SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 50
1



KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN

KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH

                       BENDAHARAWAN

   ( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Keuangan Negara)




                               Oleh :


                FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.


                   NIM : 11/322217/PHK/06731




     PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM


       UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA


                       MAGISTER HUKUM


                                2012
2



                                        BAB I

                                 PENDAHULUAN




A. LATAR BELAKANG


       Perkembangan konsep “Negara hukum” sekarang ini telah menghasilkan

Negara hukum kesejahteraan (social service staat; welvaarstat). Konsekuensinya,

dalam suatu Negara yang demikian ini, tugas Negara sebagai servis publik adalah

menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial (yang oleh

Lemaire disebutnya dengan : bestuurzog) bagi masyarakatnya.1 Untuk dapat

menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial, Negara

sangatlah memerlukan sarana yang mutlak demi menunjang terlaksananya roda

pemerintahan. Sarana mutlak yang dimaksudkan salah satunya ialah berbentuk

modal (keuangan). Namun, tidak serta merta Negara menjadi pemilik dari benda

tersebut, oleh karena itu sarana yang berbentuk benda itu kemudian memerlukan

pengaturan lebih lanjut agar tidak menimbulkan kekuasaan yang absolut dari

Negara terhadap benda itu. Pengaturan yang dimaksud pada akhirnya

menciptakan ilmu hukum baru, yaitu hukum keuangan Negara ( public finance

law (Inggris) atau fiscal recht (Belanda) ).

       Terkait dengan kewajiban tersebut, dalam pengelolaan keuangan Negara

pemerintah selalu berusaha menghindarkan terjadinya kekurangan kekayaan

karena alasan apapun yang disebabkan kesalahan dalam pengelolaan oleh

1
  Panjaitan Saut P., “Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum Administrasi Negara”
dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm.104
3



pejabatnya, agar pemerintah tetap dapat menyediakan layanan kepada masyarakat

sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Beranjak dari konsep dasar seperti

tersebut, dalam setiap kejadian kekurangan kekayaan Negara, baik dalam bentuk

uang maupun barang, yang kemudian dikenal dengan istilah kerugian Negara,

pemerintah hanya mewajibkan langkah-langkah pemulihan kemampuan keuangan

Negara, agar pemerintah tetap dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan

layanan kepada masyarakat.2 Selanjutnya, Pejabat yang dimaksud dalam

pengelolaan keuangan Negara dikenal pula bendahara sebagai pengelola keuangan

Negara. Bandahara adalah setiap orang atau Badan yang diberi tugas untuk dan

atas nama Negara menerima, menyimpan dan membayar/menyerahkan uang atau

surat berharga atau barang. Bendahara ini bukan merupakan bendahara umum

keuangan Negara, melainkan bendahara pada kantor/satuan kerja di lingkungan

kementerian Negara/lembaga non kementerian, dan lembaga Negara.3

        Ketika Negara mengalami kerugian akibat pengelolaan keuangan Negara

yang tidak benar, Negara wajib mengenakan tuntutan ganti kerugian kepada pihak

yang melakukannya. Pengenaan tuntutan ganti kerugian bertujuan untuk

memulihkan keuangan Negara yang mengalami kekurangan dan dikembalikan

pada keadaan semula sehingga dapat digunakan kembali dalam mencapai tujuan

Negara.4


2
   Suyanto Siswo., “Pembuktian Unsur Kerugian Negara Dan Perhitungannya Dalam Tindak
Pidana Korupsi”, disampaikan dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007 di Jakarta, Ketua Tim Kerja Penyusunan RUU
Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan       Negara,     http://www.kppngarut.org/component/content/article/41-keuangan/110-
korupsi.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2012
3
   Saidi Muhammad Djafar., Hukum Keuangan Negara, Edisi Pertama Rajawali Pers, Jakarta,
2008, hlm. 46-47
4
  Ibid, hlm.73
4



B. PERUMUSAN MASALAH


      Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan

dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Konsekuensi Yuridis Terhadap

Timbulnya Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Oleh

Bendaharawan?”
5



                                          BAB II


                                     PEMBAHASAN




A. PENGERTIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK

      PIDANA KORUPSI


          Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan

ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai

berikut:5

              (1) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan

                  (disguise of purpose or intent);

              (2) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si

                  korban (reliance upon the ingenuity or carelesne of the victim);

              (3) Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation).

          Korupsi bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Gejalanya

telah sejak lama dirasakan dan menjadi bahan diskusi di berbagai belahan dunia.

Bahkan sebuah ungkapan dari Lord Acton yang berbunyi : “power tends to

corrupt, absolutely power corrupt absolutely”, seolah menjadi sebuah idiom yang

berlaku seumur hidup. Berbagai pengajaran baik dalam ruang lingkup hukum

maupun politik menggunakan ungkapan dari Lord Acton ini sebagai logika awal.

          Dalam Norma umum di masyarakat maupun norma khusus semisal

perundangan, istilah korupsi bisa saja dimaknai beragam. Perbedaaan pengertian

5
    Arief Barda Nawawi & Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm.56
6



ini menyebabkan implikasi hukum dan sosial yang berbeda pula di mata

masyarakat. Sebuah tindakan korupsi yang merugikan keuangan Negara boleh

jadi secara norma sosial dianggap sebagai tindakan wajar dan tidak melanggar. Ini

karena pandangan dan pemahaman suatu masyarakat terhadap perbuatan korupsi

berbeda dengan masyarakat lainnya.

       Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa

Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam

bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti

harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur

yang disangkutpautkan dengan keuangan.6 Menurut M. Dawam Rahardjo,7

korupsi merupakan perbuatan melanggar hukum yang berakibat rusaknya tatanan

yang sudah disepakati. Tatanan itu bisa berwujud pemerintahan, administrasi, atau

manajemen. Sedangkan, menurut Transparansi Internasional, korupsi adalah

“perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak

wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat

dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan

kepada mereka.”8

       Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya

kerugian keuangan Negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan Negara,

maka perlu ada kejelasan definisi secara yuridis pengertian keuangan Negara.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum ada kesamaan

6
  Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm.115
7
  Jeddawi Murtir. H., Mengefektifkan Peran Birokrasi Untuk Memangkas Perilaku Korupsi,
Cetakan Pertama, Total Media (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2009, hlm 61-62
8
  Rais Mohammad Amien., Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, ctk.Ekstra, PPSK
Press, Yogyakarta, 2008, hlm.177
7



tentang pengertian keuangan Negara. Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 17

Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan Negara adalah

semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala

sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara

berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.9 Sedangkan secara teoritis,

pengertian keuangan Negara dapat dilihat dari beberapa pandangan para ahli,

sebagaimana dikutip oleh W.Riawan Tjandra,10 yakni :

                 Menurut M.Ichwan

                         Keuangan       Negara      adalah    rencana     kegiatan     secara

                 kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam

                 jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang,

                 lazimnya 1 (satu) tahun mendatang.

                 Menurut Geodhart

                         Keuangan Negara merupakan keseluruhan undang-undang

                 yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan

                 pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode

                 tetrtentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk

                 menutup pengeluaran tersebut.

                 Menurut Van der Kemp11

                         Keuangan Negara adalah semua hak yang dapat dinilai

                 dengan uang demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang

9
   Atmadja Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum Teori, Praktik Dan Kritik,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.4
10
    Tjandra W.Riawan., Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2008, hlm.176
11
   Ibid, hlm.178
8



                ataupun barang) yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan

                dengan hak-hak tersebut.

       Untuk mengetahui karakteristik tindak pidana korupsi di Indonesia dapat

dilihat di dalam UUTPK (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi)   dalam arti materil sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3

UUPTPK diuraikan berikut ini;

      Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999;
          “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
          memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suau korporasi yang
          dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
          dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
          paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
          dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan
          paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

     Bunyi Pasal ini mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak

pidana yaitu:

                (1) Setiap orang;

                (2) Secara melawan hukum;

                (3) Perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi;

                (4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.


       Dalam hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” adalah 1 (satu) frase

yang memiliki 4 (empat) makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan

hukum umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formal dan

sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai

syarat umum dapat di pidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan

pidana oleh Ch. J. Enschede sebagai “een menseijk gedraging die val binnen de
9



grenzen van delictsomschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten”

(perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam rumusan

delik, melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicelakan padanya).


       Sifat melawan hukum khusus, biasanya kata “melawan hukum”

dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan hukum

merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sebenarnya

penyebutan kata “melawan hukum” secara eksplisit dalam rumusan delik merujuk

pada ilmu hukum Jerman yang diajarkan sejumlah pakar antara lain, Zevenbergen

dan pengikutnya di Belanda, Simon. Menurut padangan ini, melawan hukum

hanya merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam peraturan

perundang-undangan.


       Berbeda dengan pandangan sebagian besar ilmuan hukum pidana

Belanda12 yang berangkat dari anggapan bahwa siapa yang melakukan suatu

perbuatan perundang-undangan pidana berarti ia melakukan tindak pidana dan

dengan demikian bertindak secara melawan hukum. Dengan kata lain, kendatipun

kata “melawan hukum” tidak disebutkan dalam rumusan delik, maka secara diam-

diam sifat melawan hukum tersebut telah ada dalam suatu delik. Lebih tegasnya

lagi dinyatakan oleh Hazewinkel Suringa, “De wederrechtelijkheid is slects daar,

waar de wet haar noemt, element en verder allen maar het kenmerk van ieder

delict” (melawan hukum merupakan unsur mutlak jika disebutkan dengan tegas



12
  Eddy.O.S. Hiariej., “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Dampaknya Terhadap
Pemberantasan Korupsi”, Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM-Mimbar Hukum, Volume 18,
Nomor 3, Oktober, 2006, hlm.295
10



dalam undang-undang, jika tidak maka sifat melawan hukum adalah sebagai ciri

suatu peristiwa pidana).


           Sifat melawan hukum formal mengandung arti semua bagian (unsur-

unsur) dari rumusan delik telah dipenuhi. Sebaliknya, sifat melawan hukum

material terdapat 2 (dua) pandangan. Pertama, sifat melawan hukum material

dilihat dari sudut perbuatannya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang

melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungai oleh

pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Kedua, sifat melawan

hukum material dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna

bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam

masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial

dalam masyarakat. Perkembangan selanjutnya,13 sifat melawan hukum material

ini masih dibagi lagi menjadi sifat melawan hukum material dalam fungsinya

yang negatif dan sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang positif.


           Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif berarti

meskipun perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa

keadilan masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Sebaliknya, sifat

melawan hukum material dalam fungsinya yang positif, mengandung arti bahwa

meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,

namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa




13
     Ibid, hlm.296
11



keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana.


           Apabila dikaji Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberatasan Tindak

Pidana Korupsi berikut penjelasannya, maka secara jelas terlihat bahwa sifat

melawan hukum dalam undang-undang tersebut mengandung ke-4 (keempat)

makna sebagaimana telah diuraikan diatas. Sifat melawan hukum umum dan sifat

melawan hukum formal telah melekat dengan sendirinya, mengingat korupsi

adalah perbuatan pidana. Sementara sifat melawan hukum khusus tergambar dari

kata-kata “melawan hukum” yang ada dalam rumusan delik. Sedangkan sifat

melawan hukum material secara eksplisit dicantumkan dalam Penjelasan.14


           Kerugian Negara berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-

undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

Undang-undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang menyebutkan bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam

mengungkapkan terjadinya tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara. Menurut Nieuwenhuis,15 kerugian

adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu disebabkan oleh perbuatan

(melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.




14
     Ibid, hlm.297
15
     Miru Ahmadi., Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm.81
12



        Unsur “dapat merugikan keuangan Negara” memang merupakan delik

formil,16 artinya tidak perlu telah terjadi kerugian keuangan atau perkeonomian

Negara. Kendati begitu, menurut Andi Hamzah, tetap harus dibuktikan “dapatnya

Negara rugi”. Jadi, harus dipanggil ahli akuntan untuk menilai menurut

perhitungannya, dapatkah Negara rugi. Andi Hamzah menilai berlebihan terhadap

penafsiran yang mengatakan “dapat merugikan keuangan Negara” adalah

“potensial” merugikan keuangan Negara. Alasannya, kata “potensial” itu luas

sekali artinya. Misalnya, semua orang potensial melakukan kejahatan, sedangkan

yang melakukan kejahatan hanya minoritas dari rakyat. Jadi, menurut Andi

Hamzah, terlampau luas jika kata”dapat” diartikan “potensial”. Mestinya tetap

ada perhitungan oleh akuntan mengenai “dapatnya Negara rugi”.17


        Unsur kerugian Negara sering menjadi polemik karena memiliki

pengertian yang dapat dilihat dari beberapa perspektif hukum, yaitu berdasarkan

perspektif hukum administrasi negarra, hukum perdata dan hukum pidana, yang

lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut :18




16
   lihat; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang
         meniadakan berlakunya penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999,
         sehingga perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yaitu perbuatan yang dianggap
         tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat,
         dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena pengertian melawan
         hukum secara materiil dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
         Republik Indonesia Tahun 1945.
17
   Andi Samsan Nganro., “Tindak Pidana Korupsi Dalam Perundang-undangan Di Indonesia”, Al
Manãhij, Volume 2, Nomor I, 1 januari-Juni 2008, hlm.123
18
   Setyo Utomo., Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pada Jasa Konsultan; Materi disampaikan
dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Ikatan
Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) tentang “Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan
Kontrak Jasa Konsultasi dan Pencegahan Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah”, yang
diselenggarakan di Balai Sidang Djokosoetono Gedung F Lantai 2 FH-UI Depok, Selasa 22 Juni
2010, hlm.9-10
13



(1) Pengertian   kerugian   Negara   berdasarkan   perspektif   hukum

   administrasi Negara, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 22

   Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,

   yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan

   pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik

   sengaja maupun lalai. Rumusan pengertian kerugian Negara dalam

   Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

   ini sama dengan rumusan pengertian kerugian Negara sebagaimana

   diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006

   tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

(2) Pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum perdata

   terkait dengan pengertian keuangan Negara yang dikelola oleh

   perusahaan Negara/perusahaan daerah sebagaimana diatur dalam

   Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan

   Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik

   Negara. Jadi kerugian Negara disini adalah berkurangnya Kekayaan

   Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain

   berupa uang, surat berharga atau saham, piutang, barang, serta hak-

   hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

   dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah yang

   disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang

   telah ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Undang-
14



            Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoan Terbatas dan Undang-

            Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

        (3) Pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum pidana

            adalah suatu perbuatan yang menyimpang terhadap penggunaan dan

            pengelolaan keuangan Negara sehingga dapat dikualifikasikan

            sebagai perbuatan merugikan Negara atau dapat merugikan Negara

            sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur-unsur :

            pertama, perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum,

            baik dalam pengertian formil maupun materil atau penyalahgunaan

            wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya, dan kedua,

            para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik si pelaku

            sendiri, orang lain atau korporasi (Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-

            Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun

            2001).


       Jika mengacu pada pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif

hukum administrasi Negara maka pengertiannya disini adalah pengertian kerugian

Negara yang memaknai pengertian keuanan Negara, sehingga berbeda dengan

kerugian Negara yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, yang merupakan pengertian yang spesifik dan merupakan lex specialias

derogat legi generalis sistematis, yaitu meskipun sama-sama bersifat khusus,

tetapi yang mendominasi adalah lingkup kepentingannya dalam hal ini adalah

pidana. Tegasnya penerapannya harus melihat kepada lingkup permasalahannya,
15



jika menyangkut masalah pidana maka yang diberlakukan adalah hukum pidana,

sehingga mengesampingkan hukum perdata dan hukum administrasi Negara.

Sebagai contoh dalam praktek selama ini dalam hal penerapan pengertian Pegawai

Negeri, walaupun diatur di dalam Undang-Undang Kepegawaian Nomor 8 Tahun

1974 jo. UU No. 43 Tahun 1999, tetapi yang digunakan dalam tindak pidana

korupsi adalah pengertian pegawai negeri di dalam Undang-Undang No.31 Tahun

1999 jo. Undang-Undang jo. No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tinak

Pidana Korupsi, bahkan pengertian sesama hukum pidana termuat dalam KUHP

juga diabaikan.


       Dengan memperhatikan rumusan keuangan Negara sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, maka kerugian keuangan Negara

tersebut dapat berbentuk :19

           1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah (dapat berupa

               uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan.

           2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah lebih besar dari

               yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku.

           3. Hilangnya sumber/kekayaan Negara/daerah yang seharusnya

               diterima (termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu,

               barang fiktif).




19
   Soepardi Eddy Mulyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur
Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan pada ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas
Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hlm.3
16



           4. Penerimaan sumber/kekayaan Negara/daerah lebih kecil/rendah

               dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak,

               kualitas tidak sesuai).

           5. Timbulnya suatu kewajiban Negara/daerah yang seharusnya tidak

               ada.

           6. Timbulnya suatu kewajiban Negara/daerah yang lebih besar dari

               yang seharusnya.

           7. Hilangnya       suatu      hak   Negara/daerah       yang     seharusnya

               dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku.

           8. Hak Negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya

               diterima.




B. SUMBER KERUGIAN KEUANGAN NEGARA


       Dalam kasus kerugian Negara, ada empat akun besar yang bisa menjadi

sumber dari kerugian Negara, sebagaimana dikemukakan oleh Theodorus M.

Tuanakotta20 dalam bukunya Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam

Tindak Pidana Korupsi menggambarkannya dalam pohon kerugian keuangan

Negara yang dijelaskan seperti di bawah ini. Pohon kerugian keuangan Negara

mempunyai empat (4) cabang, dalam hal ini yaitu akun. Masing-masing akun




20
   “Pohon Kerugian Keuangan Negara”, http://shartika2009.wordpress.com/2011/04/24/pohon-
kerugian-keuangan-Negara/, diakses pada tanggal 17 Mei 2012
17



mempunyai cabang yang menunjukkan kaitan antara perbuatan melawan hukum

dengan akun-akun tersebut. Keempat akun tersebut adalah :


              (1) Aset (Asset)

              (2) Kewajiban (Liability)

              (3) Penerimaan (Revenue)

              (4) Pengeluaran (Expenditure)


       Dengan menggunakan istilah bahasa Inggris diatas, pohon kerugian

keuangan Negara ini sering disebut dengan R.E.A.L tree.
18



a) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Aset

          Terdapat 5 sumber kerugian keuangan Negara terkait dengan aset.

   Seperti yang dijelaskan pada bagian di bawah ini.

   1. Pengadaan Barang dan Jasa

     Bentuk kerugian keuangan Negara dari pengadaan barang dan jasa adalah

     pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya. Bentuk kerugian ini dapat

     berupa:


          a) Markup untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan

               dokumen tender dan kuantitasnya sesuai dengan pesanan, tetapi

               harganya lebih mahal.

          b) Harga secara total sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan/atau

               kuantitas barang lebih rendah dari yang disyaratkan.

          c) Syarat penyerahan barang lebih istimewa sedangkan syarat

               pembayaran tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga.

          d) Syarat pembayaran lebih baik, tetapi syarat lainnya seperti kualitas

               dan kuantitas tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga.

          e) Kombinasi dari beberapa kerugian di atas.


   2. Pelepasan Aset

     Bentuk dan kerugian yang dapat ditimbulkan:


      a) Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan nilai buku sebagai patokan

          dimana panitia penjualan menyetujui harga jual di atas harga buku.

          Sehingga, para pelaku bisa berkelit bahwa penjualan aset telah
19



   menguntungkan Negara. Padahal pada kenyataannya, penjualan

   tersebut bisa dilakukan dengan atau tanpa tender. Praktik tender yang

   curang serupa dengan proses tender pada pengadaan barang dan jasa

   seperti yang telah dijelaskan di atas.

b) Penjualan tanah dan bangunan “diatur” melalui NJOP hasil kolusi

   dengan pejabat terkait. NJOP di sini berperan sebagai nilai buku

   seperti pada poin “a” di atas.

c) Tukar guling (ruilslag) tanah dan bangunan milik Negara dengan

   tanah, bangunan, atau aset lain. Dengan demikian aset ditukar dengan

   aset sehingga nilai pertukarannya sulit ditentukan. Masalah lainnya

   adalah surat kepemilikan, penguasaan atas tanah, peruntukan tanah

   yang diterima dalam tukar guling. Aset Negara yang bernilai tinggi di-

   ruilslag dengan tanah bodong (substance disamarkan melalui form).

d) Pelepasan hak Negara untuk menagih. Para makelar perkara (biasa

   disebut juga dengan makelar kasus atau markus) memberikan

   perangsang kepada penguasa untuk menghilangkan hak tagih. Atau

   sebaliknya, penegak hukum melihat peluang untuk berkooptasi dengan

   para markus. Besarnya kerugiannya bukan semata-mata hilangnya

   jumlah pokok, tetapi juga kerugian bunga sejak hak tagih hilang

   sampai terpidana membayar kembali berdasakan putusan majelis

   hakim.
20



3. Pemanfaatan Aset

  Hal ini dilakukan ketika lembaga-lembaga Negara mempunyai aset yang

  belum dimanfaatkan secara penuh, “salah beli”, atau “salah urus” dan pihak

  ketiga meihat peluang untuk memanfaatkan kekayaan Negara ini, tetapi

  bukan melalui transaksi jual beli, seperti sewa, kerja sama operasional, atau

  kemitraan strategis.

  Bentuk kerugian keuangan Negara dari pemanfaatan aset antara lain:


          (1) Negara     tidak   memperoleh     imbalan    yang   layak    jika

              dibandingkan dengan harga pasar.

          (2) Negara ikut menanggung kerugian dalam kerja sama

              operasional yang melibatkan aset Negara yang “dikaryakan”

              kepada mitra usaha.

          (3) Negara kehilangan aset yang dijadikan jaminan kepada pihak

              ketiga. Misalnya aset tersebut dijadikan sebagai inbreng.


          Potensi terjadinya kerugian menjadi lebih besar ketika asetnya

  tidak bertuan. Contohnya adalah aset yang dibangun Pemerintah Pusat

  dengan dana APBN, tetapi tidak tercatat sebagai aset baik di Pemerintah

  Pusat maupun Pemda.

4. Penempatan Aset

          Penempatan aset merupakan penanaman atau investasi dari dana-

  dana milik Negara. Kerugian keuangan Negara terjadi ketika adanya unsur

  kesengajaan menempatkan dana-dana tersebut pada investasi yang tidak
21



seimbang antara risk dan reward-nya. Apabila mereka memiliki kelebihan

dana, mereka sering tergoda untuk melakukan penempatan aset dengan

resiko yang relatif tinggi dibandingkan dengan imbalannya. Ciri yang

sering menonjol adalah tidak sejalannya usaha baru dengan bisnis inti.

Ketika usaha barunya gagal, mereka sering berdalih bahwa ini bukanlah

kerugian keuangan Negara, melainkan sekadar business loss yang sangat

lazim di dunia bisnis. Apabila penempatan aset memberikan hasil atau

keuntungan, para pejabat dapat menerima keuntungan. Sebaliknya, ketika

penempatan aset menimbulkan kerugian, mereka “lepas tangan”.

        Penempatan aset merupakan kiat para pelaku kejahatan berkerah

putih dimana seluruh transaksi didukung dengan dokumen hukum yang sah

dan lengkap. Bentuk luarnya sempurna, tapi substansinya bodong.

Bentuk-bentuk kerugian Negara dari penempatan aset antara lain:


    1) Imbalan yang tidak sesuai dengan risiko.


        Besarnya kerugian sebesar selisih bunga ditambah premi untuk

        faktor tambahan risiko dengan imbalan yang diterima selama

        periode sejak dilakukannya penempatan aset sampai dengan

        pengembaliannya.


    2) Jumlah pokok yang ditanamkan dan yang hilang. Besarnya

        kerugian sebesar jumlah pokok dan bunga.
22



          3) Jika ada dana-dana pihak ketiga yang ikut hilang dan ditalang oleh

             Negara, maka kerugiannya adalah sebesar jumlah pokok dari dana

             talangan beserta bunganya.


   5. Kredit Macet

             Kredit diberikan dengan melanggar rambu-rambu perkreditan, baik

     yang ditetapkan oleh BI maupun oleh Bank BUMN itu sendiri dimana

     sebenarnya kredit ini sudah diperkirakan akan macet. Bankir yang menjadi

     koruptor tersebut akan menggunakan alasan bahwa kredit macet merupakan

     bagian yang tak terpisahkan dari risiko perbankan. Pemberian kredit

     dengan cara ini merupakan kejahatan kerah putih, dilakukan dalam bentuk

     kolusi antara pejabat bank dan sarat dengan benturan kepentingan.

             Oleh karena proses pemberian kredit dilakukan dengan cara

     melawan hukum, bentuk kerugian Negara berupa jumlah pokok dan bunga

     tanpa dikurangi hair cut.



b) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Kewajiban

        Terdapat 3 jenis kerugian Negara berkaitan dengan kewajiban di

  antaranya perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata, kewajiban bersyarat

  yang menjadi nyata, dan kewajiban tersembunyi.

        1. Perikatan yang Menimbulkan Kewajiban Nyata

                 Dokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya bodong,

          dimana transaksi istimewa diselipkan diantara transaksi normal karena

          mengetahui bahwa transaksi ini akan bermasalah. Sifat fraud-nya
23



  adalah penjarahan kekayaan Negara melalui penciptaan transaksi fiktif

  yang menyerupai transaksi normal. Bentuk kerugiannya adalah jumlah

  pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak timbulnya kewajiban

  nyata sampai dengan pengembalian dana oleh terpidana.

2. Kewajiban yang berasal dari kewajiban bersyarat

         Pejabat lembaga Negara, BUMN, dan lain-lain mengadakan

  perikatan dengan pihak ketiga yang pada awalnya merupakan

  contingent liability. Laporan keuangan lembaga tersebut tidak

  menunjukkan adanya kewajiban karena masih merupakan kewajiban

  bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak mampu memenuhi

  kewajibannya sehingga lembaga Negara yang menjadi penjaminnya

  memiliki kewajiban nyata yang sebelumnya adalah kewajiban

  bersyarat.

         Bentuk kerugian keuangan Negara adalah sebesar jumlah

  pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak kewajiban bersyarat

  berubah menjadi kewajiban nyata sampai saat pengembalian dana

  tersebut oleh terpidana.

3. Kewajiban Tersembunyi

         Kewajiban tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dana suatu

  lembaga besar yang diduga untuk membantu mantan pejabatnya

  mengatasi masalah hukum. Dalam praktiknya, kantor-kantor akuntan

  yang termasuk dalam Big Four senantiasa memfokuskan suatu audit

  pada pengeluaran untuk masalah hukum karena legal expenses
24



         merupakan tempat persembunyian segala macam biaya yang tidak

         dapat dipertanggungjawabkan.

                Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan dari pihak

          pimpinan lembaga untuk membersihkan pembukuan ketika auditor

          menemukan penyimpangan ini, yaitu dengan dua cara:


                   a) Menciptakan       aset   bodong    untuk    menghindari

                       pengeluaran fiktif.

                   b) Aset bodong tersebut dihilangkan melalui kewajiban

                       kepada pihak yang masih terafiliasi.


                Bentuk kerugian Negara adalah sebesar jumlah pokok

         kewajiban dan bunga sejak periode dana diterima oleh pelaku

         kejahatan sampai saat pengembaliannya.

                 Dari ketiga jenis ranting kewajiban di atas, pola penghitungan

          kerugian keuangan Negara cukup sederhana.



c) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Penerimaan

  Penerimaan Negara umumnya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya:


         (1) Penerimaan yang bersumber dari perpajakan atau bea dan cukai,

         (2) Penerimaan pemerintah yang merupakan bagian pemerintah atas

            pengelolaan minyak dan gas bumi, batu bara, serta mineral lainnya.

         (3) Penerimaan Negara bukan pajak (PNBP). PNBP ini dapat

            ditemukan di hampir semua lembaga namun pertanggungan
25



           jawabnya tidak selalu ada atau terbuka untuk diperiksa oleh BPK,

           sehingga penerimaan ini rawan korupsi. Contohnya di Perguruan

           Tinggi, Rektor, Dekan, dan pejabat struktural lainnya mempunyai

           kewenangan atas PNBP.


      Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara dapat kita lihat ada tiga sumber

kerugian keuangan Negara sebagai berikut.

  1. Wajib Bayar Tidak Menyetor Kewajibannya

      Inisiator: pihak ketiga yang menjadi wajib pungut.

      Contoh: Dalam beberapa Undang-Undang wajib bayar menghitung dana

               menyetorkan kewajibannya ke kas Negara. Kelalaian para

               wajib bayak akan menimbulkan kerugian keuangan Negara.

               Negara bukan saja tidak menerima jumlah yang menjadi

               kewajiban wajb bayar, tetapi juga kehilangan bunga atas

               penerimaan tersebut karena adanya unsur waktu (keterlambatan

               menyetor).

  (1) Penerimaan Negara Tidak Disetor Penuh oleh Pejabat yang

      Bertanggung Jawab

      Inisiator: Lembaga Negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun

                pejabat yang berwenang tidak meminta dilakukannya setoran

                penuh.

       Contoh: Selisih antara ”tarif tinggi” dan ”tarif rendah” dalam

                pengurusan dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar RI di

                Malaysia.
26



    (2) Penyimpangan dalam Melaksanakan Diskresi Berupa Pengurangan

        Pendapatan Negara

        Inisiator: Lembaga Negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun

                 ada kewenangan untuk melakukan pemotongan penerimaan

                 Negara.

          Secara substansi ketiga ranting di atas merupakan penerimaan Negara

  yang tidak disetorkan sebagian atau seluruhnya, atau tidak disetorkan tepat

  waktu. Dengan demikian perhitungannya yakni, Jumlah kerugian Negara =

  sebesar jumlah penerimaan Negara yang tidak disetorkan ditambah bunga

  untuk periode sejak saat penerimaan Negara seharusnya disetorkan sampai saat

  terpidana mengembalikan penerimaan Negara tersebut. Secara umum pola

  perhitungannya sama dengan pola perhitungan kewajiban, yaitu pokok

  ditambah bunga.



c) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Pengeluaran

         Kerugian keuangan Negara terjadi karena pengeluaran Negara

  dilakukan lebih dari seharusnya, atau pengeluaran Negara seharusnya tidak

  dilakukan, dan/atau pengeluaran Negara dilakukan lebih cepat.

         Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara, kerugian keuangan Negara

  berkenaan dengan transaksi pengeluaran dapat terjadi karena hal-hal berikut.

   1. Kegiatan Fiktif/Pengeluaran Fiktif
27



   Tidak dilaksanakannya kegiatan yang dicantumkan dalam anggaran

   (APBN, APBD, anggaran BUMN, dan seterusnya) tetapi dilaporkan

   seolah-olah sudah dilaksanakan.

   Contoh: Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk

            mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai

            dengan peruntukannya, kemudian mempertanggungjawabkan

            pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-

            bukti yang tidak benar atau fiktif.

2. Pengeluaran Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan yang Sudah

   Tidak Berlaku Lagi

   Contoh: pengeluaran Pemda, pejabat Pemda menerbitkan peraturan daerah

           dengan merujuk peraturan perundang-udangan yang tidak berlaku.

           Kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar

           pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar

           peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak

           berlaku lagi.

3. Pengeluaran Bersifat Resmi, Tetapi Dilakukan Lebih Cepat

  Contoh: dalam kasus pembayaran kepada pemasok atau kontraktor,

            pembayaran kepada mereka dilakukan sebelum kemajuan kerja

            yang disepakati tercapai.

         Jadi penghitungannya yakni, Jumlah kerugian Negara = sebesar

  uang yang dibelanjakan untuk kegiatan fiktif, ditambah dengan bunga
28



      selama periode sejak dikeluarkannya uang tersebut sampai uang

      dikembalikan terpidana.




3. KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN

   KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH

   BENDAHARAWAN

       Seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang-

Undang bila seseorang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga

dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya

karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh

orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

       Dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak memberikan rumusan yang jelas dan

tegas mengenai apa yang disebut dengan kerugian keuangan Negara. Dalam

Penjelasan Pasal 32 hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian

keuangan Negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya

berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang

ditunjuk.
29



       Adapun siapa instansi yang berwenang dimaksud, tidak dijelaskan lebih

lanjut. Namun demikian, mengacu pada beberapa ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, maka sekurang-kurangnya tiga instansi yang berwenang,

yaitu BPK, BPKP dan Inspektorat baik di tingkat pusat dan daerah.

       Berdasarkan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP

mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan

keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Kewenangan BPKP tidak hanya sampai disitu saja, BPKP

juga dapat melakukan pemeriksaan khusus atau audit investigasi untuk

membongkar kasus-kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang

mengakibatkan kerugian Negara atau menguntungkan sebagian orang. Bila ada

indikasi terjadinya tindak pidana korupsi maka acuan yang digunakan BPKP

dalam melakukan audit investigasnya adalah Undang-undang No. 31 Tahun 1999

jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Berdasarkan fungsi dan wewenangnya, disini terlihat bahwa peran BPKP

dalam upaya pemberantasan korupsi dapat dijadikan modal dasar yang kuat dalam

memerangi kejahatan korupsi.


       BPK memperoleh kewenangan berdasarkan Pasal 23 E Undang-Undang

Dasar 1945, sebagai lembaga pemeriksa keuangan yang memperolah kewenangan

berdasarkan atributif melalui undang-undang. Pemeriksa menurut Undang-undang

No. 15 Tahun 2004 adalah orang yang melakukan tugas pemeriksaan pengelolaan

dan tanggung jawab keuangan Negara untuk dan atas nama BPK yang dapat
30



melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian

Negara/daerah dan atau unsur tindak pidana korupsi.

       Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangan melakukan audit

investigatif berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008 yang hanya merupakan bagian

dari sistem pengendalian intern pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan

intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat

preventif. Artinya BPKP tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam melakukan

pemeriksaan investigatif berkaitan dengan unsur tindak pidana korupsi. Sehingga

ketika ditemukan adanya kerugian Negara yang mengandung unsur pidana, maka

kewenangan tindak lanjut atas temuan tersebut sampai pada proses hukumnya

adalah menjadi kewenangan BPK.

      Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa BPK menilai

dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan

melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,

pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan

pengelolaan keuangan Negara. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Peraturan

BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian

Negara Terhadap Bendahara menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan

dapat membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam rangka memproses

penyelesaian kerugian Negara terhadap bendahara. Berdasarkan ketentuan

tersebut, Majelis Tuntutan Perbendaharaan merupakan suatu lembaga ad hock

yang dibentuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan kewenangan
31



BPK dalam menilai dan/ atau menetapkan kerugian Negara/daerah terhadap

bendahara serta menerbitkan Keputusan-Keputusan BPK berkaitan dengan

penetapan kerugian Negara/daerah. Majelis Tuntutan Perbendaharaan diketuai

oleh Wakil Ketua BPK dan beranggotakan Anggota BPK.


      Secara tertulis, hal-hal mengenai Majelis Tuntutan Perbendaharaan tidak

secara jelas ditulis dalam Undang-Undang mulai dari ICW dan IAR sampai

dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan, kecuali dalam ketentuan Pasal Pasal 41 Peraturan BPK Nomor 3

Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap

Bendahara yang menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dapat

membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam rangka memproses

penyelesaian kerugian Negara terhadap bendahara meskipun pengaturan

mengenai hal tersebut sudah dimuat sejak jaman ICW, yaitu dalam ketentuan

Pasal 55a sampai dengan Pasal 58 ICW. Kewenangan melakukan Tuntutan

Perbendaharaan dahulu bersumber pada ICW Pasal 58 yang menyatakan bahwa

Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, dimana ditetapkan suatu jumlah uang,

yang dalam hal menyangkut pengurusan Bendaharawan, harus diganti kepada

Negara, atau dimana dikenakan suatu denda bagi seorang Bendaharawan,

dikeluarkan atas nama keadilan. Salinan keputusan itu berkepala : "Atas nama

keadilan" yang ditandatangani oleh Ketua BPK, mempunyai kekuatan yang sama

dan dilaksanakan dengan cara yang sama, sebagai keputusan hakim (vonis) yang

mempunyai kekuatan yang tetap dalam perkara perdata ". Dalam paket Undang-

Undang Tentang Keuangan Negara, ketentuan yang mengatur tentang TP
32



(tuntutan perbendaharaan) dan TGR (tuntutan ganti rugi) dimuat dalam Pasal 35

ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 59 UU No. 1

Tahun      2004     tentang    Perbendaharaan    Negara,    yang     mengatur    tentang

pertanggungjawaban dan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) bagi ordonatur dan pegawai

negeri lainnya, karena perbuatan-perbuatan melanggar hukum atau kelalaian.


         Majelis mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan verifikasi dan

pemeriksaan atas dokumen kasus kerugian Negara terhadap bendahara yang

disampaikan kepada BPK, menilai dan /atau menetapkan jumlah kerugian Negara

yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang

dilakukan oleh bendahara dan menilai dan memutuskan keberatan yang diajukan

bendahara berkenaan dengan penerbitan Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu

(SKPBW).


         Keputusan-keputusan BPK yang diterbitkan oleh Majelis dalam rangka

penyelesaian kerugian Negara/daerah meliputi :


         1. SK Pembebasan dalam hal tidak terpenuhinya unsur-unsur kerugian

             Negara atau diterimanya keberatan Bendahara;

         2. Surat     kepada     instansi   tentang   penyelesaian     ganti    kerugian

             Negara/daerah menggunakan SKTJM21 dalam hal terpenuhinya unsur-

             unsur kerugian Negara;



21
     “Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disebut SKTJM adalah surat
         keterangan yang menyatakan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa yang
         bersangkutan bertanggung jawab atas kerugian Negara yang terjadi dan bersedia
         mengganti kerugian Negara dimaksud.”
33



          3. SK-PBW22 dalam hal Bendahara tidak bersedia melaksanakan ganti

              rugi menggunakan SKTJM, Instansi tidak menyampaikan dokumen

              Laporan Verifikasi Hasil Penelitian Terjadinya Kerugian Negara;

          4. Surat Keputusan Pembebanan dalam hal tidak terdapat keberatan dari

              Bendahara dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah

              penerbitan SK-PBW, telah terlampauinya jangka waktu 40 (empat

              puluh) hari sejak ditandatangani SKTJM namun kerugian Negara

              belum diganti sepenuhnya dan keberatan Bendahara ditolak atau

              diterima sebagian.23

          Terkait dengan pandangan diatas, UU Keuangan Negara maupun UU

Perbendaharaan Negara hanya menuntut agar semua kekayaan yang berkurang

sebagai akibat kesalahan pengelolaan dipulihkan kembali. Namun demikian,

dalam masalah kerugian Negara tersebut harus dibedakan antara kerugian Negara

sebagai akibat kesalahan dalam pengelolaan, dan kerugian Negara sebagai akibat

tindakan kecurangan/penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan

(financial fraud). Dalam hal yang terakhir ini, pemulihan terhadap kekayaan

Negara saja dirasakan tidak cukup adil. Tindakan kecurangan yang dapat

menimbulkan kerugian Negara dimaksud telah menghambat pemerintah untuk

dapat melaksanakan kewajibannya. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai


22
     “Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu yang selanjutnya disebut SK-PBW adalah surat
          keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tentang pemberian
          kesempatan kepada bendahara untuk mengajukan keberatan atau pembelaan diri atas
          tuntutan penggantian kerugian Negara.”

23
 “Majelis Tuntutan Perbendaharaan”, http://sikad.bpk.go.id/or_mtp.php, diakses pada tanggal 30
Mei 2012
34



tindakan yang merugikan kepentingan umum ataupun bersifat melawan hukum.

Atas dasar hal tersebut, tindakan curang yang merugikan keuangan Negara

disamping diwajibkan memulihkan kerugian yang terjadi masih pula dikenakan

sanksi lain dalam bentuk sanksi24 administratif, perdata, ataupun pidana.25

           Selanjutnya, hal-hal yang dapat merugikan keuangan Negara dapat

ditinjau dari beberapa aspek, antara lain aspek pelaku, sebab, waktu dan cara

penyelesaiannya, disebutkan Eddy Mulyadi Soepardi, yaitu :26

1. Ditinjau Dari Aspek Pelaku

         a. Perbuatan     Bendaharawan        yang    dapat   menimbulkan    kekurangan

             perbendaharaan, disebabkan oleh antara lain adanya pembayaran,

             pemberian atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak,

             pertangungjawaban/laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan,

             penggelapan, tindak pidana korupsi dan kecurian karena kelalaian.

         b. Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan Negara

             dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan, tindak

             pidana korupsi, dan menaikkan harga atau merubah mutu barang.

         c. Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan Negara dengan

             cara antara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat

             yang berwenang, dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi).

2. Ditinjau Dari Aspek Sebab27


24
   Pasal 38 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian
Negara Terhadap Bendahara
25
   Suyanto Siswo., Pembuktian Unsur Kerugian…, Op.cit.
26
     Soepardi Eddy Mulyadi., Memahami Kerugian Keuangan..., Op.cit. hlm.4
27
     Ibid, hlm.5
35



       Jika ditinjau dari faktor penyebabnya, maka perbuatan yang bisa

  menyebabkan kerugian keuangan Negara adalah sebagai berikut:

   a. Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang sengaja seperti diuraikan pada

       point sebelumnya, perbuatan yang tidak disengaja, karena kelalaian,

       kealpaan, kesalahan atau ketidakmampuan, serta pengawasan terhadap

       penggunaan keuangan Negara yang tidak memadai.

   b. Kejadian alam, seperti bencana alam (antara lain, gempa bumi, tanah

       longsor, banjir dan kebakaran) dan proses alamiah (antara lain, membusuk,

       menguap, mencair, menyusut dan mengurai).

   c. Peraturan perundang-undangan dan atau situasi moneter/perekonomian,

       yakni kerugian keuangan Negara karena adanya pengguntingan uang

       (sanering), gejolak moneter yang mengakibatkan turunnya nilai uang

       sehingga menaikkan jumlah kewajiban Negara dan sebagainya.

3. Ditinjau dari aspek waktu

       Tinjauan dari aspek waktu disini dimaksudkan untuk memastikan apakah

  suatu kerugian keuangan Negara masih dapat dilakukan penuntutannya atau

  tidak, baik terhadap bendaharawan, pegawai negeri non bendaharawan, atau

  pihak ketiga.

   1) Dalam       Pasal 66     Undang-undang   No.   1   Tahun   2004   Tentang

       Perbendaharaan Negara disebutkan :


         a. Dalam hal bendahara, pengawai negeri bukan bendahara, atau

             pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian Negara/daerah

             berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia,
36



                 penuntutan      dan      penagihan      terhadapnya       beralih     kepada

                 pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris,28 terbatas kepada

                 kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari

                 bendahara, pengawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang

                 bersangkutan.

            b. Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk

                 membayar ganti kerugian Negara/daerah sebagaimana dimaksud

                 pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak

                 keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada

                 bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang

                 bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia,

                 pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh

                 pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian Negara/daerah.

      2) Dalam hal tuntutan ganti rugi perlu diperhatikan ketentuan kadaluarsa,

          sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU Perbendaharaan Negara, yang

          ditentukan bahwa, ”kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara,

          atau pejabat lain yang membayar ganti rugi, menjadi kadaluarsa jika dalam

          waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8

          (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti

          rugi terhadap yang bersangkutan.


28
     Pasal 38C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang
           nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi disebutkan bahwa
           apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui
           masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal
           dari Tindak Pidana Korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk Negara
           sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka Negara dapat melakukan
           gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
37



4. Ditinjau dari aspek cara penyelesaiannya

           (1) Tuntutan Pidana/Pidana Khusus (Korupsi).

           (2) Tuntutan Perdata

           (3) Tuntutan Perbendaharaan (TP)

           (4) Tuntutan Ganti Rugi (TGR)

        Apabila dalam proses tuntutan kepada bendaharawan sebagai akibat

adanya kerugian keuangan Negara yang dilakukan terhadap secara administrasi

yaitu melalui peraturan BPK No.3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian

Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, ditemukan adanya unsur-unsur dari tindak

pidana korupsi dari perbuatan bendahara yang merugikan keuangan Negara, maka

bendaharawan tersebut dapat dituntut berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU

No 20 Tahun 2001 karena telah melakukan tindak pidana korupsi.

        Dalam pengertian yuridis,29        pengertian korupsi tidak hanya terbatas

kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan

Negara atau perekonomian Negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang

memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.

Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

            (1) Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau

                perekonomian Negara.




29
   Hendarman Supandji, “Model Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan Dan Implementasinya”,
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Makalah disampaikan pada RAKERNAS APPSI tanggal 9
Juli      2007        di       Pontianak,     Kalimantan      Barat,       http://www.pn-
pandeglang.go.id/attachments/125_makalah%20jaksa%20agung.pdf, diakses pada tanggal 11 Juni
2012, hlm.2-3
38



          (2) Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun

             pasif (yang disuap).

          (3) Kelompok delik pengelapan.

          (4) Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion).

          (5) Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir

             dan rekanan.

      Sementara itu, jika ada aparat hukum yang berpendapat bahwa kesalahan

seorang pegawai negeri yang termasuk dalam lingkup hukum administrasi yang

berakibat merugikan keuangan Negara bukan termasuk tindak pidana korupsi

namun merupakan kesalahan administrasi (kesalahan prosedur) yang seharusnya

diselesaikan melalui jalur administrasi dengan menerapkan sanksi administrasi

berupa pembayaran ganti rugi. Padahal, unsur melawan hukum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001

bukan hanya sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun juga mencakup

melawan hukum administrasi. Dengan demikian, kesalahan atau pelanggaran

terhadap hukum administrasi dapat diadopsi ke dalam sifat melawan hukum

sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila

dari kesalahan administrasi tersebut telah menimbulkan kerugian keuangan

Negara atau perekonomian Negara.

      Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang

Perbendaharaan Negara, disana dikatakan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan

bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian

Negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”
39



(Ketentuan ini diatur pula dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang

Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, Pasal 38 ayat (1)).

Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa walaupun telah dilakukan pengembalian

kerugian keuangan Negara maka masih dimungkinkan untuk diproses melalui

pidana. Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil audit BPK harus

dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah

kerugian keuangan Negara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat

apakah terjadinya kerugian Negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan

melawan hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik, yang mana secara

“dominis litis” eks Pasal 139 KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya

perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan.30

           Selain itu, terkait pengembalian kerugian keuangan Negara dalam tindak

pidana korupsi, UU No.31 Tahun 1999 merumuskan secara tegas sebagai tindak

pidana formil. Dengan rumusan formil berarti bahwa meskipun hasil korupsi telah

dikembalikan kepada Negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke

Pengadilan dan tetap dipidana sesuai Pasal 4 UU No.31 Tahun 1999 yang

berbunyi sebagai berikut :

                      “Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian
                      Negara tidak menghapuskan dipidanannya pelaku tindak pidana
                      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”


           Penjelasan Pasal diatas adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi

melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur Pasal dimaksud, dimana

pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara yang telah

30
     Ibid, hlm.9-11
40



dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut.

Pengembalian kerugian Negara atau perekonomian Negara tersebut hanya

merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.

          Untuk itu, dalam rangka mencapai tujuan yang efektif untuk mencegah

dan memberantas tindak pidana korupsi, UU No.31 Tahun 1999 memuat

ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur masalah

korupsi yang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana tambahan, hal ini

seperti yang diatur dalam Pasal 17 jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 yang

menyatakan bahwa selain dapat dijatuhi pidana pokok terdakwa dalam perkara

korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan, salah satu bentuknya adalah pembayaran

uang pengganti. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari

akibat tindak pidana korupsi yang “dapat merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara”, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut

diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.31

          Menurut penjelasan Pasal 31 KUHP, terpidana yang tidak membayar

pidana uang pengganti dapat dikenakan pidana pengganti berupa pidana

kurungan. Sehingga konsekuensinya jika pidana pengganti tersebut telah dijalani

oleh terpidana maka dengan sendirinya uang pengganti yang tidak dibayar

tersebut menjadi hapus. Selain itu, apabila pidana pembayaran uang pengganti

tidak dipenuhi oleh terdakwa (baca: terpidana), menurut UU No. 20 Tahun 2001

dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12,

berlaku pula ketentuan hukuman denda dan/atau pidana penjara, akan tetapi tidak

31
     Guse Prayudi., “Pidana Pembayaran Uang Pengganti”, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun
Ke XXII, IKAHI, Nomor 259, Juni, 2007, hlm.49
41



berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00

(lima juta rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun

dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

       Dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, ketentuan tentang pidana tambahan sebagai usaha untuk

pengembalian kerugian Negara telah diatur, terutama pada Pasal 18 yaitu:

       (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
           Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
               a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
                   berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk
                   atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
                   perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
                   dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan
                   barang-barang tersebut;
               b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
                   banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
                   pidana korupsi;
               c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu yang
                   paling lama 1 (satu) tahun;
               d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
                   penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang
                   telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
       (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
           dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah
           putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
           maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
           menutup uang pengganti tersebut.
       (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
           untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
           (1) huruf b, maka di pidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
           melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan
           ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut
           sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

       Ketentuan pada Pasal 18 angka (1) huruf b tersebut merupakan konsekuensi

dari akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dapat merugikan
42



keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga untuk mengembalikan

kerugian keuangan tersebut diperlukan adanya pembayaran uang pengganti.

       Sementara dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20

Tahun 2001 termuat aturan jika terpidana tidak membayar uang pengganti

sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu)

bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang

pengganti tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001

juga mengatur mengenai teknis eksekusi/pembayaran uang pengganti oleh

Terpidana, dimana teknisnya dengan menggunakan sistem pembayaran secara

berjenjang dan berlapis.

       Ketentuan diatas secara formal telah mendukung usaha pengembalian

kerugian yang diderita Negara sebagai akibat tindak pidana korupsi sebagaimana

yang telah diamanatkan Pasal 278 KUHP. Undang-Undang korupsi yaitu UU No.

31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menyediakan dua instrumen untuk

memulihkan kerugian Negara akibat perbuatan korupsi, yaitu instrumen pidana

dan perdata. Proses atau tata cara instrumen pidana secara khusus dimuat dalam

kedua undang-undang itu, sedang untuk instrumen perdata menggunakan

ketentuan biasa atau umum yang berlaku yaitu Kitab Undang-undang Hukum

Perdata dan acaranya. Kekhususan bagi instrumen pidana tersebut antara lain,

bahwa dalam sidang pengadilan:

           (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh hartanya,

               harta istrinya (suaminya, harta anaknya, dan harta pihak lain yang
43



               diduga mempunyai hubungan dengan perbuatan korupsi yang

               didakwakan kepadanya).

           (2) Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya (yang

               tidak seimbang dengan penghasilannya) bukan berasal dari

               korupsi, maka hartanya dianggap diperoleh dari perbuatan korupsi

               (illicit enrichment) dan hakim berwenang merampasnya.

           (3) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum vonis hakim

               dijatuhkan dan terdapat bukti kuat bahwa terdakwa melakukan

               perbuatan korupsi, maka harta terdakwa dapat dirampas oleh

               hakim. 32




32
  Soepomo., “Pemahaman Keuangan Negara”, http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31,
diakses pada tanggal 27 Mei 2012
44



                                   BAB III


                                  PENUTUP


                               KESIMPULAN



       Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa

kesimpulan antara lain :


       Bahwa berdasarkan peraturan-peraturan sebelumnya mulai dari ICW dan

IAR telah mengatur tentang tuntutan terhadap bendaharawan sebagai akibat

timbulnya kerugian keuangan Negara, yaitu dalam ketentuan Pasal 55a sampai

dengan Pasal 58 ICW. Pada Pasal 58 ICW menyatakan bahwa “Keputusan Badan

Pemeriksa Keuangan, dimana ditetapkan suatu jumlah uang, yang dalam hal

menyangkut pengurusan Bendaharawan, harus diganti kepada Negara, atau

dimana dikenakan suatu denda bagi seorang Bendaharawan”, namun setelah

lahirnya Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian

Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara, maka semua peraturan pelaksanaan

dari Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) mengenai

tata cara penyelesaian ganti kerugian Negara terhadap bendahara dinyatakan tidak

berlaku. Sealnjutnya, terhadap proses penuntutan kepada bendaharawan sebagai

akibat adanya kerugian keuangan Negara, dilakukan secara administrasi yaitu

melalui peraturan BPK No.3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti

Kerugian Terhadap Bendahara, apabila ditemukan adanya unsur-unsur dari tindak

pidana korupsi dari perbuatan bendaharawan yang merugikan keuangan Negara,
45



maka bendaharawan tersebut dapat dituntut berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo

UU No 20 Tahun 2001 karena telah melakukan tindak pidana korupsi.


       Bahwa pengertian adanya unsur-unsur dari tindak pidana korupsi yang

menimbulkan kerugian keuangan Negara, dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1)

Undang- UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001, yaitu :

              (1) Setiap orang;

              (2) Secara melawan hukum;

              (3) Perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi;

              (4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.


       Bahwa apabila dalam pemeriksaan oleh BPK terhadap bendaharawan,

menilai dan/atau menetapkan adanya unsur-unsur dari suatu tindak pidana korupsi

yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara, baik sengaja maupun

lalai, secara melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain atau korporasi dan

merugikan perekonomian Negara yang dilakukan oleh bendaharawan, maupun

pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan

pengelolaan keuangan Negara kerugian Negara sebagai akibat kesalahan dalam

pengelolaan, serta tindakan kecurangan/penyalahgunaan kewenangan pejabat

pengelola keuangan, maka konsekuensi yuridis yang timbul bagi Bendaharawan

tersebut adalah pembayaran uang pengganti. Sementara itu, dalam Pasal 18 ayat

(2) UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 termuat aturan jika

terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1

huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
46



telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh

Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Ketentuan Pasal 18

ayat (2) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 juga mengatur mengenai teknis

eksekusi/pembayaran uang pengganti oleh Terpidana, dimana teknisnya dengan

menggunakan sistem pembayaran secara berjenjang dan berlapis. Selain itu,

menurut penjelasan Pasal 31 KUHP, terpidana yang tidak membayar pidana uang

pengganti dapat dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan. Sehingga

konsekuensinya jika pidana pengganti tersebut telah dijalani oleh terpidana maka

dengan sendirinya uang pengganti yang tidak dibayar tersebut menjadi hapus.

Selain itu, apabila pidana pembayaran uang pengganti tidak dipenuhi oleh

terdakwa (baca: terpidana), menurut UU No. 20 Tahun 2001 dalam Pasal 5, Pasal

6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, berlaku pula

ketentuan hukuman denda dan/atau pidana penjara, akan tetapi tidak berlaku bagi

tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta

rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan

pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
47



                         DAFTAR PUSTAKA




A. BUKU-BUKU :

     Arief Barda Nawawi & Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
             Bandung, 1992

     Atmadja Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum
             Teori, Praktik Dan Kritik, Fakultas Hukum Universitas
             Indonesia, Jakarta, 2005

     Jeddawi Murtir. H., Mengefektifkan Peran Birokrasi Untuk Memangkas
             Perilaku Korupsi, Cetakan Pertama,       Total Media (Anggota
             IKAPI), Yogyakarta, 2009

     Miru Ahmadi., Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 2010

     Panjaitan Saut P., “Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum
             Administrasi Negara” dalam SF Marbun dkk (penyunting),
             Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, ctk.
             kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001

     Rais Mohammad Amien., Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan
             Indonesia!, ctk.Ekstra, PPSK Press, Yogyakarta, 2008

     Tjandra W.Riawan.,Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima,
             Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008

     Saidi Muhammad Djafar., Hukum Keuangan Negara, Edisi Pertama
             Rajawali Pers, Jakarta, 2008

     Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan
             Keempat, 1996
48



B. JURNAL :

     Andi Samsan Nganro., “Tindak Pidana Korupsi Dalam Perundang-
               undangan Di Indonesia”, Al Manãhij, Volume 2, Nomor I, 1
               januari-Juni 2008

     Eddy.O.S. Hiariej., “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan
               Dampaknya Terhadap Pemberantasan Korupsi”, Jurnal Berkala
               Fakultas Hukum UGM-Mimbar Hukum, Volume 18, Nomor 3,
               Oktober, 2006

     Guse Prayudi., “Pidana Pembayaran Uang Pengganti”, Majalah Hukum
               Varia Peradilan Tahun Ke XXII, IKAHI, Nomor 259, Juni, 2007




C. INTERNET :

     Hendarman Supandji, “Model Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan
               Dan Implementasinya”, Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
               Makalah disampaikan pada RAKERNAS APPSI tanggal 9 Juli
               2007    di    Pontianak,    Kalimantan    Barat,     http://www.pn-
               pandeglang.go.id/attachments/125_makalah%20jaksa%20agung
               .pdf, diakses pada tanggal 11 Juni 2012

     “Pohon                 Kerugian             Keuangan                  Negara”,
               http://shartika2009.wordpress.com/2011/04/24/pohon-kerugian-
               keuangan-Negara/, diakses pada tanggal 17 Mei 2012

     Suyanto     Siswo.,     “Pembuktian      Unsur   Kerugian      Negara     Dan
               Perhitungannya Dalam Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan
               dalam       workshop    yang    diselenggarakan      oleh     Komisi
               Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007
               di Jakarta, Ketua Tim Kerja Penyusunan RUU Keuangan Negara,
               Perbendaharaan Negara, dan Pemeriksaan             Pengelolaan dan
49



             Tanggungjawab                 Keuangan                    Negara,
             http://www.kppngarut.org/component/content/article/41-
             keuangan/110-korupsi.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2012

     Soepomo.,          “Pemahaman              Keuangan           Negara”,
             http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31,   diakses     pada
             tanggal 27 Mei 2012

     “Majelis Tuntutan Perbendaharaan”, http://sikad.bpk.go.id/or_mtp.php,
             diakses pada tanggal 30 Mei 2012




D. PERATURAN :

     Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
             Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
             Pidana Korupsi

     Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

     Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa
             Keuangan

     Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian
             Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara




E. LAIN-LAIN :

      “Setyo Utomo., Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pada Jasa
             Konsultan; Materi disampaikan dalam Seminar Nasional
             Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan
             Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) tentang
50



       “Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan Kontrak Jasa
       Konsultasi dan Pencegahan Korupsi di Lingkungan Instansi
       Pemerintah”,    yang    diselenggarakan   di   Balai   Sidang
       Djokosoetono Gedung F Lantai 2 FH-UI Depok, Selasa 22 Juni
       2010

Soepardi Eddy Mulyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara
       sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan
       pada ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan
       Bogor, tanggal 24 Januari 2009

Mais conteúdo relacionado

Mais procurados

INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANGINSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANGPaul SinlaEloE
 
Perlindungan Dan Penegakan Hukum
Perlindungan Dan Penegakan HukumPerlindungan Dan Penegakan Hukum
Perlindungan Dan Penegakan HukumKiagoesdoni
 
Makalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukum
Makalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukumMakalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukum
Makalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukumadeasuharja
 
Makalah Hukum dan Penegakan Hukum
Makalah Hukum dan Penegakan HukumMakalah Hukum dan Penegakan Hukum
Makalah Hukum dan Penegakan HukumShriie Arianti
 
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028Silvia Kumalasari
 
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)noidmedia virtual
 
T 2 makalah pih
T 2 makalah pihT 2 makalah pih
T 2 makalah pihMelyMely12
 
Contoh kasus penegakkan hukum indonesia
Contoh kasus penegakkan hukum indonesiaContoh kasus penegakkan hukum indonesia
Contoh kasus penegakkan hukum indonesiafadylirma.blogspot.com
 
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumpengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumRifa Ramadhani
 
Penegakan hukum di indonesia
Penegakan hukum di indonesiaPenegakan hukum di indonesia
Penegakan hukum di indonesiaLiling InkInk
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraNina Ruspina
 
Apa Itu TIPIKOR
Apa Itu TIPIKORApa Itu TIPIKOR
Apa Itu TIPIKORRatri nia
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negaranurul khaiva
 
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.comhukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.comAndani Abayz
 
Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara
Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negaraPertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara
Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negaratondy lbh
 
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukumPengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukumFN223
 
Hakikat perlindungan dan penegakan hukum
Hakikat perlindungan dan penegakan hukumHakikat perlindungan dan penegakan hukum
Hakikat perlindungan dan penegakan hukumPutri Aisyah
 

Mais procurados (20)

INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANGINSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
 
Perlindungan Dan Penegakan Hukum
Perlindungan Dan Penegakan HukumPerlindungan Dan Penegakan Hukum
Perlindungan Dan Penegakan Hukum
 
Makalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukum
Makalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukumMakalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukum
Makalah peradilan administrasi negara dan implementasi dalam penegakan hukum
 
Kapita selekta
Kapita selektaKapita selekta
Kapita selekta
 
Makalah Hukum dan Penegakan Hukum
Makalah Hukum dan Penegakan HukumMakalah Hukum dan Penegakan Hukum
Makalah Hukum dan Penegakan Hukum
 
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
Makalah hukum administrasi negara silvia-8111412028
 
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
 
T 2 makalah pih
T 2 makalah pihT 2 makalah pih
T 2 makalah pih
 
Contoh kasus penegakkan hukum indonesia
Contoh kasus penegakkan hukum indonesiaContoh kasus penegakkan hukum indonesia
Contoh kasus penegakkan hukum indonesia
 
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumpengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
 
Penegakan hukum di indonesia
Penegakan hukum di indonesiaPenegakan hukum di indonesia
Penegakan hukum di indonesia
 
Makalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negaraMakalah hukum administrasi negara
Makalah hukum administrasi negara
 
Pembaharuan sistem hukum di indonesia
Pembaharuan sistem hukum di indonesiaPembaharuan sistem hukum di indonesia
Pembaharuan sistem hukum di indonesia
 
Apa Itu TIPIKOR
Apa Itu TIPIKORApa Itu TIPIKOR
Apa Itu TIPIKOR
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara
 
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.comhukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
 
Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara
Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negaraPertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara
Pertanggungjawaban kewenangan pejabat administrasi negara
 
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukumPengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
Pengertian dan pentingnya perlindungan serta penegakan hukum
 
Hakikat perlindungan dan penegakan hukum
Hakikat perlindungan dan penegakan hukumHakikat perlindungan dan penegakan hukum
Hakikat perlindungan dan penegakan hukum
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusus
 

Destaque

Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaAndy Susanto
 
Bab IV Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab IV Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab IV Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab IV Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaAndy Susanto
 
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...Andy Susanto
 
TINJAUAN UMUM KEUANGAN NEGARA
TINJAUAN UMUM KEUANGAN NEGARATINJAUAN UMUM KEUANGAN NEGARA
TINJAUAN UMUM KEUANGAN NEGARAAry Efendi
 
Pendidikan Anti Korupsi - Jenis dan Bentuk Korupsi
Pendidikan Anti Korupsi - Jenis dan Bentuk KorupsiPendidikan Anti Korupsi - Jenis dan Bentuk Korupsi
Pendidikan Anti Korupsi - Jenis dan Bentuk KorupsiHaristian Sahroni Putra
 
Kedudukan dan tanggung jawab bendahara satker
Kedudukan dan tanggung jawab bendahara satkerKedudukan dan tanggung jawab bendahara satker
Kedudukan dan tanggung jawab bendahara satkerAhmad Abdul Haq
 

Destaque (6)

Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
 
Bab IV Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab IV Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab IV Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab IV Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
 
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
 
TINJAUAN UMUM KEUANGAN NEGARA
TINJAUAN UMUM KEUANGAN NEGARATINJAUAN UMUM KEUANGAN NEGARA
TINJAUAN UMUM KEUANGAN NEGARA
 
Pendidikan Anti Korupsi - Jenis dan Bentuk Korupsi
Pendidikan Anti Korupsi - Jenis dan Bentuk KorupsiPendidikan Anti Korupsi - Jenis dan Bentuk Korupsi
Pendidikan Anti Korupsi - Jenis dan Bentuk Korupsi
 
Kedudukan dan tanggung jawab bendahara satker
Kedudukan dan tanggung jawab bendahara satkerKedudukan dan tanggung jawab bendahara satker
Kedudukan dan tanggung jawab bendahara satker
 

Semelhante a Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh bendaharawan

Resume hukum keuangan negara
Resume hukum keuangan negaraResume hukum keuangan negara
Resume hukum keuangan negaraNaufal Adzkieyha
 
Keuangan negara dan daerah
Keuangan negara dan daerahKeuangan negara dan daerah
Keuangan negara dan daerahtrio Saputra
 
Analisi Kasus Korupsi Bantuan Liquiditas Bank Indonesia(BLBI)
Analisi Kasus Korupsi Bantuan Liquiditas Bank Indonesia(BLBI)Analisi Kasus Korupsi Bantuan Liquiditas Bank Indonesia(BLBI)
Analisi Kasus Korupsi Bantuan Liquiditas Bank Indonesia(BLBI)Ihsan Dwi Gunawan
 
Kewarganegaraan tentang dampak korupsi
Kewarganegaraan tentang dampak korupsiKewarganegaraan tentang dampak korupsi
Kewarganegaraan tentang dampak korupsistevenson2708
 
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansosProposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansosAndy Susanto
 
Negara hukum dan pemberantasan korupsi
Negara hukum dan pemberantasan korupsiNegara hukum dan pemberantasan korupsi
Negara hukum dan pemberantasan korupsiFirda Purbandari
 
MPH_KERANGKA_TEORI_FENI_UTAMI_201021009.docx
MPH_KERANGKA_TEORI_FENI_UTAMI_201021009.docxMPH_KERANGKA_TEORI_FENI_UTAMI_201021009.docx
MPH_KERANGKA_TEORI_FENI_UTAMI_201021009.docxHeri890793
 
Makalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baikMakalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baikWarnet Raha
 
Makalah akuntansi sektor publik
Makalah akuntansi sektor publikMakalah akuntansi sektor publik
Makalah akuntansi sektor publikAjeng Pipit
 
BE & GG, Rachmad Hidayat, Hapzi Ali, Ethics and Business - Corruption & Fraud...
BE & GG, Rachmad Hidayat, Hapzi Ali, Ethics and Business - Corruption & Fraud...BE & GG, Rachmad Hidayat, Hapzi Ali, Ethics and Business - Corruption & Fraud...
BE & GG, Rachmad Hidayat, Hapzi Ali, Ethics and Business - Corruption & Fraud...Rachmad Hidayat
 
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdfBE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdfIntan Wachyuni
 

Semelhante a Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh bendaharawan (20)

Resume hukum keuangan negara
Resume hukum keuangan negaraResume hukum keuangan negara
Resume hukum keuangan negara
 
Keuangan negara dan daerah
Keuangan negara dan daerahKeuangan negara dan daerah
Keuangan negara dan daerah
 
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenangTinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
 
Analisi Kasus Korupsi Bantuan Liquiditas Bank Indonesia(BLBI)
Analisi Kasus Korupsi Bantuan Liquiditas Bank Indonesia(BLBI)Analisi Kasus Korupsi Bantuan Liquiditas Bank Indonesia(BLBI)
Analisi Kasus Korupsi Bantuan Liquiditas Bank Indonesia(BLBI)
 
Kewarganegaraan tentang dampak korupsi
Kewarganegaraan tentang dampak korupsiKewarganegaraan tentang dampak korupsi
Kewarganegaraan tentang dampak korupsi
 
Artikel korupsi
Artikel korupsiArtikel korupsi
Artikel korupsi
 
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansosProposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
 
Ceramah fh
Ceramah fhCeramah fh
Ceramah fh
 
Negara hukum dan pemberantasan korupsi
Negara hukum dan pemberantasan korupsiNegara hukum dan pemberantasan korupsi
Negara hukum dan pemberantasan korupsi
 
MPH_KERANGKA_TEORI_FENI_UTAMI_201021009.docx
MPH_KERANGKA_TEORI_FENI_UTAMI_201021009.docxMPH_KERANGKA_TEORI_FENI_UTAMI_201021009.docx
MPH_KERANGKA_TEORI_FENI_UTAMI_201021009.docx
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Makalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baikMakalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baik
 
Makalah akuntansi sektor publik
Makalah akuntansi sektor publikMakalah akuntansi sektor publik
Makalah akuntansi sektor publik
 
Makalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baikMakalah pemerintahan yang baik
Makalah pemerintahan yang baik
 
Makalah pemerintahan yang baik STIP WUNA
Makalah pemerintahan yang baik STIP WUNA Makalah pemerintahan yang baik STIP WUNA
Makalah pemerintahan yang baik STIP WUNA
 
BE & GG, Rachmad Hidayat, Hapzi Ali, Ethics and Business - Corruption & Fraud...
BE & GG, Rachmad Hidayat, Hapzi Ali, Ethics and Business - Corruption & Fraud...BE & GG, Rachmad Hidayat, Hapzi Ali, Ethics and Business - Corruption & Fraud...
BE & GG, Rachmad Hidayat, Hapzi Ali, Ethics and Business - Corruption & Fraud...
 
Antikorupsiii
AntikorupsiiiAntikorupsiii
Antikorupsiii
 
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdfBE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
 
Kpk lengkap
Kpk lengkapKpk lengkap
Kpk lengkap
 
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesiaPenggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
 

Mais de Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Indonesia

Mais de Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Indonesia (14)

Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
 
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
 
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...
 
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
 
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisiplinerKebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
 
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINERKEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
 
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
 
Teori hukum
Teori hukumTeori hukum
Teori hukum
 
Sinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukumSinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukum
 
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasionalFungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
 
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negaraPeranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
 
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridisKetidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
 
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunan
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunanPeranan filsafat pancasila dalam pembangunan
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunan
 
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
 

Último

Lingkungan bawah airLingkungan bawah air.ppt
Lingkungan bawah airLingkungan bawah air.pptLingkungan bawah airLingkungan bawah air.ppt
Lingkungan bawah airLingkungan bawah air.pptimamshadiqin2
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxrizalhabib4
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikaAtiAnggiSupriyati
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxDEAAYUANGGREANI
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7IwanSumantri7
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxwawan479953
 
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfAksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfEniNuraeni29
 
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...MuhammadSyamsuryadiS
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatanssuser963292
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"baimmuhammad71
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSovyOktavianti
 
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxMateri Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxSaujiOji
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptnabilafarahdiba95
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptPpsSambirejo
 
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...Kanaidi ken
 
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024RoseMia3
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxSlasiWidasmara1
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptAlfandoWibowo2
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfWidyastutyCoyy
 
mengapa penguatan transisi PAUD SD penting.pdf
mengapa penguatan transisi PAUD SD penting.pdfmengapa penguatan transisi PAUD SD penting.pdf
mengapa penguatan transisi PAUD SD penting.pdfsaptari3
 

Último (20)

Lingkungan bawah airLingkungan bawah air.ppt
Lingkungan bawah airLingkungan bawah air.pptLingkungan bawah airLingkungan bawah air.ppt
Lingkungan bawah airLingkungan bawah air.ppt
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
 
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfAksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
 
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxMateri Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
RENCANA & Link2 Materi Pelatihan_ "Teknik Perhitungan TKDN, BMP, Preferensi H...
 
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
DAFTAR PPPK GURU KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2024
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
 
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.pptSEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN JIWA dan Trend Issue.ppt
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
 
mengapa penguatan transisi PAUD SD penting.pdf
mengapa penguatan transisi PAUD SD penting.pdfmengapa penguatan transisi PAUD SD penting.pdf
mengapa penguatan transisi PAUD SD penting.pdf
 

Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh bendaharawan

  • 1. 1 KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH BENDAHARAWAN ( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Keuangan Negara) Oleh : FREINGKY A. NDAUMANU, S.H. NIM : 11/322217/PHK/06731 PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA MAGISTER HUKUM 2012
  • 2. 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan konsep “Negara hukum” sekarang ini telah menghasilkan Negara hukum kesejahteraan (social service staat; welvaarstat). Konsekuensinya, dalam suatu Negara yang demikian ini, tugas Negara sebagai servis publik adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial (yang oleh Lemaire disebutnya dengan : bestuurzog) bagi masyarakatnya.1 Untuk dapat menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial, Negara sangatlah memerlukan sarana yang mutlak demi menunjang terlaksananya roda pemerintahan. Sarana mutlak yang dimaksudkan salah satunya ialah berbentuk modal (keuangan). Namun, tidak serta merta Negara menjadi pemilik dari benda tersebut, oleh karena itu sarana yang berbentuk benda itu kemudian memerlukan pengaturan lebih lanjut agar tidak menimbulkan kekuasaan yang absolut dari Negara terhadap benda itu. Pengaturan yang dimaksud pada akhirnya menciptakan ilmu hukum baru, yaitu hukum keuangan Negara ( public finance law (Inggris) atau fiscal recht (Belanda) ). Terkait dengan kewajiban tersebut, dalam pengelolaan keuangan Negara pemerintah selalu berusaha menghindarkan terjadinya kekurangan kekayaan karena alasan apapun yang disebabkan kesalahan dalam pengelolaan oleh 1 Panjaitan Saut P., “Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum Administrasi Negara” dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm.104
  • 3. 3 pejabatnya, agar pemerintah tetap dapat menyediakan layanan kepada masyarakat sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Beranjak dari konsep dasar seperti tersebut, dalam setiap kejadian kekurangan kekayaan Negara, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang kemudian dikenal dengan istilah kerugian Negara, pemerintah hanya mewajibkan langkah-langkah pemulihan kemampuan keuangan Negara, agar pemerintah tetap dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan layanan kepada masyarakat.2 Selanjutnya, Pejabat yang dimaksud dalam pengelolaan keuangan Negara dikenal pula bendahara sebagai pengelola keuangan Negara. Bandahara adalah setiap orang atau Badan yang diberi tugas untuk dan atas nama Negara menerima, menyimpan dan membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang. Bendahara ini bukan merupakan bendahara umum keuangan Negara, melainkan bendahara pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian Negara/lembaga non kementerian, dan lembaga Negara.3 Ketika Negara mengalami kerugian akibat pengelolaan keuangan Negara yang tidak benar, Negara wajib mengenakan tuntutan ganti kerugian kepada pihak yang melakukannya. Pengenaan tuntutan ganti kerugian bertujuan untuk memulihkan keuangan Negara yang mengalami kekurangan dan dikembalikan pada keadaan semula sehingga dapat digunakan kembali dalam mencapai tujuan Negara.4 2 Suyanto Siswo., “Pembuktian Unsur Kerugian Negara Dan Perhitungannya Dalam Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007 di Jakarta, Ketua Tim Kerja Penyusunan RUU Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, http://www.kppngarut.org/component/content/article/41-keuangan/110- korupsi.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2012 3 Saidi Muhammad Djafar., Hukum Keuangan Negara, Edisi Pertama Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 46-47 4 Ibid, hlm.73
  • 4. 4 B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Konsekuensi Yuridis Terhadap Timbulnya Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Oleh Bendaharawan?”
  • 5. 5 BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:5 (1) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of purpose or intent); (2) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the ingenuity or carelesne of the victim); (3) Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation). Korupsi bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Gejalanya telah sejak lama dirasakan dan menjadi bahan diskusi di berbagai belahan dunia. Bahkan sebuah ungkapan dari Lord Acton yang berbunyi : “power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely”, seolah menjadi sebuah idiom yang berlaku seumur hidup. Berbagai pengajaran baik dalam ruang lingkup hukum maupun politik menggunakan ungkapan dari Lord Acton ini sebagai logika awal. Dalam Norma umum di masyarakat maupun norma khusus semisal perundangan, istilah korupsi bisa saja dimaknai beragam. Perbedaaan pengertian 5 Arief Barda Nawawi & Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm.56
  • 6. 6 ini menyebabkan implikasi hukum dan sosial yang berbeda pula di mata masyarakat. Sebuah tindakan korupsi yang merugikan keuangan Negara boleh jadi secara norma sosial dianggap sebagai tindakan wajar dan tidak melanggar. Ini karena pandangan dan pemahaman suatu masyarakat terhadap perbuatan korupsi berbeda dengan masyarakat lainnya. Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.6 Menurut M. Dawam Rahardjo,7 korupsi merupakan perbuatan melanggar hukum yang berakibat rusaknya tatanan yang sudah disepakati. Tatanan itu bisa berwujud pemerintahan, administrasi, atau manajemen. Sedangkan, menurut Transparansi Internasional, korupsi adalah “perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.”8 Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan Negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan Negara, maka perlu ada kejelasan definisi secara yuridis pengertian keuangan Negara. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum ada kesamaan 6 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm.115 7 Jeddawi Murtir. H., Mengefektifkan Peran Birokrasi Untuk Memangkas Perilaku Korupsi, Cetakan Pertama, Total Media (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2009, hlm 61-62 8 Rais Mohammad Amien., Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, ctk.Ekstra, PPSK Press, Yogyakarta, 2008, hlm.177
  • 7. 7 tentang pengertian keuangan Negara. Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.9 Sedangkan secara teoritis, pengertian keuangan Negara dapat dilihat dari beberapa pandangan para ahli, sebagaimana dikutip oleh W.Riawan Tjandra,10 yakni : Menurut M.Ichwan Keuangan Negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya 1 (satu) tahun mendatang. Menurut Geodhart Keuangan Negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tetrtentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Menurut Van der Kemp11 Keuangan Negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang 9 Atmadja Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum Teori, Praktik Dan Kritik, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.4 10 Tjandra W.Riawan., Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008, hlm.176 11 Ibid, hlm.178
  • 8. 8 ataupun barang) yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan dengan hak-hak tersebut. Untuk mengetahui karakteristik tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilihat di dalam UUTPK (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dalam arti materil sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UUPTPK diuraikan berikut ini; Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).” Bunyi Pasal ini mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yaitu: (1) Setiap orang; (2) Secara melawan hukum; (3) Perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi; (4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dalam hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” adalah 1 (satu) frase yang memiliki 4 (empat) makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan hukum umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum dapat di pidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana oleh Ch. J. Enschede sebagai “een menseijk gedraging die val binnen de
  • 9. 9 grenzen van delictsomschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten” (perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicelakan padanya). Sifat melawan hukum khusus, biasanya kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sebenarnya penyebutan kata “melawan hukum” secara eksplisit dalam rumusan delik merujuk pada ilmu hukum Jerman yang diajarkan sejumlah pakar antara lain, Zevenbergen dan pengikutnya di Belanda, Simon. Menurut padangan ini, melawan hukum hanya merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan pandangan sebagian besar ilmuan hukum pidana Belanda12 yang berangkat dari anggapan bahwa siapa yang melakukan suatu perbuatan perundang-undangan pidana berarti ia melakukan tindak pidana dan dengan demikian bertindak secara melawan hukum. Dengan kata lain, kendatipun kata “melawan hukum” tidak disebutkan dalam rumusan delik, maka secara diam- diam sifat melawan hukum tersebut telah ada dalam suatu delik. Lebih tegasnya lagi dinyatakan oleh Hazewinkel Suringa, “De wederrechtelijkheid is slects daar, waar de wet haar noemt, element en verder allen maar het kenmerk van ieder delict” (melawan hukum merupakan unsur mutlak jika disebutkan dengan tegas 12 Eddy.O.S. Hiariej., “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Dampaknya Terhadap Pemberantasan Korupsi”, Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM-Mimbar Hukum, Volume 18, Nomor 3, Oktober, 2006, hlm.295
  • 10. 10 dalam undang-undang, jika tidak maka sifat melawan hukum adalah sebagai ciri suatu peristiwa pidana). Sifat melawan hukum formal mengandung arti semua bagian (unsur- unsur) dari rumusan delik telah dipenuhi. Sebaliknya, sifat melawan hukum material terdapat 2 (dua) pandangan. Pertama, sifat melawan hukum material dilihat dari sudut perbuatannya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungai oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Kedua, sifat melawan hukum material dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat. Perkembangan selanjutnya,13 sifat melawan hukum material ini masih dibagi lagi menjadi sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif dan sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang positif. Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif berarti meskipun perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Sebaliknya, sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang positif, mengandung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa 13 Ibid, hlm.296
  • 11. 11 keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Apabila dikaji Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi berikut penjelasannya, maka secara jelas terlihat bahwa sifat melawan hukum dalam undang-undang tersebut mengandung ke-4 (keempat) makna sebagaimana telah diuraikan diatas. Sifat melawan hukum umum dan sifat melawan hukum formal telah melekat dengan sendirinya, mengingat korupsi adalah perbuatan pidana. Sementara sifat melawan hukum khusus tergambar dari kata-kata “melawan hukum” yang ada dalam rumusan delik. Sedangkan sifat melawan hukum material secara eksplisit dicantumkan dalam Penjelasan.14 Kerugian Negara berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang- undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkapkan terjadinya tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Menurut Nieuwenhuis,15 kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain. 14 Ibid, hlm.297 15 Miru Ahmadi., Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm.81
  • 12. 12 Unsur “dapat merugikan keuangan Negara” memang merupakan delik formil,16 artinya tidak perlu telah terjadi kerugian keuangan atau perkeonomian Negara. Kendati begitu, menurut Andi Hamzah, tetap harus dibuktikan “dapatnya Negara rugi”. Jadi, harus dipanggil ahli akuntan untuk menilai menurut perhitungannya, dapatkah Negara rugi. Andi Hamzah menilai berlebihan terhadap penafsiran yang mengatakan “dapat merugikan keuangan Negara” adalah “potensial” merugikan keuangan Negara. Alasannya, kata “potensial” itu luas sekali artinya. Misalnya, semua orang potensial melakukan kejahatan, sedangkan yang melakukan kejahatan hanya minoritas dari rakyat. Jadi, menurut Andi Hamzah, terlampau luas jika kata”dapat” diartikan “potensial”. Mestinya tetap ada perhitungan oleh akuntan mengenai “dapatnya Negara rugi”.17 Unsur kerugian Negara sering menjadi polemik karena memiliki pengertian yang dapat dilihat dari beberapa perspektif hukum, yaitu berdasarkan perspektif hukum administrasi negarra, hukum perdata dan hukum pidana, yang lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut :18 16 lihat; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang meniadakan berlakunya penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sehingga perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yaitu perbuatan yang dianggap tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena pengertian melawan hukum secara materiil dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 17 Andi Samsan Nganro., “Tindak Pidana Korupsi Dalam Perundang-undangan Di Indonesia”, Al Manãhij, Volume 2, Nomor I, 1 januari-Juni 2008, hlm.123 18 Setyo Utomo., Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pada Jasa Konsultan; Materi disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) tentang “Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan Kontrak Jasa Konsultasi dan Pencegahan Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah”, yang diselenggarakan di Balai Sidang Djokosoetono Gedung F Lantai 2 FH-UI Depok, Selasa 22 Juni 2010, hlm.9-10
  • 13. 13 (1) Pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum administrasi Negara, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Rumusan pengertian kerugian Negara dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ini sama dengan rumusan pengertian kerugian Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum perdata terkait dengan pengertian keuangan Negara yang dikelola oleh perusahaan Negara/perusahaan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Jadi kerugian Negara disini adalah berkurangnya Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga atau saham, piutang, barang, serta hak- hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Undang-
  • 14. 14 Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoan Terbatas dan Undang- Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. (3) Pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum pidana adalah suatu perbuatan yang menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan keuangan Negara sehingga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan merugikan Negara atau dapat merugikan Negara sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur-unsur : pertama, perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun materil atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya, dan kedua, para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik si pelaku sendiri, orang lain atau korporasi (Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001). Jika mengacu pada pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum administrasi Negara maka pengertiannya disini adalah pengertian kerugian Negara yang memaknai pengertian keuanan Negara, sehingga berbeda dengan kerugian Negara yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan pengertian yang spesifik dan merupakan lex specialias derogat legi generalis sistematis, yaitu meskipun sama-sama bersifat khusus, tetapi yang mendominasi adalah lingkup kepentingannya dalam hal ini adalah pidana. Tegasnya penerapannya harus melihat kepada lingkup permasalahannya,
  • 15. 15 jika menyangkut masalah pidana maka yang diberlakukan adalah hukum pidana, sehingga mengesampingkan hukum perdata dan hukum administrasi Negara. Sebagai contoh dalam praktek selama ini dalam hal penerapan pengertian Pegawai Negeri, walaupun diatur di dalam Undang-Undang Kepegawaian Nomor 8 Tahun 1974 jo. UU No. 43 Tahun 1999, tetapi yang digunakan dalam tindak pidana korupsi adalah pengertian pegawai negeri di dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang jo. No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tinak Pidana Korupsi, bahkan pengertian sesama hukum pidana termuat dalam KUHP juga diabaikan. Dengan memperhatikan rumusan keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, maka kerugian keuangan Negara tersebut dapat berbentuk :19 1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan. 2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku. 3. Hilangnya sumber/kekayaan Negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif). 19 Soepardi Eddy Mulyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan pada ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hlm.3
  • 16. 16 4. Penerimaan sumber/kekayaan Negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai). 5. Timbulnya suatu kewajiban Negara/daerah yang seharusnya tidak ada. 6. Timbulnya suatu kewajiban Negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya. 7. Hilangnya suatu hak Negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku. 8. Hak Negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima. B. SUMBER KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Dalam kasus kerugian Negara, ada empat akun besar yang bisa menjadi sumber dari kerugian Negara, sebagaimana dikemukakan oleh Theodorus M. Tuanakotta20 dalam bukunya Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi menggambarkannya dalam pohon kerugian keuangan Negara yang dijelaskan seperti di bawah ini. Pohon kerugian keuangan Negara mempunyai empat (4) cabang, dalam hal ini yaitu akun. Masing-masing akun 20 “Pohon Kerugian Keuangan Negara”, http://shartika2009.wordpress.com/2011/04/24/pohon- kerugian-keuangan-Negara/, diakses pada tanggal 17 Mei 2012
  • 17. 17 mempunyai cabang yang menunjukkan kaitan antara perbuatan melawan hukum dengan akun-akun tersebut. Keempat akun tersebut adalah : (1) Aset (Asset) (2) Kewajiban (Liability) (3) Penerimaan (Revenue) (4) Pengeluaran (Expenditure) Dengan menggunakan istilah bahasa Inggris diatas, pohon kerugian keuangan Negara ini sering disebut dengan R.E.A.L tree.
  • 18. 18 a) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Aset Terdapat 5 sumber kerugian keuangan Negara terkait dengan aset. Seperti yang dijelaskan pada bagian di bawah ini. 1. Pengadaan Barang dan Jasa Bentuk kerugian keuangan Negara dari pengadaan barang dan jasa adalah pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya. Bentuk kerugian ini dapat berupa: a) Markup untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan dokumen tender dan kuantitasnya sesuai dengan pesanan, tetapi harganya lebih mahal. b) Harga secara total sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan/atau kuantitas barang lebih rendah dari yang disyaratkan. c) Syarat penyerahan barang lebih istimewa sedangkan syarat pembayaran tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga. d) Syarat pembayaran lebih baik, tetapi syarat lainnya seperti kualitas dan kuantitas tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga. e) Kombinasi dari beberapa kerugian di atas. 2. Pelepasan Aset Bentuk dan kerugian yang dapat ditimbulkan: a) Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan nilai buku sebagai patokan dimana panitia penjualan menyetujui harga jual di atas harga buku. Sehingga, para pelaku bisa berkelit bahwa penjualan aset telah
  • 19. 19 menguntungkan Negara. Padahal pada kenyataannya, penjualan tersebut bisa dilakukan dengan atau tanpa tender. Praktik tender yang curang serupa dengan proses tender pada pengadaan barang dan jasa seperti yang telah dijelaskan di atas. b) Penjualan tanah dan bangunan “diatur” melalui NJOP hasil kolusi dengan pejabat terkait. NJOP di sini berperan sebagai nilai buku seperti pada poin “a” di atas. c) Tukar guling (ruilslag) tanah dan bangunan milik Negara dengan tanah, bangunan, atau aset lain. Dengan demikian aset ditukar dengan aset sehingga nilai pertukarannya sulit ditentukan. Masalah lainnya adalah surat kepemilikan, penguasaan atas tanah, peruntukan tanah yang diterima dalam tukar guling. Aset Negara yang bernilai tinggi di- ruilslag dengan tanah bodong (substance disamarkan melalui form). d) Pelepasan hak Negara untuk menagih. Para makelar perkara (biasa disebut juga dengan makelar kasus atau markus) memberikan perangsang kepada penguasa untuk menghilangkan hak tagih. Atau sebaliknya, penegak hukum melihat peluang untuk berkooptasi dengan para markus. Besarnya kerugiannya bukan semata-mata hilangnya jumlah pokok, tetapi juga kerugian bunga sejak hak tagih hilang sampai terpidana membayar kembali berdasakan putusan majelis hakim.
  • 20. 20 3. Pemanfaatan Aset Hal ini dilakukan ketika lembaga-lembaga Negara mempunyai aset yang belum dimanfaatkan secara penuh, “salah beli”, atau “salah urus” dan pihak ketiga meihat peluang untuk memanfaatkan kekayaan Negara ini, tetapi bukan melalui transaksi jual beli, seperti sewa, kerja sama operasional, atau kemitraan strategis. Bentuk kerugian keuangan Negara dari pemanfaatan aset antara lain: (1) Negara tidak memperoleh imbalan yang layak jika dibandingkan dengan harga pasar. (2) Negara ikut menanggung kerugian dalam kerja sama operasional yang melibatkan aset Negara yang “dikaryakan” kepada mitra usaha. (3) Negara kehilangan aset yang dijadikan jaminan kepada pihak ketiga. Misalnya aset tersebut dijadikan sebagai inbreng. Potensi terjadinya kerugian menjadi lebih besar ketika asetnya tidak bertuan. Contohnya adalah aset yang dibangun Pemerintah Pusat dengan dana APBN, tetapi tidak tercatat sebagai aset baik di Pemerintah Pusat maupun Pemda. 4. Penempatan Aset Penempatan aset merupakan penanaman atau investasi dari dana- dana milik Negara. Kerugian keuangan Negara terjadi ketika adanya unsur kesengajaan menempatkan dana-dana tersebut pada investasi yang tidak
  • 21. 21 seimbang antara risk dan reward-nya. Apabila mereka memiliki kelebihan dana, mereka sering tergoda untuk melakukan penempatan aset dengan resiko yang relatif tinggi dibandingkan dengan imbalannya. Ciri yang sering menonjol adalah tidak sejalannya usaha baru dengan bisnis inti. Ketika usaha barunya gagal, mereka sering berdalih bahwa ini bukanlah kerugian keuangan Negara, melainkan sekadar business loss yang sangat lazim di dunia bisnis. Apabila penempatan aset memberikan hasil atau keuntungan, para pejabat dapat menerima keuntungan. Sebaliknya, ketika penempatan aset menimbulkan kerugian, mereka “lepas tangan”. Penempatan aset merupakan kiat para pelaku kejahatan berkerah putih dimana seluruh transaksi didukung dengan dokumen hukum yang sah dan lengkap. Bentuk luarnya sempurna, tapi substansinya bodong. Bentuk-bentuk kerugian Negara dari penempatan aset antara lain: 1) Imbalan yang tidak sesuai dengan risiko. Besarnya kerugian sebesar selisih bunga ditambah premi untuk faktor tambahan risiko dengan imbalan yang diterima selama periode sejak dilakukannya penempatan aset sampai dengan pengembaliannya. 2) Jumlah pokok yang ditanamkan dan yang hilang. Besarnya kerugian sebesar jumlah pokok dan bunga.
  • 22. 22 3) Jika ada dana-dana pihak ketiga yang ikut hilang dan ditalang oleh Negara, maka kerugiannya adalah sebesar jumlah pokok dari dana talangan beserta bunganya. 5. Kredit Macet Kredit diberikan dengan melanggar rambu-rambu perkreditan, baik yang ditetapkan oleh BI maupun oleh Bank BUMN itu sendiri dimana sebenarnya kredit ini sudah diperkirakan akan macet. Bankir yang menjadi koruptor tersebut akan menggunakan alasan bahwa kredit macet merupakan bagian yang tak terpisahkan dari risiko perbankan. Pemberian kredit dengan cara ini merupakan kejahatan kerah putih, dilakukan dalam bentuk kolusi antara pejabat bank dan sarat dengan benturan kepentingan. Oleh karena proses pemberian kredit dilakukan dengan cara melawan hukum, bentuk kerugian Negara berupa jumlah pokok dan bunga tanpa dikurangi hair cut. b) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Kewajiban Terdapat 3 jenis kerugian Negara berkaitan dengan kewajiban di antaranya perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata, kewajiban bersyarat yang menjadi nyata, dan kewajiban tersembunyi. 1. Perikatan yang Menimbulkan Kewajiban Nyata Dokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya bodong, dimana transaksi istimewa diselipkan diantara transaksi normal karena mengetahui bahwa transaksi ini akan bermasalah. Sifat fraud-nya
  • 23. 23 adalah penjarahan kekayaan Negara melalui penciptaan transaksi fiktif yang menyerupai transaksi normal. Bentuk kerugiannya adalah jumlah pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak timbulnya kewajiban nyata sampai dengan pengembalian dana oleh terpidana. 2. Kewajiban yang berasal dari kewajiban bersyarat Pejabat lembaga Negara, BUMN, dan lain-lain mengadakan perikatan dengan pihak ketiga yang pada awalnya merupakan contingent liability. Laporan keuangan lembaga tersebut tidak menunjukkan adanya kewajiban karena masih merupakan kewajiban bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak mampu memenuhi kewajibannya sehingga lembaga Negara yang menjadi penjaminnya memiliki kewajiban nyata yang sebelumnya adalah kewajiban bersyarat. Bentuk kerugian keuangan Negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak kewajiban bersyarat berubah menjadi kewajiban nyata sampai saat pengembalian dana tersebut oleh terpidana. 3. Kewajiban Tersembunyi Kewajiban tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dana suatu lembaga besar yang diduga untuk membantu mantan pejabatnya mengatasi masalah hukum. Dalam praktiknya, kantor-kantor akuntan yang termasuk dalam Big Four senantiasa memfokuskan suatu audit pada pengeluaran untuk masalah hukum karena legal expenses
  • 24. 24 merupakan tempat persembunyian segala macam biaya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan dari pihak pimpinan lembaga untuk membersihkan pembukuan ketika auditor menemukan penyimpangan ini, yaitu dengan dua cara: a) Menciptakan aset bodong untuk menghindari pengeluaran fiktif. b) Aset bodong tersebut dihilangkan melalui kewajiban kepada pihak yang masih terafiliasi. Bentuk kerugian Negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga sejak periode dana diterima oleh pelaku kejahatan sampai saat pengembaliannya. Dari ketiga jenis ranting kewajiban di atas, pola penghitungan kerugian keuangan Negara cukup sederhana. c) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Penerimaan Penerimaan Negara umumnya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya: (1) Penerimaan yang bersumber dari perpajakan atau bea dan cukai, (2) Penerimaan pemerintah yang merupakan bagian pemerintah atas pengelolaan minyak dan gas bumi, batu bara, serta mineral lainnya. (3) Penerimaan Negara bukan pajak (PNBP). PNBP ini dapat ditemukan di hampir semua lembaga namun pertanggungan
  • 25. 25 jawabnya tidak selalu ada atau terbuka untuk diperiksa oleh BPK, sehingga penerimaan ini rawan korupsi. Contohnya di Perguruan Tinggi, Rektor, Dekan, dan pejabat struktural lainnya mempunyai kewenangan atas PNBP. Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara dapat kita lihat ada tiga sumber kerugian keuangan Negara sebagai berikut. 1. Wajib Bayar Tidak Menyetor Kewajibannya Inisiator: pihak ketiga yang menjadi wajib pungut. Contoh: Dalam beberapa Undang-Undang wajib bayar menghitung dana menyetorkan kewajibannya ke kas Negara. Kelalaian para wajib bayak akan menimbulkan kerugian keuangan Negara. Negara bukan saja tidak menerima jumlah yang menjadi kewajiban wajb bayar, tetapi juga kehilangan bunga atas penerimaan tersebut karena adanya unsur waktu (keterlambatan menyetor). (1) Penerimaan Negara Tidak Disetor Penuh oleh Pejabat yang Bertanggung Jawab Inisiator: Lembaga Negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun pejabat yang berwenang tidak meminta dilakukannya setoran penuh. Contoh: Selisih antara ”tarif tinggi” dan ”tarif rendah” dalam pengurusan dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar RI di Malaysia.
  • 26. 26 (2) Penyimpangan dalam Melaksanakan Diskresi Berupa Pengurangan Pendapatan Negara Inisiator: Lembaga Negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun ada kewenangan untuk melakukan pemotongan penerimaan Negara. Secara substansi ketiga ranting di atas merupakan penerimaan Negara yang tidak disetorkan sebagian atau seluruhnya, atau tidak disetorkan tepat waktu. Dengan demikian perhitungannya yakni, Jumlah kerugian Negara = sebesar jumlah penerimaan Negara yang tidak disetorkan ditambah bunga untuk periode sejak saat penerimaan Negara seharusnya disetorkan sampai saat terpidana mengembalikan penerimaan Negara tersebut. Secara umum pola perhitungannya sama dengan pola perhitungan kewajiban, yaitu pokok ditambah bunga. c) Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Pengeluaran Kerugian keuangan Negara terjadi karena pengeluaran Negara dilakukan lebih dari seharusnya, atau pengeluaran Negara seharusnya tidak dilakukan, dan/atau pengeluaran Negara dilakukan lebih cepat. Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara, kerugian keuangan Negara berkenaan dengan transaksi pengeluaran dapat terjadi karena hal-hal berikut. 1. Kegiatan Fiktif/Pengeluaran Fiktif
  • 27. 27 Tidak dilaksanakannya kegiatan yang dicantumkan dalam anggaran (APBN, APBD, anggaran BUMN, dan seterusnya) tetapi dilaporkan seolah-olah sudah dilaksanakan. Contoh: Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti- bukti yang tidak benar atau fiktif. 2. Pengeluaran Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan yang Sudah Tidak Berlaku Lagi Contoh: pengeluaran Pemda, pejabat Pemda menerbitkan peraturan daerah dengan merujuk peraturan perundang-udangan yang tidak berlaku. Kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi. 3. Pengeluaran Bersifat Resmi, Tetapi Dilakukan Lebih Cepat Contoh: dalam kasus pembayaran kepada pemasok atau kontraktor, pembayaran kepada mereka dilakukan sebelum kemajuan kerja yang disepakati tercapai. Jadi penghitungannya yakni, Jumlah kerugian Negara = sebesar uang yang dibelanjakan untuk kegiatan fiktif, ditambah dengan bunga
  • 28. 28 selama periode sejak dikeluarkannya uang tersebut sampai uang dikembalikan terpidana. 3. KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH BENDAHARAWAN Seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang- Undang bila seseorang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas mengenai apa yang disebut dengan kerugian keuangan Negara. Dalam Penjelasan Pasal 32 hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian keuangan Negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
  • 29. 29 Adapun siapa instansi yang berwenang dimaksud, tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun demikian, mengacu pada beberapa ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku, maka sekurang-kurangnya tiga instansi yang berwenang, yaitu BPK, BPKP dan Inspektorat baik di tingkat pusat dan daerah. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Kewenangan BPKP tidak hanya sampai disitu saja, BPKP juga dapat melakukan pemeriksaan khusus atau audit investigasi untuk membongkar kasus-kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian Negara atau menguntungkan sebagian orang. Bila ada indikasi terjadinya tindak pidana korupsi maka acuan yang digunakan BPKP dalam melakukan audit investigasnya adalah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan fungsi dan wewenangnya, disini terlihat bahwa peran BPKP dalam upaya pemberantasan korupsi dapat dijadikan modal dasar yang kuat dalam memerangi kejahatan korupsi. BPK memperoleh kewenangan berdasarkan Pasal 23 E Undang-Undang Dasar 1945, sebagai lembaga pemeriksa keuangan yang memperolah kewenangan berdasarkan atributif melalui undang-undang. Pemeriksa menurut Undang-undang No. 15 Tahun 2004 adalah orang yang melakukan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara untuk dan atas nama BPK yang dapat
  • 30. 30 melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/daerah dan atau unsur tindak pidana korupsi. Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangan melakukan audit investigatif berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008 yang hanya merupakan bagian dari sistem pengendalian intern pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat preventif. Artinya BPKP tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam melakukan pemeriksaan investigatif berkaitan dengan unsur tindak pidana korupsi. Sehingga ketika ditemukan adanya kerugian Negara yang mengandung unsur pidana, maka kewenangan tindak lanjut atas temuan tersebut sampai pada proses hukumnya adalah menjadi kewenangan BPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dapat membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam rangka memproses penyelesaian kerugian Negara terhadap bendahara. Berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis Tuntutan Perbendaharaan merupakan suatu lembaga ad hock yang dibentuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan kewenangan
  • 31. 31 BPK dalam menilai dan/ atau menetapkan kerugian Negara/daerah terhadap bendahara serta menerbitkan Keputusan-Keputusan BPK berkaitan dengan penetapan kerugian Negara/daerah. Majelis Tuntutan Perbendaharaan diketuai oleh Wakil Ketua BPK dan beranggotakan Anggota BPK. Secara tertulis, hal-hal mengenai Majelis Tuntutan Perbendaharaan tidak secara jelas ditulis dalam Undang-Undang mulai dari ICW dan IAR sampai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, kecuali dalam ketentuan Pasal Pasal 41 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara yang menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dapat membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam rangka memproses penyelesaian kerugian Negara terhadap bendahara meskipun pengaturan mengenai hal tersebut sudah dimuat sejak jaman ICW, yaitu dalam ketentuan Pasal 55a sampai dengan Pasal 58 ICW. Kewenangan melakukan Tuntutan Perbendaharaan dahulu bersumber pada ICW Pasal 58 yang menyatakan bahwa Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, dimana ditetapkan suatu jumlah uang, yang dalam hal menyangkut pengurusan Bendaharawan, harus diganti kepada Negara, atau dimana dikenakan suatu denda bagi seorang Bendaharawan, dikeluarkan atas nama keadilan. Salinan keputusan itu berkepala : "Atas nama keadilan" yang ditandatangani oleh Ketua BPK, mempunyai kekuatan yang sama dan dilaksanakan dengan cara yang sama, sebagai keputusan hakim (vonis) yang mempunyai kekuatan yang tetap dalam perkara perdata ". Dalam paket Undang- Undang Tentang Keuangan Negara, ketentuan yang mengatur tentang TP
  • 32. 32 (tuntutan perbendaharaan) dan TGR (tuntutan ganti rugi) dimuat dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 59 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mengatur tentang pertanggungjawaban dan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) bagi ordonatur dan pegawai negeri lainnya, karena perbuatan-perbuatan melanggar hukum atau kelalaian. Majelis mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan verifikasi dan pemeriksaan atas dokumen kasus kerugian Negara terhadap bendahara yang disampaikan kepada BPK, menilai dan /atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara dan menilai dan memutuskan keberatan yang diajukan bendahara berkenaan dengan penerbitan Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu (SKPBW). Keputusan-keputusan BPK yang diterbitkan oleh Majelis dalam rangka penyelesaian kerugian Negara/daerah meliputi : 1. SK Pembebasan dalam hal tidak terpenuhinya unsur-unsur kerugian Negara atau diterimanya keberatan Bendahara; 2. Surat kepada instansi tentang penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah menggunakan SKTJM21 dalam hal terpenuhinya unsur- unsur kerugian Negara; 21 “Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disebut SKTJM adalah surat keterangan yang menyatakan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa yang bersangkutan bertanggung jawab atas kerugian Negara yang terjadi dan bersedia mengganti kerugian Negara dimaksud.”
  • 33. 33 3. SK-PBW22 dalam hal Bendahara tidak bersedia melaksanakan ganti rugi menggunakan SKTJM, Instansi tidak menyampaikan dokumen Laporan Verifikasi Hasil Penelitian Terjadinya Kerugian Negara; 4. Surat Keputusan Pembebanan dalam hal tidak terdapat keberatan dari Bendahara dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah penerbitan SK-PBW, telah terlampauinya jangka waktu 40 (empat puluh) hari sejak ditandatangani SKTJM namun kerugian Negara belum diganti sepenuhnya dan keberatan Bendahara ditolak atau diterima sebagian.23 Terkait dengan pandangan diatas, UU Keuangan Negara maupun UU Perbendaharaan Negara hanya menuntut agar semua kekayaan yang berkurang sebagai akibat kesalahan pengelolaan dipulihkan kembali. Namun demikian, dalam masalah kerugian Negara tersebut harus dibedakan antara kerugian Negara sebagai akibat kesalahan dalam pengelolaan, dan kerugian Negara sebagai akibat tindakan kecurangan/penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan (financial fraud). Dalam hal yang terakhir ini, pemulihan terhadap kekayaan Negara saja dirasakan tidak cukup adil. Tindakan kecurangan yang dapat menimbulkan kerugian Negara dimaksud telah menghambat pemerintah untuk dapat melaksanakan kewajibannya. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai 22 “Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu yang selanjutnya disebut SK-PBW adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tentang pemberian kesempatan kepada bendahara untuk mengajukan keberatan atau pembelaan diri atas tuntutan penggantian kerugian Negara.” 23 “Majelis Tuntutan Perbendaharaan”, http://sikad.bpk.go.id/or_mtp.php, diakses pada tanggal 30 Mei 2012
  • 34. 34 tindakan yang merugikan kepentingan umum ataupun bersifat melawan hukum. Atas dasar hal tersebut, tindakan curang yang merugikan keuangan Negara disamping diwajibkan memulihkan kerugian yang terjadi masih pula dikenakan sanksi lain dalam bentuk sanksi24 administratif, perdata, ataupun pidana.25 Selanjutnya, hal-hal yang dapat merugikan keuangan Negara dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain aspek pelaku, sebab, waktu dan cara penyelesaiannya, disebutkan Eddy Mulyadi Soepardi, yaitu :26 1. Ditinjau Dari Aspek Pelaku a. Perbuatan Bendaharawan yang dapat menimbulkan kekurangan perbendaharaan, disebabkan oleh antara lain adanya pembayaran, pemberian atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak, pertangungjawaban/laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, penggelapan, tindak pidana korupsi dan kecurian karena kelalaian. b. Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan Negara dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan, tindak pidana korupsi, dan menaikkan harga atau merubah mutu barang. c. Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan Negara dengan cara antara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat yang berwenang, dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi). 2. Ditinjau Dari Aspek Sebab27 24 Pasal 38 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara 25 Suyanto Siswo., Pembuktian Unsur Kerugian…, Op.cit. 26 Soepardi Eddy Mulyadi., Memahami Kerugian Keuangan..., Op.cit. hlm.4 27 Ibid, hlm.5
  • 35. 35 Jika ditinjau dari faktor penyebabnya, maka perbuatan yang bisa menyebabkan kerugian keuangan Negara adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang sengaja seperti diuraikan pada point sebelumnya, perbuatan yang tidak disengaja, karena kelalaian, kealpaan, kesalahan atau ketidakmampuan, serta pengawasan terhadap penggunaan keuangan Negara yang tidak memadai. b. Kejadian alam, seperti bencana alam (antara lain, gempa bumi, tanah longsor, banjir dan kebakaran) dan proses alamiah (antara lain, membusuk, menguap, mencair, menyusut dan mengurai). c. Peraturan perundang-undangan dan atau situasi moneter/perekonomian, yakni kerugian keuangan Negara karena adanya pengguntingan uang (sanering), gejolak moneter yang mengakibatkan turunnya nilai uang sehingga menaikkan jumlah kewajiban Negara dan sebagainya. 3. Ditinjau dari aspek waktu Tinjauan dari aspek waktu disini dimaksudkan untuk memastikan apakah suatu kerugian keuangan Negara masih dapat dilakukan penuntutannya atau tidak, baik terhadap bendaharawan, pegawai negeri non bendaharawan, atau pihak ketiga. 1) Dalam Pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara disebutkan : a. Dalam hal bendahara, pengawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian Negara/daerah berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia,
  • 36. 36 penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris,28 terbatas kepada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pengawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang bersangkutan. b. Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian Negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian Negara/daerah. 2) Dalam hal tuntutan ganti rugi perlu diperhatikan ketentuan kadaluarsa, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU Perbendaharaan Negara, yang ditentukan bahwa, ”kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang membayar ganti rugi, menjadi kadaluarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan. 28 Pasal 38C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi disebutkan bahwa apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari Tindak Pidana Korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka Negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
  • 37. 37 4. Ditinjau dari aspek cara penyelesaiannya (1) Tuntutan Pidana/Pidana Khusus (Korupsi). (2) Tuntutan Perdata (3) Tuntutan Perbendaharaan (TP) (4) Tuntutan Ganti Rugi (TGR) Apabila dalam proses tuntutan kepada bendaharawan sebagai akibat adanya kerugian keuangan Negara yang dilakukan terhadap secara administrasi yaitu melalui peraturan BPK No.3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, ditemukan adanya unsur-unsur dari tindak pidana korupsi dari perbuatan bendahara yang merugikan keuangan Negara, maka bendaharawan tersebut dapat dituntut berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 karena telah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam pengertian yuridis,29 pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 29 Hendarman Supandji, “Model Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan Dan Implementasinya”, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Makalah disampaikan pada RAKERNAS APPSI tanggal 9 Juli 2007 di Pontianak, Kalimantan Barat, http://www.pn- pandeglang.go.id/attachments/125_makalah%20jaksa%20agung.pdf, diakses pada tanggal 11 Juni 2012, hlm.2-3
  • 38. 38 (2) Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap). (3) Kelompok delik pengelapan. (4) Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion). (5) Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. Sementara itu, jika ada aparat hukum yang berpendapat bahwa kesalahan seorang pegawai negeri yang termasuk dalam lingkup hukum administrasi yang berakibat merugikan keuangan Negara bukan termasuk tindak pidana korupsi namun merupakan kesalahan administrasi (kesalahan prosedur) yang seharusnya diselesaikan melalui jalur administrasi dengan menerapkan sanksi administrasi berupa pembayaran ganti rugi. Padahal, unsur melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 bukan hanya sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun juga mencakup melawan hukum administrasi. Dengan demikian, kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum administrasi dapat diadopsi ke dalam sifat melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila dari kesalahan administrasi tersebut telah menimbulkan kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara. Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, disana dikatakan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian Negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”
  • 39. 39 (Ketentuan ini diatur pula dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, Pasal 38 ayat (1)). Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa walaupun telah dilakukan pengembalian kerugian keuangan Negara maka masih dimungkinkan untuk diproses melalui pidana. Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil audit BPK harus dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah kerugian keuangan Negara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian Negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik, yang mana secara “dominis litis” eks Pasal 139 KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan.30 Selain itu, terkait pengembalian kerugian keuangan Negara dalam tindak pidana korupsi, UU No.31 Tahun 1999 merumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dengan rumusan formil berarti bahwa meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana sesuai Pasal 4 UU No.31 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut : “Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan dipidanannya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.” Penjelasan Pasal diatas adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur Pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara yang telah 30 Ibid, hlm.9-11
  • 40. 40 dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian Negara atau perekonomian Negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya. Untuk itu, dalam rangka mencapai tujuan yang efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, UU No.31 Tahun 1999 memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur masalah korupsi yang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana tambahan, hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 17 jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa selain dapat dijatuhi pidana pokok terdakwa dalam perkara korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan, salah satu bentuknya adalah pembayaran uang pengganti. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.31 Menurut penjelasan Pasal 31 KUHP, terpidana yang tidak membayar pidana uang pengganti dapat dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan. Sehingga konsekuensinya jika pidana pengganti tersebut telah dijalani oleh terpidana maka dengan sendirinya uang pengganti yang tidak dibayar tersebut menjadi hapus. Selain itu, apabila pidana pembayaran uang pengganti tidak dipenuhi oleh terdakwa (baca: terpidana), menurut UU No. 20 Tahun 2001 dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, berlaku pula ketentuan hukuman denda dan/atau pidana penjara, akan tetapi tidak 31 Guse Prayudi., “Pidana Pembayaran Uang Pengganti”, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXII, IKAHI, Nomor 259, Juni, 2007, hlm.49
  • 41. 41 berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ketentuan tentang pidana tambahan sebagai usaha untuk pengembalian kerugian Negara telah diatur, terutama pada Pasal 18 yaitu: (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu yang paling lama 1 (satu) tahun; d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut. (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka di pidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Ketentuan pada Pasal 18 angka (1) huruf b tersebut merupakan konsekuensi dari akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dapat merugikan
  • 42. 42 keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian keuangan tersebut diperlukan adanya pembayaran uang pengganti. Sementara dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 termuat aturan jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 juga mengatur mengenai teknis eksekusi/pembayaran uang pengganti oleh Terpidana, dimana teknisnya dengan menggunakan sistem pembayaran secara berjenjang dan berlapis. Ketentuan diatas secara formal telah mendukung usaha pengembalian kerugian yang diderita Negara sebagai akibat tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah diamanatkan Pasal 278 KUHP. Undang-Undang korupsi yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menyediakan dua instrumen untuk memulihkan kerugian Negara akibat perbuatan korupsi, yaitu instrumen pidana dan perdata. Proses atau tata cara instrumen pidana secara khusus dimuat dalam kedua undang-undang itu, sedang untuk instrumen perdata menggunakan ketentuan biasa atau umum yang berlaku yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan acaranya. Kekhususan bagi instrumen pidana tersebut antara lain, bahwa dalam sidang pengadilan: (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh hartanya, harta istrinya (suaminya, harta anaknya, dan harta pihak lain yang
  • 43. 43 diduga mempunyai hubungan dengan perbuatan korupsi yang didakwakan kepadanya). (2) Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya (yang tidak seimbang dengan penghasilannya) bukan berasal dari korupsi, maka hartanya dianggap diperoleh dari perbuatan korupsi (illicit enrichment) dan hakim berwenang merampasnya. (3) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum vonis hakim dijatuhkan dan terdapat bukti kuat bahwa terdakwa melakukan perbuatan korupsi, maka harta terdakwa dapat dirampas oleh hakim. 32 32 Soepomo., “Pemahaman Keuangan Negara”, http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31, diakses pada tanggal 27 Mei 2012
  • 44. 44 BAB III PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain : Bahwa berdasarkan peraturan-peraturan sebelumnya mulai dari ICW dan IAR telah mengatur tentang tuntutan terhadap bendaharawan sebagai akibat timbulnya kerugian keuangan Negara, yaitu dalam ketentuan Pasal 55a sampai dengan Pasal 58 ICW. Pada Pasal 58 ICW menyatakan bahwa “Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, dimana ditetapkan suatu jumlah uang, yang dalam hal menyangkut pengurusan Bendaharawan, harus diganti kepada Negara, atau dimana dikenakan suatu denda bagi seorang Bendaharawan”, namun setelah lahirnya Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara, maka semua peraturan pelaksanaan dari Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) mengenai tata cara penyelesaian ganti kerugian Negara terhadap bendahara dinyatakan tidak berlaku. Sealnjutnya, terhadap proses penuntutan kepada bendaharawan sebagai akibat adanya kerugian keuangan Negara, dilakukan secara administrasi yaitu melalui peraturan BPK No.3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, apabila ditemukan adanya unsur-unsur dari tindak pidana korupsi dari perbuatan bendaharawan yang merugikan keuangan Negara,
  • 45. 45 maka bendaharawan tersebut dapat dituntut berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 karena telah melakukan tindak pidana korupsi. Bahwa pengertian adanya unsur-unsur dari tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang- UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001, yaitu : (1) Setiap orang; (2) Secara melawan hukum; (3) Perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi; (4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Bahwa apabila dalam pemeriksaan oleh BPK terhadap bendaharawan, menilai dan/atau menetapkan adanya unsur-unsur dari suatu tindak pidana korupsi yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara, baik sengaja maupun lalai, secara melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain atau korporasi dan merugikan perekonomian Negara yang dilakukan oleh bendaharawan, maupun pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara kerugian Negara sebagai akibat kesalahan dalam pengelolaan, serta tindakan kecurangan/penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan, maka konsekuensi yuridis yang timbul bagi Bendaharawan tersebut adalah pembayaran uang pengganti. Sementara itu, dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 termuat aturan jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
  • 46. 46 telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 juga mengatur mengenai teknis eksekusi/pembayaran uang pengganti oleh Terpidana, dimana teknisnya dengan menggunakan sistem pembayaran secara berjenjang dan berlapis. Selain itu, menurut penjelasan Pasal 31 KUHP, terpidana yang tidak membayar pidana uang pengganti dapat dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan. Sehingga konsekuensinya jika pidana pengganti tersebut telah dijalani oleh terpidana maka dengan sendirinya uang pengganti yang tidak dibayar tersebut menjadi hapus. Selain itu, apabila pidana pembayaran uang pengganti tidak dipenuhi oleh terdakwa (baca: terpidana), menurut UU No. 20 Tahun 2001 dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, berlaku pula ketentuan hukuman denda dan/atau pidana penjara, akan tetapi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  • 47. 47 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU : Arief Barda Nawawi & Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992 Atmadja Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam Persfektif Hukum Teori, Praktik Dan Kritik, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005 Jeddawi Murtir. H., Mengefektifkan Peran Birokrasi Untuk Memangkas Perilaku Korupsi, Cetakan Pertama, Total Media (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2009 Miru Ahmadi., Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 2010 Panjaitan Saut P., “Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum Administrasi Negara” dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001 Rais Mohammad Amien., Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, ctk.Ekstra, PPSK Press, Yogyakarta, 2008 Tjandra W.Riawan.,Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008 Saidi Muhammad Djafar., Hukum Keuangan Negara, Edisi Pertama Rajawali Pers, Jakarta, 2008 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996
  • 48. 48 B. JURNAL : Andi Samsan Nganro., “Tindak Pidana Korupsi Dalam Perundang- undangan Di Indonesia”, Al Manãhij, Volume 2, Nomor I, 1 januari-Juni 2008 Eddy.O.S. Hiariej., “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Dampaknya Terhadap Pemberantasan Korupsi”, Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM-Mimbar Hukum, Volume 18, Nomor 3, Oktober, 2006 Guse Prayudi., “Pidana Pembayaran Uang Pengganti”, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXII, IKAHI, Nomor 259, Juni, 2007 C. INTERNET : Hendarman Supandji, “Model Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan Dan Implementasinya”, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Makalah disampaikan pada RAKERNAS APPSI tanggal 9 Juli 2007 di Pontianak, Kalimantan Barat, http://www.pn- pandeglang.go.id/attachments/125_makalah%20jaksa%20agung .pdf, diakses pada tanggal 11 Juni 2012 “Pohon Kerugian Keuangan Negara”, http://shartika2009.wordpress.com/2011/04/24/pohon-kerugian- keuangan-Negara/, diakses pada tanggal 17 Mei 2012 Suyanto Siswo., “Pembuktian Unsur Kerugian Negara Dan Perhitungannya Dalam Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007 di Jakarta, Ketua Tim Kerja Penyusunan RUU Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan Pemeriksaan Pengelolaan dan
  • 49. 49 Tanggungjawab Keuangan Negara, http://www.kppngarut.org/component/content/article/41- keuangan/110-korupsi.html, diakses pada tanggal 30 Mei 2012 Soepomo., “Pemahaman Keuangan Negara”, http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31, diakses pada tanggal 27 Mei 2012 “Majelis Tuntutan Perbendaharaan”, http://sikad.bpk.go.id/or_mtp.php, diakses pada tanggal 30 Mei 2012 D. PERATURAN : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara E. LAIN-LAIN : “Setyo Utomo., Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pada Jasa Konsultan; Materi disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) tentang
  • 50. 50 “Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan Kontrak Jasa Konsultasi dan Pencegahan Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah”, yang diselenggarakan di Balai Sidang Djokosoetono Gedung F Lantai 2 FH-UI Depok, Selasa 22 Juni 2010 Soepardi Eddy Mulyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan pada ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009