, (18) kritik perspektif, (19) kritik pragmatik, (20) kritik elusidatori, (21) kritik praktis, (22) kritik baru, (23) kritik teoretis, (24) kritik internal, (25) kritik eksternal (Tarigan, 1986:204) (1) Kritik induktif Kritik induktif adalah sejenis kritik yang bertujuan mengumpulkan fakta- fakta yang ada hubungan atau referensinya dengan sesuatu karya seni, metode- metodenya, hubungannya dengan waktu penciptaannya, serta menyusunnya
  • 17. 17 menjadi suatu urutan dan susunan yang rapi, dan akhirnya melukiskannya dengan teratur. Hal ini sesuai dengan metode induksi dalam ilmu pengetahuan yang mengambil kesimpulan umum dari fakta-fakta yang khusus. (Albert [et al], 1961 : 123) ; jadi kebalikan dari metode deduksi. (2) Kritik judisial Kritik judisial adalah suatu kritik yang berusaha mengemukakan penilaian atau penghakiman terhadap sesuatu karya sastra, serta menghubungkannya dengan norma-norma teknik penulisan ataupun standar-standar tujuan penulisan karya tersebut. (Coulter, 1930: 336). Perlu ditegaskan lagi bahwa norma-norma penilaian, baik secara implicit maupun secara eksplisit tetap akan terdapat dalam segala tipe kritik sastra, betapa pun impersonalnya kritik tersebut. Dalam kritik judisial ini “pengertian yang jelas dan tuntas mengenai suatu karya sastra seringkali sangat dibatasi dan dipersempit” (Shipley, 1962: 88). Hal ini sebenarnya tidak perlu kita herankan. Dalam zaman spesialisasi seperti yang kita alami kini, orang hanya memilih obyek yang sempit, terbatas, tetapi diusahakan keterangan serta penjelasan seluas mungkin. Selanjutnya Rene Wellek dan Austin Warren menegaskan bahwa “kritik yudisial menaruh perhatian pada hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang dianggap sebagai sesuatu yang obyektif. Yang dituntut dari kritik judisial adalah suatu pengklasifikasian yang begitu terperinci dan tajam terhadap para pengarang dan karyanya sesuai dengan kutipan dari yang berwenang atau menaruh perhatian pada sejumlah dogma teori sastra”. (1956: 250). (3) Kritik Impresionistik Kritik Impresionistik adalah sejenis kritik yang muncul sebagai produksi dari aliran individualisme romantik dan juga dari kesadaran akan diri yang lebih modern. Kritik impresionistik menghubungkan pengalaman-pengalaman sang penulis dengan hasil karyanya (Coulter, 1930: 336). Kritik impresionistik ini dapat bertindak sebagai penghubung antara para pembaca yang belum berpengalaman dengan sejumlah karya sastra. Sang kritikus dalam hal ini dapat bertindak sebagai pembimbing dan penghubung; lebih-lebih
  • 18. 18 lagi kalau kritikus impresionistik ini sangat sensitive terhadap efek-efek sastra, dan kalau karyanya tersebar luas dibaca oleh masyarakat; apalagi kalau dia memang seorang penulis kritik yang pintar dan berpengalaman serta mempunyai gaya yang dapat memikat hati para pembaca. Dengan demikian dia dapat memperkaya pengalaman para pembaca, terutama pengalaman imajinatif. (4) Kritik historis Secara singkat dapat dikatakan bahwa kritik historis dapat mengikuti segala sesuatu yang terjadi atas suatu bentuk sastra, ataupun mengadakan survey terhadap kegiatan sastra pada suatu periode sejarah tertentu, ataupun menempatkan seorang pengarang dalam kelompoknya serta menunjukkan hubungannya dengan kelompok tersebut. Yang menjadi doktrin utama kritik historis ini adalah tempelakan atau tuduhan bahwa karya sastra takkan dapat didekati dengan selengkap-lengkapnya, seperti halnya karya itu sendiri telah lengkap dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu setiap karya sastra haruslah diteliti dan ditelaah dengan bantuan atau acuan dari keterangan-keterangan yang ada sangkut-pautnya dengan karya tersebut. (5) Kritik filosofis Kritik filosofis adalah sejenis kritik yang berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan suatu dasar yang paling sesuai bagi penilaian karya sastra melalui analisis terhadap hakekat dan fungsi sastra sebagai suatu falsafah hidup atau sebagai suatu cara berfikir mengenai kehidupan. Kritik filosofis berusaha menentukan prinsip-prinsip pokok yang dapat dipergunakan dalam kritik sastra. Kita sama maklum bahwa prinsip-prinsip dasar ini sangat perlu. Falsafah kritik sastra yang kita anut harus tegas, seperti juga halnya falsafah hidup yang kita anut harus tegas. Kalau tidak, maka kita tidak mempunyai dasar yang kuat, mudah diombang-ambingkan. (6) Kritik formalis Baik lawan maupun kawan mengakui bahwa kritik formalis ini mempunyai pengaruh yang amat besar dan merupakan gerakan kritik yang amat
  • 19. 19 bersemangat dalam abad ke 20 ini baik di Inggris maupun Amerika Serikat. Pada dasarnya kritik formalis ini berasal dari Aristoteles dan para pengikutnya, dalam arti bahwa teori dasar estetikanya meletakkan tekanan pada bentuk karya sastra, strukturnya, gayanya, dan efek psikologisnya, yang biasanya dipertentangkan dengan Plato yang justru meletakkan tekanan pada isi karya dan pada efek moral atau pada efek sosialnya. (7) Kritik sosiokultural Menurut Edmund Wilson, kritik sosiokultural adalah interpretasi sastra dalam aspek-aspek social ekonomi dan politisnya. Yang merupakan pusat perhatian pokok pada kritik ini adalah interaksi karya sastra dengan kehidupan; dan interaksi ini tidak hanya mencakup implikasi-implikasi moral dan kulturalnya. (Grebstein; 1967: 161). Kritik sosiokultural ini sebenarnya banyak sekali mendapat pengaruh dari Matthew Arnold, lebih-lebih dalam hal penekanannya pada aspek-aspek moral, intelektual, dan aspek social sastra dan kritik sastra. Dan penganut Matthew Arnold bukan hanya terbatas pada kritik sosiokultural saja, tetapi juga pada semua jenis kritik. Matthew Arnold member definisi kritik sebagai “suatu upaya bebas untuk mempelajari serta mempropagandakan segala sesuatu yang terbaik yang telah diketahui dan dipikirkan di dunia ini” atau “a disinterested endeavor to learn and propagate the best is known thought in world”. (Grebstein; 1967: 164). (8) Kritik psikologis Kritik psikologis adalah salah satu jenis kritik sastra yang mendalami segi- segi kejiwaan suatu karya sastra, yang mencakup segi-segi kejiwaan penulis, karya, dan pembaca. Kita tahu bahwa hubungan antara psikologi dan kritik sastra adalah sama tuanya dengan usia kedua cabang ilmu tersebut. Dan yang paling berpengaruh terhadap kritik sastra adalah Sigmund Freud dengan psikoanalisisnya. Dalam menggarap masalah penulis, kritikus psikologis ini mempunyai banyak persamaan dengan kritikus historis, yaitu dalam hal mereka mengambil alih secara langsung ataupun menyesuaikan dengan kepentingannya sendiri
  • 20. 20 metode psikoanalisis, baik dalam mengadakan studi terhadap orang di belakang karya itu; atau dengan kata lain: karya sebagai suatu refleksi dan proyeksi dari penulisnya dan dalam mengadakan studi terhadap proses kreatif itu sendiri. Dalam menggarap karya itu sendiri, kritikus psikologis lebih erat berhubungan dengan prosedur-prosedur yang dipergunakan oleh kritikus formalis. Seperti juga halnya kritikus psikologis dalam studinya mengenai proses kreatif berusaha mendemonstrasikan bagaimana pribadi penulis menjadi berguna dan menarik bagi masyarakat ramai, maka begitu dia ingin menelami rahasia daya tarik karya tersebut pada pembaca perseorangan. (9) Kritik mitopoeik Kata mythopoeic berasal dari bahasa Greek mythopoios yang berarti “makinh myths” atau “pembuatan mite”. Dengan demikian kritik mitopoeik adalah sejenis kritik yang ada sangkut-pautnya dengan penciptaan mitos dalam suatu karya sastra. “Mitos adalah cerita-cerita kuno yang isinya dianggap bertuah dan dipercayai orang; biasanya menceritakan tentang terjadinya bumi, langit, manusia, hewan, dewa-dewa dan lain-lain, dan juga tentang berbagai upacara. Dari mitos inilah manusia bisa ketahui hakekat dari hal-hal tersebut dan dapatlah dia menetukan sikapnya terhadap gejala-gejala itu”. (Ensiklopedia Indonesia FM: 967). Kritik mitopoeik ini adalah kritik yang paling baru dan yang paling ambisius diantara pendekatan-pendekatan kritik kontemporer dan barangkali juga yang paling provokatif dalam tindakan-tindakan dan kemungkinan- kemungkinannya. (10) Kritik relativistik Relativisme adalah suatu ajaran atau doktrin dalam estetika dan kritik yang mengatakan bahwa keindahan atau nilai estetika suatu karya seni merupakan suatu “rational property” atau “milik rasional”. Relativisme berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan seperti “pusi ini indah” mengandung suatu referensi
  • 21. 21 implicit pada beberapa orang pendengar sebab sebenarnya artinya yang sesungguhnya adalah “puisi ini indah bagi si X”, dimana X merupakan orang tertentu. Demikianlah relativisme yakin benar-benar bahwa nilai estetika tidaklah inheren atau berhubungan erat dengan karya, tetapi bergantung pada keyakinan atau pendirian seseorang individu, kelompok social, periode sejarah, atau kebudayaan. (Shipley, 1962: 338). Dalam kritik sastra yang menjadi argument kritik relativistic ini adalah bahwa “kritik haruslah memancar dari kepercayaan atau keyakinan pribadi”. (11) Kritik absolutistik Kritik ini berpendapat bahwa satu-satunya alternatif bagi hokum kritik adalah anarki; bahwa kalau setiap kritikus menghakimi atau mengadakan penilaian dan pertimbangan bagi dirinya sendiri, maka mau tak mau muncullah khaos atau kebingungan. Pengalaman membuktikan bahwa keadaan atau posisi yang begini salah sama sekali. Walaupun setiap kritikus harus menghakimi secara perseorangan, namun individu-individu kemanusiaan pada umumnya cukup jumlahnya sehingga komunikasi itu biasanya mungkin saja diadakan, dan demikian juga cukup persetujuan yang berkembang untuk membuktikan kebenaran critical enterprise atau upaya kritis itu. (Shipley, 1962: 87). (12) Kritik interpretatif Untuk menghilangkan keragu-raguan serta kesalahpahaman mengenai semua itu, maka yang khusus dimaksud dengan kritik interpretatif di sini adalah “Bidang kritik yang memberikan kesempatan untuk memperkenalkan standar- standar yang secara relatif tidak ada hubungannya dengan orang atau hal tertentu. Puisi atau drama misalnya ada sebagai suatu dokumen yang actual. Aksi-aksi serta urutan-urutan dari sejarah masa lalu tidaklah akan berubah atau menjadi berbeda dengan danya atau munculnya aneka keinginan yang mendesak dari pribadi tertentu. Dalam menentukan dan menegakkan fakta-fakta yang turut memperjelas suatu karya seni, maka para ahli atau sarjana sejarah dapat bertindak sebagai kritikus sastra.” (Shipley, 1962: 87).
  • 22. 22 (13) Kritik tekstual Textual criticism atau kritik naskah ini adalah sejenis kritik yang memusatkan perhatiannya terutama sekali pada teks atau naskah sesuatu karya sastra. Kritik ini berusaha sekuat daya untuk membawa para pembaca lebih dekat kepada apa yang sebenarnya telah ditulis secara aktual. (14) Kritik linguistik Kritik linguistik dalam sastra menitikberatkan perhatian kepada masalah- masalah kebahasaan dalam karya sastra tersebut. Kritik linguistik dapat menghindarkan kita dari salah pengertian, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, maupun dalam bidang semantik. Kita tahu bahwa bahasa tetap mengalami perkembangan: dan dalam proses perkembangan itu banyak terjadi perubahan. Hal ini akan Nampak jelas dalam karya sastra yang ditulis dalam kurun waktu yang berlainan. (15) Kritik biografis Kritik biografis ini sebenarnya dekat sekali hubungannya dengan kritik historis: hanya bidangnya lebih sempit dan terarah khususpada biografi atai riwayat hidup pengarang beserta karyanya. Tugas pokok kritik biografis ini adalah “mementukan hubungan yang signifikan antara pengarang dengan karyanya, menentukan genesis atau asal-usul, kekuatan yang mendorong, ataupun tujuan yang kongkrit dari suatu karya sastra” (Shipley, 1962: 87). (16) Kritik komparatif Memang banyak hal dalam kritik komparatif ini yang segar dan menarik serta member harapan; kritik ini memperoleh polanya bukan dari kejadian- kejadian yang berhubungan dengan waktu, tetapi justru dari pengelompokan- pengelompokan jenis yang berguna serta gagasan-gagasan atau ide-ide yang berpengaruh. Akan tetapi jelas bahwa kritik yang seperti ini membutuhkan suatu kaidah yang tegas, yakni: hal-hal yang dapat diperbandingkan sajalah yang akan
  • 23. 23 digarap. Hal ini diterapkan pada nada, tujuan, dan cara; bahkan penerapan pada ketiga hal tersebut lebih daripada terhadap pokok masalah (subject-matter)-nya sendiri. (17) Kritik etis Seringkali terjadi bahwa kritik yudisial beralih menjadi kritik etis. Kita tidak usah heran mengenai peralihan tersebut, selama kebanyakan dari karya sastra itu mengandung unsur-unsur moral. Hanya ada bahayanya, yaitu bila norma-norma tersebut berubah pula menjadi unsur-unsur tambahan saja. Bila seprang kritikus moral bertindak secara ideal sebagai seorang kritikus sastra, maka dia akan menerapkan norma-norma moral yang lainnya yang terdapat di luar karya itu tidak turut dia terapkan. Dalam tindakan selanjutnya maka dia akan menerapkan norma-norma yang sesuai serta yang simpatik saja. (18) Kritik perspektif Kritik perspektif ini erat berhubungan dengan kritik biografis. Sebenarnya kritik perspektif ini merupakan suatu studi terhadap reputasi sang pengarang; dengan kata lain, dapat dianggap sebagai suatu jenis biografi kesastraan yang mencakup masalah interpretasi dan evaluasi terhadap pengarang beserta karyanya seperti yang tercermin dalam kalbu dan hati para pembacanya, baik secara kontemporer maupun setelah meninggalnya sang pengarang. (19) Kritik pragmatik Kritik pragmatik dalam sastra merupakan sejenis kritik yang mengarahkan perhatian pada kebergunaan ide-ide, ucapan-ucapan, dalil-dalil, atau teori-teori yang terdapat dalam suatu hasil sastra, pada masyarakat. Reputasi seorang pengarang ditentukan oleh keberhasilan, kebergunaan karya sastra ciptaannya bagi masyarakat. Betapapun indahnya suatu karya sastra, betapapun muluknya teori yang terkandung di dalamnya, apapun temnnya, tetapi kalau ternyata tiada kegunaannya
  • 24. 24 bagi masyarakat dalam praktek kehidupan, maka karya tersebut tetap tidak berhasil bagi kaum pragmatis. (20) Kritik elusidatori Kritik elusidatori atau kritik penjelasan adalah sejenis kritik sastra yang sifatnya memberikan penjelasan. Memang sebenarnya semua jenis kritik sastra bersifat menjelaskan, hanya pengarahan yang agak berbeda. Walaupun antara kritik penjelasan dan kritik penghakiman terdapat banyak persesuaian, namun menurut Rene Wellek dan Austin Warren “terkadang pembedaan yang dibuat antara kritik elusidatori dan kritik yudisial itu hanya sebagai tipe-tipe kritik alternative saja.” (Wellek & Warren; 1956: 250). (21) Kritik praktis Yang dimaksud dengan kritik praktis atau practical critiscism di sini adalah sebagi lawan dari kritik teoretis yang lebih cenderung kea rah ilmiah. Jadi yang menjadi tugas atau tujuan sang kritikus adalah mentukan atau menilai apakah suatu karya sastra itu bernilai praktis bagi masyarakat atau tidak. Sebenarnya kritik praktis ini pada sama saja dengan kritik pragmatik, sebab segala yang berguna bagi kehidupan masyarakat tentu mempunyai nilai praktis, tentu bersifat pragmatis. Tujuan sama walaupun nama berbeda. (22) Kritik baru “Barang kali yang paling penting salam kritik modern di Amerika adalah hasil penyelidikan atau telaah ilmiah bagi suatu cara yang lebih ketat dalam memberi batasan terhadap nilai-nilai khusus suatu karya seni sastra. Salah satu dari gerakan yang memperlancar kegiatan ini adalah reaksi terhadap romantikisme, terhadap pandangan romantik yang menyatakan bahwa fungsi suatu karya seni adalah untuk mengekspresikan pribadi sang pengarang dan fungsi kritikus adalah untuk mencatat atau merekam response emosinya sendiri terhadap keberhasilan sang pengarang. Klasikisme yang baru ini melihat karya sastra itu
  • 25. 25 sebagai yang dibedakan oleh kepersisan imajeri dan oleh urutan penyusunan”, kata David Daiches dalam salah satu tulisannya (VOA: 1). Dan menurut Joseph T. Shipley “kecenderungannya yang pertama adalah memanfaatkan sarana-sarana ilmiah, epigraf, dan statistik” (Shipley, 1962: 84) yang sebelumnya hampir-hampir tidak diperhatikan orang. Mereka memperhatikan frekuensi simbol-simbol fonetik, frekuensi nada dan pola-pola pikiran, frekuensi kata tugas, serta semua ini disertai dengan table-tabel yang lengkap. (23) Kritik teoretis Kritik sastra teoritis adalah bidang kritik sastra yang berusaha (bekerja) untuk menetapkan, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah yang tali- temali, pembedaan-pembedaan, dan kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan dan interpretasi karya-karya sastra ataupun penerapan “kriteria” (standar-standar, atau norma-norma) yang dengan hal-hal tersebut karya-karya sastra dan para pengarangnya dinilai.(Pradopo, 1994: 191) (24) kritik internal Pada dasarnya, internal adalah sesuatu yang berada di dalam sesuatu. Internal dalam arti ini adalah segala sesuatu yang berada di dalam sebuah karya sastra. Kritik internal adalah kritik yang mengkritik karya sastra di dalam karya sastra itu. (25) kritik eksternal Pada dasarnya eksternal adalah sesuatu yang berada di luar sesuatu. Eksternal dalam arti ini adalah segala sesuatu yang berada di luar sebuah karya sastra. Kritik eksternal adalah kritik yang mengkritik katya sastra di luar karya sastra itu. b. Dasar Penjenisan Kritik Sastra Jenis kritik sastra memiliki cakupan arti yang lebih luas daripada bentuk kritik sastra. Penjenisan itu didasarkan atas (1) pendekatan terhadap aspek tertentu
  • 26. 26 dari karya sastra, (2) bentuknya, dan (3) tujuannya. Dasar penjenisan seperti inilah yang mengakibatkan jenis-jenis kritik sastra semakin rumit. Untuk itu inventarisasi dari sejumlah sumber agaknya dapat dimanfaatkan. Dalam buku A Handbook of Critical Approaches to Literature dibedakan 4 pendekatan terhadap aspek tertentu terhadap karya sastra sehingga menghasilkan 4 jenis kritik sastra, yakni: 1. Pendekatan Tradisional Pendekatan Tradisional ditandai dengan kritik yang mengutamakan pembicaraan pada aspek-aspek historis-biografis (kesejarahan-riwayat hidup) serta moral-filosofis. Contoh kritik dari aspek historis-biografis Novel Surabaya karya Idrus Senja Di Jakarta karangan Mochtar Lubis Contoh kritik dari aspek moral-filosofis Dibawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka Harimau-Hariamau karya Mochtar Lubis 2. Pendekatan Formalistik Pendekatan Formalistik ditandai dengan praktik kritik sastra yang mengutamakan analisisnya pada bentuk dan struktur karya sastra. Contoh: Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bacri Puisi-puisi Chairil Anwar 3. Pendekatan Psikologis Pendekatan Psikologis merupakan usaha mengaplikasikan teori-teori kejiwaan dalam pembicaraan karya sastra. Contoh: Perwatakan serba aneh dalam kumpulan Cerpen Budi darma Orang- orang Blamington 4. Pendekatan Sosiologis Pendekatan Sosiologis dalam kritik karya sastra memusatkan perhatian pada aspek-aspek sosiologis sastra, atau membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Contoh: cerpen Topeng Kehidupan
  • 27. 27 Berdasarkan bentuknya, kritik sastra dipisahkan atas kritik relatif dan kritik absolut (bandingkan dengan bentuk kritik sastra akademik, kritik kreatif, dan kritik jurnalistik). Kritik relatif diartikan sebagai bentuk kritik yang mempunyai aturan-aturan yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam upaya menguraikan atau menjelaskan tentang hakikat karya sastra. Contoh: kritik tentang puisi Chairil Anwar dengan mengungkapkan aturan-aturan mengenai puisi yang baik, seperti, pemilihan diksi, gaya penceritaan, dan lain-lain. Sedangkan kritik absolut merupakan kritik sastra yang tidak percaya akan adanya suatu prosedur dan perangkat aturan yang dapat diandalkan untuk dijadikan patokan dalam melakukan kritik (periksa Semi, 1985: 13). Contoh: kritik sastra yang ditulis olen Sutan Takdir Alisyahbana. Selanjutnya, berdasarkan tujuannya kritik sastra dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: (1) kritik judicial (judicial criticism) Kritik Judisial adalah kritik sastra yang bertujuan memberikan penilaian atau penghakiman terhadap karya sastra dengan mendasarkan diri pada standar, norma atau ukuran teknik penulisan atau tujuan penulisan tertentu yang ditetapkan lebih dahulu. Contoh: karya sastra yang baik harus menunjukkan kerumitan, ketegangan, dan keluasaan (intricacy, tension, width), karya sastra yang baik harus menunjukkan sesutu yang baru, sesuatu yang aneh (making it new, making it strange), sastra yang baik harus memiliki satu kesatuan, dan keruwetan (unity and complexity). (2) kritik induktif (inductive criticism) Kritik induktif adalah kritik sastra yang bertujuan mengkaji nilai karya sastra semata. Contoh: bagaimana karya sastra itu disusun kemudian menyusun patokan atau pola bahwa karya sastra yang dikaji itu telah disusun dengan metode atau teknik tertentu atau telah disusun menurut mekanisme tertentu. (3) kritik impresionistik (impresionistic criticism). Kritik Impresionistik adalah kritik sastra yang bertujuan menunjukkan kualitas suatu karya dan mengungkapkan respon atau impresi atau kesan kritikus yang muncul secara langsung.
  • 28. 28 Contoh: setelah membaca novel laskar pelangi, kritikus langsung memberikan kesan bahwa kualitas novel tersebut baik. c. Jenis kritik judisial, kritik induktif, dan kritik impresionistik ditinjau dari objek kritik, teknik mengkritik, dan tujuan kritiknya 1. Kritik judisial (Abrams, 1981: 36) adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasi, teknik, dan gayanya, dan mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar standard-standard umum tentang kehebatan atau keluar biasaan sastra. Kritik Judisial ini menggunakan ukuran-ukuran atau prinsip-prinsip yang dianggap objektif sehingga sering disebut kritik objektif. Teknik mengkritik diukur dari penilaian, misalnya karya sastra yang baik harus menunjukkan kerumitan, ketegangan, dan kekuasaan (intricacy, tension, widht), karya sastra yang baik harus menunjukkan sesuatu yang baru sesuatu yang aneh (making it new, making it stronge), sastra yang baik harus memiliki kesatuan dan keruwetan (unity and complexite). Tujuan kritik judisial untuk memberikan penilaian atau penghakiman terhdap karya sastra dengan mendasarkan diri pada standar, norma atau ukuran teknik penulisan atau tujuan penulisan tertentu yang ditetapkan lebih dahulu. 2. Kritik induktif (Hudson, 1955: 270-1) adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif. Kritik induktif meneliti gejala-gejala alam secara objektif, tanpa menggunakan standar-standar yang tetap yang berasal dari luar dirinya. Objek kritik induktif tidak menggunakan ukuran atau standar penilaian tertentu karena kritik jenis ini memang tidak bermaksud memberikan penghakiman atau penilaian terhadap karya sastra yang dikaji. Kritik induktif dalam karya kerjanya mencontoh metode induksi dalam ilmu pengetahuan, yakni dengan mengambil kesimpulan dari bukti atau
  • 29. 29 fakta-fakta khusus. Kritik induktif disebut juga kritik subjektif (Suwignyo, 2010:28). Kritik induktif adalah kritik sastra yang bertujuan mengkaji nilai karya sastra semata. 3. Kritik immpressionik (Abrams, 1981: 360 adalah kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra dan menyatakan tanggapan-tanggapan (impressi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra. Objek kritik Impresionistik menghubungkan pengalaman sastrawan dengan hasil karyanya. Teknik kritik impresionistik, Tarigan (1986:204-205) menyatakan bahwa hasil kritik impresionistik dapat menjadi penghubung antara para pembaca yang belum atau kurang berpengalaman dengan sejumlah karya sastra. Kritikus dalam hal ini dapat bertindak sebagai pembimbing dan penghubung, lebih-lebih lagi kalau kritikus impresionistik ini sangat sensitif (peka) terhadap efek-efek sastra. Dengan demikian ia dapat memperkaya pengalaman pembaca, terutama pengalaman imajinatif. Kritik Impresionistik bertujuan menunjukkan kualitas suatu karya dan mengungkapkan respon atau impresi atau kesan kritikus yang muncul secara langsung. d. Ciri-ciri kritik (a) formalistik, (b) psikologis, dan (c) sosiologis ditinjau dari (i) asumsinya, (ii) objek kritik, (iii) teknik kritik, dan (iv) tujuan kritiknya (a) Kritik formalistik Ciri-ciri: 1. Asumsi kritik ini didasrkan kepada gagasan bahwa bentuk (form) merupakan sesuatu yang penting bagi pemahaman yang sebenarnya.
  • 30. 30 2. Bagi Jacobson prinsip-prinsip konstruksi (yang bersifat membangun) atau alat- alat sastra yang membuat sebuah teks menjadi karya seni, merupakan objek yang tepat untuk dikaji oleh kritikus sastra formalis. 3. Teknik menggunakan elemen-elemen atau faktor-faktor dari alat sastra ini dapat diabtraksikan dari teks sastra dan kemudian dapat ditelaah secara terpisah dari teks dan konteksnya. 4. Tujuan dari kritik formalistik adalah kajian terhadap sastra agar mencapai taraf ilmiah (scientific). (b) Kritik psikologis Ciri-ciri: 1. Asumsi: psikologis diperlukan suatu maksud-maksud pemahaman mengenai tipe-tipe perwatakan dan hukum kausalitas Plato. 2. Teknik, kritikus mempelajari karya sastra tertentu, kritikus mulai mengkaji dokumen-dokumen pribadi, riwayat hidup serta segala pendapat dan pikiran pengarang lewat tulisan-tulisannya yang bersifat nonliterer. 3. Tujuan: menyelami dan menjelaskan daya tarik suatu karya terhadap pembaca perorangan (Tarigan,1986:14). (c) Kritik sosiologis Ciri-ciri: 1. Asumsi yang harus dipegang sebagai pangkal tolak kritik sastra aliran sosiologi ialah bahwa karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan social. 2. Objek kritik sosiologi, adalah hasil daya khayal atau imajinasi. 3. Teknik kritik sosiologi: dengan mengkaji dan membeberkan bahwa sesuatu yang ditulis pengarang ditentukan masyarakat, cara penulisannya, dan tarjet pembaca karya sastra, serta maksud dan tujuan penciptaan karya sastra. 4. Kritik ini bertujuan: o untuk mengaitkan hubungan antara pengarang sebagai individu atau tipe dikaitkan dengan keadaan yang khas dari era kultural tempat pengarang atau itu hidup dan menulis dan
  • 31. 31 o untuk menghubungkan antara karya sastra dengan masyarakat yang digambarkannya atau yang dituju. e. Contoh judul hasil kritik sastra Indonesia Modern (i) kritik historis- biografis, (ii) kritik moral-filosofis, (iii) kritik sosiologis, dan (iv) kritik psikologis masing-masing 3 buah (i) kritik historis-biografis Pada Titik Kulminasi karangan Styagraha Hoerip Supraba Dari sosialisme religius ke eksistensialisme filosofis oleh Subijantoro Chairil Anwar : sebuah pertemuan oleh Arif Budiman (ii) kritik moral-filosofis Roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka Laut belum pasangnya Abdul Hadi Sang kritikus dalam Sajak-Sajak Darmanto Yatman (iii) kritik sosiologis Cerpen sehelai Pakaian Hitam Alam, puisi, dan Tuhan dalam sapuan rasa khairan di Horizon Sebuah oleh-oleh Taufiq Ismail oleh Subijantoro (iv) kritik psikologis Sebuah buku Merah dan Karbol Kritik-kritik Subagio Sastro Wardoyo tentang sajak-sajak Chairil Anwar Novel-novel Mochtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung dari sudutu ilmu jiwa dalam Freud LEMBAR KERJA MAHASISWA 5 2.3 KOORDINAT KRITIK SASTRA Melakukan Kegiatan Individual:
  • 32. 32 a. Menuliskan kembali aspek referensial atau acuan karya sastra sebagai imitasi dari realitas kehidupan untuk memahami karya sastra (pendekatan mimetik) b. Menuliskan kembali unsur pembangun karya sastra sebagai struktur intrinsik yang berdiri sendiri untuk memahami karya sastra (pendekatan objektif) c. Menuliskan kembali peranan penulis karya sastra sebagai pencipta untuk memahami karya sastra (pendekatan ekspresif) d. Menuliskan kembali peranan pembaca sebagi pemberi makna untuk memahami karya sastra (pendekatan reseptif/pragmatik) Jawaban: a. Pendekatan mimetik Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis, terjemahannya dalam baha sa Inggris berbeda-beda: imitation, representation, artinya peneladanan, peniruan atau pembayangan. Konsep tersebut pada mulanya dikemukakan oleh Plato, kemudian diungkapkan pula oleh Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni hanyalah tiruan alam (imitasi) yang nilainya jauh lebih rendah daripada kenyataan serta ide. Secara lebih lengkap jalan pikiran Plato sbb.: dalam kenyataan yang dapat kita amati setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda mencerminkan ide yang asli (gambar induk); terdapat aneka bentuk ranjang dan meja, tetapi itu semua berasal dari idea tau gambar induk mengenai sebuah ranjang dan sebuah meja. Akhirnya, dapat dikemukakan bahwa meskipun ada banyaka teori mimetis, tetapi persoalan utama sebenarnya mempersoalkan hubungan antara sastra dan kenyataan antara gambar dan apa yang digambarkan. Tolok ukur estetik pertama ialah sejauh mana gambar itu (sastra) sesuai dengan kenyataan. Apakah kenyataan itu merupakan dunia ide, dunia yang universal, atau dunia khas, itu tidak begitu penting. b. Pendekatan objektif Di sekitar tahun 1920 minat dan tekanan secara berangsur-angsur bergeser kea rah karya sastra sebagai struktur yang otonom, yang harus kita pahami secara intrinsic, lepas dari latar belakang sejarahnya, lepas pula dari diri dan niat penulis (the intentional fallacy, Wimsatt and Beardsley, 1946), lepas dari latar belakang
  • 33. 33 sosial dan efeknya pada pembaca (the effective fallacy), Wimsatt and Beardsley, 1949). Pendekatan ini secara singkat dapat dikatakan gerakan otonomi karya sastra (Maatje, 1970: bab 2) dapat kita liat berkembang di mana-mana, sudah barang tentu dengan sgala variasinya serta perbedaan penekanan: formalis Rusia (1915-1930), disusul strukturalisme di Praha dan Eropa Barat, kemudian diimpor ke Amerika Serikat, antara lain oleh Jacobson dan Wellek; tetapi pendekatan ini juga terwujud dalam New Criticism sebagai perkembangan di Amerika yang otokhton, walaupun sebagiannya diilhami dan dipelopori oleh kritikus terkemuka di Inggris, seperti T.S. Eliot. Di Perancis Claude Levi Strauss dan Roland Barthes menjadi tokoh terkemuka pendekatan structural, masing-masing dan ciri khasnya. Pendekatan structural dari segi tertentu membawa hasil yang gilang- gemilang; usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar strukturnya memaksa peneliti sastra untuk membebaskan diri dari konsep metode dan teknik yang sebenarnya berada di luar jangkauan sebagai ahli (kritikus sastra, seperti psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat, paedogogi dan lain-lain; dan kemudian mengembalikannya pada tugas utamanya, yaitu meneliti sastra).akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa analisis struktur adalah tugas utama ataupun tujuan terakhir penelitian sebuah karya sastra. c. Pendekatan ekspresif Dalam abad ke-19 di dunia barat pendekatan ekspresif menjadi dominan, menguasai ilmu sastra: diri penyair, jiwanya, daya ciptanya, dan lain-lain ditonjolkan, sesuai dengan aliran romantik yang juga dalam karya kreatifnya menonjolkan si aku seorang pengarang. Tidaklah kebetulan bahwa dalam sastra abad ke 19 ini maupun dalam pendekatan ilmiahnya, puisi lirik secara khusus diperhatikan. Gerakan ini masih bisa kita telusuri bekasnya dalam pendekatan pada masa Pujangga Bru, baik sebagai penyair maupun sebagai kritikus. Minat untuk diri si penulis sering digabungkan dengan pendekatan historis: yang diteliti khususnya asal usul sebuah karya, bentuk purba, terjadinya dan penyebaran motif- motif, dan lain-lain. Hal ini pun dapat dikaitkan dengan aliran romantik yang juga sangat tertarik oleh masa lampau, masa purba, manusia asli, primitive, dan lain- lain (Teeuw, 1983: 60).
  • 34. 34 Berkaitan dengan pendekatan ekspresif ini, maka beberapa jenis kritik dapat dimasukkan ke dalamnya, antara lain: kritik historis-biografis, kritik psikologis terutama perhatian yang berkenaan dengan factor genetic karya sastra, yaitu kepribadian pengarang dan proses kreatifnya. Jenis kritik yang lain ialah kritik perspektif, yaitu kritik yang menganggap “author after life” beserta bagian- bagian yang terpenting dari keberhasilannya yang telah atau patut menerima penghargaan dan patut diabadikan. Kritik ini erat berhubungan dengan kritik biografis karena salah satu kajiannya ialah “biografi kesastraan” yang mencakup masalah interpretasi dan evaluasi terhadap pengarang beserta karyanya, seperti yang tercermin dalam kalbu dan hati para pembacanya baik secara kontemporer maupun setelah meninggalnya sang pengarang (Tarigan, 1986: 220). d. Pendekatan reseptif/pragmatik Sejak Perang Dunia Kedua, khususnya sesudah tahun 1960, perkembangan baru dalam ilmu sastra terjadi pergeseran minat karya sastra sebagai struktur kea rah peranan pembaca sebagai pemberi makna. Istilah pragmatik menunjukkan pada efek komunikasi yang sering dirumuskan dalam istilah Horatio: seniman bertugas untuk docere dan delectere, member ajaran dan kenikmatan, acapkali ditambahkan movere, menggerakkan pembaca dan kegiatan yang bertanggung jawab; seni (sastra) menggabungkan sifat utile dan dulce, bermanfaat dan indah. Pembaca kena, dipengaruhi, digerakkan untuk bertindak oleh karya seni (sastra) yang baik. Berkaitan dengan pendekatan pragmatik ini berturut-turut dibicarakan kritik semiotik dan kritik resepsi estetik.
  • 35. 35 LEMBAR KERJA MAHASISWA 6 TOPIK : PENILAIAN DALAM KRITIK SASTRA Melakukan Kegiatan Individual: a. Menuliakan kembali pengertian penilaian relatif, penilaian absolut, dan penilaian perspektif dalam kritik sastra. b. Memberikan contoh penilaian relatif, absolut, dan perspektif dalam praktik kritik sastra Indonesia Modern. c. Menuliskan kembali kriteria kritik mimetik, kritik objektif, kritik ekspresif, dan kriteria kritik pragmatik/reseptif dalam praktik sastra Indonesia Modern. d. Menuliskan kembali dengan kalimat sendiri apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kritikus untuk penulisan karya kritik sastra yang ideal. Jawaban: a. Pengertian penilaian relatif, penilaian absolut, dan penilaian perspektif dalam kritik sastra. 1. Penilaian relatif Penilaian relativisme ialah penilaian yang dilakukan berdasarkan konteks tempat dan zaman diterbitkannya suatu karya sastra. Asumsi dasar penilaian relativisme adalah karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat yang lain yang berbeda. Penilaian relativisme memang mengandaikan transferabilitas kualitas suatu karya sastra. Kaum relativis berkeyakinan bahwa, karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada konteks tempat dan zaman tertentu tidak memerlukan penilaian lagi (Periksa Pradopo, 1988:59). 2. Penilaian absolut Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau berdasarkan ukuran-ukuran yang sifatnya dogmatis. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan humanis baru, Marxis dan Neo Thomis yang memberikan
  • 36. 36 penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan ukuran-ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui adanya hukum-hukum tertentu, standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra tertentu. Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus judicial menggunakan standar penilaian karya-karya Yunani Klasik serta Sastra latin terhadap kajian karya sastra tertentu sehingga sifat penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional. Cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan penilaian yang sifatnya mutlak atau absolut (periksa Pradopo, 1988:61). 3. Penilaian perspektif Paham penilaian perspektivisme menilai karya sastra dari berbagai perspektif, atau sudut pandang, yakni menilai suatu karya sastra pada waktu terbitnya, dan bagaimana nilai karya sastra tersebut untuk masa-masa berikutnya, bahkan menilai karya sastra tersebut pada masa sekarang. Anggapan dasarnya bahwa karya sastra bersifat abadi dan historisis sekaligus. Abadi artinya memelihara satu ciri atau konvensi serta sastra Melayu Lama. Historis artinya karya tersebut telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya, misalnya suatu karya sastra itu telah mengalami (melewati) masa kesusastraan romantik, realism, dan sebagainya. Dengan pengertian itu paham perspektivisme mengakui adanya satu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, penuh kemungkinan. Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui penafsirannya sepanjang masa. b. Contoh penilaian relatif, absolut, dan perspektif dalam praktik kritik sastra Indonesia Modern 1. Contoh penilaian relatif Dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki nilai literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk konteks masyarakat Melayu dan pada saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak bernilai literer sama sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si
  • 37. 37 Miskin haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan di mana pun )tempat/lokus). Jadi, penilaian relativisme yang diberlakukan pada suatu tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang berbeda. 2. Contoh penilaian absolut Para kritikus modern memakai hukum-hukum drama klasik sebagai standar penilaian drama-drama modern (yang baru). Misalnya, Addington yang memakai standar drama klasik untuk menilai drama Shakespeare dan Epic Aeneid untuk menilai “Paradise Lost” ciptaan Milton. Begitu juga Leo Tolstoy yang memakai standar agama sebagai penilaian mutlak untuk menilai baik buruknya karya sastra. Bagi Tolstoy karya seni (sastra) yang baik adalah yang selaras, yang cocok, yang dekat dengan apa-apa yang diidealkan oleh agama. Sebaliknya karya seni atau sastra menjadi buruk apabila menjauhkan orang dari nilai-nilai ideal agama. Padahal, banyak seni atau sastra yang diakui besar tetapi di dalamnya tidak berhubungan dengan nilai-nilai ideal keagamaan. 3. Contoh penilaian perspektif Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektif mengakui adanya pengaruh zaman dan subjek dalam penilaian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang kini dianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare oleh Voltaire dianggap tulisan seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh tahun kemudian Victor Hugo menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine “dewa” drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 penilaian yang senegatif itu dianut oleh kebanyakan kritikus. c. Kriteria kritik mimetik, kritik objektif, kritik ekspresif, dan kriteria kritik pragmatik/reseptif dalam praktik sastra Indonesia Modern a. Kriteria kritik mimetik
  • 38. 38 Kelompok kriteria kedua mengaitkan karya sastra dengan kenyataan yang ditiru atau tercermin di dalamnya. Kriteria demikian dinamakan kriteria mimetis atau mimetik. Kaum mimetikus berkeyakinan bahwa sebuah karya sastra bernilai baik apabila suatu kenyataan, misalnya kenyataan sosial, budaya, alam, lingkungan hidup dsb. Dinyatakan atau diungkapkan dengan tepat, lengkap atau secara unik sehingga memiliki daya pesona. Bila seorang kritikus mengharapkan dari sastra supaya kenyataan diperjelas, maka kriteria inilah yang dipergunakan atau diutamakan. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan Goenawan Moehamad bahwa tugas sastrawan dan seniman pada umumnya adalah membuat penghayatan terhadap kehidupan menjadi lebih intens. Dengan kata lain karya sastra atau karya seni yang baik hendaknya mempunyai intensitas terhadap realitas, bukan sekadar meletakkan kembali realitas tersebut (Moehamad, 1988: 53). b. Kriteria kritik objektif Kelompok kriteria ketiga langsung mengaitkan pendapat pihak kritikus dan karya sastra. Seorang kritikus dapat mempergunakan kriteria politik, religious atau moral. Misalnya saja sebuah karya dinilai baik bila karya itu mengambil sikap yang diharapkan oleh kritikus, atau bila karya itu menyoroti situasi-situasi yang dianggap penting oleh kritikus, sekalipun itu tidak ditekankan oleh pengarangnya sendiri. Kriteria itu dijunjung tinggi bila fungsi sastra ditempatkan dalam pendidikan atau emansipasi, ataupun bila diharapkan agar sastra mengambil sikap yang tegas terhadap keadaan-keadaan tertentu, melibatkan diri dalam situasi itu (bandingkan dengan paham sastra terlibat. Rendra pernah mengkritik para penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan di tengah-tengah jerit kehidupan). c. Kriteria kritik ekspresif Kembali pada persoalan kriteria dalam penilaian, sering kriteria itu tidak dikemukakan secara eksplisit, namun kadang-kadang masih dapat dilacak kriteria penilaian mana yang dipergunakan atau dianut. Penilaian terhadap suatu karya sastra juga sangat dipengaruhi oleh pandangan seseorang mengenai fungsi sastra. Fungsi yang berlainan juga menimbulkan kriteria lain atau bahkan mempengaruhi hirarki criteria,mana yang paling dipentingkan (Lexemburg, 1984: 70).
  • 39. 39 Terdapat kriteria penilaian yang mengaitkan kualitas karya sastra dari sudut pengarang, hal itu tampak dalam kriteria ekspresivitas. Suatu karya sastra dinilai baik apabila ekspresi pribadi dan emosi pengarang diungkapkan dalam karya sastra dengan nyata. Diukur dari kriteria intense sebuah karya sastra dinyatakan baik apabila intense (maksud) pengarang atau penyair diungkapkan dengan baik atau selaras dengan norma-normanya (ingat kembali tentang norma- norma sastra). Bila fungsi sastra dipusatkan pada pengungkapan emosi sebagaimana dilakukan oleh kaum romantikus, maka kriteria ekspresivitas akan dipentingkan dalam menilai kualitas suatu karya sastra. d. Kriteria kritik pragmatik/reseptif Di samping kriteria di atas, masih ada kriteria-kriteria penilaian dalam studi kritik sastra. Kriteria yang dimaksud adalah kriteria yang di dasarkan atas teori pragmatis. Tercakup ke dalam teori ini ialah kriteria (a) kesenangan (pleasure), (b) kemudahan pemahaman (intelligibility), (c) permasalahannya berada di luar pengetahuan atau pengalaman pembaca (kritikus) yang disebut novelity,dan familiarity, yaitu permasalahan berada dalam pengetahuan dan pengalaman sehari-hari pembaca/kritikus. e. Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kritikus untuk penulisan karya kritik sastra yang ideal Akhirnya, apat disebut beberapa syarat yang seharusnya dipenuhi oleh sebuah laporan evaluasi atau karya kritik sastra yang ideal. 1. Kritikus harus menunjukkan dalam kritik dan dalam suatu uraian umum, fungsi yang mana yang diharapkan dari sastra dan kriteria mana yang dipergunakannya. 2. Kritikus harus menjelaskan kriteria dengan menunjukkan contoh-contohnya. Misalnya, kriteria “orisinalitas” harus diperjelas, orisinalitas jika dibandingkan dengan apa; sebuah penilaian seperti “memikat” harus ditolak karena tidak dapat dikontrol. 3. Kritik harus dapat dibuktikan dengan menunjukkan data dati teks sastra yang dikaji.
  • 40. 40 4. Menggunakan kriteria sedapat mungkin sehingga saling melengkapi. Sebuah penilaian negative yang menitikberatkan pada moral, seharusnya diperkuat dengan argumentasi structural, misalnya dengan mengamati pemakaian bahasanya. 5. Kritik harusnya memeperhatikan argumentasi structural: bentuk karya seni yang disebut sastra itu menuntut agar isi dengan sadar dituangkan ke dalam bentuk tertentu. 6. Kritik terhadap karya hendaknya didukung dengan menempatkan karya itu di dalam keseluruhan karya-karya pengarang yang sama, ataupun di dalam suatu jenis sastra tertentu aliran tertentu (Lexemburg, 1984: 73).
  • 41. 41 DAFTAR RUJUKAN Rachmat, D. P. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Jogya: Gadjah Mada University Press. Semi, A. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. Suwignyo, H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern. Malang: Asih Asah Asuh. Tarigan, H. G. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.