Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Laporan monitoring kebijakan ict semester II 2013
1. Laporan Monitoring Kebijakan ICT
Edisi Semester II 2013
‘Gerilya Politik’ Pengaturan
Copyright di Internet
Oleh:
Firdaus Cahyadi
Yayasan SatuDunia
Buku elektronik (ebook) ini bebas untuk dikopi, didistribusikan, dipamerkan dan dijadikan referensi untuk
pembuatan karya turunan, dengan catatan
1. Mencantumkan nama penyusun dan Organisasi Yayasan SatuDunia sebagai sumber referensi
2. Tidak menggunakan buku elektronik ini untuk tujuan komersial
Keterangan:
Sumber gambar cover: http://subvertise-antidot.blogspot.com/2009/02/anti-copyright-black-background.html
‘Gerilya Politik’ Pengaturan Copyright di Internet
Page 1
2. Kata Pengantar
Di semester kedua tahun 2013 ini ada sebuah gejala menarik mengenai pengaturan
copyright di internet. Ada gejala sebuah gerakan ‘gerilya politik’ dari para pendukung
pengaturan copyright secara lebih represif di internet.
Jika pada semester awal 2013, ‘gerilya politik’ itu dilakukan dengan mendompleng
rencana pengaturan perlindungan data pribadi maka, pada semester II tahun 2013 ini
‘gerilya
politik’
para
pendukung
rejim
copyright
yang
represif
itu
mencoba
mendompleng peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Tentu saja ‘gerilya politik’ para pendukung rejim copyright yang represif itu
melakukannya dengan cara lebih halus, yaitu melalui institusi multistakeholder. Terlebih
institusi multistakeholder ini seakan menjadi sebuah mantera baru setelah pertemuan
IGF (Internet Governance Forum) di Bali pada 2013 lalu.
SatuDunia, sebagai organisasi masyarakat yang concern di bidang penguatan
masyarakat sipil melalui informasi, komunikasi dan teknologi mencoba membangun
partisipasi masyarakat untuk turut serta mengawal kebijakan ICT. Dalam konteks
seperti di atas itulah, laporan monitoring kebijakan ICT ini dibuat.
Laporan ini tentu masih jauh dari sempurna. SatuDunia berharap akan muncul laporanlaporan monitoring kebijakan ICT lainnya, baik dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)
maupun individu akademisi atau aktivis, yang menyempurnakannya.
Jakarta, Juni 2013
Firdaus Cahyadi
Knowledge Manager Yayasan SatuDunia
‘Gerilya Politik’ Pengaturan Copyright di Internet
Page 2
3. I.
‘Gerilya Politik’ Pendukung Rejim Copyright
Pengaturan copyright di internet melalui RUU Revisi UU Hak Cipta nampaknya
tidak segera dapat diimplementasikan. Pasalnya, pengesahan RUU itu harus
terhambat dinamika politik di negeri ini, yaitu pemilihan umum.
Menjelang pemilihan umum 2013, para politisi di parlemen sibuk mempersiapkan
pemenangan partainya masing-masing. Terlebih ada 90 persen politisi yang
sekarang duduk di parlemen mencalonkan diri lagi di pemilu kali ini. Proses
legislasi di DPR pun banyak terbengkelai.
Di satu sisi, ini menjadi berkah bagi penentang rejim represif pengaturan
copyright di internet. Namun di sisi lain, hal ini membuat para penantang rejim
represif menempuh strategi lain, yaitu gerilya politik.
Bentuk dari gerilya politik para pendukung rejim represif pengaturan copyright di
internet ini adalah memasukan aturan copyright di peraturan-peraturan menteri.
Pada November 2013 misalnya, pemerintah merancang peraturan menteri
mengenai menyusun Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) tentang Pengendalian situs Internet Bermuatan Negatif.
Dalam pasal 4 dalam draft per November 20131, RPM Kominfo tentang
Pengendalian situs Internet Bermuatan Negatif disebutkan bahwa situs yang
memuat konten melanggar hak cipta dimasukan dalam situs illegal yang bisa
diblokir. Pemblokiran situs ini akan berdampak serius terhadap hak warga negara
atas informasi dan pengetahuan.
1
http://www.scribd.com/doc/183111903/RPM-Pemblokiran-Website-tentang-Pengendalian-Situs-InternetBermuatan-Negatif-8112013-santika-serpong-pdf
‘Gerilya Politik’ Pengaturan Copyright di Internet
Page 3
4. Bagaimana tidak, bila sebuah situs internet diblokir dengan alasan hak cipta,
maka konten lainnya dalam situs tersebut yang bisa jadi tidak melanggar hak
cipta dan justru bermanfaat bagi penyebaran informasi dan pengetahuan bagi
masyarakat juga tidak bisa diakses.
RPM ini sangat represif, terlebih dalam pasal berikutnya, Pasal 11, disebutkan
bahwa Penyelenggara Jasa Akses Internet Penyelenggara Telekomunikasi wajib
melakukan pemblokiran terhadap situs- situs yang dinilai bermuatan negatif,
termasuk yang dinilai melanggar hak cipta.
Jadi, dalam RPM ini secara jelas memberikan kekuasaan kepada institusi bisnis
(penyelenggara jasa internet) untuk menjadi semacam polisi konten di internet,
yang tindakannya berpotensi melanggar hak warga negara dalam berekspresi,
mengakses informasi dan pengetahuan.
Dalam RPM itu juga tidak memberikan payung hukum bagi hak gugat
masyarakat bila pemblokiran itu justru merugikan kepentingan masyarakat,
termasuk kepentingan warga negara untuk berekspresi, mengakeses informasi
dan pengetahuan.
II.
Hegomoni Institusi Multistakeholder?
Pada tahun 2013 lalu, Indonesia memiliki sejarah baru yaitu, menjadi
penyelenggara forum internasional Internet Governance Forum (IGF) di Bali.
Sebuah event internasional bergengsi.
Keberhasilan event IGF itu bukan hanya dalam penyelenggaraannya namun juga
upaya membangun kebersamaan dalam kerangka kerjasama multisatkeholder
(para pihak) dalam pengaturan internet di Indonesia. Stakeholder dalam
pengaturan internet di Indonesia itu antara lain, pemerintah, bisnis dan
masyarakat sipil.
‘Gerilya Politik’ Pengaturan Copyright di Internet
Page 4
5. Dengan kerangka kerjasama multistakeholder itu memungkinkan masyarakat
sipil terlibat langsung dalam pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan
terkait dengan internet. Sebuah trobosan dalam advokasi kebijakan.
Pertanyaannya kemudian, apakah masyarkaat sipil mendapat tempat yang
strategis dalam kerangka kerjasama multistakeholder itu? Atau apakah kehadiran
masyarakat sipil dalam kerangka kerjasama multistakeholder hanya akan jadi
pihak pelengkap penderita saja? Seakan-akan dilibatkan namun pemikiranpemikirannya diabaikan.
Serangkaian
pertanyaan
kritis
itu
penting
diajukan
mengingat
dalam
pembahasan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Komunikasi dan Informatika
(Kominfo) tentang Pengendalian situs Internet Bermuatan Negatif itu, kelompok
masyarakat sipil juga dilibatkan dalam pembahasannya. Namun, jika melihat dari
pasal per pasalnya pemikiran masyarakat sipil yang memperjuangkan kebebasan
berekspresi, hak atas informasi dan pengetahuan tidak tercermin di dalamnya.
Apakah dalam pembahasan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) tentang Pengendalian situs Internet Bermuatan Negatif itu
kelompok masyarkaat sipil telah terhegomoni oleh kepentingan pemerintah dan
bisnis? Jika benar adanya, mengapa institusi multistakeholder yang semula
diharapkan mampu menjadi ‘jembatan emas’ untuk menyuarakan kepentingan
masyarakat sipil justru menjadi media hegomoni dari pemerintah dan kekuatan
bisnis?
III.
Gamangnya Posisi Masyarakat Sipil di Lembaga Multistakeholder
Tidak diakomodasinya secara maksimal kepetingan masyarkat sipil dalam
pembahasan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Komunikasi dan Informatika
(Kominfo) tentang Pengendalian situs Internet Bermuatan Negatif itu bisa jadi
karena kelompok masyarakat sipil yang terlibat dalam pembahasan itu belum
‘Gerilya Politik’ Pengaturan Copyright di Internet
Page 5
6. atau bahkan tidak memiliki posisi yang jelas, utamanya posisi terkait dengan
pengaturan copyright di internet.
Kegamangan posisi kelompok masyarakat sipil terkait berbagai isu kebijakan
internet sebenarnya sudah mulai nampak sejak persiapan ajang IGF di Bali.
Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Id-Config belum juga
menentukan posisi terkait berbagai isu internet di Indonesia.
Banyak alasan yang dilontarkan terkait belum jelasnya posisi kelompok
masyarakat sipil itu. Namun, yang jelas ketidakjelasan posisi itu membuka
peluang hegomoni dari pihak lain yang sudah memiliki posisi yang jelas dan
tegas. Dan pihak lain itu adalah pemerintah dan kelompok bisnis.
Lembaga multistakeholder memang bisa menjadi pintu masuk bagi organisasi
masyarakat sipil untuk mempengaruhi kebijakan. Namun, itu bisa dilakukan bila
masyarakat sipilnya sudah memiliki posisi yang jelas terhadap sebuah isu.
Karena lembaga multistakeholder itu bukanlah forum ketawa-ketiwi namun
medan perang posisi.
IV.
Agenda Mendesak; Lawan Kebijakan Represif Rejim Copyright!
Rejim pengaturan copyright di internet yang represif bila masuk dalam
perundang-undangan sangat membahayakan. Pertama, pengaturan copyright di
internet yang represif akan menghambat kebebasan berekspresi. Kebebasan di
internet yang telah menghasilkan berbagai produk kreatif akan ‘membeku’ bila
pengaturan copyright di internet secara represif ini diberlakukan.
Kedua, rejim pengaturan yang represif mengenai copyright di internet juga akan
menghambat hak warga negara dalam mengakses informasi dan pengetahuan.
Khususnya bagi warga di negara berkembang. Semula dengan internet berbagai
bentuk pengetahuan baru, baik dalam ebook maupu video, bisa dengan mudah
‘Gerilya Politik’ Pengaturan Copyright di Internet
Page 6
7. dan cepat disebarluaskan. Namun, dengan adanya pengaturan copyright yang
represif ini penyebarluasan produk-produk pengetahuan itu dihambat bahkan
dimatikan sama sekali.
Ketiga, karena penyebarluasan produk-produk pengetahuan dihambat maka,
negara-negara berkembang hanya akan menjadi konsumen berbayar dari produk
pengetahuan dari negara-negara maju. Artinya, dalam jangka panjang akan
terjadi penghisapan uang dari negara-negara berkembang oleh negara-negara
maju dalam transaksi produk-produk pengetahuan yang dilindungi oleh
copyright. Dan dengan ini pula ketidaksetaraan antara negara-negara maju dan
berkembang pun dilestarikan
Terkait dengan itulah, tidak bisa tidak, agenda mendesak yang harus menjadi
posisi masyarakat sipil adalah memberikan perlawanan yang maksimal terhadap
pengaturan copyright di internet yang represif itu. Dengan posisi yang jelas itu
maka kelompok masyarakat sipil pun bisa dengan mantab melakukan ‘perang
posisi’ di lembaga multistakeholder yang membahas kebijakan copyright di
internet. Tanpa kejelasan dan ketegasan posisi, maka kelompok masyarakat sipil
justru akan terhegomoni dalam dialog kebijakan di bawah payung lembaga
multistakeholder itu.
‘Gerilya Politik’ Pengaturan Copyright di Internet
Page 7