Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH
1.
2. BAB I.
PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang dan Tujuan
Luas wilayah republik Indonesia terbagi habis keseluruh daerah (provinsi
dan kabupaten/kota), dengan pemahaman daerah adalah daerahnya pusat, dan
pusat adalah pusatnya daerah. Dengan demikian RPJM Nasional dilaksanakan
diseluruh wilayah nusantara Republik Indonesia, oleh pemerintah, swasta, dan
masyarakat luas. Dengan demikian setiap daerah (provinsi dan kabupaten kota)
wajib menyusun RPJM Daerah yang berlandaskan RPJM Nasional serta
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi daerahnya masing-masing.
Berlandaskan RPJMD dan RKPD sesuai dengan petunjuk sistem perencanaan
pembangunan nasional (UU No. 25/2004) setiap daerah melakukan proses
perencanaan, sehingga pelaksanaan kegiatan pembangunan daerah pada setiap
tahunnya tercermin dalam APBD.
Dalam situasi dan kondisi yang sedemikian rupa, kegiatan pembangunan
di sesuatu wilayah dalam daerah tertentu, dana pembangunannya dapat
bersumber dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten / Kota, dan dana
Investasi swasta domestik dan atau investasi asing. Proses pembangunan
Daerah yang telah, sedang, dan akan berlangsung di Aceh adalah dengan
menggunakan dana dari berbagai sumber yang telah tersebut di atas yang akan
dimonitor dan dievaluasi oleh Tim EKPD provinsi, guna dapat memberikan
gambaran sejauh mana ke tiga agenda yang tersebut dalam RPJM Nasional
dapat terlaksana di provinsi Aceh. Dalam kaitan ini, ingin diketahui sejauh mana
pelaksanaan empat tahun RPJM Nasional dan daerah (2005, 2006, 2007, dan
2008) di provinsi Aceh dapat mencapai sasaran atau tjujuan pembangunan yang
telah direncanakan, apakah mampu memberikan solusi terhadap masalah-
masalah yang dihadapi oleh daerah, dalam upaya meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat secara lebih adil dan merata. Hal tersebut antara
lain juga dapat diamati pada arah perubahan porsi penduduk miskin, tingkat
pengangguran, dan kinerja pembangunan daerah, tidak hanya dapat diamati pada
1
3. 2
peningkatan PDRB per kapita, tetapi juga dapat terlihat pada perubahan angka
IPM dan indikator-indikator sosial lainnya. Dengan demikian hasil evaluasi kinerja
pembangunan daerah ini diharapkan dapat menilai relevansi dan efektivitas
kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004 – 2008.
Sesuai dengan harapan tersebut beserta hasil pembahasan dalam seminar
pembekalan EKPD pada awal bulan Juli 2009, maka evaluasi kinerja
pembangunan daerah ini berupaya dapat memberukan informasi penting yang
bersifat kuantitatif dan kualitatif tentang proses pembangunan nasional regional
yang dilaporkan oleh setiap provinsi. Loaporan evaluasi kinerja proses
pembangunan daerah ini menunjukan keterkaitannya sejak dari perencanaan,
implementasinya (pelaksanaan), penggunaan dana dan pemanfaatan sumber
daya, output, outcome, bila mungkin sampai kepada dampaknya yang diterima
dan dirasakan oleh masyarakat bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di
daerah ini. Justeru karena itulah hasil evaluasini diharapkan dapat berguna
sebagai masukan bagi para pengambil keputuisan dan penentu kebijakan dalam
menelusuri dan mengawal untuk tercapainya tujuan pembangunan nasional dan
regional di negeri ini.
I.2 Keluaran (output)
Sesuai dengan latarbelakang maka pelaksanaan Evaluasi Kinerja
Pembangunan Daerah di provinsi Aceh diharapkan dapat memberikan sebuah
gambaran yang jelas temntang : data dan informasi proses pelaksanaan
pembangunan di Aceh sejak dari perencanaan jangka panjang, menengah, dan
tahunan sampai dengan APBN dan APBD. Keterkaitannya antardokumen
perencanan, serta relevansi dan efektifitasnya dalam mencapai target, tujuan dan
visi pembangunan, secara nasional, regional dan daerah.
Di lain pihak diharapkan dapat memberikan gambaran tentang proses
pembangunan daerah tentang deviasi antara target, tujuan, dan visi
pembangunan dengan kenyataan realisasinya, beserta factor-faktor yang telah
mempengaruhi capaian pertumbuhan dan perubahan dalam proses
4. 3
pembangungan yang telah berlangsung selama empat tahun pelaksanaan RPJM
Nasional dan RPJM Daerah di Aceh.
I.3. Metodologi Pengkajian.
Wilayah penelitian ini meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
namun sebagai bahan komparatif digunakan juga data dari provinsi/wilayah
lainnya sesuai dengan kebutuhan. Obyek kajian terutama yang berkaitan dengan
proses pembangunan yang berlangsung di daerah penelitian periode 2004-2008,
namun sebagai bahan perbandingan juga digunakan data tren 1996-2006.
Data yang diperlukan, di samping data primer, juga data sekunder yang
telah dikumpulkan oleh dinas, lembaga atau Badan-badan resmi lainnya yang
berada dalam lingkungan NAD. Data primer dapat bersumber dari studi lapangan,
baik yang dilakukan oleh Tim, ataupun hasil kajian para pakar yang dapat diyakini
secara akademik. Di samping data kuantitatif, juga data kualitatif hasil penelitian
lainnya yang telah disebutkan dalam bagian pendahuluan, ataupun yang
tercantum dalam daftar kepustakaan, seperti berbagai dokumen perencanaan
pembangunan yang disusun oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan
Kabupaten/Kota, serta berbagai hasil monitoring dan evaluasi kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan resmi.
1.4. Sistematika Penulisan Laporan
Laporan hasil EKPD ini disajikan dalam tiga Bab serta dilengkapi dengan
kesimpulan dan daftar bacaan yang dirujuk dalam analisis dan evaluasi kinerja
pembangunan di daerah. Berturut-turut dilaporkan sebagai berikut, yaitu : Bab I
adalah Pendahuluan yang dirinci kedalam empat subbab. Bab II menyajikan hasil
evaluasi yang dirinci kedalam lima subbab, dan kesimpulan disajikan dalam Bab
III, dan ditutup dengan daftar bacaan yang dirujuk dalam analisis dan evaluasi.
5. 5
BAB II
HASIL EVALUASI
Dalam upaya menelusuri masalah pembangunan daerah yang sesuai
dengan tugas dan fungsi Tim EKPD 2009, maka kedudukan daerah dalam
kancah perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan politik nasional perlu
diketahui dan ditelaah, baik yang menyangkut dengan kebijakan dan kinerja
maupun kecenderungan yang telah terjadi pada beberapa tahun yang lalu,
sehingga dapat merupakan masukan untuk lebih memperjelas gambaran
permasalahan pembangunan daerah dalam proses pembangunan nasional,
pada masa kini dan terutama empat tahun pelaksanaan RPJM Nasional di Aceh.
Aceh adalah salah satu dari sepuluh propinsi di Sumatera, yang memiliki
ciri, kinerja, demografi, kondisi geografis dan struktur ekonominya yang tidak
jauh berbeda dengan perekonomian Sumatera secara keseluruhannya.
Walaupun demikian, kondisi konflik yang berkepanjangan sejak tiga dasawarsa
terakhir ditambah dengan krisis ekonomi 19
97 berlanjut menjadi krisis multi dimensi, bencana alam gempa bumi dan
tsunami yang sangat dahsyat (26 Desember 2004), telah mempengaruhi
berbagai kegiatan produktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan
keamanan masyarakat Aceh. Sehingga berdampak pada berbagai kegiatan
produktif masyarakat, yang berlangsung secara tersendat-sendat, jauh berada di
bawah titik optimal, terutama di sektor pertanian (sektor ini menyumbang sekitar
56 persen terhadap PDRB dan memberi pekerjaan kepada sekitar 60 persen
penduduk Aceh).
6. 6
Gambar I.1 Pertumbuhan PDRB per kapita pada Harga
Konstan 2000, periode 2000 – 2008 (dalam %)
Grafik 1.2. Laju Pertumbuhan PDRB per kapita Tanpa Migas atas
Dasar Harga Konstan 2000 periode 2003-2008 ( % )
7. 7
Situasi dan kondisi Aceh seperti gambaran tersebut tercermin pada laju
pertumbuhan PDRB per kapita (tanpa migas), rata-rata hanya 1,57 persen per
tahun selama periode 1996-2006, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-
rata Sumatera (2,60 persen), dan rata-rata pertumbuhan PDB per kapita
nasional (2,49 persen). Dalam periode tersebut pertumbuhan ekonomi NAD
yang terendah terjadi pada tahun 1998 yaitu merosot -7,33 %, sebagai akibat
dari krisis moneter pada medio 1997 yang semakin meluas menjadi krisis
ekonomi dan multidimensi. Sedangkan dalam tahun yang sama kemerosotan
perekonomian regional Sumatera (-11,8 %), Jawa (-21,12 %), dan Nasional (-
16,83 %) jauh lebih drastis. Sebaliknya dalam periode yang sama laju
pertumbuhan tertinggi ekonomi NAD (6,62 %) terlihat pada tahun 2006, relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi regional Sumatera
(4,74%), Jawa (4,59%), dan Nasional (4,73 %). Secara lebih rinci dapat diikuti
tren grafik pada Gambar I.1.
Fluktuasi perkembangan pendapatan per kapita tersebut dampaknya
terlihat pada kualitas kehidupan masyarakat yang kurang berkembang yang
indikasinya dapat disaksikan, antara lain pada :tingkat pengangguran yang
cenderung meningkat, porsi penduduk miskin tendensi membengkak yaitu
sebelum gempa bumi dan tsunami (26 Desember 2004) Aceh merupakan
propinsi keempat termiskin (40 %), dan sesudah tsunami kondisi semakin
memburuk, sehingga Aceh menempati posisi kedua termiskin (48 %) di
Indonesia. Di samping itu juga terlihat tingkat urbanisasi yang tak terbendung,
sehingga sektor informal perkotaan semakin lebih padat.
Pemerintah daerah perkotaan mengalami kesukaran dan
keterbatasannya dalam penyediaan berbagai fasilitas publik kepada
penduduknya, Prasarana dan sarana sosial, ekonomi tak terurus sebagai mana
semestinya, seperti : fasilitas pendidikan, kesehatan, air minum, pembuangan
sampah, kesehatan lingkungan, serta berbagai fasilitas publik lainnya yang
berkaitan dengan prasarana transportasi tak terurus dan kurang terlengkapi.
8. 8
Dewasa ini, lebih dari 70% penduduk Aceh bertempat tinggal di wilayah
pedesaan dan lebih dari 60% hidup di sektor pertanian, dalam jabatannya
sebagai petani, peternak, nelayan, dan perambah yang mengolah sumber daya
lahan dalam berbagai kondisi dan cuaca, sejak dari sawah, ladang, tegalan
lembah dan ngarai, hutan dan belukar sampai ke lautan lepas di arungi oleh
mereka itu. Dalam kondisi yang sedemikian rupa, membangun masyarakat desa
yang berbasis pertanian berarti membangun sebagian besar penduduk Aceh
yang berada di wilayah pedesaan.
Khususnya di subsektor pertanian perkebunan, Aceh memiliki potensi
beberapa komoditas agribisnis, seperti: karet, kopi, kakao, kelapa sawit yang
tersebar di berbagai kabupaten. Namun demikian pengembangan beberapa
komoditas ini belum terkoordinasi dengan baik. Selain itu, kebijakan
pembangunan sektor pertanian sering tidak sinergis dengan pembangunan di
sektor nonpertanian. Hal ini bermakna keterkaitan antarsektor, dan antarlembaga
pelaku pembangunan masih sangat lemah (kurang konsisten / tidak terintegrasi
secara lebih sempurna.
Apabila ditinjau lebih jauh sumbangan masing-masing subsektor
pertanian dalam komposisi NTB sektor pertanian (Gambar I.2) menunjukkan
bahwa subsektor tanaman pangan memberi kontribusi terbesar, dan selanjutnya
diikuti oleh subsektor perkebunan. Khusus untuk subsektor perkebunan ini,
tahun 2004 mengalami penurunan yang sangat drastis (57,8%) dibanding tahun
2003. Menurut informasi yang diperoleh hal ini terutama disebabkan kondisi
keamanan yang tidak mendukung, sehingga banyak usaha produksi perkebunan
mengalami hambatan yang menyebabkan kebun terlantar, baik di perkebunan
rakyat maupun di perkebunan besar.
Sementara itu, sebelum terjadi bencana tsunami perekonomian Provinsi
NAD didominasi oleh sektor pertanianigas, dan industri pengolahan. Struktur
sektor pertanian terhadap PDRB tahun 2003 mencapai lebih dari 28%, sektor
migas dan industri pengolahan masing-masing mencapai hampir 20%.
9. 9
Terhentinya aktivitas kegiatan ekonomi tersebut membawa dampak pada
meningkatnya jumlah pengangguran. Diperkirakan antara 600 ribu - 800 ribu
orang (sekitar 25% dari total kesempatan kerja yang ada) kehilangan pekerjaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pembangunan di sektor pertanian ke
depan perlu dilakukan secara terpadu dan seimbang dengan pembangunan di
sektor nonpertanian (pembangunan pertanian yang ditunjang dengan
pembangunan agroindustri dan perdagangan). Salah satu prasyarat supaya hal
tersebut dapat diwujudkan adalah tersedianya data dan informasi secara
lengkap, tepat waktu, akurat dan mutakhir tentang kondisi nyata daerah,
khususnya yang berhubungan dengan bidang pertanian. Untuk itu, perlu
dilakukan pemantauan dan evaluasi kinerja pembangunan di bidang pertanian
sehingga dapat mengukur tingkat keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran
pembangunan pertanian.
Kondisi kemiskinan di Provinsi NAD sangat memprihatinkan karena
tingkat kemiskinannya relatif tinggi pada tahun 2005 hampir mencapai 50 persen
(World Bank : 2005). Sebelum krisis, kondisi ekonomi dan kemiskinan di Provinsi
NAD relatif lebih baik ditandai oleh tingkat kemiskinan relatif kecil sekitar 20
persen, namun akibat krisis multidimensi (ekonomi, sosial, dan politik) yang
terjadi di Indonesia, tentunya secara langsung berefek kepada Aceh,
menyebabkan kondisi ekonomi dan tingkat kemiskinan kembali mengalami
kondisi yang memprihatinkan. Hal ini terjadi ditunjukkan oleh penduduk yang
awalnya berada pada pendapatan menengah kembali ke posisi berpendapatan
rendah dan tingkat kemiskinan mau tidak mau kembali meningkat. Namun
setelah krisis tahun 1998 tersebut sejak tahun 2000 Aceh bangkit kembali
karena tingkat kemiskinan kembali menurun karena pendapatan masyarakat
kembali meningkat. Kondisi tersebut tidak lama bertahan, karena pada 26
Desember tahun 2004 Aceh mengalami musibah yang cukup berat yaitu gempa
dan tsunami, yang melumpuhkan ekonomi dan menghancur potensi ekonomi
dan seluruh aspek lainnya. Keadaan tersebut membuat penduduk NAD baik
yang langsung maupun tidak langsung terkena musibah tersebut kehilangan
10. 10
pekerjaan dan pendapatan mereka akibatnya penduduk miskin kembali
meningkat.
Peningkatan angka kemiskinan yang terus memprihatinkan tersebut juga
semakin terpuruk diakibatkan oleh tingkat inflasi Aceh yang relatif besar bahkan
melebihi tingkat inflasi Indonesia secara keseluruhan, seperti yang terjadi pada
bulan Desember 2005 inflasi di NAD sebesar 41,5 persen sedangkan inflasi
Indonesia hanya sebesar 17,1 persen (World Bank, Aceh Economic Update :
April 2007). Tingkat kemiskinan tersebut semakin membesar yaitu mencapai 48
persen pada tahun 2005 dan menduduki urutan kedua termiskin setelah Provinsi
Papua pada, padahal pada tahun 2004 tingkat kemiskinan di Provinsi NAD
perkotaan dan perdesaan hanya sebesar 28,37 persen dan berada di urutan ke
empat setelah Provinsi Papua, Maluku, dan Gorontalo, sedangkan rata-rata
Indonesia hanya sebesar 16,65 persen. Tingkat kemiskinan tahun 2004 tersebut
lebih besar terjadi di perdesaan yaitu sebesar 32,57 persen dari seluruh
penduduk di perdesaan sedangkan di perkotaan hanya sebesar 17,49 persen
dari jumlah penduduk di perkotaan (BPS:2005).
Tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh tetap tinggi hingga tahun 2006
disebabkan oleh kebijakan nasional akibat larangan impor beras yang
menyebabkan naiknya harga beras hingga 33 persen. Kondisi tersebut ditambah
lagi dengan dampak kenaikan BBM, meskipun diimbangi oleh Program
Langsung Tunai (SLT), namun hal tersebut tidak banyak membantu karena
program SLT tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Diperkirakan tingkat
kemiskinan dapat diturunkan pada tahun 2007, namun penurunannya relatif kecil
karena sangat tergantung kepada perubahan harga-harga kebutuhan pokok
terutama beras dan beberapa komoditi lain, kecuali apabila pertumbuhan
ekonomi dapat meningkat secara berarti.
Aspek ketenagakerjaan sangat erat kaitannya dengan aspek kemiskinan,
hal tersebut berhubungan dengan potensi tidaknya penduduk dalam
keberhasilan menciptakan nilai kerja yang pada gilirannya dapat menghasilkan
11. 11
produksi dan pendapatan. Ketenagakerjaan memperlihatkan kemungkinan
terciptanya kesempatan kerja dan adanya pengangguran yang terjadi. Jumlah
penduduk terdiri atas Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja, di mana
angkatan kerja merupakan penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang siap
masuk ke pasar kerja untuk menciptakan produksi dan menghasilkan
pendapatan. Jumlah angkatan kerja yang besar merupakan potensi sumber daya
manusia yang besar pula bagi usaha menciptakan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan secara menyeluruh. Jika angkatan kerja tersebut dapat
digunakan sebagaimana mestinya, dengan kata lain banyak angkatan kerja yang
produktif dalam menghasilkan produksi dan pendapatan, maka ekonomi akan
tumbuh dan pembangunan akan berjalan dengan baik. Angkatan kerja yang
bekerja atau penyerapan tenaga kerja relatif sedikit, hanya akan memperbesar
tingkat pengangguran yang pada gilirannya akan memperbesar ketergantungan
penduduk tidak produktif terhadap tenaga kerja produktif dan bahkan akan
memperburuk tingkat kemiskinan.
Aspek ketenagakerjaan cukup penting tidak hanya untuk mencapai
keberhasilan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga
dan kesejahteraan seluruh masyarakat dan perekonomian. Dalam suatu
perekonomian, sebagian dari masyarakat, umumnya yang telah memasuki usia
kerja, diharapkan memasuki lapangan pekerjaan tertentu dan aktif dalam
berbagai kegiatan ekonomi. Usia kerja yang dipakai dalam menentukan
angkatan kerja adalah umur 15 tahun ke atas. Berdasarkan sensus penduduk
Aceh Nias tahun 2005 dari jumlah penduduk Provinsi Aceh sebanyak 3.970.853
jiwa, jumlah penduduk usia 15 tahun atau termasuk angkatan kerja di seluruh
kabupaten/kota sebanyak 2.677.900 jiwa atau Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) yaitu proporsi penduduk usia kerja mencapai 67,44 persen. TPAK
Provinsi Aceh tersebut tidak jauh berbeda dengan TPAK sebesar 66,8 persen.
Lebih jelas gambaran TPAK daerah kabupaten/kota di Provinsi NAD hasil
sensus penduduk Aceh Nias tahun 2007 menunjukkan bahwa TPAK yang
tertinggi adalah di Daerah Aceh Barat, Pidie, Aceh Jaya, Banda Aceh, Aceh
12. 12
Besar, dan Sabang, mencapai di atas 70 persen melebihi TPAK nasional sekitar
66,8 persen. Gambaran TPAK tersebut menunjukkan jumlah penawaran tenaga
kerja relatif tinggi, namun tidak selalu diikuti dengan peningkatan yang berarti
dalam permintaan tenaga kerja atau kesempatan kerja yang memadai.
Kemungkinan hal ini akan menimbulkan keterbatasan bagi tenaga kerja untuk
mendapatkan pekerjaan baik lowongan pekerjaan yang diciptakan oleh pelaku
ekonomi, maupun pekerjaan dengan mempersiapkan usaha secara mandiri.
Jumlah angkatan kerja yang cukup besar tersebut banyak menimbulkan
permasalahan, karena tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut pada
umumnya relatif rendah terutama di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan.
Tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut umumnya berpendidikan SMP dan
SD ke bawah, sehingga kemungkinan besar mereka hanya dapat memasuki
lowongan pekerjaan antara lain sebagai buruh atau kuli, apakah sebagai buruh
di sektor pertanian, ataupun industri dan sektor-sektor lain yaitu sektor
perdagangan dan konstruksi. Hal ini ditunjukkan oleh kesempatan kerja pada
saat ini banyak tenaga kerja yang bekerja hanya sebagai buruh.
Tingkat pengangguran di Aceh meningkat dari 6 persen pada tahun 2000
menjadi 12 persen pada 2005 dan tahun 2006. Meningkatnya jumlah
pengangguran tersebut terjadi sebagai akibat pergeseran dalam struktur
kesempatan kerja/usaha dari sektor pertanian ke sektor lainnya, khususnya
sektor jasa yang diakibatkan oleh kebutuhan tenaga kerja dalam usaha
rehabilitasi dan konstruksi di Propinsi NAD akibat gempa dan tsunami. Kondisi
tersebut disebabkan juga oleh peningkatan tenaga kerja sejak tsunami hanya
meningkat sebesar 5 persen. Rendahnya kesempatan kerja tersebut terjadi juga
disebabkan oleh penawaran tenaga kerja yang terus meningkat tidak diimbangi
oleh permintaan tenaga kerja atau terbukanya kesempatan kerja baru setiap
tahunnya.
Tingkat pengangguran di Provinsi NAD mengalami peningkatan dari
sekitar 6 persen pada tahun 2000 menjadi 12 persen pada tahun 2006 (World
Bank, 2007).
13. 13
Berdasarkan lapangan usaha dan status pekerjaan, sumbangan sektor
pertanian di Provinsi NAD masih dominan terhadap penyerapan tenaga kerja
dan sumbangan yang relatif tinggi sumbangan nilai tambahnya terhadap PDRB.
Proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian selama tahun 2003 hingga
tahun 2006 masih tinggi, yaitu di atas 50 persen. Angka tersebut meski terus
menurun, tetapi masih tinggi, diikuti dengan peningkatan proporsi penduduk
yang bekerja di sektor jasa. Sektor jasa mengalami peningkatan sebesar 18
persen pada tahun 2006 dari tahun 2005, namun sektor perdagangan
mengalami penurunan sebesar 3 persen pada tahun 2006 dari tahun 2005.
Sektor lain yang mengalami peningkatan adalah konstruksi dari tahun 2003
sebanyak 48076 orang menjadi 74402 orang pada tahun 2006, di mana
komposisinya pada tahun 2006 meningkat menjadi 5 persen dari 3 persen pada
tahun 2003. Kenaikan komposisi tersebut ditunjukkan oleh peningkatan jumlah
tenaga kerja sebesar 28 persen pada tahun 2006 dari tahun 2005. Kenaikan
tersebut terjadi karena di Provinsi Aceh sedang dilakukan rekonstruksi dan
rehabilitasi akibat gempa dan tsunami, sehingga dikhawatirkan komposisi
tersebut akan menurun kembali setelah proses rekonstruksi dan rehabilitasi
selesai. Jumlah tenaga kerja di sektor lain mengalami penurunan seperti sektor
transportasi dan sektor keuangan yang menurun cukup besar. Lebih jelas
penyerapan tenaga kerja berdasarkan sektor lapangan usaha tahun 2003-2007.
Penyerapan tenaga kerja yang sektor pertanian pada tahun 2006 sebesar
56 persen dari seluruh tenaga kerja, namun angka tersebut menurun
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu tahun 2003 mencapai 62 persen
dan tahun 2005 sebesar 60 persen. Penyerapan tenaga kerja yang cukup besar
lebih dari separuh tenaga kerja Aceh tidak diiringi oleh membaiknya tingkat
produksi di sektor pertanian, artinya tingkat produktivitas sektor pertanian tetap
saja rendah. Penyerapan tenaga kerja di sektor yaitu sektor jasa mencapai 15
persen pada tahun 2006 meningkat 12 persen dari tahun 2005 dan konstruksi
sebesar 5 persen pada tahun 2006 meningkat dari 4 persen pada tahun 2005.
Proporsi penyerapan tenaga di sektor lain relatif kecil yaitu manufaktur,
14. 14
transportasi, pertambangan, listrik, gas dan air, dan keuangan hanya di bawah 3
persen dan pada umumnya tidak banyak mengalami perkembangan. (World
Bank : 2007). Gambaran kondisi tersebut di atas menunjukkan keterbatasan
kesempatan kerja di sektor nonpertanian, terutama sektor industri atau
manufaktur yang menjadi tumpuan terbukanya kesempatan kerja di perkotaan.
Harapan lain adalah terjadinya transformasi pertanian ke sektor industri yang
akan mendorong peningkatan sektor pertanian itu sendiri sehingga dapat
meningkatkan pendapatan bahkan kesejahteraan penduduk di sektor pertanian
atau pedesaan.
Pengembangan UKM seyogianya menjadi salah satu sasaran penting
bagi suatu program pembangunan. Hal ini didasari oleh beberapa argumen,
yang pertama menyangkut dengan penyerapan tenaga kerja. Teknik produksi
pada UKM pada umumnya bersifat padat tenaga kerja, sehingga pengembangan
usaha UKM dapat mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja serta
mengurangi pengangguran. Kedua, pengembangan UKM melalui
pengembangan usaha dapat meningkatkan penerimaan dalam negara dan
pemerintah daerah dalam bentuk penerimaan pajak maupun nonpajak. Ketiga,
karena biaya/permodalan bagi pendirian UKM relatif rendah, maka
pengembangan UKM dapat mendorong partisipasi yang lebih luas dalam
berusaha. Keempat, pengembangan UKM, yang menghasilkan produk yang
mempunyai pasar internasional dapat meningkatkan pemasukan devisa
nasional. Kelima, pengembangan UKM dapat pula berkontribusi bagi
pengurangan kemiskinan.
Seiring dengan perkembangan waktu terdapat sejumlah faktor yang dapat
memberikan dampak terhadap perkembangan UKM di Aceh; baik dampak positif
maupun negatif. Salah satu faktor penting yang memberikan dampak bagi
perkembangan UKM di Aceh adalah kebijakan pemerintah daerah. Pembahasan
ini akan terfokus pada kajian Kebijakan Pemerintah Daerah Aceh yang
menyangkut pengembangan UKM.
15. 15
Berbagai kegiatan produktif yang dilakukan oleh masyarakat, swasta, dan
pemerintah, baik di sektor pertanian ataupun nonpertanian, tidaklah berdiri
sendiri tetapi terjalin hubungan keterkaitan antarsektor dan antardaerah,
sehingga terjadi arus barang dan jasa, baik sebagai input maupun output dalam
proses produksi dan distribusi antarwilayah. Kelancaran arus barang dan jasa ini
sangat tergantung pada ketersediaan prasarana dan sarana transportasi darat,
laut dan udara yang memadai untuk mendukung proses produksi dan
pemasaran domestik dan luar negeri (impor dan ekspor) Berbagai masalah
dalam bidang prasarana dan saran akan diungkapkan dalam bagian isu-isu
strategis.
Masalah institusi bersama dengan kualitas sumber daya manusia (SDM)
yang mendukungnya, terutama di sektor publik masih belum mampu
memberikan pelayanannya pada berbagai kegiatan-kegiatan pemerintahan dan
pembangunan yang efektif dan efisien untuk menggapai tujuan pembangunan
yang merupakan harapan dari seluruh stakeholders.
Aceh memperoleh arus dana masuk capital inflow yang relatif besar
terutama dalam tiga tahun terakhir, namun arah investasi masih belum mampu
memasuki radius sasaran yang dikehendaki sebagai solusi untuk memecahkan
sederetan masalah, yang antara lain terungkap dalam kajian ini (terutama
berkenaan dengan penurunan pengangguran, kemiskinan, peningkatan UKM,
pelayanan pendidikan dan kesehatan, penyediaan prasarana yang memadai). Di
lain pihak penggunaan pengeluaran publik, tingkat efektivitas dan tingkat
efisiensinya masih relatif lebih rendah.
Masalah-masalah tersebut merupakan beberapa isu penting yang perlu
dikaji dan dibahas sehingga dapat memberikan beberapa solusi bagi para
pengambil keputusan, tidak hanya untuk meningkatkan upaya pembangunan di
daerah ini, tetapi juga untuk dapat memberikan solusi terhadap masalah-
masalah dan isu-isu penting di daerah ini, baik untuk masa kini maupun pada
masa-masa mendatang.
16. 16
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
2.1.1. Capaian indikator
Sebagaimana diketahui dimasa lalu Pemerintah Nanggroe Aceh
Darussalam (Pemerintah Aceh) telah mengalami berbagai persoalan yang
sangat berat. Konflik bersenjata berkepanjangan diiringi dengan kasus korupsi,
lemahnya kapasitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), tidak efisiensinya
pelayanan publik serta aturan hukum yang tidak jelas dan timpang tindih
hubungan pemerintahan baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun
hubungan pemerintahan antara daerah tingkat provinsi dengan daerah
kabupaten/kota.
Di lain sisi, reformasi birokrasi baik pada Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan
kepemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokraksi pada tataran
Pemerintah Daerah diarahkan untuk melakukan koreksi dan penyempurnaan
terhadap segala kekurangan yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan
desentralisasi sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan fungsi utama birokrasi
yaitu pelayanan publik yang secara langsung bersentuhan dengan pemenuhan
kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya pasca konflik yang berkepanjangan di Aceh, ternyata tidak
hanya menyisakan angka-angka korban dari tindak kekerasan, namun juga
statistik penyimpangan dana publik yang jumlahnya mencapai ratusan juta
rupiah. Angka-angka ini hanyalah sebagian dari kondisi yang terbaca di balik
realitas konflik Aceh, belum lagi fakta-fakta yang tersembunyi di belakang meja
birokrasi Aceh. Jadi alangkah wajar, jika tersirat pandangan dari khalayak
pengamat dan aktivis pro demokrasi bahwa konflik Aceh (pada saat itu) sulit
diselesaikan akibat dua faktor utama, yaitu pertama, kebijakan pemerintah pusat
(RI) yang lebih mengedepankan tindakan kekerasan, dan kedua, prilaku
pemerintah dan komponen swasta di Aceh serta kerap melakukan KKN. Oleh
17. 17
karena itu ada beberapa mekanisme yang dapat dikaji dalam membahas tentang
keadilan dan demokrasi melalui penguatan dan proses yang dapat dilalui.
Secara sederhana, demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem
politik yang berupaya untuk menghantarkan keputusan-keputusan politik secara
partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui
persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat.
Dalam konteks tersebut yang didukung pula oleh banyak literatur ilmu politik
disepakti bahwa kualitas demokrasi juga amat ditentukan oleh berkualitas atau
tidaknya proses rekruitmen para kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
memperoleh mandat untuk memimpin pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi
di tingkat lokal akan mendapatkan kekuatannya apabila seleksi para kepala
daerah dan wakil kepala daerah berjalan dengan (kompetisi yang) adil.
Di lain pihak adanya perjanjian damai Pemerintah Republik Indonesia (RI)
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005, di Helsinki,
Finlandia, telah memutuskan beberapa mandat yang harus dilaksanakan oleh
kedua belah pihak. Beberapa mandat tersebut diantaranya: decomissioning dan
demobilisasi, rehabilitasi-integrasi, pembuatan Undang-Undang Pemerintahan
Aceh (UU-PA) yang akan menjadi hukum baru bagi penyelesaian Aceh secara
komprehensif dan berkelanjutan, tanpa melupakan penegakan dalam bidang
hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk amanat yang paling utama yaitu
pembentukan Undang-undang yang khusus mengatur tentang Aceh atau
kemudian disebut dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
2.1.1.1. Kondisi Pelayanan Publik di Beberapa Daerah di Aceh
Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2008
tentang Pelayanan Publik, telah memberikan dampak positif atas pelaksanaan
dan pelayanan kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang
baik sesuai dengan good governance dan clean Goverment. Pelayanan publik
menjadi tugas semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat ikut
menciptakan proses kearah pelayanan publik yang baik dan dalam bentuk
18. 18
kesinambungan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ketua tim penilai kinerja
pelayanan publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Bambang
Anom, menyatakan pelayanan publik bukan hanya tergantung pada figur
pimpinan seperti bupati dan walikota di daerah. "Pelayanan publik itu dilakukan
berdasarkan sistem yang terus menerus berkesinambungan. Jadi, bukan hanya
pada figur publik," katanya, sore ini. Jika tolok ukur pada figur pimpinan maka
kebijakan pelayanan publik tersebut akan berganti saat masa jabatan gubernur,
bupati dan walikota berakhir. "Kalau itu terjadi maka berdampak pada
terganggunya kebijakan peningkatan pelayanan publik karena pimpinan daerah
berganti," ujarnya. Oleh karena itu, dikatakan, pemerintah menerbitkan Undang
Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik yang mengatur masalah
tersebut. "UU ini mengatur hubungan dan kepastian hukum antara
penyelenggara dan masyarakat pengguna layanan serta memperkuat dan
memberi perlindungan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
publik," jelasnya. Menurutnya, UU tersebut akan memberikan sanksi tegas bagi
pimpinan penyelenggara atau aparatur pemerintahan yang lalai dalam melayani
masyarakat.
Dipihak lain, dinilai Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah telah berhasil
meningkatkan pelayanan publik sesuai nilai-nilai yang ditentukan. "Sebagai
bentuk penghargaan maka Pemerintah pusat akan memberikan Piala Citra Bakti
Abdi Negara yang akan diserahkan langsung Presiden RI, Susilo Bambang
Yudhoyono di istana negara," katanya. Penilaian pelayanan publik bukan
semata-mata untuk memperoleh piala tersebut, tapi akan menjadi rangsangan
dalam upaya meningkatkan kesadaran aparatur pemerintahan untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin
mengatakan, pihaknya terus berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi
masyarakat dengan motto "kalau bisa dipercepat, mengapa harus
diperlambat". Oleh karena itu pemerintah kabupaten telah memberi
pendelegasian kewenangan kepada para camat guna melayani masyarakat,
khususnya di daerah terpencil. Hal ini membuktikan bahwa pelayanan publik
19. 19
sudah mulai menjadi perhatian dari setiap daerah, bahkan daerah yang selama
ini kurang perhatiannnya sekarang telah berubah kearah yang lebih baik.
Selanjutnya berkenaan dengan sistem pelayanan terpadu Pemerintah Aceh
melalui Gubenur Aceh yang diwakili Asisten I Bidang Pemerintahan Drs Martin
Deski MM telah membuka simposium dan peluncuran buku panduan pelayanan
perizinan terpadu. Kegiatan tersebut berlangsung di gedung Serbaguna
Bappeda Sabang, diselenggarakan pihak Logica bekerjasama dengan Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Provinsi Aceh, yang diikuti 71 peserta dari
23 kabupeten/kota.
Gubenur dalam sambutannya yang disampaikan Asisten I Bidang Pemerintahan
Martin Deski mengatakan, pelayanan terpadu satu pintu yang sudah dibentuk,
ada yang menghadapi hambatan dan tantangan, pemahaman terhadap pola
pelayanan terpadu masih banyak yang keliru. Karenanya diharapkan dukungan
semua pihak untuk membantu sepenuhnya proses pelaksanaan pelayanan
publik pada pelayanan terpadu satu pintu di setiap kabupaten/kota.
Terbentuknya pelayanan terpadu di Aceh merupakan respons terhadap instruksi
Presiden dalam mendorong perbaikan iklim usaha penyederhanaan birokrasi di
bidang perizinan. Pemerintah Aceh sudah mengimplementasikan pelayanan
perizinan terpadu sesuai amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 24 Tahun 2006 tentang pelayanan terpadu satu pintu, di mana pelayanan
yang diberikan lebih transparan dan mudah diakses.
Menurut Gubernur pelayanan publik harus mendapat prioritas utama karena
merupakan tugas dan fungsi yang melekat pada setiap aparatur. Oleh karena itu,
upaya perbaikan sistem pelayanan publik harus dilakukan secara terus menerus,
berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Salah satu bentuk
perubahan dalam pelayanan publik adalah melalui pelaksanaan pelayanan
perizinan terpadu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
20. 20
Dalam kaitan itu, perlu untuk mengeluarkan suatu panduan mendirikan dan
mengembangkan lembaga pelayanan perizinan terpadu. Dalam kesempatan itu
diluncurkan buku yang berisi tentang pemahaman umum penyelenggaraan
pelayanan perizinan terpadu, langkah-langkah pembentukan penyelenggaraan,
dan hal-hal yang dapat dilakukan dalam mengembangkannya. Buku tersebut
dapat menjadi panduan bagi kabupaten/kota dalam Provinsi Aceh sehingga
menjadi suatu pedoman dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan
sebagai inovasi pelayanan, dengan harapan agar masyarakat merasa puas
terhadap pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah daerah, ujarnya
2.1.1.2. Penanganan Kasus Korupsi di Aceh
Berdasarkan data dan penelitian, sampai tahun 2009 ada sejumlah kasus tindak
pidana korupsi yang telah dilaporkan dan ditangani. Dan ada beberapa kasus
yang telah diproses dibebaskan oleh lembaga peradilan di Aceh, kondisi ini
menunjukkan pola penanganan kasus korupsi khususnya atas peradilan yang
ditangani majelis hakim dan jaksa penuntut umum tergolong dalam bagian paling
buruk rapornya, mengingat kasus korupsi merupakan salah satu indikator dalam
pelaksanaan pemerintahan menunju ke good Governance dan Clean Goverment
yang dicanangkan oleh Presiden SBY dalam program kerjanya. Di samping itu
masih banyak lagi kasus-kasus yang belum memperoleh kekuatan hukum yang
tetap dan bahkan belum tersentuh penanganan hukum.
Seharusnya upaya pemberantasan korupsi dapat berkaca atas keinginan dan
capaian visi dan misi pemerintah SBY di atas serta upaya reformasi birokrasi
peradilan dan lingkungan Mahkamah Agung, jika ditelaah lebih jauh di Aceh
hingga saat ini belum mampu diwujudkan lembaga peradilan, perwujudan tata
kelola peradilan yang bersih dan terhindar dari upaya intrik dan permainan
menjadi agenda penting yang harus segera dirubah. Jika hal ini belum mampu
dilakukan maka dipastikan evaluasi yang dilakukan oleh tim Kejagung hanya
merupakan agenda rutin dan tidak menghasilkan masukan apa-apa.
21. 21
Selain itu, selama ini berdasarkan telaah penanganan kasus dan implimentasi
penuntasan kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh pihak Kejati
maupun Kejari, tercatat dalam penanganan kasus korupsi sangat kental upaya
kejar target yang dibebankan Kejagung. Hal ini dibuktikan dengan penanganan
lebih dititik beratkan pada kasus-kasus kecil saja, seharusnya yang menjadi
prioritas adalah kasus-kasus yang besar yang menjadi tugas utama pihak
kejaksaan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi di Aceh.
Sudah saatnya pihak kejaksaan di Aceh, majelis hakim serta para jaksa yang
bertugas di wilayah hukum peradilan Aceh melakukan upaya pembenahan
internal dengan menunjukkan sikap profesionalitas aparat kejaksaan dalam
menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Karena, jika sikap profesionalitas pihak kejaksaan tidak ditonjolkan dan menjadi
titik fokus utama agenda perubahan secara manajerial dan struktur, maka ini
akan menambah preseden buruk bagi penegakan hukum di Aceh khususnya
dalam menangani kasus tindak pidana korupsi, katanya. Sebagai contoh ada
beberpa kasus korupsi yang belum memperoleh kekuatan hukum dan
penanganan di Aceh sampai saat ini, bahkan banayak kasus yang tidak
tersentuh hukum lagi (lihat Lampiran) :
Selanjutnya indikasi meningkatnya kasus korupsi di Aceh ditandai dengan
banyaknya proyek yang tidak sesuai harapan dan cenderung asal asalan. Pasca
tsunami dan penandatanganan MoU Helsinki, banyak proyek rehabilitasi dan
pembangunan infrastruktur di Aceh, sehingga sangat mungkin terjadi
penyelewengan atau korupsi. Bahkan pasca Pemilihan Kepala Deerah (Pilkada)
di Aceh, para Bupati terpilih banyak yang menyelewengkan APBD untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya, termasuk uang reintegrasi yang
seharusnya diterima mantan anggota GAM juga dikorupsi. Saat ini Polisi NAD
sedang menyidik 14 kasus dugaan korupsi yang terjadi di Aceh sepanjang tahun
2007. Empat di antaranya kasus dugaan korupsi yang terjadi pada Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Kapolda Aceh Irjen Rismawan
22. 22
menyebutkan, 14 kasus tersebut kini sudah masuk dalam tahap penyidikan dan
masih menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan(BPKP).
Kapolda menegaskan, polisi tidak main-main dalam menangani tindak pindana
korupsi yang terjadi di Aceh. Agar data yang diperoleh polisi lebih akurat, Polda
meminta bantuan BPKP untuk mengaudit proyek-proyek yang terindikasi korupsi,
agar segera diketahui berapa kerugian yang disebabkannya. Pihaknya meminta
seluruh jajaran Polres yang menangani kasus dugaan korupsi ini agar
mengusutnya hingga tuntas, sehingga upaya-upaya yang merugikan negara bisa
dihilangkan.
Di lain pihak ada 14 kasus yang sedang ditangani polisi itu, di antaranya, proyek
pembangunan irigasi pada supervisi jaringan sub di Arakundo, Lap-136 sub
Jambo pada paket LA-9 dengan indikasi korupsi sebesar Rp1,1 miliar lebih. Lalu,
kasus pembangunan pengamanan pantai di Pidie, Lhokseumawe, dan Aceh
Utara dengan nilai indikasi korupsi Rp270,7 juta lebih. Ada juga kasus dugaan
korupsi rehabilitasi Krueng Neg, Krueng Doy, dan Krueng Titi Panjang sebesar
Rp200,6 juta lebih. Selain itu, dugaan tindakan korupsi proyek jaringan irigasi di
tujuh wilayah di kabupaten/kota di Aceh, sebesar Rp2,7 miliar lebih. Kasus lain
yaitu SID Drainase Induk Kota Banda Aceh sebesar Rp329,8 juta dan kasus SID
Kanal Banjir Kota Banda Aceh senilai Rp281 juta. Di Aceh Barat, kasus korupsi
SID Drainase Induk Kota Meulaboh sebesar Rp218 juta lebih. Di Kabupaten
Pidie yakni SID Sungai dan Muara Panteraja sebesar Rp134 juta dan kasus
jaringan irigasi di Krueng Aceh kanan di Kabupaten Aceh Besar senilai Rp855,5
juta. Polisi, BPKP dan aparat yang berwenang di NAD sebaiknya menuntaskan
kasus korupsi yang semakin meningkat di Aceh. Korupsi uang reintegrasi juga
harus diusut tuntas, kemana uang yang seharusnya di terima mantan anggota
GAM itu.
23. 23
Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menurunkan tim ke Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), untuk melakukan evaluasi terhadap banyaknya vonis bebas
pengadilan terhadap para terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi yang
merugikan negara mencapai belasan miliar. Tim melakukan penelitian dan
pengumpulan data terkait berbagai perkara korupsi yang disidangkan di
pengadilan Aceh. Penelitian yang dipusatkan di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati)
Aceh di Jalan Tgk Moh. Daud Beureueh tersebut diikuti sejumlah kalangan,
terdiri dari jaksa Kejati dan Kejari, dosen/akademisi, hakim, dan penasihat
hukum. Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan data tentang putusan bebas
perkara pidana, faktor-faktor penyebab terjadinya putusan bebas dan bagaimana
jaksa menyikapi adanya putusan bebas dan bagaimana upaya meningkatkan
kualitas penuntut umum dalam penanganan perkara,
Selanjutnya koordinator Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh
mengatakan, evaluasi Tim Kejagung patut diberikan apresiasi, karena
berdasarkan monitoring khusus tentang peradilan hingga saat ini tercatat wilayah
hukum Aceh paling banyak membebaskan terdakwa korupsi.
Berdasarkan investigasi, tercatat periode tahun 2007-2009 ada delapan kasus
tindak pidana korupsi yang dibebaskan oleh lembaga peradilan di Aceh, kondisi
ini menunjukkan pola penanganan kasus korupsi khususnya atas peradilan yang
ditangani majelis hakim dan jaksa penuntut umum tergolong dalam bagian paling
buruk rapornya,
Seharusnya, kita dapat berkaca atas keinginan dan capaian visi dan misi
pemerintah serta upaya reformasi birokrasi peradilan dan lingkungan Mahkamah
Agung, jika ditelaah lebih jauh di Aceh hingga saat ini belum mampu diwujudkan
lembaga peradilan, perwujudan tata kelola peradilan yang bersih dan terhindar
dari upaya intrik dan permainan menjadi agenda penting yang harus segera
dirubah. Jika hal ini belum mampu dilakukan maka dipastikan evaluasi yang
dilakukan oleh tim Kejagung hanya merupakan agenda rutin dan tidak
menghasilkan masukan apa-apa.
24. 24
Selain itu, ujarnya, selama ini berdasarkan telaah penanganan kasus dan
implimentasi penuntasan kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh
pihak Kejati maupun Kejari, tercatat dalam penanganan kasus korupsi sangat
kental upaya kejar target yang dibebankan Kejagung. Hal ini dibuktikan dengan
penanganan lebih dititik beratkan pada kasus-kasus kecil saja, seharusnya yang
menjadi prioritas adalah kasus-kasus yang besar yang menjadi tugas utama
pihak kejaksaan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi di Aceh. Sudah
saatnya pihak kejaksaan di Aceh, majelis hakim serta para jaksa yang bertugas
di wilayah hukum peradilan Aceh melakukan upaya pembenahan internal
dengan menunjukkan sikap profesionalitas aparat kejaksaan dalam menangani
kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Karena, jika sikap profesionalitas pihak kejaksaan tidak ditonjolkan dan menjadi
titik fokus utama agenda perubahan secara manajerial dan struktur, maka ini
akan menambah preseden buruk bagi penegakan hukum di Aceh khususnya
dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.
Bahkan kalangan anggota DPRA menilai kinerja aparat penegak hukum di Aceh
masih berjalan lamban sehingga memunculkan berbagai sorotan, termasuk dari
LSM antikorupsi. “Mengacu pada kasus-kasus yang disorot LSM GeRAK dan
MaTA, mengindikasikan masih lambannya kinerja aparat penegak hukum di
daerah ini,” kata seorang anggota DPRA dari Partai Aceh, Menurut Darmuda,
pihak Dewan mendukung GeRAK dan MaTA untuk terus mengawal dan
mengontrol kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi hingga ke pengadilan dan
KPK. Termasuk di dalamnya soal dana masyarakat Aceh Utara Rp 220 miliar
yang hingga kini belum kembali. Menanggapi berbagai sorotan publik maupun
LSM antikorupsi terhadap pengusutan kasus korupsi, Darmuda berharap agar
kinerja aparat penegak hukum di Aceh perlu terus dtingkatkan supaya
kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum menjadi lebih tinggi lagi.
Harapan yang lebih kurang sama juga disampaikan seorang anggota DPRA
lainnya dari Partai Golkar, Djuriat Suparjo. Dalam penilaian anggota DPRA dari
25. 25
Partai Aceh, Darmuda, jika tunggakan dugaan korupsi yang telah masuk ke
jaksa maupun polisi lambat diserahkan ke pengadilan, bisa menimbulkan
kecurigaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum
itu sendiri. Wakil Ketua I DPRA Bidang Pemerintahan dan Hukum, Amir Helmi
SH mengatakan, dirinya sependapat dengan apa yang disampaikan GeRAK dan
MaTA bahwa dugaan kasus korupsi yang telah ditangani jaksa dan polisi
harusnya segera diserahkan ke pengadilan. Minimal yang telah didata GeRAK
dan MaTA sebanyak 16 kasus yang hingga kini belum dilimpahkan ke
pengadilan untuk disidangkan. “Sebanyak 16 kasus dugaan tindak pidana
korupsi yang telah didaftar GeRAK dan MaTA itu sebagian merupakan temuan
dari Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh (TAKPA) dan sudah disidik polisi dan
jaksa. Hendaknya diproses secepatnya ke pengadilan. Jika ada yang benar-
benar tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan langsung saja dihentikan, kemudian
dipublikasikan kepada publik dengan transparan dan bukti yang kuat,” kata Amir
Helmi.
Koordinator Lapangan Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh, Tgk Abdullah Madyah
mengatakan, pihaknya juga merasa heran kenapa sampai saat ini kejaksaan
belum melimpahkan kasus dugaan korupsi pengelolaan dana operasional di
TVRI yang menjadi temuan TAKPA. Padahal pengusutan kasus itu sudah
berlangsung sejak hampir dua tahun oleh jaksa tinggi. Pihak BPKP yang diminta
untuk melakukan audit, kata Abdullah Madyah, pernah menjelaskan, bahwa
masih ada data yang kurang untuk melengkapi hasil audit guna membawa kasus
dugaan korupsi dana operasional TVRI itu ke pengadilan. Tapi pihak jaksa belum
menyampaikan tambahan data itu kepada BPKP. “Apakah karena faktor itu
sehingga kasusnya belum juga ke pengadilan atau ada faktor lain,” tandas
Koordinator Lapangan TAKPA itu
2.1.1.3. Pelaksanaan Demokrasi dan HAM di Aceh
26. 26
Pada dasarnya pelaksanaan pesta demokrasi di Aceh telah berjalan dengan
baik meskipun ada beberapa hambatan yang terjadi. Dimulai dengan pemilihan
umum (Pemilu) 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2006 sampai
dengan Pemilu 2009. Pemilu 2009 baru saja berakhir, baik pemilu Legislatif
maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden semua telah dilaksanakan. Dalam
pelaksanaan Pemilu legislatif ditemukan banyak kekurangan-kekurangan di
sana-sini. Bukan hanya dalam prosedur penghitungan suara, namun ternyata
dari sisi pemilihnya sendiri masih banyak yang belum mengerti masalah pemilu,
mulai dari tidak terdaftarnya dalam DPT maupun tidak dimanfaatkannya hak-hak
sebagai warga negara yaitu hak untuk memilih. Menyikapi hal demikian tentunya
menuai berbagai keprihatinan berbagai pihak.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga negara
yang mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping hak-hak
warga negara Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak warga negara
untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk
menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak
sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan wakil presiden. Hak
memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right)
setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara.
Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-
Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Bagi Daerah Aceh, yang sejak tahun 1959 telah memperoleh status sebagai
daerah istimewa berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Nomor I/missi/1959
27. 27
dan kemudian dikuatkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 belumlah memadai. Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tanggal 9 Agustus 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Salah satu hal yang khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
adalah Pemilihan Kepala Daerah, yang meliputi pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota secara langsung
oleh rakyat setiap lima tahun sekali, melalui pemilihan yang langsung, umum,
bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Kebijakan ini akan semakin mewujudkan
realitas pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari kacamata
payung regulasi, Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam dilengkapi dengan
kerangka hukum yang komplet, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Nomor 2 Tahun 2003 yang kemudian
diubah dengan Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur.
Pemilihan langsung Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota di Nanggroe Aceh Darussalam dimaksudkan untuk
menjalankan hak-hak dan kebebasan; bebas dari diskriminasi berdasarkan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul sosial, kelahiran atau status
lainnya, serta aliran politik. Ketentuan ini terdapat pada setiap instrumen hak
asasi manusia. Prinsip non diskriminasi harus diberlakukan pada setiap tahap
dan proses pemilihan. Demikian juga semua prinsip yang diperlukan bagi suatu
pemilihan umum, yaitu langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil
harus diimplementasikan dalam semua tahap pemilihan, yang meliputi
pendaftaran pemilih, pencalonan, pemungutan suara, penghitungan suara,
pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan calon terpilih.
28. 28
Dengan pemilihan secara langsung ini, diharapkan dapat dicapai beberapa hal
yaitu :
1. Rakyat yang telah mempunyai hak untuk memilih, dapat berpartisipasi
secara langsung dalam menentukan pemimpin daerah, sehingga
pemimpin daerah tersebut sesuai dengan aspirasi rakyat dan mempunyai
ikatan batin dengan rakyat.
2. Pemimpin daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung, akan
mendapat legitimasi yang cukup sehingga dapat lebih efektif dalam
menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan,
yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
3. Pemimpin daerah yang terpilih secara langsung, lebih terikat dan
berkepentingan dengan rakyat pemilih, oleh karenanya akan terdorong
untuk berbuat yang terbaik bagi rakyatnya.
4. Memperkuat otonomi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bidang
politik sehingga ketergantungan politik antara Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dengan Pemerintah Pusat akan berkurang dan fungsi
pemerintah daerah tidak lagi hanya merupakan perpanjangan tangan dari
pemerintah pusat.
5. Memperbaiki citra DPRD yang selama ini banyak pihak mensinyalir telah
melakukan politik uang dalam setiap pemilihan Kepala Daerah.
Untuk memwujudkan dan menghasilkan pemimpin daerah
sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka segala sesuatu yang
menyangkut dengan pemilihan itu diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati
dan Walikota/Wakil Walikota akan berjalan dengan lancar, aman dan tertib
apabila dilaksanakan oleh penyelenggara dan diawasi oleh pengawas yang
kapabel dan kredibel, serta disertai dengan penyediaan dan pengelolaan
logistik yang memadai. Untuk itu dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 ditegaskan bahwa pemilihan dilaksanakan oleh Komisi Independen
Pemilihan dan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan. Kedua institusi ini
dibentuk oleh DPRD serta bersifat independen dan non-partisan. Pilkada di
29. 29
Aceh telah mengalami beberapa pasang surut, yaitu rencana awal 25
Oktober 2005 sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun
Nomor 2 Tahun 2004. Tetapi karena bencana alam gempa bumi dan tsunami
mengakibatkan banyak dokumen yang hilang sehingga apa yang telah
dijadwalkan tersebut tidak mungkin diselenggarakan lagi sehingga jadwal
tersebut berubah lagi menjadi 29 Desember 2005 sesuai dengan Qanun
Nomor 3 Tahun 2005. Jadwal inipun kemudian di rubah lagi menjadi 26 April
2006 akibat adanya dinamika politik yang berkembang di Provinsi NAD
seperti lahirnya MoU Helsinki yaitu perjanjian damai antara GAM dan
Pemerintah RI tanggal 15 Agustus 2005. Di dalam butir 1.2.2. disebutkan
bahwa, dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan
memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih
untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006. Kemudian butir
2.2.3. Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan Pemerintah
di Aceh untuk memilih kepala pemerintahan Aceh dan pejabat terpilih lainnya
pada bulan April 2006. Itulah sebabnya, maka jadwal yang telah ditetapkan
KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 26 April 2006, itupun harus
diperbaiki kembali sesuai dengan UUPA yang baru. UUPA disahkan DPR RI
tanggal 11 Juli 2006 dan dinyatakan berlaku tanggal 1 Agustus 2006. UUPA
inipun harus ditindaklanjuti lagi dengan Qanun sebagai perubahan Qanun
Nomor 3 Tahun 2005 menjadi qanun Nomor 7 Tahun 2006. Hal ini karena
beberapa pasal yang tidak sesuai lagi dengan kondisi terakhir sesuai
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Akhirnya
KIP dengan tidak bosan-bosannya kembali memperbaharui dan merubah
jadwal Pilkada di Aceh sesuai dengan Keputusan KIP Nomor 18 Tahun 2006
sebagaimana tersebut di atas menjadi tanggal 11 Desember 2006.
Disamping itu tingkat partisipasi pemilih baik pada pemilihan legislatif
(pilleg) maupun pada Pilpres 2009 sangat tinggi saat ditetapkannya Daftar
Pemilih Tetap (DPT) di tingkat provinsi. Ketua Pokja Pendaftaran Pemilih
(KIP) Aceh mengatakan bahwa pelaksanaan jumlah pemilih di Aceh sudah
30. 30
cukup tinggi dan dimungkinkan akan bertambah lagi. Karena belum ada data
yang akurat, maka KIP belum dapat memperkirakan berapa persen tingkat
partisipasi masyarakat pada awalnya yang masuk DPT dan berhak memilih
pada Pilpres mendatang. “ namun secara keseluruhan, tingkat partisipasi
masyarakat dalam pilleg dan Pilpres kemudian dapat terlihat setelah DPT
ditetapkan. Sesuai dengan data yang dikeluarkan KIP, Daftar Pemilih Pilpres
2009 sebanyak 3.004.432 orang, dan terjadi pengurangan jumlah pemilih
sebanyak 5.533 orang dari DPT pemilu legislatif 2009 yang mencapai
3.009.965 orang. Berkurangnya dalam pemilihan pilpres, Ketua pokja KIP
menjelaskan dan tidak ingin terlalu jauh berspekulasi. “Hal yang terpenting
adalah kami sudah melakukan upaya maksimal untuk mengimbau agar
masyarakat mendaftarkan dirinya kepada petugas dengan beberapa hari
masa perpanjangan dari jadwal semula,” jelasnya. Menurut KIP terkait
pemutakhiran data pemilih ini pihaknya akan terus memonitor. Dalam
beberapa hari terakhir, KIP dan pemerintah juga telah berupaya maksimal
menghimbau agar masyarakat yang belum terdaftar masih punya
kesempatan untuk mendaftarkan dirinya hingga batas waktu penetapan di
DPT di Provinsi. “Bilapun nanti ada angka yang tidak sesuai kita akan
upayakan melihat kembali karena penetapan DPT di tingkat provinsi
nantinya” ujar Akmal yang beberapa hari ini juga turut memanfaatkan fasilitas
jejaring sosial Facebook untuk menghimbau masyarakat yang belum
terdaftar, untuk mendaftarkan dirinya kepada petugas PPS di desa mereka.
Dia sebutkan, data pemilih yang mendaftar hingga 28 Mei 2009 oleh PPS
atau PPK segera disampaikan ke KIP kabupaten/kota. Selanjutnya, pada 29
Mei 2009 KIP Kab/Kota harus segera menyampaikannya ke KIP Provinsi dan
pada 30 Mei 2009 semua data harus masuk ke KPU Pusat. KPU akan
mengumumkan daftar pemilih tetap (DPT) Pilpres pada 31 Mei 2009. Dari
data dapat dijelaskan bahwa adanya peningkatan partisipasi masyarakat
terhadap pemilihan anggota legislatif itu dikarenakan bahwa masyarakat
Aceh ingin perubahan pada lembaga legislatif ini, disamping dalam pemilihan
31. 31
legislatif kehadiran Partai lokal (Parlok) telah membawa keingitahuan dari
masyarakat untuk menentukan calon-calonnya dalam parlemen.
Dari uraian diatas kemudian dapat dijelaskan bahwa akibat dari rasa
keingintahuan masyarakat dan kerja keras dari KIP dalam mensosialisasikan
kepentingan dalam pemilu dan penggunaan hak demokrasi, maka
peningkatan partisipasi masyarakat di Aceh cukup tinggi. Tingkat partisipasi
ini bahkan melampaui tingkat presentase nasional. Ini dapat disimpulkan
bahwa masyarakat Aceh sangat besar perhatian pada pemenuhan hak-hak
politik termasuk hak untuk memilih dan dipilih. Masyarakat Aceh berusaha
untuk menjadi yang patuh terhadap kepentingan yang lebih besar termasu
menyalurkan aspirasinya pada pemilihan pilleg dan pilpres.
2.1.1.4. HAM dan Penerapan Syariat Islam Dalam Perspektif Gender
Pada prinsip enerapan syariat Islam di Aceh, sedikit telah mengundang
kontroversi dalam beberapa persoalan diantaranya menyangkut diskriminasi
terhadap kaum perempuan. Kalangan aktivis perempuan berpendapat bahwa
penerapan syariat Islam di Aceh lebih memojokkan kaum perempuan,
dibandingkan menyelesaikan persoalan Aceh yang lebih besar, termasuk
menjaga perdamaian. Namun hal ini tbeberentunya masih menjadi
perdebatan dikalangan masyarakat Aceh itu sendiri, sehingga ada beberapa
qanun yang telah dibahas dan ditetapkan oleh DPRAceh belum mi
pemeremperoleh pengesahan dari Gubernur atau Pemerintah Pusat
(misalnya Qanun Jinayah).
Disisi yang lain mantan Kepala Dinas Syariat Islam NAD (Prof. Alyasa
Abubakar), beberapa waktu yang lalu membantah adanya diskriminasi dalam
pemberlakuan hukum syariat Islam di Aceh antara Laki-laki dan Perempuan.
"Ada anggapan sebahagian orang, bahwa qanun khalwat memojokkan
perempuan. Boleh, kemudian pertanyaan saya, apa dan siapa yang terpojok,
kalau orang bersalah merasa terpojok, saya sangat setuju. Mestinya orang
32. 32
yang punya pemikiran seperti itu, harus melihat dan mempelajari lebih jauh
soal hukum islam," "Banyak diantara orang kita Aceh mengaku beragama
Islam membuat stateman yang jelas sangat bertentangan dengan Al-Quran
seperti pernyataan ibu Khairani yang mengatakan, dengan berlakunya syariat
islam di privinsi NAD sesuai dengan qanun nomor 14 tahun 2003 tentang
khalwat, kaum perempuan dipojokkan. Dan perempuan telah dipaksa
mengunakan busana muslim (jilbab)," Di sisi lain, terkait dengan urusan hak
asasi manusia, penerapan hukum Islam di Aceh dipandang oleh sebagian
kalangan di Aceh tidak melanggar HAM. penerapan hukum syariat islam
bukan untuk menghukum orang, akan tetapi pada prinsipnya justru
melindungi, menjaga keamanan dan ketertiban semua orang. "hukum islam
memiliki tujuan filosofis, artinya ada makna di balik tekstual," dengan
mencontohkan ketika seorang hendak mencuri. Aturan syariat mencuri diberi
sangsi atau hukuman, kerena pelaku tahu hukumannya berat, lantas si
pencuri mengurungkan niatnya "Inikan berarti hukum islam mengayomi dan
melindungi, melindungi orang yang hendak mencuri sehingga tidak jadi
berbuat dosa. Kemudian si empunya barang juga terlindung karena
barangnya tidak jadi dicuri, pada akhirnya tidak ada yang terhukum, lantas
dimana melanggar HAM,"
Korban pelaksanaan hukuman yang diberikan akibat melanggar syariat juga
kebanyakan dari kalangan masyarakat bawah seperti yang terjadi di Aceh
Tamiang. Syuhibun Anwar mengatakan selain tidak mempunyai pekerjaan
yang tetap, tersangka hukum cambuk juga minim pengetahuan tentang
agama, sehingga sangat mudah terjerumus ke dalam perbuatan yang
dilarang agama. ”Banyak yang terhukum cambuk yang melanggar qanun
syariat Islam di Aceh Tamiang tergolong miskin, ekonomi menengah ke
bawah, karena tidak memiliki pekerjaan yang tetap” Ironisnya, di sisi lain,
koruptor-koruptor di Aceh sama sekali belum tersentuh sedikitpun oleh
hukum syariat Islam yang diterapkan di Aceh. Karenanya, Pemerintah NAD
diharapkan serius untuk membuat qanun hukuman cambuk bagi pelaku
33. 33
koruptor di Aceh. "Jadi hukum cambuk bukan saja untuk rakyat kecil dan
penjahat kecil saja, melainkan juga untuk penjahat kelas kakap seperti
koruptor,"
Dalam pantauan KontraS Aceh Penerapan Syariat Islam sepanjang tahun
2006, saja pemerintahan telah menggelar sebanyak 9 (sembilan) kali hukum
cambuk bagi 37 orang pelaku pelanggar ”syariah”, 9 orang pelaku khalwat
(Mesum), 10 orang pelaku khamar (pengkonsumsi minuman keras), dan 19
orang pelaku maisir (perjudian). "Walaupun kedua pelaku meusum itu
masing-masing menerima hukuman cambuk sebanyak lima dan empat kali,
tapi banyak pelanggar lain yang harus lebih dulu dihukum, ketimbang dua
pelaku itu," Dampak lain dari penerapan syariat yang kontroversial tersebut
adalah munculnya aksi kekerasan oleh warga terhadap pelanggar Syariah di
beberapa tempat. Aksi kekerasan ini biasanya bermula dari tindakan
pengkapan atau penggerebekan oleh warga terhadap pelaku pelanggar
syariah yang berbuntut pada aksi pemukulan atau kakerasan lainnya, seperti
arak-arakan atau mempertontonkan pelanggar Syariah di depan umum
sebelum ada putusan pengadilan terhadapnya.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka persoalan gender di Aceh masih
belum sepenuhnya menjadi perhatian dari setiap orang atau pemerintah. Hal
ini disebabkan masih banyak aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Aceh atau pemerintah kabupaten/kota yang belum menyentuh permasalahan
gender secara keseluruhan, bahkan ada peraturan yang dianggap melangar
hak-hak perempuan seperti hak-hak atas larangan penggunaan celana jean
bagi perempuan di suatu kabupaten (Aceh Barat) oleh Keputusan Bupatinya.
1.2. Analisis Relevansi
Sesuai dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dijelaskan bahwa pada dasarnya capaian pembangunan daerah (Aceh) telah
sejalan dengan pembangunan nasional. Secara garis besar capaian daerah
telah sesuai namun dalam beberapa hal masih ada beberapa kendala dan
34. 34
masih kurang, akan tetapi dalam hal-hal tertentu capaian daerah lebih tinggi
dari nasional. Capaian daerah (Aceh) yang lebih tinggi dan lebih baik antara
lain berkaitan dengan partisipasi dan pelaksanaan demokrasi dalam pemilu,
dimana masyarakat Aceh sangat besar dan tinggi perhatian dalam
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Ini menandakan bahwa capaian
dan program pemerintah Aceh telah mencapai presentase yang cukup
signifikan terhadap partisisipasi ini.
Dilain sisi sebagaimana hasil penelitian dari Lembaga Partnership Jakarta
yang menyebutkan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat parah.
Pernyataan ini sudah jamak diketahui semua pihak baik di level eksekutif,
legislatif, judikatif, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pengusaha,
universitas, lembaga donor, dan seterusnya. Namun bila kemudian muncul
pertanyaan, sejauhmana pemerintah serius berupaya memberantasnya?
Apakah semua pihak sudah mengetahui berapa banyak peraturan dan
kebijakan yang dihasilkan pemerintah ––bersama legislatif–– dan unit atau
lembaga formal apa saja yang telah dibentuk untuk memberantas faktor
penyebab kemiskinan dan loss generation tersebut? Jawabannya tentu
sangat bervariasi. Bayangkan saja, kita sudah memiliki puluhan kebijakan
dan peraturan perundang-undangan serta lembaga yang berfungsi untuk
memberantas korupsi. Dari sisi kelembagaan saja di tingkat pusat misalnya
ada BPK, BPKP, KPK, inspektorat jenderal pada masing-masing departemen,
unit-unit pengawas pada lembaga pemerintah nondepartemen (LPND),
Kepolisian Negara RI, Komisi Ombudsman Nasional (KON), Timtastipikor.
Sementara di daerah ada BPKP perwakilan, BPK perwakilan, KPK
perwakilan (khusus di NAD), inspektorat propinsi/kabupaten/kota atau badan
pengawasan daerah (Bawasda) dan seterusnya. Namun sampai saat ini,
dengan sejumlah lembaga tersebut masih saja dirasakan kuantitas dan
kualitas korupsi belum menurun sesuai dengan harapan masyarakat. Bahkan
persoalan baru seperti bagaimana dengan pembagian tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) dan kewenangan antarlembaga tersebut, bagaimana
35. 35
antarlembaga itu berkoordinasi secara optimal sehingga menghasilkan
sinergi yang bermanfaat dalam menimbulkan deterent effect (efek jera) pada
para pelaku korupsi menjadi faktor yang menambah kerumitan penuntasan
kasus-kasus korupsi. Tidak jarang timbul perbedaan penanganan dan tafsir
atas suatu permasalahan. Peran Bawasda dalam pemberantasan korupsi
Pascareformasi melalui penerapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, maka peran inspektorat daerah/Bawasda menjadi lebih
krusial dibandingkan dengan masa Orde Baru dimana perannya pada masa
itu memang sengaja ditumpulkan. Bahkan ada anekdot Bawasda sebagai
instansi “buangan” bagi pegawai negeri yang dianggap nyeleneh. Penegasan
tentang strategisnya peranan Bawasda juga terlihat pada UU No 32 Tahun
2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 pada pasal 223 tentang
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
diejawantahkan ke dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). PP No. 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pun telah menegaskan bahwa
dalam pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dilakukan
secara berjenjang dan berlapis (pasal 26). Artinya Bawasda masa Orde Baru
yang begitu dikerdilkan dengan banyak tujuan itu mendadak menjadi
tumpuan dalam pengawasan pelaksanaan roda pemerintahan daerah.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana Bawasda dapat segera berfungsi
maksimal bila persoalan internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja
dan produktivitasnya belum dituntaskan secara komprehensif. Minimal ada
tiga penghambat internal yang dapat digarisbawahi yaitu pertama, masalah
kompetensi personal yaitu skills dan wawasan pengetahuan yang mencakup
penguasaan peraturan perundang-undangan dan tren korupsi yang semakin
canggih dan beragam. Apalagi saat ini banyak peraturan perundang-
undangan kerapkali berubah dan tumpang tindih. Kedua, tentang
ketersediaan SDM baik secara kuantitas dan kualitas. Dengan status instansi
yang selama ini relatif diterlantarkan maka pola rekrutmen pegawai yang
handal dengan tingkat pendidikan yang memadai menjadi sangat berbeda
36. 36
dengan lembaga lain yang berfungsi sebagai lembaga pengawas. Sebutlah
misalnya BPKP dan BPK yang telah memiliki puluhan pegawai dengan
tingkat pendidikan strata S2 dan S3 (doktoral) baik lulusan dalam maupun
luar negeri yang terkemuka. Kecuali itu masalah lemahnya daya tarik
pegawai yang bersedia ditempatkan di lembaga tersebut. Ketiga, masalah
kapabilitas yang dikaitkan dengan ketersediaan anggaran. Sedang tiga
persoalan eksternal, pertama, kepala Bawasda masih selevel dengan kepala
dinas lainnya dan setingkat lebih rendah dari sekretaris daerah (PP No. 8
Tahun 2003 pasal 19 dan 20). Dengan budaya ketimuran dan ewuh pakewuh
yang telah lama ditanamkan dan mendarah daging di birokrasi maka sulit
bagi Kepala Bawasda untuk bersikap berseberangan dengan sekretaris
daerah maupun kepala daerah. Karenanya usulan eselonisasi kepala
Bawasda yang setara dengan sekretaris daerah bisa menjadi alternatif.
Kedua, otoritas tupoksi sekadar berupa penyampaian temuan kepada kepala
daerah dengan tidak ada jaminan temuan tersebut akan ditindaklanjuti.
Tentang hal ini dapat disiasati dengan merevisi peraturan daerah yang
berkaitan dengan Bawasda dimana Kepala Bawasda dapat dimintakan
klarifikasi perkembangan temuan secara regular kepada DPRD, tanpa harus
mendapat izin atau persetujuan dari kepala daerah. Ketiga, masalah
kerahasiaan hasil temuan yang kerap menghambat partisipasi kontrol
masyarakat secara aktif. Padahal di beberapa daerah kerahasiaan temuan
sebenarnya sudah banyak yang dipublikasikan. Artinya sifat dari kerahasiaan
itu relatif tidak efektif lagi walau sifanya masih kasuistis. Sebenarnya baik
pemerintah pusat maupun Pemda dapat dengan mudah menyelesaikan
faktor-faktor penghambat itu. Faktor internal dapat dituntaskan misalnya
dengan memberikan dana yang cukup dan capacity building yang relevan
dalam membangun kompetensi, jumlah dan kapabilitas pegawai. Sedangkan
penyelesaian penyebab eksternal yaitu dengan cara memberikan terobosan
hukum dengan merevisi PP No. 8 Tahun 2003 yang memberi tempat yang
lebih independen pada Bawasda. Bila dianalogikan di level pusat mungkin
seperti model KPK.
37. 37
Berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh akan
memposisikan Bawasda sebagai lembaga internal pengawasan yang sangat
strategis sebab dengan status otonomi khusus maka dana APBD NAD yang
harus diawasi menjadi sangat besar yaitu Rp 8 trilyun plus dana
dekonsentrasi/perbantuan. Semakin strategis dan pentingnya Bawasda juga
dengan disinyalirnya kinerja Badan Rekonstruksi rehabilitasi (BRR) Aceh-
Nias sudah tidak efektif dalam membangun NAD pascatsunami. Sehingga
diharapkan secara berangsur mengalihkan kewenangan dan tanggungjawab
pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi NAD ke pemerintah daerah
(Kompas, 16 September 2006, hal 4). Dapat dibayangkan Bawasda akan
benar-benar ketumpuan pekerjaan yang sangat berat yang mungkin sudah
melebihi daya serapnya. Karenanya demi memaksimalkan fungsi
pengawasan Bawasda, gubernur/bupati/walikota terpilih pada pilkada
Desember 2006 harus mengambil langkah-langkah segera dan strategis
dengan menata dan memperkuat Bawasda baik dari sisi keterampilan dan
jumlah pegawainya, meningkatkan profesionalisme pegawai, merevisi atau
menyusun qanun yang lebih memberi ruang independensi Bawasda. Juga
yang harus tidak dilupakan adalah penerapan pola rekrutmen kepala
Bawasda sesuai dengan kompetensi dan pengalaman yang dimiliki. Kalau
perlu melalui mekanisme terbuka (fit and proper test) dan dilakukan oleh
lembaga independen. Sebab bila tidak, korupsi akan berpotensi merusak
perdamaian yang dengan susah payah dibangun oleh semua pihak.
Seiring dengan masalah korupsi ini, capaian pemerintah Aceh dilihat dari
presentase penanganan masih jauh dari sasaran nasional, hal ini disebabkan
masih banyak kasus-kasus korupsi di Aceh yang belum tersentuh hukum.
Demikian juga halnya dengan permasalahan gender, dalam capaian dan
target pemerintah Aceh masih jauh dari capaian nasional, hal ini disebabkan
persoalan gender masih manjadi persoalan utama di Aceh, khususnya
berkenaan dengan penerapan syariat Islam. Banyak aturan yang dikeluarkan
38. 38
masih memelukan pengujian secara hukum dan HAM, karena ada sebagaian
aturn yang bertentangan dengan konsep gender seperti lahirnya Qanun
jinayah dan qanun-qanun dalam penyelenggaraan syariat Islam di Aceh.
Sebagai contoh lahirnya Qanun Jinayah dan keputusan bupati Aceh barat
dalam hal pelarangan penggunaan atau pemakaian celana jean bagi wanita,
ini telah menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat, sehingga konsep
gender ini tidak berjalan dengan baik.
1.3. Analisis Efektivitas
Secara garis besar efektifitas kinerja pembangunan daerah khususnya
berkaitan dengan capaian indikator sebagaimana telah disebutkan di atas,
telah dapat dijalanakan dengan baik, sehingga kinerja pemerintah Aceh
semakin membaik dari tahun ke tahun. Kondisi Aceh yang hancur pasca
musibah tsunami telah menjadi tolok ukur untuk meningkatkan kinerja dari
segala struktur pemerintahan baik pada tingkat provinsi maupun ditingkat
kabupaten/kota.
Lahirnya berbagai pengaturan dan kebijakan baik dalam bentuk regulasi
daerah (Qanun) maupun nasional (UU) yang mendukung arah kebijakan
pemerintah Aceh telah menyebabkan dilakukannya berbagai kebijakan yang
berkaitan dengan pengaturan tersebut. Ditetapkannya Qanun (Perda) dalam
mendukung kinerja pemerintah yang telah dicanangkan pemerintah pusat
seperti Qanun Pelayanan Publik menjadikan Aceh lebih baik dari tahun
ketahun dalam meningkatkan pelayanan dan terciptanya Good Governance
di Aceh. Sejalan dengan ditetapkan Qanun Pelayanan publik, pemerintah
Aceh juga telah melakukan berbagai kegiatan dalam memberikan pelayanan
publik dengan baik melalui penetapan berbagai sistem pelayanan terpadu
(one stop service) pada tingkat provinsi dan juga disetiap daerah
kabupaten/kota. Beberapa daerah kabupaten/kota di Aceh telah merapkan
sistem pelayan terpadu untuk mendukung pelayanan publik yang baik dan
39. 39
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengurus semua
kepentingan di bidang pemerintahan dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan efektivitas kinerkja pemerintah Aceh dalam mendukung
proses partisipasi masyarakat dalam demokrasi dan HAM, melalui sistem
pemilu dan institusi pelaksana pemilu (KIP). Pemerintah Aceh telah
mengalokasikan dana dan fasilitas baik dari sumber pemerintah maupun
donatur-donatur yang mendukung kinerja institusi (KIP) ini. Bahkan dalam
pelaksanaan dilapangan banyak donaturt/sponsor yang mendukung kinerja
KIP ini sehingga memudahkan dalam penataan dan pelayanan kepada
masyarakat, salah satunya adalah adanya sosialisasi yang terus menerus
dan sistematis dilakukan, sehingga masyarakat menjadi perhatian terhadap
penggunaan hak pilihnya. Hal ini kemudian yang menyebabkan Aceh
memperoleh presentase partisipasi pemilih labih baik dari nasional.
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Dari data analisis yang dapat dijelaskan antara lain berkitan dengan
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan demokrasi khususnya keterlibatan
dalam ikut pemilu, untuk presentase nasional 70.20 % maka untuk Aceh
meningkat sampat 75.40 untuk pemilihan anggota legislatif. Selanjutnya
peningkatan terus terjadi dalam pemilihan Presiden dari presentase nasional
71%, maka untuk partisipasi masyarakat di Aceh meningkat menjadi 77,7 %
(sumber data KPU Pusat dan KIP Aceh). Hal ini menunjukkan bahwa betapa
besar partisipasi masyarakat dalam mengikuti pemilu baik dalam pemilihan
anggota legislatif maupun presidfen. Hal ini juga berkaitan langsung dengan
keinginan rakyat Aceh dalam menyongsong perubahan, sehingga dalam
pemilihan anggota legislatif khususnya di aceh partai politik lokal telah
mendominasi hasil pemilihan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa adanya
partisipasi masyarakat Aceh adalah sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi
dan penegakan hak-hak rakyat (HAM).
40. 40
Dalam hal perspektif gender. khususnya di Aceh peran wanita dalam
berbagai kegiatan mulai meningkat dari tahun ke tahun, hanya saja jika
dibandingkan dengan kondisi nasional, konsepsi kesetaraan gender di Aceh
masih rendah, walaupun dalam waktu-waktu tertentu keterlibatan dalam
berpastisipasi sangat tinggi. Misalnya dalam mendukung dan ikut berperan dan
berpartisipasi dalam penyusunan Undang-undang pemerintahan Aceh di tahun
2005-2006. meskipun diosaat itu kondisi Aceh masih dalam masa rekonstruksi
dan rehabilitasi. Hal ini dapat dilihat dari indek presentase antara 20% sampai
dengan 45 %, yang dibandingkan secara nasional berkisar antara 60 % sampai
65,8 %, sehingga keberadaan gender dalam pelaksanaan demokrasi dan
pemenuhan HAM di Aceh masih rendah. Konsekuensi dari masih rendahnya
peran masayarakat khususnya dalam menjalankan peran gender, dikarenakan
masih terdapat aturan-aturan hukum lokal yang dapat membatasi runag gerak
dari kaum wanita khususnya, sehingga peran masyarakat dalam kesetaraan
gender meenjadi lebih rendah. Di samping itu karena konflik yang
berkepanjangan banyak wanita di Aceh yang merasakan bahwa melakukan
pekerjaan diluar rumah merupakan hal yang tabu (dilarang) oleh agama dan adat
yang berlaku, misalnya melakukan pekerjaan sampai malam hari.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas. maka analisis capaian kedepan
yang harus dilakukan antara lain berkaitan dengan arah kebijakan pembangunan
dibidang pemerintahan khususnya pelayanan publik, politik (demokrasi), dan
hukum serta penegakan HAM adalah sebagai berikut :
2.1.2.1. Bidang Pemerintahan dan Pelayanan Publik
a) Menciptakan aparatur pemerintah yang bersih, berwibawa,
professional dan Islami;
b) Menciptakan kinerja aparatur yang baik;
c) Mereview struktur kelembagaan pemerintah daerah sesuai dengan
potensi, kewenangan dan kebutuhan;
d) Pembagian job description yang tepat dan terarah sesuai dengan
kebutuhan;
41. 41
e) Memanfaatkan sarana dan prasarana kerja yang berdaya guna dan
berhasil guna;
f) Melakukan pengaturan yang tegas tentang batas kewenangan antara
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota;
g) Melakukan upaya pro-aktif menfasilitasi penyelesaian masalah tata
ruang dan penataan batas wilayah administrasi bagi kabupaten/kota
pemekaran;
h) Melakukan regulasi tentang pendelegasian kewenangan
bupati/walikota kepada camat, imuem mukim dan geuchik;
i) Melakukan pemetaan dan pemberian nama-nama pulau kecil dan
terluar;
j) Melakukan toponomi pulau-pulau kecil dan terluar;
k) Melakukan penetapan batas wilayah administrasi, titik kordinat, dan
penguasaan wilayah secara ekonomi dan sosial budaya;
l) Melakukan pembenahan struktur kelembagaan diklat;
m) Meningkatkan kapasitas SDM tenaga pengajar diklat;
n) Melakukan penyempurnaan materi dan kurikulum diklat;
o) Merevitalisasi baperjakat dalam penempatan dan penjenjangan karir
aparatur;
p) Meningkatkan kualitas SDM;
q) Memberikan reward and punishment secara tepat dan tegas.
2.1.2.2. Bidang Politik
a) Terjaminnya kesatuan dan persatuan bangsa dalam kerangka NKRI;
b) Melakukan rekruitment kader politik yang bebas, adil dan islami;
c) Membangun wahana politik yang konstruktif melalui partai lokal;
d) Menciptakan keputusan politik yang memihak kepada kepentingan
masyarakat;
e) Melaksanakan pendidikan politik yang sehat;
f) Memberikan penghargaan terhadap perbedaan pendapat dalam
politik;
42. 42
g) Membangun etika politik melalui rasa saling percaya dan menghargai
(sportifitas) di dalam kelompok masyarakat;
h) Merevitalisasi fungsi partai politik;
i) Memberikan motivasi kepada seluruh partai politik.
2.1.2.3. Bidang Hukum dan HAM
a) Melakukan pengkajian yang mendalam terhadap pembangunan
hukum dan HAM di Aceh;
b) Menyusun prioritas, arah, dan orientasi pembangunan hukum Aceh;
c) Melakukan penyusunan Prolega (Program Legislasi Aceh);
d) Mempercepat prakarsa penyusunan materi hukum sesuai dengan
amanah UUPA;
e) Meningkatkan penguatan kapasitas aparat penegak hukum pada
setiap level;
f) Memberikan dukungan sarana dan prasarana hukum;
g) Memberikan bantuan hukum dalam kasus prodeo;
h) Meningkatkan penyuluhan hukum kepada masyarakat;
i) Melakukan sosialisasi pelbagai macam peraturan perundang-
undangan kepada masyarakat;
j) Melakukan pemetaan/inventarisir kebijakan daerah kabupaten/kota
yang bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan
perundang-undangan lebih tinggi;
k) Memberi arahan terhadap kebijakan daerah kabupaten/kota yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan kepentingan lebih tinggi;
l) Meningkatkan kapasitas aparatur Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS);
m) Penyediaan sarana dan prasarana aparatur Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS).
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan
43. 43
Sejalan dengan proses yang telah dilakukan sebagai bagian dari perlayanan
publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (Good
Governance) menuju kepada Pemerintah Yang bersih (Clean Goverment) maka
perlu berbagai penegakan dan kebijakan yang dapat ditempuh. Penegakan dan
kebijakan itu antara lain melalui penegakan hukum yang intensive dan kebijakan
pemerintahan yang berdaya guna dalam melayani mesyarakat.
Fungsi pelayanan publik yang dijalankan oleh aparat pemerintahan adalah suatu
kewajiban moral dalam menjalankan konstitusi negara, sehingga tujuan untuk
memberikan kemudahan kepada masyarakat merupakan hal yang harus
dilakukan. Adanya pelayanan yang cepat dan tepat melalui mekanisme one stop
service (pelayan satu atap) merupakan wujud nyata yang harus dilakukan oleh
pemerintah dalam melayani masyarakatnya. Hal ini dilakukan agar pelayanan
kepada masyarakat tidak terhambat apalagi jika dalam pelayanan itu
memberatkan masyarakat atau menggunakan kewenangan untuk merugikan
masyarakat dan negara dalam bentuk korupsi.
Munculnya kasus-kasus korupsi dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahn serta pelaksanaan demokrasi dan HAM yang tidak memihak kaum
rentan telah menyebabkan berbagai persoalan dalam kehidupan masyarakat.
Termasuk pelaksanaan dalam pemenuhan HAM pada kesetaraan gender, hal ini
menyababkan timbulnya kebijakan yang dapat memunculkan pertentangan dari
aspek hukum dan HAM. Misalnya munculnya kebijakan pada tingkat Pemerintah
kabupaten/kota yang menerapkan hukum syariat dalam menjalankan otonomi
khusus kadang kala berbenturan dengan kebijakan dan hukum nasional dan
Internasional, sehingga muncul berbagai protes dari kaum yang merasa lahirnya
kebijakan itu tidak tepat untuk diterapkan dalam waktu sekarang ini.
Berkenaan dengan penyelesaian kasus korupsi selain meningkatkan proses
penyelidikan hukum, juga meningkatkan kinerja SKPD/Aceh seperti Bawasda
dalam penanganan beberapa kasus yang berkaitan dengan pelayanan publik
44. 44
yang menyebabkan kerugian daerah. Di samping itu kasus-kasus dalam
pelaksanaan demokrasi penyelenggaraan pemilihan umum, baik dalam
pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif sampai pemilihan presiden
dapat dihindari kesalahan yang merugikan masyarakat banyak seperti daftar
pemilihan tetap (DPT) yang bermasalah tidak terulang kembali. Maka persiapan
yang cukup dan pendelegasian wewenang kepada institusi yang ditunjuk
sebagai pelaksana dapat dilakukan lebih cepat dan cukup waktu disertai sumber
dana yang cukup. Institusi pelaksana KPU adalah orang-orang yang profesional
dan mempunyai integritas dan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan konstitusi
negara dengan baik dan konsekuen.
Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, maka dapat diberikan beberapa
rekomendasi kebijakan antara lain :
1. Perlu peningkatan sistem pelayanan terpadu yang lebih menyentuh pada
kepentingan rakyat, termasuk membuka istem pelayanan pada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah seperti di tingkat Kecamatan atau jika
mungkin di tingkat desa (gampoeng).
2. Untuk mencegah timbulnya perbedaan penafsiran dalam penerapan hukum
baik pada peraturan perundang-undangan UUPA dan Perda/Qanun serta
peraturan kebijakan lainnya, pemerintah Aceh wajib konsisten dalam
penggunaan hukum dan aturan yang berlaku, dan hukum itu tidak
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, namun tidak juga melupakan
asas kekhususan yang telah diterimanya dengan segala kewenangan. Hal ini
sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
termasuk mencegah munculnya perdebatan pada sebua peraturan dan
kebijakan, misalnya Qanun jinayah dan kebijakan pelarangan penggunaan
celana jean bagi wanita.
3. Berkaitan dengan kasus-kasus korupsi seharusnya pemerintah Aceh
mendukung sepenuhnya cara-cara yang telah ditempuh pada tingkat
nasional, dan harapan semua kasus korupsi yang telah menjadi target
penyelasaian segera dituntaskan, dan tidak ada salahnya jika kasus itu
45. 45
disampaikan kepada masyarakat secara transparan agar masyarakat tidak
menduga-duga akan kinerja pemerintah Aceh dalam menangani kasus
korupsi, termasuk kasus-kasus yang melibatkan aparat pemerintah itu sendiri
seperti keterlibatan Bupati/Walikota dan lain sebagainya.
4. Berkenaan dengan telah meningkatnya partisipasi masyarakat terhadap
penggunaan hak pilih dalam pemilu, maka pemerintah Aceh diharapkan terus
berupaya untuk mempertahankan kondisi ini, khususnya dengan terus
meningkatkan sosialisasi akan pentingnya hidup berdemokrasi, sehingga
proses perdamaian dan kenyamanan terus terjaga di Aceh.
5. Dalam upaya meningkatkan peran gender di Aceh, pemerintah Aceh sangat
diharapkan untuk dapat menempatkan persoalan gender ini dalam perspektif
tersendiri, dengan tidak mengurangi arti kekhususan dengan penerapan
Syariat Islam serta menghargai unsur-unsur HAM yang universal, sehingga
kalangan minoritas (gender) dapat menjalankan fungsinya dengan baik
termasuk dalam mengakses segala kegiatan yang berkenaan dengan
pelayanan publik dan pemerintah.
46. 46
2. 2. TINGKAT KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA
2.2.1 Indeks Pembangunan Manusia, Pendidikan, Kesehatan dan
Keluarga Berencana
A. Indeks Pembangunan Manusia
Kualitas sumberdaya manusia akan sangat menentukan kualitas
kehidupan dan pembangunan manusia dalam suatu negara dan daerah.
Keberhasilan dalam meningkatkan kualitasnya pada berbagai aspek akan
mempengaruhi sinergi pembangunan dan dapat mempercepat
pembangunan baik pembangunan ekonomi maupun non ekonomi. Hal
tersebut disebabkan oleh besar kecilnya peranan sumberdaya manusia
yang terlibat dalam pembangunan langsung ataupun tidak langsung,
tentunya sangat tergantung pada membaiknya kualitas manusia tersebut.
Untuk melihat kualitas sumberdaya manusia dapat ditunjukkan oleh
perubahan membaiknya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
tersebut terdiri dari berbagai indikator, yaitu Pertama bidang pendidikan
antara lain tingkat partisipasi sekolah, angka putus sekolah, dan angka
melek huruf. Selanjutnya kedua bidang kesehatan yaitu Umur harapan
hidup, Angka kematian bayi, Angka kematian ibu dan lainnya. Ketiga
Keluarga Berencana yaitu angka akseptor KB dan laju pertumbuhan
penduduk alami.
Pembangunan daerah saat ini sejalan dengan pembangunan
nasional, lebih besar perhatiannya pada pembangunan sumberdaya
manusia ditandai dengan meningkatnya dana pembangunan di sektor
pendidikan dan kesehatan mencapai 20 persen dari total anggaran
pembangunan daerah. Pembangunan yang dilakukan diharapkan
memberikan perkembangan dan kemajuan yang berarti di berbagai aspek.
Indeks Pembangunan Manusia ditunjukkan sebagai berikut.
47. 47
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Aceh
mengalami tren positif dan terus mengikuti tren perkembangan Indeks
Pembangunan Nasional bahkan hampir menyamai IPM nasional. IPM
Propinsi Aceh tersebut termasuk dalam kategori menengah ke atas yaitu
antara IPM 66 hingga 80. Perkembangan IPM tersebut menempatkan Aceh
pada urutan ke 17 pada tahun 2007 dari urutan 18 pada tahun 2006
dengan Shortfall sebesar 3,06. Namun pada tahun 2008 IPM Aceh tidak
mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain perkembangan ekonomi daerah pada tahun 2008 tidak menguntungkan
akibat dampak krisis ekonomi global dan inflasi yang relatif tinggi dan
penggunaan anggaran yang relatif rendah.
B. Pendidikan
Sejalan dengan Angka Partisipasi Murni SD/MI yang relatif tinggi
dan sarana prasarana sekolah yang membaik, maka Angka Putus Sekolah
SD/MI mengalami perkembangan yang positif. Hal ini ditunjukkan Angka
Putus Sekolah rata di bawah satu persen yang lebih kecil dari Angka Putus
Sekolah SD/MI Nasional umumnya lebih dari dua persen. Tidak demikian
halnya dengan Angka Putus Sekolah SLTP sederajat di Aceh. Pada
umumnya di atas lima persen, bahkan mencapai 7,57 persen pada tahun
48. 48
2005, meskipun tren perkembangannya positif, sebagaimana ditunjukkan
grafik berikut.
Angka Putus Sekolah SLTP sederajat setiap tahunnya lebih besar
dari angka nasional, terutama pada tahun 2005 akibat tsunami terjadi
perbedaan dengan angka nasional sebesar 5,60 persen, sedangkan tahun
lainnya menunjukkan perbedaan di bawah tiga persen. Angka putus
sekolah SLTP sederajat ini yang relatif tinggi disebabkan di samping
kesadaran masyarakat yang relatif rendah dan akibat keterbatasan
ekonomi khususnya di pedesaan dan jumlah sarana prasarana sekolah
SLTP tidak tersebar sebanyak sekolah SD sederajat.
49. 49
C. Kesehatan
Selain IPM dan pendidikan, kualitas sumberdaya manusia ditentukan
oleh indikator kesehatan. Salah satu indikator kesehatan masyarakat
ditunjukkan oleh tinggi rendahnya usia atau umur harapan hidup rata-rata
penduduk. Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk di Propinsi Aceh
menunjukkan tren yang positif mengikuti trendi nasional, Umur Harapan
Hidup perempuan relatif lebih tinggi dibandingkan laki-laki, pada tahun
2006 dan 2007 Umur Harapan Hidup perempuan 69 tahun sedangkan laki-
laki 67 tahun dan 68 tahun. UHH Aceh dan Nasional ditunjukkan pada
Grafik berikut.
Umur Harapan Hidup penduduk di Propinsi Aceh dapat dikatakan
hampir menyamai Umur Harapan Hidup penduduk secara nasional. Namun
sebenarnya Aceh bisa lebih tinggi dari Nasional, jika anggaran
pembangunan di daerah dapat digunakan secara maksimal, mengingat
dana pembangunan propinsi Aceh sangat signifikan. Selama dua tahun
terakhir jumlah dana pembangunan hanya terserap sekitar……….. persen
Selain UHH kualitas kesehatan SDM diperlihatkan oleh Angka
Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI). AKB di Propinsi Aceh
menunjukkan trendi membaik, namun rata-rata masih di atas AKB nasional
walaupun pada tahun 2007 sama dengan angka nasional, seperti
ditunjukkan pada grafik berikut.
50. 50
Besarnya angka kematian bayi di Aceh terjadi terutama di pedesaan.
Hal ini disebabkan oleh sarana dan prasarana yang masih terbatas seperti
bidan dan dokter di desa. Meskipun semakin banyak tercatat jumlah bidan
kontrak di desa, namun mereka kebanyakan tidak tinggal dan menetap di
desa akibatnya pelayanan tidak maksimal. Di samping itu AKB secara
signifikan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu, terlihat pada tahun
2007 kematian 67 bayi pada ibu yang tidak sekolah, 65 bayi pada ibu yang
tidak tamat SD, 43 bayi pada ibu yang tamat SD, 36 bayi pada ibu tidak
51. 51
tamat SLTP dan 23 bayi meninggal pada ibu yang tamat SLTP. Rendahnya
pendidikan ibu tersebut menyebabkan bayi meninggal dengan berat badan
rendah dan gangguan perinatal dalam kandungan.
Angka Kematian Bayi yang tidak mengalami perubahan yang berarti
diiringi dengan angka gizi kurang dan gizi buruk yang masih relatif tinggi di
berbagai kabupaten kota di Propinsi Aceh. Angka Kematian Ibu pada
tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 200 orang dan 209 orang
jumlahnya lebih baik dari angka nasional. Sebesar 255 orang dan 228
orang. Angka Gizi Kurang (AGK) dan Angka Gizi Buruk (AGB) di Propinsi
Aceh pada tahun 2007 Aceh masih cukup besar. AGK mencapai jumlah
20719 jiwa dan AGB sebanyak 3969 jiwa yang tersebar di 23 kabupaten
kota seperti tergambar pada grafik berikut.
Angka Gizi Kurang dan Angka Gizi Buruk yang masih tinggi
digambarkan di atas di sebabkan oleh beberapa hal, antara lain tingkat
pendidikan dan tingkat pendapatan keluarga yang relatif rendah. Di
samping itu pelayanan publik di bidang kesehatan yang relatif buruk antara
lain banyak bidan yang enggan tinggal di desa meskipun sudah terikat
kontrak kerja dengan Depkes, sehingga kegiatan penyuluhan kesehatan
52. 52
bayi melalui posyandu tidak bekerja dengan baik. Di samping itu serapan
dana pembangunan selama tiga tahun terakhir termasuk tahun 2009 relatif
rendah, hingga saat ini Dana Pembangunan APBA tahun 2009 baru
terserap sekitar 40 persen. Faktor lain juga terlihat pada Dana Otsus 2008
yang banyak diperuntukkan bagi peningkatan pendidikan dan kesehatan
masih banyak dipertanyakan oleh kabupaten n kota dan Dana Otsus tahun
2009 hingga saat ini baru terealisasi sekitar 20-25 persen.
D. Keluarga Berencana
Permasalahan kualitas SDM sangat erat kaitannya dengan jumlah
penduduk. Semakin besar jumlah penduduk semakin besar kebutuhan
sejumlah sarana prasarana dasar yang dibutuhkan seperti sarana
kesehatan dan pendidikan. Untuk mengatur pertumbuhan penduduk alami
berbagai upaya telah dilakukan antara lain Program Keluarga Berencana
dengan memfasilitasi masyarakat kurang mampu membeli alat kontrasepsi,
dan penyuluhan-penyuluhan penting KB dan keluarga kecil sejahtera.
Angka Peserta Keluarga Berencana di Provinsi Aceh relatif
Masih rendah seperti terlihat pada grafik berikut.
Peserta Keluarga Berencana Provinsi Aceh relatif rendah sekitar 43
persen dibandingkan angka peserta KB nasional rata-rata sekitar 56 persen
53. 53
dari seluruh pasangan usia subur yang ada. Rendahnya angka tersebut
terutama disebabkan rendah pengetahuan masyarakat pentingnya KB dan
pelayanan publik yang relatif kurang serta serapan dana pembangunan
yang masih rendah. Angka peserta KB tersebut berimplikasi kepada
tingkat pertumbuhan penduduk alami yang terjadi di daerah. Pertumbuhan
penduduk Aceh secara umum masih di bawah trendi pertumbuhan
penduduk nasional, terlihat pada grafik berikut.
Pertumbuhan penduduk Aceh tahun 2004 dan 2005 sangat rendah
akibat dampak tsunami yang menelankan lebih dari 200 ribu orang dan
menyebabkan berkurangnya pasangan usia subur yang relatif besar,
sehingga laju pertumbuhan penduduk hanya 0,56 persen tahun 2004 dan
0,20 persen pada tahun 2005. Pada tahun 2006 pertumbuhan penduduk
kembali di atas satu persen, karena kondisi Aceh sudah mulai pulih
dengan berjalannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan rakyat
yang hancur akibat tsunami, sedangkan angka peserta KB tidak signifikan
mempengaruhi pertumbuhan penduduk pada kondisi tersebut.
54. 54
2.2.2 Indikator Yang Menonjol di Bidang Pendidikan
A. Tingkat Partisipasi Murni Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidayah
(SD/MI)
Meskipun indikator lain tidak mengalami perkembangan yang berarti
dibandingkan nasional, tidak demikian dengan Angka Partisipasi Murni
(APM) pada tingkat pendidikan SD/MI. APM pada sekolah SD/MI di Aceh
menunjukkan trendi perkembangan yang positif, umumnya di atas 95
persen lebih besar dari angka nasional dengan rata-rata di bawah 95
persen. Tingkat kesadaran yang tinggi dari masyarakat berperan penting
dalam mewujudkan APM (SD/MI) tersebut, di samping itu fasilitas sekolah
SD sederajat di Aceh terus membaik, terutama akibat Rehabilitasi dan
Rekonstruksi sarana prasarana sekolah dasar dan sederajat setelah
tsunami tahun 2004 dan membaiknya keamanan setelah MoU Helsinki
pada tahun 2005.
Angka Partisipasi Murni pada tingkat SD dan MI angka yang relatif
tinggi dan mengalami trendi positif. Hal tersebut menunjukkan kesadaran
yang tinggi dari masyarakat untuk mendidik anak-anak usia dini pada
pendidikan formal hingga di daerah perdesaan. Keadaan ini juga didukung
oleh penyediaan sarana prasarana Sekolah Dasar dan Sederajat pasca