SlideShare uma empresa Scribd logo
1 de 4
Baixar para ler offline
Edisi Maret - 2014 |1
KOMUNIKASI
Sedikitnya  90  negara,  termasuk
Indonesia,  kini  telah  memiliki
undang-undang yang mengizinkan
rakyatnya  memperoleh  dokumen-
dokumen pemerintah dan informasi
penting  lainnya  dari  badan-badan
publik. Meski begitu, akses kepada
informasi masih menjadi persoalan.
Dalam praktiknya, undang-undang
kebebasan informasi ternyata tidak
menjamin  akses  yang  mulus.
Apakah artinya memiliki ‘hak untuk
memperoleh informasi’?  Mengapa
ini penting? Apakah dampaknya?
Hak  atas  informasi,  termasuk  hak
untuk  mengakses  informasi  yang
diselenggarakan oleh badan-badan
publik,  penting  bagi  demokrasi,
pemerintahan yang bersih dan baik
dan  transparansi.  Hak  atas
informasi  telah  dianggap  sebagai
hak  manusia  yang  asasi,  yang
dilindungi oleh hukum internasional
dan di banyak negara dijamin oleh
hukum  konstitusional.  Secara
juridis,  Indonesia  menjamin  hak
untuk  memperoleh  informasi
terutama  dalam  UU  Kebebasan
Informasi  Publik  (UU  KIP),    UU
Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE), dan UU Kearsipan. Dalam
penjelasan tentang UU Kebebasan
Informasi  Publik  (UU  14/2008),
Depkominfo  RI  mengatakan,
“Transparansi atas setiap informasi
publik membuat masyarakat dapat
ikut  berpartisipasi  aktif  dalam
mengontrol  setiap  langkah  dan
kebijakan  yang  diambil  oleh
pemerintah.  Sehingga  penyeleng-
garaan  kekuasaan  dalam  negara
demokrasi  dapat  dipertanggung-
jawabkan  kembali  kepada  rakyat.
Akuntabilitas  membawa  ke  tata
pemerintahan  yang  baik,  yang
bermuara  pada  jaminan  hak asasi
manusia.”
Dengan  demikian,  pemerintah  RI
mengakui  hak  untuk  memperoleh
informasi sebagai  bagian dari hak
asasi manusia. Hak ini penting bagi
demokrasi, partisipasi publik dalam
pemilu  dan  proses  pengambilan
keputusan,  pertanggungjawaban
publik,  dan  pengawasan  terhadap
korupsi  serta  penyalahgunaan
kekuasaan.  Menolak  hak  rakyat
untuk  memperoleh  informasi  dan
menghalangi  transparansi  badan-
badan  publik  merupakan  tindakan
yang  tidak  demokratis.  Dalam
penjelasan Depkominfo tentang UU
KIP  dikatakan,  “Regulasi  keter-
bukaan informasi publik merupakan
fondasi  dalam  pembangun  tata
pemerintahan  yang  baik  (good
governance).  Pemerintahan  yang
transparan,  terbuka  dan  partisi-
patoris  dalam  seluruh  proses
pengelolaan kenegaraan, termasuk
seluruh proses pengelolaan sumber
daya  publik  sejak  dari  proses
pengambilan  keputusan,  pelaksa-
naan  serta  evaluasinya…….  UU
Keterbukaan  Informasi  Publik
adalah salah satu wujud kontrit dari
proses demokratisasi di Indonesia.”
Hak  kebebasan  memperoleh
informasi    bersumber  dari  kebe-
basan berekspresi, yang mencakup
hak untuk mencari, menerima   dan
menyebarluaskan  informasi  serta
gagasan-gagasan  (pasal  28F  UUD
45). Karena itu, hak untuk mempe-
roleh informasi pada dasarnya tak
dapat  dilepaskan  dari  kebebasan
pers.  Secara  umum    ini  juga
berarti  bahwa  demokrasi  dan
perlindungan HAM takkan berfungsi
tanpa  kebebasan  informasi.
Sebaliknya,  kebebasan  informasi
hanya  bisa  berjalan  efektif  jika
dijamin oleh hukum, dan jika cara-
cara  menjalankannya  dipaparkan
dengan  jelas  dalam  legislasi  dan
mengikat  rumusan-rumusan
kebijakan.
Dampak Positif
Era  teknologi  digital    membuat
segenap  pelosok  dunia  sebagai
ruang terbuka yang dapat diakses
oleh siapa pun. Dunia kini merupa-
kan  sebuah  galaksi  yang  saling
terhubung  bagi  proses  arus
informasi  dan  komunikasi.
Pemerintah  mengakui  bahwa
keterbukaan  informasi  berdampak
positif  tak  hanya  bagi  proses
demokratisasi  dan  pemerintahan
yang  baik,  tetapi  juga  pemberan-
tasan korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan.  Dikatakan,  selain
penting  bagi  terciptanya  pemerin-
tahan yang baik serta transparansi
dan  akuntabilitas,  dampak  positif
UU  KIP  antara  lain  percepatan
pemberantasan  KKN,  optimalisasi
hak-hak  masyarakat  terhadap
pelayanan  publik,  dan  percepatan
demokratisasi.  Dalam  UU  KIP,
informasi  publik  digolongkan  ke
dalam  5  (lima)  klasifikasi:
(1)Informasi yang wajib
disediakan dan diumumkan
secara berkala; (2)Informasi
yang wajib diumumkan secara
serta merta; (3)Informasi
yang tersedia setiap saat;
(4)Informasi yang dikecua-
likan; (5)Informasi yang di-
peroleh berdasarkan permin-
taan. Nah,  rakyat  Indonesia  kini
bisa  meminta  informasi  kepada
badan-badan  publik,  misalnya
pajak, sebagai upaya pemantauan
(watch  dog),  pemberantasan
korupsi  dan  transparansi.  Peran
media  massa,  pun  media
komunitas, adalah  sebagai “watch
dog”, serta  ikut memperluas arus
informasi bebas bagi publik.
HAK ATAS INFORMASI
oleh: Rainy MP Hutabarat
Undang-undang Kebebasan
InformasiPublik
(dari berbagai sumber)
2  | Edisi Maret - 2014
KOMUNIKASI
Menurut Daniel Hallin keberadaan
informasi media massa ditempat-
kan  pada  tiga  bidang  atau  peta
ideologi. Pertama, bidang penyim-
pangan  (sphere  of  deviance);
kedua, bidang kontroversi (sphere
of  legitimate  controversy),  dan
ketiga, bidang konsensus. Dengan
kata  lain,    jika  berbicara  media
maka tidak lepas dari mereka yang
bekerja di balik dapur media, yakni
jurnalis, penjaga news room dan
pemilik media – mereka yang  akan
membingkai  suatu  peristiwa,
perilaku  atau  gagasan,  sesuai
dengan wilayah atau peta ideologi
yang  diyakininya,  yakni  penyim-
pangan kontroversi atau konsenus.
Pertanyaannya adalah, bagaimana
media  membingkai  peristiwa,
perilaku  atau  gagasan  yang
mengandung unsur SARA?
Seiring  dengan  semakin  terbu-
kanya  ruang  kebebasan  bereks-
presi, tahun-tahun belakangan ini
mulai  berkecambah  jurnalisme
intoleransi yang dipraktikkan oleh
beberapa  media  arus  utama,
terlebih media daring dan media
sosial baru. Tentu saja ini bukan
kabar baik, melainkan kabar buruk,
terlebih bagi para pewarta kabar
baik  yang  harus  bekerja  ekstra
keras “membasuh dan membilas”
virus-virus intoleransi tersebut.
Beberapa  contoh  jurnalisme
intoleransi yang terjadi di Sumatra
Utara: Pada Juli 2006, saat isteri
Gubernur Sumatra Utara, Ny. Vera
Rudolf  Pardede  member  paket
bantuan  peralatan  ke  sekolah-
sekolah Islam, terjadi demonstrasi.
Beberapa surat kabar mengkons-
truksi peristiwa itu sebagai bentuk
“permurtadan  berkedok  bantuan
sosial”,  “tindakan  Yahudi  dan
Kristenisasi”,  “penyusupan  ke
sekolah  Islam”,  “menyakiti  umat
Islam”,  “memojokkan  Islam”,
“menghina Islam”, dan “menodai
umat Islam”.
Dengan  kata  lain,  pemberian
bantuan  dianggap  upaya
kristenisasi dan  mencederai umat
Islam.
Contoh kutipan teks sebuah berita:
“Komponen  Islam  mengklaim
tindakan  Yahudi  dan  Kristenisasi
harus disikapi dan dipertanggung-
jawabkan secara hukum dan minta
maaf dalam tempo 7 x 24 jam. Bila
hal ini tidak dilakukan maka jangan
salahkan  umat Islam  melakukan
upaya  tindakan  jihad  fisabillah
meraih  hak  menghancurkan
kebatilan. Dengan kata lain Sumut
akan berdarah.”
Ketika terjadi demonstrasi massa
pendukung pembentukan Provinsi
Tapanuli  tahun  2009  yang
mengakibatkan  meninggalnya
Ketua DPRD Sumut, pemberitaan
beberapa  suratkabar  dengan
stigmatisasi dan pengerasan fakta
(disfemisme). Ada surat kabar yang
menyebut  peristiwa  itu  sebagai
“tindakan biadab ala komunis gaya
baru”,  “teroris  lokal  yang
mengobok-obok demokrasi”, atau
memberi  stigma  kepada  para
demonstran sebagai “bandit-bandit
Protap”. Sebuah harian menuliskan,
“Pembunuhan  itu  dilakukan  oleh
bandit-bandit panitia Protap dan
perilaku  mereka  mirip  PKI,
membunuh putra Muslim sebagai
putra  terbaik  Sumut.”  “Tindakan
massa  Protap  sangat  tidak
manusiawi, lebih hina dari perilaku
binatang.”
Pada  Pilkada  Medan,  Juni  010,
Sofyan Tan oleh sejumlah media
cetak,  distigma  sebagai  “bukan
pribumi”,  “keturunan  asing  yang
mau menjajah dan menjual kota
Medan”,  “hendak  adakan
Chinatown Medan”, “kafir”, “calon
yang tidak seiman/seakidah dengan
mayoritas  warga  Medan”,  dan
stigma rasial lainnya.
Pada  Mei  2011,  terjadi  kasus
perubuhan masjid Al-Ikhlas di Jalan
Timor  oleh  sekelompok  orang.
Perubuhan itu menuai protes dari
umat  Islam  di  Medan.  Sebuah
suratkabar  menggambarkan
peristiwa itu sebagai “penzaliman
terhadap  umat  Islam oleh  pihak
Kodam  I/BB”.  Sedangkan
suratkabar  yang  lebih  netral
menggambarkan  kasus  tersebut
sebagai “pelanggaran hukum yang
dilakukan  oleh  Kodam  I/BB  dan
Pengembang.”
Contoh-contoh  di  atas  banyak
ditemukan  di  media arus utama.
Di media sosial lebih hebat lagi,
lebih parah. Pekerja  gereja seperti
diakones, pendeta, penatua atau
yang  lain,  harus  mengetahui
bagaimana melakukan pewartaan
yang damai.
JurnalismeBerperspektifDamai
Penting
Ketika  anda  sedang  bertugas
meliput, tinggalkan agama anda di
rumah. Inilah dalil bagi wartawan.
Wartawan  tidak  boleh  memihak
atau  mengungkapkan  dukungan
maupun prasangka mereka kepada
salah  satu  pihak.  Lebih  dari  itu
wartawan  harus  menerapkan
jurnalisme  damai.  Tak  seperti
disalahpahami banyak  orang,
menerapkan jurnalisme damai tak
berarti  fakta konflik diabaikan, atau
tidak  diberitakan.  Konflik  tetap
diberitakan.  Tapi  wartawan  atau
media  tak  bisa  mengenakan
kacamata kuda. Mereka tak boleh
berpikir  hitam  putih,  seolah
penyelesaian konflik hanya kalah-
menang. Orientasi utama liputan
berperspektif  damai  diarahkan
kepada  penyelesaian  konflik.
Tuntutan  seperti  ini  membuat
wartawan harus berhati-hati ketika
merekonstruksi  pernyataan
narasumber. Terutama pada tahap
penulisan  berita.  Pernyataan
ekstrim,  bernuansa  prasangka,
kebencian, rasis, SARA, sebaiknya
dihindari.  Campur  tangan
wartawan  harus  mendukung
terciptanya perdamaian.
Mewaspadai Kabar-kabar Kebencian
Oleh J. Anto
Edisi Maret - 2014 |3
KOMUNIKASI
MENGENAL RADIO
Sumber:
Dompet Dhuafa, Radio Based Disaster
Risk Reduction, Jakarta, Dompet
Dhuafa, Agustus   2013.
Metode  pengiriman  sinyal  radio
dikenal  dengan  sebutan  AM
(modulasi amplitudo) dan modulasi
frekuensi  (FM).  Karena  itu  kita
mengenal sebutan radio AM dan
radio  FM.  Keduanya  merupakan
sinyal  radio  analog.  Seiring
perkembangan  teknologi,  kini
dikenal  wahana  komunikasi
berbasis digital yang mendorong
kepada  digitalisasi  media,  radio
digital  seperti  internet  yang
mengubah  secara  drastic  cara
pengiriman sinyal radio (transmisi
yang  menjangkau  publik
pendengarnya jauh lebih luas dan
efekltif.
Gelombang  radio  adalah  satu
bentuk radiasi    elektromagnetik,
tertbentuik ketika obyek bermuatan
listrik  dimodulasi  (dinaikkan
frekuensinya) pada frekuensi yang
terdapat  dalam  frekuensi
gelombang radio (RF) dalam suatu
spektrum elektromagnetik.
UU  No.  32  Tahun  2002  tentang
Penyiaran menyatakan, frekuensi
radio  merupakan  gelombang
elektromagnetik yang dipergunakan
untuk penyiaran dan merambat di
udara serta ruang angkasa anpa
sarana  penghantar  buatan,
merupakan  ranah  publik  dan
sumber  daya  alam  terbatas.
Seperrti spectrum elektromagnetik
yang  lain,  gelombang  radio
merambat  dengan  kecepatan
300.000 kilometer per detik. Perlu
diperhatikan,  gelombang  radio
berbeda  dengan gelombang audio.
Gelombang radio merambat pada
frekuensi  100.000  Hz  -
100.000.000.000  Hz  sementara
gelombang audio merambat pada
frekuensi 20 Hz – 20.000 Hz.
Radio AM
Bekerja  dengan  prinsip
memodulasi gelombang radio dan
gelombang  audio.  Kedua
kelombang ini sama-sama memiliki
amplitude  yang  konstan.  Keter-
batasan teknologi AM, khususnya
menyangkut  kualitas suara  yang
dihasilkan,  membuat  radio  AM
kurang populer.
RadioFM
Bekerja  dengan  prinsip  serupa
dengan  AM,  yaitu  dengan
memodulasikan gelombang radio
(pengantar)  dengan  gelombang
audio.  Proses  modulasi  ini
menyebabkan  perubahan  pada
frekuensi.
Radio Internet
Radio internet (dikenal dengan web
radio,  radio  streaming,  dan  e-
radio)  bekerja  dengan  cara
mentransmisikan gelombang suara
lewat  internet.  Prinsip  kerjanya
hampir  sama  dengan  radio
konvensional yang mempekerjakan
gelombang pendek (shot wave),
yaitu  dengan  menggunakan
medium  streaming  berupa
gelombang kontinyu. Sistem kerja
ini  memungkinkan  siaran  radio
terdengar ke seluruh dunia asalkan
pendengar memiliki perangkat yang
mampu  terhubung  ke  jejaring
internet. Di  Indonesia  umumnya
radio internet tetap dikolaborasikan
dengan sistem radio analog oleh
stasiun  radio  teresterial  untuk
memperluas jangkauan siarannya.
Radio Satelit
Radio  satelit  mentransmisikan
gelombang  audio  dengan
menggunakan  sinyal  digital.
Berbeda dengan sinyal analog yang
menggunakan gelombang kontinyu,
gelombang  suara  ditransmisikan
melalui sinyal digital yang terdiri
atas  kode  0  dan  1.  Sinyal  ini
ditransmisikan  ke  daerah  jang-
kauan yang jauh lebih luas karena
menggunakan satelit. Siaran radio
dapat  diterima  oleh  perangkat
khusus yang bisa menerjemahkan
sinyal  terinskripsi.  Siaran  radio
satelit juga hanya bisa diterima di
tempat terbuka di mana antenna
pada pesawat radio memiliki garis
pandang dengan satelit pemancar.
Radio satelitn hanya bisa bekerja
di  lokasi  yang  tak  memiliki
penghalang besar terkirimnya sinyal
seperti  pada  terowongan  atau
gedung.
Radio Digital Berdefinisi Tinggi
(Radio HD)
Radio  digital  ini  bekerja  dengan
menggabungkan sistem analog dan
digital  sekaliogus,  sehingga
memungkinkan dua stasiun digital
dan analog berbagi frekuensi sama.
Efisiensi ini membuat banyak konten
bisa  disiarkan  pada  posisi  yang
sama.  Kualitas  suara  yang
dihasilkan radio HD sama jernihnya
dengan radio satelit.
4  | Edisi Maret - 2014
KOMUNIKASI
Peliputan Video Dokumenter di Dairi
Mewariskan Mata air Kehidupan
Pada  10-12  Desember  2013,
YAKOMA  PGI  meliput  video
dokumenter  bersama  PDPK
(Persekutuan  Diakonia  Pelangi
Kasih)  -  Parongil. Isu  utama
.peliputan  adalah  kerisauan
sebagian warga masyarakat di Kab.
Dairi,  khususnya  Parongil  dan
sekitarnya, sejak hadirnya PT. Dairi
Prima  Mineral  (PT  DPM),
perusahaan  yang  akan  menjalan-
kan  industri  pertambangan.
Menurut  catatan,  PT.  DPM  sampai
saat ini telah memiliki Izin Pinjam
Pakai  Kawasan  Hutan  Lindung  di
Kab.  Dairi  seluas  53,11  ha.  untuk
kegiatan  penambangan  bawah
tanah  dan  pembangunan  sarana
penunjangnya.  Izin  tersebut
dikeluarkan  melalui  SK  Menteri
Kehutanan No. 387/Menhut II/2012.
Sejumlah  kelompok  masyarakat
risau  karena  kehadiran  tambang
dapat  menimbulkan  pencemaran
lingkungan,  terutama  tanah  dan
sumber  air.  Selain  risiko  pence-
maran,  juga muncul  kekhawatiran
bahwa  industri  tambang  akan
menguras  air dalam jumlah besar
sehingga kebutuhan penduduk sulit
terpenuhi di kemudian hari. Dalam
sebuah  wawancara  video,
kekhawatiran  ini  terekam  dari
pernyataan Penatua (Pnt.)  Saudur
br.  Sitorus,  bahwa  mereka  ingin
mewariskan  mata  air  kehidupan
kepada generasi penerus, bukan air
mata.
Sikap  lain  yang  terekam  dalam
peliputan  video  ini   adalah,
pernyataan  Pnt.  Saut  Sitorus
tentang  kegigihan  masyarakat
untuk mempertahankan tanah serta
lahan  mereka  dengan  tidak
melepaskannya kepada perusahaan
tambang,  berapapun  harga  yang
ditawarkan.  Ini  didasarkan
kesadaran  bahwa  budaya  secara
turun-temurun telah menempatkan
tanah  sebagai  “ibu  kandung”,
bahkan  sesuatu yang kudus sebab
tanah  dan  lahan    telah  memberi
kehidupan  bagi  penduduk.
Kesadaran tersebut berkembang ke
kesadaran  berikutnya:  dengan
mengelola tanah, kehidupan dapat
terus  berkelanjutan  sampai  ke
generasi penerus. Bila  tanah dijual,
besar  risiko  uang  hasil  penjualan
akan lenyap tak bersisa, tanpa ada
yang  dapat  diwariskan  kepada
anak-cucu. Kesadaran  ini    terba-
ngun berdasarkan kenyataan yang
sudah  terjadi  pada  beberapa
penduduk    desa,  yang    awalnya
menjual tanah kepada perusahaan
tambang,  namun    akhirnya  tidak
memiliki  apa  pun  saat  uang  hasil
penjualan  habis  dikonsumsi.
Dalam  budaya  dan  tradisinya,
kehidupan  masyarakat  selama  ini
berbasis  pada  sistem  agraris,  di
mana seluruh sikap, pengetahuan,
keterampilan dan budaya  dicurah-
kan  untuk  pengelolaan  tanah  dan
lahan. Akan menjadi masalah besar
bila  mereka  tiba-tiba  melepaskan
tanahnya, walaupun diganti dengan
sejumlah  uang.  Persoalan    besar
muncul  sebab  tanpa    sikap,
pengetahuan,  keterampilan  serta
budaya  pengelolaan  uang, hasil
penjualan  tanah  tersebut  berapa
pun  jumlahnya  akan  habis  tak
bersisa.  Akibatnya  adalah  proses
pemiskinan penduduk karena: tidak
memiliki alat produksi lagi.
Salah  satu  argumen  perusahaan
tambang  untuk  membenarkan
kehadiran  mereka    adalah,
kehadiran  industri  tambang  akan
menyediakan  lapangan  kerja  bagi
penduduk  desa.  Ada  ironi  dalam
argumen  ini,  ketika  staf  dari  PT.
DPM,  Osdiman  Siagian,  mengakui
bahwa  mayoritas  penduduk  di
sekitar    pertambangan  hanya
bekerja  sebagai  buruh  kasar  atau
buruh  rendah  karena    pendidikan
dan  keterampilan mereka  minim.
Staf PDPK Parongil, Debby Manalu,
selaku  pendamping  masyarakat
dalam  menghadapi  isu  ini,
menyayangkan  pernyataan  terse-
but.  Klaim  menyediakan  lapangan
kerja  seolah  identik  anggapan
bahwa    menjadi  petani  yang
mengelola  lahan  dengan  tekun
bukanlah    pekerjaan.  Padahal
profesi  petani  hakikatnya  adalah
pekerjaan  yang  mulia  karena
berperan  dalam  memelihara
keberlangsungan hidup di bumi.
Pemberian lapangan kerja sebagai
buruh  kasar  pertambangan  pun
dapat membuka  celah kemiskinan
baru,  yaitu  ketika  masyarakat
sebagai  buruh  rendah  dan  buruh
kasar  menerima  upah  murah  dan
harus  mencukupkan  seluruh
kebutuhan hidupnya dengan hanya
bergantung  pada  upah  tersebut,
karena kebutuhan-kebutuhan yang
selama  ini  tercukupi  dari
pengelolaan tanah dan lahan tidak
dapat  lagi  terpenuhi    sejak
masyarakat  beralih  profesi.
Pdt.  Gomar  Gultom,  Sekum    PGI,
menyatakan  gereja  harus  terus
memberikan  perhatian      terhadap
isu-isu  lingkungan. Untuk  ini   dua
indikator  utama  yang  dapat
menjadi  dasar  Gereja  untuk
menolak  aktivitas  pembangunan
adalah:  a) aktivitas tersebut hanya
menguntungkan sekelompok orang,
bukan masyarakat keseluruhan;  b)
bila  pembangunan    tidak  mem-
perhatikan  kepentingan  jangka
panjang  dengan  tindakan  yang
merusak alam. Terkait imbauan ini,
Sarah Naibaho, staf PDPK Parongil,
mengungkapkan bahwa di sebuah
desa  dekat  lokasi  pertambangan,
ada  HKBP  Sopokomil  yang    akan
melakukan  kesepakatan  tukar-
guling dengan PT. DPM, agar lokasi
gereja  tersebut  dapat  digunakan
sebagai lahan pembuangan limbah
tambang  (tailing).  Sebagai  gan-
tinya,  perusahaan  akan  menye-
diakan lahan baru dengan berbagai
fasilitas  bagi  pihak  gereja.   PDPK
Parongil  terus  coba  membangun
kesadaran  di    masyarakat  bahwa
ini  bukanlah  permasalahan  tukar-
guling,  ganti  rugi  atau  pemberian
lahan  dan  fasilitas  bagi  gereja,
melainkan  prinsip  bahwa  bila
gereja  mau  berkompromi  dan
menyerahkan  dirinya  kepada
perusahaan  yang  berpotensi
merusak  lingkungan,  itu  artinya
gereja gagal menjalankan tugasnya
untuk  menjaga  keutuhan  ciptaan
Tuhan.
Di  akhir  liputan,  disadari  bersama
bahwa  pembangunan  ekonomi
memang dibutuhkan, namun setiap
proses  dan  keputusan  pemba-
ngunan  harus  selalu  berdasarkan
konteks  masyarakat    saat  ini.
Konteks  saat  ini  adalah,
masyarakat  serta  daerah  Parongil
merupakan  entitas  kehidupan
berbasis  pertanian,  perkebunan
dan peternakan, sebagai “mata air”
kehidupan  mereka.  Seluruh  basis
kehidupan  tersebut  sangat
bergantung pada kelestarian  alam
dan  daya  dukung  lingkungan.
(Prana  Sunaryo)

Mais conteúdo relacionado

Mais de Dodiek Wilakore

1 psikologi pendidikan anak
1 psikologi pendidikan anak1 psikologi pendidikan anak
1 psikologi pendidikan anakDodiek Wilakore
 
Mengelola mediacetakfinal
Mengelola mediacetakfinalMengelola mediacetakfinal
Mengelola mediacetakfinalDodiek Wilakore
 
Modul pelatihan teater 04
Modul pelatihan teater 04Modul pelatihan teater 04
Modul pelatihan teater 04Dodiek Wilakore
 
Mengelola radio komunitas rh02 - copy
Mengelola radio komunitas   rh02 - copyMengelola radio komunitas   rh02 - copy
Mengelola radio komunitas rh02 - copyDodiek Wilakore
 
Opera batak (presentasi untuk yakoma)
Opera batak (presentasi untuk yakoma)Opera batak (presentasi untuk yakoma)
Opera batak (presentasi untuk yakoma)Dodiek Wilakore
 

Mais de Dodiek Wilakore (7)

3 komunikasi
3 komunikasi3 komunikasi
3 komunikasi
 
1 psikologi pendidikan anak
1 psikologi pendidikan anak1 psikologi pendidikan anak
1 psikologi pendidikan anak
 
Mengelola mediacetakfinal
Mengelola mediacetakfinalMengelola mediacetakfinal
Mengelola mediacetakfinal
 
Modul pelatihan teater 04
Modul pelatihan teater 04Modul pelatihan teater 04
Modul pelatihan teater 04
 
Mengelola radio komunitas rh02 - copy
Mengelola radio komunitas   rh02 - copyMengelola radio komunitas   rh02 - copy
Mengelola radio komunitas rh02 - copy
 
E book yakoma
E book yakomaE book yakoma
E book yakoma
 
Opera batak (presentasi untuk yakoma)
Opera batak (presentasi untuk yakoma)Opera batak (presentasi untuk yakoma)
Opera batak (presentasi untuk yakoma)
 

20140326 komunikas yakoma finali

  • 1. Edisi Maret - 2014 |1 KOMUNIKASI Sedikitnya  90  negara,  termasuk Indonesia,  kini  telah  memiliki undang-undang yang mengizinkan rakyatnya  memperoleh  dokumen- dokumen pemerintah dan informasi penting  lainnya  dari  badan-badan publik. Meski begitu, akses kepada informasi masih menjadi persoalan. Dalam praktiknya, undang-undang kebebasan informasi ternyata tidak menjamin  akses  yang  mulus. Apakah artinya memiliki ‘hak untuk memperoleh informasi’?  Mengapa ini penting? Apakah dampaknya? Hak  atas  informasi,  termasuk  hak untuk  mengakses  informasi  yang diselenggarakan oleh badan-badan publik,  penting  bagi  demokrasi, pemerintahan yang bersih dan baik dan  transparansi.  Hak  atas informasi  telah  dianggap  sebagai hak  manusia  yang  asasi,  yang dilindungi oleh hukum internasional dan di banyak negara dijamin oleh hukum  konstitusional.  Secara juridis,  Indonesia  menjamin  hak untuk  memperoleh  informasi terutama  dalam  UU  Kebebasan Informasi  Publik  (UU  KIP),    UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan UU Kearsipan. Dalam penjelasan tentang UU Kebebasan Informasi  Publik  (UU  14/2008), Depkominfo  RI  mengatakan, “Transparansi atas setiap informasi publik membuat masyarakat dapat ikut  berpartisipasi  aktif  dalam mengontrol  setiap  langkah  dan kebijakan  yang  diambil  oleh pemerintah.  Sehingga  penyeleng- garaan  kekuasaan  dalam  negara demokrasi  dapat  dipertanggung- jawabkan  kembali  kepada  rakyat. Akuntabilitas  membawa  ke  tata pemerintahan  yang  baik,  yang bermuara  pada  jaminan  hak asasi manusia.” Dengan  demikian,  pemerintah  RI mengakui  hak  untuk  memperoleh informasi sebagai  bagian dari hak asasi manusia. Hak ini penting bagi demokrasi, partisipasi publik dalam pemilu  dan  proses  pengambilan keputusan,  pertanggungjawaban publik,  dan  pengawasan  terhadap korupsi  serta  penyalahgunaan kekuasaan.  Menolak  hak  rakyat untuk  memperoleh  informasi  dan menghalangi  transparansi  badan- badan  publik  merupakan  tindakan yang  tidak  demokratis.  Dalam penjelasan Depkominfo tentang UU KIP  dikatakan,  “Regulasi  keter- bukaan informasi publik merupakan fondasi  dalam  pembangun  tata pemerintahan  yang  baik  (good governance).  Pemerintahan  yang transparan,  terbuka  dan  partisi- patoris  dalam  seluruh  proses pengelolaan kenegaraan, termasuk seluruh proses pengelolaan sumber daya  publik  sejak  dari  proses pengambilan  keputusan,  pelaksa- naan  serta  evaluasinya…….  UU Keterbukaan  Informasi  Publik adalah salah satu wujud kontrit dari proses demokratisasi di Indonesia.” Hak  kebebasan  memperoleh informasi    bersumber  dari  kebe- basan berekspresi, yang mencakup hak untuk mencari, menerima   dan menyebarluaskan  informasi  serta gagasan-gagasan  (pasal  28F  UUD 45). Karena itu, hak untuk mempe- roleh informasi pada dasarnya tak dapat  dilepaskan  dari  kebebasan pers.  Secara  umum    ini  juga berarti  bahwa  demokrasi  dan perlindungan HAM takkan berfungsi tanpa  kebebasan  informasi. Sebaliknya,  kebebasan  informasi hanya  bisa  berjalan  efektif  jika dijamin oleh hukum, dan jika cara- cara  menjalankannya  dipaparkan dengan  jelas  dalam  legislasi  dan mengikat  rumusan-rumusan kebijakan. Dampak Positif Era  teknologi  digital    membuat segenap  pelosok  dunia  sebagai ruang terbuka yang dapat diakses oleh siapa pun. Dunia kini merupa- kan  sebuah  galaksi  yang  saling terhubung  bagi  proses  arus informasi  dan  komunikasi. Pemerintah  mengakui  bahwa keterbukaan  informasi  berdampak positif  tak  hanya  bagi  proses demokratisasi  dan  pemerintahan yang  baik,  tetapi  juga  pemberan- tasan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.  Dikatakan,  selain penting  bagi  terciptanya  pemerin- tahan yang baik serta transparansi dan  akuntabilitas,  dampak  positif UU  KIP  antara  lain  percepatan pemberantasan  KKN,  optimalisasi hak-hak  masyarakat  terhadap pelayanan  publik,  dan  percepatan demokratisasi.  Dalam  UU  KIP, informasi  publik  digolongkan  ke dalam  5  (lima)  klasifikasi: (1)Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; (2)Informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; (3)Informasi yang tersedia setiap saat; (4)Informasi yang dikecua- likan; (5)Informasi yang di- peroleh berdasarkan permin- taan. Nah,  rakyat  Indonesia  kini bisa  meminta  informasi  kepada badan-badan  publik,  misalnya pajak, sebagai upaya pemantauan (watch  dog),  pemberantasan korupsi  dan  transparansi.  Peran media  massa,  pun  media komunitas, adalah  sebagai “watch dog”, serta  ikut memperluas arus informasi bebas bagi publik. HAK ATAS INFORMASI oleh: Rainy MP Hutabarat Undang-undang Kebebasan InformasiPublik (dari berbagai sumber)
  • 2. 2  | Edisi Maret - 2014 KOMUNIKASI Menurut Daniel Hallin keberadaan informasi media massa ditempat- kan  pada  tiga  bidang  atau  peta ideologi. Pertama, bidang penyim- pangan  (sphere  of  deviance); kedua, bidang kontroversi (sphere of  legitimate  controversy),  dan ketiga, bidang konsensus. Dengan kata  lain,    jika  berbicara  media maka tidak lepas dari mereka yang bekerja di balik dapur media, yakni jurnalis, penjaga news room dan pemilik media – mereka yang  akan membingkai  suatu  peristiwa, perilaku  atau  gagasan,  sesuai dengan wilayah atau peta ideologi yang  diyakininya,  yakni  penyim- pangan kontroversi atau konsenus. Pertanyaannya adalah, bagaimana media  membingkai  peristiwa, perilaku  atau  gagasan  yang mengandung unsur SARA? Seiring  dengan  semakin  terbu- kanya  ruang  kebebasan  bereks- presi, tahun-tahun belakangan ini mulai  berkecambah  jurnalisme intoleransi yang dipraktikkan oleh beberapa  media  arus  utama, terlebih media daring dan media sosial baru. Tentu saja ini bukan kabar baik, melainkan kabar buruk, terlebih bagi para pewarta kabar baik  yang  harus  bekerja  ekstra keras “membasuh dan membilas” virus-virus intoleransi tersebut. Beberapa  contoh  jurnalisme intoleransi yang terjadi di Sumatra Utara: Pada Juli 2006, saat isteri Gubernur Sumatra Utara, Ny. Vera Rudolf  Pardede  member  paket bantuan  peralatan  ke  sekolah- sekolah Islam, terjadi demonstrasi. Beberapa surat kabar mengkons- truksi peristiwa itu sebagai bentuk “permurtadan  berkedok  bantuan sosial”,  “tindakan  Yahudi  dan Kristenisasi”,  “penyusupan  ke sekolah  Islam”,  “menyakiti  umat Islam”,  “memojokkan  Islam”, “menghina Islam”, dan “menodai umat Islam”. Dengan  kata  lain,  pemberian bantuan  dianggap  upaya kristenisasi dan  mencederai umat Islam. Contoh kutipan teks sebuah berita: “Komponen  Islam  mengklaim tindakan  Yahudi  dan  Kristenisasi harus disikapi dan dipertanggung- jawabkan secara hukum dan minta maaf dalam tempo 7 x 24 jam. Bila hal ini tidak dilakukan maka jangan salahkan  umat Islam  melakukan upaya  tindakan  jihad  fisabillah meraih  hak  menghancurkan kebatilan. Dengan kata lain Sumut akan berdarah.” Ketika terjadi demonstrasi massa pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli  tahun  2009  yang mengakibatkan  meninggalnya Ketua DPRD Sumut, pemberitaan beberapa  suratkabar  dengan stigmatisasi dan pengerasan fakta (disfemisme). Ada surat kabar yang menyebut  peristiwa  itu  sebagai “tindakan biadab ala komunis gaya baru”,  “teroris  lokal  yang mengobok-obok demokrasi”, atau memberi  stigma  kepada  para demonstran sebagai “bandit-bandit Protap”. Sebuah harian menuliskan, “Pembunuhan  itu  dilakukan  oleh bandit-bandit panitia Protap dan perilaku  mereka  mirip  PKI, membunuh putra Muslim sebagai putra  terbaik  Sumut.”  “Tindakan massa  Protap  sangat  tidak manusiawi, lebih hina dari perilaku binatang.” Pada  Pilkada  Medan,  Juni  010, Sofyan Tan oleh sejumlah media cetak,  distigma  sebagai  “bukan pribumi”,  “keturunan  asing  yang mau menjajah dan menjual kota Medan”,  “hendak  adakan Chinatown Medan”, “kafir”, “calon yang tidak seiman/seakidah dengan mayoritas  warga  Medan”,  dan stigma rasial lainnya. Pada  Mei  2011,  terjadi  kasus perubuhan masjid Al-Ikhlas di Jalan Timor  oleh  sekelompok  orang. Perubuhan itu menuai protes dari umat  Islam  di  Medan.  Sebuah suratkabar  menggambarkan peristiwa itu sebagai “penzaliman terhadap  umat  Islam oleh  pihak Kodam  I/BB”.  Sedangkan suratkabar  yang  lebih  netral menggambarkan  kasus  tersebut sebagai “pelanggaran hukum yang dilakukan  oleh  Kodam  I/BB  dan Pengembang.” Contoh-contoh  di  atas  banyak ditemukan  di  media arus utama. Di media sosial lebih hebat lagi, lebih parah. Pekerja  gereja seperti diakones, pendeta, penatua atau yang  lain,  harus  mengetahui bagaimana melakukan pewartaan yang damai. JurnalismeBerperspektifDamai Penting Ketika  anda  sedang  bertugas meliput, tinggalkan agama anda di rumah. Inilah dalil bagi wartawan. Wartawan  tidak  boleh  memihak atau  mengungkapkan  dukungan maupun prasangka mereka kepada salah  satu  pihak.  Lebih  dari  itu wartawan  harus  menerapkan jurnalisme  damai.  Tak  seperti disalahpahami banyak  orang, menerapkan jurnalisme damai tak berarti  fakta konflik diabaikan, atau tidak  diberitakan.  Konflik  tetap diberitakan.  Tapi  wartawan  atau media  tak  bisa  mengenakan kacamata kuda. Mereka tak boleh berpikir  hitam  putih,  seolah penyelesaian konflik hanya kalah- menang. Orientasi utama liputan berperspektif  damai  diarahkan kepada  penyelesaian  konflik. Tuntutan  seperti  ini  membuat wartawan harus berhati-hati ketika merekonstruksi  pernyataan narasumber. Terutama pada tahap penulisan  berita.  Pernyataan ekstrim,  bernuansa  prasangka, kebencian, rasis, SARA, sebaiknya dihindari.  Campur  tangan wartawan  harus  mendukung terciptanya perdamaian. Mewaspadai Kabar-kabar Kebencian Oleh J. Anto
  • 3. Edisi Maret - 2014 |3 KOMUNIKASI MENGENAL RADIO Sumber: Dompet Dhuafa, Radio Based Disaster Risk Reduction, Jakarta, Dompet Dhuafa, Agustus   2013. Metode  pengiriman  sinyal  radio dikenal  dengan  sebutan  AM (modulasi amplitudo) dan modulasi frekuensi  (FM).  Karena  itu  kita mengenal sebutan radio AM dan radio  FM.  Keduanya  merupakan sinyal  radio  analog.  Seiring perkembangan  teknologi,  kini dikenal  wahana  komunikasi berbasis digital yang mendorong kepada  digitalisasi  media,  radio digital  seperti  internet  yang mengubah  secara  drastic  cara pengiriman sinyal radio (transmisi yang  menjangkau  publik pendengarnya jauh lebih luas dan efekltif. Gelombang  radio  adalah  satu bentuk radiasi    elektromagnetik, tertbentuik ketika obyek bermuatan listrik  dimodulasi  (dinaikkan frekuensinya) pada frekuensi yang terdapat  dalam  frekuensi gelombang radio (RF) dalam suatu spektrum elektromagnetik. UU  No.  32  Tahun  2002  tentang Penyiaran menyatakan, frekuensi radio  merupakan  gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa anpa sarana  penghantar  buatan, merupakan  ranah  publik  dan sumber  daya  alam  terbatas. Seperrti spectrum elektromagnetik yang  lain,  gelombang  radio merambat  dengan  kecepatan 300.000 kilometer per detik. Perlu diperhatikan,  gelombang  radio berbeda  dengan gelombang audio. Gelombang radio merambat pada frekuensi  100.000  Hz  - 100.000.000.000  Hz  sementara gelombang audio merambat pada frekuensi 20 Hz – 20.000 Hz. Radio AM Bekerja  dengan  prinsip memodulasi gelombang radio dan gelombang  audio.  Kedua kelombang ini sama-sama memiliki amplitude  yang  konstan.  Keter- batasan teknologi AM, khususnya menyangkut  kualitas suara  yang dihasilkan,  membuat  radio  AM kurang populer. RadioFM Bekerja  dengan  prinsip  serupa dengan  AM,  yaitu  dengan memodulasikan gelombang radio (pengantar)  dengan  gelombang audio.  Proses  modulasi  ini menyebabkan  perubahan  pada frekuensi. Radio Internet Radio internet (dikenal dengan web radio,  radio  streaming,  dan  e- radio)  bekerja  dengan  cara mentransmisikan gelombang suara lewat  internet.  Prinsip  kerjanya hampir  sama  dengan  radio konvensional yang mempekerjakan gelombang pendek (shot wave), yaitu  dengan  menggunakan medium  streaming  berupa gelombang kontinyu. Sistem kerja ini  memungkinkan  siaran  radio terdengar ke seluruh dunia asalkan pendengar memiliki perangkat yang mampu  terhubung  ke  jejaring internet. Di  Indonesia  umumnya radio internet tetap dikolaborasikan dengan sistem radio analog oleh stasiun  radio  teresterial  untuk memperluas jangkauan siarannya. Radio Satelit Radio  satelit  mentransmisikan gelombang  audio  dengan menggunakan  sinyal  digital. Berbeda dengan sinyal analog yang menggunakan gelombang kontinyu, gelombang  suara  ditransmisikan melalui sinyal digital yang terdiri atas  kode  0  dan  1.  Sinyal  ini ditransmisikan  ke  daerah  jang- kauan yang jauh lebih luas karena menggunakan satelit. Siaran radio dapat  diterima  oleh  perangkat khusus yang bisa menerjemahkan sinyal  terinskripsi.  Siaran  radio satelit juga hanya bisa diterima di tempat terbuka di mana antenna pada pesawat radio memiliki garis pandang dengan satelit pemancar. Radio satelitn hanya bisa bekerja di  lokasi  yang  tak  memiliki penghalang besar terkirimnya sinyal seperti  pada  terowongan  atau gedung. Radio Digital Berdefinisi Tinggi (Radio HD) Radio  digital  ini  bekerja  dengan menggabungkan sistem analog dan digital  sekaliogus,  sehingga memungkinkan dua stasiun digital dan analog berbagi frekuensi sama. Efisiensi ini membuat banyak konten bisa  disiarkan  pada  posisi  yang sama.  Kualitas  suara  yang dihasilkan radio HD sama jernihnya dengan radio satelit.
  • 4. 4  | Edisi Maret - 2014 KOMUNIKASI Peliputan Video Dokumenter di Dairi Mewariskan Mata air Kehidupan Pada  10-12  Desember  2013, YAKOMA  PGI  meliput  video dokumenter  bersama  PDPK (Persekutuan  Diakonia  Pelangi Kasih)  -  Parongil. Isu  utama .peliputan  adalah  kerisauan sebagian warga masyarakat di Kab. Dairi,  khususnya  Parongil  dan sekitarnya, sejak hadirnya PT. Dairi Prima  Mineral  (PT  DPM), perusahaan  yang  akan  menjalan- kan  industri  pertambangan. Menurut  catatan,  PT.  DPM  sampai saat ini telah memiliki Izin Pinjam Pakai  Kawasan  Hutan  Lindung  di Kab.  Dairi  seluas  53,11  ha.  untuk kegiatan  penambangan  bawah tanah  dan  pembangunan  sarana penunjangnya.  Izin  tersebut dikeluarkan  melalui  SK  Menteri Kehutanan No. 387/Menhut II/2012. Sejumlah  kelompok  masyarakat risau  karena  kehadiran  tambang dapat  menimbulkan  pencemaran lingkungan,  terutama  tanah  dan sumber  air.  Selain  risiko  pence- maran,  juga muncul  kekhawatiran bahwa  industri  tambang  akan menguras  air dalam jumlah besar sehingga kebutuhan penduduk sulit terpenuhi di kemudian hari. Dalam sebuah  wawancara  video, kekhawatiran  ini  terekam  dari pernyataan Penatua (Pnt.)  Saudur br.  Sitorus,  bahwa  mereka  ingin mewariskan  mata  air  kehidupan kepada generasi penerus, bukan air mata. Sikap  lain  yang  terekam  dalam peliputan  video  ini   adalah, pernyataan  Pnt.  Saut  Sitorus tentang  kegigihan  masyarakat untuk mempertahankan tanah serta lahan  mereka  dengan  tidak melepaskannya kepada perusahaan tambang,  berapapun  harga  yang ditawarkan.  Ini  didasarkan kesadaran  bahwa  budaya  secara turun-temurun telah menempatkan tanah  sebagai  “ibu  kandung”, bahkan  sesuatu yang kudus sebab tanah  dan  lahan    telah  memberi kehidupan  bagi  penduduk. Kesadaran tersebut berkembang ke kesadaran  berikutnya:  dengan mengelola tanah, kehidupan dapat terus  berkelanjutan  sampai  ke generasi penerus. Bila  tanah dijual, besar  risiko  uang  hasil  penjualan akan lenyap tak bersisa, tanpa ada yang  dapat  diwariskan  kepada anak-cucu. Kesadaran  ini    terba- ngun berdasarkan kenyataan yang sudah  terjadi  pada  beberapa penduduk    desa,  yang    awalnya menjual tanah kepada perusahaan tambang,  namun    akhirnya  tidak memiliki  apa  pun  saat  uang  hasil penjualan  habis  dikonsumsi. Dalam  budaya  dan  tradisinya, kehidupan  masyarakat  selama  ini berbasis  pada  sistem  agraris,  di mana seluruh sikap, pengetahuan, keterampilan dan budaya  dicurah- kan  untuk  pengelolaan  tanah  dan lahan. Akan menjadi masalah besar bila  mereka  tiba-tiba  melepaskan tanahnya, walaupun diganti dengan sejumlah  uang.  Persoalan    besar muncul  sebab  tanpa    sikap, pengetahuan,  keterampilan  serta budaya  pengelolaan  uang, hasil penjualan  tanah  tersebut  berapa pun  jumlahnya  akan  habis  tak bersisa.  Akibatnya  adalah  proses pemiskinan penduduk karena: tidak memiliki alat produksi lagi. Salah  satu  argumen  perusahaan tambang  untuk  membenarkan kehadiran  mereka    adalah, kehadiran  industri  tambang  akan menyediakan  lapangan  kerja  bagi penduduk  desa.  Ada  ironi  dalam argumen  ini,  ketika  staf  dari  PT. DPM,  Osdiman  Siagian,  mengakui bahwa  mayoritas  penduduk  di sekitar    pertambangan  hanya bekerja  sebagai  buruh  kasar  atau buruh  rendah  karena    pendidikan dan  keterampilan mereka  minim. Staf PDPK Parongil, Debby Manalu, selaku  pendamping  masyarakat dalam  menghadapi  isu  ini, menyayangkan  pernyataan  terse- but.  Klaim  menyediakan  lapangan kerja  seolah  identik  anggapan bahwa    menjadi  petani  yang mengelola  lahan  dengan  tekun bukanlah    pekerjaan.  Padahal profesi  petani  hakikatnya  adalah pekerjaan  yang  mulia  karena berperan  dalam  memelihara keberlangsungan hidup di bumi. Pemberian lapangan kerja sebagai buruh  kasar  pertambangan  pun dapat membuka  celah kemiskinan baru,  yaitu  ketika  masyarakat sebagai  buruh  rendah  dan  buruh kasar  menerima  upah  murah  dan harus  mencukupkan  seluruh kebutuhan hidupnya dengan hanya bergantung  pada  upah  tersebut, karena kebutuhan-kebutuhan yang selama  ini  tercukupi  dari pengelolaan tanah dan lahan tidak dapat  lagi  terpenuhi    sejak masyarakat  beralih  profesi. Pdt.  Gomar  Gultom,  Sekum    PGI, menyatakan  gereja  harus  terus memberikan  perhatian      terhadap isu-isu  lingkungan. Untuk  ini   dua indikator  utama  yang  dapat menjadi  dasar  Gereja  untuk menolak  aktivitas  pembangunan adalah:  a) aktivitas tersebut hanya menguntungkan sekelompok orang, bukan masyarakat keseluruhan;  b) bila  pembangunan    tidak  mem- perhatikan  kepentingan  jangka panjang  dengan  tindakan  yang merusak alam. Terkait imbauan ini, Sarah Naibaho, staf PDPK Parongil, mengungkapkan bahwa di sebuah desa  dekat  lokasi  pertambangan, ada  HKBP  Sopokomil  yang    akan melakukan  kesepakatan  tukar- guling dengan PT. DPM, agar lokasi gereja  tersebut  dapat  digunakan sebagai lahan pembuangan limbah tambang  (tailing).  Sebagai  gan- tinya,  perusahaan  akan  menye- diakan lahan baru dengan berbagai fasilitas  bagi  pihak  gereja.   PDPK Parongil  terus  coba  membangun kesadaran  di    masyarakat  bahwa ini  bukanlah  permasalahan  tukar- guling,  ganti  rugi  atau  pemberian lahan  dan  fasilitas  bagi  gereja, melainkan  prinsip  bahwa  bila gereja  mau  berkompromi  dan menyerahkan  dirinya  kepada perusahaan  yang  berpotensi merusak  lingkungan,  itu  artinya gereja gagal menjalankan tugasnya untuk  menjaga  keutuhan  ciptaan Tuhan. Di  akhir  liputan,  disadari  bersama bahwa  pembangunan  ekonomi memang dibutuhkan, namun setiap proses  dan  keputusan  pemba- ngunan  harus  selalu  berdasarkan konteks  masyarakat    saat  ini. Konteks  saat  ini  adalah, masyarakat  serta  daerah  Parongil merupakan  entitas  kehidupan berbasis  pertanian,  perkebunan dan peternakan, sebagai “mata air” kehidupan  mereka.  Seluruh  basis kehidupan  tersebut  sangat bergantung pada kelestarian  alam dan  daya  dukung  lingkungan. (Prana  Sunaryo)